uk brought to you
by CORE provided by Gaster : Jurnal Kesehatan
Abstrak; Berdasarkan survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001 diketahui bahwa penyakit saluran
nafas merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah penyakit gangguan
pembuluh darah. Sebanyak antara 1,5 juta sampai 3 juta orang di Indonesia mengidap penyakit asma, dan
kurang lebih sepertiga dari kasus asma diantaranya adalah usia dewasa. Asma merupakan suatu penyakit
obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–gejala batuk, mengi, dan sesak nafas. Masalah utama pada
pasien asma yang sering dikeluhkan adalah sesak napas. Untuk mengurangi sesak nafas yaitu antara lain
dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi pasien dengan penyakit
kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma.
Tujuan; Mengetahui keefektifan pemberian posisi semi fowler pada pasien asma guna mengurangi sesak
nafas. Metode; Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Quasi Eksperiment dengan
rancangan One Group Pre test-Post tets. Hasil; Terbukti ada perbedaan sesak nafas antara sebelum dan
sesudah pemberian posisi semi fowler, dapat penelitian diperoleh hasil T-test sebesar -15,327 dengan p =
0,006. Kesimpulan; Pemberian posisi semi fowler dapat efektif mengurangi sesak nafas pada pasien asma.
PENDAHULUAN
Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli mendefinisikan bahwa asma merupakan suatu
penyakit obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–gejala batuk, mengi, dan sesak nafas
(Somantri,2009:52). Pada penyakit asma, serangan umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan
berat serangan dapat terjadi setiap saat tidak tergantung waktu.
783
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 784
Inspirasi pendek dan dangkal, mengakibatkan penderita menjadi sianosis, wajahnya pucat dan lemas, serta
kulit banyak mengeluarkan keringat. Bentuk thorax terbatas pada saat inspirasi dan pergerakannya pun juga
terbatas, sehingga pasien menjadi cemas dan berusaha untuk bernafas sekuat-kuatnya (Kumoro, 2008: 2).
Metode yang paling sederhana dan efektif dalam biaya untuk mengurangi risiko stasis sekresi pulmonar dan
mengurangi risiko penurunan pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat.
Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan
derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru
dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma (Burn dalam Potter, 2005:1594)
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk membantu
mengurangi sesak napas. Keefektifan dari tindakan tersebut dapat dilihat dari Respiratory Rates yang
menunjukkan angka normal yaitu 16-24x per menit pada usia dewasa (Ruth, 2002: 812). Pelaksanaan
asuhan keperawatan dalam pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan tempat tidur
orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung, sehingga dapat memberi
kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak nafas pada pasien asma saat terjadi serangan.
Penyakit asma telah dikenal sejak berabad-abad tahun yang lalu, dan sampai sekarang ini masih menjadi
masalah kesehatan di masyarakat. Pengetahuan yang terbatas tentang asma membuat penyakit ini seringkali
tidak tertangani dengan baik, akibatnya jumlah pasien dari tahun ketahun semakin meningkat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat tahun 2008 ada 300 juta pasien asma di seluruh dunia.
Indonesia sendiri memiliki 12,5 juta pasien asma. 95% diantaranya adalah pasien asma tak terkontrol. Data
ini disampaikan oleh Faisal (dalam Widodo, 2009) Ketua Umum Dewan Asma Indonesia (DAI) pada hari
peringatan asma sedunia 04 Mei 2009. Jeremy (2006: 55) mengemukakan bahwa, satu dari tujuh orang
di Inggris memiliki penyakit alergi dan lebih dari 9 juta orang mengalami mengi dan sesak nafas.
Dalam 12 tahun terakhir ini jumlah usia dewasa yang mengalami penyakit asma hampir dua kali lipat dari
usia anak-anak.
Rusmono (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2006 penyakit asma termasuk penyakit yang membahayakan
dan pasien asma di Jawa Tengah mengalami peningkatan 5,6%
Dibandingkan tahun 2005. Jumlah pasien asma pada tahun 2005 berjumlah 74.253 dan pada tahun 2006
berjumlah 78.411. Ditambahkan oleh Handayani (2008) dalam penelitiannya tentang pasien asma di
Surakarta berjumlah 2.126 dari berbagai pasien di rumah sakit Surakarta baik negeri ataupun swasta.
Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, pada tahun 2008 jumlah pasien asma yang
dirawat inap kelas III RSUD Surakarta berjumlah 318 orang, tahun 2009 berjumlah 360 orang. Hal ini berarti
ada peningkatan sebanyak 9% dari tahun 2008 ke tahun 2009. Pada bulan Januari sampai April 2010 jumlah
pasien asma rawat inap kelas III untuk usia 20-78 tahun ada 32 orang (Medical Record, RS Dr. Moewardi,
2009). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kepala ruang rawat inap kelas III RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dapat diketahui bahwa setiap tahunnya rata- rata 70% dari 100% pasien asma mengalami
tanda dan gejala sesak nafas dengan pembatasan aktivitas yaitu tirah baring.
Data pasien RSUD Dr. Moewardi Surakarta dirawat inap kelas III memiliki kapasitas terhadap pasien
sebanyak 522 pasien dan masing- masing bangsal terdapat 58 tempat tidur dengan jumlah perawat 22 orang,
pada saat pelaksanaan jumlah pasien paru yang rawat inap di kelas III yaitu 53 pasien. Terdiri dari pasien
TBC sebanyak 21 pasien dan pasien asma sebanyak 32 pasien. Dari 32 pasien asma yang memerlukan
bantuan posisi semifowler sebanyak 30 pasien. Pelaksanaan pemberian posisi semi fowler RSUD Dr.
Moewardi Surakarta di ruang rawat inap kelas III sudah menggunakan tempat tidur orthopedik dan fasilitas
bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung.
Berdasarkan data-data dan hal-hal tersebut di atas penulis ingin mengetahui ”keefektifan pemberian posisi
semi fowler pada pasien asma yang sedang menjalani rawat inap di ruang rawat inap kelas III RSUD Dr.
Moewardi Surakarta”.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Karakteristik Responden Pasien Asma Berdasarkan Bangsal
Pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati, Melati III, dan Anggrek 1, dengan
penjelasannya sebagai berikut:
Tabel 1Karakteristik Pasien Asma Menurut Bangsal
Berdasarkan Tabel 4 hasil pengukuran sesak nafas sebelum dilakukan perlakuan dari 33 responden
diperoleh data yaitu sebanyak 17
pasien (52%).
Tabel 5
Hasil Pengukuran Sesak Nafas Sesudah perlakuan
Berdasarkan Tabel 5 hasil pengukuran sesak nafas setelah dilakukan perlakuan dari 33 responden
selama tiga hari diperoleh data yaitu sebanyak 18 pasien (55%).
Peningkatan sesak nafas tersebut dapat dijelaskan ada pengurangan sesak nafas berat ke sesak nafas ringan
sebanyak 11 pasien (33%) yaitu dari 17 pasien sesak nafas berat menjadi menjadi 6 pasien. Jadi, ada
pengurangan pasien sesak nafas berat ke sesak nafas ringan.
Tabel 4.6 Hasil Uji Sesak Nafas Responden Sebelum dan Sesudah Dilakukan Perlakuan dengan Uji
T-test
Sesak Nafas t p Keterangan
Pre test – Post test -15,327 0,006 Bermakna
Berdasarkan tabel 6 perbedaan antara nilai rata-rata sesak nafas sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan
posisi semi fowler dapat dilihat dari hasil T-test sebesar -15,327 dengan p = 0,006. Karena p = 0,006 <
0,005, maka dikatakan signifikan atau bermakna. Artinya, ada perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan
pemberian posisi semi fowler pada pasien
asma.
PEMBAHASAN
Analisa Karakteristik Pasien Asma
Pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati I, Melati III, dan Anggrek II. Dari tiga
bangsal tersebut pasien asma terbanyak yang dijadikan sampel dari bangsal Anggrek II berjumlah 22 pasien
(67%). Hal ini disesuaikan dengan kondisi bangsal Anggrek II yang merupakan bangsal khusus paru salah
satunya yaitu pasien asma di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. dibedakan atas bangsal Melati I, Melati III, dan
Anggrek II. Dari tiga bangsal
tersebut pasien asma terbanyak yang dijadikan sampel dari bangsal Anggrek II berjumlah 22 pasien (67%).
Hal ini disesuaikan dengan kondisi bangsal Anggrek II yang merupakan bangsal khusus paru salah satunya
yaitu pasien asma di RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.
Responden pada kelompok laki-laki sebanyak 18 pasien (55%). Jumlah tersebut lebih besar apabila
dibandingkan dengan jumlah pasien perempuan.Banyaknya jumlah pasien laki-laki dibandingkan dengan
perempuan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja. Sebagian besar pasien bekerja di pabrik-
pabrik atau dipenggergajian kayu, dan lingkungan tempat tinggal di jalan raya. Hal ini serah dengan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mustofa (2008) yang menyatakan bahwa salah Satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyakit asma karena alergi yang disebabkan lingkungan tempat tinggal pasien
yang dekat dengan jalan raya.
Adapun umur pasien asma pada kelompok usia 41-50 tahun merupakan kelompok usia yang paling banyak
menderita asma. Alasannya,penyakit asma mempunyai hubungan langsung dengan lingkungan kerja. Orang
yang bekerja di lingkungan laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai
kecenderungan tinggi menderita asma. Faktor- faktor pencetus tersebut menimbulkan suatu predisposisi
genetik terhadap alergi sehingga orang yang bekerja selama bertahun-tahun rentan terhadap penyakit asma.
Pengertian tersebut didukung oleh penelitian Kurniawan (2008) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan
tempat tinggal yang ditempati individu banyak debunya menimbulkan kerentanan penyakit asma pada
usia individu menjelang tua (di atas 41 tahun
Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami Sesak Napas Sebelum Diberikan Posisi
Semi Fowler.
Sesak nafas sebelum dilakukan pemberian posisi semi fowler termasuk sesak nafas berat, yaitu sebanyak 17
pasien atau sebanyak 52% dari 33 pasien. Asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran napas yang
memberikan gejala–gejala batuk,mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat
terjadi secara bertahap, perlahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak
dan bahkan
berangsur,sehingga menimbulkan kesulitan bernapas.
Penyempitan saluran napas menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka pasien asma akan
cenderung melakukan pernafasan pada volume paru yang tinggi dan
membutuhkan kerja keras dari otot–otot pernapasan sehingga akan menambah energi untuk
pernapasan (Brooker, 2009: 623). Pendapat Brooker (2009: 623) tersebut dibuktikan oleh
Mustofa 2008) dalam penelitiannnya yang menyatakan bahwa pasien asma mengalami
sesak nafas berat sehingga kesulitan bernapas karena penyempitan saluran napas ini terjadi
adanya hyperreaktifitas dari saluran napas terhadap berbagai macam rangsang.
Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami SesakNapas Sesudah Diberikan Posisi Semi
Fowler.
Pasien asma setelah diberi posisi semi fowler mengalami sesak nafas ringan, yaitu dari
17 pasien asma yang mengalami sesak nafas berat menjadi 11 pasien. Pemberian posisi semi fowler pada
pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk membantu mengurangi sesak napas.
Posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan
gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma.
Hasil penelitian pemberian posisi semi fowler mengurangi sesak nafas sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa pemberian posisi semi fowler dapat
mengurangi sesak nafas pada pasien asma.
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi, dkk 2008: 98) bahwa posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh
dinaikkan 45º membuat oksigen didalam paru–paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran
napas. Penurunan sesak napas tersebut didukung juga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat
diberikan posisi semi fowler sehingga pasien dapat bernafas.
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap sesak nafas. Hal
tersebut berarti mendukung penelitian yang dilakukan oleh Supadi, dkk., (2008) bahwa pemberian semi
fowler mempengaruhi berkurangnya sesak nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi.
Terpenuhinya kualitas tidur pasien membantu proses perbaikan kondisi pasien lebih cepat.
Saat sesak napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk sehingga posisi semi fowler
memberikan kenyamanan dan membantu memperingan kesukaran bernapas. Menurut Angela (dalam Supadi,
dkk., 2008) saat terjadi serangan sesak biasanya klien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi
berbaring. Melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan
napas dan memenuhi O2 dalam
darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih rileks saat makan dan berbicara sehingga kemampuan berbicara
pasien tidak terputus – putus dan dapat menyelesaikan kalimat.
Posisi semi fowler mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2 dalam darah ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa pemberian posisi semi fowler dapat
meningkatkan masukan oksigen bagi pasien pasca pembedahan perut laparoskopi.
Sedangkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemberian posisi semi fowler ini mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Setiawati (2008). Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan
posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak napas pada klien TBC. Hal ini dapat diketahui
melalui nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-3,196) > Z tabel (1,96).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan sesak nafas pada pasien asma di ruang
rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah dan sebelum pemberiaan posisi semi fowler
terjadi penurunan. Perbedaaan tersebut dibuktikan dari adanya pengurangan sesak nafas berat ke sesak
nafas ringan pada 11 pasien atau sejumlah 33% dari 17 pasien. Adanya perbedaan tersebut membuat
pemberian posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak nafas pada penderita asma.
SIMPULAN
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dapat efektif mengurangi sesak nafas. Hal ini dapat
diketahui melalui sebelum dan sesudah pemberian semi fowler ada peningkatan pasien sesak nafas berat ke
sesak nafas ringan. Pernapasan pada pasien asma yang mengalami sesak napas sebelum diberikan posisi semi
fowler, termasuk sesak nafas berat karena posisi tidur telentang. Pernapasan pada pasien asma yang
mengalami sesak napas sesudah diberikan posisi semi fowler, termasuk sesak nafas ringan karena posisi tidur
dengan derajat kemiringan 45°. Hasil penelitian dengan perhitungan uji T-test didapatkan ada efektifitas
pemberian posisi semi fowler pada pasien asma.
Disarankan bagi peneliti selanjutnya bahwahasil penelitian dapat memberikan gambaran tentang efektifitas
penggunaan posisi semi fowler pada pasien asma untuk mengurangi sesak nafas dan dapat melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai factor factor yang lain untuk mengurangi sesak nafas.
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan
edisi
2. Jakarta: Salemba Medika.
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
1
Christine Hendra 2Aaltje E. Manampiring
2
Fona Budiarso
1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2Bagian
Kimia Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email:
christaliahendra@ymail.com
Abstrak: Obesitas didefinisikan sebagai suatu kondisi akumulasi lemak yang tidak
normal atau berlebihan di jaringan adiposa sampai kadar tertentu sehingga dapat merusak
kesehatan. Faktor-faktor risiko yang dapat menpengaruhi terjadinya obesitas pada remaja
adalah pola makan, pola hidup, aktivitas fisik, faktor lingkungan, genetik, faktor
kesehatan, psikis dan obat-obatan hormonal. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui prevalensi dan faktor- faktor risiko terhadap obesitas pada remaja. Penelitian
ini menggunakan metode cross sectionaldengan pendekatan dekskriptif. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan cara simple random
sampling. Sampel penelitian sebanyak 966 siswa yang memenuhi kriteria inklusi yang
berusia 15-18 tahun, bersedia menjadi sampel. Pengambilan data dilakukan dengan cara
pengukuran lingkar pinggang. Simpulan: Berdasarkan hasil pengukuran lingkar
pinggang pada 966 populasi didapatkan 220 orang mengalami obesitas dengan presentasi
22,8% yang terdiri dari 59 orang laki-laki dengan presentase 6,1% dan 161 orag
perempuan dengan presentase 16,7%. Berdasarkan hasil penelitian juga didapatkan
bahwa pola makan merupakan faktor risiko paling berpengaruh pada obesitas kemudian
diikuti dengan faktor genetik, pola hidup, aktivitas fisik dan faktor lingkungan dan yang
terakhir adalah faktor kesehatan dan psikis.
Kata kunci: obesitas, remaja, faktor risiko.
Obesitas adalah suatu penyakit serius yang bila berat badannya 10% sampai dengan
dapat mengakibatkan masalah emosional 20% berat badan normal, sedangkan
dan sosial. Seorang dikatakan overweight seseorang disebut obesitas apabila
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
kelebihan berat badan mencapai lebih 20% paling banyak digunakan adalah
dari berat normal. Obesitas saat ini menjadi menggunakan Index Massa Tubuh (IMT).
permasalahan dunia bahkan Organisasi IMT ditujukan dengan perhitungan
Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan kilogram per meter kuadrat (kg/m2),
sebagai epidemic global.1 berkorelasi dengan lemak yang terdapat
Masalah obesitas banyak dialami oleh dalam tubuh.6
beberapa golongan masyarakat salah Berikut tipe obesitas berdasarkan bentuk
satunya remaja. Kelebihan berat badan tubuh. Obesitas tipe buah apel (Apple
pada remaja telahdi hubungkan dengan Shape) Tipe seperti ini biasanya terdapat
naiknya kadar insulin plasma, lipid darah, pada pria. Dimana lemak tertumpuk di
dan kadar lipoprotein naik, dan kenaikan sekitar perut. Risiko kesehatan pada tipe ini
tekanan darah, yang merupakan faktor yang lebih tinggi dibandingkan dengan buah pear
diketahui dihubungkan dengan morbiditas (Gynoid). Obesitas tipe buah pear (Gynoid)
orang dewasa akibat obesitas.1 Tipe ini cenderung dimiliki wanita, lemak
Obesitas ini disebabkan karena aktivitas yang ada disimpan di sekitar pinggul dan
fisik yang kurang, disamping masukan bokong. Risiko terhadap penyakit pada tipe
makanan padat energi yang berlebihan. gynoid umumnya kecil. Obesitas tipe Ovid
Obesitas pada remaja meningkatkan (Bentuk Kotak Buah) Ciri dari tipe ini
risiko penyakit adalah “besar di seluruh bagian badan”.
kardiovaskuler pada saat dewasa karena Tipe Ovid umumnya terdapat pada orang-
kaitannya dengan sindroma metabolik yang orang yang gemuk secara genetik.4,7
terdiri dari resistensi Faktor-faktor risiko terhadap obesitas sepeti
insulin/hiperinsulinemi, intoleransi pola makan, gaya hidup, kurangnya
glukosa/diabetes melitus, dislipidemia, aktivitas dan kurangnya kesadaran pada
hiperurisemia, gangguan fibrinolisis, dan remaja jika tidak diupayakan perbaikannya
hipertensi.1,2 akan mempengaruhi kualitas masyarakat di
Prevalensi obesitas menurut Riset masa mendatang.8 Faktor-faktor seperti
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 lingkungan, genetik, psikis, kesehatan, dan
meningkat jika dibandingkan dengan juga obat-obatan.9 Gambaran status gizi dan
Riskesdas 2010. Angka obesitas pria pada pengetahuan di masa sekarang berdampak
2010 sekitar 15 persen dan sekarang besar pada gambaran status gizi di masa
menjadi 20 persen. Pada wanita mendatang, Sehingga perlu dicari informasi
persentasenya dari 26 persen menjadi 35 mengenai faktor-faktor risiko terhadap
persen.3 obesitas, khususnya faktor-faktor risiko
Setiap orang memerlukan sejumlah lemak yang banyak muncul pada remaja
tubuh untuk menyimpan energi, sebagai siswa/siswi SMA yang obesitas.
penyekat panas, dan fungsi lainnya. Rata- Penelitian Setyaninggrum (2007)
rata wanita memiliki lemak tubuh yang memperlihatkan bahwa 34,4% responden
lebih banyak dibandingkan pria. remaja usia pubertas sering mengonsumsi
Perbandingan yang normal antara lemak makanan siap saji. Hasil penelitian
tubuh dengan berat badan adalah sekitar memperlihatkan bahwa ada hubungan yang
25-30% pada wanita dan 18-23% pada pria. bermakna antara konsumsi makanan cepat
Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% saji dengan kejadian obesitas.10,11
dan pria dengan lemak tubuh lebih dari Tujuan penelitian ini adalah untuk
25% dianggap mengalami obesitas. mengetahui prevalensi obesitas pada
Seseorang yang memiliki berat badan 20% remaja di Kota Bitung, dan mengetahui
lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat faktor-faktor risiko terhadap obesitas pada
badannya yang normal dianggap remaja di Kota Bitung.
4,5
mengalami obesitas.
Untuk menentukan seseorang menderita
obesitas atau tidak, cara yang
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di SMA/SMK di Kota
Penelitian ini adalah penelitian Cross Bitung dari bulan Oktober 2015 sampai
Sectional dengan pendekatan dekskriptif. Januari 2016. Populasi dalam penelitian ini
Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni
2016
adalah remaja yang berusia 15 sampai 18 diikuti faktor riwayat keturunan (RK)
tahun di SMA/SMK di Kota Bitung. sebanyak 38 (76%) orang, kemudian faktor
Sampel yang diambil adalah remaja dengan aktivitas fisik (AF) sebanyak 12 (24%)
lingkar pinggang untuk Laki-laki >90 dan orang dan yang paling sedikit pada faktor
Perempuan >80. Sampel diambil dengan psikis (P) dengan hasil sebanyak 7 (14%)
orang. Didapatkan hasil demikian karena
pada satu individu bisa terdapat lebih dari
satu faktor resiko.
1
Dwi Purbayanti, 1Nur Aryanti Rembulan Saputra
1
Program Studi Analis Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Email: dwipurbayanti@gmail.com
ABSTRAK
Peminum berat yang mengkonsumsi alkohol lebih dari 30 gram per hari akan
meningkatkan resiko peningkatan kadar trigliserida. Metabolisme etanol yang kronis
menyebabkan oksidasi asam lemak terganggu dan pengalihan karbon menjadi lemak
menyebabkan peningkatan produksi trigliserida di hati. Kelebihan trigliserida di hati
selanjutnya dikeluarkan kepembuluh darah dan terjadilah penumpukan trigliserida
dipembuluh darah dan dapat berlanjut ke Penyakit Jantung Koroner (PJK). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar trigliserida pada pengguna alkohol di Jalan
Mendawai Kota Palangka Raya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk
menggambarkan kadar trigliserida pada orang yang menggunakan atau mengkonsumsi
alkohol di Jalan Mendawai Kota Palangka Raya. Jumlah sampel yang diperoleh adalah 20
sampel dan diambil menggunakan teknik Purposive Sampling, dengan kriteria yaitu berjenis
kelamin laki-laki, berusia lebih dari 20 tahun, sudah mengkonsumsi alkohol lebih dari 5
tahun, minimal 1 kali dalam 1 minggu mengkonsumsi alkohol dan bersedia untuk dijadikan
sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 1 orang (5%) yang memiliki kadar
trigliserida normal dan 19 orang (95%) memiliki kadar trigliserida> normal. Berdasarkan
kriteria terhadap risiko penyakit jantung koroner (PJK) yaitu 1 orang (5%) memiliki kadar
trigliserida dengan kriteria ideal, 4 orang (20%) termasuk dalam kriteria batas tinggi terhadap
risiko PJK, 7 orang (35%) yang termasuk kriteria risiko tinggi dan 8 orang (40%) yang
termasuk kriteria risiko sangat tinggi terhadap PJK.
METODE PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN trigliserida lebih tinggi dibandingkan yang
Subyek yang digunakan dalam penelitian alkohol dalam miras yang diminum terlihat
ini adalah peminum alkohol sedang hingga bahwa kadar trigliserida lebih tinggi pada
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Trigliserida Berdasarkan Kriteria Risiko Penyakit Jantung
Koroner
Kad‹lai@k
Urnr
21- 30tahun 4(N4 2(lBS 428/) l05B
31-40tahun 0(6/4 2(I6/g 3(15%) 6(30’/g
41- S0tahun 0(6/# 3(M% I(5% 4(26/
Dian Komasari
Universitas Islam Indonesia
ABSTRACT
Variab F p Status
el
Sikap permisif orang tua 21,433 < 0,05 Linier
terhadap perilaku merokok
remaja Lingkungan teman 12,654 < 0,05 Linie
sebaya Kepuasan Psikologis 55,567 < 0,05 r
Linie
r
Pertama Frekuen %
kali si
merokok
SD 16 21,33
SLTP 47 62,67
SMU 12 16,00
Jumlah 75 100,0
0
Berdasarkan tabel 9 terlihat bahwa masa-masa yang kritis atau rawan
terhadap perilaku merokok pada masa SLTP atau termasuk tahap
perkembangan remaja awal. Remaja awal merupakan periode yang paling
kritis terhadap pemgaruh teman sebaya dan didukung sikap yang permisif
dari orang tua.
KESIMPULAN
Perilaku merokok adalah perilaku yang dipelajari. Proses belajar dimulai
dari sejak masa anak-anak, sedangkan proses menjadi perokok pada masa
remaja. Proses belajar atau sosialisasi tampaknya dapat dilakukan melalui
tranmisi dari generasi sebelumnya yaitu tranmisi vertikal yaitu dari
lingkungan keluarga, lebih spesifik sikap
permisif orang tua terhadap perilaku merokok remaja. Sosialisasi yang lain
melalui transmisi horisontal melalui lingkungan teman sebaya. Namun
demikian, yang paling besar memberikan kontribusi adalah kepuasan-
kepuasan yang diperoleh setelah merokok atau rokok memberikan
kontribusi yang positif. Pertimbangan-pertimbangan emosional lebih
dominan dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi
perokok.
SARAN-SARAN
Agen sosialisasi dalam perilaku merokok adalah keluarga dan lingkungan
teman sebaya. Sementara itu, perilaku merokok lebh berkaitan dengan aspek
emosional. Saran-saran dari penelitian ini adalah:
1. Bagi orang tua yang menginginkan anaknya tidak merokok maka
anggota keluarga tidak disarankan merokok dan atau tidak memberikan
pengukuh positif ketika remaja merokok.
2. Teman sebaya memberikan kontribusi yang cukup besar kepada remaja
untuk merokok, dalam hal ini jika orang tua tidak menginginkan
anaknya merokok, maka orang tua perlu waspada ter- hadap kelompok
teman sebaya anak- anaknya.
3. Perilaku merokok lebih didasarkan atas pertimbangan emosional.
Berkaitan dengan masalah tersebut upaya preventif maupun kuratif
sebaiknya tidak menggunakan pendekatan kognitif seperti pemberian
informasi bahaya-bahaya atau dampak negative merokok, tetapi sentuhan-
sentuhan afeksional perlu dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, MER. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi UGM
Berry, JW., Pootinga, YPEH., Segall, M.H., Dasen, P.R., 1992.Cross-cultural Psychology:
Research & Applications. Cambridge: Cambridge Press University.
Brigham, C.J., 1991. Social Psychology.
Boston: Harper Collins Publisher, Inc.
Cahyani, B. 1995. Hubungan antara Persepsi terhadap Merokok dan Kepercayaan Diri dengan
Perilaku Merokok pada Siswa STM Muhammadiyah Pakem Sleman Yogyakarta. Skripsi.
Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Davidson, G.C & Neale, J.M., 1990. Abnormal Psychology. New York:John Willey & Sons.
Durkin, K. 1995. Developmental Social Psychology From Infancy to Old Age. Cambrigde:
Blackwell Publisher.
Gatchel, R.J.. 1989. An Introdunction to Health Psychology. New York: Mc Graw-Hill Book
Company.
Harlianti, T.T. 1988. Hubungan antara Pemenuhan Kasih Sayang Orang Tua
dan Pengaruh Lingkungan Merokok Teman Sebaya dengan Tingkah Laku Merokok
Remaja SMP. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Kaplan, R.M., Sallis, J.F & Patterson, T.L. 1993. Helath and Human Behavior. New York:
McGraw-Hill Book Co
Kendal, P.C & Hammen, C. 1998. Abnormal Psychology: Understanding Human Problems.
New York: Houghton Mifflin Company
Republika. 1998. Lebih Tiga Juta Mening- gal karena Tembakau dalam Setahun. Harian
Republika. 30 Oktober 1998.
Republika. 1998. Dibanding AIDS dan TBC, Merokok Lebih Banyak Memati- kan. Harian
Republika. 30 November 1998.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Suhariyono, A. 1993. Intensitas Merokok dan Kecenderungan Memilih Tipe Strategi
Menghadapi Masalah pada siswa SMTA di Yogyakarta. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Theodorus. 1994. Ciri Perokok di Kalangan Mahasiswa/1 Universitas Sriwijaya. Jurnal JEN.
No. 3, 19-24.
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN OLAHRAGA DENGAN KEJADIAN
HIPERTENSI PADA PASIEN USIA 45 TAHUN KEATAS
Librianti Putriastuti
FKM UA, libriantiputri@yahoo.com
Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
ABSTRAK
Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular yang berupa gangguan pada sistem
sirkulasi yang banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Secara global, hipertensi diperkirakan
menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar 12,8% dari total seluruh kematian. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kejadian hipertensi pada pasien
usia 45 tahun keatas. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan desain
potong lintang. Penelitian dilakukan kepada 97 pasien yang berkunjung ke poli umum Puskesmas
Kedurus pada bulan Mei tahun 2015 dengan cara systematic random sampling. Variabel tergantung
pada penelitian ini adalah hipertensi, sedangkan variabel bebas adalah status olahraga, frekuensi
olahraga dan lama waktu olahraga. Analisis data dilakukan dengan uji chi-square. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kejadian hipertensi sebagian besar diderita oleh responden dengan kategori
middle age (45–59 tahun) yaitu sebesar 52,8%, jenis kelamin perempuan sebesar 80,6% dan
berpendidikan SMA/sederajat sebesar 26,4%. Hasil analisis dengan uji chi-square menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara status olahraga dengan kejadian hipertensi yaitu p = 0,001
dengan α = 0,05. Uji chi-square antara frekuensi olahraga yaitu p = 0,068 dengan α = 0,05 dan lama
waktu olahraga yaitu p = 0,710 dengan α = 0,05 dengan kejadian hipertensi pada pasien usia 45
tahun keatas menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan karena nilai p > α. Dari semua
variabel yang diteliti, hanya status olahraga yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada
pasien usia 45 tahun keatas. Oleh karena itu, pada masyarakat khususnya yang berusia 45 tahun
keatas perlu melakukan pemeriksaan tekanan darah dan olahraga secara rutin untuk mengurangi
risiko terjadinya hipertensi.
Kata kunci: frekuensi olahraga, hipertensi, lama waktu olahraga, pasien usia 45 tahun keatas, status
olahraga
ABSTRACT
Hypertension is one of non-communicable diseases causing blood circulation system disorders and
become major public health problem. Globally, hypertension is estimated to causes 7.5 million
deaths, about 12.8% of all deaths. The purpose of this research was to analyze the association
between exercise habit and incidence of hypertension among patients over 45 years old. This
research was observasional study and used cross sectional design. This research was conducted
involving 97 patients who visited Kedurus public health center in May 2015, taken by systematic
random sampling. The dependent variable in this study was hypertension, while independent
variables were the status of exercise, frequency of exercise and duration of exercise. Data were
analyzed by chi-square test. The result showed that the incidence of hypertension mostly suffered by
middle age respondents (45 to 59 years old) was equal to 52.8%, female (80.6%) and educational
level was senior high school (26.4%). The result of chi-square test showed that there was a
significant association between status of exercise and incidence of hypertension (p = 0.00 with α =
0.05). Beside that, there weren’t association between frequency of exercise (p = 0.068 with α =
0.05) and duration of exercise (p = 0.710 with α = 0.05) and incidence of hypertension among
patients over 45 years old. From all variables studied, only status of exercise that had a significant
association with incidence of hypertension among patients over 45 years old. Therefore, it is
recommended especially for people over 45 years old to do regular blood pressure check up and
exercise to reduce the risk of hypertension.
Keywords: frequency of exercise ,hypertension, duration of exercise, patients over 45 years old, status
of exercise
©2016 FKM_UNAIR All right reserved. Open 225 access under CC BY – SA license doi:
10.20473/jbe.v4i2.2016.225–236 Received 2 July 2016, received in revised form 18 August
2016, Accepted 23 August 2016, Published online: 31 December 2016
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 226
masalah morbiditas dan mortalitas (Rahajeng esensial. Sekitar 90–95% kasus hipertensi
dan Tuminah, 2009). termasuk dalam kelompok ini dan lebih
Hipertensi atau yang dikenal dengan banyak terjadi pada perempuan daripada laki-
tekanan darah tinggi merupakan salah satu laki. Hipertensi primer biasanya dimulai sebagai
penyakit tidak menular yang berupa proses labil pada seseorang di akhir usia 30-an
gangguan pada sistem sirkulasi. Seseorang dan
dikatakan hipertensi apabila keadaan tekanan awal 50-an yang kemudian secara bertahap
darah mengalami peningkatan diatas normal akan menetap. Hipertensi sekunder adalah
yaitu ≥ 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan hipertensi yang sudah diketahui penyebabnya
atau ≥ 90 mmHg untuk tekanan diastolik secara yaitu terjadinya gangguan pada pembuluh
terus-menerus. Tahap hipertensi dikategorikan darah atau organ tertentu seperti penyakit
menjadi dua, yaitu hipertensi derajat 1 pada ginjal, penyakit endokrin, obat dan lain
rentang tekanan sistolik 140–159 mmHg dan sebagainya. Secara sederhananya, hipertensi
diastolik 90–99 mmHg dan hipertensi derajat sekunder disebabkan oleh adanya penyakit
2 yaitu tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan lain. (Widyanto dan Triwibowo, 2013).
diastolik ≥ 100 mmHg (Sheps, 2005). Tekanan Peningkatan tekanan darah dapat terjadi
sistolik merupakan tekanan darah maksimum melalui beberapa mekanisme. Pertama, jantung
dalam arteri yang disebabkan oleh sistol memompa darah lebih kuat setiap detiknya
ventrikuler. Hasil pembacaan pada tekanan sehingga lebih banyak cairan. Kedua,
sistolik menunjukkan tekanan atas yang kelenturan arteri besar hilang dan menjadi kaku
lebih besar nilainya, sedangkan tekanan sehingga tidak dapat mengembang saat darah
diastolik adalah tekanan minimum dalam arteri yang melalui arteri tersebut dipompa oleh
yang disebabkan oleh diastolik ventrikuler. jantung. Darah dipaksa untuk melewati
Hasil pembacaan pada tekanan diastolik pembuluh darah yang sempit dan
menunjukkan tekanan bawah yang lebih kecil menyebabkan tekanan darah menjadi naik.
nilainya (Widyanto dan Triwibowo, 2013). Penebalan dan kakunya dinding arteri terjadi
Tekanan darah tinggi banyak karena adanya aterosklerosis yang terjadi pada
mengganggu kesehatan masyarakat karena lanjut usia. Ketiga, tekanan darah juga
sebagian besar orang tidak menyadari bahwa meningkat ketika terjadi vasokontriksi yang
dirinya sedang menderita hipertensi. Hal ini disebabkan oleh rangsangan saraf dan
terjadi karena gejalanya yang tidak nyata dan hormon. Keempat, bertambahnya cairan
pada stadium awal belum memperlihatkan dalam sistem sirkulasi dapat meningkatkan
gangguan yang serius pada kesehatan (Depkes tekanan darah. Hal tersebut dapat terjadi
RI, 2008). Gejala yang sering menyertai karena terdapat kelainan pada fungsi ginjal
hipertensi antara lain pusing, sakit kepala, yang tidak mampu membuang natrium dan air
rasa berat atau kaku di tengkuk, sulit tidur dan dalam tubuh sehingga volume darah dalam
hidung berdarah. Gejala akan terasa secara tubuh meningkat. Ginjal juga dapat
tiba-tiba ketika terjadi peningkatan tekanan meningkatkan tekanan darah dengan
darah. Tanda dan gejala yang khas tidak timbul menghasilkan enzim renin yang memicu
sampai hipertensi tingkat lanjut yang pembentukan hormon angiotensin dan
membahayakan nyawa penderita (Sheps, selanjutnya hormon aldosteron dilepaskan
2005). (Widyanto dan Triwibowo, 2013).
Terdapat dua golongan hipertensi Tekanan darah tinggi merupakan faktor
berdasarkan penyebabnya, yaitu hipertensi risiko utama pada penyakit jantung koroner,
esensial dan hipertensi sekunder. stroke iskemik dan hemoragik. Tingkat tekanan
Hipertensi esensial atau primer secara pasti darah telah terbukti positif dan terus
belum diketahui penyebabnya karena bersifat berhubungan dengan risiko stroke dan
multifaktorial yang masing-masing saling penyakit jantung koroner. Selain itu,
berinteraksi mengganggu homeostastis, komplikasi hipertensi juga termasuk gagal
sehingga tekanan darah sistolik dan diastolik jantung, penyakit pada pembuluh darah
akan mengalami peningkatan. Gangguan perifer, gangguan ginjal, penglihatan dan
emosi, obesitas, konsumsi alkohol dan kopi perdarahan retina (WHO, 2014).
yang berlebihan, merokok dan keturunan
berpengaruh pada proses terjadinya hipertensi Menurut WHO (2014), penyakit
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 227
kardiovaskuler merupakan pembunuh nomor 1 dan Tuminah (2009) seperti jalan cepat,
di dunia pada usia diatas 45 tahun dan yang menyatakan jogging, bersepeda,
diperkirakan 12 juta orang meninggal tiap bahwa berdasarkan renang dan senam dapat
tahunnya. Secara global, hipertensi aktivitas fisik, menurunkan
diperkirakan menyebabkan 7,5 juta proporsi responden tekanan darah
kematian, sekitar 12,8% dari total seluruh yang kurang aktivitas sebanyak 5–10
kematian. Prevalensi keseluruhan tekanan fisik pada kelompok mmHg (Sheps,
darah tinggi pada orang dewasa berusia ≥ 25 hipertensi ditemukan 2005).
tahun sebesar 40% pada tahun 2008. lebih tinggi (42,9%) Bagi penderita
Prevalensi hipertensi tertinggi berada di daripada kelompok hipertensi, olahraga
Afrika yaitu sebesar 46% pada pria dan kontrol atau tidak dapat membantu
wanita (WHO, 2014). Di Inggris, 34% pria hipertensi (41,4%). sehingga tidak perlu
dan 30% wanita menderita hipertensi (diatas Risiko aktivitas fisik mengonsumsi obat
140/90 mmHg) atau sedang mendapatkan ini secara bermakna penurun tekanan
pengobatan hipertensi. Prevalensi ditemukan sebesar darah. Olahraga
hipertensi di dunia berdasarkan wawancara 1,02 kali akan membantu
hampir satu miliar pada usia ≥ 18 tahun dibandingkan yang kerja obat menjadi
orang dan menurut provinsi di cukup aktivitas fisik. lebih efektif pada
diperkirakan pada Indonesia tahun 2013, Kecenderungan untuk penderita hipertensi
tahun 2025, Jawa Timur berada terkena hipertensi yang harus minum
jumlahnya mencapai pada urutan ke-6 pada seseorang obat (Sheps, 2005).
1,6 miliar orang (Kemenkes RI, 2013). dengan aktivitas fisik Namun, olahraga
(Palmer dan William, Berdasarkan daftar yang kurang yaitu tidak dapat
2007). 10 penyakit terbanyak sebesar 30–50% dilakukan pada
Di Indonesia, di kota Surabaya (Rimbawan dan seseorang yang
prevalensi hipertensi menunjukkan bahwa Siagian, 2004). memiliki tekanan
berdasarkan terjadi peningkatan darah sistolik lebih
wawancara (apakah pada kejadian dari 170 mmHg dan
pernah dilakukan hipertensi yaitu pada atau diastolik lebih
diagnosis oleh tenaga tahun 2011 dan 2012 dari 110 mmHg.
kesehatan dan minum berada di peringkat ke- Pada lansia mulai
obat hipertensi) 7 dengan persentase Olahraga usia 45 tahun,
mengalami masing-masing sebesar merupakan olahraga secara
peningkatan yaitu 3,3% dan 3,06%. Pada serangkaian gerak teratur terbukti dapat
dari 7,6% pada tahun 2013 hipertensi raga yang teratur dan meningkatkan
tahun 2007 menjadi berada pada peringkat terencana untuk fungsi
9,5% pada tahun ke-2 yaitu sebesar memelihara kardiovaskuler
2013 (Kemenkes RI, 13,6%. kehidupan, yang
2013). Menurut Profil Terdapat beberapa meningkatkan memperlambat
Kesehatan Jawa faktor risiko terjadinya kualitas hidup dan penurunan fungsi
Timur tahun 2010, hipertensi antara lain mencapai tingkat tubuh (Afriwardi,
selama tiga tahun usia, jenis kelamin, kemampuan jasmani 2009).
berturut- turut (2008- keturunan, obesitas, yang sesuai dengan Menurut data Dinas
2010) hipertensi konsumsi garam tujuan (Giriwoyo dan Kesehatan kota
berada pada urutan berlebih, kurang Sidik, 2012). Olahraga Surabaya
ke-tiga penyakit olahraga, merokok dan yang teratur dapat , pada tahun 2013
terbanyak di konsumsi alkohol menurunkan risiko Puskesmas Kedurus
puskesmas sentinel (Dalimartha dkk, 2008). aterosklerosis yang berada pada urutan
Jawa Timur. Pada risiko kurang merupakan salah satu pertama dari seluruh
Berdasarkan Hasil olahraga atau aktivitas penyebab hipertensi. Puskesmas di
Riset Kesehatan fisik terhadap kejadian Selain itu, dengan Surabaya untuk
Dasar tahun 2013, hipertensi telah melakukan olahraga kasus hipertensi
kecenderungan dibuktikan melalui yang teratur pada usia > 18 tahun
prevalensi hipertensi penelitian dari Rahajeng khususnya aerobik dengan persentase
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 228
Hipertensi Keatas t
di Berdasarkan di e
Puskesmas Tabel 3 Puskesm n
Kedurus menunjukkan as
s
Surabaya bahwa dari 72 Kedurus
pada bulan responden penderita Surabay i
Mei 2015 hipertensi, sebagian a Tahun
besar memiliki 2015 H
Jenis kelamin pendidikan terakhir i
penderita hipertensi Status olahraga
responden tamat K hipertensi p
Laki-laki SMA/sederajat
14 yaitu
19,4 en % n %
Perempuan 58 80,6 Tidak olahraga 47 65,3 6 24 e
sebanyak 19 orang j
Total 72 Responden
(26,4%). 100 Olahraga 25 34,7 19 76 r
a t
dengan pendidikan
terakhir lulus d e
akademi/perguruan i n
tinggi memiliki a s
jumlah yang paling n i
sedikit yaitu 8 orang
(11,1%). T
h i
Analisis i d
Hubunga p a
n Antar e k
Variabel r
Pada variabel
status olahraga
Total 72 100 25 100
dikategorikan Bp value 0,001
menjadi dua, yaitu e
responden yang r
tidak melakukan d
olahraga dan a
melakukan olahraga. s
Berikut ini adalah a
hasil analisis r
mengenai k
hubungan antara a
status olahraga n
dengan kejadian
hipertensi pada T
pasien usia 45 tahun a
keatas b
e
Tabel 4. Analisis l
Hubungan
Status 2
Olahraga
dengan m
Kejadian e
Hipertens n
i pada u
Pasien n
usia 45 j
tahun u
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 232
k a
k g
a i
n a
n
b
a b
h e
w s
a a
r
d .
a Berdasarkan diperoleh nilai
r Tabel 4 signifikansi (p)
i menunjukkan sebesar 0,001. Nilai
bahwa sebagian p tersebut lebih kecil
7 besar responden dari α = 0,05 yang
2 penderita artinya Ho ditolak
atau terdapat
hipertensi tidak
r hubungan yang
melakukan olahraga signifikan antara
e yaitu sebanyak 47
s status olahraga
orang (65,3%), dengan kejadian
p sedangkan pada hipertensi pada
o responden yang pasien usia 45 tahun
n melakukan olahraga keatas di Puskesmas
d sebagian besar tidak Kedurus Surabaya
e menderita hipertensi tahun 2015. Pada
n yaitu sebanyak 19 nilai Cramer’s V
orang (76%). sebesar 0,363 yang
p Pada responden berarti bahwa
e yang melakukan hubungan antara
n status olahraga
olahraga yaitu
d dengan kejadian
sebanyak 44 orang, hipertensi pada
e sebagian besar
r pasien usia 45 tahun
melakukan jenis keatas bersifat
i olahraga jalan kaki rendah atau lemah.
t yaitu sebanyak 21 Dengan demikian
a orang (47,7%). tidak olahraga
Responden yang merupakan salah satu
h melakukan jenis faktor risiko
i olahraga terjadinya hipertensi
p bulutangkis, pada pasien usia 45
e berenang dan sepak tahun keatas, namun
r bola memiliki membutuhkan faktor
t lain yang juga
jumlah yang paling
e sedikit yaitu
n masing-masing
s sebanyak 1 orang
i (2,3%).
, Dari hasil
analisis yang
s dilakukan dengan
e menggunakan uji
b Chi-Square
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 233
untuk menghindari untuk menerima salah satunya adalah dari senam belum
cedera saat beban kerja saat untuk mencegah, terlihat dalam kurun
melakukan latihan melakukan latihan menghambat waktu dua bulan.
atau pada kondisi inti. Pemanasan perjalanan dan Olahraga jenis
yang tidak dapat dilakukan meringankan gejala- aerobik mengutamakan
menguntungkan dengan berjalan gejala penyakit non- gerakan otot-otot yang
(Afriwardi, 2009). atau berlari pada infeksi bahkan dapat besar di tubuh, yaitu
Kedua, tata kecepatan lambat menyembuhkan otot anggota bawah atau
cara olahraga maupun dengan penyakit non-infeksi tungkai. Gerakan otot
yang baik yaitu melakukan (Giriwoyo dan Sidik, tersebut memacu kerja
olahraga yang gerakan-gerakan 2012). jantung. Otot jantung
dilakukan dengan inti atau dasar Penelitian yang memiliki sifat seperti
urutan pemanasan, olahraga yang akan dilakukan oleh Ilkafah pada otot kerangka
gerakan inti dan dilakukan. Gerakan (2004), menyebutkan tubuh yang dapat
pendinginan. inti dilakukan bahwa latihan fisik menjadi lebih
Gerakan selama 30–45 atau olahraga
pemanasan dapat menit sesuai berpengaruh terhadap
dilakukan selama dengan penurunan tekanan
kurang lebih 5–10 kemampuan fisik, darah pada lansia
menit, sehingga kemudian diakhiri dengan hipertensi
memungkinkan dengan ringan sampai
otot-otot akan siap pendinginan. sedang. Dari 15
Pendinginan sampel lansia wanita
diperlukan untuk tubuh (Afriwardi, yang teratur senam,
memberikan 2009). sebanyak 11 lansia
kesempatan pada otot Selain olahraga mengalami penurunan
dan sistem yang baik, kaidah tekanan darah sekitar
kardiovaskuler untuk olahraga pada lansia 6 mmHg untuk
memobilisasi zat- zat juga harus benar dan sistolik dan 3 mmHg
hasil metabolisme terukur. Benar berarti untuk diastolik, tiga
(Afriwardi, 2009). semua gerakan yang lansia mengalami
Ketiga, waktu dilakukan tidak penurunan tekanan
olahraga yang baik berpeluang terjadi darah hanya sekitar
yaitu waktu ketika cedera. Gerakan yang 1,5 mmHg pada
suhu lingkungan dilarang untuk sistolik dan diastolik.
tidak terlalu dilakukan pada lansia Hal itu dapat terjadi
ekstrem. Olahraga yaitu memutar kepala karena ketiga lansia
yang dilakukan pada lebih dari 180 derajat, tersebut menderita
lingkungan yang kayang dan lain Diabetes Melitus.
ekstrem akan sebagainya. Terukur Kemudian satu lansia
berpotensi artinya dalam tidak mengalami
menimbulkan melakukan latihan penurunan tekanan
cedera. Berolahraga harus terdapat darah atau tetap
yang baik dilakukan parameter yang dikarenakan lansia
pada pagi atau sore dijadikan patokan tersebut mempunyai
hari, karena pada saat dalam menilai efek kolesterol yang tinggi
tersebut kondisi olahraga yang dan sering
lingkungan cukup dilakukan, diantaranya mengonsumsi obat-
optimal dibandingkan frekuensi denyut nadi obatan bebas, seperti
dengan siang hari saat dan penggunaan waktu obat sakit kepala yang
matahari berada di tempuh dalam jarak mengandung kafein
atas kepala akan tertentu (Afriwardi, yang dapat
mengganggu proses 2009). Sasaran olahraga meningkatkan tekanan
pengeluaran panas kesehatan pada lansia darah sehingga efek
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 238
atau hipertensi. bahkan kematian. signifikan antara lama olahraga tidak boleh
Jika hipertensi Seseorang waktu olahraga dengan mengalami kelelahan
dibiarkan dengan aktivitas kejadian hipertensi yang berlebihan,
berlarut-larut olahraga yang pada pasien usia 45 sehingga terasa sangat
akan menimbulkan kurang memiliki tahun keatas di letih yang membuatnya
tekanan dan kinerja pengontrolan nafsu Puskesmas Kedurus harus berbaring di
yang berlebihan makan yang sangat Surabaya tahun 2015. tempat tidur dan tidak
pada organ-organ labil, sehingga Hal ini terjadi karena bisa melakukan
yang konsumsi energi responden penderita aktivitas sehari-hari.
berhubungan menjadi berlebihan. hipertensi yang Apabila lama waktu
dengan pembuluh Hal ini melakukan olahraga dan
darah yang mengakibatkan ≥ 30 menit dalam
bertekanan tinggi. nafsu makan sekali berolahraga
Pembuluh darah bertambah akhirnya memiliki jumlah
akan pecah apabila berat badan akan yang lebih besar
tidak cukup kuat bertambah dan dibandingkan dengan
untuk menahan bahkan dapat penderita hipertensi
tekanan tersebut. menyebabkan yang melakukan
Bila pecahnya obesitas. Apabila olahraga
pembuluh darah berat badan <30 menit dalam
tersebut terjadi di seseorang sekali berolahraga.
daerah otak maka bertambah, maka Begitu juga dengan
akan menimbulkan volume responden yang tidak
kelumpuhan hipertensi sebagian
darah juga akan 30 menit dan ≥ 30 besar melakukan
bertambah, sehingga menit dalam sekali olahraga ≥ 30 menit
beban jantung untuk berolahraga. Menurut dalam sekali
memompa darah Maryam (2008), lama berolahraga.
bertambah pula. waktu latihan fisik Hasil penelitian
Dengan beban yang untuk usia lanjut adalah ini sejalan dengan
semakin besar, maka 15–45 menit dalam penelitian yang
semakin berat kerja sekali berolahraga dilakukan oleh
jantung dalam hal secara berkelanjutan. Siskarosi (2010),
memompa darah ke Selain itu menurut menyebutkan bahwa
seluruh tubuh Afriwardi (2009), lama tidak terdapat
sehingga tekanan waktu latihan fisik hubungan yang
perifer dan curah untuk lansia adalah 30 signifikan antara lama
jantung dapat menit. Dengan olahraga dengan
meningkat kemudian melakukan gerakan kejadian hipertensi.
menimbulkan yang tepat selama 30 Menurut Afriwardi
hipertensi (Angraini, menit atau lebih (2009), lama waktu
2014). sebanyak 3–4 kali latihan fisik atau
dalam seminggu dapat olahraga yang
Hubungan antara menurunkan tekanan dianjurkan pada
Lama Waktu darah sebesar 10 penderita hipertensi
Olahraga dengan mmHg pada sistolik yaitu 30 sampai
Kejadian dan diastolik (Moorti, dengan 60 menit
Hipertensi pada 2009). setiap kali berolahraga
Pasien Usia 45 Namun, teori dan meminum obat
Tahun Keatas tersebut berkebalikan antihipertensi 6 jam
dengan hasil penelitian setelah melakukan
Pada penelitian latihan.
ini, lama waktu ini yang menunjukkan
bahwa tidak ada Orang lanjut usia
olahraga dibedakan yang melakukan
menjadi dua, yaitu < hubungan yang
Librianti Putriastuti, Analisis Hubungan antara Kebiasaan ... 241
Tengah Indonesia
1
nurisnaini@ump.ac.id*
* corresponding author
Tanggal Submisi: 30 Oktober 2017, Tanggal Penerimaan: 5 Maret 2018
Abstrak
Pasien Diabetes Mellitus dapat hidup normal dengan mengendalikan faktor risiko. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko Diabetes Mellitus tipe dua. Desain studi non-
eksperimental, atau juga bisa disebut dengan observasional, menggunakan desain penelitian
cross-sectional. Populasi adalah warga yang berada di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.
Teknik purposif sampel sebanyak 106 orang dengan pembagian 53 kasus dan 53 kontrol.
Analisa data menggunakan uji chi-square. Faktor risiko yang terbukti berpengaruh dengan DM
tipe dua di Puskesmas I Wangon adalah faktor genetik dengan keluarga DM (OR=10,938),
pola makan tidak sehat, umur ≥45 tahun, IMT obesitas, dan tingkat pendidikan rendah.
Abstract
Diabetes Mellitus patients can live a normal life by controlling for risk factors. Purpose of this
research is to know the risk factor of Diabetes Mellitus type two. Design this research is non-
experimental, or can also be called observational, uses a cross-sectional research design.
Population is a resident who is in the working area of Puskesmas I Wangon. The purposive
sampling technique was 106 people with 53 cases and 53 controls. Analysis using chi-square
test. Risk factors that have been shown to affect second-person DM are genetic factors with
DM family (OR=10.938), unhealthy eating pattern, age ≥45 years, BMI obesity, and low level
of education.
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan
metabolisme yang terjadi pada organ pankreas yang ditandai dengan peningkatan gula darah
atau sering disebut dengan kondisi hiperglikemia yang disebabkan karena menurunnya jumlah
insulin dari pankreas (ADA, 2012). Kejadian penyakit DM yang paling sering terjadi di
masyarakat adalah DM tipe dua. Kasus pada tahun 2013, prevalensi DM di dunia adalah
sebesar 8,4% dari populasi penduduk dunia. Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang
tersembunyi sebelum muncul gejala yang tampak seperti mudah lapar, haus dan sering buang
air kecil. Gejala tersebut seringkali disadari ketika pasien sudah merasakan keluhan, sehingga
disebut dengan the silent killer.
Penyakit Diabetes Melitus dapat menimbulkan berbagai komplikasi baik
makrovaskuler maupun mikrovaskuler (Brunner and Suddarth, 2013). Dampak dari Diabetes
Mellitus terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan cukup besar,
sehingga sangat diperlukan program pengendalian DM tipe dua. Menurut (Kemenkes, 2010)
penyakit Diabetes Mellitus tipe dua bisa dilakukan pencegahan dengan mengetahui faktor
risiko. Faktor risiko penyakit DM terbagi menjadi faktor yang berisiko tetapi dapat dirubah
oleh manusia, dalam hal ini dapat berupa pola makan, pola kebiasaan sehari-hari seperti
makan, pola istirahat, pola aktifitas dan pengelolaan stres. Faktor yang kedua adalah faktor
yang berisiko tetapi tidak dapat dirubah seperti usia, jenis kelamin serta faktor pasien dengan
latar belakang keluarga dengan penyakit Diabetes (Suiraoka, 2012).
Faktor risiko kejadian penyakit Diabetes Mellitus tipe dua antara lain usia, aktifitas
fisik, terpapar asap, indeks massa tubuh (IMT), tekanan darah, stres, gaya hidup, adanya
riwayat keluarga, kolesterol HDL, trigliserida, DM kehamilan, riwayat ketidaknormalan
glukosa dan kelainan lainnya (Morton et al, 2012; Koes Irianto 2012; De Graaf et al, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2012) menyatakan bahwa riwayat keluarga,
aktifitas fisik, umur, stres, tekanan darah serta nilai kolesterol berhubungan dengan terjadinya
DM tipe dua, dan orang yang memiliki berat badan dengan tingkat obesitas berisiko 7,14 kali
terkena penyakit DM tipe dua jika dibandingkan dengan orang yang berada pada berat badan
ideal atau normal.
Prevalensi Diabetes Mellitus yang mengalami peningkatan kejadian akan berdampak
pada peningkatan jumlah penderita dan kejadian kematian yang disebabkan karena penyakit
Diabetes Melitus dan komplikasi dari DM itu sendiri. Dampak peningkatan kejadian akibat
DM menyebabkan peningkatan pembiayaan dan perawatan yang diperkirakan untuk biaya
perawatan dengan standar minimal rawat jalan di Indonesia sebanyak 1,5 milyar rupiah dalam
satu hari atau jika diakumulasikan sebanyak 500 milyar rupiah dalam satu tahun. Dengan
estimasi tersebut maka dibutuhkan adanya usaha untuk penanganan dan pencegahan terhadap
kejadian DM. Salah satu upaya untuk penanganan dan pencegahan timbulnya kejadian
peningkatan DM adalah dengan masyarakat mengetahui dan paham akan faktor risiko yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan munculnya penyakit DM.
Shih et al, 2017 mengemukakan pendapat bahwa DM dikaitkan dengan kejadian
morbiditas dan mortalitas pada kelompok komunitas. Diabetus berhubungan dengan kerusakan
progresif kronis pada organ-organ utama, meskipun beberapa organ lain juga berisiko untuk
terjadi masalah akibat DM tersebut seperti organ kornea. Komponen kornea yang berbeda
(epitelium, saraf, sel kekebalan dan endotelium) mendukung komplikasi sistemik spesifik
Nur Isnaini et.al (.Faktor risiko mempengaruhi kejadian Diabetes..)
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 61
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68
diabetes. Sama seperti retinopati diabetes merupakan penanda adanya penyakit mikrovaskular
yang lebih umum. Perubahan saraf kornea dapat memprediksi neuropati perifer dan otonom,
menyediakan kesempatan untuk pengobatan dini. Perubahan sel kekebalan pada kornea
menunjukkan kemungkinan terjadinya proses peradangan pada komplikasi diabetes.
Berdasarkan data prevalensi, Puskesmas I Wangon dengan peringkat kedua setelah
Puskesmas 2 Sumbang sebanyak 236 penderita Diabetes Mellitus. Data dari bulan Januari
sampai Oktober tahun 2015 berjumlah 193 jiwa yang menderita DM dengan kunjungan setiap
bulannya rata-rata 50 pasien dari jumlah penduduk 55.235 jiwa (Profil Puskesmas I Wangon,
2015). Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Diabetes Mellitus di wilayah kerja
Puskesmas I Wangon belum diketahui dan belum pernah dilakukan penelitian, berdasarkan
latar belakang tersebut maka penelitian ini sangat perlu dilakukan terhadap masyarakat di
Puskesmas I Wangon.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan adalah kuantitatif dengan desain studi non-eksperimental, atau
juga bisa disebut dengan observasional, menggunakan desain penelitian cross-sectional. Cross-
sectional digunakan karena faktor risiko dan dampaknya diteliti dalam waktu bersamaan
(Rothman et al, 2008). Jumlah sampel sebanyak 106 responden yang terdiri dari 53 kelompok
kasus (penderita DM tipe dua) dan 53 kelompok kontrol (bukan penderita DM tipe dua) di
wilayah kerja Puskemas I Wangon. Variabel independen adalah jenis kelamin, umur,
pendidikan, pekerjaan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, terpapar asap, IMT, tekanan darah dan
pola makan. Variabel dependen adalah kejadian Diabetes Mellitus tipe dua.
Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen kuesioner. Penelitian ini dilakukan
pada masyarakat yang berkunjung di Puskesmas I Wangon pada bulan Januari sampai Febuari
2016. Analisa bivariat chi-square digunakan untuk melihat ada hubungan atau tidak antara
variabel independen dan dependen. Keputusan chi-square dilakukan menggunakan nilai p-
value <0,05 maka dikatakan signifikan. Perhitungan odds ratio berupa perbandingan antara
terjadinya penyakit pada kelompok yang terkena DM dengan odds ratio pada kelompok yang
tidak terkena DM.
peningkatan ambilan glukosa dalam darah. Sejalan dengan meningkatnya usia manusia maka
hormon estrogen akan mengalami penurunan dalam tubuh perempuan. Aktivasi dari ekspresi
gen ER dan ER yang kondisi ini menyebabkan sensitivitas insulin dan pengambilan gula juga
akan turun, sehingga gula akan menumpuk dalam bentuk lemak dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan obesitas.
Tabel 1. Tabulasi silang hubungan antara jenis kelamin, umur, pendidikan,
pekerjaan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, terpapar asap, imt, pola makan dan
tekanan darah dengan penyakit dm
tipe dua
fungsinya sangat penting dalam proses metabolisme gula darah untuk semua sel tubuh.
Komposisi lemak dalam darah meningkat bisa disebabkan dari faktor makanan yang
kandungan kolesterolnya tinggi ataupun konsumsi yang berlebihan karbohidrat sehingga
insulin dalam pankreas lebih banyak digunakan untuk membakar lemak tersebut. Kondisi
tersebut mengakibatkan penumpukan gula dalam darah karena tubuh kekurangan hormon
insulin yang semestinya berfungsi untuk kestabilan metabolisme glucosa dalam darah.
Berdasarkan hasil penelitian ini dilihat dari faktor umur didapatkan hasil bahwa
p=0,010 yang menandakan ada hubungan antara umur dengan kejadian DM tipe dua pada
masyarakat di Puskesmas I Wangon. Semakin meningkat umur seseorang maka semakin besar
kejadian DM tipe dua. Pada penelitian ini didapatkan umur pada kelompok kasus umur antara
51-60 tahun 22 responden (41,5%), umur 46-50 tahun 13 responden (24,5%) dan umur diatas
61 tahun 9 responden (16,9%). Umur kurang dari 45 tahun 9 responden (17%). Peningkatan
usia menyebabkan perubahan metabolisme karbohidrat dan perubahan pelepasan insulin yang
dipengaruhi oleh glukosa dalam darah dan terhambatnya pelepasan glukosa yang masuk
kedalam sel karena dipengaruhi oleh insulin. Jika dilihat dari umur responden saat pertama kali
menderita DM maka dapat diketahui bahwa semakin meningkatnya umur seseorang maka
semakin besar kejadian DM tipe dua (Brunner and Suddarth, 2013).
Faktor usia mempengaruhi penurunan pada semua sistem tubuh, tidak terkecuali sistem
endokrin. Penambahan usia menyebabkan kondisi resistensi pada insulin yang berakibat tidak
stabilnya level gula darah sehingga banyaknya kejadian DM salah satu diantaranya adalah
karena faktor penambahan usia yang secara degenerative menyebabkan penurunan fungsi
tubuh.
Jenis pekerjaan responden pada kelompok kasus terbanyak adalah buruh atau tani
sejumlah 16 orang dan paling sedikit adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejumlah 3 orang.
Hasil analisis data menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan
dengan kejadian DM. Sebagian responden yang tidak bekerja adalah berjenis kelamin
perempuan, kelompok ini adalah ibu rumah tangga sejumlah 17 orang (32%). Variabel jenis
pekerjaan berhubungan dengan aktifitas fisik dan aktifitas olahraga. Ibu rumah tangga
melakukan beberapa aktifitas di rumah seperti mencuci, memasak dan membersihkan rumah
serta banyak aktifitas lainnya yang tidak dapat dideskripsikan. Aktifitas fisik akan berpengaruh
terhadap peningkatan insulin sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Jika insulin
tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes,
2010). Menurut Sukardji (2009), pekerjaan sebagai ibu rumah tangga termasuk dalam aktifitas
ringan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sujaya (2009), bahwa orang yang
aktifitas fisiknya ringan memiliki risiko 4,36 kali lebih besar untuk menderita DM tipe dua
dibandingkan dengan orang yang memiliki aktifitas sedang dan berat.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa faktor pendidikan nilai p=0,007 menunjukkan
ada pengaruh antara pendidikan dengan kejadian DM. Pendidikan sebagian besar responden
adalah tamat SD berjumlah 31 orang (58,4%) dan paling rendah adalah perguruan tinggi
berjumlah 4 orang (7,5%). Dalam penelitian ini variabel pendidikan terbagi menjadi dua
kategori yaitu rendah dan tinggi. Pendidikan rendah yaitu bila responden berpendidikan antara
tidak pernah sekolah sampai tamat SMP, sedangkan pendidikan tinggi yaitu bila responden
berpendidikan antara tamat SMA sampai dengan tamat perguruan tinggi. Dalam analisis
univariat, terlihat bahwa sebagian besar responden berpendidikan rendah.
64 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-
8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68
Pendapat dari (Irawan, 2010) menyebutkan bahwa ada keterikatan antara orang dengan
tingkat pendidikan tinggi akan lebih bisa menerima dirinya sebagai orang sakit jika mengalami
gejala yang berhubungan dengan suatu penyakit dibandingkan dengan kelompok masyarakat
yang lebih rendah pendidikannya. Golongan dengan tingkat pendidikan tinggi juga
diindikasikan lebih cepat mencari pertolongan tim kesehatan dibandingkan dengan masyarakat
yang berstatus sosial lebih rendah. Kelompok orang dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya
akan lebih banyak memiliki pengetahuan tentang kesehatan dan dengan pengetahuan tersebut
maka kelompok orang yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki kesadaran dalam
menjaga kesehatannya. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa orang yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung tidak terkena Diabetes Mellitus tipe dua karena
biasanya akan memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan.
Hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa orang yang memiliki riwayat DM pada
keluarga berpeluang 10,938 kali lebih besar menderita Diabetes Mellitus tipe dua daripada
orang yang tidak mempunyai riwayat DM pada keluarga karena risiko seseorang untuk
menderita DM Tipe dua lebih besar jika orang tersebut mempunyai orang tua yang menderita
DM tipe dua. Keluarga dalam penelitian ini hanya keluarga dekat seperti ibu ayah, dan saudara
sekandung. Faktor genetik pada kasus DM bersumber dari keselarasan (corcodance) DM yang
itu bisa meningkat pada kondisi kembar monozigot, prevalensi kejadian DM yang tinggi pada
anak-anak dari orang tua yang menderita diabetes, dan prevalensi kejadian DM yang tinggi
pada kelompok etnis tertentu. DM tipe dua merupakan kelainan poligenik dan tidak memiliki
hubungan yang jelas dengan gen human leucocytes antigen (HLA).
Orang dengan latar belakang keluarga yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga
dengan ibu, ayah ataupun keluarga yang terkena DM akan mempunyai peluang kejadian 2
sampai 6 kali lebih besar berpeluang terjadi diabetes dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki keturunan penyakit DM (CDC, 2011). Orang dengan keluarga berketurunan DM
berisiko jika akan terkena di usia lanjut, karena para ahli percaya bahwa peluang terkena
penyakit DM akan lebih besar jika orangtuanya juga menderita penyakit Diabetes Mellitus
(ADA, 2012).
Orang dengan keluarga yang memiliki penyakit DM harus meningkatkan kewaspadaan.
Jika satu orang tua terkena DM maka risiko terkena DM sebanyak 15%, dan jika kedua orang
tua ayah dan ibu keduanya memiliki DM maka risiko memiliki DM sebanyak 75% (Diabates
UK, 2010). Risiko untuk mendapatkan DM dari ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan
DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar dari ibu. Jika
saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita DM adalah 10% dan 90% jika
yang menderita adalah saudara kembar identik (Diabetes UK, 2010).
Aktifitas fisik yang diukur dalam penelitian ini adalah aktifitas olahraga yang
dilakukan responden minimal seminggu sekali dan responden yang melakukan olahraga
minimal seminggu sekali, seperti jalan-jalan pagi di sekitar rumah. Responden yang tidak
tergolong melakukan olahraga karena beranggapan bahwa pekerjaan yang dilakukan sudah
termasuk dalam olahraga karena mengeluarkan keringat, dan pekerjaan yang dilakukan oleh
ibu rumah tangga juga sudah termasuk melakukan aktifitas fisik seperti menyapu, mencuci.
Berolahraga dan beraktifitas secara fisik akan membantu untuk mengontrol berat badan.
Dengan beraktifitas fisik akan dapat terjadi pembakaran gula darah menjadi energi serta sel
tubuh akan lebih sensitif dan lebih banyak menghasilkan insulin. Dengan aktifitas juga
akan menimbulkan
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 65
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68
lancarnya peredaran darah serta akan menurunkan kemungkinan terkena DM tipe dua turun
sampai 50 persen.
Aktifitas fisik dan olahraga rutin dapat mempengaruhi aksi insulin dalam metabolisme
glukosa dan lemak pada otot rangka. Aktifitas fisik akan menstimulasi penggunaan insulin dan
pemakaian glukosa dalam darah serta dapat meningkatkan kerja otot. Adaptasi fisiologis
meliputi peningkatan pasokan kapiler ke otot skeletal, peningkatan aktifitas enzim dari rantai
transpor elektron mitokondria, dan peningkatan secara bersamaan pada volume dan kepadatan
mitokondria.
Aktifitas fisik yang teratur dapat berperan dalam mencegah risiko DM dengan
meningkatkan massa tubuh tanpa lemak dan secara bersamaan mengurangi lemak tubuh.
Aktifitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah
akan berkurang. Orang yang jarang beraktifitas fisik dan jarang melakukan olahraga, zat
makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak akan dibakar tetapi akan ditimbun dalam bentuk
lemak dan gula. Jika kondisi pankreas tidak adekuat dalam menghasilkan insulin dan tidak
mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul penyakit DM
(Kemenkes, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara
aktifitas fisik dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon karena
sebagian besar responden yang tidak melakukan olahraga adalah ibu rumah tangga dan
aktifitas fisik membantu kita untuk mengontrol berat badan, glukosa darah dibakar menjadi
energi dan sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin.
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara terpapar asap
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon, karena asap rokok dapat
meningkatkan kadar gula darah. Prevalensi responden yang tidak merokok lebih besar
daripada prevalensi yang merokok bisa disebabkan karena kebanyakan responden berjenis
kelamin perempuan. Masyarakat Indonesia masih menganut adat ketimuran yang budaya
merokok bagi wanita merupakan hal yang tabu karena hal ini pastinya akan melontarkan
penilaian-penilaian negatif tentang dirinya (Shih et al, 2017). Pendapat ini terbukti dari
persentase yang merokok hampir semuanya adalah laki-laki dan hanya satu orang yang
berjenis kelamin perempuan.
Kebiasaan merokok dapat mempengaruhi ketebalan plasma dinding pembuluh darah
(aterosklerosis) dan dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Menurut Slagter et al
(2013), kebiasaan merokok berhubungan dengan peningkatan prevalensi metabolic syndrome
dan peningkatan Indeks Masa Tubuh (IMT). Peningkatan ini berhubungan dengan
peningkatan risiko penurunan HDL (High Desity Lipoprotein) kolesterol, dan tingginya
triglycerides dan peningkatan lingkar pinggang. Menurut Hilawe et al (2015), kandungan
konsentrasi adiponektin tampak secara parsial memediasi pengaruh merokok pada diabetes.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara IMT
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon karena orang dengan IMT
obesitas menyebabkan meningkatnya asam lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel dan
akan menyebabkan terjadinya retensi insulin. Indeks Massa Tubuh dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua kategori yaitu normal apabila IMT <25 kg/m¬2 dan obesitas apabila IMT ≥27
kg/m2. Sementara itu, IMT responden pada kelompok kasus paling banyak antara IMT ≥ 27-
29 kg/m2 dan paling sedikit adalah IMT normal yaitu antara 20-25 kg/m2. Peningkatan indeks
66 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-
8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68
masa tubuh dipengaruhi oleh faktor gaya hidup seperti kelebihan berat badan atau tidak
berolahraga sangat terkait dengan perkembangan diabetes tipe dua dan adanya pengaruh
indeks massa tubuh terhadap diabetes mellitus ini bisa disebabkan oleh kurangnya aktifitas
fisik serta tingginya konsumsi protein, karbohidrat dan lemak yang merupakan faktor risiko
dari obesitas. Kondisi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya asam lemak atau Free Fatty
Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menyebabkan menurunnya pengambilan
glukosa kedalam membran plasma, dan akan menyebabkan terjadinya resistensi insulin pada
jaringan otot dan adipose.
Hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara tekanan darah
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon karena responden yang
menderita hipertensi sudah mendapatkan pengobatan. Hipertensi pada hasil penelitian ini
secara langsung tidak terbukti berpengaruh dalam meningkatkan faktor risiko DM tipe dua,
karena kemungkinan disebabkan oleh responden yang menderita hipertensi sudah
mendapatkan pengobatan. Hasil penelitian ini menghasilkan bahwa responden yang
mempunyai riwayat hipertensi dan hasil pemeriksaan tekanan darahnya ≥140/90 mmHg
sebanyak 12 orang semuanya mendapat terapi antihipertensi berupa captopril.
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan pendistribusian gula pada sel tidak
berjalan optimal sehingga akan terjadi akumulasi gula dan kolesterol dalam darah. Sebaliknya
jika kondisi tekanan darah berada pada rentang normal maka gula darah akan terjaga dalam
rentang normal karena insulin bersifat sebagai zat pengendalian dari sistem renin dan
angiotensin. Kadar insulin yang cukup menyebabkan tekanan darah terjaga, tekanan darah
diatas 120/90 mmHg memiliki risiko diabetes dua kali lipat dibandingkan dengan orang yang
tekanan darahnya normal (Brunner and Suddarth, 2013).
Literatur lain juga mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh hipertensi
terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri yang
menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Penebalan pembuluh darah
tersebut akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi terganggu
(Zieve, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa faktor pola makan nilai p=0,031 yang berarti
ada hubungan antara pola makan dengan kejadian Diabetus Mellitus di Puskesmas I Wangon.
Pola makan merupakan salah satu komponen yang penting dalam menjaga agar tubuh dalam
keadaan stabil dan tidak berisiko menimbulkan kasus DM. Pola makan pada penelitian ini
dikategorikan menjadi dua yaitu konsumsi makanan pokok berupa karbohidrat, misalnya nasi,
kurang dari tujuh centong per hari dan konsumsi gula kurang dari tiga sendok perhari,
dikatakan pola makan sehat. Makanan pokok berupa karbohidrat merupakan salah satu zat gizi
makro yang dalam tubuh akan dicerna dan dapat menghasilkan glukosa dan energi, dan ada
pula karbohidrat yang dirubah dalam bentuk glikogen dalam hati sebagai cadangan serta
disimpan dalam bentuk lemak.
Fungsi utama karbohidrat untuk metabolisme adalah menyediakan energi untuk sel,
termasuk sel-sel otak yang kerjanya tergantung pada suplai karbohidrat berupa glukosa.
Kondisi kurangnya glukosa darah dapat mengakibatkan hipoglikemia, sedangkan kondisi
kelebihan glukosa dalam darah menimbulkan kondisi yang disebut hiperglikemia yang kondisi
tersebut jika berlangsung terus dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit diabetes
(Brunner and Suddarth, 2013). Tingginya jumlah penderita penyakit Diabetes Mellitus di
ISSN 2477-8184 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Aisyiyah 67
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68
Indonesia diakibatkan kebiasaan pola makan orang Indonesia yang terlalu banyak
mengkonsumsi karbohidrat dan ketidakseimbangan konsumsi dengan kebutuhan energi yang
jika kondisi tersebut berlangsung terus menerus dapat menimbulkan terjadinya Diabetes
Mellitus. Dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara pola makan
dengan kejadian DM tipe dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon dengan OR 0,424. Orang
dengan pola makan sehat cenderung tidak menderita Diabetes Mellitus tipe dua karena pola
makan yang kurang baik juga menjadi faktor risiko penyebab terjadinya DM.
SIMPULAN
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian DM tipe dua di Wilayah
Kerja Puskesmas I Wangon adalah riwayat keluarga DM (OR=10,938), pola makan tidak sehat
(OR=0,424), umur ≥ 45 tahun (OR=0,312), IMT obesitas (OR=0,297), tingkat pendidikan
rendah (OR=0,272). Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kejadian DM tipe
dua di wilayah kerja Puskesmas I Wangon adalah pekerjaan, aktifitas fisik, terpapar asap, dan
tekanan darah.
SARAN
Dengan mengetahui faktor risiko penyakit Diabetus Mellitus diharapkan masyarakat
dapat melakukan langkah langkah antisipasi berupa pencegahan agar kejadian DM ini dapat
diminimalkan. Saran utama untuk responden penderita DM adalah mematuhi pilar DM dengan
mencari tahu informasi tentang DM, kontrol gula darah secara rutin, terapi nutrisi dan
konsumsi obat secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
ADA. (2012). Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 35 (1),
(care.diabetesjournals.org)
Almatsier, Sunita. (2013). Prinsip dasar ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Brunner and Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume 1.
Jakarta: EGC
CDC. (2011). Family History as a Tool for Detecting Children at Risk for Diabetes and
Cardiovascular Disease
De Graaf, C., Donnelly, D., Wootten, D., Lau, J., Sexton, P. M., Miller, L. J., Wang, M.-W.
(2016). Glucagon-Like Peptide-1 and Its Class B G Protein–Coupled Receptors: A Long
March to Therapeutic Successes. Pharmacological Reviews, 68(4), 954-1013.
(http://doi.org/10.1124/pr.115.011395)
Diabates UK. (2010). Diabetes in the UK 2010: Key Statistics on Diabetes
Hilawe, E. H., Yatsuya, H., Li, Y., Uemura, M., Wang, C., Chiang, C., Aoyama, A. (2015).
Smoking and Diabetes: Is the Association Mediated by Adiponectin, Leptin, or C-
reactive Protein.Journal of Epidemiology, 25(2): 99-109.
(http://doi.org/10.2188/jea.JE20140055)
Irawan, Dedi. (2010). Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe dua Di Daerah
Urban Indonesia. Tesis dipublikasikan. Jakarta: Univesitas Indonesia Jurnal Kebidanan dan
Keperawatan Aisyiyah ISSN 2477-8184
Vol. 14, No. 1, Juni 2018, pp. 59-68