Anda di halaman 1dari 83

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you
by CORE provided by Gaster : Jurnal Kesehatan

GASTER, Vol. 8, No. 2 Austus 2011 (783 - 792)

KEEFEKTIFAN PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP


PENURUNAN SESAK NAFAS PADA PASIENASMA
DI RUANG RAWATINAP KELAS III RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Refi Safitri, Annisa Andriyani


Prodi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta

Abstrak; Berdasarkan survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001 diketahui bahwa penyakit saluran
nafas merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah penyakit gangguan
pembuluh darah. Sebanyak antara 1,5 juta sampai 3 juta orang di Indonesia mengidap penyakit asma, dan
kurang lebih sepertiga dari kasus asma diantaranya adalah usia dewasa. Asma merupakan suatu penyakit
obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–gejala batuk, mengi, dan sesak nafas. Masalah utama pada
pasien asma yang sering dikeluhkan adalah sesak napas. Untuk mengurangi sesak nafas yaitu antara lain
dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi pasien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma.
Tujuan; Mengetahui keefektifan pemberian posisi semi fowler pada pasien asma guna mengurangi sesak
nafas. Metode; Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Quasi Eksperiment dengan
rancangan One Group Pre test-Post tets. Hasil; Terbukti ada perbedaan sesak nafas antara sebelum dan
sesudah pemberian posisi semi fowler, dapat penelitian diperoleh hasil T-test sebesar -15,327 dengan p =
0,006. Kesimpulan; Pemberian posisi semi fowler dapat efektif mengurangi sesak nafas pada pasien asma.

Kata Kunci : Posisi semi fowler, Sesak nafas, Asma.

PENDAHULUAN
Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli mendefinisikan bahwa asma merupakan suatu
penyakit obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–gejala batuk, mengi, dan sesak nafas
(Somantri,2009:52). Pada penyakit asma, serangan umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan
berat serangan dapat terjadi setiap saat tidak tergantung waktu.

783
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 784

Inspirasi pendek dan dangkal, mengakibatkan penderita menjadi sianosis, wajahnya pucat dan lemas, serta
kulit banyak mengeluarkan keringat. Bentuk thorax terbatas pada saat inspirasi dan pergerakannya pun juga
terbatas, sehingga pasien menjadi cemas dan berusaha untuk bernafas sekuat-kuatnya (Kumoro, 2008: 2).
Metode yang paling sederhana dan efektif dalam biaya untuk mengurangi risiko stasis sekresi pulmonar dan
mengurangi risiko penurunan pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat.
Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan
derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru
dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma (Burn dalam Potter, 2005:1594)
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk membantu
mengurangi sesak napas. Keefektifan dari tindakan tersebut dapat dilihat dari Respiratory Rates yang
menunjukkan angka normal yaitu 16-24x per menit pada usia dewasa (Ruth, 2002: 812). Pelaksanaan
asuhan keperawatan dalam pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan tempat tidur
orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung, sehingga dapat memberi
kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak nafas pada pasien asma saat terjadi serangan.
Penyakit asma telah dikenal sejak berabad-abad tahun yang lalu, dan sampai sekarang ini masih menjadi
masalah kesehatan di masyarakat. Pengetahuan yang terbatas tentang asma membuat penyakit ini seringkali
tidak tertangani dengan baik, akibatnya jumlah pasien dari tahun ketahun semakin meningkat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat tahun 2008 ada 300 juta pasien asma di seluruh dunia.
Indonesia sendiri memiliki 12,5 juta pasien asma. 95% diantaranya adalah pasien asma tak terkontrol. Data
ini disampaikan oleh Faisal (dalam Widodo, 2009) Ketua Umum Dewan Asma Indonesia (DAI) pada hari
peringatan asma sedunia 04 Mei 2009. Jeremy (2006: 55) mengemukakan bahwa, satu dari tujuh orang
di Inggris memiliki penyakit alergi dan lebih dari 9 juta orang mengalami mengi dan sesak nafas.
Dalam 12 tahun terakhir ini jumlah usia dewasa yang mengalami penyakit asma hampir dua kali lipat dari
usia anak-anak.
Rusmono (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2006 penyakit asma termasuk penyakit yang membahayakan
dan pasien asma di Jawa Tengah mengalami peningkatan 5,6%
Dibandingkan tahun 2005. Jumlah pasien asma pada tahun 2005 berjumlah 74.253 dan pada tahun 2006
berjumlah 78.411. Ditambahkan oleh Handayani (2008) dalam penelitiannya tentang pasien asma di
Surakarta berjumlah 2.126 dari berbagai pasien di rumah sakit Surakarta baik negeri ataupun swasta.
Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, pada tahun 2008 jumlah pasien asma yang
dirawat inap kelas III RSUD Surakarta berjumlah 318 orang, tahun 2009 berjumlah 360 orang. Hal ini berarti
ada peningkatan sebanyak 9% dari tahun 2008 ke tahun 2009. Pada bulan Januari sampai April 2010 jumlah
pasien asma rawat inap kelas III untuk usia 20-78 tahun ada 32 orang (Medical Record, RS Dr. Moewardi,
2009). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kepala ruang rawat inap kelas III RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dapat diketahui bahwa setiap tahunnya rata- rata 70% dari 100% pasien asma mengalami
tanda dan gejala sesak nafas dengan pembatasan aktivitas yaitu tirah baring.
Data pasien RSUD Dr. Moewardi Surakarta dirawat inap kelas III memiliki kapasitas terhadap pasien
sebanyak 522 pasien dan masing- masing bangsal terdapat 58 tempat tidur dengan jumlah perawat 22 orang,
pada saat pelaksanaan jumlah pasien paru yang rawat inap di kelas III yaitu 53 pasien. Terdiri dari pasien
TBC sebanyak 21 pasien dan pasien asma sebanyak 32 pasien. Dari 32 pasien asma yang memerlukan
bantuan posisi semifowler sebanyak 30 pasien. Pelaksanaan pemberian posisi semi fowler RSUD Dr.
Moewardi Surakarta di ruang rawat inap kelas III sudah menggunakan tempat tidur orthopedik dan fasilitas
bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung.
Berdasarkan data-data dan hal-hal tersebut di atas penulis ingin mengetahui ”keefektifan pemberian posisi
semi fowler pada pasien asma yang sedang menjalani rawat inap di ruang rawat inap kelas III RSUD Dr.
Moewardi Surakarta”.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Pasien asma yang sering dikeluhkan adalah sesak napas. Sesak napas disebabkan oleh adanya penyempitan
saluran napas. Penyempitan saluran napas terjadi karena adanya hyperreaktifitas dari saluran napas terhadap
berbagai macam rangsangan, sehingga menyebabkan spasme otot– otot polos bronchus yang dikenal
denga bronkospasme, oedema membrana mukosa dan hypersekresi mucus (Erlina, 2008: 2). Posisi yang
paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan
mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma (Burn dalam Potter, 2005:1594)
Jenis dalam penelitian ini yaitu jenis kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah
Quasi Eksperiment dengan rancangan One Group Pre test-Post tets. Pada desain ini mengungkapkan
hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien asma yang dirawat inap kelas III RSUD Dr.Moewardi Surakarta
sebanyak 220 pasien. Sampel dalam penelitian ini diambil dari pasien asma yang dirawat inap kelas III RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Total sampelnya adalah 33 orang dari 220 orang populasi, tehnik pengambilan
sampel dengan menggunakan simple random sampling.

HASIL PENELITIAN
Gambaran Karakteristik Responden Pasien Asma Berdasarkan Bangsal
Pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati, Melati III, dan Anggrek 1, dengan
penjelasannya sebagai berikut:
Tabel 1Karakteristik Pasien Asma Menurut Bangsal

Bangsal Jumlah Perlakuan Prosentase


Melati I 7 21%
Melati III 4 12%
Anggrek II 22 67%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.
Dari Tabel 1 pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati I, Melati III dan Anggrek II
dapat diketahui bahwa sebagian besar jumlah pasien asma dari bangsal Anggrek II yaitu 22 pasien (67%).
Pasien Asma Berdasarkan Jenis kelamin
Tabel 2Karakteristik Pasien Asma Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Perlakuan Prosentase


Laki-laki 18 55%
Perempuan 15 45%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa jumlah responden sebagian besar
pada kelompok laki-laki yaitu sebanyak 18 pasien (55 %).

Pasien Asma Berdasarkan umur


Tabel 3
Karakteristik Pasien Asma Menurut umur

Umur Jumlah Perlakuan Prosentase


21-30 Tahun 4 12%
31-40 Tahun 10 31%
41-50 Tahun 11 33%
51-60 Tahun 8 24%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.
Berdasarkan Tabel 3 memperlihatkan bahwa umur responden kelompok perlakuan sebagian besar yaitu
berumur 41-50 tahun sebanyak 11 pasien (33%).

Hasil Penelitian Perlakuan Pemberian Posisi Semi Fowler


Perlakuan pemberian posisi semi fowler dilakukan setelah pre-test dan setelah dilakukan perlakuan
diperoleh data post-test. Rincian hasil hasil penelitian perlakuan pemberian posisi semi fowler, sebagai
berikut:
Tabel 4
Hasil Pengukuran Sesak Nafas Sebelum Perlakuan

No Sesak Nafas Jumlah Prosentase


1 Ringan 7 21%
2 Sedang 9 27%
3 Berat 17 52%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.

Berdasarkan Tabel 4 hasil pengukuran sesak nafas sebelum dilakukan perlakuan dari 33 responden
diperoleh data yaitu sebanyak 17
pasien (52%).
Tabel 5
Hasil Pengukuran Sesak Nafas Sesudah perlakuan

No Sesak Nafas Jumlah Prosentase


1 Ringan 18 55%
2 Sedang 9 27%
3 Berat 6 18%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.

Berdasarkan Tabel 5 hasil pengukuran sesak nafas setelah dilakukan perlakuan dari 33 responden
selama tiga hari diperoleh data yaitu sebanyak 18 pasien (55%).
Peningkatan sesak nafas tersebut dapat dijelaskan ada pengurangan sesak nafas berat ke sesak nafas ringan
sebanyak 11 pasien (33%) yaitu dari 17 pasien sesak nafas berat menjadi menjadi 6 pasien. Jadi, ada
pengurangan pasien sesak nafas berat ke sesak nafas ringan.

Tabel 4.6 Hasil Uji Sesak Nafas Responden Sebelum dan Sesudah Dilakukan Perlakuan dengan Uji
T-test
Sesak Nafas t p Keterangan
Pre test – Post test -15,327 0,006 Bermakna

Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.

Berdasarkan tabel 6 perbedaan antara nilai rata-rata sesak nafas sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan
posisi semi fowler dapat dilihat dari hasil T-test sebesar -15,327 dengan p = 0,006. Karena p = 0,006 <
0,005, maka dikatakan signifikan atau bermakna. Artinya, ada perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan
pemberian posisi semi fowler pada pasien
asma.

PEMBAHASAN
Analisa Karakteristik Pasien Asma
Pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati I, Melati III, dan Anggrek II. Dari tiga
bangsal tersebut pasien asma terbanyak yang dijadikan sampel dari bangsal Anggrek II berjumlah 22 pasien
(67%). Hal ini disesuaikan dengan kondisi bangsal Anggrek II yang merupakan bangsal khusus paru salah
satunya yaitu pasien asma di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. dibedakan atas bangsal Melati I, Melati III, dan
Anggrek II. Dari tiga bangsal
tersebut pasien asma terbanyak yang dijadikan sampel dari bangsal Anggrek II berjumlah 22 pasien (67%).
Hal ini disesuaikan dengan kondisi bangsal Anggrek II yang merupakan bangsal khusus paru salah satunya
yaitu pasien asma di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.
Responden pada kelompok laki-laki sebanyak 18 pasien (55%). Jumlah tersebut lebih besar apabila
dibandingkan dengan jumlah pasien perempuan.Banyaknya jumlah pasien laki-laki dibandingkan dengan
perempuan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja. Sebagian besar pasien bekerja di pabrik-
pabrik atau dipenggergajian kayu, dan lingkungan tempat tinggal di jalan raya. Hal ini serah dengan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mustofa (2008) yang menyatakan bahwa salah Satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyakit asma karena alergi yang disebabkan lingkungan tempat tinggal pasien
yang dekat dengan jalan raya.
Adapun umur pasien asma pada kelompok usia 41-50 tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak
menderita asma. Alasannya,penyakit asma mempunyai hubungan langsung dengan lingkungan kerja. Orang
yang bekerja di lingkungan laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai
kecenderungan tinggi menderita asma. Faktor- faktor pencetus tersebut menimbulkan suatu predisposisi
genetik terhadap alergi sehingga orang yang bekerja selama bertahun-tahun rentan terhadap penyakit asma.
Pengertian tersebut didukung oleh penelitian Kurniawan (2008) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan
tempat tinggal yang ditempati individu banyak debunya menimbulkan kerentanan penyakit asma pada
usia individu menjelang tua (di atas 41 tahun

Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami Sesak Napas Sebelum Diberikan Posisi
Semi Fowler.
Sesak nafas sebelum dilakukan pemberian posisi semi fowler termasuk sesak nafas berat, yaitu sebanyak 17
pasien atau sebanyak 52% dari 33 pasien. Asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran napas yang
memberikan gejala–gejala batuk,mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat
terjadi secara bertahap, perlahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak
dan bahkan
berangsur,sehingga menimbulkan kesulitan bernapas.
Penyempitan saluran napas menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka pasien asma akan
cenderung melakukan pernafasan pada volume paru yang tinggi dan
membutuhkan kerja keras dari otot–otot pernapasan sehingga akan menambah energi untuk
pernapasan (Brooker, 2009: 623). Pendapat Brooker (2009: 623) tersebut dibuktikan oleh
Mustofa 2008) dalam penelitiannnya yang menyatakan bahwa pasien asma mengalami
sesak nafas berat sehingga kesulitan bernapas karena penyempitan saluran napas ini terjadi
adanya hyperreaktifitas dari saluran napas terhadap berbagai macam rangsang.

Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami SesakNapas Sesudah Diberikan Posisi Semi
Fowler.
Pasien asma setelah diberi posisi semi fowler mengalami sesak nafas ringan, yaitu dari
17 pasien asma yang mengalami sesak nafas berat menjadi 11 pasien. Pemberian posisi semi fowler pada
pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk membantu mengurangi sesak napas.
Posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan
gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma.
Hasil penelitian pemberian posisi semi fowler mengurangi sesak nafas sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa pemberian posisi semi fowler dapat
mengurangi sesak nafas pada pasien asma.
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi, dkk 2008: 98) bahwa posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh
dinaikkan 45º membuat oksigen didalam paru–paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran
napas. Penurunan sesak napas tersebut didukung juga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat
diberikan posisi semi fowler sehingga pasien dapat bernafas.
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap sesak nafas. Hal
tersebut berarti mendukung penelitian yang dilakukan oleh Supadi, dkk., (2008) bahwa pemberian semi
fowler mempengaruhi berkurangnya sesak nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi.
Terpenuhinya kualitas tidur pasien membantu proses perbaikan kondisi pasien lebih cepat.
Saat sesak napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk sehingga posisi semi fowler
memberikan kenyamanan dan membantu memperingan kesukaran bernapas. Menurut Angela (dalam Supadi,
dkk., 2008) saat terjadi serangan sesak biasanya klien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi
berbaring. Melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan
napas dan memenuhi O2 dalam
darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih rileks saat makan dan berbicara sehingga kemampuan berbicara
pasien tidak terputus – putus dan dapat menyelesaikan kalimat.
Posisi semi fowler mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2 dalam darah ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa pemberian posisi semi fowler dapat
meningkatkan masukan oksigen bagi pasien pasca pembedahan perut laparoskopi.
Sedangkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemberian posisi semi fowler ini mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Setiawati (2008). Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan
posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak napas pada klien TBC. Hal ini dapat diketahui
melalui nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-3,196) > Z tabel (1,96).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan sesak nafas pada pasien asma di ruang
rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah dan sebelum pemberiaan posisi semi fowler
terjadi penurunan. Perbedaaan tersebut dibuktikan dari adanya pengurangan sesak nafas berat ke sesak
nafas ringan pada 11 pasien atau sejumlah 33% dari 17 pasien. Adanya perbedaan tersebut membuat
pemberian posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak nafas pada penderita asma.

SIMPULAN
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dapat efektif mengurangi sesak nafas. Hal ini dapat
diketahui melalui sebelum dan sesudah pemberian semi fowler ada peningkatan pasien sesak nafas berat ke
sesak nafas ringan. Pernapasan pada pasien asma yang mengalami sesak napas sebelum diberikan posisi semi
fowler, termasuk sesak nafas berat karena posisi tidur telentang. Pernapasan pada pasien asma yang
mengalami sesak napas sesudah diberikan posisi semi fowler, termasuk sesak nafas ringan karena posisi tidur
dengan derajat kemiringan 45°. Hasil penelitian dengan perhitungan uji T-test didapatkan ada efektifitas
pemberian posisi semi fowler pada pasien asma.
Disarankan bagi peneliti selanjutnya bahwahasil penelitian dapat memberikan gambaran tentang efektifitas
penggunaan posisi semi fowler pada pasien asma untuk mengurangi sesak nafas dan dapat melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai factor factor yang lain untuk mengurangi sesak nafas.
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1998. Metode Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Brooker, C. 2009. Ensiklopedia

Keperawatan. Jakarta: EGC.

Depkes RI. 2002. Pengendalian Penyakit Paru

Obstruktif Kronik. Depkes RI. Hadi, S. 2002.

Statistik 2. Yogyakarta: Andi Ofset.

Handayani, S. 2008. Hubungan Antara Penderita Asma Dengan Prestasi


Belajar Anak Sekolah Dasar Di Solo. Skripsi. Surakarta: UNS.

Jeremy. 2006. At a Glance Sistem Respirasi edisi Kedua. Erlangga.

Kim, K. 2004. The Effects of Semi- Fowler's Position on Post- Operative


Recovery in Recovery Room for Patients with Laparoscopic
Abdominal Surgery. Abstract. College of Nursing, Catholic University of
Pusan, Korea

Kumoro, D. 2008. Pengaruh Pemberian Senam Asma Terhadap Frekwensi


Kekambuhan Asma Bronkial. Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam
Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Terapan Fisioterapi. Skripsi (tidak
diterbitkan).UMS

Kurniawan, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. A Dengan


Gangguan Sistem Pernafasan: Asma Bronkial Pada Ny. S Di
PuskesmasTanjung,Juwiring,
Klaten.TugasAkhir (Tidak Diterbitkan) UMS

Potter, P. 2005. Fundamtal Keperawatan: Konsep, Proses,

danPraktik. Jakarta: EGC. Ruth, F. 2002. Fundamental Of Nursing

Human Health And Function. \

Jakarta: EGC. Rusmono.2008. Penyakit Asma yang Mematikan

setelah Stroke. Solo Pos. 27 Januari.

Setiawati, L. 2008. Efektivitas Penggunaan Posisi Semi Fowler


Pada Klien TBC Untuk Mengurangi Sesak Napas (Studi Kasus
Di Rumah Sakit Paru Batu). Jurnal.
http://athearobiansyah.blogspot.co m/2008/03/asuhan keperawatan-
kebutuhan- oksigenasi.html.

Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan
edisi
2. Jakarta: Salemba Medika.
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016

Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008. Hubungan Analisa Posisi


Tidur Semi Fowler Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal Jantung Di
RSU Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume
IV No 2 Hal 97-108.

Widodo. 2009. “Penderita Asma di Indonesia Meningkat, ”Tribun News.


Senin,04 Mei 009,hal1.Tersedia dalam: http://www.tribunbatam.co.id/in dex.php?
option=com_content&task=view&id=30366&Itemid=1126 [Diakses pada
tanggal 24maret2010]
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERHADAP OBESITAS PADA REMAJA DI KOTA
BITUNG

1
Christine Hendra 2Aaltje E. Manampiring
2
Fona Budiarso

1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2Bagian
Kimia Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email:
christaliahendra@ymail.com

Abstract: Obesity is defined as a condition of abnormal or excessive fat accumulation in


adipose tissue which can be harmful for health. The risk factors that can affect obesity in
adolescent are dietary habit, lifestyle, physical activity, environmental factor, genetics,
health factor, psychological and hormonal drugs. The purpose of this study was to
determine the prevalence and risk factors for obesity in adolescent. This study used cross
sectional method with descriptive approach, the sampling technique used in this study is
simple random sampling. Samples are 966 students which met the inclusion criteria were
15 to 18 years old, was willing to be sampled. Data retrieval is done by measuring waist
circumference. Conclusion: Based on the waist circumference measurement of 966
populations, 220 peoples are found obese with presentation of 22,8% consisting of 59
boys with presentation 6,1% and 161 girls with presentation of 16,7%. Based on the
research result, dietry habit is the most affecting factor in obesity, followed by genetic
factor, lifestyle, physical activity and environmental factor and the last are health factor
and psychological.
Keywords: obesity, adolescents, risk factor.

Abstrak: Obesitas didefinisikan sebagai suatu kondisi akumulasi lemak yang tidak
normal atau berlebihan di jaringan adiposa sampai kadar tertentu sehingga dapat merusak
kesehatan. Faktor-faktor risiko yang dapat menpengaruhi terjadinya obesitas pada remaja
adalah pola makan, pola hidup, aktivitas fisik, faktor lingkungan, genetik, faktor
kesehatan, psikis dan obat-obatan hormonal. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui prevalensi dan faktor- faktor risiko terhadap obesitas pada remaja. Penelitian
ini menggunakan metode cross sectionaldengan pendekatan dekskriptif. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan cara simple random
sampling. Sampel penelitian sebanyak 966 siswa yang memenuhi kriteria inklusi yang
berusia 15-18 tahun, bersedia menjadi sampel. Pengambilan data dilakukan dengan cara
pengukuran lingkar pinggang. Simpulan: Berdasarkan hasil pengukuran lingkar
pinggang pada 966 populasi didapatkan 220 orang mengalami obesitas dengan presentasi
22,8% yang terdiri dari 59 orang laki-laki dengan presentase 6,1% dan 161 orag
perempuan dengan presentase 16,7%. Berdasarkan hasil penelitian juga didapatkan
bahwa pola makan merupakan faktor risiko paling berpengaruh pada obesitas kemudian
diikuti dengan faktor genetik, pola hidup, aktivitas fisik dan faktor lingkungan dan yang
terakhir adalah faktor kesehatan dan psikis.
Kata kunci: obesitas, remaja, faktor risiko.

Obesitas adalah suatu penyakit serius yang bila berat badannya 10% sampai dengan
dapat mengakibatkan masalah emosional 20% berat badan normal, sedangkan
dan sosial. Seorang dikatakan overweight seseorang disebut obesitas apabila
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
kelebihan berat badan mencapai lebih 20% paling banyak digunakan adalah
dari berat normal. Obesitas saat ini menjadi menggunakan Index Massa Tubuh (IMT).
permasalahan dunia bahkan Organisasi IMT ditujukan dengan perhitungan
Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan kilogram per meter kuadrat (kg/m2),
sebagai epidemic global.1 berkorelasi dengan lemak yang terdapat
Masalah obesitas banyak dialami oleh dalam tubuh.6
beberapa golongan masyarakat salah Berikut tipe obesitas berdasarkan bentuk
satunya remaja. Kelebihan berat badan tubuh. Obesitas tipe buah apel (Apple
pada remaja telahdi hubungkan dengan Shape) Tipe seperti ini biasanya terdapat
naiknya kadar insulin plasma, lipid darah, pada pria. Dimana lemak tertumpuk di
dan kadar lipoprotein naik, dan kenaikan sekitar perut. Risiko kesehatan pada tipe ini
tekanan darah, yang merupakan faktor yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah pear
diketahui dihubungkan dengan morbiditas (Gynoid). Obesitas tipe buah pear (Gynoid)
orang dewasa akibat obesitas.1 Tipe ini cenderung dimiliki wanita, lemak
Obesitas ini disebabkan karena aktivitas yang ada disimpan di sekitar pinggul dan
fisik yang kurang, disamping masukan bokong. Risiko terhadap penyakit pada tipe
makanan padat energi yang berlebihan. gynoid umumnya kecil. Obesitas tipe Ovid
Obesitas pada remaja meningkatkan (Bentuk Kotak Buah) Ciri dari tipe ini
risiko penyakit adalah “besar di seluruh bagian badan”.
kardiovaskuler pada saat dewasa karena Tipe Ovid umumnya terdapat pada orang-
kaitannya dengan sindroma metabolik yang orang yang gemuk secara genetik.4,7
terdiri dari resistensi Faktor-faktor risiko terhadap obesitas sepeti
insulin/hiperinsulinemi, intoleransi pola makan, gaya hidup, kurangnya
glukosa/diabetes melitus, dislipidemia, aktivitas dan kurangnya kesadaran pada
hiperurisemia, gangguan fibrinolisis, dan remaja jika tidak diupayakan perbaikannya
hipertensi.1,2 akan mempengaruhi kualitas masyarakat di
Prevalensi obesitas menurut Riset masa mendatang.8 Faktor-faktor seperti
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 lingkungan, genetik, psikis, kesehatan, dan
meningkat jika dibandingkan dengan juga obat-obatan.9 Gambaran status gizi dan
Riskesdas 2010. Angka obesitas pria pada pengetahuan di masa sekarang berdampak
2010 sekitar 15 persen dan sekarang besar pada gambaran status gizi di masa
menjadi 20 persen. Pada wanita mendatang, Sehingga perlu dicari informasi
persentasenya dari 26 persen menjadi 35 mengenai faktor-faktor risiko terhadap
persen.3 obesitas, khususnya faktor-faktor risiko
Setiap orang memerlukan sejumlah lemak yang banyak muncul pada remaja
tubuh untuk menyimpan energi, sebagai siswa/siswi SMA yang obesitas.
penyekat panas, dan fungsi lainnya. Rata- Penelitian Setyaninggrum (2007)
rata wanita memiliki lemak tubuh yang memperlihatkan bahwa 34,4% responden
lebih banyak dibandingkan pria. remaja usia pubertas sering mengonsumsi
Perbandingan yang normal antara lemak makanan siap saji. Hasil penelitian
tubuh dengan berat badan adalah sekitar memperlihatkan bahwa ada hubungan yang
25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. bermakna antara konsumsi makanan cepat
Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% saji dengan kejadian obesitas.10,11
dan pria dengan lemak tubuh lebih dari Tujuan penelitian ini adalah untuk
25% dianggap mengalami obesitas. mengetahui prevalensi obesitas pada
Seseorang yang memiliki berat badan 20% remaja di Kota Bitung, dan mengetahui
lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat faktor-faktor risiko terhadap obesitas pada
badannya yang normal dianggap remaja di Kota Bitung.
4,5
mengalami obesitas.
Untuk menentukan seseorang menderita
obesitas atau tidak, cara yang
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di SMA/SMK di Kota
Penelitian ini adalah penelitian Cross Bitung dari bulan Oktober 2015 sampai
Sectional dengan pendekatan dekskriptif. Januari 2016. Populasi dalam penelitian ini
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
adalah remaja yang berusia 15 sampai 18 diikuti faktor riwayat keturunan (RK)
tahun di SMA/SMK di Kota Bitung. sebanyak 38 (76%) orang, kemudian faktor
Sampel yang diambil adalah remaja dengan aktivitas fisik (AF) sebanyak 12 (24%)
lingkar pinggang untuk Laki-laki >90 dan orang dan yang paling sedikit pada faktor
Perempuan >80. Sampel diambil dengan psikis (P) dengan hasil sebanyak 7 (14%)
orang. Didapatkan hasil demikian karena
pada satu individu bisa terdapat lebih dari
satu faktor resiko.

Tabel 2. Karakteristik responden


berdasarkan faktor-faktor risiko secara
keseluruhan
cara simple random sampling.
N PM AF P RK
HASIL PENELITIAN (%)
Penelitian dilakukan dengan melakukan N N N N
(%) (%) (%) (%)
pengukuran lingkar pinggang secara acak
Total 50 49 12 7 38
terhadap 966 orang remaja yang mewakili 98% 24% 14% 76%
Sekolah – sekolah
Menengah Atas di Kota Bitung yang terdiri
BAHASAN
dari usia 15-18 tahun. Didapatkan 966
Penelitian yang dilakukan di Sekolah –
orang remaja yang menjadi populasi target,
sekolah Menengah Atas di Kota Bitung
berdasarkan dengan pengukuran lingkar
pada bulan Oktober 2015 – Januari 2016
pinggang didapati ada 220 orang remaja
terhadap 966 orang remaja yang berusia 15-
dengan obesitas, dan yang menyetujui
18 tahun berdasarkan ukuran lingkar
untuk diwawancarai adalah 50 orang
pinggang ditemukan 220 orang remaja yang
remaja obesitas.
mengalami obesitas yang terdiri dari
59 orang laki-laki dan 161 orang
Tabel 1. Prevalensi obesitas pada
perempuan.
remaja di Kota Bitung
Berdasarkan hasil pengukuran lingkar
pinggang pada 966 populasi didapatkan 220
No Jenis n Lingka pinggang
r orang remaja yang mengalami obesitas
Kelamin dengan presentase sebesar 22,8% yang
Normal Obesita
(%) s terdiri dari 59 orang laki-laki dengan
(%) presentase 6,1% dan 161 orang perempuan
1 L 382 33,4% 6,10% dengan presentase 16,7%, dan yang
2 P 584 43,8% 16,7% bersedia untuk diwawancarai ada 50 orang
77,2% 22,8% remaja obesitas.
966 Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan pada 50 orang terdapat 49 orang
Batasan ukuran Lingkar Pinggang remaja dengan presentase 98% yang
berdasarkan IDF: mengalami obesitas berdasarkan pola
Laki – laki : >90 cm makan. Hal ini menjelaskan bahwa pola
Perempuan : >80 cm makan merupakan faktor risiko yang paling
Berdasarkan batasan Lingkar Pinggang berpengaruh terhadap obesitas pada remaja.
ditemukan 22,8% remaja obesitas di Kota Kehidupan remaja di Kota Bitung
Bitung, dan yang bersedia untuk mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
diwawancarai ada 50 orang remaja makanan tinggi karbohidrat, lemak, gula
obesitas. serta kebiasaan mengkonsumsi makanan
Berdasarkan Tabel 2 secara keseluruhan siap saji. Masalah gizi atau pola makan
didapatkan faktor risiko terjadinya obesitas yang sering terjadi pada remaja adalah
yang tertinggi disebabkan oleh faktor pola
makan (PM) dengan hasil sebanyak 49
(98%) orang, lalu
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
ketidakseimbangan antar konsumsi gizi hasil penelitian pada 50 orang remaja
dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. obesitas, stress atau kekecewaan yang
Remaja di Kota Bitung sering biasanya dialami oleh remaja biasanya
mengkonsumsi makanan yang mengandung mempengaruhi peningkatan nafsu makan,
tinggi karbohidrat seperti nasi dan umbi- gangguan pola makan akibat stress dapat
umbian serta lemak yang berasal dari berupa pola makan berlebihan atau nafsu
gorengan yang pada dasarnya merupakan makan yang meningkat ketika menggalami
makanan yang digemari remaja pada stress karena masalah yang sering terjadi
umumnya, konsumsi makanan siap saji pada masa remaja.4,7
juga merupakan faktor yang berpengaruh
pada penumpukan lemak tubuh karena SIMPULAN
jumlah kalori yang terdapat pada makanan Prevalensi obesitas pada remaja di Kota
siap saji dalam sekali makan melebihi Bitung berdasarkan Lingkar Pinggang
angka kecukupan kalori harian.1,2,9 adalah sebesar 22,8% yang terdiri dari 59
Hasil penelitian juga didapatkan bahwa orang laki-laki dengan presentase 6,1% dan
faktor riwayat keturunan juga mempunyai 161 orang perempuan dengan presentase
peran yang cukup besar terhadap terjadinya 16,7%.
obesitas pada remaja yaitu 38 orang remaja Faktor-faktor risiko yang berpengaruh
dengan presentase 76% dari hasil penelitian terhadap obesitas pada remaja di Kota
pada 50 orang remaja obesitas di Kota Bitung yang tertinggi adalah faktor pola
Bitung, hal ini menjelaskan bahwa faktor makan yaitu sebesar 98%. Faktor risiko
genetik juga mempunyai peran dalam yang berpengaruh kedua adalah faktor
terjadinya obesitas, remaja dengan obesitas riwayat keturunan yaitu sebesar 76%.
cenderung memiliki orang tua yang Faktor risiko yang berpengaruh ketiga
obesitas.4,7 adalah faktor pola hidup, aktivitas fisik dan
Faktor pola hidup, aktivitas fisik dan lingkungan yaitu sebesar 24%. Faktor
lingkungan juga berperan terhadap risiko lainnya adalah faktor psikis dalam
terjadinya obesitas, dari hasil penelitian hal ini stress atau kekecewaan yaitu sebesar
terhadap 50 orang remaja obesitas 14%.
didapatkan bahwa 12 orang remaja dengan
presentase 24% yang mengalami obesitas SARAN
berdasarkan faktor pola hidup, aktivitas Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut
fisik dan lingkungan. Remaja yang kurang mengenai faktor-faktor risiko dan
melakukan aktivitas fisik cemderung hubungan langsung dengan obesitas dengan
mengalami obesitas karena kurangnya menggunakan sampel yang lebih banyak
aktivitas menyebabkan menumpuknya sehingga memperoleh hasil yang lebih
lemak tubuh dengan berlebihan, kurangnya jelas.
aktivitas fisik yang tidak mengimbangi
asupan makan juga menjadi pemicu
terjadinya obesitas pada remaja. Kemajuan
teknologi masa kini membuat para remaja
lebih sering menghabiskan waktu dengan
duduk berjam-jam memainkan smartphone,
main komputer dan juga menonton TV
sehingga kurangnya melakukan aktivitas
lainnya seperti bermain sepak bola atau
olahraga lainnya1,2,10
Hasil dari penelitian juga menunjukan
bahwa faktor psikis mempengaruhi
terjadinya obesitas pada remaja yaitu 7
orang remaja dengan presentase 14% dari
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
DAFTAR PUSTAKA tya.pdf. Akses: 25 September 2015.
10. An
1. Susi Muktiharti, Purwanto, onimous. 2011. Dampak Obesitas. Diunduh
Imam Purnomo, Rosmiati dari:
Saleh. Fakultas Ilmu Kesehatan, http://www.strokebethesda.com. Akses:
Program Studi Kesehatan 30 September 2015.
Masyarakat, Universitas Pekalongan.
Faktor Risiko Kejadian Obesitas pada
Remaja SMA Negeri 2 dan SMA Negeri
3 di Kota Pekalongan
Tahun 2010. Diunduh
dari:http://www.download.portalgaru
da.org/ipi21062.pdf. Akses: 17
September 2015.
2. Tolombot, Krisma Juliana
Mazniati. 2013. Skripsi Prevelensi
Obesitas
Pada Remaja di SMP Negeri 8 Manado.
3. Jumlah Orang Gemuk Bertambah.
Diunduh dari:
http://health.kompas.com/read/2014/0
8/20/170610223/Jumlah.Orang.Gemu
k.Terus.Bertambah. Akses:
17 September 2015.
4. Obesitas. Diunduh
dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/obesitas.
Akses: 23 September 2015.
5. Overweight & Obesitas sebagai suatu
Risiko Penyakit Degeneratif. Diunduh
dari: http://fai-
kao.com/2011. Akses: 23 September 2015.
6. Sugondo S. Obesitas. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi ke-
5.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009. P.1973- 1983.
Obesitas. Diunduh dari:
http://id.scribd.com. Akses: 23 September
2015.
7. Anonimous. Obesitas. Diunduh dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/...
/5/Chapter%20I.pdf. Akses: 18
September 2015.
8. Supriyanto, Agus. 2013. Obesitas,
Faktor Penyebab dan Bentuk-bentuk
Terapinya. Diunduh
dari: http://id.scrib.com. Akses: 5
Oktober 2015.
9. Adityawarman. 2007. Hubungan
Aktivitas Fisik dengan Komposisi Tubuh
pada Remaja. Diunduh
dari:
http://eprints.undip.ac.id/22215/1/Adi
ARTIKEL PENELITIAN

EFEK MENGKONSUMSI MINUMAN BERALKOHOL TERHADAP KADAR


TRIGLISRIDA

1
Dwi Purbayanti, 1Nur Aryanti Rembulan Saputra
1
Program Studi Analis Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya

Email: dwipurbayanti@gmail.com

ABSTRAK

Peminum berat yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 30 gram per hari akan
meningkatkan resiko peningkatan kadar trigliserida. Metabolisme etanol yang kronis
menyebabkan oksidasi asam lemak terganggu dan pengalihan karbon menjadi lemak
menyebabkan peningkatan produksi trigliserida di hati. Kelebihan trigliserida di hati
selanjutnya dikeluarkan kepembuluh darah dan terjadilah penumpukan trigliserida
dipembuluh darah dan dapat berlanjut ke Penyakit Jantung Koroner (PJK). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar trigliserida pada pengguna alkohol di Jalan
Mendawai Kota Palangka Raya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk
menggambarkan kadar trigliserida pada orang yang menggunakan atau mengkonsumsi
alkohol di Jalan Mendawai Kota Palangka Raya. Jumlah sampel yang diperoleh adalah 20
sampel dan diambil menggunakan teknik Purposive Sampling, dengan kriteria yaitu berjenis
kelamin laki-laki, berusia lebih dari 20 tahun, sudah mengkonsumsi alkohol lebih dari 5
tahun, minimal 1 kali dalam 1 minggu mengkonsumsi alkohol dan bersedia untuk dijadikan
sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 1 orang (5%) yang memiliki kadar
trigliserida normal dan 19 orang (95%) memiliki kadar trigliserida> normal. Berdasarkan
kriteria terhadap risiko penyakit jantung koroner (PJK) yaitu 1 orang (5%) memiliki kadar
trigliserida dengan kriteria ideal, 4 orang (20%) termasuk dalam kriteria batas tinggi terhadap
risiko PJK, 7 orang (35%) yang termasuk kriteria risiko tinggi dan 8 orang (40%) yang
termasuk kriteria risiko sangat tinggi terhadap PJK.

Kata Kunci: Alkohol, PeminumAlkohol, Trigliserida


Efek Mengkonsumsi Minuman Beralkohol Terhadap Kadar

PENDAHULUAN sering dikaitkan dengan peningkatan dalam


Alkohol termasuk zat adiktif atau zat konsentrasi trigliserida
yang dapat menimbulkan adiksi plasma dan memiliki relevansi dengan
(addiction) yaitu ketagihan dan risiko penyakit kardiovaskular dan
dependensi(ketergantungan). pankreatitis (Van De Wiel, 2012).
Penyalahgunaan alkohol adalah Data epidemiologis dari populasi
masalah kesehatan utama dan juga umum menunjukkan bahwa efek alkohol
masalah sosial di masyarakat. Penderita pada banyak penyakit memiliki pola
ketergantungan alkohol biasanya memiliki biphasic atau tergantung pada jumlah
pola konsumsi yang lebih berat dan konsumsi alkohol. Studi melaporkan
berakibat pada kerusakan organ yang bahwa kejadian penyakit jantung koroner
semakin meluas. Hati dan saluran (PJK) menurun pada populasi konsumsi
pencernaan adalah organ utama yang alkohol moderat dan kejadian meningkat
menjadi target kerusakan oleh etanol serta pada populasi konsumsi alkohol yang berat
neurologis dan kardiovaskular (Hiramine (Meister et al., 2000). Wakabayashi (2013)
et al. 2011). melaporkan kadar trigliserida menurun
Konsumsi minuman beralkohol pada konsumsi alkohol yang ringan dan
dikaitkan dengan peningkatan kejadian meningkat pada konsumsi alkohol yang
banyak penyakit, termasuk sindrom berat. Konsumsi etanol berat dapat
metabolik dan penyakit kardiovaskular meningkatkan produk silemak di hati
(Wakabayashi 2010). Alkohol diketahui (Sozio dan Crabb, 2008).
memiliki efek pada metabolisme kolesterol Efek akut utama dari konsumsi etanol
lipoprotein densitas tinggi (HDL-C), adalah peningkatan jumlah NADH yang
kolesterol lipoprotein densitas rendah merupakan konsekuensi dari reaksi ADH
LDL-C dan trigliserida serta tekanan darah untuk menghasilkan asetal dehid dan
(Park dan Kim, 2012). ALDH untuk mengkonversi asetal dehid
Sudah lama diketahui bahwa menjadi asetat. Efek akut yang lain adalah
konsumsi alkohol (etanol) mengganggu pembentukan senyawa adduct oleh asetal
metabolisme lipid yang menyebabkan dehida dengan protein, asam nukleat dan
disfungsi jaringan adiposa. Konsumsi senyawa lainnya yang mengakibatkan
alkohol kronis mengganggu metabolisme gangguan aktivitas pada senyawa yang
lipid karena meningkatkan lipolisis di tersebut. Selain itu efek akut akibat
jaringan adiposa dan menyebabkan metabolisme etanol adalah defisit oksigen
deposisi lemak ektopik di dalam hati dan (hipoksia) di hati dan pembentukan
perkembangan penyakit perlemakan hati molekul yang mengandung oksigen sangat
(Steiner dan Lang, 2017). Konsumsi etanol reaktif (spesies oksigen reaktif, ROS) yang
Efek Mengkonsumsi Minuman Beralkohol Terhadap Kadar

dapat merusak komponen sel lainnya


(King, 2017).
Alkohol (etanol) yang masuk ke
dalam tubuh akan mengalami serangkaian
proses biokimia. Etanol yang dikomsumsi Penelitian ini adalah jenis penelitian
90% diantaranya akan dimetabolisme oleh deskriptif. Sampel yang digunakan adalah
tubuh terutama di hati. Metabolisme peminum alkohol di Jalan Mendawai Kota
etanol di hati menghasilkan penigkatan Palangka Raya yang memenuhi kriteria
jumlah nikotinamid adenine dinokleotida berjenis kelamin laki-laki, berusia lebih
dehydrogenase(NADH) sitosolik dan dari 20 tahun, sudah mengkonsumsi
mitokondria yang menyebabkan alkohol lebih dari 5 tahun, mengkonsumsi
gangguan pada proses metabolisme normal alkohol minimal 1 kali dalam 1
di hati. Etanol akan dioksidasi akibat minggu,dan bersedia untuk dijadikan
mekanisme reaksi alcohol dehydrogenase sampel. Penarikan sampel dilakukan
(ADH) di sitosol menjadi asetaldehid yang secara purposive sampling, sehingga
bersifat toksik. Didalam mitokondria, diperoleh
asetal dehid akan dioksidasi oleh aldehyde 20 orang peminum alkohol yang akan
dehydrogenase (ALDH) menjadi asetat. dijadikan sampel dalam penelitian ini
Kelebihan asetat ini diubah menjadi asetil- untuk kemudian dilakukan pengambilan
KoA melalui aksi asetil-CoAsintetase sampel darah dan pemeriksaan kadar
mitokondria dan sitoplasma. Asetil-KoA trigliserida yang dianalisis di Laboratorium
kemudian dikonversi menjadi asam lemak. Klinik Fakultas Ilmu Kesehatan
Peningkatan trigliserida di dalam hati Universitas Muhammadiyah
kemudian dikeluarkan hingga ke pembuluh Palangkaraya. Pengukuran kadar
darah sehingga menyebabkan penumpukan trigliserida pada sampel darah vena
trigliserida di dalam pembuluh darah dilakukan menggunakan fotometer 5010
(King, 2017). V5+ Robert Riele dengan metode GPO-
Mempelajari profil lipid pada pasien PAP.
ketergantungan alkohol sangat
bermanfaat, untuk memahami efek dari
peningkatan konsumsi alkohol yang dapat
menyebabkan konsekuensi kesehatan yang
berbeda, seperti penyakit hati alkoholik,
penyakit kardiovaskular, dan penyakit
ginjal.

METODE PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN trigliserida lebih tinggi dibandingkan yang

Penelitian yang dilakukan terhadap kurang dari 15 tahun. Berdasarkan durasi

peminum alkohol di Jalan Mendawai minum, terlihat bahwa peminum yang

Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka setiap hari mengkonsumsi alkohol

Raya, merupakan upaya untuk memiliki kadar trigliserida lebih tinggi

memberikan gambaran mengenai efek atau peminum berat memiliki kadar

mengkonsumsi alkohol jangka panjang trigliserida lebih tinggi dibandingkan

terhadap risiko penyakit kardiovaskular. peminum sedang. Dan dari kandungan

Subyek yang digunakan dalam penelitian alkohol dalam miras yang diminum terlihat

ini adalah peminum alkohol sedang hingga bahwa kadar trigliserida lebih tinggi pada

berat. Menurut Wiel (2011) dikatakan peminum yang mengkonsumsi alkohol

peminum sedang adalah mengkonsumsi 1- dengan kadar yang lebih tinggi.

3 gelas perhari bagi laki- laki dan lebih


dari 3 gelas perhari merupakan peminum
berat. Data hasil penelitian di sajikan
dalam tabel 1 dan 2 di bawah ini.
Tabel 1. Rerata Kadar Trigliserida pada
Peminum Alkohol
Karakte ristik N Re rata -£ SD
Umur
21— 30 tahun 10 3196 223 4
31 — 40 tahun 6 4533 3101
41 — 50 tahun 4 513 + 1463
Lama Ko us urns i
6— 10 tahun 8 3485 2319
1 15 tahun 7 3407 2405

1
>15 tahun 5 559 + 2404
Duras i
Selalu fsetiap hard 4 406 6 233 3
— 3 kali dalam 1 minggu 16 233 3 318 6
2
Kandungan Alkohol dalam Miras
1-5% 3 335 7 251 9

Dari tabel 1 Berdasarkan kelompok umur,


terlihat terjadi peningkatan kadar
trigliserida seiring bertambahnya usia.
Selain itu, terlihat bahwa peminum
alkohol yang sudah mengkonsumsi
aIkohoI> 15 tahun memiliki kadar
Dari tabel 1 Berdasarkan kelompok umur, yang setiap hari mengkonsumsi alkohol
terlihat terjadi peningkatan kadar memiliki kadar trigliserida lebih tinggi
trigliserida seiring bertambahnya usia. atau peminum berat memiliki kadar
Selain itu, terlihat bahwa peminum trigliserida lebih tinggi dibandingkan
alkohol yang sudah mengkonsumsi peminum sedang. Dan dari kandungan
aIkohoI> 15 tahun memiliki kadar alkohol dalam miras yang diminum terlihat
trigliserida lebih tinggi dibandingkan bahwa kadar trigliserida lebih tinggi pada
yang kurang dari 15 tahun. Berdasarkan peminum yang mengkonsumsi alkohol
durasi minum, terlihat bahwa peminum dengan kadar yang lebih tinggi.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Trigliserida Berdasarkan Kriteria Risiko Penyakit Jantung
Koroner

Kad‹lai@k
Urnr
21- 30tahun 4(N4 2(lBS 428/) l05B
31-40tahun 0(6/4 2(I6/g 3(15%) 6(30’/g
41- S0tahun 0(6/# 3(M% I(5% 4(26/

6- l0tahun 2(16/g 2l&/ 42tf/ 84tP/


10- I tahun 0
l 5 /d 2(IN) 2l&/ 2ltf/ 735%
>I5tahun 0 &/j 0(6/ 315% 21tf/ 5 25%

Seldu(setiaphai) 1(50/4 0(6/ 3(MO/‹) 4(26/


2-3kali dalam 1mn 3(M%) 7(35%g 5(25%) 16(BI/#
KazLz Izin\held zBanMifzs
1-5 l(5 0/d 0(6/6 1(50/g 1(5% 3(I5%)

Catatan : nilai normal trigliserida adalah <150 mg/dL


Pada tabel 2 terlihat dari 20 orang berkurangnya kapasitas untuk oksidasi
peminum alkohol, hanya 1 orang (5%) lemak (King, 2017)
yang masuk kedalam kriteria ideal, 4 orang
(20%) masuk kriteria ambang batas tinggi,
7 orang (35%) orang masuk kriteria tinggi
dan 8 orang (40%) masuk kriteria sangat
tinggi atau 95% dari sampel memiliki
kadar trigliserida lebih dari normal
(hipertrigliserida).
Konsumsi minuman beralkohol
mempunyai berbagai efek pada kadar lipid
plasma terutama pada peningkatan kadar
trigliserida. Konsumsi alkohol dapat
menstimulasi hati untuk mensekresikan
VLDL, akibat hambatan oksidasi asam
lemak bebas di hati, yang akan memicus
intesis trigliserida dan sekresi VLDL
(Rader, 2006). Hal ini juga dilaporkan Van
De Wiel (2012) bahwa asupan alkohol
yang berlebihan dapat meningkatkan kadar
trigliserida. Alkohol yang dikonsumsi
90% akan dimetabolisme oleh tubuh
terutama didalam hati oleh enzim
alkoholdehidrogenase (ADH) dan
koenzim nikotinamid-adenin-dinukleotida
(NAD) menjadi asetaldehid dan kemudian
oleh enzim aldehida dehidrogenase
(ALDH) diubah menjadi asam asetat.
Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan
H2O. Piruvat, levulosa (fruktosa),
gliseraldehida (metabolit dari levulosa)
dan alanin akan mempercepat metabolisme
alkohol. Pemakaian alkohol yang lama
juga akan menimbulkan perubahan
pada mitokondria
yang menyebabkan
Berdasarkan umur dari subyek al., 2011) bahwa semakin banyak jumlah
peminum alkohol terlihat data
tidakkonsisten, namununtukusia 41 – 50
tahun, semua responden memiliki kadar
trigliserida di atas nilai normal atau
memiliki risiko yang tinggi dan sangat
terhadap PJK. Sedangkan berdasarkan
lama konsumsi alkohol, peminum yang
mengkonsumsi alkohol lebih dari 15
tahun semua memiliki risiko yang lebih
tinggi yakni sebanyak 3 orang (15%)
termasuk kriteria tinggi dan 2 orang
(10%) termasuk kriteria sangat tinggi.Van
De Wiel (2012) melaporkan bahwa
peminum alkohol kronis dengan dapat
meningkatkan aktifitas lipoprotein lipase
(LPL) sehingga meningkatkan lipolisis
dan peningkatan asam lemak dalam
plasma yang berakibat pada peningkatan
kadar trigliserida.
Berdasarkan durasi mengkonsumsi
alkohol, yang mengkonsumsi alkohol
setiap hari lebih banyak memiliki risiko
sangat tinggi terhadap PJK dibandingkan
yang mengkonsumsi 2 sampai dengan 3
kali dalam 1 minggu. Konsumsi alkohol
secara berlebihan dapat meningkatkan
penyakit jantung koroner (PJK) dan stroke
(3 kali lebih besar) terutama pada anak
muda.
Berdasarkan kandungan alkohol
dalam minuman keras, terlihat bahwa
peminum yang mengkonsumsi minuman
dengan kadar alkohol 20-50% lebih
banyak yang memiliki risiko tinggi dan
sangat tinggi terhadap PJK. Hal ini sesuai
dengan studi yang dilakukan (Hiramine et
konsumsi alkohol, maka kadar trigliserida DAFTAR PUSTAKA
semakin tinggi. Fernández-solà, J., 2015. moderate and
Penelitian ini menggunakan subyek heavy alcohol consumption. Nature
peminum alkohol dan semua responden Publishing Group, pp.1–12. Available
adalah perokok. Dan (Fernández-solà, at:
2015) bahwa merokok memodifikasi http://dx.doi.org/10.1038/nrcardio.201
hubungan antara minum alkohol dan Dwi Purbayanti dan Nur Aryanti Rembulan
beberapa faktor risiko aterosklerosis, Saputra

merokok dapat meningkatkan kadar


5.91.
trigliserida pada peminum alkohol yang
Hiramine, Y. et al., 2011. Alcohol drinking
merokok di bandingkan yang
patterns and the risk of fatty liver in
tidakmerokok (Wakabayashi, 2013).
Japanese men. Journal of
Gastroenterology, 46(4), pp.519–528.
KESIMPULAN
King, MW., 2017. Ethanol metabolism.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Available at:
hanya 1 orang (5%) yang memiliki kadar
https://themedicalbiochemistrypage.o
trigliserida normal dan 19 orang (95%)
rg/ethanol-
memiliki kadar trigliserida> normal.
metabolism.phpdiaksespada 12
Berdasarkan kriteria terhadap risiko
Agustus 2017
penyakit jantung koroner (PJK) yaitu 1
Meister, K.A., Whelan, E.M., Kava,
orang (5%) memiliki kadar trigliserida
R.,2000. The health effects of
dengan kriteria ideal, 4 orang (20%)
moderate alcohol intake in humans:
termasuk dalam kriteria batas tinggi
an epidemiologic review. Crit Rev
terhadap risiko PJK, 7 orang (35%) yang
ClinLab Sci. 37(3), pp.261-296.
termasuk kriteria risiko tinggi dan 8 orang
Park, H. & Kim, K., 2012. Association of
(40%) yang termasuk kriteria risiko sangat
alcohol consumption with lipid
tinggi terhadap PJK.
profile in hypertensive men. Alcohol
and Alcoholism, 47(3), pp.282–287.
Rader, D.J. & Hobbs, H.H., Disorders of
Lipoprotein Metabolism.Dalam :
Jameson, JL., 2006. Harrison’s
Endocrinology Ed. 16. United States
of America: Library of Congress
Cataloging; pp.333–354
Sozio, M. & Crabb, D.W., 2008. Alcohol
and lipid metabolism.
AJP: Endocrinology
and Metabolism, 295(1),
pp.E10–E16. Available at:
http://ajpendo.physiology.org/cgi/doi
/ 10.1152/ajpendo.00011.2008.
Steiner, J.L. & Lang, C.H., 2017. Alcohol,
adipose tissue and lipid dysregulation.
Biomolecules, 7(1).

Wakabayashi, I., 2010. Associations


between alcohol drinking and
multiple risk factors for
atherosclerosis in smokers and
nonsmokers. Angiology, 61(5),
pp.495–503.
Wakabayashi, I., 2013. Relationship
between alcohol intake and lipid
accumulation product in middle-aged

men. Alcohol and Alcoholism, 48(5),


pp.535–542.
Van De Wiel, A., 2012. The effect of
alcohol on postprandial and fasting
triglycerides. International Journal
of Vascular Medicine, 2012
JURNAL
PSIKOLOGI
2000, NO. 1, 37
- 47

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERILAKU MEROKOK PADA


REMAJA

Dian Komasari
Universitas Islam Indonesia

Avin Fadilla Helmi


Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine which were


predictors of smoking behavior on adolescents.
The subjects of this study were 75 male, aged 15-18 years, and
smokers. This study were done toward Scale of Parent’s
Permissiveness Attitude to smoking behavior, Scale of peer
influence, Scale of Psychological Satisfaction, and Scale of
Smoking Behavior.
The hypothesis was that parent’s permissiveness attitude to
smoking behavior; influence of peer, psychological satisfaction
was predictors toward smoking behavior on adolescents.
There was co-linearity phenomenon between psychological
satisfaction and others predictor so that psychological satisfaction
out of regression analysis.
The result of regression analysis showed that F value = 22,468
(p < 0,05) and R = (R = 0,620 ate R 2 = 0,384). This meant that
parent’s permissiveness attitude to smoking behavior and influence
of peer was predictors toward smoking behavior on adolescents. It
could be concluded that parent’s permissiveness attitude to
smoking behavior and influence of peer were effectively
contribution 38,4%.
ISSN : 0215 - 8884
Keywords: Smoking behavior, adolescent

Perilaku merokok dilihat dari uang’ apalagi jika hal tersebut


berbagai sudut pandang sangat dilakukan remaja yang belum
merugikan, baik untuk diri sendiri mempunyai penghasilan sendiri.
maupun orang di sekelilingnya. Dilihat dari sisi orang
Dilihat dari sisi individu yang disekelilingnya, merokok
bersangkutan, ada beberapa riset menimbulkan dampak negatif bagi
yang mendukung pernyataan perokok pasif. Resiko yang
tersebut. Dilihat dari sisi kesehatan, ditanggung perokok pasif lebih
pengaruh bahan-bahan kimia yang berbahaya daripada perokok aktif
dikandung rokok seperti nikotin, karena daya tahan terhadap zat-zat
CO (Karbonmonoksida) dan tar yang berbahaya sangat rendah
akan memacu kerja dari susunan (Safarino dalam Cahyani, 1995).
syaraf pusat dan susunan syaraf Tidak ada yang memungkiri adanya
simpatis sehingga mengakibatkan dampak negatif dari perilaku
tekanan darah meningkat dan detak merokok tetapi perilaku merokok
jantung bertambah cepat (Kendal & bagi kehidupan manusia merupakan
Hammen, 1998), menstimulasi kegiatan yang ‘fenomenal’. Artinya,
penyakit kanker dan berbagai meskipun sudah diketahui akibat
penyakit yang lain seperti negatif dari merokok tetapi jumlah
penyempitan pembuluh darah, perokok bukan semakin menurun
tekanan darah tinggi, jantung, paru- tetapi semakin meningkat dan usia
paru, dan bronchitis kronis (Kaplan merokok semakin bertambah muda
dkk, 1993). Bagi ibu hamil, rokok Hasil riset Lembaga Menanggulangi
menyebabkan kelahiran prematur, Masalah Merokok (Republika,
berat badan bayi rendah, mortalitas 1998) melaporkan bahwa di anak-
prenatal, kemungkinan lahir dalam anak di Indonesia sudah ada yang
keadaan cacat, dan mengalami mulai merokok pada usia 9 tahun.
gangguan dalam perkembangan Smet (1994) mengatakan bahwa
(Davidson & Neale, 1990). Hasil usia pertama kali merokok pada
riset Larson dkk (dalam Theodorus, umumnya berkisar antara usia 11-13
1994) menemukan bahwa sensivitas tahu dan mereka pada umumnya
ketajaman penciuman dan merokok sebelum usia 18 tahun.
pengecapan para perokok berkurang Data WHO juga semakin
bila dibandingkan dengan non- mempertegas bahwa seluruh jumlah
perokok. Dilihat dari sisi ekonomi, perokok yang ada di dunia
merokok pada dasarnya ‘membakar sebanyak 30% adalah kaum remaja
ISSN : 0215 - 8884
(Republika, 1998). Hampir 50%
perokok di Amerika Serikat
termasuk usia remaja (Theodorus,
1994).

ISSN : 0215 - 8884


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA 38
dan mereka pada umumnya perkembangannya yaitu masa ketika
merokok sebelum usia 18 tahun. mereka sedang mencari jati dirinya.
Data WHO juga semakin Dalam masa remaja ini, sering
mempertegas bahwa seluruh dilukiskan sebagai masa badai dan
jumlah perokok yang ada di dunia topan karena ketidak- sesuaian
sebanyak 30% adalah kaum remaja antara perkembangan fisik yang
(Republika, 1998). Hampir 50% sudah matang dan belum diimbangi
perokok di Amerika Serikat oleh perkembangan psikis dan
termasuk usia remaja (Theodorus, sosial. Upaya- upaya untuk
1994). menemukan jati diri tersebut, tidak
Berdasarkan data tersebut dapat semua dapat berjalan sesuai dengan
dikata- kan bahwa perilaku harapan masyarakat. Beberapa
merokok dimulai pada saat masa remaja melakukan perilaku
anak-anak dan masa remaja. merokok sabagai cara
Hampir sebagian remaja kompensatoris. Seperti yang
memahami akibat- akibat yang dikatakan oleh Brigham (1991)
berbahaya dari asap rokok tetapi bahwa perilaku merokok
mengapa mereka tidak mencoba
atau menghindari perilaku
tersebut ?
Ada banyak alasan yang
melatar- belakngi perilaku merokok
pada remaja. Secara umum
menurut Kurt Lewin, bahwa
perilaku merokok merupakan
fungsi dari lingkungan dan
individu. Artinya, perilaku
merokok selain disebabkan faktor-
faktor dari dalam diri, juga
disebabkan faktor lingkungan.
Faktor dari dalam remaja dapat
dilihat dari kajian perkembangan
remaja. Remaja mulai merokok
dikatakan oleh Erikson (Gatchel,
1989) berkaitan dengan adanya
krisis aspek psikososial yang
dialami pada masa
bagi remaja merupakan perilaku 1997) bahwa motif para perokok
simbolisasi. Simbol dari adalah relaksasi. Dengan merokok
kematangan, kekuatan, dapat mengurangi ketegangan,
kepemimpinan, dan daya tarik memudahkan berkonsentrasi,
terhadap lawan jenis. pengalaman yang menyenangkan,
Di sisi lain, saat pertama kali dan relaksasi.
meng- konsumsi rokok, gejala- Seperti yang diungkapkan oleh
gejala yang mungkin terjadi adalah Leventhal & Clearly (dalam
batuk-batuk, lidah terasa getir, dan Cahyani, 1995) terdapat 4 tahap
perut mual. Namun demikian, dalam perilaku merokok sehingga
sebagian dari para pemula tersebut menjadi perokok yaitu:
mengabaikan perasaan tersebut, 1. Tahap Preparatory. Seseorang
biasanya berlanjut menjadi men- dapatkan gambaran yang
kebiasaan, dan akhirnya menjadi menyenangkanmengenai merokok
ketergantungan. Ketergantungan ini dengan cara mendengar, melihat,
dipersepsikan sebagai kenikmatan atau dari hasil bacaan. Hal-hal ini
yang memberikan kepuasan menimbukan minat untuk
psikologis. Gejala ini dapat merokok.
dijelaskan dari konsep tobacco
dependency (ketergantungan rokok). 2. Tahap Initiation. Tahap
Artinya, perilaku merokok perintisan merokok yaitu tahap
merupakan perilaku yang apakah seseorang akan
menyenangkan dan bergeser meneruskan ataukah tidak
menjadi aktivitas yang bersifat terhadap perilaku merokok.
obsesif. Hal ini disebabkan sifat 3. Tahap becoming a smoker.
nikotin adalah adiktif, jika Apabila seseorang telah
dihentikan secara tiba-tiba akan mengkonsumsi rokok sebanyak 4
menimbul- kan stres. Secara batang per hari maka mempunyai
manusiawi, orang cenderung untuk kecenderungan menjadi perokok.
menghindari ketidak- seimbangan 4. Tahap maintenance of smoking.
dan lebih senang memper- tahankan Tahap ini merokok sudah
apa yang selama ini dirasakan menjadi salah satu bagian dari
sebagai kenikmatan sehingga dapat cara pengarturan diri (self-
difahami jika para perokok sulit regulating). Merokok dilakukan
untuk berhenti merokok. Dikatakan untuk memperoleh efek fisiologis
Klinke & Meeker (dalam Aritonang, yang menyenangkan.
ISSN : 0215 - 8884
Selain faktor perkembangan perilaku, pada dasarnya perilaku
remaja dan kepuasan psikologis, dapat ditranmisikan melalui tranmisi
masih banyak faktor dari luar vertikal dan horisontal (Berry dkk,
individu yang berpengaruh pada 1992). Tranmisi vertikal dilakukan
proses pembentukan perilaku oleh orang tua dan tranmisi
merokok. Pada dasarnya perilaku horisontal dilakukan oleh teman
merokok adalah perilaku yang sebaya. Dalam kesempatan ini yang
dipelajari. Hal itu berarti ada fihak- dimaksud dengan tranmisi horisontal
fihak yang berpengaruh besar adalah lingkungan teman sebaya dan
dalam proses sosialisasi. tranmisi vertikal adalah sikap
Konsep sosialisasi pertama permisif orang tua terhadap perilaku
berkembang dari Sosiologi dan merokok.
Psikologi Sosial merupakan suatu Dalam penelitian ini ada 3 faktor
proses tranmisi nilai-nilai, sistem penyebab perilaku merokok pada
belief, sikap, atau pun perilaku- remaja yaitu kepuasan psikologis,
perilaku dari generasi sebelumnya sikap permisif orang tua terhadap
kepada generasi berikutnya (Durkin, perilaku merokok remaja, dan
1995). Adapun tujuan sosialisasi ini pengaruh teman sebaya.
adalah agar generasi berikutnya
mempunyai sistem nilai yang sesuai Bagaimana cara transmisi
dengan tuntutan norma yang perilaku merokok? Salah satu yang
diinginkan oleh kelompok, sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan
individu dapat diterima dalam suatu fenomena ini adalah teori social
kelompok. Dalam kaitannya dengan cognitive learning dari Bandura.
perilaku merokok, pada dasarnya Teori ini menyatakan bahwa perilaku
hampir tidak ada orang tua yang individu disebabkan pengaruh
menginginkan anaknya untuk lingkungan, individu, dan kognitif.
menjadi perokok bahkan Perilaku merokok tidak semata-mata
masyarakat tidak menuntut anggota merupakan proses imitasi dan
masyarakat untuk menjadi perokok. penguatan positif dari keluarga
Namun demikian, dalam kaitan ini maupun lingkungan teman sebaya
secara tidak sadar, ada beberapa tetapi juga adanya pertimbangan-
agen yang merupakan model dan pertimbangan atas konsekuensi-
penguat bagi perokok remaja. konsekuensi perilaku merokok.
Dalam kaitan ini, seperti yang telah
Siapakah agen sosialisasi diuraikan bagian terdahulu, jika
perilaku merokok bagi remaja? orang tua atau saudaranya merokok
Dengan merujuk konsep tranmisi merupakan agen imitasi yang baik.
ISSN : 0215 - 8884
Jika keluarga mereka tidak ada
yang merokok, maka sikap

ISSN : 0215 - 8884


permisif orang tua merupakan HIPOTESIS
pengukuh positif atas perilaku Kepuasan psikologis, sikap
merokok. permisif orang tua terhadap perilaku
Demikian halnya yang terjadi merokok, dan lingkungan teman
pada kelompok teman sebaya. sebaya merupakan prediktor bagi
Teman sebaya mempunyai peran perilaku merokok remaja.
yang sangat berarti bagi remaja,
karena masa tersebut remaja mulai METODE
memisahkan diri dari orang tua dan PENELITIAN
mulai bergabung pada kelompok
A. Identifikasi Variabel-
sebaya. Kebutuhan untuk diterima
variabel Penelitian
sering kali membuat remaja
berbuat apa saja agar dapat 1.Kriterium : perilaku merokok
diterima kelompoknya dan terbebas 2. Prediktor:
dari sebutan ‘pengecut’ dan
a. sikap permisif orang tua
‘banci’.
terhadap perilaku merokok
Selanjutnya jika dilihat dari remaja
tahap-tahap perilaku merokok,
b. lingkungan teman sebaya
teman sebaya dan keluarga
merupakan fihak-fihak yang c. kepuasan psikologis
pertama kali mengenalkan atau
mencoba merokok, kemudian
berlanjut dan ber- kembang
menjadi tobacco dependency atau
adanya ketergantungan merokok.
Dalam tahap ini maka merokok
merupakan kepuasan psikologis
dan bukan semata- mata kebutuhan
untuk mewujudkan simbolisasi
kejantanan dan kedewasaan remaja.
menyenangkan, yang dirasakan
B. Definisi Operasinal Variabel oleh subjek. Hal ini akan
Penelitian diungkap dengan skala C.
1. Perilaku merokok adalah Subjek Penelitian
aktivitas subjek yang Subjek penelitian ini adalah
berhubungan dengan perilaku remaja perokok yang berusia 15-18
merokoknya, yang diukur tahun yang tinggal di kampung
melalui intensitas merokok, Sosrowijayan Wetan, siswa SMU
tempat merokok, waktu Kolombo, dan siswa SMU 9
merokok, dan fungsi merokok Yogyakarta. Dalam penelitian ini
dalam kehidupan sehari-hari, melibat- kan 90 subjek penelitian,
yang diungkap melalui Skala tetapi yang dapat dianalisis
Perilaku Merokok. sebanyak 75 subjek yang semuanya
2. Sikap permisif orang tua berjenis kelamin pria. Pemilihan
terhadap perilaku merokok subjek penelitian berdasarkan
remaja adalah bagaimana kerelaan.
penerimaan dari keluarga
terhadap perilaku merokok.
Semakin tinggi sekor yang
diperoleh subjek semakin besar
kemungkinan pengaruh keluarga
terhadap pembetukan merokok.
Hal ini akan diungkap melalui
Skala A.
3. Lingkungan teman sebaya
adalah sejauh mana subjek
mempunyai teman atau
kelompok teman sebaya yang
merokok dan mempunyai
penerimaan positif terhadap
perilaku merokok. Hal ini akan
diungkap melalui Skala B.
Kepuasan psikologis adalah
akibat atau efek yang diperoleh
dari merokok yang berupa
keyakinan dan perasaan yang
Alat Pengukuran Data sebaya, dan Skala C untuk
mengukur kepuasan psikologis, dan
Dalam penelitian ini ada
Skala Perilaku Merokok yang
beberapa alat yang digunakan
disusun oleh Aritonang (1997).
untuk mengukur beberapa variabel
penelitian yaitu Identitas subjek, Uji coba alat ukur dilakukan
Skala A untuk mengukur sikap pada siswa SMU Pakem yang
permisif orang tua terhadap melibatkan 60 siswa. Hasil uji
perilaku merokok remaja, Skala B konsistensi aitem total dan
untuk mengukur lingkungan teman reliabilitas terhadap skala tersebut
terlihat dalam table berikut ini.
Tabel 1. Koefisien konsistensi aitem total dan koefisien
reliabilitas

Jenis Skala Jumla Koefisien Koefisie


h Konsistensi n
aite aitem total reliabilit
m as
Skala A 14 0,3420 – 0,
0,7915 8780
Skala B 10 0,3094 – 0,
0,4334 7849
Skala C 13 0,3277 – 0,851
0,6453 9
Skala Perilaku 43 0,3021 – 0,921
Merokok 0,6782 9
C.Teknik Analisis Data Sebelum dilakukan analisis
Teknik analisis data yang regresi terlebih dahulu dilakukan uji
digunakan adalah regresi ganda. asumsi yang meliputi uji normalitas,
uji linieritas, dan interkorelasi antar
HASIL DAN variabel-variabel penelitian yang
PEMBAHASAN terlihat dalam tabel 3.

Berikut ini akan disajikan hasil


uji data secara deskriptif seperti
terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis deskriptif variabel-variabel


penelitian

Variab Sekor Sekor Seko Devia


el Minim Maksim r si
al al Rerat Stand
a ar
Sikap permisif orang tua 3 144 22,4667 1,0
terhadap perilaku merokok 8
remaja Lingkungan teman 16 40 29,2267
sebaya Kepuasan Psikologis 13 47 32,2000 0.5
Perilaku Merokok 34 109 75,1876 2
0,7
8
1,9

Tabel 3. Uji Normalitas Variabel-variabel Penelitian

Variab Harga Zp Status


el (KS)
Sikap permisif orang tua terhadap 0,60 > 0,05 Normal
perilaku merokok remaja 6
Lingkungan teman > 0,05 Norm
sebaya Kepuasan 0,80 > 0,05 al
Psikologis Perilaku 2 > 0,05 Norm
merokok 0,90 al
8
0,76 Norm
3 al
Normalitas masing-masing Selanjutnya untuk melihat
variabel akan diuji dengan statistika linieritas masing-masing prediktor
non paramatrik one-sample terhadap kriterium dilakukan uji
Kolmogorof-Smirnof. Sebaran sekor linieritas. Hubungan antara
dikatakan normal apabila nilai Z prediktor dan kriterium dikatakan
(K- linier jika ke dua variabel
S) berada dalam p > 0,05. mempunyai nilai F dengan p < 0,05.
Berdasarkan hasil dalam tabel 3
terlihat bahwa semua variabel
mempunyai distribusi normal.
Tabel 4. Hasil uji linieritas perdiktor dengan kriterium

Variab F p Status
el
Sikap permisif orang tua 21,433 < 0,05 Linier
terhadap perilaku merokok
remaja Lingkungan teman 12,654 < 0,05 Linie
sebaya Kepuasan Psikologis 55,567 < 0,05 r
Linie
r

Berdasarkan uji linieritas tahui sejauh mana keeratan


menunjukkan bahwa harga F (p < hubungan antar prediktor, sehingga
0,05); hal itu berarti semua dapat ditentukan apakah prediktor-
prediktor mempunyai hubungan prediktor tersebut me- rupakan
yang linier dengan kriterium. variabel bebas atau terjadi
Berikut ini disajikan matrik kolinieritas.
interkorelasi antar variabel untuk
menge-
Tabel 5. Matrik interkorelasi antar variabel

Sikap permisif Pengaru


orang h Kepuas Perila
tua terhadap tema an ku
perilaku n psikolo merok
merokok seba gis ok
remaja ya
Sikap permisif orang tua 1,00 0,038 0,429 0,494
terhadap perilaku *) *)
0,069 1,00
merokok remaja
0,429 0,366 0,366 0,393
Lingkungan teman *) *) *) *)
sebaya Kepuasan 0,494 0,393 1,00 0,640
psikologis *) *) 0,640 *)
Perilaku merokok *) 1,00
Ket: *) p < 0,05
Berdasarkan matrik interkorelasi perilaku merokok anak-anaknya
ter- lihat bahwa variabel kepuasan dibanding- kan keluarga non-
psikologis mempunyai hubungan perokok. Dalam hal ini menurut
erat dengan variabel sikap permisif pandangan social cognitive learning
orang tua terhadap perilaku theory, merokok bukan semata- mata
merokok remaja (r = 0,429; p < proses belajar pengamatan anak
0,05) dan lingkungan teman sebaya terhadap orang tua atau saudaranya
(r = 0,366; p < 0,05). Dengan tetapi adanya pengukuh positif dari
demikian variabel kepuasan orang tua dan konsekuensi-
psikologis bukan variabel yang konsekuensi merokok dirasa- kan
berdiri sendiri atau terbebas dari menyenangkan remaja.
variabel sikap permisif orang tua Pengukuh positif lain diterima
terhadap perilaku merokok remaja dari teman sebaya. Hasil penelitian
dan lingkungan teman sebaya. Hal ini memperkuat penelitian yang
ini disebut dengan kolinieritas, dilakukan oleh Harlianti (1988)
dengan demikian variabel ini tidak bahwa lingkungan teman sebaya
akan diikutsertakan dalam dalam memberikan sumbangan efektif
analisis regresi ganda. sebesar 33,048%. Lingkungan teman
Berdasarkan hasil analisis regresi sebaya mempunyai arti yang sangat
ganda, hipotesis yang diajukan tidak penting bagi remaja. Kebutuhan
dapat diterima. Namun demikian, untuk diterima dan usaha untuk
sikap permisif orang tua terhadap menghindari penolakan kelompok
perilaku merokok remaja dan teman sebaya merupakan kebutuhan
lingkungan teman sebaya yang sangat penting. Remaja tidak
merupakan prediktor yang cukup ingin dirinya ditolak dan mengindari
baik terhadap perilaku merokok sebutan ‘banci’ atau ‘pengecut’.
remaja yaitu sebesar 38,4%. Hal ini Merokok bagi remaja juga
berarti bahwa faktor lingkungan merupakan simbolisasi, simbol atas
yaitu lingkungan keluarga dan kekuasaan, kejantanan, dan
lingkungan teman sebaya kedewasaan (Brigham, 1991).
memberikan sumbangan yang Kepuasan psikologis
berarti dalam perilaku merokok memberikan sumbangan yang
remaja. Hasil penelitian ini sangat tinggi terhadap. Hasil
mendukung hasil penelitian yang analisis regresi ganda memper-
dilakukan Theodorus (1994) lihatkan bahwa F = 22,468 (p <0,05)
mengatakan bahwa keluarga dan R
perokok sangat berperan terhadap = 0,620 (R2 = 0,384). Artinya, sikap
permisif orang tua terhadap sebanyak 38,4%. Sementara itu,
perilaku merokok remaja dan hubungan kepuasan psikologis
lingkungan teman sebaya terhadap perilaku merokok sebesar r
merupakan prediktor terhadap = 0,640 (p < 0,05). Hal ini berarti
perilaku merokok remaja. Jadi bahwa kepuasan psikologis
sumbangan sikap permisif orang menyumbang 40,9% terhadap
tua dan lingkungan teman sebaya perilaku merokok.
terhadap perilaku merokok remaja
perilaku merokok remaja yaitu merokok bagi remaja mempunyai
40,9%. Hal ini memberikan kaitan yang erat dengan aspek
gambaran bahwa perilaku merokok psikologis terutama efek yang positif
bagi subjek dianggap memberikan yaitu sejumlah 92,555% sedangkan
kenikmatan dan menyenangkan. efek negatif hanya sebesar 7,45%
Rokok diyakini dapat (pusing, ngantuk, dan pahit). Hasil
mendatangkan efek-efek yang ini menunjukkan bahwa subjek
menyenangkan. Berikut ini merasakan kepuasan setelah
disajikan perasaan subjek setelah merokok. Kepuasan ini berkaitan
merokok. dengan aspek-aspek emosi. Yang
paling menonjol dirasakan subjek
Tabel 6. Efek-efek setelah adalah kenikmatan (38,298%),
merokok kepuasan (15,957%), dan merasakan
ketenangan (12,766%). Kepuasan
Efek-efek % psikologis ini kemungkinan
Nikmat 38,29 berhubungan erat dengan frekuensi
8 merokok subjek. Rata-rata subjek
Puas 15,95 merokok 7 batang per hari.
7
Tenang 12,76 Dikatakan Laventhal & Cleary
6 (dalam Cahyani, 1995) bahwa
Biasa saja 11,70 remaja yang merokok lebih dari 4
3
Santai 5,319 batang per hari mereka sudah
Hangat 3,192 dikategorikan sebagai perokok.
Percaya diri 2,128 Subjek yang meng- konsumsi rokok
Gaya 1,064 sama dengan atau lebih besar dari 4
Masalah hilang 1,064 batang per hari lebih dari 68%.
Ngantuk 1,064
Pusing 5,257 Hanya 15% subjek yang menyatakan
Pahit 2,218 tidak tentu dalam mengkonsumsi
Berdasarkan tabel 6 terlihat bahwa rokok dengan alasan karena
keterbatasan uang. Hasil ini Kondisi konsumsi
rokok %
semakin memperkuat pandangan
yang terbanyak
bahwa merokok bukan berkaitan Stres 40,86
dengan aspek rasional yaitu aspek Kumpul dengan teman 27,96
negatif dari rokok, baik dari sisi Habis makan 12,903
ekonomis maupun kesehatan, tetapi Dingin 7,529
lebih berkaitan kepuasan emosional. Ada uang lebih 6,452
Mendengarkan musik 1,075
Adapun frekuensi konsumsi rokok Jauh dari orang tua 1,075
disaji- kan dalam tabel berikut ini. Jalan-jalan 1,075

Tabel 7. Jumlah Rokok Per Hari


Kondisi yang paling banyak
Jumlah rokok (batang) Frekuensi perilaku merokok yaitu ketika subjek
24 2 dalam tekanan.
14 1
12 14
11 1
10 2
8 1
7 6
6 12
5 10
4 2
3 6
2 6
1 1
Tidak tentu 11
Total
Kepuasan psikologis 75merokok
diperkuat oleh efek-efek setelah
merokok, bahwa efek negatif
seperti apakah jumlah rokok
yang dikonsumsi paling banyak ?

Tabel 8. Kondisi konsumsi rokok


yang terbanyak
Kepuasan psikologis merokok diperkuat oleh efek-efek setelah merokok,
bahwa efek negatif merokok hanya dirasakan sebesar 7,45%. Hal ini berarti
subjek sudah terbiasa merokok, sebab bagi pemula efek yang timbul adalah
pusing, mual-mual, dan mulut pahit.(stres) yaitu 40,86%; yang kedua ketika
berkumpul dengan teman sebaya (27,96%). Konsumsi rokok ketika stres
merupakan upaya-upaya pengatasan masalah yang bersifat emosional atau
sebagai kompensatoris kecemasan yang dialihkan terhadap perilaku
merokok. Hal ini semakin mempertegas mengapa para perokok merasakan
kenikmatan setelah merokok. Perilaku merokok dipandang sebagai upaya
penyeimbang dalam kondisi stres. Dengan kata lain berdasarkan pandangan
Laventhal & Cleary (dalam Cahyani, 1995) bahwa kemungkinan besar
subjek telah masuk ke tahap bukan saja dalam becoming a smoker tetapi
telah masuk ke dalam tahap maintenance of smoking. Merokok sudah
menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self- regulating).
Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Hampir 28% subjek menyatakan bahwa konsumsi terbesar rokok ketika
mereka sedang berkumpul dengan teman-temannya yaitu apakah mereka
nongkrong di mall, begadang, piknik, atau kumpul-kumpul saja.
Kapan pertama kali mereka merokok ? Sebanyak 16 (21,33%) subjek
memulai perilaku merokok ketika masih SD. Hasil ini memperkuat pendapat
Traquet (dalam Suhariyono, 1993) bahwa perilaku merokok biasanya di
mulai pada masa remaja meskipun proses menjadi perokok telah dimulai
sejak masa kanak-kanak.

Tabel 9. Waktu pertama kali merokok

Pertama Frekuen %
kali si
merokok
SD 16 21,33
SLTP 47 62,67
SMU 12 16,00
Jumlah 75 100,0
0
Berdasarkan tabel 9 terlihat bahwa masa-masa yang kritis atau rawan
terhadap perilaku merokok pada masa SLTP atau termasuk tahap
perkembangan remaja awal. Remaja awal merupakan periode yang paling
kritis terhadap pemgaruh teman sebaya dan didukung sikap yang permisif
dari orang tua.
KESIMPULAN
Perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari. Proses belajar dimulai
dari sejak masa anak-anak, sedangkan proses menjadi perokok pada masa
remaja. Proses belajar atau sosialisasi tampaknya dapat dilakukan melalui
tranmisi dari generasi sebelumnya yaitu tranmisi vertikal yaitu dari
lingkungan keluarga, lebih spesifik sikap
permisif orang tua terhadap perilaku merokok remaja. Sosialisasi yang lain
melalui transmisi horisontal melalui lingkungan teman sebaya. Namun
demikian, yang paling besar memberikan kontribusi adalah kepuasan-
kepuasan yang diperoleh setelah merokok atau rokok memberikan
kontribusi yang positif. Pertimbangan-pertimbangan emosional lebih
dominan dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi
perokok.

SARAN-SARAN
Agen sosialisasi dalam perilaku merokok adalah keluarga dan lingkungan
teman sebaya. Sementara itu, perilaku merokok lebh berkaitan dengan aspek
emosional. Saran-saran dari penelitian ini adalah:
1. Bagi orang tua yang menginginkan anaknya tidak merokok maka
anggota keluarga tidak disarankan merokok dan atau tidak memberikan
pengukuh positif ketika remaja merokok.
2. Teman sebaya memberikan kontribusi yang cukup besar kepada remaja
untuk merokok, dalam hal ini jika orang tua tidak menginginkan
anaknya merokok, maka orang tua perlu waspada ter- hadap kelompok
teman sebaya anak- anaknya.
3. Perilaku merokok lebih didasarkan atas pertimbangan emosional.
Berkaitan dengan masalah tersebut upaya preventif maupun kuratif
sebaiknya tidak menggunakan pendekatan kognitif seperti pemberian
informasi bahaya-bahaya atau dampak negative merokok, tetapi sentuhan-
sentuhan afeksional perlu dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, MER. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM
Berry, JW., Pootinga, YPEH., Segall, M.H., Dasen, P.R., 1992.Cross-cultural Psychology:
Research & Applications. Cambridge: Cambridge Press University.
Brigham, C.J., 1991. Social Psychology.
Boston: Harper Collins Publisher, Inc.
Cahyani, B. 1995. Hubungan antara Persepsi terhadap Merokok dan Kepercayaan Diri dengan
Perilaku Merokok pada Siswa STM Muhammadiyah Pakem Sleman Yogyakarta. Skripsi.
Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Davidson, G.C & Neale, J.M., 1990. Abnormal Psychology. New York:John Willey & Sons.
Durkin, K. 1995. Developmental Social Psychology From Infancy to Old Age. Cambrigde:
Blackwell Publisher.
Gatchel, R.J.. 1989. An Introdunction to Health Psychology. New York: Mc Graw-Hill Book
Company.
Harlianti, T.T. 1988. Hubungan antara Pemenuhan Kasih Sayang Orang Tua
dan Pengaruh Lingkungan Merokok Teman Sebaya dengan Tingkah Laku Merokok
Remaja SMP. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Kaplan, R.M., Sallis, J.F & Patterson, T.L. 1993. Helath and Human Behavior. New York:
McGraw-Hill Book Co
Kendal, P.C & Hammen, C. 1998. Abnormal Psychology: Understanding Human Problems.
New York: Houghton Mifflin Company
Republika. 1998. Lebih Tiga Juta Mening- gal karena Tembakau dalam Setahun. Harian
Republika. 30 Oktober 1998.
Republika. 1998. Dibanding AIDS dan TBC, Merokok Lebih Banyak Memati- kan. Harian
Republika. 30 November 1998.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Suhariyono, A. 1993. Intensitas Merokok dan Kecenderungan Memilih Tipe Strategi
Menghadapi Masalah pada siswa SMTA di Yogyakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Theodorus. 1994. Ciri Perokok di Kalangan Mahasiswa/1 Universitas Sriwijaya. Jurnal JEN.
No. 3, 19-24.
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN OLAHRAGA DENGAN KEJADIAN
HIPERTENSI PADA PASIEN USIA 45 TAHUN KEATAS

The Association between Exercise Habit and Incidence of Hypertension among


Patients over 45 years old

Librianti Putriastuti
FKM UA, libriantiputri@yahoo.com
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK
Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang berupa gangguan pada sistem
sirkulasi yang banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Secara global, hipertensi diperkirakan
menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar 12,8% dari total seluruh kematian. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kejadian hipertensi pada pasien
usia 45 tahun keatas. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain
potong lintang. Penelitian dilakukan kepada 97 pasien yang berkunjung ke poli umum Puskesmas
Kedurus pada bulan Mei tahun 2015 dengan cara systematic random sampling. Variabel tergantung
pada penelitian ini adalah hipertensi, sedangkan variabel bebas adalah status olahraga, frekuensi
olahraga dan lama waktu olahraga. Analisis data dilakukan dengan uji chi-square. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejadian hipertensi sebagian besar diderita oleh responden dengan kategori
middle age (45–59 tahun) yaitu sebesar 52,8%, jenis kelamin perempuan sebesar 80,6% dan
berpendidikan SMA/sederajat sebesar 26,4%. Hasil analisis dengan uji chi-square menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara status olahraga dengan kejadian hipertensi yaitu p = 0,001
dengan α = 0,05. Uji chi-square antara frekuensi olahraga yaitu p = 0,068 dengan α = 0,05 dan lama
waktu olahraga yaitu p = 0,710 dengan α = 0,05 dengan kejadian hipertensi pada pasien usia 45
tahun keatas menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan karena nilai p > α. Dari semua
variabel yang diteliti, hanya status olahraga yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada
pasien usia 45 tahun keatas. Oleh karena itu, pada masyarakat khususnya yang berusia 45 tahun
keatas perlu melakukan pemeriksaan tekanan darah dan olahraga secara rutin untuk mengurangi
risiko terjadinya hipertensi.
Kata kunci: frekuensi olahraga, hipertensi, lama waktu olahraga, pasien usia 45 tahun keatas, status
olahraga

ABSTRACT
Hypertension is one of non-communicable diseases causing blood circulation system disorders and
become major public health problem. Globally, hypertension is estimated to causes 7.5 million
deaths, about 12.8% of all deaths. The purpose of this research was to analyze the association
between exercise habit and incidence of hypertension among patients over 45 years old. This
research was observasional study and used cross sectional design. This research was conducted
involving 97 patients who visited Kedurus public health center in May 2015, taken by systematic
random sampling. The dependent variable in this study was hypertension, while independent
variables were the status of exercise, frequency of exercise and duration of exercise. Data were
analyzed by chi-square test. The result showed that the incidence of hypertension mostly suffered by
middle age respondents (45 to 59 years old) was equal to 52.8%, female (80.6%) and educational
level was senior high school (26.4%). The result of chi-square test showed that there was a
significant association between status of exercise and incidence of hypertension (p = 0.00 with α =
0.05). Beside that, there weren’t association between frequency of exercise (p = 0.068 with α =
0.05) and duration of exercise (p = 0.710 with α = 0.05) and incidence of hypertension among
patients over 45 years old. From all variables studied, only status of exercise that had a significant
association with incidence of hypertension among patients over 45 years old. Therefore, it is
recommended especially for people over 45 years old to do regular blood pressure check up and
exercise to reduce the risk of hypertension.
Keywords: frequency of exercise ,hypertension, duration of exercise, patients over 45 years old, status
of exercise

PENDAHULUAN infeksi atau penyakit menular menjadi non


infeksi atau penyakit tidak menular antara lain
Transisi epidemiologi yang terjadi di penyakit degeneratif dan man made diseases.
Indonesia mengakibatkan berubahnya pola Penyakit- penyakit tersebut merupakan
penyakit yaitu dari faktor utama dari

©2016 FKM_UNAIR All right reserved. Open 225 access under CC BY – SA license doi:
10.20473/jbe.v4i2.2016.225–236 Received 2 July 2016, received in revised form 18 August
2016, Accepted 23 August 2016, Published online: 31 December 2016
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 226

masalah morbiditas dan mortalitas (Rahajeng esensial. Sekitar 90–95% kasus hipertensi
dan Tuminah, 2009). termasuk dalam kelompok ini dan lebih
Hipertensi atau yang dikenal dengan banyak terjadi pada perempuan daripada laki-
tekanan darah tinggi merupakan salah satu laki. Hipertensi primer biasanya dimulai sebagai
penyakit tidak menular yang berupa proses labil pada seseorang di akhir usia 30-an
gangguan pada sistem sirkulasi. Seseorang dan
dikatakan hipertensi apabila keadaan tekanan awal 50-an yang kemudian secara bertahap
darah mengalami peningkatan diatas normal akan menetap. Hipertensi sekunder adalah
yaitu ≥ 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan hipertensi yang sudah diketahui penyebabnya
atau ≥ 90 mmHg untuk tekanan diastolik secara yaitu terjadinya gangguan pada pembuluh
terus-menerus. Tahap hipertensi dikategorikan darah atau organ tertentu seperti penyakit
menjadi dua, yaitu hipertensi derajat 1 pada ginjal, penyakit endokrin, obat dan lain
rentang tekanan sistolik 140–159 mmHg dan sebagainya. Secara sederhananya, hipertensi
diastolik 90–99 mmHg dan hipertensi derajat sekunder disebabkan oleh adanya penyakit
2 yaitu tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan lain. (Widyanto dan Triwibowo, 2013).
diastolik ≥ 100 mmHg (Sheps, 2005). Tekanan Peningkatan tekanan darah dapat terjadi
sistolik merupakan tekanan darah maksimum melalui beberapa mekanisme. Pertama, jantung
dalam arteri yang disebabkan oleh sistol memompa darah lebih kuat setiap detiknya
ventrikuler. Hasil pembacaan pada tekanan sehingga lebih banyak cairan. Kedua,
sistolik menunjukkan tekanan atas yang kelenturan arteri besar hilang dan menjadi kaku
lebih besar nilainya, sedangkan tekanan sehingga tidak dapat mengembang saat darah
diastolik adalah tekanan minimum dalam arteri yang melalui arteri tersebut dipompa oleh
yang disebabkan oleh diastolik ventrikuler. jantung. Darah dipaksa untuk melewati
Hasil pembacaan pada tekanan diastolik pembuluh darah yang sempit dan
menunjukkan tekanan bawah yang lebih kecil menyebabkan tekanan darah menjadi naik.
nilainya (Widyanto dan Triwibowo, 2013). Penebalan dan kakunya dinding arteri terjadi
Tekanan darah tinggi banyak karena adanya aterosklerosis yang terjadi pada
mengganggu kesehatan masyarakat karena lanjut usia. Ketiga, tekanan darah juga
sebagian besar orang tidak menyadari bahwa meningkat ketika terjadi vasokontriksi yang
dirinya sedang menderita hipertensi. Hal ini disebabkan oleh rangsangan saraf dan
terjadi karena gejalanya yang tidak nyata dan hormon. Keempat, bertambahnya cairan
pada stadium awal belum memperlihatkan dalam sistem sirkulasi dapat meningkatkan
gangguan yang serius pada kesehatan (Depkes tekanan darah. Hal tersebut dapat terjadi
RI, 2008). Gejala yang sering menyertai karena terdapat kelainan pada fungsi ginjal
hipertensi antara lain pusing, sakit kepala, yang tidak mampu membuang natrium dan air
rasa berat atau kaku di tengkuk, sulit tidur dan dalam tubuh sehingga volume darah dalam
hidung berdarah. Gejala akan terasa secara tubuh meningkat. Ginjal juga dapat
tiba-tiba ketika terjadi peningkatan tekanan meningkatkan tekanan darah dengan
darah. Tanda dan gejala yang khas tidak timbul menghasilkan enzim renin yang memicu
sampai hipertensi tingkat lanjut yang pembentukan hormon angiotensin dan
membahayakan nyawa penderita (Sheps, selanjutnya hormon aldosteron dilepaskan
2005). (Widyanto dan Triwibowo, 2013).
Terdapat dua golongan hipertensi Tekanan darah tinggi merupakan faktor
berdasarkan penyebabnya, yaitu hipertensi risiko utama pada penyakit jantung koroner,
esensial dan hipertensi sekunder. stroke iskemik dan hemoragik. Tingkat tekanan
Hipertensi esensial atau primer secara pasti darah telah terbukti positif dan terus
belum diketahui penyebabnya karena bersifat berhubungan dengan risiko stroke dan
multifaktorial yang masing-masing saling penyakit jantung koroner. Selain itu,
berinteraksi mengganggu homeostastis, komplikasi hipertensi juga termasuk gagal
sehingga tekanan darah sistolik dan diastolik jantung, penyakit pada pembuluh darah
akan mengalami peningkatan. Gangguan perifer, gangguan ginjal, penglihatan dan
emosi, obesitas, konsumsi alkohol dan kopi perdarahan retina (WHO, 2014).
yang berlebihan, merokok dan keturunan
berpengaruh pada proses terjadinya hipertensi Menurut WHO (2014), penyakit
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 227

kardiovaskuler merupakan pembunuh nomor 1 dan Tuminah (2009) seperti jalan cepat,
di dunia pada usia diatas 45 tahun dan yang menyatakan jogging, bersepeda,
diperkirakan 12 juta orang meninggal tiap bahwa berdasarkan renang dan senam dapat
tahunnya. Secara global, hipertensi aktivitas fisik, menurunkan
diperkirakan menyebabkan 7,5 juta proporsi responden tekanan darah
kematian, sekitar 12,8% dari total seluruh yang kurang aktivitas sebanyak 5–10
kematian. Prevalensi keseluruhan tekanan fisik pada kelompok mmHg (Sheps,
darah tinggi pada orang dewasa berusia ≥ 25 hipertensi ditemukan 2005).
tahun sebesar 40% pada tahun 2008. lebih tinggi (42,9%) Bagi penderita
Prevalensi hipertensi tertinggi berada di daripada kelompok hipertensi, olahraga
Afrika yaitu sebesar 46% pada pria dan kontrol atau tidak dapat membantu
wanita (WHO, 2014). Di Inggris, 34% pria hipertensi (41,4%). sehingga tidak perlu
dan 30% wanita menderita hipertensi (diatas Risiko aktivitas fisik mengonsumsi obat
140/90 mmHg) atau sedang mendapatkan ini secara bermakna penurun tekanan
pengobatan hipertensi. Prevalensi ditemukan sebesar darah. Olahraga
hipertensi di dunia berdasarkan wawancara 1,02 kali akan membantu
hampir satu miliar pada usia ≥ 18 tahun dibandingkan yang kerja obat menjadi
orang dan menurut provinsi di cukup aktivitas fisik. lebih efektif pada
diperkirakan pada Indonesia tahun 2013, Kecenderungan untuk penderita hipertensi
tahun 2025, Jawa Timur berada terkena hipertensi yang harus minum
jumlahnya mencapai pada urutan ke-6 pada seseorang obat (Sheps, 2005).
1,6 miliar orang (Kemenkes RI, 2013). dengan aktivitas fisik Namun, olahraga
(Palmer dan William, Berdasarkan daftar yang kurang yaitu tidak dapat
2007). 10 penyakit terbanyak sebesar 30–50% dilakukan pada
Di Indonesia, di kota Surabaya (Rimbawan dan seseorang yang
prevalensi hipertensi menunjukkan bahwa Siagian, 2004). memiliki tekanan
berdasarkan terjadi peningkatan darah sistolik lebih
wawancara (apakah pada kejadian dari 170 mmHg dan
pernah dilakukan hipertensi yaitu pada atau diastolik lebih
diagnosis oleh tenaga tahun 2011 dan 2012 dari 110 mmHg.
kesehatan dan minum berada di peringkat ke- Pada lansia mulai
obat hipertensi) 7 dengan persentase Olahraga usia 45 tahun,
mengalami masing-masing sebesar merupakan olahraga secara
peningkatan yaitu 3,3% dan 3,06%. Pada serangkaian gerak teratur terbukti dapat
dari 7,6% pada tahun 2013 hipertensi raga yang teratur dan meningkatkan
tahun 2007 menjadi berada pada peringkat terencana untuk fungsi
9,5% pada tahun ke-2 yaitu sebesar memelihara kardiovaskuler
2013 (Kemenkes RI, 13,6%. kehidupan, yang
2013). Menurut Profil Terdapat beberapa meningkatkan memperlambat
Kesehatan Jawa faktor risiko terjadinya kualitas hidup dan penurunan fungsi
Timur tahun 2010, hipertensi antara lain mencapai tingkat tubuh (Afriwardi,
selama tiga tahun usia, jenis kelamin, kemampuan jasmani 2009).
berturut- turut (2008- keturunan, obesitas, yang sesuai dengan Menurut data Dinas
2010) hipertensi konsumsi garam tujuan (Giriwoyo dan Kesehatan kota
berada pada urutan berlebih, kurang Sidik, 2012). Olahraga Surabaya
ke-tiga penyakit olahraga, merokok dan yang teratur dapat , pada tahun 2013
terbanyak di konsumsi alkohol menurunkan risiko Puskesmas Kedurus
puskesmas sentinel (Dalimartha dkk, 2008). aterosklerosis yang berada pada urutan
Jawa Timur. Pada risiko kurang merupakan salah satu pertama dari seluruh
Berdasarkan Hasil olahraga atau aktivitas penyebab hipertensi. Puskesmas di
Riset Kesehatan fisik terhadap kejadian Selain itu, dengan Surabaya untuk
Dasar tahun 2013, hipertensi telah melakukan olahraga kasus hipertensi
kecenderungan dibuktikan melalui yang teratur pada usia > 18 tahun
prevalensi hipertensi penelitian dari Rahajeng khususnya aerobik dengan persentase
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 228

sebesar 5,6%. yaitu dilakukan adalah sebagian


Selain itu pada penelitian untuk pasien usia 45 tahun
Pedoman mengidentifikasi keatas yang
Penilaian Kinerja faktor risiko yang berkunjung ke poli
Puskesmas (PKP) membuat seseorang umum Puskesmas
Kedurus lebih mudah Kedurus pada saat
Surabaya, dari mengalami penelitian
tahun 2012 hipertensi, sehingga berlangsung.
sampai dengan dapat menghindari
2014, hipertensi terjadinya
termasuk dalam komplikasi pada
daftar 15 penyakit penyakit lain.
terbanyak Tujuan dari
menurut penelitian ini
kunjungan pasien. adalah
Dalam tiga tahun mengidentifikasi
berturut-turut karakteristik
tersebut, terjadi demografi
peningkatan responden penderita
angka kunjungan hipertensi yang
penderita meliputi usia, jenis
hipertensi kelamin dan tingkat
walaupun berada pendidikan, serta
pada urutan yang menganalisis
sama (urutan ke- hubungan kebiasaan
2) yaitu sebesar olahraga yang
18,90% pada meliputi status
tahun 2012, olahraga, frekuensi METOD
menjadi sebesar olahraga dan lama E
21,67% pada waktu olahraga Jenis penelitian
tahun 2013. dengan kejadian adalah
Kemudian pada hipertensi pada observasional
tahun 2014 berada pasien usia 45 tahun analitik dengan
pada urutan keatas. studi desain
pertama dengan
potong lintang
persentase
(cross sectional).
40,78%. Dari
Penelitian
angka tersebut,
dilakukan di poli
sebagian besar
umum Puskesmas
penderita
Kedurus
hipertensi berasal
Surabaya pada
dari kategori usia
bulan Mei 2015.
lanjut atau 45
Populasi dalam
tahun keatas. Oleh
penelitian ini
karena tingginya
adalah seluruh
kejadian
pasien usia 45
hipertensi di
tahun keatas yang
Puskesmas
berkunjung ke
Kedurus, maka
poli umum
diperlukan upaya
Puskesmas
untuk
Kedurus pada saat
mengendalikanny
penelitian
a. Salah satu
berlangsung.
upaya tersebut
Sampel penelitian
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 229

Kriteria inklusi sampel acak Kinerja Puskesmas Data yang


Kedurus Surabaya diperoleh saat
tahun 2012–2014. penelitian dianalisis
dalam penelitian ini sistematis Instrumen secara deskriptif
adalah pasien (systematic random pengumpulan data kemudian disajikan
bersedia menjadi sampling) karena menggunakan dalam bentuk
responden populasi yang kuesioner yang distribusi frekuensi
penelitian dan dinamis atau tidak berisi variabel yang dan tabel. Untuk
mampu pasti. diteliti. mengetahui ada
berkomunikasi Variabel yang
tidaknya hubungan
dengan baik, diteliti terdiri dari
antara variabel
sedangkan kriteria variabel tergantung
tergantung dengan
eksklusi yaitu yaitu hipertensi dan
variabel bebas
pasien terdiagnosa variabel bebas yaitu
digunakan uji Chi-
hipertensi yang status olahraga,
juga mengalami frekuensi olahraga square (χ2)
gangguan ginjal dan lama waktu menggunakan SPSS
kronis. Besar olahraga. Variabel dengan tingkat
sampel dihitung status olahraga kemaknaan α =
dengan dikategorikan 0,05. Apabila
menggunakan menjadi tidak persyaratan tabel
rumus perhitungan olahraga dan 2x2 terpenuhi yaitu
sampel acak olahraga, frekuensi tidak terdapat cell
sistematik olahraga yang memiliki nilai
(systematic random dikategorikan kurang dari 5, maka
sampling) menurut menjadi < 3 kali/ hasil uji Chi-square
Kuntoro (2008), minggu dan ≥ 3 (χ2) yang dibaca
yaitu: Penentuan kali/minggu, lama adalah Continuity
besar sampel waktu olahraga Correction,
menggunakan galat dikategorikan sedangkan apabila
penaksiran 0,1 dan menjadi < 30 menit tabel 2 × 2 tidak
proporsi (p) sebesar dan ≥ 30 menit memenuhi syarat
0,5. Jumlah setiap kali maka yang dibaca
populasi (N) berolahraga. adalah Fisher’s
didapatkan dari Pengumpulan data Exact Test. Untuk
rata-rata jumlah berupa data primer mengetahui
pasien usia 45 tahun yang diperoleh kekuatan
keatas yang secara langsung dari hubungan dapat
berkunjung ke poli responden melalui dilihat pada nilai
umum Puskesmas wawancara yang Cramer’s V.
Kedurus selama didahului dengan Penelitian ini
tiga bulan terakhir penjelasan singkat sudah dilakukan
(Februari s.d April mengenai penelitian kaji etik (ethical
2015) yaitu 2946 yang dilakukan dan clearance) oleh
pasien. Dari pengisian informed Komite Etik
perhitungan besar consent untuk Penelitian
sampel tersebut menyatakan Kesehatan di
didapatkan hasil kesediaan responden Fakultas Kesehatan
(n) sebanyak 97 dalam mengikuti Masyarakat
pasien. Cara penelitian. Pada data Universitas
penentuan sampel sekunder diperoleh Airlangga Surabaya.
dilakukan secara dari rekam medik
probability responden mengenai HASIL
sampling dengan status hipertensi dan
Jumlah
pengambilan Pedoman Penilaian
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 230

penduduk di Gambar 1. Tren memiliki jenis tingkat pendidikan


wilayah kerja Kejadia kelamin responden penderita
Puskesmas n perempuan yaitu hipertensi:
Kedurus pada Hiperte sebanyak 58 orang
tahun 2014 adalah nsi di (80,6%). Tabel 3. Distribusi
sebanyak 74.656 Puskes Tingkat Tingkat
jiwa yang terdiri mas pendidikan Pendidika
dari laki-laki Keduru responden n
37.884 jiwa s penderita Responde
(50,74%) dan Surabay hipertensi n
perempuan a pada dikategorikan Penderita
36.772 jiwa bulan menjadi lima, Hipertens
(49,26%). Pada Februari yaitu tidak tamat i di
bulan Februari – April SD/sederajat, Puskesma
sampai dengan 2015 tamat s Kedurus
April 2015 terjadi SD/sederajat, Surabaya
Berdasarkan
penurunan angka tamat SMP/ pada bulan
Gambar 1
kejadian hipertensi sederajat, tamat Mei 2015
menunjukkan
di Puskesmas bahwa persentase SMA/sederajat
Kedurus Surabaya dan lulus akademi/ Tingkat
penurunan pendidikan
yang disajikan perguruan tinggi. responden
kejadian Tidak tamat
n
dalam gambar hipertensi di Berikut ini SD/sederajat
adalah 18
% 16
25
penderita
berikut ini: Tamat
hasil SD/sederajat
identifikasi hipertensi22,2
Puskesmas Kedurus Tamat SMP/sederajat 11 15,3
Surabaya yaitu Tamat SMA/sederajat 19 26,4
Sumber: Hasil sebesar 2,87% pada
Rekapitulasi PTM Lulus Akademi/PT 8 11,1
bulan Maret dan Total 72 100
Puskesmas Kedurus 6,28% pada bulan
Surabaya Tahun April.
2015
berlangsung yaitu pendidikan. Usia
sebagian besar responden penderita
responden yang hipertensi
berada pada usia 45 dikategorikan menjadi
tahun keatas empat, yaitu middle Tidak terdapat
Usia responden responden penderita
menderita hipertensi age (45–59 tahun), penderita
dengan jumlah 72 elderly (60–74 tahun), hipertensi hipertensi dengan
orang (74,2%). old (75–90 tahun) dan kategori usia very old
Responden yang tidak very old (> 90 tahun). % atau lebih dari 90 tahun
menderita hipertensi Berikut ini adalah hasil (0%).
memiliki jumlah 25 identifikasi usia 45–59 tahun (middle age Jenis kelamin
orang (25,8%). responden penderita 60–74 tahun (elderly) responden penderita
hipertensi 75–90 tahun (old) hipertensi dikategorikan
Identifikasi : > 90 tahun (very old) menjadi dua, yaitu laki-
Karakteristik Total laki dan perempuan.
Demografi Tabel 1. Distribusi Berikut ini adalah hasil
Responden Usia Berdasarkan identifikasi jenis
Penderita Responden Tabel 1 menunjukkan kelamin responden
Hipertensi Penderita bahwa dari 72 penderita hipertensi:
Karakteristik Hipertensi di responden penderita
Puskesmas hipertensi, sebagian Tabel 2. Distribusi
demografi
Kedurus besar berada pada Jenis
responden yang
Surabaya kategori middle age Kelamin
diidentifikasi yaitu
usia, jenis kelamin pada bulan yaitu sebanyak Responden
Mei 2015 38 orang (52,8%). Penderita
dan tingkat
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 231

Hipertensi Keatas t
di Berdasarkan di e
Puskesmas Tabel 3 Puskesm n
Kedurus menunjukkan as
s
Surabaya bahwa dari 72 Kedurus
pada bulan responden penderita Surabay i
Mei 2015 hipertensi, sebagian a Tahun
besar memiliki 2015 H
Jenis kelamin pendidikan terakhir i
penderita hipertensi Status olahraga
responden tamat K hipertensi p
Laki-laki SMA/sederajat
14 yaitu
19,4 en % n %
Perempuan 58 80,6 Tidak olahraga 47 65,3 6 24 e
sebanyak 19 orang j
Total 72 Responden
(26,4%). 100 Olahraga 25 34,7 19 76 r
a t
dengan pendidikan
terakhir lulus d e
akademi/perguruan i n
tinggi memiliki a s
jumlah yang paling n i
sedikit yaitu 8 orang
(11,1%). T
h i
Analisis i d
Hubunga p a
n Antar e k
Variabel r
Pada variabel
status olahraga
Total 72 100 25 100
dikategorikan Bp value 0,001
menjadi dua, yaitu e
responden yang r
tidak melakukan d
olahraga dan a
melakukan olahraga. s
Berikut ini adalah a
hasil analisis r
mengenai k
hubungan antara a
status olahraga n
dengan kejadian
hipertensi pada T
pasien usia 45 tahun a
keatas b
e
Tabel 4. Analisis l
Hubungan
Status 2
Olahraga
dengan m
Kejadian e
Hipertens n
i pada u
Pasien n
usia 45 j
tahun u
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 232

k a
k g
a i
n a
n
b
a b
h e
w s
a a
r
d .
a Berdasarkan diperoleh nilai
r Tabel 4 signifikansi (p)
i menunjukkan sebesar 0,001. Nilai
bahwa sebagian p tersebut lebih kecil
7 besar responden dari α = 0,05 yang
2 penderita artinya Ho ditolak
atau terdapat
hipertensi tidak
r hubungan yang
melakukan olahraga signifikan antara
e yaitu sebanyak 47
s status olahraga
orang (65,3%), dengan kejadian
p sedangkan pada hipertensi pada
o responden yang pasien usia 45 tahun
n melakukan olahraga keatas di Puskesmas
d sebagian besar tidak Kedurus Surabaya
e menderita hipertensi tahun 2015. Pada
n yaitu sebanyak 19 nilai Cramer’s V
orang (76%). sebesar 0,363 yang
p Pada responden berarti bahwa
e yang melakukan hubungan antara
n status olahraga
olahraga yaitu
d dengan kejadian
sebanyak 44 orang, hipertensi pada
e sebagian besar
r pasien usia 45 tahun
melakukan jenis keatas bersifat
i olahraga jalan kaki rendah atau lemah.
t yaitu sebanyak 21 Dengan demikian
a orang (47,7%). tidak olahraga
Responden yang merupakan salah satu
h melakukan jenis faktor risiko
i olahraga terjadinya hipertensi
p bulutangkis, pada pasien usia 45
e berenang dan sepak tahun keatas, namun
r bola memiliki membutuhkan faktor
t lain yang juga
jumlah yang paling
e sedikit yaitu
n masing-masing
s sebanyak 1 orang
i (2,3%).
, Dari hasil
analisis yang
s dilakukan dengan
e menggunakan uji
b Chi-Square
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 233

Berdasarkan pada pasien usia 45 Lama waktu Hipertensi


Tabel 5 tahun keatas di olahraga Keja Tidak
dian
menunjukkan Puskesmas Kedurus hipe hipertensi n
rten
bahwa dari 44 Surabaya tahun si % n
orang yang 2015. %
melakukan Pada variabel keatas :
olahraga, sebagian lama waktu
< 30 menit 6 24 Berdasarkan
3 15,8
≥ 30 menit 19 76Tabel 16 84,2 6
besar responden olahraga Tabel 5. Analisis
Total 25 100menunjukkan
19 100
penderita dikategorikan p value Hubungan
0,710
hipertensi menjadi dua, yaitu bahwa dari 44 orang
Frekuensi yang melakukan
melakukan < 30 menit dan Olahraga
olahraga ≥ 30 menit dalam olahraga, sebagian
dengan besar responden
< 3 kali per sekali berolahraga. Kejadian
minggu yaitu Berikut ini adalah penderita hipertensi
Hipertensi melakukan olahraga
sebanyak 16 orang hasil analisis pada Pasien
(64%), sedangkan mengenai hubungan ≥ 30 menit dalam sekali
Usia 45 berolahraga yaitu
responden yang antara lama waktu Tahun
melakukan olahraga dengan sebanyak 19 orang
Keatas di (76%). Begitu juga
olahraga ≥ 3 kali kejadian hipertensi Puskesmas
per minggu pada pasien usia 45 dengan responden yang
Kedurus tidak menderita
sebagian besar N tahun
%
keatas
n
: % Surabaya
tidak menderita hipertensi sebagian besar
< 3 kali/ minggu 16 64 6 31,6 Tahun 2015 melakukan olahraga ≥
hipertensi
≥ 3 kali/ minggu yaitu 9 Tabel
36 6. 13Analisis
68,4
sebanyak 13 orang 25 Hubungan 30 menit dalam sekali
Total 100 19 100 Keberolahraga yaitu
(68,4%).
p value 0,068 Lama jasebanyak 16 orang
Dari hasil Waktu di(84,2%).
analisis yang Olahraga an
dilakukan dengan dengan hi
menggunakan uji Kejadian pe
Chi-Square Hipertensi rte
diperoleh nilai pada nsi
signifikansi (p) Pasien
sebesar 0,068. Usia 45 Frekuensi Tidak
Hi Dari hasil
Nilai p tersebut Tahun olahraga pe h
rt i analisis yang
lebih besar dari α = Keatas di en
si p dilakukan
0,05 yang artinya Puskesma
e menggunakan uji
Ho diterima atau s Kedurus
r Chi-Square dengan
tidak ada hubungan Surabaya
t membaca Fisher’s
yang signifikan Tahun
e Exact Test karena
antara frekuensi 2015
n terdapat satu cell
olahraga dengan
s yang memiliki nilai
kejadian hipertensi
i kurang dari 5,
dapat meningkatkan a is mengenai
diperoleh nilai
risiko terjadinya d hubungan
signifikansi (p)
hipertensi pada al antara
sebesar 0,710.
pasien usia 45 a frekuensi
Nilai p tersebut
tahun keatas. h olahraga
lebih besar dari α
Variabel h dengan
(0,710 > 0,05)
frekuensi olahraga as kejadian
yang artinya Ho
dikategorikan il hipertensi
diterima atau tidak
menjadi dua, yaitu a pada pasien
ada hubungan yang
< 3 kali per minggu n usia 45
signifikan antara
dan ≥ 3 kali per al tahun
lama waktu
minggu. Berikut ini is
olahraga dengan
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 234

kejadian hipertensi karena aterosklerosis jenis kelamin


pada pasien usia 45 PEMBAH sehingga tidak dapat perempuan.
tahun keatas di ASAN mengembang ketika Laki-laki cenderung
Puskesmas Kedurus Identifikasi jantung memompa memiliki gaya hidup
Surabaya tahun 2015. Karakteristik darah melalui arteri yang dapat
Responden Penderita tersebut. Umumnya, meningkatkan tekanan
Hipertensi hipertensi pada laki- darah dibandingkan
laki terjadi diatas usia perempuan. Tekanan
Berdasarkan hasil 31 tahun, sedangkan darah pada laki-laki
penelitian yang telah pada perempuan mulai meningkat
dilaksanakan terjadi setelah usia 45 dimulai pada rentang
menunjukkan bahwa tahun (Widyanto dan usia 35–50 tahun,
sebagian besar Triwibowo, 2013).
responden berada pada Hasil penelitian
kategori middle age menunjukkan bahwa
atau usia 45 sampai mayoritas responden
dengan 59 tahun. Sama memiliki jenis kelamin
halnya pada responden perempuan. Begitu
penderita hipertensi, juga dengan responden
mayoritas memiliki usia penderita hipertensi
45–59 tahun yaitu sebagian besar terjadi
sebesar 52,8%. pada perempuan
Hasil penelitian ini dibandingkan dengan
sejalan dengan laki-laki yaitu
penelitian yang sebanyak 80,6%.
dilakukan oleh Hasil penelitian ini
Siskarosi (2010), yang sejalan dengan
menyebutkan bahwa penelitian yang
kejadian hipertensi dilakukan oleh Rahma
sebagian besar berada (2011), yang
pada usia 45 sampai menyebutkan bahwa
dengan 59 tahun. Dari dari 62 lansia yang
20 pasien yang menderita hipertensi
menderita hipertensi, sebagian besar
pasien dengan kategori berjenis kelamin
usia 49-59 tahun perempuan, karena
berjumlah 11 orang jumlah lansia
(55%), sedangkan pasien penderita hipertensi
pada kategori usia yang memiliki jenis
≥ 60 tahun berjumlah 9 kelamin perempuan
orang (45%). berjumlah 40 orang
Pada umumnya (64,5%) sedangkan
tekanan darah akan naik pada laki-laki
seiring dengan berjumlah 22 orang
bertambahnya usia, (35,5%). Selain itu,
terutama setelah usia 40 penelitian yang
tahun. Semakin dilakukan oleh
bertambahnya usia, Lasianjayani (2014),
maka risiko terkena juga menunjukkan
hipertensi juga semakin hasil yang sama yaitu
besar. Hal tersebut dari 45 pasien yang
disebabkan oleh menderita hipertensi,
hilangnya elastisitas sebanyak 29 orang
jaringan dan kaku dan (64,4%) memiliki
menebalnya arteri
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 235

sedangkan alami, yang sebanyak 26,4%. paling sedikit yaitu 2


kejadian umumnya mulai Hal ini tidak orang (3,2%).
hipertensi terjadi pada usia 45 sejalan dengan Menurut
cenderung terjadi sampai dengan 55 penelitian yang Notoatmodjo
pada perempuan tahun atau disebut dilakukan oleh (1993), pendidikan
pada saat juga masa Rahma (2011), merupakan upaya
menopause menopause, yang persuasi atau
dikarenakan sehingga menyebutkan pembelajaran kepada
faktor hormonal mengakibatkan bahwa lansia masyarakat agar
(Widyanto dan prevalensi penderita bersedia melakukan
Triwibowo, hipertensi yang hipertensi dengan tindakan- tindakan
2013). Menurut lebih tinggi pada pendidikan yang untuk memelihara
Dalimartha, perempuan rendah memiliki dan meningkatkan
dkk. (2008), dibandingkan jumlah yang lebih kesehatannya.
pada umumnya dengan laki-laki besar Semakin tinggi
hipertensi lebih (Kumar, et al., dibandingkan tingkat pendidikan
banyak 2005). Penyebab lansia yang seseorang maka
menyerang lain hipertensi berpendidikan semakin mudah
perempuan saat sering menyerang tinggi. Dari 62 pula untuk
memasuki usia 45 wanita setelah usia lansia penderita menerima informasi.
tahun. Perempuan 55 tahun yaitu hipertensi, Dengan demikian
yang belum sering dikaitkan sebagian besar pengetahuan yang
memasuki masa dengan pemakaian tidak sekolah yaitu diperoleh juga
menopause pil kontrasepsi yang sebanyak 21 orang semakin banyak,
memiliki hormon mengandung (33,9%). salah satunya adalah
estrogen yang hormon estrogen Responden yang pengetahuan
memiliki peran dan progesteron berpendidikan tentang kesehatan.
dalam yang berlebihan terakhir SMP Tingkat
peningkatan kadar dan juga memiliki jumlah
High Density disebabkan oleh pendidikan dengan Kejadian
Lipoprotein terapi hormon yang merupakan salah Hipertensi pada
(HDL). Tingginya digunakan setelah satu karakteristik Pasien Usia 45
Kadar HDL dapat terjadi perubahan predisposisi yang Tahun Keatas
mencegah hormon pada saat menggambarkan Berdasarkan
terjadinya memasuki masa bahwa tiap hasil penelitian yang
aterosklerosis. menopause individu cenderung menggunakan uji
Pada saat (Siskarosi, 2010). menggunakan statistik Chi-Square
premenopause, Hasil pelayanan menunjukkan bahwa
wanita mulai penelitian kesehatan yang terdapat hubungan
kehilangan menunjukkan berbeda-beda. yang signifikan
sedikit demi bahwa sebagian Perbedaan pada pola antara status
sedikit hormon besar responden hidup yang dimiliki olahraga dengan
estrogen yang memiliki oleh setiap individu kejadian hipertensi
selama ini pendidikan disebabkan oleh pada pasien usia 45
melindungi terakhir tamat tingkat pendidikan tahun keatas di
pembuluh darah SMA/sederajat. dan akhirnya Puskesmas Kedurus
dari kerusakan. Begitu juga memiliki perbedaan Surabaya tahun
Proses ini terus dengan responden pula dalam pola 2015. Hasil
berlanjut di mana penderita hipertensi penggunaan penelitian ini
hormon estrogen sebagian besar pelayanan sejalan dengan
tersebut berubah memiliki kesehatan. penelitian yang
kualitasnya sesuai pendidikan terakhir dilakukan oleh
dengan usia tamat SMA/ Hubungan antara Angraini (2014),
perempuan secara sederajat yaitu Status Olahraga yang menyebutkan
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 236

bahwa terdapat duniawi yang serba Namun, olahraga dan anaerobik,


hubungan yang cepat dan serba tidak dianjurkan contohnya adalah
signifikan antara mesin menyebabkan pada penderita bermacam-macam
aktivitas fisik atau orang menjadi hipertensi yang olahraga permainan
olahraga dengan kurang gerak dan memiliki tekanan seperti bulutangkis,
kejadian hipertensi, diikuti dengan stres darah sistolik lebih sepak bola, basket
karena nilai yang dapat dari 170 mmHg dan dan lain sebagainya
signifikansi (p) mengundang atau diastolik lebih (Triangto, 2012).
sebesar 0,000. berbagai penyakit dari 110 mmHg Olahraga yang
Nilai p tersebut kardiovaskuler (Afriwardi, 2009). dipercaya
lebih kecil dari α seperti penyakit Jenis olahraga membantu
= 0,05. jantung, tekanan yang dilakukan meningkatkan
Penelitian yang darah tinggi dan oleh responden kesehatan adalah
dilakukan oleh stroke. Hal tersebut berdasarkan hasil berasal dari jenis
Rahajeng dan banyak dijumpai penelitian aerobik. Bagi yang
Tuminah (2009), pada kelompok usia sebagian besar menginginkan lebih
menyebutkan pertengahan, tua dan merupakan sehat dan
bahwa berdasarkan lanjut, khususnya aerobik dan memberikan
aktivitas fisik atau pada seseorang yang kombinasi kesempatan pada
olahraga, proporsi tidak melakukan aerobik- jantung untuk
responden yang olahraga (Giriwoyo anaerobik. berlatih sedikit
kurang aktivitas fisik dan Sidik, 2012). Olahraga aerobik diatas kemampuan
pada kelompok Latihan fisik merupakan yang ada karena
hipertensi merupakan salah olahraga yang memiliki tekanan
ditemukan lebih satu upaya dalam dilakukan dengan darah tinggi, latihan
tinggi (42,9%) penatalaksanaan intensitas ringan, angkat beban atau
daripada kelompok hipertensi dengan gerakan yang anaerobik tidak
tidak hipertensi pendekatan non- berulang-ulang akan banyak
(41,4%). Risiko farmakologis selain dan waktu membantu
aktivitas fisik ini pengaturan pola melakukannya dibandingkan
secara bermakna makan, berhenti panjang. Contoh dengan latihan
ditemukan sebesar merokok dan jenis olahraga ini aerobik (Triangto,
1,02 kali konsumsi alkohol. adalah jalan cepat, 2012).
dibandingkan yang Pada jogging, senam, lari Menurut Rai
cukup aktivitas penatalaksanaan jarak jauh atau (2012), olahraga
fisik. hipertensi dengan maraton, sepeda, aerobik yang baik
Pada penelitian pendekatan renang dan dayung. dapat menurunkan
ini menunjukkan farmakologis Olahraga anaerobik tekanan darah
bahwa jumlah dilakukan merupakan sistolik sebesar 4–5
responden yang penggunaan obat- olahraga yang mmHg dan tekanan
tidak melakukan obatan. dilakukan dengan diastolik sebesar
olahraga sebagian intensitas sedang 3–4 mmHg.
besar adalah sampai dengan Olahraga yang baik
penderita hipertensi. berat, gerakannya merujuk pada jenis,
Kecenderungan cenderung tidak tata cara dan waktu
untuk terkena banyak dan waktu pelaksanaan latihan.
hipertensi pada melakukannya Pertama, jenis
seseorang yang juga pendek. olahraga yang baik
kurang aktivitas Contoh jenis yaitu olahraga yang
fisik yaitu sebesar olahraga ini antara disesuaikan dengan
30–50% lain angkat besi dan kondisi partisipan.
(Rimbawan dan lari cepat jarak Penyesuaian kondisi
Siagian, 2004). pendek. Kombinasi fisik dengan jenis
Kesibukan dalam olahraga aerobik olahraga diperlukan
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 237

untuk menghindari untuk menerima salah satunya adalah dari senam belum
cedera saat beban kerja saat untuk mencegah, terlihat dalam kurun
melakukan latihan melakukan latihan menghambat waktu dua bulan.
atau pada kondisi inti. Pemanasan perjalanan dan Olahraga jenis
yang tidak dapat dilakukan meringankan gejala- aerobik mengutamakan
menguntungkan dengan berjalan gejala penyakit non- gerakan otot-otot yang
(Afriwardi, 2009). atau berlari pada infeksi bahkan dapat besar di tubuh, yaitu
Kedua, tata kecepatan lambat menyembuhkan otot anggota bawah atau
cara olahraga maupun dengan penyakit non-infeksi tungkai. Gerakan otot
yang baik yaitu melakukan (Giriwoyo dan Sidik, tersebut memacu kerja
olahraga yang gerakan-gerakan 2012). jantung. Otot jantung
dilakukan dengan inti atau dasar Penelitian yang memiliki sifat seperti
urutan pemanasan, olahraga yang akan dilakukan oleh Ilkafah pada otot kerangka
gerakan inti dan dilakukan. Gerakan (2004), menyebutkan tubuh yang dapat
pendinginan. inti dilakukan bahwa latihan fisik menjadi lebih
Gerakan selama 30–45 atau olahraga
pemanasan dapat menit sesuai berpengaruh terhadap
dilakukan selama dengan penurunan tekanan
kurang lebih 5–10 kemampuan fisik, darah pada lansia
menit, sehingga kemudian diakhiri dengan hipertensi
memungkinkan dengan ringan sampai
otot-otot akan siap pendinginan. sedang. Dari 15
Pendinginan sampel lansia wanita
diperlukan untuk tubuh (Afriwardi, yang teratur senam,
memberikan 2009). sebanyak 11 lansia
kesempatan pada otot Selain olahraga mengalami penurunan
dan sistem yang baik, kaidah tekanan darah sekitar
kardiovaskuler untuk olahraga pada lansia 6 mmHg untuk
memobilisasi zat- zat juga harus benar dan sistolik dan 3 mmHg
hasil metabolisme terukur. Benar berarti untuk diastolik, tiga
(Afriwardi, 2009). semua gerakan yang lansia mengalami
Ketiga, waktu dilakukan tidak penurunan tekanan
olahraga yang baik berpeluang terjadi darah hanya sekitar
yaitu waktu ketika cedera. Gerakan yang 1,5 mmHg pada
suhu lingkungan dilarang untuk sistolik dan diastolik.
tidak terlalu dilakukan pada lansia Hal itu dapat terjadi
ekstrem. Olahraga yaitu memutar kepala karena ketiga lansia
yang dilakukan pada lebih dari 180 derajat, tersebut menderita
lingkungan yang kayang dan lain Diabetes Melitus.
ekstrem akan sebagainya. Terukur Kemudian satu lansia
berpotensi artinya dalam tidak mengalami
menimbulkan melakukan latihan penurunan tekanan
cedera. Berolahraga harus terdapat darah atau tetap
yang baik dilakukan parameter yang dikarenakan lansia
pada pagi atau sore dijadikan patokan tersebut mempunyai
hari, karena pada saat dalam menilai efek kolesterol yang tinggi
tersebut kondisi olahraga yang dan sering
lingkungan cukup dilakukan, diantaranya mengonsumsi obat-
optimal dibandingkan frekuensi denyut nadi obatan bebas, seperti
dengan siang hari saat dan penggunaan waktu obat sakit kepala yang
matahari berada di tempuh dalam jarak mengandung kafein
atas kepala akan tertentu (Afriwardi, yang dapat
mengganggu proses 2009). Sasaran olahraga meningkatkan tekanan
pengeluaran panas kesehatan pada lansia darah sehingga efek
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 238

kuat dan besar Penelitian menyebabkan dapat dirasakan


apabila sedang laboratorium turunnya tekanan apabila peningkatan
bekerja. Oleh membuktikan darah (Ganong, aliran darah
karena itu, jantung bahwa peningkatan 1995). dilakukan melalui
dapat berfungsi sebanyak 4 ml per Meskipun olahraga yang
lebih banyak menit pada aliran dengan berlangsung dalam
apabila otot darah dapat pertambahan umur waktu yang cukup
tungkai menghasilkan NO terjadi penurunan lama yaitu 20 menit
digerakkan seperti yang merangsang aktivitas NO, sampai dengan 1
jalan kaki, perbaikan fungsi namun dengan jam. Dengan
jogging, berenang endothelium atau melakukan melakukan kerja
dan bersepeda lapisan pada dinding olahraga secara fisik dan olahraga
(Ilkafah, 2004). pembuluh darah, teratur dapat sebanyak dua
Pada saat yaitu berperan pada memproduksi NO sampai dengan tiga
melakukan vasodilatasi. yang ada di dalam kali dalam
olahraga aerobik, Stimulus yang tubuh yang akan seminggu dalam
serat- serat otot bermacam-macam merileksasikan waktu 20 menit
saling bergeseran pada sel endhotel pembuluh darah dapat
atau yang dikenal menyebabkan sehingga dapat meningkatkan
dengan sear stress diproduksinya melancarkan denyut jantung dan
dan meningkatkan EDRF, salah peredaran darah aliran darah > 4 ml
aliran darah yang satunya yaitu NO. dan menurunkan per menit, sehingga
bersifat Tekanan darah tekanan darah. melindungi
gelombang. Saat dapat stabil dalam Manfaat tersebut pembuluh darah dari
inilah awal keadaan normal aterosklerosis dan
terjadinya proses pada saat NO meningkatkan 3 kali per minggu
kimia di dalam dilepaskan, karena ketahanan hidup. dan ≥ 3 kali dalam
sel-sel pembuluh menstimulasi Penyakit jantung seminggu. Menurut
darah, sehingga soluble Guanilate dapat dicegah Maryam (2008),
terbentuk suatu Cyclase (sGC) dengan melakukan frekuensi latihan
bahan yaitu nitrit yang menyebabkan aktivitas apapun fisik untuk usia
oksida (NO) dan peningkatan sintesa asalkan dapat lanjut adalah 3–4
melepaskan siklik Guanosin meningkatkan kali per minggu.
Endhotelial Monophosphat denyut jantung Selain itu menurut
Derive Relaxing (GMP) dari dalam rentang 110– Giriwoyo dan Sidik
Factor (EDRF) Guanosin 130 per menit (2012), ciri olahraga
yang merileksi Triphosphat (GTP). disertai keringat, untuk kesehatan
dan menyebabkan Peningkatan siklik dan peningkatan secara teknis salah
pelebaran pada GMP akan frekuensi nafas satunya adalah
pembuluh darah. menyebabkan otot namun tidak sampai diselenggarakan 3-5
NO menjadi polos pembuluh terengah-engah kali per minggu.
mediator dalam darah tersebut (Ilkafah, 2004). Berdasarkan
relaksasi otot relaksasi. Hasil dari hasil penelitian yang
polos pada relaksasi akan Hubungan antara dilakukan dengan uji
pembuluh darah menyebabkan Frekuensi statistik Chi-Square
(Rai, 2012). bertambahnya Olahraga dengan menunjukkan bahwa
Aliran darah diameter pembuluh Kejadian tidak ada hubungan
pada pembuluh darah, sehingga Hipertensi pada yang signifikan
koroner dalam tahanan pembuluh Pasien Usia 45 antara frekuensi
keadaan istirahat darah akan Tahun Keatas olahraga dengan
sekitar 200 ml per berkurang dan kejadian hipertensi
menit (4% dari diiringi dengan Pada penelitian
ini, frekuensi pada pasien usia 45
total curah penurunan aliran tahun keatas di
jantung). darah yang olahraga dibedakan
menjadi dua, yaitu < Puskesmas Kedurus
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 239

Surabaya tahun 5 kali seminggu, karena dapat nilai normal yaitu


2015. Walaupun sehingga apabila mengurangi sistolik < 140
demikian, penderita hipertensi kekakuan mmHg dan diastolik
responden melakukan olahraga pembuluh darah, < 90 mmHg.
penderita hipertensi dengan frekuensi meningkatkan daya Olahraga yang
yang melakukan < 3 kali seminggu, tahan jantung dan teratur dapat
olahraga < 3 kali sekali dalam sebulan paru- paru sehingga berpengaruh pada
per minggu apalagi sekali dapat menurunkan kemampuan dilatasi
memiliki jumlah setahun kurang tekanan darah pembuluh darah
yang lebih besar berpengaruh pada (Widyanto dan sehingga akan
dibandingkan penurunan tekanan Triwibowo, 2013). melancarkan aliran
responden penderita darah. Olahraga yang darah dan
hipertensi yang Penelitian yang dianggap teratur menurunkan
melakukan olahraga dilakukan olah apabila dilakukan tegangan pada
≥ 3 kali per minggu, Rahma (2011), secara berkala pembuluh darah,
sedangkan menyebutkan bahwa dalam satu minggu sehingga tekanan
responden yang risiko terjadinya minimal 3 kali darah juga akan
tidak hipertensi hipertensi pada (Afriwardi, 2009). menurun (Ilkafah,
sebagian besar lansia yang Sistem 2004).
melakukan olahraga berolahraga 1–3 kali kardiovaskuler Menurut
≥ 3 kali per minggu. per minggu 3,820 merupakan sistem Triangto (2007),
Hasil penelitian kali lebih besar yang sangat cepat dengan melakukan
ini sejalan dengan daripada lansia yang terpengaruh oleh olahraga yang
penelitian yang melakukan olahraga peningkatan teratur juga dapat
dilakukan oleh > 3 kali per minggu, kontraksi otot menurunkan berat
Siskarosi (2010), dan OR tersebut selama melakukan badan yang berlebih
menyebutkan bermakna. Olahraga olahraga. Respons dan obesitas yang
bahwa tidak secara teratur sangat jantung akibat merupakan pemicu
terdapat hubungan diperlukan, adanya peningkatan meningkatnya
yang signifikan kebutuhan otot tekanan darah.
antara frekuensi terhadap suplai Obesitas apabila
olahraga dengan darah selama dibiarkan akan
kejadian hipertensi. kontraksi yaitu menimbulkan
Tidak adanya peningkatan curah penimbunan lemak
hubungan antara jantung melalui yang berlebihan dan
frekuensi olahraga frekuensi denyut peningkatan kadar
dengan kejadian yang meningkat lemak di dalam
hipertensi pada dan penguatan darah. Lemak
pasien usia 45 kontraksi otot tersebut akan
tahun keatas karena jantung (Afriwardi, mengendap dan
terdapat penyebab 2009). Frekuensi menimbulkan
lain naiknya tekanan olahraga memiliki lapisan lemak di
darah pada penderita pengaruh yang dalam pembuluh
hipertensi seperti besar terhadap darah. Akibatnya,
stres, pola makan penurunan tekanan pembuluh darah
yang buruk dan darah pada akan menyempit
obesitas penderita dan kelenturannya
(Dalimartha, 2008). hipertensi. Dengan berkurang. Kondisi
Menurut Afriwardi melakukan ini akan
(2009), frekuensi olahraga minimal 3 berpengaruh pada
latihan olahraga kali dalam pengaturan tekanan
yang dianjurkan seminggu sangat darah dan
untuk penderita bisa mengontrol menimbulkan
hipertensi adalah 3– tekanan darah ke tekanan darah tinggi
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 240

atau hipertensi. bahkan kematian. signifikan antara lama olahraga tidak boleh
Jika hipertensi Seseorang waktu olahraga dengan mengalami kelelahan
dibiarkan dengan aktivitas kejadian hipertensi yang berlebihan,
berlarut-larut olahraga yang pada pasien usia 45 sehingga terasa sangat
akan menimbulkan kurang memiliki tahun keatas di letih yang membuatnya
tekanan dan kinerja pengontrolan nafsu Puskesmas Kedurus harus berbaring di
yang berlebihan makan yang sangat Surabaya tahun 2015. tempat tidur dan tidak
pada organ-organ labil, sehingga Hal ini terjadi karena bisa melakukan
yang konsumsi energi responden penderita aktivitas sehari-hari.
berhubungan menjadi berlebihan. hipertensi yang Apabila lama waktu
dengan pembuluh Hal ini melakukan olahraga dan
darah yang mengakibatkan ≥ 30 menit dalam
bertekanan tinggi. nafsu makan sekali berolahraga
Pembuluh darah bertambah akhirnya memiliki jumlah
akan pecah apabila berat badan akan yang lebih besar
tidak cukup kuat bertambah dan dibandingkan dengan
untuk menahan bahkan dapat penderita hipertensi
tekanan tersebut. menyebabkan yang melakukan
Bila pecahnya obesitas. Apabila olahraga
pembuluh darah berat badan <30 menit dalam
tersebut terjadi di seseorang sekali berolahraga.
daerah otak maka bertambah, maka Begitu juga dengan
akan menimbulkan volume responden yang tidak
kelumpuhan hipertensi sebagian
darah juga akan 30 menit dan ≥ 30 besar melakukan
bertambah, sehingga menit dalam sekali olahraga ≥ 30 menit
beban jantung untuk berolahraga. Menurut dalam sekali
memompa darah Maryam (2008), lama berolahraga.
bertambah pula. waktu latihan fisik Hasil penelitian
Dengan beban yang untuk usia lanjut adalah ini sejalan dengan
semakin besar, maka 15–45 menit dalam penelitian yang
semakin berat kerja sekali berolahraga dilakukan oleh
jantung dalam hal secara berkelanjutan. Siskarosi (2010),
memompa darah ke Selain itu menurut menyebutkan bahwa
seluruh tubuh Afriwardi (2009), lama tidak terdapat
sehingga tekanan waktu latihan fisik hubungan yang
perifer dan curah untuk lansia adalah 30 signifikan antara lama
jantung dapat menit. Dengan olahraga dengan
meningkat kemudian melakukan gerakan kejadian hipertensi.
menimbulkan yang tepat selama 30 Menurut Afriwardi
hipertensi (Angraini, menit atau lebih (2009), lama waktu
2014). sebanyak 3–4 kali latihan fisik atau
dalam seminggu dapat olahraga yang
Hubungan antara menurunkan tekanan dianjurkan pada
Lama Waktu darah sebesar 10 penderita hipertensi
Olahraga dengan mmHg pada sistolik yaitu 30 sampai
Kejadian dan diastolik (Moorti, dengan 60 menit
Hipertensi pada 2009). setiap kali berolahraga
Pasien Usia 45 Namun, teori dan meminum obat
Tahun Keatas tersebut berkebalikan antihipertensi 6 jam
dengan hasil penelitian setelah melakukan
Pada penelitian latihan.
ini, lama waktu ini yang menunjukkan
bahwa tidak ada Orang lanjut usia
olahraga dibedakan yang melakukan
menjadi dua, yaitu < hubungan yang
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 241

intensitas olahraga hipertensi adalahsebagian besar frekuensi olahraga


berlebihan, maka dengan melakukan penderita dan lama waktu
dapat terjadi sesak olahraga. Namun, hipertensi berada olahraga dengan
napas, nyeri dada olahraga yangpada usia 45–59 kejadian hipertensi
atau pusing terlalu berlebihan tahun (middle age) pada pasien usia 45
berkunang- akan memicu yaitu sebanyak tahun keatas di
kunang, maka peningkatan tekanan 52,8%. Mayoritas Puskesmas Kedurus
olahraga harus darah sehingga responden yang Surabaya tahun
segera dihentikan semakin menderita 2015.
dan secepat mendongkrak hipertensi
mungkin diperiksa tekanan darah yang berjenis kelamin Saran
oleh dokter. sudah tinggi ke perempuan yaitu Bagi instansi terkait
Penentuan level yangsebanyak 80,6%. perlu lebih gencar dalam
intensitas olahraga bertambah tinggi
Kemudian pada memberikan informasi
pada lansia dan berisikotingkat pendidikan, kepada pasien khususnya
bersifat individual terjadinya serangan sebagian besar
yaitu tergantung jantung (Triangto, responden
dari usia, jenis 2012). penderita
kelamin, hipertensi
keteraturan memiliki
olahraga dan pendidikan
kondisi fisik terakhir tamat
organ-organ SMA/sederajat
tubuhnya. yaitu sebanyak
Terdapat rumus 26,4%.
umum yang Terdapat
digunakan untuk hubungan yang
mengetahui batas signifikan antara
lansia status olahraga
diperkenankan dengan kejadian
melakukan hipertensi pada
olahraga yaitu pasien usia 45
dengan tahun keatas di
penentuan Puskesmas
denyut nadi Kedurus Surabaya
maksimal atau tahun 2015. Hasil
maximal pulse. tersebut
Rumusnya adalah menunjukkan
220-usia saat ini. bahwa tidak
Ambang yang melakukan
aman yaitu olahraga
apabila merupakan salah
melakukan satu faktor risiko
olahraga terjadinya
mencapai 70-85% hipertensi, namun
dari denyut nadi membutuhkan
maksimal yang SIMPUL faktor lain yang
disebut sebagai AN DAN juga dapat
target zone SARAN meningkatkan
(Giriwoyo dan risiko terjadinya
Simpulan
Sidik, 2012). hipertensi.
Salah satu Dari penelitian Tidak ada
upaya dalam ini dapat diambil hubungan yang
menurunkan kesimpulan bahwa signifikan antara
yang usia lanjut mengenai pentingnya melakukan olahraga secara rutin untuk mengurangi
risiko terjadinya hipertensi dan melakukan pemeriksaan tekanan darah secara berkala untuk
mengetahui status hipertensi. Selain itu, perlu melaksanakan Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) Penyakit Tidak Menular secara berkala dan menginformasikannya kepada
masyarakat setempat. Informasi tersebut dapat diberikan melalui para dokter yang
mendiagnosa penyakit pasien dan melalui media cetak seperti poster, brosur dan leaflet.
Bagi masyarakat khususnya yang berusia 45 tahun keatas perlu melakukan
pemeriksaan tekanan darah secara rutin untuk mengetahui status hipertensi dan melakukan
olahraga secara rutin untuk mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Khusus bagi penderita
hipertensi perlu meningkatkan kepatuhan dalam mengonsumsi obat hipertensi.
REFERENSI
Afriwardi. 2009. Ilmu Kedokteran Olahraga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Angraini, R.D. 2014. Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT), Aktivitas Fisik, Rokok,
Konsumsi Buah, Sayur dan Kejadian Hipertensi Pada Lansia di Pulau Kalimantan.
Skripsi. Jakarta: Universitas Esa Unggul.
Dalimartha, S., B.T. Purnama, N. Sutarina, Mahendra,
R. Darmawan. 2008. Care Your Self, Hipertensi. Jakarta: Penebar Plus.
Depkes RI. 2008. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi. Jakarta:
Direktorat Jendral PP & PL.
Ganong, William F. 1995. Review of Medical Physiology 17th Edition. USA: Appleton
and Lange Company.
Giriwoyo, S. dan D.Z Sidik. 2012. Ilmu Kesehatan Olahraga. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Ilkafah. 2004. Pengaruh Latihan Fisik (Senam Lansia) terhadap Penurunan Tekanan
Darah pada Lansia dengan Hipertensi Ringan–Sedang di Rektorat Unibraw Malang.
Surya, vol.2, no.4, hal. 19–20.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan.
Kumar, V., Abbas A.K., dan N. Fauston. 2005. Hypertensive Vascular Disease. Robn and
Cotran Pathologic Basic of Disease, 7th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Kuntoro, H. 2008. Metode Sampling dan Penentuan Besar Sampling. Surabaya: Pustaka
Melati.
Lasianjayani, T. 2014. Hubungan Sindroma Metabolik, Obesitas dan Merokok terhadap
Kejadian Hipertensi. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Maryam, S. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Moorti, R.A. 2009. Hubungan Olahraga dan Keteraturan Pengobatan dengan Tingkat
Tekanan Darah Penderita Hipertensi pada Lansia di Posyandu Lansia Puskesmas
Jagir Surabaya. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Notoatmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan.
Yogyakarta: Andi Offset.
Palmer, A dan B. William. 2007. Simple Guide Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Erlangga.
Putriastuti, L. 2015. Hubungan Kebiasaan Olahraga dan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan Kejadian Hipertensi pada Usia 45 Tahun Keatas (Studi di Puskesmas Kedurus
Kota Surabaya Tahun 2015). Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Rahajeng, E. dan S. Tuminah. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, vol. 59, no. 12, hal. 580–587.
Rahma, M. 2011. Risiko Kejadian Hipertensi pada Lansia Berdasarkan Pola Hidup di
Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya. Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Rai, Ade. 2012. 101 Fitness di Usia 40+. Jakarta: Libri.
Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemiks Pangan. Bogor: Penebar Swadaya.
Sheps, G. Sheldon. 2005. Mayo Clinic Hipertensi Mengatasi Tekanan Darah Tinggi.
Jakarta: PT. Intisari Mediatama.
Siskarosi, M.E. 2010. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada
Wanita Menopause di Puskesmas Lidah Kulon Surabaya. Skripsi. Surabaya:
Universitas Airlangga.
Triangto, M. 2012. Langsing dan Sehat dengan Sports Therapy. Jakarta: Intisari
Mediatama.
WHO. 2014. Raise Blood Pressure Situasion and
Trends.http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/ blood_pressure_prevalence_text/en/
(Sitasi 28
September 2014)
Widyanto, F.C dan Triwibowo, C. 2013. Trend Disease, Trend Penyakit Saat Ini. Jakarta:
Trans Info Media.
Jurnal Keperawatan dan Kebidanan Aisyiyah ISSN 2477-8184
Vol 14, No. 1, Juni 2018, pp.59-68 59
Faktor risiko mempengaruhi kejadian Diabetes mellitus tipe dua

Risk factors was affects of diabetes mellitus type 2

Nur Isnaini1,* , Ratnasari2


1,2
Departement of Nursing, Faculty of Health Science,

Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jawa

Tengah Indonesia
1
nurisnaini@ump.ac.id*
* corresponding author
Tanggal Submisi: 30 Oktober 2017, Tanggal Penerimaan: 5 Maret 2018

Abstrak
Pasien Diabetes Mellitus dapat hidup normal dengan mengendalikan faktor risiko. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko Diabetes Mellitus tipe dua. Desain studi non-
eksperimental, atau juga bisa disebut dengan observasional, menggunakan desain penelitian
cross-sectional. Populasi adalah warga yang berada di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.
Teknik purposif sampel sebanyak 106 orang dengan pembagian 53 kasus dan 53 kontrol.
Analisa data menggunakan uji chi-square. Faktor risiko yang terbukti berpengaruh dengan DM
tipe dua di Puskesmas I Wangon adalah faktor genetik dengan keluarga DM (OR=10,938),
pola makan tidak sehat, umur ≥45 tahun, IMT obesitas, dan tingkat pendidikan rendah.

Kata kunci: faktor risiko; DM tipe dua

Abstract
Diabetes Mellitus patients can live a normal life by controlling for risk factors. Purpose of this
research is to know the risk factor of Diabetes Mellitus type two. Design this research is non-
experimental, or can also be called observational, uses a cross-sectional research design.
Population is a resident who is in the working area of Puskesmas I Wangon. The purposive
sampling technique was 106 people with 53 cases and 53 controls. Analysis using chi-square
test. Risk factors that have been shown to affect second-person DM are genetic factors with
DM family (OR=10.938), unhealthy eating pattern, age ≥45 years, BMI obesity, and low level
of education.

Keywords: risk factors; type 2 DM


Doi : http://dx.doi.org/10.31101/jkk.550 This is an open access article under the CC–
BY-SA license.
60 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-
8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan
metabolisme yang terjadi pada organ pankreas yang ditandai dengan peningkatan gula darah
atau sering disebut dengan kondisi hiperglikemia yang disebabkan karena menurunnya jumlah
insulin dari pankreas (ADA, 2012). Kejadian penyakit DM yang paling sering terjadi di
masyarakat adalah DM tipe dua. Kasus pada tahun 2013, prevalensi DM di dunia adalah
sebesar 8,4% dari populasi penduduk dunia. Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang
tersembunyi sebelum muncul gejala yang tampak seperti mudah lapar, haus dan sering buang
air kecil. Gejala tersebut seringkali disadari ketika pasien sudah merasakan keluhan, sehingga
disebut dengan the silent killer.
Penyakit Diabetes Melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi baik
makrovaskuler maupun mikrovaskuler (Brunner and Suddarth, 2013). Dampak dari Diabetes
Mellitus terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan cukup besar,
sehingga sangat diperlukan program pengendalian DM tipe dua. Menurut (Kemenkes, 2010)
penyakit Diabetes Mellitus tipe dua bisa dilakukan pencegahan dengan mengetahui faktor
risiko. Faktor risiko penyakit DM terbagi menjadi faktor yang berisiko tetapi dapat dirubah
oleh manusia, dalam hal ini dapat berupa pola makan, pola kebiasaan sehari-hari seperti
makan, pola istirahat, pola aktifitas dan pengelolaan stres. Faktor yang kedua adalah faktor
yang berisiko tetapi tidak dapat dirubah seperti usia, jenis kelamin serta faktor pasien dengan
latar belakang keluarga dengan penyakit Diabetes (Suiraoka, 2012).
Faktor risiko kejadian penyakit Diabetes Mellitus tipe dua antara lain usia, aktifitas
fisik, terpapar asap, indeks massa tubuh (IMT), tekanan darah, stres, gaya hidup, adanya
riwayat keluarga, kolesterol HDL, trigliserida, DM kehamilan, riwayat ketidaknormalan
glukosa dan kelainan lainnya (Morton et al, 2012; Koes Irianto 2012; De Graaf et al, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2012) menyatakan bahwa riwayat keluarga,
aktifitas fisik, umur, stres, tekanan darah serta nilai kolesterol berhubungan dengan terjadinya
DM tipe dua, dan orang yang memiliki berat badan dengan tingkat obesitas berisiko 7,14 kali
terkena penyakit DM tipe dua jika dibandingkan dengan orang yang berada pada berat badan
ideal atau normal.
Prevalensi Diabetes Mellitus yang mengalami peningkatan kejadian akan berdampak
pada peningkatan jumlah penderita dan kejadian kematian yang disebabkan karena penyakit
Diabetes Melitus dan komplikasi dari DM itu sendiri. Dampak peningkatan kejadian akibat
DM menyebabkan peningkatan pembiayaan dan perawatan yang diperkirakan untuk biaya
perawatan dengan standar minimal rawat jalan di Indonesia sebanyak 1,5 milyar rupiah dalam
satu hari atau jika diakumulasikan sebanyak 500 milyar rupiah dalam satu tahun. Dengan
estimasi tersebut maka dibutuhkan adanya usaha untuk penanganan dan pencegahan terhadap
kejadian DM. Salah satu upaya untuk penanganan dan pencegahan timbulnya kejadian
peningkatan DM adalah dengan masyarakat mengetahui dan paham akan faktor risiko yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan munculnya penyakit DM.
Shih et al, 2017 mengemukakan pendapat bahwa DM dikaitkan dengan kejadian
morbiditas dan mortalitas pada kelompok komunitas. Diabetus berhubungan dengan kerusakan
progresif kronis pada organ-organ utama, meskipun beberapa organ lain juga berisiko untuk
terjadi masalah akibat DM tersebut seperti organ kornea. Komponen kornea yang berbeda
(epitelium, saraf, sel kekebalan dan endotelium) mendukung komplikasi sistemik spesifik
Nur Isnaini et.al (.Faktor risiko mempengaruhi kejadian Diabetes..)
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 61
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

diabetes. Sama seperti retinopati diabetes merupakan penanda adanya penyakit mikrovaskular
yang lebih umum. Perubahan saraf kornea dapat memprediksi neuropati perifer dan otonom,
menyediakan kesempatan untuk pengobatan dini. Perubahan sel kekebalan pada kornea
menunjukkan kemungkinan terjadinya proses peradangan pada komplikasi diabetes.
Berdasarkan data prevalensi, Puskesmas I Wangon dengan peringkat kedua setelah
Puskesmas 2 Sumbang sebanyak 236 penderita Diabetes Mellitus. Data dari bulan Januari
sampai Oktober tahun 2015 berjumlah 193 jiwa yang menderita DM dengan kunjungan setiap
bulannya rata-rata 50 pasien dari jumlah penduduk 55.235 jiwa (Profil Puskesmas I Wangon,
2015). Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Diabetes Mellitus di wilayah kerja
Puskesmas I Wangon belum diketahui dan belum pernah dilakukan penelitian, berdasarkan
latar belakang tersebut maka penelitian ini sangat perlu dilakukan terhadap masyarakat di
Puskesmas I Wangon.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan adalah kuantitatif dengan desain studi non-eksperimental, atau
juga bisa disebut dengan observasional, menggunakan desain penelitian cross-sectional. Cross-
sectional digunakan karena faktor risiko dan dampaknya diteliti dalam waktu bersamaan
(Rothman et al, 2008). Jumlah sampel sebanyak 106 responden yang terdiri dari 53 kelompok
kasus (penderita DM tipe dua) dan 53 kelompok kontrol (bukan penderita DM tipe dua) di
wilayah kerja Puskemas I Wangon. Variabel independen adalah jenis kelamin, umur,
pendidikan, pekerjaan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, terpapar asap, IMT, tekanan darah dan
pola makan. Variabel dependen adalah kejadian Diabetes Mellitus tipe dua.
Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen kuesioner. Penelitian ini dilakukan
pada masyarakat yang berkunjung di Puskesmas I Wangon pada bulan Januari sampai Febuari
2016. Analisa bivariat chi-square digunakan untuk melihat ada hubungan atau tidak antara
variabel independen dan dependen. Keputusan chi-square dilakukan menggunakan nilai p-
value <0,05 maka dikatakan signifikan. Perhitungan odds ratio berupa perbandingan antara
terjadinya penyakit pada kelompok yang terkena DM dengan odds ratio pada kelompok yang
tidak terkena DM.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1 menunjukan bahwa lima variabel dari 10 variabel yang diteliti terdapat
pengaruh yang signifikan dengan terjadinya DM tipe dua pada masyarakat di Puskesmas I
Wangon, yaitu variabel riwayat keluarga DM (OR=10,938), faktor berikutnya adalah pola
makan tidak sehat, umur ≥45 tahun, IMT obesitas, tingkat pendidikan rendah.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa faktor jenis kelamin dengan nilai p=0,63 yang
artinya nilai tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kejadian DM. Hasil
tersebut bertentangan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa perempuan lebih berpeluang
untuk terjadi DM dibandingkan laki laki dengan alasan faktor hormonal dan metabolisme,
bahwa perempuan mengalami siklus bulanan dan menopouse yang berkontribusi membuat
distribusi peningkatan jumlah lemak tubuh menjadi sangat mudah terakumulasi akibat proses
tersebut sehingga perempuan lebih berisiko terkena penyakit DM tipe dua (Irawan, 2010).
Jumlah perbandingan antara komposisi berupa estradiol akan membuat gen Estrogen Reseptor
(ER) dan Estradiol Reseptor (ER) teraktivasi, hal tersebut menyebabkan proses metabolisme
akan bekerja dan kedua gen tersebut akan berkoordinasi dalam sensitivitas insulin dan
62 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-
8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

peningkatan ambilan glukosa dalam darah. Sejalan dengan meningkatnya usia manusia maka
hormon estrogen akan mengalami penurunan dalam tubuh perempuan. Aktivasi dari ekspresi
gen ER dan ER yang kondisi ini menyebabkan sensitivitas insulin dan pengambilan gula juga
akan turun, sehingga gula akan menumpuk dalam bentuk lemak dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan obesitas.
Tabel 1. Tabulasi silang hubungan antara jenis kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, terpapar asap, imt, pola makan dan
tekanan darah dengan penyakit dm
tipe dua

Variabel Kategori responden Nilai-p OR (95% CI)


Kasus Kontr
n % n ol %
Jenis Kelamin
Laki-laki 13 24,5 22 41 0,06 2,184
3
Perempuan 40 75,5 31 58 (0,952-
5,011)
Umur
< 45 9 17 21 39,6 0,01 0,312
0
≥ 45 4 83 32 60,4 (0,126-
Pekerjaan 4 0,770)
Bekerja 58,4 28 52,8 0,55
3 8 1,258
1
Tidak 2 41,5 25 47,2 (0,587-
Bekerja 2 2,711)
Tingkat 0,00
Pendidika 86,8 34 64,2
4 7 0,272
n 6
Rendah
Tinggi 7 13,2 19 35,8 (0,103-
Riwayat 0,721)
Keluarga
Ada 25 47,2 4 7,5 0,00
Tidak 01 10,938
ada
28 52,8 49 92,5 (3,453-
Aktifitas Fisik 34,65)
Olahraga 22 41,5 16 30,2 0,22 1,641
4
Tidak 3 58,5 37 69,8 (0,736-
Terpapar Asap 1 3,658)
Merokok 32,1 22 41,5 0,31
1 4 0,665
7
Tidak Merokok 3 67.9 31 58,5 (0,301-
IMT 6 1,473)
Normal 45,3 39 73,6 0,00
2 3 0,297
4
Obesitas 2 54,7 14 26,4 (0,131-
Tekanan Darah 9 0,672)
Hipertensi 35,8 21 39,6 0,68
1 9 0,852
9
Tidak Hipertensi 3 64,2 32 60,4 (0,388 -
Pola Makan 4 1,869)
Sehat 47,3 36 67,9 0,03
2 1 0,424
5
Tidak sehat 28 52,8 17 32,1 (0,191-
0,929)
Jumlah 53 100 53 100
Sumber : Data primer
Keterangan:
OR : Odds Ratio
IMT : Indeks Masa
Tubuh CI :
Confidence Interval

Pendapat dari Almatsier (2013), menyatakan bahwa penyakit DM adalah akumulasi


gejala terhadap manusia dengan peningkatan kadar gula dalam darah atau glukosa darah yang
diakibatkan karena tubuh kurang memproduksi insulin secara absolut ataupun secara relatif.
Absolut dapat diartikan pankreas sama sekali tidak menghasilkan insulin yang berarti tubuh
membutuhkan insulin dari luar tubuh. Berbeda dengan relatif yang berarti tubuh masih bisa
memproduksi dengan jumlah cukup ataupun jumlahnya yang diproduksi sedikit dan daya
kerjanya kurang. Hormon insulin merupakan hormon yang diproduksi di sel beta pankreas,
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 63
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

fungsinya sangat penting dalam proses metabolisme gula darah untuk semua sel tubuh.
Komposisi lemak dalam darah meningkat bisa disebabkan dari faktor makanan yang
kandungan kolesterolnya tinggi ataupun konsumsi yang berlebihan karbohidrat sehingga
insulin dalam pankreas lebih banyak digunakan untuk membakar lemak tersebut. Kondisi
tersebut mengakibatkan penumpukan gula dalam darah karena tubuh kekurangan hormon
insulin yang semestinya berfungsi untuk kestabilan metabolisme glucosa dalam darah.
Berdasarkan hasil penelitian ini dilihat dari faktor umur didapatkan hasil bahwa
p=0,010 yang menandakan ada hubungan antara umur dengan kejadian DM tipe dua pada
masyarakat di Puskesmas I Wangon. Semakin meningkat umur seseorang maka semakin besar
kejadian DM tipe dua. Pada penelitian ini didapatkan umur pada kelompok kasus umur antara
51-60 tahun 22 responden (41,5%), umur 46-50 tahun 13 responden (24,5%) dan umur diatas
61 tahun 9 responden (16,9%). Umur kurang dari 45 tahun 9 responden (17%). Peningkatan
usia menyebabkan perubahan metabolisme karbohidrat dan perubahan pelepasan insulin yang
dipengaruhi oleh glukosa dalam darah dan terhambatnya pelepasan glukosa yang masuk
kedalam sel karena dipengaruhi oleh insulin. Jika dilihat dari umur responden saat pertama kali
menderita DM maka dapat diketahui bahwa semakin meningkatnya umur seseorang maka
semakin besar kejadian DM tipe dua (Brunner and Suddarth, 2013).
Faktor usia mempengaruhi penurunan pada semua sistem tubuh, tidak terkecuali sistem
endokrin. Penambahan usia menyebabkan kondisi resistensi pada insulin yang berakibat tidak
stabilnya level gula darah sehingga banyaknya kejadian DM salah satu diantaranya adalah
karena faktor penambahan usia yang secara degenerative menyebabkan penurunan fungsi
tubuh.
Jenis pekerjaan responden pada kelompok kasus terbanyak adalah buruh atau tani
sejumlah 16 orang dan paling sedikit adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejumlah 3 orang.
Hasil analisis data menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan
dengan kejadian DM. Sebagian responden yang tidak bekerja adalah berjenis kelamin
perempuan, kelompok ini adalah ibu rumah tangga sejumlah 17 orang (32%). Variabel jenis
pekerjaan berhubungan dengan aktifitas fisik dan aktifitas olahraga. Ibu rumah tangga
melakukan beberapa aktifitas di rumah seperti mencuci, memasak dan membersihkan rumah
serta banyak aktifitas lainnya yang tidak dapat dideskripsikan. Aktifitas fisik akan berpengaruh
terhadap peningkatan insulin sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Jika insulin
tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes,
2010). Menurut Sukardji (2009), pekerjaan sebagai ibu rumah tangga termasuk dalam aktifitas
ringan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sujaya (2009), bahwa orang yang
aktifitas fisiknya ringan memiliki risiko 4,36 kali lebih besar untuk menderita DM tipe dua
dibandingkan dengan orang yang memiliki aktifitas sedang dan berat.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa faktor pendidikan nilai p=0,007 menunjukkan
ada pengaruh antara pendidikan dengan kejadian DM. Pendidikan sebagian besar responden
adalah tamat SD berjumlah 31 orang (58,4%) dan paling rendah adalah perguruan tinggi
berjumlah 4 orang (7,5%). Dalam penelitian ini variabel pendidikan terbagi menjadi dua
kategori yaitu rendah dan tinggi. Pendidikan rendah yaitu bila responden berpendidikan antara
tidak pernah sekolah sampai tamat SMP, sedangkan pendidikan tinggi yaitu bila responden
berpendidikan antara tamat SMA sampai dengan tamat perguruan tinggi. Dalam analisis
univariat, terlihat bahwa sebagian besar responden berpendidikan rendah.
64 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-
8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

Pendapat dari (Irawan, 2010) menyebutkan bahwa ada keterikatan antara orang dengan
tingkat pendidikan tinggi akan lebih bisa menerima dirinya sebagai orang sakit jika mengalami
gejala yang berhubungan dengan suatu penyakit dibandingkan dengan kelompok masyarakat
yang lebih rendah pendidikannya. Golongan dengan tingkat pendidikan tinggi juga
diindikasikan lebih cepat mencari pertolongan tim kesehatan dibandingkan dengan masyarakat
yang berstatus sosial lebih rendah. Kelompok orang dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya
akan lebih banyak memiliki pengetahuan tentang kesehatan dan dengan pengetahuan tersebut
maka kelompok orang yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki kesadaran dalam
menjaga kesehatannya. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa orang yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung tidak terkena Diabetes Mellitus tipe dua karena
biasanya akan memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan.
Hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa orang yang memiliki riwayat DM pada
keluarga berpeluang 10,938 kali lebih besar menderita Diabetes Mellitus tipe dua daripada
orang yang tidak mempunyai riwayat DM pada keluarga karena risiko seseorang untuk
menderita DM Tipe dua lebih besar jika orang tersebut mempunyai orang tua yang menderita
DM tipe dua. Keluarga dalam penelitian ini hanya keluarga dekat seperti ibu ayah, dan saudara
sekandung. Faktor genetik pada kasus DM bersumber dari keselarasan (corcodance) DM yang
itu bisa meningkat pada kondisi kembar monozigot, prevalensi kejadian DM yang tinggi pada
anak-anak dari orang tua yang menderita diabetes, dan prevalensi kejadian DM yang tinggi
pada kelompok etnis tertentu. DM tipe dua merupakan kelainan poligenik dan tidak memiliki
hubungan yang jelas dengan gen human leucocytes antigen (HLA).
Orang dengan latar belakang keluarga yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga
dengan ibu, ayah ataupun keluarga yang terkena DM akan mempunyai peluang kejadian 2
sampai 6 kali lebih besar berpeluang terjadi diabetes dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki keturunan penyakit DM (CDC, 2011). Orang dengan keluarga berketurunan DM
berisiko jika akan terkena di usia lanjut, karena para ahli percaya bahwa peluang terkena
penyakit DM akan lebih besar jika orangtuanya juga menderita penyakit Diabetes Mellitus
(ADA, 2012).
Orang dengan keluarga yang memiliki penyakit DM harus meningkatkan kewaspadaan.
Jika satu orang tua terkena DM maka risiko terkena DM sebanyak 15%, dan jika kedua orang
tua ayah dan ibu keduanya memiliki DM maka risiko memiliki DM sebanyak 75% (Diabates
UK, 2010). Risiko untuk mendapatkan DM dari ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan
DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar dari ibu. Jika
saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita DM adalah 10% dan 90% jika
yang menderita adalah saudara kembar identik (Diabetes UK, 2010).
Aktifitas fisik yang diukur dalam penelitian ini adalah aktifitas olahraga yang
dilakukan responden minimal seminggu sekali dan responden yang melakukan olahraga
minimal seminggu sekali, seperti jalan-jalan pagi di sekitar rumah. Responden yang tidak
tergolong melakukan olahraga karena beranggapan bahwa pekerjaan yang dilakukan sudah
termasuk dalam olahraga karena mengeluarkan keringat, dan pekerjaan yang dilakukan oleh
ibu rumah tangga juga sudah termasuk melakukan aktifitas fisik seperti menyapu, mencuci.
Berolahraga dan beraktifitas secara fisik akan membantu untuk mengontrol berat badan.
Dengan beraktifitas fisik akan dapat terjadi pembakaran gula darah menjadi energi serta sel
tubuh akan lebih sensitif dan lebih banyak menghasilkan insulin. Dengan aktifitas juga
akan menimbulkan
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 65
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

lancarnya peredaran darah serta akan menurunkan kemungkinan terkena DM tipe dua turun
sampai 50 persen.
Aktifitas fisik dan olahraga rutin dapat mempengaruhi aksi insulin dalam metabolisme
glukosa dan lemak pada otot rangka. Aktifitas fisik akan menstimulasi penggunaan insulin dan
pemakaian glukosa dalam darah serta dapat meningkatkan kerja otot. Adaptasi fisiologis
meliputi peningkatan pasokan kapiler ke otot skeletal, peningkatan aktifitas enzim dari rantai
transpor elektron mitokondria, dan peningkatan secara bersamaan pada volume dan kepadatan
mitokondria.
Aktifitas fisik yang teratur dapat berperan dalam mencegah risiko DM dengan
meningkatkan massa tubuh tanpa lemak dan secara bersamaan mengurangi lemak tubuh.
Aktifitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah
akan berkurang. Orang yang jarang beraktifitas fisik dan jarang melakukan olahraga, zat
makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak akan dibakar tetapi akan ditimbun dalam bentuk
lemak dan gula. Jika kondisi pankreas tidak adekuat dalam menghasilkan insulin dan tidak
mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul penyakit DM
(Kemenkes, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara
aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon karena
sebagian besar responden yang tidak melakukan olahraga adalah ibu rumah tangga dan
aktifitas fisik membantu kita untuk mengontrol berat badan, glukosa darah dibakar menjadi
energi dan sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin.
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara terpapar asap
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon, karena asap rokok dapat
meningkatkan kadar gula darah. Prevalensi responden yang tidak merokok lebih besar
daripada prevalensi yang merokok bisa disebabkan karena kebanyakan responden berjenis
kelamin perempuan. Masyarakat Indonesia masih menganut adat ketimuran yang budaya
merokok bagi wanita merupakan hal yang tabu karena hal ini pastinya akan melontarkan
penilaian-penilaian negatif tentang dirinya (Shih et al, 2017). Pendapat ini terbukti dari
persentase yang merokok hampir semuanya adalah laki-laki dan hanya satu orang yang
berjenis kelamin perempuan.
Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi ketebalan plasma dinding pembuluh darah
(aterosklerosis) dan dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Menurut Slagter et al
(2013), kebiasaan merokok berhubungan dengan peningkatan prevalensi metabolic syndrome
dan peningkatan Indeks Masa Tubuh (IMT). Peningkatan ini berhubungan dengan
peningkatan risiko penurunan HDL (High Desity Lipoprotein) kolesterol, dan tingginya
triglycerides dan peningkatan lingkar pinggang. Menurut Hilawe et al (2015), kandungan
konsentrasi adiponektin tampak secara parsial memediasi pengaruh merokok pada diabetes.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara IMT
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon karena orang dengan IMT
obesitas menyebabkan meningkatnya asam lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel dan
akan menyebabkan terjadinya retensi insulin. Indeks Massa Tubuh dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua kategori yaitu normal apabila IMT <25 kg/m¬2 dan obesitas apabila IMT ≥27
kg/m2. Sementara itu, IMT responden pada kelompok kasus paling banyak antara IMT ≥ 27-
29 kg/m2 dan paling sedikit adalah IMT normal yaitu antara 20-25 kg/m2. Peningkatan indeks
66 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-
8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

masa tubuh dipengaruhi oleh faktor gaya hidup seperti kelebihan berat badan atau tidak
berolahraga sangat terkait dengan perkembangan diabetes tipe dua dan adanya pengaruh
indeks massa tubuh terhadap diabetes mellitus ini bisa disebabkan oleh kurangnya aktifitas
fisik serta tingginya konsumsi protein, karbohidrat dan lemak yang merupakan faktor risiko
dari obesitas. Kondisi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya asam lemak atau Free Fatty
Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menyebabkan menurunnya pengambilan
glukosa kedalam membran plasma, dan akan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada
jaringan otot dan adipose.
Hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara tekanan darah
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon karena responden yang
menderita hipertensi sudah mendapatkan pengobatan. Hipertensi pada hasil penelitian ini
secara langsung tidak terbukti berpengaruh dalam meningkatkan faktor risiko DM tipe dua,
karena kemungkinan disebabkan oleh responden yang menderita hipertensi sudah
mendapatkan pengobatan. Hasil penelitian ini menghasilkan bahwa responden yang
mempunyai riwayat hipertensi dan hasil pemeriksaan tekanan darahnya ≥140/90 mmHg
sebanyak 12 orang semuanya mendapat terapi antihipertensi berupa captopril.
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan pendistribusian gula pada sel tidak
berjalan optimal sehingga akan terjadi akumulasi gula dan kolesterol dalam darah. Sebaliknya
jika kondisi tekanan darah berada pada rentang normal maka gula darah akan terjaga dalam
rentang normal karena insulin bersifat sebagai zat pengendalian dari sistem renin dan
angiotensin. Kadar insulin yang cukup menyebabkan tekanan darah terjaga, tekanan darah
diatas 120/90 mmHg memiliki risiko diabetes dua kali lipat dibandingkan dengan orang yang
tekanan darahnya normal (Brunner and Suddarth, 2013).
Literatur lain juga mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh hipertensi
terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri yang
menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Penebalan pembuluh darah
tersebut akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi terganggu
(Zieve, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor pola makan nilai p=0,031 yang berarti
ada hubungan antara pola makan dengan kejadian Diabetus Mellitus di Puskesmas I Wangon.
Pola makan merupakan salah satu komponen yang penting dalam menjaga agar tubuh dalam
keadaan stabil dan tidak berisiko menimbulkan kasus DM. Pola makan pada penelitian ini
dikategorikan menjadi dua yaitu konsumsi makanan pokok berupa karbohidrat, misalnya nasi,
kurang dari tujuh centong per hari dan konsumsi gula kurang dari tiga sendok perhari,
dikatakan pola makan sehat. Makanan pokok berupa karbohidrat merupakan salah satu zat gizi
makro yang dalam tubuh akan dicerna dan dapat menghasilkan glukosa dan energi, dan ada
pula karbohidrat yang dirubah dalam bentuk glikogen dalam hati sebagai cadangan serta
disimpan dalam bentuk lemak.
Fungsi utama karbohidrat untuk metabolisme adalah menyediakan energi untuk sel,
termasuk sel-sel otak yang kerjanya tergantung pada suplai karbohidrat berupa glukosa.
Kondisi kurangnya glukosa darah dapat mengakibatkan hipoglikemia, sedangkan kondisi
kelebihan glukosa dalam darah menimbulkan kondisi yang disebut hiperglikemia yang kondisi
tersebut jika berlangsung terus dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit diabetes
(Brunner and Suddarth, 2013). Tingginya jumlah penderita penyakit Diabetes Mellitus di
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 67
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

Indonesia diakibatkan kebiasaan pola makan orang Indonesia yang terlalu banyak
mengkonsumsi karbohidrat dan ketidakseimbangan konsumsi dengan kebutuhan energi yang
jika kondisi tersebut berlangsung terus menerus dapat menimbulkan terjadinya Diabetes
Mellitus. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pola makan
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon dengan OR 0,424. Orang
dengan pola makan sehat cenderung tidak menderita Diabetes Mellitus tipe dua karena pola
makan yang kurang baik juga menjadi faktor risiko penyebab terjadinya DM.

SIMPULAN
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian DM tipe dua di Wilayah
Kerja Puskesmas I Wangon adalah riwayat keluarga DM (OR=10,938), pola makan tidak sehat
(OR=0,424), umur ≥ 45 tahun (OR=0,312), IMT obesitas (OR=0,297), tingkat pendidikan
rendah (OR=0,272). Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kejadian DM tipe
dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon adalah pekerjaan, aktifitas fisik, terpapar asap, dan
tekanan darah.

SARAN
Dengan mengetahui faktor risiko penyakit Diabetus Mellitus diharapkan masyarakat
dapat melakukan langkah langkah antisipasi berupa pencegahan agar kejadian DM ini dapat
diminimalkan. Saran utama untuk responden penderita DM adalah mematuhi pilar DM dengan
mencari tahu informasi tentang DM, kontrol gula darah secara rutin, terapi nutrisi dan
konsumsi obat secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA

ADA. (2012). Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 35 (1),
(care.diabetesjournals.org)
Almatsier, Sunita. (2013). Prinsip dasar ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Brunner and Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 1.
Jakarta: EGC
CDC. (2011). Family History as a Tool for Detecting Children at Risk for Diabetes and
Cardiovascular Disease
De Graaf, C., Donnelly, D., Wootten, D., Lau, J., Sexton, P. M., Miller, L. J., Wang, M.-W.
(2016). Glucagon-Like Peptide-1 and Its Class B G Protein–Coupled Receptors: A Long
March to Therapeutic Successes. Pharmacological Reviews, 68(4), 954-1013.
(http://doi.org/10.1124/pr.115.011395)
Diabates UK. (2010). Diabetes in the UK 2010: Key Statistics on Diabetes
Hilawe, E. H., Yatsuya, H., Li, Y., Uemura, M., Wang, C., Chiang, C., Aoyama, A. (2015).
Smoking and Diabetes: Is the Association Mediated by Adiponectin, Leptin, or C-
reactive Protein.Journal of Epidemiology, 25(2): 99-109.
(http://doi.org/10.2188/jea.JE20140055)
Irawan, Dedi. (2010). Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe dua Di Daerah
Urban Indonesia. Tesis dipublikasikan. Jakarta: Univesitas Indonesia Jurnal Kebidanan dan
Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68

Suiraoka. (2012). Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Nuha Medika


Kementerian Kesehatan. (2010). Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Mellitus.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Morton G. et al. (2012). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi 8 Volume I.
Jakarta: EGC
Puskesmas I Wangon. (2015). Profil Kesehatan Puskesmas I Wangon Tahun 2015.
Banyumas: Puskesmas I Wangon
Rothman, KJ, Greenland, S, Lash, T.L. (2008). Modern Epidemiology. Third edition.
Philadelphia: Lipincott Williams and Wilkins
Sujaya, I Nyoman. (2009). Pola Konsumsi Makanan Tradisional Bali sebagai Faktor Risiko
Diabetes Melitus Tipe dua di Tabanan. Jurnal Skala Husada, 6(1): 75-81
Sukardji, K. (2009). Penatalaksanaan Gizi pada Diabetes Mellitus, dalam Buku
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Slagter, S. N., Vliet-Ostaptchouk, J. V. van, Vonk, J. M., Boezen, H. M., Dullaart, R. P.,
Kobold, A. C. M., Wolffenbuttel, B. H. (2013). Associations Between Smoking,
Components of Metabolic Syndrome and Lipoprotein Particle Size. Journal BMC
Medicine, 11: 195. (http://doi.org/10.1186/1741-7015-11-195)
Shih, K. C., Lam, K. S.-L., & Tong, L. (2017). A Systematic Review on The Impact of
Diabetes Mellitus on The Ocular Surface. Journal Nutrition & Diabetes, 7(3): 251.
(http://doi.org/10.1038/nutd.2017.4)
Trisnawati, K, T., Soedijono, S. (2012). Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe II Di
Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan,
5(1)
Zieve, David. (2012). Hypertension–Overview. (http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/
anatomyvideos/000072.htm)

Anda mungkin juga menyukai