Anda di halaman 1dari 8

Tugas Mata Kuliah Penerapan Kode Etik Psikologi

Dosen Pengampu:
1. Dr. Arlina Gunarya, M. Sc.
2. Dra. Dyah Kusumarini, Psych.
3. Umniyah Saleh, S.Psi., M.Psi., Psikolog

TUGAS AKHIR
MATA KULIAH PENERAPAN KODE ETIK PSIKOLOGI

OLEH:

Nurul Baiti
(Q11113303)
PSIKOLOGI A

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
PENDAHULUAN

Dilema etik adalah suatu kondisi yang mengharuskan kita mengambil keputusan, dimana

setiap alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada situasi ini, kita akan mengalami

kesulitan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Dilema etik biasanya

muncul pada saat nilai-nilai yang kita anut tidak sejalan dengan situasi yang kita hadapi sehingga

menyebabkan terjadinya pertentangan dalam mengambil keputusan. Namun, untuk membuat

keputusan yang etis, seseorang seyogyanya bergantung pada pemikiran yang rasional, bukan

emosional.

Dilema etik ini sering terjadi di berbagai ruang lingkup kehidupan dan keprofesian, salah

satunya bermatra Psikologi. Kita tidak bisa memungkiri bahwa dewasa ini banyak orang yang

demi mencapai suatu tujuan rela menghalalkan berbagai cara. Disinilah kita dituntut untuk

mengambil keputusan secara etis, mengingat kita berada di bawah naungan HIMPSI dengan

kode etik yang telah diterbitkan. Namun, ada beberapa cara untuk mengatasi situasi seperti ini

dan mengambil keputusan yang tepat. Salah satunya adalah dengan menerapkan “ethical

decision making”. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai dilema etik

bermatra Psikologi, serta hubungan “ethical decision making” dengan penerapan kode etik.
PEMBAHASAN

1. DILEMMA ETIK BERMATRA PSIKOLOGI

Seorang Psikolog atau ilmuwan Psikologi sangat mungkin menghadapi kondisi dilemma
bermatra etik di bidang Psikologi. Bagaimana tidak? Kita tidak bisa menampik bahwa sebagian
besar masyarakat saat ini rela melakukan apapun demi mencapai tujuannya. Lalu mengapa hal
tersebut dapat menyebabkan kita mengalami dilemma?

Kita bisa mengambil salah satu contoh ilustrasi kasus, misalnya saat ini kita bekerja di
bidang HRD di salah satu perusahaan yang cukup besar di kota Makassar. Kemudian salah
seorang anggota keluarga kita, sebut saja kakak laki-laki yang sedang berjuang untuk bisa masuk
ke perusahaan tersebut. Beberapa hari sebelum mengikuti tes di perusahaan tersebut, dia
mengiming-imingi kita dengan uang dalam jumlah yang cukup besar agar mendapatkan bocoran
tes yang akan dihadapinya, dan agar hasil tesnya bisa dimanipulasi mengingat kita memiliki
posisi yang cukup sentral di bidang HRD perusahaan tersebut. Hal ini tentu menciptakan kondisi
dilemma bagi kita. Di satu sisi, sebagai seorang Psikolog kita diikat oleh suatu aturan atau kode
etik keprofesian. Sedangkan di sisi lain, muncul sifat manusiawi berupa keinginan untuk
membantu orang lain, terlebih lagi dia tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu anggota
keluarga kita.

Selain contoh kasus diatas, salah satu situasi yang dapat membawa kita ke dalam kondisi
dilemma adalah ketika kita sebagai seorang Psikolog atau ilmuwan Psikologi diminta untuk
memberikan pernyataan terkait sebuah kasus atau berita yang sedang ramai dibincangkan oleh
publik. Tentu kita tidak memberikan pernyataan secara cuma-Cuma, melainkan kita akan
diiming-imingi dengan bayaran yang juga dalam jumlah yang cukup besar. Nah hal ini tentu
membuat kita jadi dilemma. Di satu sisi kita sebagai manusia biasa membutuhkan uang untuk
bisa bertahan hidup dan tidak menutup kemungkinan dengan memberikan pernyataan melalui
media kita bisa dikenal oleh banyak orang dan akhirnya mendapatkan banyak panggilan
setelahnya. Sedangkan di sisi lain kita terikat oleh aturan yang telah dijelaskan dalam kode etik
Psikologi yang dikeluarkan oleh HIMPSI pada tahun 2010 mengenai pemberian pernyataan di
media.
Mungkin kedua kasus diatas bagi sebagian orang adalah situasi yang sebenarnya sangat
sering dijumpai, sangat mudah untuk dihadapi, dan bahkan sangat mudah untuk diselesaikan.
Tapi sebagai seorang psikolog atau ilmuwan psikologi tentunya butuh pertimbangan yang
matang dalam mengambil keputusan, meskipun tetap saja mau tidak mau kita seyogyanya
mengikuti kode etik yang telah ditetapkan.

Terlepas dari kondisi dilemma tersebut, dapat dilihat dengan jelas dari kedua contoh kasus
tersebut bahwa jika kita tidak memiliki integritas diri yang kuat, maka kita dapat melanggar kode
etik Psikologi. Contoh kasus pertama dapat melanggar prinsip B mengenai Integritas dan Sikap
Ilmiah poin (2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran,
kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi dan poin (3) Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud), tipuan atau
distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar.
Selain itu, contoh kasus tersebut juga dapat melanggar prinsip E mengenai Manfaat, khususnya
pada poin (3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan
adanya faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organi-sasi maupun politik yang mengarah pada
pe-nyalahgunaan atas pengaruh mereka. Kemudian contoh kasus yang kedua dapat melanggar
pasal 31 tentang Pernyataan Melalui Media dimana dijelaskan bahwa Psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi dalam mem-berikan keterangan pada publik melalui media cetak atau elektronik harus
berhati-hati untuk memastikan bahwa pernyataan tersebut: a) Konsisten terhadap kode etik; b)
Berdasar pada pengetahuan/pendidikan profesional, pelatihan, konsep teoritis dan konsep praktik
psikologi yang tepat; c) Berdasar pada asas praduga tak bersalah; d) Telah mempertimbangkan
batasan kera-hasiaan sesuai dengan pasal 24 buku kode etik ini; e) Pernyataan melalui media
terkait dengan bidang psikologi forensik terdapat dalam pasal 61 buku kode etik ini.

2. LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN UNTUK MENGHINDARI


TERJADINYA PELANGGARAN KODE ETIK

Nah selanjutnya yang harus kita fikirkan adalah apa yang sebaiknya kita lakukan agar
terhindar dari pelanggaran kode etik pada saat situasi-situasi seperti itu muncul? Tentunya yang
paling penting adalah bagaimana menjaga integritas diri. Ketika kita konsisten dengan nilai-nilai
yang kita anut, maka kita akan terhindar dari yang namanya pelanggaran kode etik, meski
berhadapan dengan berbagai macam “virus” diluar sana. Mengetahui kelemahan diri sendiri pun
sangat penting. Ketika kita dihadapkan pada situasi dilemma seperti contoh kasus diatas, ketika
kita menyadari bahwa kita tidak bisa memilih antara tanggung jawab terhadap pekerjaan dan
keluarga, maka kita membutuhkan bantuan rekan sejawat lain, atau dengan kata lain kita bisa
meminta bantuan psikolog lain untuk melakukan tes pada anggota keluarga yang akan melamar
pada perusahaan tempat kita bekerja tersebut. Selanjutnya yang tak kalah penting adalah
memahami batasan-batasan dalam kode etik sehingga kita mengetahui mana yang perlu kita
lakukan dan mana yang tidak, atau dengan kata lain kita dapat mengetahui sejauh mana kita bisa
bertindak.

3. ETHICAL DECISION MAKING DAN PENEGAKAN KODE ETIK

Dalam keseharian kita sebagai seorang pelajar ataupun seorang dengan profesi tertentu, kita
akan mengenal istilah “ethical decision making” yang merupakan proses atau cara membuat
keputusan oleh setiap profesional yang mengabdi pada suatu bidang pekerjaan tertentu, tak
terkecuali di bidang Psikologi. Buccholz (dalam Wittmer, 1992) mendefenisikan keputusan etis
sebagai keputusan yang diambil yang menyangkut keadilan dan hak sebagai sesuatu yang serius
dan relevan dengan pertimbangan moral. Jones (1991) juga menyatakan ada 3 unsur utama
dalam pembuatan keputusan etis, yaitu moral issue, moral agent, dan ethical decision. Moral
issue menyatakan seberapa jauh seseorang melakukan sebuah tindakan serta kerugian dan
keuntungan dari tindakan tersebut. Moral agent adalah seseorang yang membuat keputusan. Dan
ethical decision itu sendiri, yang merupakan sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat
diterima oleh masyarakat lain.

Istilah “ethical decision making” ini tentu sangat berkaitan dengan penegakan kode etik
dimana ketika kita dapat mengambil keputusan secara etis maka tentu kita akan terhindar dari
pelanggaran kode etik keprofesian kita. Dengan mengambil keputusan secara etis, maka kita
telah mempertimbangkan banyak hal didalamnya karena terlebih dahulu kita melakukan
beberapa langkah-langkah dalam mengambil keputusan, kita mempertimbangkan baik buruknya
keputusan yang akan kita ambil, dan mengidentifikasi aturan serta kode etik yang mungkin akan
dilanggar jika mengambil keputusan tersebut. Jika semua Psikolog atau ilmuwan Psikologi
memanfaatkan pengambilan keputusan model ini, maka hal tersebut tentu akan meminimalisir
terjadinya pelanggaran terhadap kode etik keprofesian kita. Namun pada kenyataannya, masih
banyak orang yang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang akan
didapatkan.

Adapun proses pembentukan dan pengambilan keputusan dalam “ethical decision making”
menurut May, R. Douglas, yaitu:

 Mengumpulkan fakta-fakta terkait keputusan yang akan diambil


Langkah pertama ini dilakukan agar kita tidak “jumping to conclusions” tanpa fakta
yang kuat. Namun perlu digarisbawahi bahwa tidak semua fakta bisa digunakan
sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.
 Menentukan masalah etika
 Mengidentifikasi pihak yang terkena dampak, baik yang terkena dampak secara
langsung maupun secara tidak langsung serta mencoba melihat dari sudut pandang
orang-orang yang terkena dampak tersebut.
 Mengidentifikasi konsekuensinya, baik konsekuensi positif maupu nnegatif,
konsekuensi jangka pendek ataupun jangka panjang.
 Mengidentifikasi kewajiban kita sendiri, serta kode etik yang terkait dengan
keputusan yang akan diambil.
 Mempertimbangkan karakter dan integritas diri mengingat integritas diri merupakan
hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap idnidivud.
 Berfikir secara kreatif tentang tindakan yang akan diambil
 Menentukan tindakan etis yang tepat dan menyiapkan diri apabila ada orang lain yang
berargumen berbeda.

Langkah yang penting untuk diingat disini adalah mempertimbangkan konsekuensi yang
akan didapatkan setelah mengambil keputusan tersebut serta orang-orang yang mungkin terlibat
didalamnya. Karena kita tidak hidup sendiri, diluar sana banyak orang lain yang mungkin akan
terkena dampak dari keputusan yang akan diambil. Dan yang paling penting adalah memiliki
integritas diri yang tinggi agar terhindar dari pelanggaran kode etik.

Dalam keadaan kritis, dimana kondisi dilemma mengandung implikasi bahaya yang
mendesak, (spt: kemungkinan ada yang terluka, terbunuh dst), bagaimana seyogyanya “ethical
decision making” diambil? Mungkin beberapa dari kita pernah menghadapi situasi seperti diatas,
lantas bagaimana cara kita mengambil keputusan secara etis? Ketika kita misalnya tidak
diperbolehkan untuk berbohong, lalu kemudian dihadapkan pada situasi dimana ketika kita
berkata jujur maka ada seseorang yang akan terbunuh? Lantas langkah apa yang sebaiknya kita
ambil?

Jujur saja saat menjawab pertanyaan ini saya sendiri merasa dilemma. Namun jika
mengikuti langkah-langkah pengambilan keputusan secara etis diatas, tentu saja akan sangat
memungkinkan bagi kita melakukan pelanggaran kode etik. Jika kita hanya memikirkan
konsekuensi dan orang-orang yang akan mendapatkan dampak dari keputusan yang akan kita
ambil. Namun tentu saja kita harus mengikuti langkah pertama, kita harus mengumpulkan fakta-
fakta dibalik situasi tersebut terlebih dahulu, jangan sampai kita jumping to conclusions dan
mengambil keputusan yang tidak tepat. Nah, yang terpenting adalah ada step berfikir kreatif,
dimana kita tidak bisa hanya memikirkan 2 alternatif saja, melainkan kita seyogyanya memiliki
beberapa alternatif lainnya, sehingga ketika kita dihadapkan pada situasi yang genting seperti
diatas, kita dapat mengambil keputusan yang tepat dan bijak serta tidak perlu memakan korban.
Di satu sisi kita tidak melanggar kode etik karena memiliki integritas diri yang tinggi, dan di sisi
lain kita bisa menyelamatkan nyawa orang lain.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai Psikolog atau ilmuwan
Psikologi kita tidak bisa menghindari situasi dilemma etik yang bermatra Psikologi. Namun
bukan berarti kita tidak bisa menghindari atau mengatasi situasi tersebut. Ada berbagai macam
cara untuk bisa menghindari dan mengatasi situasi tersebut, salah satunya adalah dengan
menerapkan “ethical decision making”. Dengan cara tersebut kita dapat mengidentifikasi
keuntungan serta kerugian dari keputusan yang dapat kita ambil serta mempertimbangkan kode
etik keprofesian kita. Dengan cara tersebut, maka kita bisa meminimalisir pelanggaran kode etik
dalam berbagai macam situasi.

Saran apa yang bisa dijadikan pedoman bersama dalam menghadapi situasi kritis, darurat,
terbatasnya waktu, dst? Nah saran saya dalam menghadapi situasi darurat adalah tetap berpegang
teguh pada kode etik keprofesian kita, mengetahui batasan-batasan kode etik tersebut, sehingga
kita bisa mengambil keputusan dalam situasi tersebut dengan tetap mematuhi batasan-batasan
yang ada dan dapat menyelamatkan orang lain. Namun tetap saja menyelamatkan orang lain juga
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Tapi jika kita bisa menyelamatkan orang
lain tanpa melanggar kode etik keprofesian kita, kenapa kita harus mengorbankan salah satunya?
Disinilah peran proses berfikir kreatif. Yang jelas, keputusan yang kita ambil harus kita
pertanggungjawabkan, entah itu di hadapan Majelis Psikologi Indonesia, maupun di hadapan
Tuhan.

Referensi :

HIMPSI. 2010.Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: HIMPSI.

Jones, Thomas M. 1991. “Ethical Decision Making by Individuals in Organizations; An Issue-Contingent


Model”. The Academy of Management Review,Vol.16, No.2, pp.366-395

Mencl, Jennifer dan May, Douglas. 2009. “The Effects of Proximity and Empathy on Ethical Decision-
Making: An Exploratory Investigation”. Journal of Business Ethics.Vol.85, pp.201-226.

Wittmer, Dennis. 1992. “Ethical Sensitivity dan Managerial Decision Making : An Experiment”. Journal
of Public Administration Research and Theory: J-PART, Vol.2, No.4, pp.443-462

Anda mungkin juga menyukai