Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRATIKUM FORMULASI SEDIAAN LIKUIDA

( FITOKIMIA )

Alwan Darwissy Annaza 20482011084


Andi Adha Kurniawan 20482011087
Bakti Aditya Purnomo 20482011097
Binar Yuda Fansurna 20482011098
Eni Agustina 20482011108
Indra Saputra 20482011117
Kartini 20482011121
Luh Mira Damayanti 20482011125
Muhammad Riyadi Pratama 20482011138
Rahmadhani 20482011157
Zulfia Tita Adharani 20482011188
Disusun oleh:

Nama kelompok : C1
Waktu pelaksanaan : 29 November – 01 Desember 2021
Dosen Pembimbing : Risa Supriningrum, S.Si., M.M

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SAMARINDA


PRODI S1 FARMASI
ANGKATAN 2020
I. Tujuan praktikum
Mahasiswa mampu mengetahui cara pembuatan
simplisa,ekstraksi,fraksinasi,skerining fitokimia,dan proses kromotgrafi
lapis tipis.

II. Dasar teori


A. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia
merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral (depkes RI, 1985).
Simplisia merupakan bahan utama yang harus tersedia ditempat meramu atau
meracik obat yang umumnya diramu dan diracik sendiri (Farmakognosi Jilid
1, 2015).
Tahapan dari pembuatan simplisia diantaranya adalah
1. Pengumpulan bahan baku
Pengumpulan bahan baku merupakan proses yang dapat
mempengaruhi mutu dari sediaan. Oleh karenanya waktu pemanenan
sangat berpengaruh pada kualitas, sesuai dengan bagian yang akan
digunakan. Waktu panen berhubungan erat dengan pembentukan senyawa
aktif dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Tanaman obat dapat
dipanen pada saat tanaman tersebut memiliki kandungan senyawa aktif
dalam kadar yang optimal. Untuk tanaman yang mengandung minyak
atsiri dapat dipanen di pagi hari, karena molekul minyak atsirinya masih
stabil sebelum proses fotosintesis berlangsung. Waktu terbaik untuk
pemanenan diantaranya
1) Rimpang / Rhizoma
Bahan rimpang dapat dipanen saat telah mencapai usia 9-12 bulan,
cukup tua, segar, tidak busuk/cacat/rusak. Rimpang dapat dipanen
dengan cara digali, dicabut, yang kemudian dapat dibuang akarnya.
2) Daun / Folium
Bahan daun dapat dipanen pada kondisi segar dan tua namun tidak
kuning, tidak busuk dan cacat. Pemanenan dapat dilakukan dengan
cara dipetik satu per satu, dapat pula digunting atau dipangkas dengan
alat panen.
3) Bunga / Flos
Bahan bunga dapat dipanen pada saat seluruh bunganya telah mekar
dengan sempurna yang terdiri dari mahkota serta tangkai bunga,
bunga juga dapat dipanen pada saat kuncup. Pemanenan dapat
dilakukan dengan cara dipetik dengan tangan atau dipotong
menggunakan pisau berbahan stainless serta dapat menggunakan
gunting.
4) Buah / Fructus
Bahan buah dipanen sesuai dengan tingkat kematangan yang
diinginkan, segar, utuh dan tidak cacat. Untuk buah kering dapat
dipanen pada saat hampir masak sempurna.
5) Biji / Semen
Untuk bahan biji dapat dipanen saat kondisi telah masak sempurna
yang ditandai dengan perubahan warna serta tingkat kekerasan pada
biji tersebut.
6) Herba
Pada tanaman herba dapat di panen dengan cara dipotong pada
pangkal batang dengan ukuran ± 2-10 cm. Hasil pemanenan dapat
dibersihkan dari kotoran yang menempel.
7) Akar / Radix
Pada bahan akar dapat dipanen saat berumur lebih dari 2 tahun. Akar
yang diambil hanya bagian tepi yang dilakukan dengan cara menggali
tanah sekitar 30 cm dari akar utamanya.
8) Kayu dan Kulit Batang
Pemanenan kayu dilakukan pada pohon yang berumur lebih dari 4
tahun. Kulit batang dapat dipanen saat aktivitas kambium telah
maksimal, dengan sel-sel parenkim belum mengalami diferensiasi.
Umumnya pemanenan dilakukan pada musim penghujan.
9) Umbi dan Umbi Lapis
Tanaman dapat dicabut, kemudia dilakukan pemisahan antara umbi
dengan bagian daun beserta akarnya. Langkah selanjutnya kemudian
dibersihkan.
10) Kulit Buah
Pemanenan buah dilakukan untuk buah yang sudah masak yang
kemudian dilakukan pengupasan kulit dengan buahnya, sedangkan
bagian biji dan buah dapat dimanfaatkan dengan cara yang lain.
2. Sortasi Basah
Sortasi basah merupakan proses pemisahan hasil panen dengan
tanaman lain yang tidak dibutuhkan, dari kerikil, tanah ataupun kotoran
lainnya. Sortasi basah harus di lakukan dengan hati-hati, dapat pula
dilakukan menggunakan alat atau mesin yang disesuaikan dari tanaman
atau bagian yang diinginkan.
3. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan air mengalir yang bersumber dari air
bersih, dapat berupa sumber mata air, sumur bahkan PAM. Pencucian
dapat dilakukan dengan penyemprotan air yang bertekanan tinggi atau
dengn cara disikat atau disesuaikan dengan sifat dari simplisia. Pada
simplisia berupa umbi, akar, batang, dan buah dapat dikupas terlebih
dahulu.
Setelah dicuci bersih, simplisia dapat ditiriskan ditempat yang
teduh dengan sirkulasi udara yang cukup. Proses ini dilakukan untuk
mehilengkan air yang menempel pada permukaan bahan guna mencegah
pertumbuhan mikroba atau menambah kandungan air. Penirisan dilakukan
sesegera mungkin setelah proses pencucian. Selama proses penirisan,
bahan perlu dibolak-balik guna mempercepat penguapan air yang
kemudian dilanjutkan dengan tahap pengeringan yang sesuai dengan
prosdur.
4. Perajangan
Perajangan dilakukan dengan tujuan memperoleh simplisia dengan
ukuran yang lebih kecil sehingga mempermudah dan mempercepat proses
pengeringan. Keuntungan dari perajangan adalah mempermudah dalam
pengemasan serta penggilingan. Perajangan dilakukan menggunakan
pisau, atau mesin khusus (Rasingko). Ketebalan dari pengirisan simplisia
ini berbeda-beda, untuk rimpang, umbi, dan akar dirajang dengan ukuran
± 3 mm, untuk simplisia daun dapat dipotong melintang dengan lebar ± 2
cm. Dan untuk simplisia kulit batang dapat diiris dengan ukuran 2x2 cm.
5. Pengeringan
Proses pengeringan merupakan proses yang bertujuan untuk
mengurangi kadar air dalam tanaman tersebut. Pengeringan dapat berasal
dari sinar matahari langsung atau ditutupi dengan kain hitam, dapat juga
diangin-anginkan tanpa matahari. Pengeringan menggunakan panas
matahari langsung dapat diterapkan untuk bagian tanaman yang relatif
keras seperti kayu, kulit kayu, dan biji untuk senyawa aktif yang bersifat
termostabil. Sedangkan pengeringan dengan cara diangin-anginkan tanpa
matahari dapat diterapkan untuk tanaman yang relatif lunak seperti bagian
bunga dan daun atau senyawa yang mudah menguap atau disebut dengan
volatil.
Pengeringan menggunakan oven dilakukan untuk bahan yang
memiliki kandungan senyawa yang bersifat termolabil, volatil dengan
o
suhu 30-40 C selama waktu tertentu. Kelebihannya adalah
pengeringannya lebih merata, waktunya relatif cepat, tidak dipengaruhi
oleh cuaca, serta kadar airnya dapat ditekan.
Permasalahan yang sering terjadi yaitu face hardening atau kering
diluar namun basah didalam. Penyebabnya adalag irisan atau rajangan
dari simplisia tersebut terlalu tebal, suhu pengeringan terlalu tinggi
sehingga keringnya tidak merata, atau penguapan air di permukaan bahan
lebih besar dibandingkan difusi air dari dalam ke permukaan bahan
sehingga bahan simplisia tersebut masih menyimpan air.
6. Sortasi Kering
Pada prinsipnya, sortasi kering bertujuan untuk memisahkan
bahan-bahan asing yang tidak diinginkan serta memiskahkan bagian
simplisia yang belum kering seutuhnya. Umumnya sortasi kering
dilakukan dengan cara manual, kadang kala dapat dilakukan grading atau
pemisahan menurut ukurannya sehingga didapat simplisia yang seragam.
7. Pengemasan & Pelabelan
Pengemasan bertujuan untuk melindungi simplisia saat proses
pengangkutan, distribusi, dan penyimpanan dari gangguan luar seperti
suhu, kelembaban, pencemaran mikroba.
Pada simpesia berbentuk cairan dapat kemas menggunakan guci
porselin atau botol kaca. Untuk simplisia daun dan herba dapat di press
dan diberi silika gel untuk menyerap air dan menjaga agar tidak lembab.
Syarat dari bahan pengemas yaitu harus bersifat inerst atau netral
yang artinya bahan pengemas tersebut tidak dapat bereaksi dengan
simplisia yang telah dibuat, kemudian harus mencegah kerusakan dan
mudah digunakan.
Jika sudah terkemas dengan rapih, simpesia harus diberi label agar
tidak tertukar dengan simplisia satu dan lainnya. Informasi pada label
yang dapat diberikan berupa nama ilmiah dan bagian yang digunakan,
asal bahan, tanggal panen, tanggal simpan, berat simplisia, status kualitas
bahan serta metode penyimpanan.
8. Penyimpanan
Proses penyimpanan dilakkan agar tersedia setiap saat, tidak terjadi
kerusakan ataupun penurunan dari mutu simplisia. Prinsip penyimpanan
harus berkaidah FIFO (First In First Out) sehingga mutunya selalu
terjamin dan mencegah adanya simplisia yang kadaluarsa. Kerusakan
simplisia dapat disebabkan oleh cahaya, oksigen diudara, reaksi kimia
internal, dehidrsi, penyerapan air, pengotoran, serangga atau kapang.
Penyimpanan simplisia yang mudah menyerap air harus disimpan dalam
wadah tertutup berisi kapur tohor. Untuk nahan yang bersifat fotolabil
harus di simpan dengan tutup rapat, untuk bahan simplisia umum dapat
disimpan dengan suku kamar (15-30 oC), pada tempat sejur (5-15 oC) ,
pada tempat dingin disimpang dalam 0-5oC
B. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pengolahan bahan alam untuk memperoleh
kandungan kimia yang akan dilarutkan dalam beberapa pelarut.
Terdapat 2 metode dalam ekstraksi yaitu metode ekstraksi dingin dan
metode ekstraksi panas. Metode ekstraksi dingin merupakan ekstraksi yang
terjadi pada suhu ruang atau normal tampa adanya proses pemanasan yang
digunakan untuk menarik senyawa yang bersifat termloabil.atau tidak tahan
dengan pemanasan.
Metode ekstraksi panas merupakan keterbalikan dari metode ekstraksi dingin
yaitu proses yang melalui proses pemanasan atau kenaikan suhu untuk
mempermudah dalam menarik kandungan kimia yang diinginkan bagi
senyawa yang bersifat termostabil atau senyawa stabil pada proses
pemanasan.
Metode ekstraksi dingin terdiri dari maserasi dan perkolasi, sedangkan pada
metode ekstraksi panas terdiri dari digesti, refluks, soxhketasi, infusa,
dekokta, dan destilasi.
a. Maserasi
Maserasi berasal dari kata macere yang berarti merendam.
Prosedurnya yaitu dengan merendam 1 bagian bahan baik simplisia basah
atau kering (serbuk) dengan 10 bagian pelarut yang sesuai dapat berupa
air atau pelarut organik. Bahab-bahan tersebut direndam pada pelarutnya
selama ±6 jam sambil sesekali di aduk lalu didiamkan selama 24 jam.
Setelah memperoleh filtratnya, langkah selanjutnya yaitu memisahkan
filtrat yang telah diperoleh dan dilakukan remaserasi atau penambahan
pelarut dengan jumlah yang sama pada residu yang dapat dilakukan 2-3
kali. Filtrat yang diperoleh baik melalui penyarian 1 hingga proses
remaserasi dikumpulkan.
Metode maserasi akan terhenti apabila keseimbangan konsentrasi
pelarut dengan bahan alam mengalami kejenuhan. Kelebihan dari metode
maserasi adalah proses pengerjaan dan alat yang digunakan lebih mudah
dan sederhana. Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan waktu
yang cukup lama.
b. Perkolasi
Metode perkolasi dilakukan dengan merendam bahan dengan
pelarut didalam perkolator,di tutup dan di diamkan selama 24 jam
kemudian dibuka keran perkulatornya, dibiarkan cairannya menetes
dengan kecepatan ±1 ml / menit. Disamping itu harus ditambahkan
pelarut hingga bahan selalu terendam. Penetesan tersebut dapat dihentikan
saat pelarut telah mencapai jumlah 10 kali jumlah bahan baku. Kemudian
massa bahan diperas dan dicampurkan cairan perasan kedalam perkolat
atau filtrat hasil penetesan. Dibiarkan selama 2 hari di tempat yang sejuk
dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Langkah selanjutnya yaitu
disaring
Pada prinsipnya, perkolasi menggunakan ekstraksi dengan
pengaliran pelarut baru. Bahan yang umum digunakan dalam metode
perkolasi ini berupa serbuk kering yang dilarutkan menggunakan etanol
atau etanol + air. Kelebihan dari metode perkolasi adalah filtrat yang
dihasilkan lebih jernih karena adanya tahapan penyaringan perkolat.
Disamping itu kekurangan dari metode ini yakni waktu yang dibutuhkan
lama serta membutuhkan pelarut yang banyak.
c. Digesti
Ekstraksi menggunakan metode ini dilakukan menggunakan bahan
berupa simplisia, segar, kering, serbuk dengan kandungan yang
termostabil atau tahan panas. Pelarut yang digunakan dapat berupa air
ataupun pelarut organik.
Prosedur pengerjaannya adalah dilakukan perendama dengan 1
bagian bahan dengan 10 bagian pelarut (1:10). Bahan dan pelarut
dimasukan ke dalam digestor yang akan melakukan pergerakan kinetik
pada suhu 40-50oC. Pada prinsipnya digesti ini merupakan proses
maserasi yang mengalami gerakan kinetik dengan tambahan suhu 40-
50oC.
Kelebihan dari metode ini adalah penyariannya lebih sempurna
dengan terdapat pemanasan yang disertai gerakan kinetik yang
menghasilkan kelarutan yang tinggi. Kekurangan dari metode ini adalah
tidak dapat digunakan pada bahan yang bersifat termolabil dengan
kelarutan yang rendah.
d. Refluks
Ekstraksi menggunakan metode refluks dilakukan menggunakan
simplisia yang bertekstur keras, seperti akar, batang, buah, dan biji
dengan kandungan senyawa bersifat termostabil. Pelarut yang digunakan
berupa pelarut organik.
Prosedur kerja dari metode ini adalah ekstraksi dengan pelarut
yang berada pada suhu titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah
pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik atau
kondensor. Pada umumnya dilakukan pengulangan proses residu pertama
hingga 3-5 kali sirkulasi. Pada prinsipnya ekstraksi akan secara sempurna
dan kontinyu pada titik didih pelarut yang dimana bahan dan pelarut akan
tercampur pada labu alas bulat dengan kelebihan akan diperoleh
kandungan kimia secara maksimal. Kekurangannya adalah proses yang
dilakukan memakan waktu yang lama, dan menggunakan alat-alat yang
moderen yang dilengkapi dengan pendingin balik atau kondensor.
e. Soxhletasi
Metode soxheltasi merupakan metode yang menggunakan
simplisia yang memiliki kandungan senyawa yang termostabil, dengan
menggunakan pelarut organik volatil atau pelarut yang mudah menguap.
Prosedur kerjanya yaitu ekstraksi yang dilakukan selalu
menggunakan pelarut yang baru, dengan alat khusus berupa soxhlet
sehigga terjadi ekstraksi yang berkesinambungan dengan jumlah pelarut
konstan dengan adanya pendingin balik sehingga dapat terjadi 3-6 kali
sirkulasi sampai tetesannya jernih. Kelebihan dari metode ini adalah dapat
diperoleh kandungan kimia secara maksimal. Namun kekurangannya
adalah membutuhkan proses yang lama, dan menggunakan alat-alat yang
moderen yang dilengkapi dengan pendingin balik atau kondensor.
f. Infusa
Infusa merupakan metode ekstraksi spesifik dengan mengguanakn
bahan berupa simplisia lunak dengan kandungan senyawa yang bersifat
termostabil. Pelarut yang digunakan adalah air.
Prosedurnya yaitu bejana infusa yang berisi bahan dan air yang
tercelup dalam penangas air dengan suhu 90oC selama 15 menit sembari
sesekali diaduk. Kemudian hasil dari infusa disaring saat panas
menggunakan kain flanel dan dapat ditambahkan air panas secukupnya
melalui residu agar didapatkan volume infus yang dikehendaki. Kelebihan
dari metode ini adalah prosesnya cepat dengan peralatan yang sederhana.
Namun kekurangannya adalah ketahannya singkat karena pelarut yang
digunakan hanya air, yang dapat dengan mudah ditumbuhi
mikroorganisme yang tentu saja tidak diinginkan.
g. Dekokta
Merupakan metode ekstraksi yang menggunakan bahan berupa
simplisia yang lebih keras dengan kandungan senyawanya bersifat
termostabil. Pelarut yang digunkan adalah air. Prosedur, alat dan bahan
yang digunakan tidak jauh berbeda dengan metode infusa namun waktu
pemanasan bahan dan pelarut yang dilakukan dalam bejana adalah 30
menit. Setelah selesai, hasil dari pemanasan dekokta disaring dan
dikumpulkan. Kelebihannya adalah caranya sederhana dengan perolehan
kandungan senyawa yang tinggi. Namun kekurangannya adalah prosesnya
lebih lama dibandingkan dengan metode infusa, ketahanannya singkat
karena menggunakan pelarut air sehingga memungkinkan di tumbuhi
mikroorganisme.
h. Destilasi
Metode ekstraksi destilasi ini merupaka metode yang
menggunakan bahan segar atau simplisia dengan kandungan senyawa
yang mudah menguap atau volatil seperti minyak atsiri dengan pelarut
yang digunakan berupa air.
Prosedur pengerjaannya adalah bahan akan tercelup dalam pelarut
air yang dimasukkan dalam labu yang dipanaskan dengan titik didih air
sehingga air dan minyak sama sama menguap, namun keduanya akan
terkondensasi dengan adanya pendinginan balik dengan fase uap air akan
kembali menjadi tetesan air secara kontinyu kedalam labu alas bulat.
Sedangkan minyaknya akan terpisah kedalam labu destilat. Kelebihan dari
metode ini adalah caranya cukup sederhana, sedangkan kekurangannya
adalah senyawa yang diperoleh hanya sebatas senyawa yang bersifat
volatil atau senyawa yang mudah menguap, dan prosesnya lebih lama.
C. Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam penelitian
fitokimia. Secara umum dapat dikatakan bahwa metodenya sebagian besar
merupakan reaksi pengujian warna dengan suatu pereaksi warna.
Salah satu hal penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut
untuk ekstraksi. Kesulitan lain dalam proses skrining fitokimia adalah adanya
false-positive result. Jadi, komposisi campuran senyawa yang terkandung
dalam tanaman dapat memberikan “hasil positif” meskipun senyawa yang
diuji tidak terkandung dalam tanaman tersebut. Atau dalam kemungkinan lain,
karena campuran beberapa warna hasil reaksi dari golongan senyawa-senyawa
lain dengan pereaksi yang digunakan pada akhirnya akan memberikan “hasil
positif”.
Hasil negatif atau false-negative result juga harus diwaspadai apakah benar-
benar senyawa yang diteliti tidak ada dalam sampel atau hasil yang negatif itu
disebabkan karena prosedur skrining yang digunakan tidak sesuai atau tidak
tepat. Karena alasan demikianlah yang menyebabkan skrining fitokimia sudah
banyak ditinggalkan dalam penelitian-penelittian bahan alam yang moderen,
sebagai gantinya penggalian referensi yang lebih diutamakan.
Skrining fitokimia atau penapisan kimia adalah tahapan awal untuk
mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung dalam tumbuhan, karena
pada tahap ini kita bisa mengetahui golongan senyawa kimia yang dikandung
tumbuhan yang sedang kita uji/teliti.
Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna
dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal yang berperan penting dalam
skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan ekstraksi
Metode yang digunakan dalam skrining fitokimia harus memiliki
persyaratan :
1. Metodenya sederhana dan cepat
2. Peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
3. Selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentu
4. Dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan senyawa
tertentu dalam kelompok senyawa yang diteliti.

Sebelum melakukan uji skrining fitokimia, dibutuhkan larutan uji. Cara


pembuatan larutan uji diantaranya yaitu timbang 1 g ekstrak larutkan dalam
etanol 25 ml + air 50 ml, panaskan di atas lampu spiritus. Saring. Filtrat yang
digunakan untuk uji alkaloid, flavonoid, tannin dan saponin.

1. Uji Alkaloid
Ambil 3 ml filtrat + HCl 2 N sebanyak 6 tetes, kocok hingga homogen
(dalam tabung reaksi)
a. Ambil 10 tetes filtrat + pereaksi mayer, kocok, amati (tabung reaksi)
b. Ambil 10 tetes filtrat + pereaksi dragendrof, kocok, amati (tabung
reaksi)
c. Ambil 10 tetes filtrat + pereaksi bauchardat, kocok, amati (tabung
reaksi)
d. Jika minimal 2 dari 3 uji tersebut terbentuk endapan, berarti positif
mengandung alkaloid
2. Uji Flavonoid
Ambil ± 1ml fitrat larutan uji + sedikit serbuk Mg, kocok + HCl pekat 1
ml + amil alkohol 2 ml, kocok (dalam tabung reaksi). Bila terbentuk
warna merah/kuning/jingga pada lapisan amil alkohol berarti positif
flavonoid.
3. Uji Tanin
a. Ambil 5 tetes larutan uji + aquades sampai warna agak pudar + FeCl 3
1 % sebanyak 1 atau 2 tetes (tabung reaksi). Terbentuk warna hijau
kehitaman atau biru kehitaman, berarti positif mengandung tanin.
b. Ambil 10 tetes larutan uji + larutan 2 tetes larutan gelatin 1%/NaCl
jenuh (dalam tabung reaksi). Terbentuk endapan berarti positif
mengandung tannin.
4. Uji Saponin
Ambil 10 tetes larutan uji, kocok kuat . Bila terbentuk busa, setinggi ± 1 –
10 cm, tambahkan HCl 2 N. Busa tetap ada, positif saponin.
5. Uji Triterpenoid
Diambil 2 mL ekstrak + 2 mL n-heksana, dikocok. Lapisan n-heksana
ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuk warna merah
menunjukkan adanya triterpenoid.
6. Uji Steroid
Diambil 2 mL ekstrak + 2 mL n-heksana, dikocok. Lapisan n-heksana
ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuk warna menjadi
biru kehijauan menunjukkan adanya steroid.
D. Fraksinasi
Fraksinasi merupakan suatu proses pemisahan senyawa-senyawa
berdasarkan tingkat kepolarannya. Jumlah senyawa yang dipisahkan menjadi
fraksi berbeda-beda tergantung pada jenis tumbuhan. Pada praktiknya, dalam
melakukan fraksinasi digunakan dua metode yaitu menggunakan corong pisah
dan kromatografi kolom. Corong pisah atau corong pemisah merupakan
peralatan laboratorium yang digunakan dalam ekstraksi cair-cair untuk
memisahkan komponen-komponen dalam suatu campuran antara dua fase
pelarut dengan densitas berbeda yang tidak tercampur. Umumnya salah satu
fase berupa larutan air dan yang lainnya berupa pelarut organik lipofilik
seperti eter, MTBE, diklorometana, ataupun etil asetat. Kebanyakan pelarut
organik berada diatas fase air kecuali pelarut yang memiliki atom dari unsur
halogen.
Fraksinasi merupakan proses pemisahan destilasi ke dalam bagian-bagian
dengan titik didih makin lama makin tinggi yang selanjutnya pemisahan
bagian-bagian ini dimaksudkan untuk destilasi ulang. Destilasi bertingkat
merupakan proses pemurnian zat atau senyawa cair, dimana zat pencampurnya
berupa senyawa cair yang titik didihnya rendah dan tidak berbeda jauh dengan
titik didih senyawa yang akan dimurnikan. Fraksinasi bertingkat umumnya
diawali dengan menggunakan pelarut non polar dan dilanjutkan dengan
pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai
konstanta dielektik pelarut.
E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)/ Thin Layer Chromatography
Kromatografi lapis tipis merupakan teknik kromatografi yang berdasar
pada prinsip absorpsi, berbeda dengan kromatografi kolom, yaitu konfigurasi
KLT yang berbentuk Planar (plante).nfase diamnya berupa padatan yang
diaplikasikan berbentuk datar pada permukaan kaca atau aluminium sebagai
penyangga sedangkan fase geraknya berupa zat cair seperti yang digunakan
dalam kromatografi kolom dan kromatografi kertas.
1. Teknik standar
Untuk melakukan KLT dapat digunakan plat yang sudah jadi dan
dapat dibeli melalui supplier bahan kimia atau dapat dibuat sendiri dengan
menyediakan bubur adsorben untuk diratakan di atas penyangga.
Teknik melakukan KLT dapat diringkaskan sebagai berikut :
1) Lapisan tipis absorben dibuat pada permukaan plat kaca atau
aluminium berukuran 4 cm x 10 cm.
2) Larutan campuran senyawa diteteskan pada jarak tertentu dari dasar
plat ± 1,5 cm menggunakan pipet mikro agar volume totolan daat
diketahui untuk analisis yang bersifat kuantitatif dan dapat
menggunakan pipa kapiler yang diruncingkan untuk analisis kualitatif.
3) Pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel diuapkan atau
dijenuhkan terlebih dahulu dengan membiarkan sejenak plat yang
telah ditotol dengan sampel sebelum dimasukkan dalam bejana
pengembang (development chamber) yang berisi fase gerak atau
eluen.
4) Fase kromatografi dielusi dengan mencelupkannya kedalam chamber
yang telah dijenuhkan tersebut.
5) Komponen senyawa yang akan bergerak dengan kecepatan berbeda
sesuai interaksi absorpsinya dengan fase diam.
6) Kromatografi diakhiri ketika fase gerak telah mencapai jarak tertentu
dari ujung plat yang lain. Senyawa senyawa yang berbeda satu sama
lain akan memiliki perbandingan jarak tempuh senyawa terhadap jarak
tempuh fase gerak yang berbeda pula. Nilai perbandingan ini
dinamakan Rf (retardation factor).
1. Fase diam
Pada dasarnya jenis padatan yang digunakan pada
kromatografi kolom dapat digunakan pada KLT. Beberapa jenis
absorben dan penggunaannya diantaranya :
1) Silica gel : asam-asam amino, alkaloid, asam-asam lemak dan
lain-lain.
2) Alumina : alkaloid, zat warna, fenol-fenol dan lain-lain.
3) Kielsghur (tanah diatome) : gula, oligosakarida, trigliserida
dan lain-lain.
4) Selulosa : asam-asam amino, alkaloid dan lain-lain.

Dalam perdagangan banyak dijumpai plat KLT yang terbuat dari


silika gel dengan jenisnya diantaranya :

1) Silika gel G : mengandung 13 % CaSO4 sebagai bahan perekat.


2) Selika gel H : tanpa kandungan CaSO4
3) Selika gel PF : mengandung bahan Fluoresensi
2. Fase Gerak
Baik fase diam maupun fase gerak hanya digunakan
bersama-sama dalam KLT ketika proses kromatografi berlangsung
melalui kesetimbangan yang melibatkan lapisan tipis adsorben,
fase pelarut dan fase uap pelarut. Dengan demikian solvent tidak
selalu ekuivalen dengan fase gerak karena sering komposisi
keduanya berbeda sepanjang jalur plat meskipun digunakan fase
gerak yang sama dengan pelarut.
Sifat-sifat ideal pelarut yang digunakan pada KLT antara
lain :
1) Tersedia dalam bentuk yang sangat murni dengan harga yang
memadai.
2) Tidak bereaksi dengan komponen dalam sampel maupun
material fase diam
3) Memiliki viskositas dengan tegangan permukaan yang sesuai.
4) Memiliki titik didih yang rendah untuk memudahkan
pengeringan setelah pengelusian.
5) Mempunyai kelarutan yang ideal pada berbagai campuran
solvent.
6) Tidak toksik dan mudah pembuangan limbahnya.

Ada berbagai kondisi KLT yang bertujuan untuk menaikan


kemampuan teknik kromatografi, salah satunya adalah sistem fase
normal (normal phase sistems). Sistem fase normal yaitu
penggunaan fase diam polar yang dikombinasikan dengan
berbagai fase gerak non air (non aqueous mobile phase). Tipikal
fase diam yang sering dikatakan besifat polar antara lain silika gel,
alumina dan berbagai material fase terikat polar lainnya seperti
siano-silika, amino-silika dan diol-silika dimana proses adsorpsi
memainkan peran penting dalam pemisahan.

Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fase gerak yang


kompetitif untuk KLT antara lain adalah parameter kelarutan
(solubility parameter), indeks polaritas (polarity indeks) dan
kekuatan sebagai solvent (solvent strength). Parameter kelarutan
menunjukan kemampuannya untuk berkombinasi dengan beragam
pelarut lain. Indeks polaritas menunjukan besaran empirisyang
digunakan untuk mengukur ketertarikan antar molekul dalam
solute dengan molekul solvent pada paremeter kelarutan solvent
yang bersangkutan dalam keadaan murninya. Sementara kekuatan
pelarut dinyatakan sebagai bilangan tanpa satuan yang berkisar
antara -0,25 sampai +1,2 yang ditentukan melalui energi adsorpsi
oleh molekul solvent yang bersangkutan.

3. Pengembangan/ Elusi
Langkah pengembangan (defelopment process) merupakan
istilah untuk mengaplikasikan fase gerak ke dalam fase diam
sehingga proses pemisahan dapat berlangsung.
4. Visualisasi
Visualisadi atau spotting merupakan langkah-langkah untuk
menampilkan noda-noda yang terbentuk dari proses elusi atau
pengembangan. Visualisasi ada yang bersifat dekstruktif dan non
dekstruktif. Beberapa cara yang dapat digunakan adalah uap
iodium, sinar UV, Charring/penyemprotan.
5. Identifikasi
Banyak pereaksi kimia yang digunakan untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa dari gugus fungsi tertentu.
Biasanya reagensia ini dijual berikut botol untuk
penyemprotannya sehingga bahan ini bersifat khusus. Reagensia
yang spesifik ini banyak jenisnya, diantaranya larutan ninhidrin,
anilin ftalat, anisaldehid dalam H2SO4 dan CH3COOH, antimon
klorida dalam CHCl3, 2,4 dinitro fenil hidrazin (2,4 DNPH),
feriklorida, flouresein Br2 dan bromokresol hijau.
6. Macam-macam teknik KLT
Dengan melakukan beberapa modifikasi akan diperoleh metode
kromatografi lapis tipis yang bekerja sesuai dengan keinginan dan
tujuan yang dikehendaki.
1) KLT Preparatif
a. Dengan cara ini, dibuat tebal lapisan absorben kurang
lebih 1-1,5 mm.
b. Larutan absorben yang digunakan harus lebih kental.
c. Setelah absorben dilapiskan pada permukaan plat
penyangga, dilakukan pengeringan pada suhu kamar untuk
mencegah case hardening (pengeringan yang tidak merata
dan penebalan pada suatu zona).
d. Sampel yang akan dianalisis dipekatkan terlebih dahulu
sebelum di KLT.
e. Komponen yang diperoleh dari proses pengembangan
dikumpulkan dengan cara pengerokan pada noda yang
dikehendaki.
f. Hasil pengerokan dilarutkan dengan pelarut yang sesuai
dan dilakukan analisis lebih lanjut.
2) KLT Kuantitatif
Umumnya KLT sangat sukar untuk keperluan analisis
kuantitatif, akan tetapi beberapa pendekatan dapat dilakukan
untuk memenuhi hal tersebut, diantaranya :
a. Analisis langsung pada plat dengan teknik pengukuran
berat dengan densitometer, pengukuran radioaktivitasnya
untuk senyawa yang ditandai dengan unsur radioaktif,
pengujian dengan AAN (analisis aktivasi neutron).
b. Analisis gravimetri
Cara ini dilakukan dengan langkah isolasi komponen
seperti langkah preparatif, ekstraksi, pemekatan dan
ditimbang. Namun hasilnya bersifat kasar karena
perolehan kembali dengan cara ini sangat rendah.
c. Analisis spektroskopi
d. Senyawa yang telah diisolasi, dianalisis lanjut dengan
metode spektrometri atau spektrofotometri.
3) KLT dengan Argentasi
Cara ini sangat cocok untuk senyawa-senyawa yang
memiliki jumlah ikatan rangkap yang berbeda dan berada pada
satu sampel, misalnya adalah asam-asam lemak tak jenuh yang
terdapat pada sampel minyak nabati. Teknik dilakukan dengan
memasukan garam argentum (Ag) ke dalam plat KLT.
Ada 3 metode untuk mendapatkan plat terargentasi, yaitu :
a. Penyemproyan play KLT dengan larutan AgNO3 10 %
dalam etanol.
b. Mencelupkan plat dalam larutan AgNO 3 10-12 %
c. Mencampurkan AgNO3 dalam absorben pada pembuatan
plat KLT.

Untuk KLT argentasi, pelarut yang sering digunakan adalah


campuran heksan-eter dengan proporsi yang variatif.

7. Penentuan Rf (Retardation Factor)


Dalam kromatografi, Rf dinyatakan sebagai perbandingan
jarak yang digerakan oleh senyawa dari titik awal terhadap jarak
yang digerakan oleh pelarut dari titik awal aplikasi. Dengan rumus
yang dapat dinyatakan sebagai berikut :

jarak yang digerakan senyawa


Rf =
jarak yang digerakan pelarut

Untuk analisis kuantitatif, nilai Rf senyawa yang tidak


diketahui dibandingkan dengan harga Rf senyawa standarnya
digunakan untuk menentukan jenis senyawa yang sedang
dianalisis.
III. Metodelogi

a. Bahan

o Ekstrak Daun Tambora


o Aquades
o HCL
o Mayer
o Dragendrof
o Bauchardat
o Serbuk Mg
o Amil Alkohol
o FeCl
o n-heksana
o Libernann Burchard
o Etanol
o Air
o Etil Asetat

o Alat
o Rak tabung
o penjepit kayu
o lampu spritus
o Kasa asben
o Kaki Tiga
o Erlenmeyer
o Beaker glass
o Gelas ukur
o Corong
o Kertas Sarinng
o Kaca Arloji
o Batang Pengaduk
o Spatel
o Statif dan Klem
o Corong pisah
o Cawan porselen
o Pipet Tetes
o Oven
o Lampu UV
o Kompor

b. Cara kerja
- Pembuatan simplisia

 Pengambilan bahan baku yaitu daun tambora atau daun bandotan


Bahan baku berupa akar kuning diambil sebanyak 2 kg, dengan kualitas
yang bagus.
 Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan, dengan memisahkan dari daun dan kotoran
lainnya dari daun tambora atau daun bandotan.
 Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi
mikroorganisme yang menempel pada daun tambora atau daun
bandotan ,dilakukan pada air mengalir.
 Perajangan
Perajangan akar kuning dengan kisaran ukuran 1-2 cm.
 Pengeringan
Dilakukan selama 3 hari, 1 hari terkena matahari langsung, 3 hari
dijemur dalam suhu ruang.
 Sortasi kering
Setelah pengeringan daun tambora atau daun bandotan , masih ada sisa
kotoran yang menempel pada daun tambora atau daun bandotan, sebelum
dikemas kotoran tersebut dibersihkan dari daun tambora atau daun
bandotan.
 Pengepakan
Simplisia daun tambora atau daun bandotan di simpan di tempat kering
Dan terhindar dari paparan sinar matahari langsung.

- Ekstraksi

 Masukan ± 300 gram simplisa akar kuning kedalam toples kaca.


 Tambahkan etanol 70 % sebanyak 3 liter kedalam toples.
 Diamkan selama 5 hari
 Saring menggunakan vacum atau secara manual.
 Ekstrak paling bersih adalah onemed
 Masukan ekstrak cair yang sudah disaring kedalam botol atau wadah
 Siapkan cawan 150 ml, lalu timbang berat cawan kosong tersebut.
 Masukan ekstrak cair kedalam cawan, uapkan diatas penangas
 Tambahkan ekstrak cair dalam botol jika ekstrak dalam cawan mulai
menyusut
 Lakukan berulang kali sampai ekstrak cair dalam botol habis dan didapatkan
ekstrak kental dari daun tambora atau daun bandotan.

1. Skrining Fitokimia Ekstrak


Buat larutan uji dengan menimbang ekstrak sebanyak 0,5 g dan larutkan dalam
etanol sebanyak 50 ml, panaskan diatas lampu spiritus. Digunakan untuk uji
alkaloid, flavonoid, tanin dan saponin
a. Uji Alkaloid
Ambil 3 ml filtrat lalu ditambahkan HCI 2 n sebanyak 6 tetes kemudian kocok
hingga homogen.
 Ambil 10 tetes filtrat kemudian ditambahkan pereaksi mayer, kocok, lalu
amati (tabung reaksi)
 Ambil 10 tetes filtrat kemudian ditambahkan pereaksi dragendrof, kocok, lalu
amati (tabung reaksi)
 Ambil 10 tetes filtrat kemudian ditambahkan pereaksi bauchardat, kocok,lalu
amati (tabung reaksi)
 Jika minimal 2 dari 3 uji tersebut terbentuk endapan, berarti positif
mengandung alkaloid

b. Uji Flavonoid
 Ambil ± 1ml fitrat larutan uji tambahkan sedikit serbuk Mg, kemudian
kocok, tambahkan HCl pekat 1 ml, tambahkan amil alkohol 2 ml, kocok
(dalam tabung reaksi). Bila terbentuk warna merah/kuning/jingga pada
lapisan amil alkohol berarti positif flavonoid.

c. Uji Tanin
 Ambil 5 tetes larutan uji tambahkan aquades sampai warna agak pudar,
tambahkan FeCl3 1 % sebanyak 1 atau 2 tetes (tabung reaksi). Terbentuk
warna hijau kehitaman atau biru kehitaman, berarti positif mengandung tanin.
 Ambil 10 tetes larutan uji + larutan 2 tetes larutan gelatin 1%/NaCl jenuh
(dalam tabung reaksi). Terbentuk endapan berarti positif mengandung tanin.

d. Uji Saponin
 Ambil 10 tetes larutan uji, kocok kuat . Bila terbentuk busa, setinggi ± 1 – 10
cm, tambahkan HCl 2 N. Busa tetap ada, positif saponin.

e. Uji Triterpenoid
Diambil 2 mL ekstrak + 2 mL n-heksana, dikocok.
Lapisan n-heksana ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard.
Terbentuk warna merah menunjukkan adanya triterpenoid.

f. Uji Steroid
Diambil 2 mL ekstrak + 2 mL n-heksana, dikocok.
Lapisan n-heksana ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard.
Terbentuk warna menjadi biru kehijauan menunjukkan adanya steroid.
- Fraksinasi bertingkat
 Timbang ekstrak sebanyak 5 g dilarutkan dalam campuran etanol-air 100 ml
 Bila larutan a terlarut sempurna, maka tidak dilakukan penyaringan
 Dimasukkan ke dalam corong pisah ditambah n-hexane 20 ml. Dilakukan
sebanyak 2 kali.
 Kemudian hasil fraksinasi dimasukkan ke dalam botol vial dan beri label
 Lalu Fraksi Etanol-air ditambah etil asetat 20 ml. Dilakukan sebanyak 2 kali
 Hasil fraksinasi dimasukkan dalam vial dan beri label
 Diperoleh fraksi n-hexane dan etil asetat
 Semua fraksi diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental

2. Kromatografi Lapis Tipis


 Potong plat silika 10 x 4, dimasukkan dalam oven (diaktifkan) suhu 105 0C
selama 30 menit. Buat garis 1,5 cm dari batas bawah dan 0,5 cm dari batas
atas.
 Siapkan chamber dan dijenuhkan dengan eluen etil asetat 12 : 8 dan N-
heksana 16 : 4
 Lakukan elusi
 Keluarkan plat silika, amatilah dibawah lampu UV
 Bila terbentuk noda, hitung nilai Rf nya

IV. Hasil dan Pembahasan

A. Simplisia

- Organoleptis
Warna: hijau tua
Bau : bebau lemah
Bentuk :bulat,telur,bagian pangkal membulat dengan ujung runcing
Rasa : pahit

- Berat segar, penyusutan


- Sumber bahan baku: kebun
- Waktu pemanenan & alasan:
Panen dilakukan dipagi hari untuk mengurangi respirasi daun tambora

B. Ekstraksi
- Berat cawan kosong ; 49,34 gram
- Cawan terisi : -
- Ekstrak : 24,76 gram
- Simplisia kering : 250 gram
24,76 g
- Rendemen : x 100%
115 g
= 0,22 x 100 %
= 22 %
Jadi , Rendemen ekstrak dari simplisia kering dan ekstrak kental
adalah 22 %

C .Skrining fitokimia

No. Golongan senyawa Hasil Keterangan

1. Uji Alkaloid Terbentuk endapan

Pereaksi mayer +

Pereaksi dragendrof +

Pereaksi bauchardat +

2. Uji Flavonoid + Terbentuk lapisan


amil alkohol

3. Uji Tanin + Terbentuk warna


hijau kehitaman
4. Uji Saponin -

5. Uji Triterpenoid -

6. Uji Steroid -

D. Fraksinasi
Hasil fraksinasi dimasukkan ke dalam vial berlabel, diperoleh 3
fraksi
(fraksi n-hexane, fraksi etil asetat, dan fraksi etanol air ) , kemudian
semua fraksi diuapkan untuk mendapat ekstrak kental , dan masing-
masing fraksi dimasukkan kedalam 3 botol vial 10 ml dengan ukuran
setengah botol vial ( 5ml)

E. Hasil KLT

Eluen 8:2
a .preaksi n-heksa b.preaksi etil asetat c.etanol air
2 cm 0,9 cm
Rf1: : - Rf 1:
7,7 cm 7,7 cm
=0,11 cm
= 0,25 cm

3,1 cm
Rf 2: -
7,7 cm
= 0,40 cm

4,2 cm
Rf 3: -
7,7 cm

= 0, 54

5,3 cm
Rf 4: : -
7,7 cm
= 0,68 cm

Eluen 6:4
a .preaksi n-heksan b.preaksi etil asetat c.etanol- air
0,7 cm 1 cm
Rf1: - Rf 1:
7,7 cm 7,7 cm
= 0,09 = 0,12 cm

2,9 cm 2,3 cm
Rf 2: - Rf 2:
7,7 cm 7,7 cm
=0,37 cm = 0,29 cm

3,7 cm 2,9 cm
Rf 3: - Rf3 :
7,7 cm 7,7 cm

=0,48 cm = 0,37 cm
4,5 cm
Rf 4 : 7,7 cm

=0,58 cm
5,9 cm
Rf5 :
7,7 cm
=0,76 cm

7,4 CM
Rf 6 :
7,7 CM
= 0,96

V. Kesimpulan

Daun tambora atau daun bandotan ( Ageratum conyzoides L ) Helaian daun bundar telur


hingga menyerupai belah ketupat, 2–10 × 0,5–5 cm; dengan pangkal agak-agak seperti
jantung, membulat atau meruncing; dan ujung tumpul atau meruncing; bertepi beringgit
atau bergerigi.
Setelah dilakukan berbagai uji percobaan terhadap daun tambora atau daun
bendotan ( Ageratum conyzoides L ) ditemukan bahwa daun tambora atau daun bandotan
mengandung alkaloid, flavonoid, dan mengandung tannin, tidak mengandung saponin,
triterpenoid, steroid.
Kemudian dilakukan fraksinasi bertingkat hingga didapatkan 3 fraksi, yaitu fraksi
n-hexane, fraksi etilasetat, dan fraksi etanol-air. Kemudian semua fraksi di uapkan untuk
mendapat ekstrak kental, dan masing-masing fraksi di masukan kedalam 3 botol vial 10
ml dengan ukuran setengah botol vial (5 ml).

Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan pratikum ini masih jauh yang
diharapkan dari segi isi ,untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun dari kesempurnaan Laporan pratikum ini dimasa yang akan datang
DAFTAR PUSTAKA

Farmakope indoensia edisi III tahun 1979


Rukmi,Iswono.2009.keanekaragaman aspergillus paada berbagai simplisa jamu
tradisional.semarang:jurusan biologi,universitas diponogoro.
Sudjadi, 1988.metode pemisahan,fakultas farmasi,universitas gajah mada
Hargono, D. dkk, 1986, Sediaan Galenik, Direktorat Jendral Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anam,choirul,2010”ekstrak oleoresin jahe .kajian dari ukuran bahan,pelarut,waktu dan
suhu”. Jurnal pertanian MAPETA.vol.XII, no 2 p; 72-144 ISSN:2817.

Depkes RI,2000; Depkes RI 1995


Sitorus,marham,(2010),kimia organic umum,graha ilmu,Yogyakarta.
Farmakope Herbal Indonesia Edisi II
LAMPIRAN
- Pembuatan Simplisia

- Ekstraksi

- Skrining Fitokimia
- Fraksinasi

- Kromatografi Lapis Tipis

Anda mungkin juga menyukai