DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
PENDAHULUAN
Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli mendefinisikan bahwa
asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–gejala
batuk, mengi, dan sesak nafas (Somantri,2009:52). Pada penyakit asma, serangan
umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan berat serangan dapat terjadi
setiap saat tidak tergantung waktu.
783
Tabel 5
Hasil Pengukuran Sesak Nafas Sesudah perlakuan
No Sesak Nafas Jumlah Prosentase
1 Ringan 18 55%
2 Sedang 9 27%
3 Berat 6 18%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.
Tabel 4.6 Hasil Uji Sesak Nafas Responden Sebelum dan Sesudah Dilakukan
Perlakuan dengan Uji T-test
Sesak Nafas t p Keterangan
Pre test – Post test -15,327 0,006 Bermakna
Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami SesakNapas Sesudah Diberikan
Posisi Semi Fowler.
Pasien asma setelah diberi posisi semi fowler mengalami sesak nafas ringan, yaitu
dari 17 pasien asma yang mengalami sesak nafas berat menjadi 11 pasien. Pemberian
posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk
membantu mengurangi sesak napas. Posisi semi fowler dengan derajat kemiringan
45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan
mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma. Hasil penelitian pemberian posisi
semi fowler mengurangi sesak nafas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kim (2004) bahwa pemberian posisi semi fowler dapat mengurangi sesak nafas pada
pasien asma.
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi, dkk 2008: 98) bahwa posisi semi fowler
dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45º membuat oksigen didalam paru–paru semakin
meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Penurunan sesak napas tersebut
didukung juga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi
semi fowler sehingga pasien dapat bernafas.
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengaruh pemberian posisi semi fowler
terhadap sesak nafas. Hal tersebut berarti mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Supadi, dkk., (2008) bahwa pemberian semi fowler mempengaruhi berkurangnya sesak
nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi. Terpenuhinya
kualitas tidur pasien membantu proses perbaikan kondisi pasien lebih cepat.
Saat sesak napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk
sehingga posisi semi fowler memberikan kenyamanan dan membantu memperingan
kesukaran bernapas. Menurut Angela (dalam Supadi, dkk., 2008) saat terjadi serangan
sesak biasanya klien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring.
Melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan
jalan napas dan memenuhi O2 dalam darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih
rileks saat makan dan berbicara sehingga kemampuan berbicara pasien tidak terputus
– putus dan dapat menyelesaikan kalimat.
Posisi semi fowler mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2 dalam
darah ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa pemberian
posisi semi fowler dapat meningkatkan masukan oksigen bagi pasien pasca
pembedahan perut laparoskopi.
Sedangkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemberian posisi semi fowler
ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiawati (2008). Dalam penelitian
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi semi fowler dapat efektif
untuk
mengurangi sesak napas pada klien TBC. Hal ini dapat diketahui melalui nilai
Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-3,196) > Z tabel (1,96).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan sesak nafas pada
pasien asma di ruang rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah dan
sebelum pemberiaan posisi semi fowler terjadi penurunan. Perbedaaan tersebut
dibuktikan dari adanya pengurangan sesak nafas berat ke sesak nafas ringan pada 11
pasien atau sejumlah 33% dari 17 pasien. Adanya perbedaan tersebut membuat
pemberian posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak nafas pada
penderita asma.
SIMPULAN
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dapat efektif mengurangi sesak
nafas. Hal ini dapat diketahui melalui sebelum dan sesudah pemberian semi
fowler ada peningkatan pasien sesak nafas berat ke sesak nafas ringan. Pernapasan
pada pasien asma yang mengalami sesak napas sebelum diberikan posisi semi fowler,
termasuk sesak nafas berat karena posisi tidur telentang. Pernapasan pada pasien
asma yang mengalami sesak napas sesudah diberikan posisi semi fowler, termasuk
sesak nafas ringan karena posisi tidur dengan derajat kemiringan 45°. Hasil
penelitian dengan perhitungan uji T-test didapatkan ada efektifitas pemberian
posisi semi fowler pada pasien asma.
Disarankan bagi peneliti selanjutnya bahwa hasil penelitian dapat memberikan
gambaran tentang efektifitas penggunaan posisi semi fowler pada pasien asma untuk
mengurangi sesak nafas dan dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai factor
factor yang lain untuk mengurangi sesak nafas.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2002. Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Depkes RI.
Handayani, S. 2008. Hubungan Antara Penderita Asma Dengan Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar Di Solo. Skripsi. Surakarta: UNS.
Kumoro, D. 2008. Pengaruh Pemberian Senam Asma Terhadap Frekwensi Kekambuhan Asma
Bronkial.
Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Sains
Terapan
Fisioterapi. Skripsi (tidak diterbitkan).UMS
Kurniawan, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. A Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan: Asma Bronkial Pada Ny. S Di Puskesmas Tanjung, Juwiring, Klaten.
Tugas Akhir (Tidak Diterbitkan) UMS
Rusmono. 2008. Penyakit Asma yang Mematikan setelah Stroke. Solo Pos.
27 Januari.
Seti awati, L. 2008. Efektivitas Penggunaan Posisi Semi Fowler Pada Klien TBC
Untuk Mengurangi Sesak Napas (Studi Kasus Di Rumah Sakit Paru Batu). Jurnal.
http://athearobiansyah.blogspot.co m/2008/03/asuhan keperawatan-
kebutuhanoksigenasi.html.
P
aradigma masa kini mengenai patogenesis penyakit alergi adalah alergi berkembang
hanya pada individu yang mempunyai predisposisi genetik setelah terpapar oleh
alergen. Banyak faktor yang dapat mencetuskan penyakit alergi seperti faktor
lingkungan misalnya alergen, infeksi, polusi dan lain-lain yang dapat memulai
sensitisasi alergi dan menimbulkan manifestasi klinis. Oleh karena prevalens
penyakit alergi meningkat di banyak negara sedangkan faktor genetik belum dapat
dipengaruhi, maka yang dapat dimanipulasi adalah faktor lingkungan. Prevalens asma
di populasi 3-4% sedangkan rinitis 20%. Dold dkk. melaporkan bila salah satu
orangtua dengan dermatitis atopi (DA), maka kemungkinan anaknya juga akan menderita
DA 3,4 kali lebih tinggi bila (OR 3,4) dibandingkan dengan salah satu orang tua
dengan asma (OR 1,5) atau rinitis alergi (OR 1,4).
Dermatitis atopi adalah penyakit menahun dengan angka kejadian 10% dan sering
merupakan manifestasi klinis pertama penyakit atopi dan mempunyai awitan pada tahun
pertama kehidupan (sekitar usia 6 bulan). Penyakit kulit ini mempunyai predisposisi
genetik atopi atau atopi pada keluarga sebesar 80%, dan 40-80%
PENDAHULUAN
Menunlt Global Initiatiffor Asthma, asma mempakan masalah kesehatan di seluruh
dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang. Penyakit
ini adalah penyakit heterogen yang ditandai inflamasi kronik saluran napas, dengan
gejala sesak napas, mengi, dada terasa berat, batuk semakin memberat dan
keterbatasan aliran udara ekspirasi (Mark, et ali, 2016).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2011 menyebutkan bahwa
terdapat 235 juta orang menderita asma di dunia, 80% berasal dari negara dengan
pendapatan rendah hingga menengah, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS), di Indonesia didapatkan bahwa angka kematian akibat
penyakit asma adalah sebanyak 63.584 orang (Pangestu, dkk,2016). Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi asma semua umur
di Indonesia mencapai angka 4,5 0 0 (11.196.000 jiwa), sedangkan di Provinsi
Kalimantan Selatan mencapai angka 6,3% (242.834 jiwa) (Balitbang, 2013).
Asma mempakan suatu penyakit peradangan kronis pada saluran pernapasan dengan
karakteristik bempa hipersensitivitas, edema mukosa dan produksi mukus (Smeltzer,
et al, 2010). Hal ini dapat menyebabkan peradangan dan penyempitan yang sifatnya
bemlang namun reversible (Price dan Wilson, 2006).Organ-organ dalam tubuh
membutuhkan suplai oksigen yang cukup agar fungsinya lebih optimal dan efektif.
Jika nilai saturasi oksigen rendah, berbagai masalah kesehatan dapat terjadi
diantaranya terjadi hipoksemia (Musliha, 2010). Hipoksia merupakan keadaan
kekurangan oksigen di jaringan atau tidak adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen
seluler akibat defisiensi oksigen yang diinspirasi atau meningkatnya penggunaan
oksigen pada tingkat seluler. Hipoksemia ditandai dengan sesak napas, frekuensi
napas 35 kali/menit, nadi cepat dan dangkal, serta sianosis (Tmwoto dan Watonah,
2010).
Salah satu tindakan untuk mengurangi risiko kejadian hipoksemia adalah terapi
oksigen. Terapi oksigen bertujuan untuk mengoreksi hipoksemia (kadar oksigen dalam
darah rendah) dengan cara memperbaiki hipoksemia, dan menurunkan kerja pernapasan
(Morton, dkk, 2012). Pada pasien yang mengalami serangan asma bronkial, dapat
mengakibatkan timbulnya gejala seperti sesak napas, nafas cepat (> 24 kali
permenit) dan dada terasa berat. Dengan adanya manifestasi klinis sesak serta dada
terasa berat, pasien asma diindikasikan untuk mendapatkan terapi oksigen
(Setyohadi, dkk, 2015).
Efek pemberian terapi oksigen dapat dilihat melalui nilai saturasi oksigen.
Saturasi oksigen mempakan kemampuan hemoglobin mengikat oksigen yang ditujukan
sebagai derajat kejenuhan atau saturasi (Sa02) (Wahyuningsih, 2015). Pulse oximetri
mempakan alat non-invasif yang digunakan untuk memperkirakan saturasi oksigen darah
arteri klien dengan cara mendekatkan sensor pada jari tangan, jari kaki, hidung,
cuping telinga, atau dahi (sekitar tangan atau kaki pada neonatus) (Kozier dan
Erb's, 2016).
Metode yang paling sederhana untuk mengurangl risiko penurunan
pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi
fowler merapakan posisi tempat tidur dimana posisi kepala dan tubuh ditinggikan 450
hingga 600 dimana posisi lutut mungkin/mungkin tidak dalam posisi tertekuk,
sedangkan posisi semi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana posisi kepala dan
tubuh ditinggikan 150 hingga 450. Posisi ini biasanya disebut dengan fowler rendah
dan biasanya ditinggikan setinggi 300 (Kozier dan Erb's, 2016).
Menunlt penelitian yang dilakukan oleh Sucahyono, W. (2012) menunjukkan bahwa rata-
rata kenaikan saturasi oksigen pada posisi semi fowler yaitu 2.87 % dan rata-rata
kenaikan saturasi pada posisi fowler yaitu 4.99 % (Sucahyono, 2012). Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan efektivitas pemberian
oksigen pada posisi semifowler denganfow/er terhadap pembahan saturasi pada pasien
asma bronkial persisten ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura?
METODE
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan jenis penelitian yang digunakan
eksperimental dan rancangan penelitan Quasy Experiment yaitu jenis penelitan yang
bertujuan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok
kontrol di samping kelompok eksperimental (Nursalam, 2015). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengalami serangan asma bronkial yang
masuk di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura dengan kisaran 30 pasien per bulan (Juni
2016). Sampel yang diteliti sebanyak 20 pasien asma bronkial persisten ringan yang
berobat ke IGD
Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha Martapura. Teknik sampling dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan teknik non-probability sampling dengan cara Purposive
sampling yang dibagi menjadi IO sampel untuk kelompok intervensi dan IO sampel
untuk kelompok control. Pemilihan kelompok intervensi adalah IO pasien pertama yang
datang ke IGD sedangkan kelompok kontrol adalah IO pasien berikutnya yang datang ke
IGD.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan data dilakukan secara primer dan sekunder. Secara
primer diperoleh dari hasil observasi selama 15 menit pada saat pasien yang
mendapat serangan asma bronkhial persisten ringan datang berobat ke IGD RSUD Ratu
Zalecha Martapura selama Juni (2016), sedangkan secara sekunder diperoleh dari
laporan tahunan Instalasi Rekam. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini
adalah
observasi, dalam tabel tersebut tercatat karakteristik responden dan saturasi
oksigen sebelum dan sesudah pemberian posisi semi fowler dengan fowler pada
pemberian terapi oksigen nasal kanul, untuk pengukuran nilai saturasi oksigen
menggunakan pulse oximetry.
Analisa data yaitu analisa univariat dan analisa bivariat menggunakan uji
Independent sample t Test, penggunaan rumus ini adalah untuk menguji efektifitas
suatu perlakuan terhadap suatu besaran variabel yang ingin ditentukan (Dahlan,
l. Pemberian Oksigen pada Posisi Semi Fowler terhadap Perubahan Saturasi pada
Pasien
Asma Bronkial Persisten Ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura
Gambar 6_ 1 Nilai saturasi sebelum dan sesuah pemberia
Gambar 6.3 Grafik Perbandingan Nilai Saturasi Oksigen Responden Sebelum dan Sesudah
pemberian oksigen dengan Pengaturan Posisi Semi Fowler dengan Fowler pada Pasien
Asma Bronkial Persisten Ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura
2. Pemberian Oksigen pada Posisi Fowler terhadap Perubahan Saturasi pada Pasien
Asma Bronkial Persisten Ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura
100
98
88
86
—Sebelum —•—Menit ke-5 —••—Menit ke-10 —••••—Menit ke-15
Gambar 6.2 Nilai saturasi sebelum dan sesuah pemberian oksigen pada posisifow/er
Berdasarkan gambar 6.2 terlihat bahwa rata-rata saturasi oksigen dari 10 responden
saat datang ke IGD sekitar 92.60 %, setelah pemberian terapi oksigen dengan posisi
fowler nilai rata-rata saturasi meningkat menjadi 98.00 %. Pada grafik tersebut
menunjukkan adanya peningkatan nilai saturasi oksigen pada setiap responden pada
saat sebelum dan sesudah diberikan terapi oksigen dengan pengaturan posisifow/er.
Pada saat sebelum pemberian oksigen dan pengaturan posisi, terlihat pada grafik
nilai saturasi responden bervariasi, yaitu 3
responden dengan saturasi 91%, 2
responden dengan saturasi 92 0 0, 2
responden dengan saturasi 93 0 0, 2
responden dengan saturasi 940 0, dan I responden dengan saturasi 95%. Pada grafik
menit ke-5 terlihat nilai saturasi masing-masing responden meningkat, namun pada
5.4%
responden F3 dan SF 9 tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi ini
terjadi adanya kontribusi faktor lain, seperti nilai Hemoglobin, aktivitas (seperti
pergerakan yang berlebihan pada area sensor oksimetri) sehingga memengaftlhi hasil
pembacaan saturasi. Hal ini sesuai dengan teori di dalam buku Kozier & Erb's (2016)
bahwa haemoglobin, sirkulasi, aktivitas, dan keracunan karbon monoksida memengaruhi
hasil pembacaan saturasi oksigen pada menit ke-10 nilai saturasi tiap responden
sebesar 98.000/0 dan pada menit ke-15 sebesar 98.60 0/0 (Kozier dan Erb's , 2016).
Pengaturan posisi merupakan salah satu cara untuk mengurangi rasa sesak pada pasien
asma bronkial. Posisi fowler bertujuan untuk mempertahankan kenyamanan dan
memfasilitasi ftngsi sehingga meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru serta
menurunkan upaya IGD RSUD mecha Manapura Hasil analisis menggunakan uji t
independen pada pemberian oksigen pada posisi semi fowler dengan fowler pada pasien
asma bronkial di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura menunjukkan tidak ada perbedaan
efektivitas pemberian oksigen pada posisi semi fowler dengan fowler terhadap
perubahan saturasi pada pasien asma bronkial persisten ringan. Nilai t hitung
berdasarkan uji t-independen yaitu 0.000, sedangkan nilai t tabel sebesar 2, 101.
Nilai P value berdasarkan uji t-independen yaitu 1.000, sehingga dapat disimpulkan
jika nilai t hitung < t tabel (0.000 < 2.101) dan P value (1.000 > 0.05) maka Ho
diterima. Pada gambar 6.3 menunjukkan nilai ratarata peningkatan saturasi oksigen
sebelum dan sesudah pemberian oksigen dengan pengaturan posisi semi fowler dengan
fowler pada pasien asma bronkial persisten ringm di IGD RSUD Ratu Zalecha
Martapura. Pada grafik tersebut terlihat tidak adanya perbedaan nilai saturasi yang
signifikan baik pada posisi semi fowler maupunfow/er. Rata-rata kenaikan saturasi
oksigen pada posisi semi fowler yaitu 4.9 %, sedangkan rata-rata kenaikan saturasi
oksigen pada posisi fowler yaitu 5.4 %, sehingga tidak ada perbedaan nilai saturasi
antara posisi semi fowler dengan fowler. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sucahyono, W. tahun 2012 dengan judul "Identifikasi Penempatan
Posisi terhadap Saturasi Oksigen pada Pasien Penyakit Pam Obstruksi Kronis di Ruang
Dahlia Rumah Sakit Pam dr. Ario Wirawan Salatiga" yang menunjukkan bahwa ratarata
kenaikan saturasi oksigen pada posisi semi fowler yaitu 2.87 % dan rata-rata
kenaikan saturasi pada posisi fowler yaitu 4.99 % (Sucahyono, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan efektivitas antara pemberian
oksigen pada posisi semi fowler dengan fowler terhadap Perubahan Saturasi pada
RISKESDAS (2007) data prevalensi asma berdasarkan karakteristik umur menunjukkan
angka kejadian asma pada usia 40 — 60 tahun sebesar 4.8 %, prevalensi asma
berdasarkan karakteristik umur menunjukkan angka kejadian asma pada usia 40 — 60
tahun sebesar 4.8 %, sedangkan pada usia 20 — 39 tahun penelitian dan teori yang
ada, dapat
sebesar
Pasien Asma Bronkial di IGD RSUD Ratu yaitu faktor usia, jenis kelamin, nutrisi,
Zalecha Manapura. Pada prinsipnya ekspansi paru serta cara pemberian oksigen
oksigen dipengaralli oleh beberapa faktor,
a. Faktor Usia
Gambar 6.4 Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Pasien Asma Bronkial
Persisten ringan di IGD RSUD Rattl Zalecha Maftapura
bertambahnya usia, maka fungsi paru akan menurun (Cardova, et al, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, dapat kita simpulkan bahwa jenis
kelamin merapakan salah satu faktor dari kejadian asma bronkial. Hal tersebut
dikarenakan volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20-25% lebih
kecil dari pada pria (Hidayat, 2008). Selain itu, adanya perbedaan pada paru dan
ukuran jalan napas (ainvay) antara lakilaki dan perempuan juga mempenganłhi
oksigenasi. Pada saat anak-anak, ukuran paru dan jalan napas pada anak laki-laki
lebih kecil dibandingkan pada anak perempuan, sedangkan pada saat dewasa
c. Faktor nutrisi
Pada faktor nutrisi, pasien yang obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi paru,
gizi yang buruk menjadi anemia sehingga
d. Faktor ekspansi paru
Pada faktor ekspansi paru juga
berpengarah terhadap oksigen. Pengaturan posisi semi fowler dan fow/er merupakan
cara untuk meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru serta menurunkan upaya
e. Cara pemberian oksigen
Cara pemberian oksigen juga berpengalllh terhadap oksigenasi dalam tubuh. 1--1al
ini dikarenakan setiap jenis pemberian oksigen memiliki konsentrasi Fraksi (usia 40
tahun) ukuran paru dan jalan napas pada perempuan lebih kecil dibandingkan pada
laki -laki, sehingga perempuan lebih berisiko terkena serangan asma pada saat
dewasa Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC's National Asthma Control
Program Grantees (2013) prevalensi kejadian asma pada orang dewasa lebih banyak
dialami oleh perempuan sebesar IO. 7 %, sedangkan pada laki-laki sebesar 6.5 %
(CDC's National Asthma Control Program Grantee,
b. Faktor Jenis Kelamin
Gambar Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Asma Bronkial Persisten ringan di
IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura
2013). daya ikat oksigen berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulkan
arteriosclerosis (Mubarak, dkk, 2015). pernapasan. Tujuan pengaturan posisi semi
fowler dan fowler untuk membantu mengatasi masalah kesulitan bernapas dan
mempefiahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien Oksigen
Inspirasi (Fi02) yang berbeda (Mofion, dkk, 2015). Peningkatan nilai saturasi
berdasarkan cara pemberian oksigen terdapat pada gambar 6.6 di bawah 6.6 di atas,
menunjukkan bahwa pemberian oksigen nasal kanul sebanyak 2 liter per menit dapat
meningkatkan oksigen sekitar 4.56 0 0, sedangkan pada pemberian oksigen nasal kanul
sebanyak 3 liter per menit dapat meningkatkan oksigen sekitar
SIMPULAN
Rata-rata saturasi oksigen dari 10 responden saat datang ke IGD sekitar
93.10 % dan setelah pemberian terapi oksigen dengan posisi semi fowler sebesar
98.00 0 0.
Rata-rata saturasi oksigen dari 10 responden saat datang ke IGD sekitar
DAFTAR RUJUKAN
Balitbang Kemenkes RI.2007.Riset Kesehatan Dasar.Jaka1ta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
.2013.Riset
ABSTRAK
Kecemasan mempakan bagian dari kehidupan dan mempakan gejala yang normal. Bagi
orang yang penyesuaiannya baik, kecemasan dapat cepat diatasi. Apabila penyesuaian
yang dilakukan tidak tepat, akan menimbulkan dampak tertiadap kesehatan jasmani dan
psikis. Asma adalah gangguan pada sistem pemapasan yang dapat menyebabkan kesulitan
bernapas.' Serangan asma umumnya timbul karena pajanan faktor pencetus. Pada
beberapa individu, kecemasan dapat menjadi pencetus serangan asma. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan serangan
asma pada penderita asma bronkial di BP4 Semarang. Penelitian ini menggunakan
desain studi korelasional dengan pendekatan cross-sectional yang menggunakan
instmmen bempa kuesioner. Subyek penelitian adalah penderita asma bronkial di BP4
Semarang dengan sampel 52 responden. ujf stansftrtc menggunaican C'f)i Square untuk
mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma
bronkial di BP4 Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden tidak
mengalami — kecemasan; 44,2% responden mengalami kecemasan ringan; 19,2% responden
mengalami kecemasan sedang; responden mengalami kecemasan berat dan I responden
mengalami kecemasan sangat berat. Sedangkan responden mengalami serangan asma
ringan; 53,8 0 0 responden mengalami serangan asma sedang dan 2S,S% responden
mengalami serangan asma berat. Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma
bronkial di BP4 Semarang. Penderita asma dianjurkan dapat meminimalkan timbulnya
kecemasan yang menjadi pencetus teijadinya serangan asma. Kata Kunci: Kecemasan,
Serangan Asma, Penderita Asma.
ABSTRACT
Anxiety is a part of life and normal symptom. For people with good adaptation,
anxiety can be handled immediately. If the implemented adaptation inappropriate, it
will affect physical and mental health. Asthma is a respiratory system impairment
which can cause hard breath. Asthma attack usually occur because there is contact
with precipitation factors. For many people, anxiety can precipitate asthma attack.
The purpose of this research was to know corrrelation between anxiety level and
asthma attack among asthma bronchiale clients at BP4 Semarang. The research used
correlational study design with cross- sectional approach and used questionnaire as
an instmment. Research subject was asthma bronchiale clients in BP4 Semarang with
52 respondents as sample. Statistic test used Chi Square to know correlation
between anxiety level and asthma attack among asthma bronchiale clients at BP4
Semarang. Research result showed that 30,80 0 respondents with no amxiety•, 44,2%
respondents with low anxiety; 19,2% respondents with medium anxiety; 3,80 0
respondents with high anxiety and 1,9% respondents with severe anxiety. While
respondents with low asthma attack; 53,S% respondents with medium asthma attack and
2S,8% respondents with severe asthma attack. Statistic analysis result showed
titers was significant corrrerafion between anxiety level and asthma attack among
asthma bronchiale clients at BP4 Semarang. Asthma clients must suggested to
minimalize anxiety which can precipitate asthma attack.
Key word: Anxiety, Asthma Attack, Asthma Clients.
PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan masalah dunia, dengan adanya peningkatan prevalensi baik
pada anak maupun dewasa. Pada tahun 2007 tercatat penderita asma bronkial di
seluruh dunia mencapai 300 juta orang. Di Indonesia, diperkirakan 10% penduduknya
menderita asma bronkial. Sedangkan prevalensi asma bronkial di Semarang mencapai
5,50 0. Hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Februari 2008 di BP4 Semarang
didapatkan data jumlah rata-rata pasien asma bronkial di BP4 Semarang tiap bulan
sebanyak 60 orang (1,2,3).
Jurna1KesMaDaSka, vol 1 No. 1, Juii 2010 (26-33)
Serangan asma umumnya timbul karena adanya pajanan terhadap faktor pencetus,
gagalnya upaya pencegahan, atau gagalnya tatalaksana asma jangka
panjang. Penderita dengan serangan asma akan. mengalami gejala bempa batuk, sesak
napas, mengi, rasa dada teltekan yang timbul dalam berbagai derajat dari ringan
sampai berat yang dapat mengancam jiwa (4,15).
Pada beberapa individu, stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma dan bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Stres dapat mengantarkan
seseorang pada tingkat kecemasan sehingga memicu dilepaskannya histamin dan
leukotrien, yang menyebabkan penyempitan saluran napas dimana ditandai dengan sakit
tenggorokan dan sesak napas, yang pada gilirannya bisa memicu serangan asma
(5,6,7,8,9).
Berdasarkan fenomena dan data- data di atas, maka peneliti teltarik untuk melakukan
suatu penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada
penderita asma bronkial di BP4 Semarang.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada
penderita asma bronkial di BP4 Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan tingkat kecemasan yang dialami penderita asma bronkial di BP4
Semarang.
b. Menggambarkan serangan asma yang teijadi pada penderita asma bronkial di BP4
Semarang.
C. Menggambarkan hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita
asma bronkial di BP4 Semarang.
Manfaat Penelitian
I. Bagi Penderita Asma dan Keluarga Penelitian ini diharapkan dapat menambah
pemahaman penderita asma bronkial maupun keluarganya tentang tingkat kecemasan
terutama dalam hubungannya dengan serangan asma serta mendorong klien dan keluarga
agar dapat menerapkan strategi antisipasi untuk mencegah timbulnya serangan asma.
2. Bagi Perawat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan atau informasi
kepada perawat tentang hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma sehingga
dapat bermanfaat dalam penatalaksanaan pasien asma bronkial yang lebih ditinjau
dari segi emosional atau kecemasan pada penderita asma bronkial.
3. Ragi Pengelola BP4 Semarang Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada pengelola BP4 Semarang tentang hubungan tingkat kecemasan dengan
serangan asma pada penderita asma bronkial sehingga dapat diaplikasikan dalam
rangka penatalaksanaan dan pencegahan serangan asma.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman sekaligus latihan bagi
peneliti dalam pelaksanaan suatu penelitian, dan juga diharapkan dapat membekali
peneliti pada masa yang akan
datang,serta menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan tingkat kecemasan
dengan serangan asma.
CARA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain studi korelasional dengan pendekatan cross-
sectional yang menggunakan instmmen bempa kuesioner. Subyek penelitian adalah
penderita asma bronkial di BP4 Semarang dengan sampel sebanyak 52 responden. Uji
statistik dengan menggunakan Chi Square untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan
dengan serangan asma pada penderita asma bronkial di BP4
Berdasarkan tabel 1.2 teriihat bahwa responden benımur 45-64 tahun sebanyak 26
responden sedangkan responden yang benımur 2544 tahun sebanyak 14 responden
(26,9%), '64 tahun sebanyak 5 responden (I I dan responden benımur 15-24 tahun
sebanyak 3 responden
Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Serangan Asma pada Penderita Asma Bronkial di BP4
Semaran
Tabel
Hubungan Tingkat Kecemasan den BF4 an Serangan Asma pada Penderita Asma Bronkial di
Semaran
Variabel Serangan Asma 1
Ringan Sedang Berat
Tingkat
Kecemasan Tidak
Ada kecemasan 5 11 16
31,3% 0% 100%
Ringan 4 12 7 23
17,4% 52,20 0 30,4% 100%
Sedang 5 5 10
0% 50% 100%
Berat 2 2
0% 0% 100% 100%
Sangat
Berat 1 1
0% 0% 100% 100%
Total 9 28 15 52
17,3% 53,8% 28,8% 100%
Hasil analisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma di'peroleh
bahwa sebanyak 7 responden dengan kecemasan ringan (30,4%) mengalami serangan asma
berat, 5 responden dengan kecemasan sedang (50%) mengalami serangan asma berat, 2
responden dengan kecemasan berat (100%) mengalami serangan asma berat dan responden
dengan kecemasan sangat berat (100%) mengalami serangan asma berat.
Hasil uji Chi Square didapatkan nilai X2 sebesar 17,814 dan p value 0,023. Dari
hasil tersebut menunjukkan bahwa X2 hitung lebih besar dari X2 tabel (17,814 >
15,507) dan p value lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma pada
penderita asma bronkial di BP4 Semarang. Hubungan tingkat kecemasan dengan serangan
asma penderita asma (R.K. Haq)
PEMBAHASAN: Reponden dalam penelitian ini adalah penderita asma bronkial di BP4
Semarang pada bulan April 2008 dengan jumlah responden sebanyak 52 orang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 76,9% responden berjenis kelamin perempuan Idan 23,1%
responden berjenis kelamin laki-laki. Kecendenłngan asma lebih sering terjadi
pada perempuan dibanding pria disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon. Penelitian
menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan mengalami gejala asma dalam minggu-minggu
sekitar menstnłasi dengan puncak gejala umumnya terjadi pada tiga hari menjelang
menstnłasi.Asma yang terjadi pada perempuan juga berkaitan dengan masa menopause
dimana terjadi penunłnan level hormon estrogen yang menyebabkan menunłnnya fungsi
organ tubuh termasuk pani, sehingga menyebabkan rentan terhadap oenvakit
pernapasan, salah satunya adalah asma (10,11).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55,8% responden adalah benłmur 45-64 tahun. Pada
usia ini terjadi perkembangan dan penłbahan yang cepat yang mempenganłhi
hipotalamus dan mengakibatkan produksi koftisol menunłn yang berhubungan dengan
kelainan inflamasi yang umumnya terjadi pada penderita asma. Responden benłsia 25-
44 tahun sebanyak 26,9%. Asma yang terjadi pada usia ini biasanya disebabkan karena
faktor pekerjaan atau lingkungan kerja dimana lingkungan pekerjaan tersebut
memudahkan penderita asma terpapar oleh alergen. Sedangkan 11,5% responden adalah
benłsia >64 tahun. Pada usia lanjut terjadi beberapa penłbahan yaitu penłbahan
anatomi-fisiologi sistem pernapasan, penłbahan daya tahan tubuh, pembahan metabolik
tubuh, dan penłbahan lainnya yang memudahkan timbulnya penyakit pernapasan, salah
satunya adalah asma. Responden yang benłsia 15-24 tahun sebanyak 5,80 0. Asma pada
usia ini dapat terjadi karena faktor ketunłnan dan alergi (5,6, 12, 13).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44,2% responden mengalami kecemasan ringan;
30,8% responden tidak mengalami kecemasan; 19,2% responden mengalami kecemasan
sedang; 3,8% responden mengalami kecemasan berat dan 1,9% responden mengalami
kecemasan sangat berat.
Jurnal KesMaDaSka, VOI I No. l, Juii 2010 (2633)
30
Gejala kecemasan yang sering dirasakan oleh responden adalah perasaan cemas,
gelisah, sukar masuk tidur, tidur tidak nyenyak, bangun dini hari, sukar
konsentrasi, daya ingat menurun, sakit dan nyeri otot, berdebar-debar, rasa
tertekan atau sempit di dada, sering buang air kecil, mudah berkeringat dan kepala
terasa pusing.
Kecemasan ringan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan Iahan
persepsinya dan kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
yang penting serta mengesampingkan yang lain. Sedangkan kecemasan berat membuat
individu tidak mampu memecahkan masalahnya dan terjadi gangguan fungsional, dan
kecemasan sangat berat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan dapat membahayakan
dirinya (14).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53,8% responden mengalami serangan asma sedang;
28,8% responden mengalami serangan asma berat dan 17 ,3% responden mengalami
serangan asma ringan. Gejala serangan asma yang sering dirasakan oleh responden
adalah sulit bernapas, suara mengi (bunyi ngik-ngik), dada terasa sempit, bernapas
dengan terengah-engah, dada terasa tertekan, sulit mengucapkan kata atau kalimat,
dan kesadaran terhadap sekeliling berkurang.
Serangan asma umumnya timbul karena adanya pajanan terhadap faktor pencetus,
gagalnya upaya pencegahan, atau gagalnya tatalaksana asma jangka panjang. Meskipun
serangan asma jarang yang fatal, kadang terjadi reaksi yang lebih berat, yang
disebut status asmatikus yaitu asma yang berat dan persisten yang tidak berespon
terhadap terapi konvensional dimana serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam
(4,15). Prinsip umum pengobatan asma adalah menghilangkan obstnłksi jalan napas
dengan segera, mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan
serangan asma, memberikan penjelasan kepada
penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma baik pengobatannya maupun
tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengefti tujuan pengobatan yang
diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnya (6,16).
Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat
kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma bronkial di BP4 Semarang.
Kecemasan dapat menjadi pencetus serangan asma atau memperberat serangan asma yang
sudah ada. Kecemasan mempakan respon individu terhadap stres yang dapat memicu
dilepaskannya histamin dan leukotrien, menunnkan produksi k01tisol dan menumnkan
sistem imun, yang bisa memicu serangan asma. Serangan asma selain dicetuskan karena
adanya kecemasan, juga dapat dicetuskan oleh faktor-faktor lain sepefti alergen,
penlbahan cuaca, lingkungan kerja. olahraga atau aktifitas jasmani yang terlalu
berat, dan infeksi saluran pernapasan
Peran perawat dalam membantu individu atau klien dengan asma bronkial untuk
menghindari atau meminimalkan kecemasan adalah mendorong individu untuk
mengembangkan strategi pencegahan dan penatalaksanaan kecemasan misalnya dengan
memanfaatkan support system (sistem pendukung), sumber koping dan strategi koping.
Sedangkan peran perawat dalam membantu individu untuk menghindari akibat stres
adalah dengan mengajarkan penerapan manajemen stres dan tekink relaksasi.
Individu dapat menggunakan support system seperti keluarga, teman atau rekan kerja
yang dapat memberikan dukungan emosional sehingga sangat bermanfaat bagi seseorang
yang mengalami kecemasan atau stres. individu juga dapat mengatasi kecemasan dengan
menggerakkan sumber koping meliputi kesehatan fisik atau energi, pandangan positif,
keterampilan memecahkan masalah,
dukungan sosial dan materi, yang dapat membantu individu dalam
Hubungan tingkat kecemasan den an serangan asma pehderita asma.... (R.k Haq)
asma tentang kecemasan yang dialami. 9. . Stres bisa timbulkan
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan kecemasan dan mengadopsi strategi
koping yang berhasil (18,19).
Strategi koping mempakan proses dimana individu bemsaha menangani situasi stres
dengan cara melakukan pembahan kognitif maupun perilaku untuk memperoleh rasa aman
dalam dirinya. Strategi koping dapat berbentukproblem solvingfocused coping, dimana
individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi
atau situasi yang menimbulkan stres atau kecemasan; dan emotion focused coping,
dimana individu melibatkan usahausaha untuk mengatur emosinya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau
situasi yang penuh tekanan (19).
Upaya untuk menghindari akibat stres dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen
stres dan teknik relaksasi. Manajemen stres dapat dilakukan dengan menjaga kondisi
tubuh dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman-yang sehatr tidur dan istirahat
cukup, olahraga teratur, berpikir positif, melakukan hobi atau hal positifyang
menyenangkan, tidak terpaku pada mtinitas, dan bersosialisasi dengan teman atau
lingkungan (20,21). SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Responden
terbanyak mengalami kecemasan ringan, diikuti responden dengan tidak ada kecemasan,
responden dengan kecemasan sedang, responden dengan kecemasan berat, dan reponden
paling sedikit mengalami kecemasan sangat berat.
2. Responden terbanyak mengalami serangan asma sedang, diikuti responden dengan
serangan asma berat, dan responden
Laki-laki
Perempuan 13 61,9
8 38,1 12 57,1
9 42,9
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.I menunjukkan bahwa karakteństik responden berdasarkan jenis kelamin
paling banyak di kelompok kontrol adalah laki-laki sebanyak 13 orang (61 ,9%)
sedangkan kelompok perlakuan adalah perempuan sebanyak 12 orang (57,1%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan Majampoh (2013), bahwa responden berjenis
kelamin laki laki sebanyak 22 orang (55,0%) lebih banyak dari perempuan. Laki laki
memiliki resiko terkena asma lebih tinggi dari perempuan. Hal ini terkait bahwa
laki—laki cendenłng merokok dan mengkonsumsi miras sehingga
dapat menunłnkan sistem pełtahanan tubuh dan lebih mudah tewapar dengan agen
penyebab asma. Perokok dan peminum terjadi gangguan makrofag dan meningkatkan
resistensi saluran napas dan penneabilitas epitel pani. Rokok dapat menunłnkan
sifat responsif antigen (PDPI, 2014). Pada penelitian ini jumlah laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan. Laki-laki cendenłng memiliki gaya hidup yang kurang
sehat sepełti merokok, minum alkohol, minum kopi dan jarang olahraga sehingga
cendenłng berisiko lebih tinggi terkena penyakit pani.
Tabel 3.2 Karakteristik responden berdasarkan umur (n=42)
Umur Kontrol Perlakuan
21-25
26-35
36-45
46-55 5 23,8
15 71,4 2 9,5
5 23,8
13 61,9
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.2 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan umur yang
paling banyak pada kelompok kontrol adalah 36-45 tahun sebanyak 15 orang (71,4%)
dan kelompok perlakuan adalah 36-45 tahun sebanyak 13 orang (61,9%). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Safitri (2011), yang memperlihatkan bahwa
umur responden kelompok perlakuan sebagian besar yaitu benłmur 41-50 tahun sebanyak
11 pasien (33%). Orang yang bekełja di lingkungan laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai kecendemngan tinggi menderita
asma. Faktorfaktor pencetus tersebut menimbulkan suatu predisposisi genetik
terhadap alergi sehingga orang yang bekerja selama beltahun-tahun rentan terhadap
penyakit asma. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang ditempati individu banyak
debunya menimbulkan kerentanan penyakit asma pada usia individu menjelang tua di
atas 41 tahun (Kumiawan, 2008).
Hasil penelitian ini mendukung teori Guyton dan Hall (2011), sełta Hudak dan Gallo
(2015) yang mengatakan semakin tua usia seseorang, maka fungsi ventilasi parunya
akan semakin menunłn. Hal ini disebabkan semakin menunłnnya elastisitas dinding
dada. Selama proses penuaan terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan
kelenjar bronkial, penunłnan kapasitas pani dan peningkatan jumlah mang nłgi.
Penłbahan ini menyebabkan penunłnan kapasitas difusi oksigen. Pada penelitian ini
mayoritas benłsia dewasa tua karena semakin tinggi usia seseorang maka akan lebih
rentang terhadap berbagai penyakit sepefii penyakit pam dikarenakan kondisi tubuh
yang makin melemah dan sistem kekebalan tubuh yang semakin menunłn.
Tabel 3.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan (n =42)
Pendidikan Kontrol Perlakuan
SD
SMP
SMA
Sarjana 6
8
4
2
1 28,6
38,1
19,0
9,5 11
4
4 4,8
52,4
19,0
19,0
4,8
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.3 menunjukkan bahwa karaktelistik responden berdasarkan pendidikan
yang paling banyak pada kelompok kontrol adalah SD sebanyak 8 orang (38,1%) dan
kelompok perlakuan adalah SD sebanyak Il orang (52,4%).
Hasil penelitian ini sej alan dengan penelitian Majampoh (2013), yang menunjukka
bahwa pendidikan paling dominan adalah SD sebanyak Il orang (27,5%). Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Safitr (2011) menjelaskan bahwa adanya
hubungan antara pengetahuan dengan tindakan peńlaku hidup sehat. Dalam hal ini
seseorang melakukan tindakan yang baik terhadap kesehatannya apabila pengetahuan
yang dimiliki seseorang juga baik. Pada penelitian ini didapatkan tingkat
pendidikan responden paling banyak adalah SD. Rendahnya tingkat pendidikan akan
memepengamhi seseorang untuk hidup tidak sehat karena kurangnya infonnasi terkait
kesehatan dan bagaimana cara mencegah penyakit panł.
Tabel 3.4 Karakteristik responden berdasarka pekerjaan (n=42)
Kontrol Perlakuan
Pekerjaan
47,6 33,3
Bunłh 9 42,9 12 57,1
Swasta 2 9,5 2 9,5
Bradypnea
Nonnal
Tacypnea o
21 o o
100 o o
21 o o
100
Jumlah 21 100 21 100
Dari Tabel 3.5 menunjukkan hasil respiration rate pre test pada kelompok kontrol
dan perlakuan semuanya adalah tacypnea sebanyak 21 orang (100%). Penyempitan
saluran napas menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka pasien asma akan
cendemng melakukan pemafasan pada volume paru yang tinggi dan membutuhkan kelja
keras dari otot—otot pemapasan sehingga akan menambah energi untuk pemapasan
(Brooker, 2009). Pendapat
Brooker (2009) tersebut dibuktikan oleh Setiawati (2008) dalam penelitiannnya yang
menyatakan bahwa pasien asma mengalami sesak nafas berat sehingga kesulitan bemapas
karena penyempitan saluran napas ini terjadi adanya hypeneaktifitas dali saluran
napas terhadap berbagai macam rangsang.
Pada penelitian ini mayoritas responden memiliki nafas tacypnea dikarenakan kondisi
bronkospasme sehingga tubuh akan bempaya untuk lebih menarik oksigen ke paru-palll
sehingga akan hipewentilasi.
c. Respiration Rate Setelah Tindakan
Tabel 4.6 Distribusi Respiration Rate Setelah
Perlakuan
Pemafasan Kontrol Perlakuan
Bradypnea
Normal
Tacypnea o o 3 14,3
18 85,7 o
18
3 o 85,7
14,3
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.6 menunjukkan respiration rate padapost test yang paling banyak pada
kelompok kontrol adalah tacypnea sebanyak 18 orang (85,7%) dan kelompok perlakuan
adalah nonnal sebanyak 18 orang (85,7%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safitri (2011) yang
menunjukkan bahaw hasil pengukuran sesak nafas setelah dilakukan perlakuan dari 33
responden selama tiga hari diperoleh data yaitu sebanyak 18 pasien (55%).
Peningkatan sesak nafas tersebut dapat dijelaskan ada pengurangan sesak nafas berat
ke sesak nafas ringan sebanyak 11 pasien (33%) yaitu dari 17 pasien sesak nafas
berat menjadi menjadi 6 pasien. Jadi, ada pengurangan pasien sesak nafas berat ke
sesak nafas lingan.
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengamh pemberian posisi semi fow/er
terhadap sesak nafas. Hal tersebut berafii mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Supadi et al (2008) bahwa pembelian semi fow/er mempengamhi berkurangnya sesak
nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien telpenuhi. Saat sesak napas
pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk sehingga posisi semi
fow/er memberikan kenyamanan dan membantu mempelingan kesukaran bemapas. Menurut
Angela (dalam Supadi et al, 2008) saat terjadi serangan sesak biasanya pasien
merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring. Melainkan hams dalam
posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan napas dan
memenuhi darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih rileks saat makan dan berbicara
sehingga kemampuan berbicara pasien tidak telputus—putus dan dapat menyelesaikan
kalimat. Pada penelitian ini semua responden pada kelompok perlakuan mengalami
pembahan pada respiration rate karena posisi jalan nafas lebih terbuka dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
d. Pengaruh Posisi Semi Fowler Tehadap
Respiration Rate
Tabel 3.7 Uji Normalitas Data
Shapiro-Wilk
Kelompok Statistic df Sig.
Pre_perlakuan
Pre kontrol Post_perlakuan post kontrol 0,864
0,808
0,874
0,876 21
21
21
21 ,007
,011
,012
Dali Tabel 3.7 menunjukkan uji nonnalitas pada kelompok perlakuan adalah pre:
0,007, post: 0,011 dan kelompok kontrol adalah pre: 0,001, post: 0, 12 sehingga
data tidak terdistribusi secara normal karenap value < 0,05 sehingga uji bivariat
menggunakan uji Wilcoxon.
Tabel 3.8 Pengaruh Posisi Semi Fowler
Terhadap Respiration Rate
Kontrol 21 3 18 0,160
Perlakuan 21 18 3 0,000
Dali Tabel 3.8 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol p value = 0,160 sehingga p
value > 0,05 maka tidak ada pembahan yang sgnifikan sedangkan pada kelompok
perlakuan p value 0,000 sehinga p value < 0,05 maka terdapat pengamh posisi Semi
fow/er terhadap Respiration Rate pada pasien asma bronkial di Puskesmas Air Upas
Ketapang.
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi et al, 2008) bahwa posisi semi fow/er dimana
kepala dan tubuh dinaikkan 45 0 membuat oksigen didalam paru—palll semakin
meningkat sehingga mempelingan kesukaran napas. Penumnan sesak napas tersebut
didukungjuga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi
semifowler sehingga pasien dapat bemafas.
Posisi semi fow/er mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi 02 dalam
darah ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim (2014) bahwa pemberian
posisis semifowler dapat meningkatkan masukan oksigen bagi pasien pasca pembedahan
pemt
laparoskopi. Sedangkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemberian posisi
semi fow/er ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiawati (2008). Dalam
penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi semifowler dapat
efektifuntuk mengurangi sesak napas pada pasien TBC. Hal ini dapat diketahui
melalui nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-3,196) > Z tabel (1,96). Pada
penelitian ini posisi semi fow/er membuat jalan nafas lebih terbuka sehingga
kapasitas oksigen yang masuk ke pam lebih maksimal dan membuat frekuensi pemafasan
menjadi lebih stabil dan dalam batas normal.
4. KESIMPULAN
a. Jenis kelamin paling banyak di kelompok kontrol adalah laki-laki sebanyak 13
orang (61,9%) sedangkan kelompok perlakuan
adalah perempuan sebanyak 12 orang (57, 1%), pendidikan yang paling banyak pada
kelompok kontrol adalah SD sebanyak 8 orang (38, 1%) dan kelompok perlakuan adalah
SD sebanyak 11 orang (52,4%), pekerjaan yang paling banyak pada kelompok kontrol
adalah tidak bekelja sebanyak 10 orang (47,6%) dan kelompok perlakuan adalah bumh
sebanyak 12 orang (57, 1%).
b. Hasil respiration rate pre test pada kelompok kontrol dan perlakuan semuanya
adalah tacypnea sebanyak 21 orang (100%).
c. Hasil respiration rate pada post test yang paling banyak pada kelompok
kontrol adalah tacypnea sebanyak 18 orang (85, 7%) dan kelompok perlakuan adalah
nonnal sebanyak 18 orang
d. Ada pengamh posisif01 vler terhadap frekuensi pemafasan pada pasien asma
bronkial di Puskesmas Air Upas Ketapang dengan nilai p value = 0,000 < 0,05.
5. REFERENSI
Brooker, C. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.
Council, N. A .2006. Asthma management handbook 2006. Melboume: National Asthma
CouncilLTD.
Depkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Dinkes, 2012. Laporan Survei Penyakit Kalbar 2012. Pontianak: Dinkes Kalbar.
Guyton, & Hall (2011). Human Physiology and Diseases Mechanism. (3 ed.)
(Teljemahanoleh Pet ms Andrianto, 2011). Jakarta: EGC.
Hudak, C. M dan Gallo B. M. 2015. Keperawatan Kritis Holistik Edisi VIN, Volume 1.
Jakarta: EGC.
Jeremy. 2006. At a Glance Sistem Respirasi edisi Kedua. Bandung: Erlangga.
Kim, K. 2014. The Effects of Semi- Fowler's Position on Post- Operative Recove1Y in
Recovery Room for Patients with Laparoscopic Abdominal Surgew. Abstract.
College of Nursing, Catholic University of Pusan, Korea
Kumoro, D. 2008. Pengamh Pemberian Senam
Asma Terhadap Frekwensi Kekambuhan Asma Bronkial. Karya Ilmiah (tidak
diterbitkan).UMS
Kumiawan, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. A Dengan Gangguan Sistem
Pemafasan: Asma Bronkial Pada NY. S Di
Puskesmas Tanjung, Juwiring, Klaten. Tugas Akhir (Tidak Diterbitkan) UMS
Lewis, S. M., Heitkemper, M. M. , & Direksen, S.2007. Medical surgical nursmg:
Assessment and management of clinical problem. (5 Ed.). St. Louis: Mosby
Majampoh, Aneci Boki, Rondonuwu, Rolly & Onibala, Franly. 2013. Pengamh pemberian
posisi semi fowler terhadap kestabilan pola nafas pada pasien TB Paru di Irina C5
RSUP Prof Dr. R.D Kandou Manado.Universitas
Sam Ratulagi. ejournal keperawatan Vol.3
Nugroho, Taufan.2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah dan Penyakit
Dalam. Yogyakalta: Nuha Medika
PDPI (Perhimpunan Dokter Pam Indonesia). 2014. Asma Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: FRUI
Potter, P. 2008. Fundamtal Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC
Ruth, F. 2012. Fundamental OfNursing Human Health And Function. Jakalta: EGC.
Safitri, Refi & Andriyani, Annisa. 2011. Keefektifan pemberian posisi semi fowler
terhadap penumnan sesak nafas pada pasien asma di Ruang Rawat Inap Kelas 111 RSUD
dr. Moewardi Surakarta. STIKES Aisyiyah Surakafia. GASTER, vol. 8, No.2
Setiawati, L. 2008. Efektivitas Penggunaan Posisi Semi Fowler Pada Klien TBC Untuk
Mengurangi Sesak Napas (Studi Kasus Di Rumah Sakit Pam Batu). Jurnal. http
athearobiansyah.blogspot. com/2008/03/ asuhan keperawatan kebutuhan oksigenasi.
html.
Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan
edisi2. Jakarta: Salemba Medika
Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008.
Hubungan Analisa Posisi Tidur Semi Fowler Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal
Jantung Di RSU Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan volume
IV No 2 hal 97-108.
Widodo. 2009. "Penderita Asma di Indonesia Meningkat, "Tribun News.
Zara, A .2012. Pengaruh teknik pernafasan buteyko terhadap penurunan gejala asma di
wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru kecamatan Bayang Painan Pesisir Selatan.
Universitas Andalas.
-00000-