Anda di halaman 1dari 11

Prinsip Legal Etis Pada Pengambilan Keputusan Dalam Keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Pengambilan Keputusan Etik Keperawatan
Langkah pertama yang penting dalam pengambilan keputusan etik adalah memastikan
bahwa masalah memiliki muatan etik dan moral. Tidak semua masalah keperawatan memiliki
muatan moral. Kriteria di bawah ini dapat digunakan untuk menentukan apakah terdapat
situasi moral (Fry, 1989, hlm. 491):
a)      Terdapat kebutuhan untuk memilih antara tindakan alternatif yang menimbulkan konflik
dengan kebutuhan manusia atau kesejahteraan orang lain.
b)      Pilihan yang akan dibuat dipandu oleh prinsip atau teori moral universal, yang dapat
digunakan untuk memberikan beberapa pebenaran tindakan.
c)      Pilihan dipandu oleh suatu proses penimbangan alasan.
d)     Pilihan dipengaruhi oleh perasaan personal dan oleh konteks tertentu dari situsasi
Dalam beberapa kasus, pertanyaan yang paling penting adalah siapa yang seharusnya
mengambil keputusan. Ketika orang yang mengambil keputusan adalah klien, fungsi perwat
adalah peran suportif. Klien membutuhkan pengetahuan mengenai probabilitas dan sifat dari
konsekuensi yang menyertai rangkaian tindakan. Perawat membagi pengetahuaan dan
keahlian khusus mereka dengan klien agar memungkinkan mereka mengambil keputusan
berdasarkan informasi.
Pertanyaan di bawah ini dapat membantu perawat menentukan siapa yang memiliki masalah:
a)    Untuk siapa keputusan dibuat?
b)    Siapa yang akan terlibat dalam pengambilan keputusan, dan mengapa?
c)    Kriteria apa (sosial, ekonomi, psikologi, atau legal) yang seharusnya digunakan dalam
memutuskan siapa yang akan mengambil keputusan?
d)   Persetujuan semacam apa yang diperlukan oleh subjek?
Karena perawat memiliki kewajiban terhadap kliennya, institusi yang memperkerjakannya
dan dokter, perawat harus menimbang faktor-faktor yang saling berkompetisi saat membuat
keputusan etik. Dalam banyak tatanan perawatan kesehatan, perawat tidak  selalu memiliki
otonomi untuk bertindak berdasarkan pilihan dan etik mereka.
Faktor-Faktor  yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Etik
a)    Faktor Iman
Iman selalu mengandung kepercayaan. Beriman kepada Allah, berarti
mempercayaiNya lebih dari apapun di dunia ini. Percaya Dia mengasihi kita, Dia dapat
diandalkan, kehidupan kita menjadi berharga jika sesuai dengan maksudNya, menyandarkan
hidup kita pada Dia. Iman mengandung kesetiaan. Jika kepercayaan lebih bersifat pasif, maka
kesetiaan lebih bersifat aktif.
b)    Faktor Tabiat
Keputusan etis manusia juga sangat dipengaruhi oleh faktor dalam batin kita seperti
prasangka, hati nurani, motivasi yang adalah bagian dari tabiat kita.
Tabiat adalah susunan batin. Pemberi arah pada keinginan, kesukaan dan perbuatan
orang. Susunan batin ini dibentuk oleh interaksi (hubungan) dengan lingkungan sosial sekitar
dan Allah. Tabiat mengandung hati nurani, pengetahuan apa yang baik dan buruk. Tabiat
mengandung kecenderungan dan motivasi untuk berbuat selaras dengan batin kita. Tabiat
bukan sekedar pengertian mental. Tabiat bersifat berkembang dan dinamis dan dapat
dibentuk.
Tabiat tidak sama dengan watak. Watak ada dalam diri manusia secara alamiah waktu
lahir. Bersifat tetap. Watak adalah “bahan mentah” dari tabiat kita. Kita bertanggungjawab
mengolahnya. Tabiat adalh bagian dari kepribadian. Tabiat hampir mirip dengan budi pekerti,
namun budi pekerti selalu positif, sedangkan tabiat dapat negatif dan positif.
c)    Faktor Lingkungan
Ada hubungan timbal balik, pengaruh saling mempengaruhi antara kita dengan
lingkungan sosial. Di antara hal saling mempengaruhi antara kita dengan lingkungan adalah
tabiat (susunan batin manusia, yang memberikan arahan bagaimana ia bertindak), meskipun
tabiat kita berdiri sendiri dalam diri kita. Perlunya tabiat yang kuat dalam masyarakat
modern. Dalam masyarakat modern, lingkungan sosial banyak kehilangan kekuasaan sebagai
patokan etis walaupun masih memegang peranan. Ini tampak di masyarakat perkotaan, atau
negara yang di mana orang mentingkan kebebasan individual. Masyarakat modern punya
kebebasan yang lebih besar daripada masyarakat tradisional. Dalam situasi ini, adalah bahaya
jika orang menyerahkan kebebasannya dalam modernitas yang tidak bebas nilai. Juga
berbahaya jika menggantikan pertimbagan-pertimbangan budaya dan tradisi dengan
diletakkan di bawah kekuasaan massa.
d)   Faktor Norma/Hukum
Hukum atau norma adalah pemberi arahan, menolong agar manusia dapat berjalan
benar dalam menjalani hidup dalam kasih karunia tersebut.
Etika sering ada dalam situasi yang spesifik, unik, yang tidak dapat didekati dengan
hukum-hukum atau norma-norma umum. Tidak akan mungkin ada moralitas yang tanpa
norma, dan tidak ada etika yang tanpa situasi tertentu. Etika selalu menyangkut norma dan
situasi. Tugas kita adalah bagaimana menggunakan dua hal itu, tidak jatuh pada satu ektrim
tertentu.
e)    Faktor Situasi
Situasi harus benar-benar kita kenali sehingga kita tepat dalam menerapkan norma-
norma dan nilai-nilai etis dalam situasi tertentu. Cermat dalam melihat situasi akan menolong
kita melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi itu. Suatu persoalan atau
masalah akan dapat kita ketahui dengan kita melihat dan memahami situasinya.
Namun kita juga harus menyadari, bahwa kita punya keterbatasan dalam mencermati
situasi. Entah kerena pengetahuan kita atau karena factor yang lain. Namun paling tidak ada
beberapa unsur dalam situasi: tempat, waktu, benda, orang, struktur, gagasan, kejadian dan
Tuhan.
Dalam mengenali situasi kita perlu mencermati hal-hal yang dapat mempengaruhi,
yakni prasangka, kepentingan, pandangan, pengetahuan, pengalaman, dan nilai-nilai yang
kita anut. Baru kita menyelidiki, dengan referensi-referensi yang luas, melihat secara
komprehensip, dan mendengar suara Allah, serta peka pada kebutuhan orang lain.
Silvia (1990) membuat suatu model pengambilan keputusan etis yang terdiri dari 5 tahap
yaitu :
1.    Pengkajian dan Pengumpulan Data
Pertimbangan situasional
Pertimbangan tim kesehatan
Pertimbangan organisasi
2.    Identifikasi Masalah
Pertimbangan etika
Pertimbangan non etika
3.    Mempertimbangkan Kemungkinan Tindakan
Pola pikir teleologi
Pola pikir deontologi
4.    Keputusan dan Seleksi Tindakan
kontribusi faktir internal dan kelompok
kontribusi faktor ekternal
kualitas keputusan dan tindakan
5.    Refleksi Terhadap Keputusan dan Tindakan yang Diambil
Refleksi keputusan
Refleksi tindakan
Ada 3 model pengambilan keputusan yang pertama adalah keputusan etis yang berpusat
pada pasien , keputusan etis yang berpusat pada dokter dan berpusat pada birokrasi .
Dalam kasus ini kami akan mencoba untuk mengambil keputusan etis berdasarkan pada 5
tahap pengambilan keputusan secara etis menurut Silvia,
1.   Pengkajian, tahap ini akan dilakukan dengan melihat situasi klien.
2.   Identifikasi masalah
3.    Mempertimbangkan kemungkinan tindakan, tindakan dengan pendekatan deontologik yaitu
dengan berdasar pada moralitas dari suatu keputusan etis dan memperhatikan prinsip etika
yaitu Beneficience dan justice.
4.    Keputusan dan seleksi tindakan
Membuat keputusan dengan memberikan informasi kepada klien bahwa setelah perawatan
jika mengalami perbaikan maka pasien diharapkan untuk meninggalkan kebiasaan buruknya.
Dengan memberikan penyuluhan pasca perawatan tentang bahaya dari kebiasaan buruk itu.
5.    Refleksi terhadap keputusan dan tindakan yang diambil, artinya keputusan dan tindakan yang
diambil tidak bertentangan dnegan hukum dan agama.

2.2    Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan


a)         Autonomy (Otonomi)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus
dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi
merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
b)        Beneficience (Berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan,
terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
c)         Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam
prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar
praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
d)        Nonmaleficience (Tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
e)         Veracity (Kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk
meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan
seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat,
komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang
ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa
argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan
prognosis klien untuk pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows
best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi
penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling
percaya.
f)         Fidelity (Menepati janji)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia
klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen
yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang
menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
g)        Confidentiality (Karahasiaan)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi
tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien
diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga
kesehatan lain harus dihindari.
h)        Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat
dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
2.3    Isu-Isu Etik Dalam Praktik Keperawatan
1.    Transplantasi Organ
Banyak sekali kasus dimana tim kesehatan berhasil mencangkokan organ terhadap
klien yang membutuhkan. Dalam kasus tumor ginjal, gagal ginjal CRF (Chronic Renal
Failure), ginjal dari donor ditransplantasikan kepada ginjal penerima (recipient).
Masalah etik yang muncul adalah apakah organ donor bisa diperjual-belikan?, bagaimana
dengan hak donor untuk hidup sehat dan sempurna, apakah kita tidak  berkewajiban untuk
menolong orang yang membutuhkan padahal kita bisa bertahan dengan satu ginjal. Apakah
penerima berhak untuk mendapatkan organ orang lain, bagaimanadengan tim operasi yang
melakukanya apakah sesuai dengan kode etik profesi?, bagaimana dengan organ orang yang
sudah meninggal, apakah diperbolehkan orang mati diambil organnya?. Semua penelaahan
donor organ harus diteliti dengan kajian majelis etik yang terdiri dari para ahli di bidangnya.
Majelis etik bisa terdiri atas pakar terdiri dari dokter, pakar keperawatan, pakar agama, pakar
hukum atau pakar ilmu sosial.
Secara medis ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan donor organ
tersebut. Diantaranya adalah memiliki DNA, golongan darah, jenis antigen yang
cocok anatara donor dan resipien, tidak terjadi reaksi penolakan secara antigen dan antibodi
oleh resipien, harus dipastikan apakah sirkulasi, perfusi dan metabolisme organ masih
berjalan dengan baik dan belum mengalami kematian (nekrosis). Hal ini akan berkaitan
dengan isu mati klinis dan informed  consent. Perlu adanya saksi yang disahkan secara hukum
bahwa organ seseorang atau keluarganya didonorkan pada keluarga lain agar dikemudian hari
tidak ada masalah hukum. Biasanya ada sertifikat yang menyertai bahwa organ tersebut sah
dan legal. Pada kenyataannya perangkat hukum dan undang-undang mengenai donor organ di
Indonesia belum selengkap di luar negeri sehingga operasi donor organ untuk klien Indonesia
lebih banyak dilakukan di Singapura, China atau Hongkong.
2.    Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa yunani “euthanathos”. Eu artinya baik, tanpa
penderitaan ; sedangkan thanathos artinya mati atau kematian. Dengan demikian, secara
etimologis, euthanasia dapat diartikan kematian yang baik atau mati dengan baik tanpa
penderitaan. Ada pula yang menerjemahkan bahwa euthanasia secara etimologis adalah mati
cepat tanpa penderitaan.
Banyak ragam pengertian euthanasia yang sudah muncul saat ini. Ada yang
menyebutkan bahwa euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau
hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit
yang minimal, biasanya dilakukuan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Saat
ini yang dimaksudkan dengan euthanasia adalah bahwa seorang dokter mengakhiri kehidupan
pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien itu
sendiri. Sekitar dua puluh tahun yang lalu tindakan medis ini disebut “euthanasia aktif “.
Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan
mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group
dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yaitu :
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa macam, ditinjau dari berbagai sudut
pandang sebagai berikut.
a)         Dilihat dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan atas:
1.    Euthanasia pasif 
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia. Dengan kata lain, euthanasia
pasif merupakan tindakan tidak memberikan pengobatan lagi kepada pasien terminal untuk
mengakhiri hidupnya. Tindakan pada euthanasia pasif ini dilakukan secara sengaja dengan
tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, seperti tidak
memberikan alat-alat bantu hidup atau obat-obat penahan rasa sakit, dan sebagainya.
Penyalahgunaan euthanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga media maupun keluarga pasien
sendiri.
Keluarga pasien bisa saja menghendaki kematian anggota keluarga mereka dengan
berbagai alasan, misalnya untuk mengurangi penderitaan pasien itu sendiri atau karena sudah
tidak mampu membayar biaya pengobatan.
2.    Euthanasia aktif atau euthanasia agresif 
Euthanasia aktif atau euthanasia agresif adalah perbuatan yang dilakukan secara
medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat
atau mengakhiri hidup si pasien.
Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk
menimbulkan kematian. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan ke
dalam tubuh pasien (suntik mati).
3.    Euthanasia non agresif 
Euthanasia non agresif atau disebut juga autoeuthanasia termasuk euthanasia negative
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan pasien tersebut mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek
atau menakhiri hidupnya.
2.4    Prinsip-Prinsip Legal Dalam Praktik Keperawatan
1.    Malpraktik
Malpraktik adalah praktik kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar
profesi atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktik kedokteran juga dapat dikenai
hukum kriminal. Malpraktik kriminal terjadi ketika seorang dokter yg menangani sebuah
kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran,
kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat-obatan, pelanggaran dalam sumpah
dokter, perawatan yang lalai dan tindakan pelecehan seksual pada pasien.
Malpraktik adalah kelalaian bertindak yang dilakukan seseorang terkait profesi atau
pekerjaannya yang membutuhkan keterampilan profesional dan tekhnikal yang tinggi.
Malpraktek adalah kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan untuk merawat klien atau orang
yang terluka menurut ukuran lingkungannya yang sama. (Hanafiah dan Amir, 1999).
Tindakan yang termasuk malpraktik:
a.         Kesalahan diagnosa
b.         Penyuapan
c.         Penyalahgunaan alat-alat kesehatan
d.        Pemberian dosis obat yang salah
e.         Salah pemberian obat kepada pasien
f.          Alat-alat yang tidak memenuhi standar kesehatan atau tidak steril.
g.         Kesalahan prosedur operasi
Dampak malpraktik:
a.       Merugikan pasien terutama pada fisiknya bisa menimbulkan cacat yang permanen
b.      Bagi petugas kesehataan mengalami gangguan psikologisnya, karena merasa bersalah
c.       Dari segi hukum dapat dijerat hukum pidana
d.      Dari segi sosial dapat dikucilkan oleh masyarakat
e.       Dari segi agama mendapat dosa
f.       Dari etika keperawatan melanggar etika keperawatan bukan tindakan profesional
2.    Kesalahan
Kesalahan adalah kesalahan sipil yang dibuat terhadap seseorang atau hak milik.
Kesalahan bisa diklasifikasi menjadi kesalahan tidak disengaja atau disengaja. Contoh dari
kesalahan yang tidak disengaja adalah kelalaian atau malpraktik. Malpraktik merupakan
kelalaian yang dilakukan oleh seorang profesional seperti perawat atau dokter.
Kesalahan disengaja merupakan tindakan disengaja yang melanggar hak seseorang.
Misalnya, pelecehan, pemukulan, pemfitnahan, atau invasi pribadi. Perbedaaan bergantung
pada tindakan atau pengabaian yang terlibat padamasalah tentang “ilmu atau seni kedokteran
yang memerlukan keterampilan khususyang tidak dimilki orang biasa,” atau bahkan dapat
dipahami berdasarkan pengalaman individu setiap hari. Jika diperlukan opini profesional dari
seorang ahli dengan keterampilan dan pengetahuan khusus, teori tentang malpraktik lebih
berlaku daripada kelalaian biasa.
Kelalaian adalah prilaku yang tidak sesuai standar perawatan. Malpraktik terjadi
ketika asuhan keperawatan tidak sesuai yang menuntut praktik keperawatan yang aman.
Tidak perlu ada kesengajaan, suatu kelalaian dapat terjadi.
Kelalaian ditetapkan oleh hukum untuk perlindungan orang lain terhadap resiko bahaya yang
tidak seharusnya. Ini dikarakteristikkan oleh ketidakperhatian, keprihatian atau kurang
perhatian.
Kelalaian atau malpraktik bisa mencakup kecerobohan, seperti tidak memeriksa
balutan lengan yang memungkinkan pemberian medikasi yang salah. Bagaimanapun,
kecerobohan tidak selalu sebagai penyebab. Jika perawat melakukan prosedur dimana mereka
telah terlatih dan melakukan dengan hati-hati, tetapi masih membahayakan klien, dapat
dibuat tuntunan kelalaian atau malpraktik. Jika perawat memberikan perawatan yang tidak
sesuai dengan standar, mereka dapat dianggap lalai. Karena tindakan ini dilakukan oleh
perawat professional, kelalaian perawat disebut malpraktik.
Perawat telah terlibat dalam banyak tindakan lalai atau malpraktik profesional, contohnya:
1.    Kesalahan terapi intravena yang menyebabkan infiltrasi atau flebitis.
2.    Luka bakar pada klien karena terapi panas yang tidak tepat pemantauannya.
3.    Jatuh yang menyebabkan cidera pada klien.
4.    Kesalahan menggunakan tehnik aseptik ketika diperlukan.
5.    Kesalahan menghitung spon, instrumen, atau jarum dalam kasus operasi.
Perawat harus melakukan semua prosedur secara besar. Mereka juga harus
menggunakan penilaian profesional saat mereka menjalankan program dokter dan juga terapi
keperawatan mandiri dimana mereka berwewenang. Setiap perawat yang tidak memenuhi
standar praktik atau perawatan yang dapat diterima atau melakukan tugasnya dengan ceroboh
berisiko dianggap lalai.
Karena malpraktik adalah kelalaian yang berhubungan dengan praktik  profesional,
kriteria berikut harus ditegakkan dalam gugatan hukum malpraktik terhadap seorang
perawat :
1.    Perawat (terdakwa) berhutang tugas pada klien (penggugat).
2.    Perawat tidak melakukan tugas tersebut atau melanggar tugas perawatan.
3.    Klien cidera.
4.    Baik penyebab aktual dan kemungkinan mencederai klien adalah akibat dari kegagalan
perawat untuk melakukan tugas.
Yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktik atau kelalaian telah terjadi
(vestal, 1991):
1.         Kewajiban (duty)
Pada saat terjadi cedera terkait dengan kewajiban yaitu kewajiban mempergunakan segala
ilmu dan kepandaian untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban
penderitaan pasien berdasarkan standar profesi. Contohnya perawat rumah sakit bertanggung
jawab untuk :
Pengkajian yang aktual bagi pasien yg ditugaskan untuk memberikan asuhan
keperawatan
Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan profesional untuk mengubah
kondisi klien
Kompoten melaksanakan cara-cara yang aman untuk pasien.
2.         Breach of the duty (tidak melaksanakan kewajiban)
Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajiban, artinya menyimpang dari apa yg
seharusnya dilakukan menurut standar profesinya. Contohnya:
o    Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien, seperti tingkat kesadaran pada
saat masuk
o    Gagal dalam memenuhi standar keperawatan yang di tetapkan sebagai kebijakan rumah sakit
o    Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan yg tepat (pengamanan
tempat Tidur).
3.         Proximate caused (sebab-akibat)
Pelanggaran terhadap kewajiabannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang di
alami klien. Contohnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan
pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal menggunakan cara
pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh dan menyebabkan fraktur
4.         Injury (cedera)
Seseorang mengalami cedera atau kerusakan dapat di tuntut secara hukum. Contohnya,
fraktur panggul, nyeri, waktu rawat-inap lama dan memerlukan rehabilitasi.

DAFTAR PUSTAKA

Sumijatun. 2010. Konsep Dasar Menuju Keperawatan Profesional. Jakarta: Trans Info Media

http://www.scribd.com/doc/45853856/PRINSIP-%E2%80%93-PRINSIP-LEGAL-ETIS-

DALAM-PENGAMBILAN-KEPUTUSAN-DALAM-KONTEKS-KEPERAWATAN

http://ramlannarie.wordpress.com/2010/04/01/issue-etik-dalam-keperawatan-komunitas/

http://ivank-revank.blogspot.com/2012/01/prinsip-prinsip-legal-dalam-praktek.html

http://ernasusilowati.blogspot.com/2010/10/rangkuman-prinsip-prinsip-legal-dalam.html

http://www.scribd.com/doc/70462447/ASPEK-ETIK-BARU#

http://chairulrebi.blogspot.com/2012/01/makalah-prinsip-prinsip-legal-dalam.html

http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1959023-aspek-legal-etik/

Anda mungkin juga menyukai