Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dwi Ayu Apriliana Faramita

NPM : 1940501081

Lokal : A2/C (5)

Ilmu Kedokteran dan Kehakiman

A. Visum Et Repertum
1. Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran
Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum sendiri berasal dari Bahasa
Latin yaitu “Visa”. Dalam arti etimologi atau tata Bahasa, kata “Visum” atau “Visa”
berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti
tetang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan. Sedangkan
“Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan
dokter terhdap dokter. Sehingga secara etimologi Visum et Repertum adalah apa yang
dilihat dan ditemukan. Penegak hukum mengartikan Visum et Repertum sebagai
laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah atas permintaan yang
berwajib untuk kepentingan peradilan tetang segala hal yang dihilat dan ditemukan
menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Visum et Repertum merupakan keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter
atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap
seseorang manusia hak hidup maupun mati ataupun bagaian dari tubuh manusia,
berupa temuan dan interprestasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan
peradilan.

2. Dasar Hukum Visum et Repertum


Menurut Budiyanto et al, dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:
Pasal 133 KUHAP mengatakan:
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, kerancunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau permeriksaan bedah
mayat
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu sebagaimana bunyi pasal 7 ayat (1) butir h dan pasal 11 KUHAP.

Penyidik yang dimaksud ialah penyidik yang sesuai dengan pasal 6 ayat (1) butir
a, yakni penyidik yang pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Penyidik ini adalah
penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk dalam pidana yang berkaitan dengan
Kesehatan dan jiwa manusia. Oleh sebab itu Visum et Repertum merupakan
keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan Kesehatan jiwa manusia,
maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum,
karena mereka mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

3. Jenis-Jenis Visum et Repertum


Adapun jenis-jenis Visum et Repertum sebagai berikut:
1) Visum et Repertum Perlukaan (termasuk keracunan)
Pemeriksaan pada korban hidup ditujukan untuk mengetahui
penyebab luka dan derajat parahnya luka tersebut. Suatu perlukaan dapat
membawa dampak dari segi fisik, psikis, sosial dan pekerjaan oleh karena itu
derajat perlukaan diperlukan oleh hakim diperadilan untuk menentukan
beratnya sanksi pidana yang dijatuhkan. Terhadap setiap pasien dokter harus
mmebuat cacatan medik atas semua hasil pemeriksaan mediknya. Pada
korban yang diduga Tindakan pidana pencatatan harus lengkap dan jelas
untuk kepentingan kelengkapan barang bukti di dalam bagiank pemeritaan
Visum et Repertum.

2) Visum et Repertum Kejahatan Susila


Biasanya korban kejahatan Susila yang dimintakan Visum et
Repertum kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang
diancam KUHP meliputi pemerkosaan, persetubuhan pada wanita yang tidak
berdaya, persetubuhan denmgan wanita yang belum cukup umur.
Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan dengan pemeriksaan
fisik terhadap kemungkinan deflorasi hymen, kaserasi vulva atau vagina,
serta ada cairan mani dan sel sperma dalam vagina. Dalam kesimpulan
Visum et Repertum korban kejahatan Susila harus memuat usia korban, jenis
luka, jenis kekerasan dan tanda persetubuhan.

3) Visum et Repertum Jenazah


Visum et repertum jenazah dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Visum dengan pemeriksaan luar
b) Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam (autopsi)
Jenazah yang dimintakan visum et repertumnya harus diberi label
yang memuat identitas mayat, diberi cap jabatan, yang diikat pada ibu jari
kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum
harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah hanya
pemeriksaan luar jenazah ataukah pemeriksaan autopsi. Bila pemeriksaan
autopsi yang diinginkan, maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga
korban dan menerangkan maksud dan tujuan pemeriksaan.

4) Visum et Repertum Psikiatrik


Visum et repertum di bidang psikiatrik disebut Visum et repertum
Psychiatricum.13 Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat karena adanya
pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi “ Barang siapa melakukan perbuatan
yang tidak dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit
(zielkelijke storing), tidak dipidana”

Visum et repertum diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku pidana


bukan korban sebagaimana visum et repertum lainnya. Pemeriksaan ini dilakukan
setelah seseorang mengalami suatu peristiwa atau berkaitan dengan hukum. Hasil
pemeriksaan tersebut dilakukan rekonstruksi ilmiah untuk mencari korelasi antara
hasil pemeriksaan dengan peristiwa yang terjadi.13 Oleh karena itu visum et repertum
psikiatrik menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak
pidana yang dilakukannya, maka lebih baik bila pembuat visum et repertum psikiatrik
ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit.
B. Autopsi
1. Definisi Autopsi
Autopsi dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Autopsi yang berarti
pemeriksaan terhadap jasad yang telah mati untuk mencari penyebab kematian. Istilah
autopsi dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti pemeriksaan tubuh manusia yang
tidak bernyawa melalui pembedahan untuk mengetahui penyebav kematian. Secara
terminology ilmu kedokteran, autopsi merupakan suatu penyelidikan atau
pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat suatu organ tubuh dan susunannya pada
bagian dalam setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan
mengetahui penyebab kematian seseorang, baik untuk keperluan ilmu kedokteran
maupun keperluan penegak hukum sebagai pengungkap misteri suatu tindak pidana
Autopsi tidak dapat dilakukan oleh semua orang, walaupun hanya mngambil
benda atau bagian dalam organ tubuh seorng yang telah mati. Menurut sagai autopsi
adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan orang yang tidak bernyawa, termasuk
organ tubuh dan susunannya organ bagian dalam melalui pembedahan untuk
mengetahui penyebab korban meninggal dunia atau mengungkap misteri kematian
korban supaya dapat dibawa kehadapan pengadilan untuk proses pembuktian
sehingga menemukan kebenaran materiil.

2. Dasar Hukum Autopsi


Adapun dasar hukum otopsi forensic adalah sebagai berikut:
1) Pasal 122 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tenntang Kesehatan
yang menyebutkan “ untuk kepentingan penegakkan hukum dapat dilakukan
bedah mayat forensic sesuai dengan ketentuan peraturan perundnag-undangan
uyang berlaku”.
2) Pasal 133 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyebutkan” dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman ataupun dokter dan atau ahli
lain”.

3) Jenis Autopsi
Berdasarkan tujuannya, Autopsi dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
1) Autopsi anatomi
Autopsi anatomi adalah Autopsi yang dilakukan oleh mahasiswa
dibawah bimbingan langsung dari pakar dokter anatomi di labolatorium
fakultas kedokteran. Disiplin ilmu ini bertujuan agar mengetahui berbagai
jaringan dan susunan tubuh manusia . sarjana kedokteran harus mengetahui
oragan dan jaringan tubuh manusia melalui proses pembelajaran disiplin
ilmu ini. Pada umumnya tubuh manusia yang dignakan untuk melakukan
autopsi adalah jasad yang tidak bernyawa yang berasal dari korban
kecelakaan dan jasad dari korban kejahatan.
Sehingga untuk mendukung proses pembelajaran dibidang ilmu
anatomoi, fakultas kedokteran di Indonesia banyak menggunakan jasad yang
diawetkan. Dalam hal ini yang digunakan adalah jasad yang tidak diketahui
ahli warisnya atau seseorang yang sejak awalnya telah memberikan
persetujuan pengembangan ilmu Kesehatan dengan membuat surat
pesetujuan acara tertulis. Autopsi anatomi dapat dilakukan di rumah sakit
pendidkan, dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahliannya dan mayat harus
diawetkan terlebih dahulu.

2) Autopsi klinis
Autopsi klinis dilakukan untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan pelayanan Kesehatan. Tujuan autopsi klinis adalah untuk
melakukan diagnosis sehingga dapat menyimpulkan penyebab kematian
seseorang. Autopsi klinis dikerjakan terjadap pasien yang sudah meninggal
dunia seelah dirawat disuatu Rumah Sakit atau pusat-pusat Kesehatan
lainnya. Tajuan melakukan autopsi klinis adalah:
a) Untuk menemukan kerusakan (aptologis) terhadap tubuh pasien
b) Untuk menemukan penyebab kematian seseorang
c) Untuk menemukan kesesuaian antara diagnose klinis dengan hasil
pemeriksaan post-mortem
d) Untuk menentukan obat-obat yang dimasukkan kedalam tubuh pasien
e) Untuk melihat penyakit yang ada didalam tubuh pasien
f) Untuk menemukan obat atau terapi untuk menyembuhkan penyakit yang
serupa
g) Untuk mengetahui kelainan pada organ dan jaringan tubuh akibat dari
suatu penyakit
Dalam menjalankan autopsi klinis biasanya dilakukan pemeriksaan
secara lengkap, misalnya pemeriksaan bakteriologi, histopatologi, serologi,
mikrobiologi, toksikologi, dan lainnya penemuan jenis-jenis penyakit dan
terapi yang dilakukan berkat hasil Autopsi klisnis yang telah dijalankan
diberbagai rumah sakit dari dulu hingga sekarang.
3) Autopsi forensik
Autopsi forensik tau disebut juga dengan bedah mayat kehakiman.
Autopsi kehakiman hanya dapat dilakukan apabila ada perintah dari pihak
penyidik yang menangani suatu perkara pidana yang berhubungan dengan
kematian seseorang, umumnya, Autopsi forensik dikerjakan terhadap korban
yang mati secara tidak wajar seperti korban pembunuhan, bunuh diri,
kecelakaan, keracunan atau seseorang yang meninggal dunia secara tiba-tiba.
Autopsi tersbeut paling sering dilaksanakan untuk kepentingan penegakkan
hukum ataupun pembuktian hukum di pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai