Anda di halaman 1dari 41

TUGAS KELOMPOK PKBB

(PRAKTIK KEPERAWATAN BERDASARKAN BUKTI)

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

NUR FRIDA SARI : PO713201201127


NUR AZIZAH : PO713201201126
NURHIKAMAWATI : PO713201201128
NURUL ATIKA AZIZ : PO713201201129
NURUL ILMI FATHANIYAH : PO713201201131
NURUL QALBI : PO713201201132
NURUL RESKI AULIA : PO713201201134

KEEFEKTIFAN PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP PENURUNAN


SESAK NAFAS PADA PASIEN ASMA
DI RUANG RAWAT INAP KELAS III RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Refi Safitri, Annisa Andriyani


Prodi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta

Abstrak; Berdasarkan survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001 diketahui


bahwa penyakit saluran nafas merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua
di Indonesia setelah penyakit gangguan pembuluh darah. Sebanyak antara 1,5 juta
sampai 3 juta orang di Indonesia mengidap penyakit asma, dan kurang lebih sepertiga
dari kasus asma diantaranya adalah usia dewasa. Asma merupakan suatu penyakit
obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–gejala batuk, mengi, dan sesak
nafas. Masalah utama pada pasien asma yang sering dikeluhkan adalah sesak napas.
Untuk mengurangi sesak nafas yaitu antara lain dengan pengaturan posisi saat
istirahat. Posisi yang paling efektif bagi pasien dengan penyakit kardiopulmonari
adalah posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan
gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen
pada diafragma. Tujuan; Mengetahui keefektifan pemberian posisi semi fowler pada
pasien asma guna mengurangi sesak nafas. Metode; Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian adalah Quasi Eksperiment dengan rancangan One Group Pre test-Post
tets. Hasil; Terbukti ada perbedaan sesak nafas antara sebelum dan sesudah
pemberian posisi semi fowler, dapat penelitian diperoleh hasil T-test sebesar
-15,327 dengan p = 0,006. Kesimpulan; Pemberian posisi semi fowler dapat efektif
mengurangi sesak nafas pada pasien asma.
Kata Kunci : Posisi semi fowler, Sesak nafas, Asma.

PENDAHULUAN
Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli mendefinisikan bahwa
asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–gejala
batuk, mengi, dan sesak nafas (Somantri,2009:52). Pada penyakit asma, serangan
umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan berat serangan dapat terjadi
setiap saat tidak tergantung waktu.
783

Inspirasi pendek dan dangkal, mengakibatkan penderita menjadi sianosis, wajahnya


pucat dan lemas, serta kulit banyak mengeluarkan keringat. Bentuk thorax terbatas
pada saat inspirasi dan pergerakannya pun juga terbatas, sehingga pasien menjadi
cemas dan berusaha untuk bernafas sekuat-kuatnya (Kumoro, 2008: 2).
Metode yang paling sederhana dan efektif dalam biaya untuk mengurangi risiko
stasis sekresi pulmonar dan mengurangi risiko penurunan pengembangan dinding
dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi
klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan
derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu
pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma (Burn dalam
Potter, 2005:1594)
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu
cara untuk membantu mengurangi sesak napas. Keefektifan dari tindakan tersebut
dapat dilihat dari Respiratory Rates yang menunjukkan angka normal yaitu 16-24x per
menit pada usia dewasa (Ruth, 2002: 812). Pelaksanaan asuhan keperawatan dalam
pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan tempat tidur
orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung,
sehingga dapat memberi kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak
nafas pada pasien asma saat terjadi serangan.
Penyakit asma telah dikenal sejak berabad-abad tahun yang lalu, dan sampai
sekarang ini masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Pengetahuan yang
terbatas tentang asma membuat penyakit ini seringkali tidak tertangani dengan baik,
akibatnya jumlah pasien dari tahun ketahun semakin meningkat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat tahun 2008 ada 300 juta pasien asma di
seluruh dunia. Indonesia sendiri memiliki 12,5 juta pasien asma. 95% diantaranya
adalah pasien asma tak terkontrol. Data ini disampaikan oleh Faisal (dalam Widodo,
2009) Ketua Umum Dewan Asma Indonesia (DAI) pada hari peringatan asma sedunia 04
Mei 2009. Jeremy (2006: 55) mengemukakan bahwa, satu dari tujuh orang di Inggris
memiliki penyakit alergi dan lebih dari 9 juta orang mengalami mengi dan sesak
nafas. Dalam 12 tahun terakhir ini jumlah usia dewasa yang mengalami penyakit asma
hampir dua kali lipat dari usia anak-anak.
Rusmono (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2006 penyakit asma termasuk penyakit
yang membahayakan dan pasien asma di Jawa Tengah mengalami peningkatan
5,6% dibandingkan tahun 2005. Jumlah pasien asma pada tahun 2005 berjumlah 74.253
dan pada tahun 2006 berjumlah 78.411. Ditambahkan oleh Handayani (2008) dalam
penelitiannya tentang pasien asma di Surakarta berjumlah 2.126 dari berbagai
pasien di rumah sakit Surakarta baik negeri ataupun swasta.
Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, pada tahun 2008
jumlah pasien asma yang dirawat inap kelas III RSUD Surakarta berjumlah 318
orang, tahun 2009 berjumlah 360 orang. Hal ini berarti ada peningkatan sebanyak
9% dari tahun 2008 ke tahun 2009. Pada bulan Januari sampai April 2010 jumlah
pasien asma rawat inap kelas III untuk usia 20-78 tahun ada 32 orang (Medical
Record, RS Dr. Moewardi, 2009). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kepala
ruang rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta dapat diketahui bahwa setiap
tahunnya rata- rata 70% dari 100% pasien asma mengalami tanda dan gejala sesak
nafas dengan pembatasan aktivitas yaitu tirah baring.
Data pasien RSUD Dr. Moewardi Surakarta dirawat inap kelas III memiliki kapasitas
terhadap pasien sebanyak 522 pasien dan masing- masing bangsal terdapat 58
tempat tidur dengan jumlah perawat 22 orang, pada saat pelaksanaan jumlah pasien
paru yang rawat inap di kelas III yaitu 53 pasien. Terdiri dari pasien TBC sebanyak
21 pasien dan pasien asma sebanyak 32 pasien. Dari 32 pasien asma yang
memerlukan bantuan posisi semifowler sebanyak 30 pasien. Pelaksanaan pemberian
posisi semi fowler RSUD Dr. Moewardi Surakarta di ruang rawat inap kelas III sudah
menggunakan tempat tidur orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga
daerah punggung.
Berdasarkan data-data dan hal-hal tersebut di atas penulis ingin mengetahui
”keefektifan pemberian posisi semi fowler pada pasien asma yang sedang menjalani
rawat inap di ruang rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Pasien asma yang sering dikeluhkan adalah sesak napas. Sesak napas disebabkan
oleh adanya penyempitan saluran napas. Penyempitan saluran napas terjadi karena
adanya hyperreaktifitas dari saluran napas terhadap berbagai macam rangsangan,
sehingga menyebabkan spasme otot– otot polos bronchus yang dikenal denga
bronkospasme, oedema membrana mukosa dan hypersekresi mucus (Erlina, 2008:
2). Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah
posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen
pada diafragma (Burn dalam Potter, 2005:1594)
Jenis dalam penelitian ini yaitu jenis kuantitatif. Desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian adalah Quasi Eksperiment dengan rancangan One Group Pre
test-Post tets. Pada desain ini mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan satu kelompok subjek.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien asma yang dirawat inap kelas III RSUD
Dr.Moewardi Surakarta sebanyak 220 pasien. Sampel dalam penelitian ini diambil dari
pasien asma yang dirawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Total
sampelnya adalah 33 orang dari 220 orang populasi, tehnik pengambilan sampel dengan
menggunakan simple random sampling.

HASIL PENELITIAN Gambaran Karakteristik Responden Pasien Asma Berdasarkan Bangsal


Pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati, Melati III, dan
Anggrek 1, dengan penjelasannya sebagai berikut:
Tabel 1Karakteristik Pasien Asma Menurut Bangsal
Bangsal Jumlah Perlakuan Prosentase
Melati I 7 21%
Melati III 4 12%
Anggrek II 22 67%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.
Dari Tabel 1 pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati I,
Melati III dan Anggrek II dapat diketahui bahwa sebagian besar jumlah pasien asma
dari bangsal Anggrek II yaitu 22 pasien (67%).
Pasien Asma Berdasarkan Jenis kelamin
Tabel 2Karakteristik Pasien Asma Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Perlakuan Prosentase


Laki-laki 18 55% Perempuan 15 45%
Jumlah 33 100 %

Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa jumlah


responden sebagian besar pada kelompok laki-laki yaitu sebanyak 18 pasien (55 %).

Pasien Asma Berdasarkan umur


Tabel 3
Karakteristik Pasien Asma Menurut umur
Umur Jumlah Perlakuan Prosentase
21-30 Tahun 4 12%
31-40 Tahun 10 31%
41-50 Tahun 11 33%
51-60 Tahun 8 24%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.
Berdasarkan Tabel 3 memperlihatkan bahwa umur responden kelompok perlakuan sebagian
besar yaitu berumur 41-50 tahun sebanyak 11 pasien (33%).

Hasil Penelitian Perlakuan Pemberian Posisi Semi Fowler


Perlakuan pemberian posisi semi fowler dilakukan setelah pre-test dan setelah
dilakukan perlakuan diperoleh data post-test. Rincian hasil hasil penelitian
perlakuan pemberian posisi semi fowler, sebagai berikut:
Tabel 4
Hasil Pengukuran Sesak Nafas Sebelum Perlakuan

No Sesak Nafas Jumlah Prosentase


1 Ringan 7 21%
2 Sedang 9 27%
3 Berat 17 52%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.

Berdasarkan Tabel 4 hasil pengukuran sesak nafas sebelum dilakukan perlakuan


dari 33 responden diperoleh data yaitu sebanyak 17 pasien (52%).

Tabel 5
Hasil Pengukuran Sesak Nafas Sesudah perlakuan
No Sesak Nafas Jumlah Prosentase
1 Ringan 18 55%
2 Sedang 9 27%
3 Berat 6 18%
Jumlah 33 100 %
Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.

Berdasarkan Tabel 5 hasil pengukuran sesak nafas setelah dilakukan


perlakuan dari 33 responden selama tiga hari diperoleh data yaitu sebanyak 18
pasien (55%). Peningkatan sesak nafas tersebut dapat dijelaskan ada pengurangan
sesak nafas berat ke sesak nafas ringan sebanyak 11 pasien (33%) yaitu dari 17
pasien sesak nafas berat menjadi menjadi 6 pasien. Jadi, ada pengurangan pasien
sesak nafas berat ke sesak nafas ringan.

Tabel 4.6 Hasil Uji Sesak Nafas Responden Sebelum dan Sesudah Dilakukan
Perlakuan dengan Uji T-test
Sesak Nafas t p Keterangan
Pre test – Post test -15,327 0,006 Bermakna

Sumber: data primer yang diolah tahun 2010.


Berdasarkan tabel 6 perbedaan antara nilai rata-rata sesak nafas sebelum dan
sesudah dilakukan perlakuan posisi semi fowler dapat dilihat dari hasil T-test
sebesar -15,327 dengan p = 0,006. Karena p = 0,006 < 0,005, maka dikatakan
signifikan atau bermakna. Artinya, ada perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan
pemberian posisi semi fowler pada pasien asma.

PEMBAHASAN Analisa Karakteristik Pasien Asma


Pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati I, Melati III, dan
Anggrek II. Dari tiga bangsal tersebut pasien asma terbanyak yang dijadikan sampel
dari bangsal Anggrek II berjumlah 22 pasien (67%). Hal ini disesuaikan dengan
kondisi bangsal Anggrek II yang merupakan bangsal khusus paru salah satunya yaitu
pasien asma di RSUD Dr. Moewardi,
Surakarta. dibedakan atas bangsal Melati I, Melati III, dan Anggrek II. Dari
tiga bangsal tersebut pasien asma terbanyak yang dijadikan sampel dari bangsal
Anggrek II berjumlah 22 pasien (67%). Hal ini disesuaikan dengan kondisi bangsal
Anggrek II yang merupakan bangsal khusus paru salah satunya yaitu pasien asma di
RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.
Responden pada kelompok laki-laki sebanyak 18 pasien (55%). Jumlah tersebut
lebih besar apabila dibandingkan dengan jumlah pasien perempuan.Banyaknya jumlah
pasien laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena dipengaruhi oleh faktor
lingkungan kerja. Sebagian besar pasien bekerja di pabrik-pabrik atau
dipenggergajian kayu, dan lingkungan tempat tinggal di jalan raya. Hal ini serah
dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustofa (2008) yang menyatakan
bahwa salah Satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit asma karena alergi
yang disebabkan lingkungan tempat tinggal pasien yang dekat dengan jalan raya.
Adapun umur pasien asma pada kelompok usia 41-50 tahun merupakan kelompok usia
yang paling banyak menderita asma. Alasannya,penyakit asma mempunyai hubungan
langsung dengan lingkungan kerja. Orang yang bekerja di lingkungan laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai kecenderungan
tinggi menderita asma. Faktorfaktor pencetus tersebut menimbulkan suatu
predisposisi genetik terhadap alergi sehingga orang yang bekerja selama bertahun-
tahun rentan terhadap penyakit asma. Pengertian tersebut didukung oleh penelitian
Kurniawan (2008) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan tempat tinggal yang
ditempati individu banyak debunya menimbulkan kerentanan penyakit asma pada
usia individu menjelang tua (di atas 41 tahun

Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami Sesak Napas


Sebelum
Diberikan Posisi Semi Fowler.
Sesak nafas sebelum dilakukan pemberian posisi semi fowler termasuk sesak nafas
berat, yaitu sebanyak 17 pasien atau sebanyak 52% dari 33 pasien. Asma merupakan
suatu penyakit obstruksi saluran napas yang memberikan gejala–gejala batuk,mengi,
dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi secara
bertahap, perlahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi
mendadak dan bahkan berangsur,sehingga menimbulkan kesulitan bernapas.
Penyempitan saluran napas menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka
pasien asma akan cenderung melakukan pernafasan pada volume paru yang tinggi dan
membutuhkan kerja keras dari otot–otot pernapasan sehingga akan menambah energi
untuk pernapasan (Brooker, 2009: 623). Pendapat Brooker (2009: 623) tersebut
dibuktikan oleh Mustofa 2008) dalam penelitiannnya yang menyatakan bahwa pasien
asma mengalami sesak nafas berat sehingga kesulitan bernapas karena penyempitan
saluran napas ini terjadi adanya hyperreaktifitas dari saluran napas terhadap
berbagai macam rangsang.

Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami SesakNapas Sesudah Diberikan
Posisi Semi Fowler.
Pasien asma setelah diberi posisi semi fowler mengalami sesak nafas ringan, yaitu
dari 17 pasien asma yang mengalami sesak nafas berat menjadi 11 pasien. Pemberian
posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu cara untuk
membantu mengurangi sesak napas. Posisi semi fowler dengan derajat kemiringan
45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan
mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma. Hasil penelitian pemberian posisi
semi fowler mengurangi sesak nafas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kim (2004) bahwa pemberian posisi semi fowler dapat mengurangi sesak nafas pada
pasien asma.
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi, dkk 2008: 98) bahwa posisi semi fowler
dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45º membuat oksigen didalam paru–paru semakin
meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Penurunan sesak napas tersebut
didukung juga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi
semi fowler sehingga pasien dapat bernafas.
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengaruh pemberian posisi semi fowler
terhadap sesak nafas. Hal tersebut berarti mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Supadi, dkk., (2008) bahwa pemberian semi fowler mempengaruhi berkurangnya sesak
nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi. Terpenuhinya
kualitas tidur pasien membantu proses perbaikan kondisi pasien lebih cepat.
Saat sesak napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk
sehingga posisi semi fowler memberikan kenyamanan dan membantu memperingan
kesukaran bernapas. Menurut Angela (dalam Supadi, dkk., 2008) saat terjadi serangan
sesak biasanya klien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring.
Melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan
jalan napas dan memenuhi O2 dalam darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih
rileks saat makan dan berbicara sehingga kemampuan berbicara pasien tidak terputus
– putus dan dapat menyelesaikan kalimat.
Posisi semi fowler mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2 dalam
darah ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa pemberian
posisi semi fowler dapat meningkatkan masukan oksigen bagi pasien pasca
pembedahan perut laparoskopi.
Sedangkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemberian posisi semi fowler
ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiawati (2008). Dalam penelitian
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi semi fowler dapat efektif
untuk
mengurangi sesak napas pada klien TBC. Hal ini dapat diketahui melalui nilai
Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-3,196) > Z tabel (1,96).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan sesak nafas pada
pasien asma di ruang rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah dan
sebelum pemberiaan posisi semi fowler terjadi penurunan. Perbedaaan tersebut
dibuktikan dari adanya pengurangan sesak nafas berat ke sesak nafas ringan pada 11
pasien atau sejumlah 33% dari 17 pasien. Adanya perbedaan tersebut membuat
pemberian posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak nafas pada
penderita asma.

SIMPULAN
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dapat efektif mengurangi sesak
nafas. Hal ini dapat diketahui melalui sebelum dan sesudah pemberian semi
fowler ada peningkatan pasien sesak nafas berat ke sesak nafas ringan. Pernapasan
pada pasien asma yang mengalami sesak napas sebelum diberikan posisi semi fowler,
termasuk sesak nafas berat karena posisi tidur telentang. Pernapasan pada pasien
asma yang mengalami sesak napas sesudah diberikan posisi semi fowler, termasuk
sesak nafas ringan karena posisi tidur dengan derajat kemiringan 45°. Hasil
penelitian dengan perhitungan uji T-test didapatkan ada efektifitas pemberian
posisi semi fowler pada pasien asma.
Disarankan bagi peneliti selanjutnya bahwa hasil penelitian dapat memberikan
gambaran tentang efektifitas penggunaan posisi semi fowler pada pasien asma untuk
mengurangi sesak nafas dan dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai factor
factor yang lain untuk mengurangi sesak nafas.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1998. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka


Cipta.

Brooker, C. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.

Depkes RI. 2002. Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Depkes RI.

Hadi, S. 2002. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Ofset.

Handayani, S. 2008. Hubungan Antara Penderita Asma Dengan Prestasi Belajar Anak
Sekolah Dasar Di Solo. Skripsi. Surakarta: UNS.

Jeremy. 2006. At a Glance Sistem Respirasi edisi Kedua. Erlangga.

Kim, K. 2004. The Effects of Semi- Fowler's Position on Post- Operative


Recovery in Recovery Room for Patients with Laparoscopic Abdominal Surgery.
Abstract. College of Nursing, Catholic University of Pusan, Korea

Kumoro, D. 2008. Pengaruh Pemberian Senam Asma Terhadap Frekwensi Kekambuhan Asma
Bronkial.
Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Sains
Terapan
Fisioterapi. Skripsi (tidak diterbitkan).UMS

Kurniawan, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. A Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan: Asma Bronkial Pada Ny. S Di Puskesmas Tanjung, Juwiring, Klaten.
Tugas Akhir (Tidak Diterbitkan) UMS

Potter, P. 2005. Fundamtal Keperawatan: Konsep, Proses, dan


Praktik. Jakarta: EGC.

Ruth, F. 2002. Fundamental Of Nursing Human Health And Function. Jakarta:


EGC.

Rusmono. 2008. Penyakit Asma yang Mematikan setelah Stroke. Solo Pos.
27 Januari.

Seti awati, L. 2008. Efektivitas Penggunaan Posisi Semi Fowler Pada Klien TBC
Untuk Mengurangi Sesak Napas (Studi Kasus Di Rumah Sakit Paru Batu). Jurnal.
http://athearobiansyah.blogspot.co m/2008/03/asuhan keperawatan-
kebutuhanoksigenasi.html.

Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan edisi
2. Jakarta: Salemba Medika.

Su padi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008. Hubungan Analisa Posisi Tidur


Semi Fowler Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal Jantung Di RSU Banyumas Jawa
Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume IV No 2 Hal 97-108.

Widodo. 2009. “Penderita Asma


di Indonesia Meningkat, ”
Tribun News. Senin,04 Mei
009,hal1.Tersedia dalam: http://www.tribunbatam.co.id/in dex.php?
option=com_content&task =view&id=30366&Itemid=1126 [Diakses pada tanggal
24maret2010]

Sari Pediatri, Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 23 - 28


Faktor Atopi dan Asma Bronkial pada Anak
Sjawitri P Siregar
Prevalensi penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopi, alergi
obat dan alergi makanan meningkat di banyak negara. Dermatitis atopi dan alergi
makanan timbul pada usia < 2 tahun sedangkan asma dan rinitis alergi sekitar 6-12
tahun. Dermatitis atopi timbul paling dini sekitar 6 bulan dan 50%-80% akan
berkembang menjadi asma di kemudian hari, bila mereka mempunyai orang tua atopi
(allergic march). Pada Makalah ini akan dibahas faktor atopi dan mengenal, petanda
biologis, dan faktor risiko alergi saat usia dini sehingga awitan penyakit asma
dapat ditunda.
Kata kunci: Penyakit alergi - allergic march - imunopatologi inflamasi alergik

P
aradigma masa kini mengenai patogenesis penyakit alergi adalah alergi berkembang
hanya pada individu yang mempunyai predisposisi genetik setelah terpapar oleh
alergen. Banyak faktor yang dapat mencetuskan penyakit alergi seperti faktor
lingkungan misalnya alergen, infeksi, polusi dan lain-lain yang dapat memulai
sensitisasi alergi dan menimbulkan manifestasi klinis. Oleh karena prevalens
penyakit alergi meningkat di banyak negara sedangkan faktor genetik belum dapat
dipengaruhi, maka yang dapat dimanipulasi adalah faktor lingkungan. Prevalens asma
di populasi 3-4% sedangkan rinitis 20%. Dold dkk. melaporkan bila salah satu
orangtua dengan dermatitis atopi (DA), maka kemungkinan anaknya juga akan menderita
DA 3,4 kali lebih tinggi bila (OR 3,4) dibandingkan dengan salah satu orang tua
dengan asma (OR 1,5) atau rinitis alergi (OR 1,4).
Dermatitis atopi adalah penyakit menahun dengan angka kejadian 10% dan sering
merupakan manifestasi klinis pertama penyakit atopi dan mempunyai awitan pada tahun
pertama kehidupan (sekitar usia 6 bulan). Penyakit kulit ini mempunyai predisposisi
genetik atopi atau atopi pada keluarga sebesar 80%, dan 40-80%

Staf Pengajar Subbagian Alergi Imunologi Bagian Ilmu kesehatan Anak


FKUI/RSCM
Alamat korespondensi:
Dr. Syawitri P. Siregar, SpA(K) Jl. Salemba No. 6, Jakarta 10430, Indonesia.
Telpon: (021) 391 4126. Fax.: (021) 391 4126.
anak dengan DA akan berkembang menjadi asma atau rinitis alergi di kemudian hari.
Dermatitis atopi dan alergi makanan adalah penyakit alergi yang timbul pertama dan
sering timbul pada usia tahun pertama kehidupan seorang anak yang di kemudian hari
akan berkembang menjadi alergi respiratorik; gejala yang progresif ini disebut
allergic march. Akan tetapi pada beberapa golongan anak alergi saluran napas
merupakan gejala pertama. Pada penelitian kami terdapat 3932 anak atopi dengan
sebaran asma dan rinitis alergi paling banyak usia 6-12 tahun sedangkan DA di bawah
usia 2 tahun. Awitan alergi makanan di bawah usia 1 tahun, sedangkan awitan asma
dan rinitis terbanyak di antara usia 2-4 tahun.
Untuk mencegah perkembangan DA pada anak usia dini menjadi asma di kemudian hari
telah dilakukan penelitian multisenter (Early Treatment of Atopic Children = ETAC).
Pada makalah ini akan dibahas faktor atopi dan terjadi faktor risiko alergi saat
usia dini sehingga awitan asma dapat diperlambat, karena bila awitan asma terjadi
pada usia di bawah 3 tahun akan mempengaruhi perkembangan serta terjadi perubahan
tingkah laku dibandingkan dengan anak yang awitan asmanya lebih tua.
Faktor Prenatal
Pengaruh lingkungan intrauterin
Lingkungan intrauterin dilengkapi dengan sistem imunologik untuk mempertahankan
janin terhadap penolakan sel T dari ibunya sehingga janin dapat tumbuh. Telah
diketahui bahwa Interleukin-4 (IL-4), Interleukin-5 (IL-5), dan Interleukin-10 (IL-
10) terdapat dalam uterus dan cairan amnion. Sitokin ini meregulasi respons imun
maternal, misalnya IL-4 dan IL-5 adalah sitokin dari sel Th-2 yang berfungsi
menekan IFN-α (interferon-α) Tumor Necrosis Factorα (TNFα) dari sel Th-1 ibu yang
bersifat sitotoksik.
Sitokin IL-4 dan IL-5 yang melindungi janin dari efek sitotoksik akan mempengaruhi
pula pengembangan sistem imun janin, karena kadar sitokin Th-2 dan IL-10 akan
mengurangi IFN-α, sitokin Th-1 dari janin dan ibu. Efek ini akan meningkatkan
sitokin Th-2 yang akan berperan dalam proses alergi. Tambahan lagi bila ibu seorang
penderita alergi yang akan meningkatkan Th-2 plasenta kejadian tersebut dapat
menjelaskan bahwa risiko janin untuk alergi akan lebih besar diturunkan dari ibu,
dibandingkan bila ayah yang alergi.
Diet ibu hamil
Sensitisasi sudah terjadi sejak dalam kandungan, hal ini dapat dibuktikan yaitu
terjadinya reaksi alergi makanan pada neonatus yang baru pertama kali mendapat susu
sapi. IgE dari ibu tidak dapat melewati sawar plasenta, sedangkan partikel protein
susu sapi yang beredar dalam sirkulasi darah ibu dapat melewati sawar plasenta yang
kemudian akan merangsang limfosit janin. Ini dapat dibuktikan karena terdapat
proliferasi limfosit tali pusat neonatus. Hal ini menunjukkan bahwa sensitisasi
sudah terjadi semasa janin masih dalam uterus. Bila kadar imunoglobin E tali pusat
> 0,9kU/l dan mempunyai lebih dari 2 anggota keluarga yang atopi maka anak tersebut
akan mempunyai faktor risiko untuk perkembangan penyakit atopi. Bayi baru lahir
sudah tersensitisasi dalam kandungan bila kadar IgE spesifik tali pusat >0,35 kU/l.
Kadar IgE tali pusat juga tinggi pada ibu hamil yang perokok. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kadar IgE tali pusat dapat dipakai sebagai faktor peramal dugaan
sensitisasi dini.
Chandra dkk. mengamati 109 bayi yang berasal dari keluarga atopi sampai berumur 1
tahun. Bila ibu diberikan diet susu sapi, telur, ikan, kacang semasa kehamilan
trimester ketiga dan semasa laktasi, dan bayi mendapat air susu ibu eksklusif
sampai umur 6 bulan, maka prevalens DA pada bayi tersebut sangat rendah. Pernyataan
ini kemudian dibantah bahwa ibu yang diberikan diet pada kehamilan trimester ketiga
akan menghindarkan bayinya dari penyakit alergi hanya sampai umur 5 tahun.
Merokok saat hamil
Ibu yang merokok saat hamil akan melahirkan bayi prematur yang akan mempunyai
ukuran paru lebih kecil dan akan mempunyai faktor risiko mengi pada usia neonatus,
di samping itu asap rokok akan mengurangi fungsi paru bayi. Dengan menggunakan
teknik tertentu dapat dibuktikan bahwa sudah terdapat obstruksi saluran napas
derajat ringan pada bayi usia 3 hari bila ibunya perokok waktu hamil. Penelitian
juga membuktikan bahwa bayi prematur dari ibu perokok waktu hamil akan rentan
terhadap infeksi saluran napas disebabkan oleh virus, dan karena IgE tali pusat
bayi ini tinggi >0,9 IkU/l.
Faktor Pascanatal
Diet
Insidens alergi makanan tertinggi pada usia tahun pertama kehidupan dan sebagian
besar alergi makanan akan sembuh sekitar usia 3 tahun. Kecuali untuk beberapa
makanan seperti kacang, ikan laut akan menetap seumur hidup. Dari 150 anak alergi
makanan, 42% berusia di bawah 2 tahun dan hanya 3% berusia di atas 12 tahun. Zeiger
dan Heller pada studi kontrol terhadap 103 bayi yang diamati sampai berumur 7
tahun; pada ibunya diberikan diet susu sapi, telur, gandum selama masa laktasi,
maka pada usia 1 tahun terdapat perbedaan bermakna antara 2 kelompok terhadap
kejadian DA dan alergi makanan. Alergi susu sapi akan berkurang sekitar usia 2
tahun, tetapi pada usia 7 tahun tidak nampak perbedaan prevalens antara DA dan
alergi makanan pada 2 kelompok tersebut. Kesimpulannya yaitu diet hipoalergenik
waktu menyusukan bayi akan menurunkan prevalens alergi makanan dan DA pada usia
dini.
Oehling dkk. melaporkan bahwa 8,5% dari 284 anak asma disebabkan oleh alergi
makanan, dan terbanyak sensitisasi terjadi pada tahun pertama kehidupan, dan
penyebab makanan yang tersering adalah telur. Dermatitis atopi dengan uji kulit
positip terhadap telur pada usia dini akan meningkatkan derajat hipersensitivitas
seorang anak untuk mengidap asma di kemudian hari. Penelitian lain di National
Jewish Center melaporkan bahwa penelitian prospektif selama 18 tahun terhadap 410
anak asma, diantaranya 68% mempunyai riwayat alergi makanan, sedangkan anak dengan
DA dan DBPCFC positip akan mempunyai risiko asma dan alergi. Penelitian Subbagian
Alergi-Imunologi IKA mendapatkan DA terjadi pada umur kurang dari 1 tahun jika
awitan maka akan mendapatkan alergi respiratorik (rinitis alergi dan atau asma) di
kemudian hari, dan penundaan pemberian telur setelah umur 1 tahun akan melindungi
anak terhadap risiko alergi respiratorik. Bagaimana peran makanan dapat mencetuskan
serangan asma belum diketahui dengan pasti. Beberapa hipotesis menerangkan bahwa
anak dengan DA dan alergi makanan akan mempunyai kadar histamin yang tinggi di
dalam darahnya, karena mediator inflamasi sel mast. Teori tersebut lemah karena
mediator akan cepat dimetabolisme. Kemungkinan lain adalah alergen yang dimakan
akan mencapai sel inflamasi di saluran napas.
Alergi makanan kebanyakan dihubungkan dengan IgE spesifik yang dapat diperiksa
secara invitro (RAST) atau dengan uji kulit. Uji kulit negatif mempunyai nilai
prediktif yang tinggi dengan gejala klinik, sebaliknya uji kulit mempunyai nilai
prediksi positip sebesar 50%. Serangan asma yang tercetus akibat menghirup gandum
yang sedang dibakar (baker’s asthma), biasanya uji kulit terhadap gandum akan
positip juga. Seorang yang alergi terhadap ikan akan mengalami serangan asma bila
ia menghirup uap gorengan ikan.
Paparan Aeroalergen
Polusi
Data mengenai paparan polusi udara hubungannya dengan asma dan rinitis alergik
masih kontroversi. Polusi udara oleh ozone, nitrogen dioksid, dan sulfur dioksid
dikenal bersifat iritasi terhadap saluran napas dan akan memperberat asma karena
akan meningkatkan reaksi hipersensitivitas non spesifik. Tetapi tidak demikian
halnya dengan penelitian yang diadakan di Jerman, yaitu anak yang tinggal di Jerman
Timur yang lebih banyak menghirup udara polusi mempunyai insiden asma rendah
dibandingkan anak yang tinggal di Jerman Barat yang udaranya lebih bersih.
Aeroalergen
Aeroalergen sangat berperan pada asma dan rinitis alergik. Alergen rumah seperti
tengu debu rumah (Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae,
Euroglyphus, dan Blomiantropicalis), serpihan binatang piaraan, kecoa dan jamur
merupakan aeroalergen tersering sebagai penyebab penyakit alergi. Prevalens tengu
debu rumah berbeda pada tiap negara tetapi tengu debu rumah berkembang biak pada
suhu hangat dan lembab. Prevalens tengu debu rumah sebagai penyebab asma di Meksiko
sebesar 5%, Atlanta 66% dan Papua 91%. Enam puluh persen sampai 80% asma anak akan
alergi terhadap 1 atau lebih aeroalergen yang dibuktikan dengan uji kulit positip.
Aeroalergen di dalam rumah (indoor) di berbagai negara tidak sama, seperti laporan
dari Subbagian Alergi-Imunologi IKA RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, aeroalergen
terbanyak adalah tengu debu rumah (45%), debu rumah (37%), serpihan binatang
piaraan kucing, anjing, ayam dan burung (26%), dan jamur 6%. Sedangkan di Amerika,
aeroalergen yang terbanyak adalah alteraria (38%), kecoa (36%), tengu debu rumah
(35%), kucing (24%), dan anjing (16%).
Pada DA tengu debu rumah juga turut berperan karena terdapat limfosit T spesifik
tengu debu rumah yang meningkatkan proliferasi sel T helper yang akan meningkatkan
sel eosinofil dan produksi IL-5. Kesimpulannya ialah sensitisasi tengu debu rumah
yang dimulai usia bayi pada DA akan berisiko untuk berkembang menjadi alergi
respiratorik di kemudian hari dengan alergen yang sama. Aeroalergen asap rokok juga
sangat berperan mencetuskan serangan asma dan rinitis alergi.
Virus
Infeksi virus respiratory syncytial (RSV) sering menyebabkan bronkiolitis pada bayi
usia 3-6 bulan dan 75% dari mereka akan mengalami mengi pada usia 2 tahun, 50%
masih mengi pada usia 3 tahun dan 40% akan tetap mengi sampai usia di atas 5 tahun.
Infeksi dengan RSV akan menyebabkan kerusakan epitel saluran napas yang akan
mempermudah absorbsi aeroalergen dan pembentukan antibodi IgE spesifik RSV, yang
dapat menyebabkan degranulasi sel mast dan akan melepaskan mediator di saluran
napas yang akan menyebabkan spasme bronkus dan penumpukan sel eosinofil. Pada anak
besar lebih berperan rhinovirus, adenovirus, dan parainfluenza virus yang merupakan
penyebab eksaserbasi asma pada 80-85% pasien. Di antara bayi yang meninggal akibat
infeksi RSV, pada autopsi terdapat tumpukan limfosit dan sel eosinofil di paru yang
menunjukkan proses inflamasi dan ditemukan antibodi RSV IgE spesifik di sekret
nasofaring serta peningkatan histamin. Insidens mengi akan bertambah bila terdapat
kombinasi alergen IgE spesifik antibodi dan infeksi virus RSV atau Rhinovirus.
Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila
ditemukan antibodi RSV IgE spesifik dalam sekret hidung. Bila mengi menetap apakah
disebabkan IgE spesifik RSV atau IgE spesifik alergen lain (seperti debu rumah,
tengu debu rumah), telah dibuktikan bahwa asma pada anak berumur 7 tahun mempunyai
lebih dari dari 2 macam aeroalergen positip dengan uji kulit.
Imunopatologi Inflamasi Alergik
Mekanisme imun yang berperan adalah mekanisme tipe I klasifikasi Gell dan Coombs
yang diperankan oleh antibodi IgE. Imunoglobulin E ini mempunyai reseptor pada sel
mast, basofil, sel limfosit T, sel makrofag dan sel eosinofil. Walaupun daya
ikatnya dengan sel mast mempunyai afinitas paling kuat. Jaringan saluran napas,
saluran cerna, kulit, dan mata banyak mengandung sel-sel tersebut di atas. Seorang
yang menderita riwayat atopi akan membuat antibodi IgE terhadap alergen tersebut,
bila ia terpajan dengan alergen tersebut. Antibodi IgE yang terbentuk akan terikat
pada sel mast dan sel lainnya. Bila di kemudian hari ia terpajan kembali dengan
alergen yang serupa, maka alergen tersebut akan terikat pada IgE yang sudah terikat
pada sel mast yang sudah tersentitisasi dan akan terjadi fusi granula dengan
membran sel mast sehingga terjadi degranulasi. Akibatnya mediator yang sudah ada
dalam granula keluar dari sel mast. Granula yang sudah ada ini adalah histamin yang
mempunyai efek pelebaran pembuluh darah di mukosa sehingga terjadi pembengkakan
saluran napas dan terjadi perembesan cairan ke jaringan sekitarnya. Pada saluran
napas akan menimbulkan gejala sumbatan hidung, pilek, batuk sedangkan pada kulit
pembengkakan dan kemerahan disertai rasa gatal. Selain histamin dilepaskan juga
mediator lain seperti kemotaktik eosinofil (ECF-A) dan faktor kemotaktik neutrofil
(NCF) yang akan menarik sel eosinofil dan sel netrofil ke tempat alergen berada,
dengan tujuan memfagosit alergen. Tetapi pada reaksi alergi ada beberapa enzim
dalam sel eosinofil yang akan merusak sel epitel mukosa pejamu. Reaksi yang terjadi
ini disebut reaksi alergi fase cepat (RAFC) karena terjadi segera yaitu beberapa
detik sampai beberapa menit dan berakhir 1-2 jam kemudian setelah terpajan dengan
alergen. Bersamaan dengan lepasnya mediator dari sel mast juga terjadi aktivasi
enzim fosfolipase yang ada pada membran sel mast, basofil yang akan mengubah
fosfolipid yang ada pada membran sel menjadi asam arakidonat yang kemudian
dimetabolisme oleh tubuh. Hasil metabolit ini antara lain adalah prostaglandin dan
leukotrien yang disebut mediator yang terbentuk kemudian atau disebut juga sebagai
slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Mediator ini akan menarik sel-sel
radang ke tempat alergen berada dan juga meningkatkan permeabilitas dan pelebaran
pembuluh darah, sehingga terjadi inflamasi alergi.
Pada reaksi inflamasi di atas terdapat berbagai produk aktivasi sel inflamasi yang
disebut petanda biologis (PB). Kadarnya akan berhubungan dengan derajat inflamasi
dan aktivasi sel inflamasi. Petanda biologis ditemukan dalam darah, jaringan
sekitar inflamasi seperti cairan bilas bronkus, sputum, sekret hidung dan cairan
skin window. Petanda biologis masuk ke dalam sirkulasi akibat kebocoran di tempat
reaksi alergi. Berbagai sel seperti eosinofil, basofil, mastosit, sel T dan
mediator sitokin, leukotrien, granula asal sel dan molekul adhesi dikenal sebagai
PB alergi. Sel limfosit T yang berada di mukosa saluran napas, dan kulit mempunyai
reseptor IgE dengan afinitas rendah. Dikenal 2 macam sel T helper yaitu sel Th-1
dan sel Th-2. Sel Th-1 akan menghasilkan sitokin IFN-α sedangkan sel Th-2
menghasilkan sitokin Interleukin 4 (IL-4) dan Interleukin-5 (IL-5). Interleukin-4
merangsang pembentukan IgE dan juga ekspresi CD23 (reseptor IgE dengan afinitas
rendah pada sel limfosit B dan monosit) serta menginduksi ekspresi Vascular
Cellular Adhesion Molecul-1 (ICAM1) dan kelangsungan hidup eosinofil serta
peningkatan penglepasan histamin.
Eosinofil beredar di sirkulasi dan menuju ke organ target dengan bantuan histamin
yang dilepaskan dari sel mast/sel basofil. Eosinofil akan menembus pembuluh darah
dengan bantuan faktor kemotaksis dan molekul adhesi yang terdapat pada endotel
pembuluh darah. Setelah menembus pembuluh darah, sel target yang mengekspresikan
molekul adhesi memberi jalan pada sel eosinofil untuk kembali ke tempat sel mast
semula. Eosinofil yang diaktifkan pada reaksi inflamasi alergi melepaskan mediator
major basic protein (MBP), myelopreoxidase (MPO), eosinophilic cationic protein
(ECP), eosinophil peroxidase (EPO) yang juga PB. major basic protein merusak sel
epitel mukosa setempat. Kerusakan epitel ini mengakibatkan ujung saraf eferen
terpapar sehingga mukosa menjadi hiperaktif, artinya mudah terangsang faktor non
spesifik seperti asap rokok, bau bauan, perubahan cuaca dan garukan pada kulit; ECP
dapat dipakai sebagai petanda keterlibatan eosinofil pada reaksi alergi, karena ECP
dapat dipakai sebagai petanda keterlibatan eosinofil pada reaksi alergi, karena ECP
pada anak alergi akan tinggi daripada anak normal. Pada provokasi anak asma dengan
alergen akan meningkatkan kadar ECP dan PEF dan akan berkurang setelah diberikan
inhalasi steroid. Pada fase akut DA kadar ECP meningkat dan akan berkurang pada
fase perbaikan. Penelitian di atas menunjukkan bahwa ECP dapat dipakai sebagai
petanda inflamasi eosinofil, eksaserbasi penyakit alergi dan menilai hasil
pengobatan dengan anti-inflamasi.
Untuk menghentikan kerusakan jaringan oleh eosinofil dengan cara menghalangi sel
ini terkumpul di jaringan target. Karena bila ia tidak dapat mencapai jaringan
target, sel ini tidak akan berbahaya sebab lingkaran visius inflamasi alergi dapat
diputuskan. Cetirizine adalah obat yang telah digunakan pada studi ETAC dan telah
terbukti secara signifikan mengurangi migrasi sel eosinofil menuju jaringan target.
Gejala Klinis Asma Anak
Mengi dan sesak napas adalah gejala klasik asma bronkial, tetapi tidak demikian
pada bayi dan anak. Sering gejala batuk pada malam hari dan episode mengi yang
berulang merupakan gejala utama dan kemungkinan penyakit lain telah disingkirkan.
Asma adalah reaksi inflamasi menahun saluran napas dan inflamasi memegang peranan
utama sehingga berkembang menjadi mukosa bronkus yang hiperaktif, artinya mudah
terangsang faktor non spesifik seperti asap rokok, bau-bauan, perubahan cuaca
emosi, infeksi virus yang memberikan gejala asma. Secara patologis asma disimpulkan
sebagai chronic bronchial inflamation.
Kesimpulan
• Reaksi inflamasi alergi sudah dimulai sejak dalam kandungan
• Faktor dermatitis atopi dan alergi makanan yang merupakan bentuk alergi yang
paling dini timbul akan berkembang menjadi asma dikemudian hari sebesar 30-80%
(Allergic March).
• Sebagian mengi pada usia tahun pertama akan menjadi asma di kemudian hari
bila terdapat faktor prematuritas pada ibu perokok ketika hamil dan sering
mengalami infeksi virus, terutama Respiratory Syncytial Virus
• Faktor genetik berperan pada penyakit asma anak terutama bila ibu juga
menderita asma
• Petanda biologis dapat dipakai sebagai alat untuk meramalkan perjalanan
penyakit diagnosis, dan hasil pengobatan sehingga dapat dilakukan intervensi dini.
Daftar Pustaka
1. Dold S, Wjst M, von Mutius E dkk. Genetic risk for asthma, allergic rhinitis,
and atopic dermatitis. Arch Dis Child 1992; 67:1018-35.
2. Lee BW. Respiratory disorders in childhood. Leading the way, UCB Bali,
February 3, 1999.
3. Siregar PS. Spektrum penyakit alergi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Dipresentasikan pada Simposium Allergy in Year 2000 from Different Point of View
1998. Agustus.
4. Mrazek DA, Schuman WB. Early asthma onset. Risk of emotional and behavioral
difficulties. J Child Psychol. Psychiat 1998; 39:247-54.
5. Gern JE, Lemanske RF. Pediatric Allergy. Can it be prevented? Immunol and
Allergy Clin North Amer 1999; 19:233-52.
6. Bergmann R dkk. Atopic disease in infancy. The German multicenter atopy
study. Dikutip dari ETAC science 5, 1996.
7. Chandra RK, Puri S, Suraaiya C, dkk. Influence of maternal food antigen
avoidance during pregnancy and lactation on incidence of atopic eczema in infants.
Clin Allergy 1986; 16:563-9.
8. Faith-Magnusson K, Kjellman NI. Allergy prevention by maternal elimination
diet during late pregnancy a 5 year follow up of randomized study. J Allergy Clin
Immunol 1992; 89:709-15.
9. Hoo A-F, Hanshen M, Dezateux C, dkk. Respiratory function among preterm
infants whose mother smoke during pregnancy. Am J Respir Crit Care Med 1998;
158:700-15.
10. Ziegler RS, Heller S. The development and prediction of atopy in high risk
children. Follow up at age seven year in prospective randomized study of combine
maternal and infant food allergen avoidance. J Allergy Clin Immunol 1995; 95:1179-
95.
11. Oehling A, Cagnani CEB. Food allergy and child asthma. Dikutip dari James JM.
Respiratory tract and food hypersensitivity. Immunol and Allergy Clin North Amer
1999; 19:519-32.
12. Bock SA. Respiratory reactions induced by food challenges in children with
pulmonary disease. Dikutip dari James JM. Respiratory tract and food
hypersensitivity. Immunol and Allergy Clin North Amer 1999; 19:519-32.
13. Siregar PS, Bambang M, Amar WA. Risk factors of respiratory allergy among
children with atopic dermatitis. Paediatr Indones 199; 39: 134-44.
14. Sampson HA, Albergo R. Comparison of results of skin test, RAST and double
blind placebo controlled food challenges in children with atopic dermatitis. J
Allergy Clin Immunol 1984; 74:26-33.
15. Welliver RC, Wrong DT, Sun M, dkk. The development of respiratory syncytial
virus specific IgE and the release of histamine in nasopharyngeal secretions after
infection. N Engl J Med 1981; 305:841-6.
16. Kimura M, Tsuruta S, Yoshida T. Correlation of house dust mite-specific
lymphocyte proliferation with IL-5 production, eosinophilia, and the severity of
symptoms in infants with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 1998; 101:84-9.
17. Garofalo R, Kimpen JLL, Wellifer RC, dkk. Eosinophil degranulation in
respiratory tract during naturally acquired respiratory syncytial virus infection.
J Pediatr 1992; 1120:28-39.
18. Welliver R, Duffy L. The relationship of RSV-specific immunoglobulin E
antibody responses in infancy, recurrent wheezing and pulmonary function at age 7-8
years. J Pediatr 1993; 15:19-29.
19. Pellikan Z, Pellikan F. The late asthmatic respons to allergen challenge. Am
Allergy 1986; 56:414-35.
20. Van Neerven RJJ, Edner C, Yessel H dkk. T Cell response to allergens. Epitope
specificity and clinical relevance. Immunol today 1996; 17:526-32.
21. Leung DYM. Atopic dermatitis. The skin as a window into the pathogenesis of
chronic allergic diseases. J Allergy Clin Immunol 1995; 96:302-18.
22. Hedlin, dkk. Dikutip dari Biological markers. Current and near-term
application in atopic diseases 1997. ETAC Science 6.
23. Warner JO. Biological markers new allergic parameters. A presentation to ETAC
investigators. Dikutip dari Biological markers. Current and near-term application
in atopic disease 1997. ETAC Science 6.
24. Manardo JL. Dikutip dari Discovering the fruits of ETAC clinical study 1996;
ETAC Science 4.
JKEP vol 4, No 1, Mei 2019 ISSN: 2354-6042 (Print)
ISSN : 2354-6050 (Online)
Efektivitas Pemberian Oksigen Posisi Semi Fowler Dan Fowler
Terhadap Pemahan Saturasi Pada Pasien Asma Bronkial Persisten Ringan
Syamsul Firdaus, Misbachul Munirul Ehwan, Agus Rachmadi Poltekkes Kemenkes
Banjarmasin
Email : syamsulfirdaus1966@gmail.com
Artikel history
Dikirim, Feb 20th, 2019
Ditinjau, April 12th, 2019
Diterima, April 30th, 2019
Abstract
Mild persistent bronchial asthma is a chronic inflammatory airway that cause the
low oxygen saturation value (91-95%). Administering oxygen therapy, setting the
position of the semi fowler andfowler can reduce the risk of a decreased chest
configuration. This research aims to assess the difference of effectiveness of
administering oxygen at semi fowler withfowler position to the saturation changes
in mildpersistent bronchial asthma patients in Ratu Zalecha Martapura Hospital.
This research method is quasy Experiment. The population research are allpatients
who experience mildpersistent bronchial asthma attack, the sample ofthis research
are 20 respondents with purposive sampling technique and analyzed with independent
T test. The results is at semi fowler position the average ofoxygen saturation
before the treatment is 93.10%, after administering oxygen therapy with semi fowler
position the average saturation is 98.00%. At the fowler position the average of
oxygen saturation before the treatment is 92.60%, after administering oxygen
therapy with fowler position the average saturation is 98.00%. The independent T-
test result showed no difference of effectiveness of administering oxygen at semi
fowler with fowler position to the saturation changes in mild persistent bronchial
asthma patients,so teh patients can be given both positions.
Keywords : Bronchial Asthma, Oxygen, Client positions, Saturation
Abstrak
Asma bronkial persisten ringan mempakan inflamasi kronik jalan napas yang
menyebabkan rendahnya nilai saturasi oksigen (91-95%). Pemberian terapi oksigen,
pengaturan posisi semi fowler dengan fowler dapat mengurangi risiko penurunan
pengembangan dinding dada. Penelitian ini bertujuan menilai perbedaan efektivitas
pemberian oksigen pada posisi semi fowler denganfow/er terhadap perubahan saturasi
pada pasien asma bronkial persisten ringan di RSUD Ratu Zalecha Martapura. Metode
penelitian ini eksperimental dengan rancangan Quasy Experiment. Populasi dalam
penelitian ini seluruh pasien yang mengalami serangan asma bronkial persisten
ringan sebanyak 30 orang, sampel dalam penelitian sebanyak 20 orang dengan teknik
Purposive sampling, dianalisis dengan uji T independen. Hasil penelitian pada
posisi semi fowler rata-rata saturasi oksigen sebelum sebesar 93.10 %, setelah
pemberian terapi oksigen. dengan posisi semi fowler sebesar 98.00 0 0. Pada
posisifow/er rata-rata saturasi oksigen sebelum 92.60 %, setelah pemberian terapi
oksigen dengan posisi fowler sebesar 98.00 %. Hasil uji T Independen menunjukkan
tidak ada perbedaan efektivitas pemberian oksigen pada posisi semi fowler
denganfow/er terhadap perabahan saturasi pada pasien asma bronkial Persisten Ringan
di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura. Pasien yang mengalami asma bronkial persisten
ringan dapat diberikan kedua posisi. Kata Kunci : Asma bronkial, Oksigen, Posisi
klien, Saturasi

PENDAHULUAN
Menunlt Global Initiatiffor Asthma, asma mempakan masalah kesehatan di seluruh
dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang. Penyakit
ini adalah penyakit heterogen yang ditandai inflamasi kronik saluran napas, dengan
gejala sesak napas, mengi, dada terasa berat, batuk semakin memberat dan
keterbatasan aliran udara ekspirasi (Mark, et ali, 2016).
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2011 menyebutkan bahwa
terdapat 235 juta orang menderita asma di dunia, 80% berasal dari negara dengan
pendapatan rendah hingga menengah, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS), di Indonesia didapatkan bahwa angka kematian akibat
penyakit asma adalah sebanyak 63.584 orang (Pangestu, dkk,2016). Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi asma semua umur
di Indonesia mencapai angka 4,5 0 0 (11.196.000 jiwa), sedangkan di Provinsi
Kalimantan Selatan mencapai angka 6,3% (242.834 jiwa) (Balitbang, 2013).
Asma mempakan suatu penyakit peradangan kronis pada saluran pernapasan dengan
karakteristik bempa hipersensitivitas, edema mukosa dan produksi mukus (Smeltzer,
et al, 2010). Hal ini dapat menyebabkan peradangan dan penyempitan yang sifatnya
bemlang namun reversible (Price dan Wilson, 2006).Organ-organ dalam tubuh
membutuhkan suplai oksigen yang cukup agar fungsinya lebih optimal dan efektif.
Jika nilai saturasi oksigen rendah, berbagai masalah kesehatan dapat terjadi
diantaranya terjadi hipoksemia (Musliha, 2010). Hipoksia merupakan keadaan
kekurangan oksigen di jaringan atau tidak adekuatnya pemenuhan kebutuhan oksigen
seluler akibat defisiensi oksigen yang diinspirasi atau meningkatnya penggunaan
oksigen pada tingkat seluler. Hipoksemia ditandai dengan sesak napas, frekuensi
napas 35 kali/menit, nadi cepat dan dangkal, serta sianosis (Tmwoto dan Watonah,
2010).
Salah satu tindakan untuk mengurangi risiko kejadian hipoksemia adalah terapi
oksigen. Terapi oksigen bertujuan untuk mengoreksi hipoksemia (kadar oksigen dalam
darah rendah) dengan cara memperbaiki hipoksemia, dan menurunkan kerja pernapasan
(Morton, dkk, 2012). Pada pasien yang mengalami serangan asma bronkial, dapat
mengakibatkan timbulnya gejala seperti sesak napas, nafas cepat (> 24 kali
permenit) dan dada terasa berat. Dengan adanya manifestasi klinis sesak serta dada
terasa berat, pasien asma diindikasikan untuk mendapatkan terapi oksigen
(Setyohadi, dkk, 2015).
Efek pemberian terapi oksigen dapat dilihat melalui nilai saturasi oksigen.
Saturasi oksigen mempakan kemampuan hemoglobin mengikat oksigen yang ditujukan
sebagai derajat kejenuhan atau saturasi (Sa02) (Wahyuningsih, 2015). Pulse oximetri
mempakan alat non-invasif yang digunakan untuk memperkirakan saturasi oksigen darah
arteri klien dengan cara mendekatkan sensor pada jari tangan, jari kaki, hidung,
cuping telinga, atau dahi (sekitar tangan atau kaki pada neonatus) (Kozier dan
Erb's, 2016).
Metode yang paling sederhana untuk mengurangl risiko penurunan
pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi
fowler merapakan posisi tempat tidur dimana posisi kepala dan tubuh ditinggikan 450
hingga 600 dimana posisi lutut mungkin/mungkin tidak dalam posisi tertekuk,
sedangkan posisi semi fowler merupakan posisi tempat tidur dimana posisi kepala dan
tubuh ditinggikan 150 hingga 450. Posisi ini biasanya disebut dengan fowler rendah
dan biasanya ditinggikan setinggi 300 (Kozier dan Erb's, 2016).
Menunlt penelitian yang dilakukan oleh Sucahyono, W. (2012) menunjukkan bahwa rata-
rata kenaikan saturasi oksigen pada posisi semi fowler yaitu 2.87 % dan rata-rata
kenaikan saturasi pada posisi fowler yaitu 4.99 % (Sucahyono, 2012). Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan efektivitas pemberian
oksigen pada posisi semifowler denganfow/er terhadap pembahan saturasi pada pasien
asma bronkial persisten ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura?
METODE
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan jenis penelitian yang digunakan
eksperimental dan rancangan penelitan Quasy Experiment yaitu jenis penelitan yang
bertujuan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok
kontrol di samping kelompok eksperimental (Nursalam, 2015). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengalami serangan asma bronkial yang
masuk di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura dengan kisaran 30 pasien per bulan (Juni
2016). Sampel yang diteliti sebanyak 20 pasien asma bronkial persisten ringan yang
berobat ke IGD
Rumah Sakit Umum Daerah Ratu Zalecha Martapura. Teknik sampling dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan teknik non-probability sampling dengan cara Purposive
sampling yang dibagi menjadi IO sampel untuk kelompok intervensi dan IO sampel
untuk kelompok control. Pemilihan kelompok intervensi adalah IO pasien pertama yang
datang ke IGD sedangkan kelompok kontrol adalah IO pasien berikutnya yang datang ke
IGD.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan data dilakukan secara primer dan sekunder. Secara
primer diperoleh dari hasil observasi selama 15 menit pada saat pasien yang
mendapat serangan asma bronkhial persisten ringan datang berobat ke IGD RSUD Ratu
Zalecha Martapura selama Juni (2016), sedangkan secara sekunder diperoleh dari
laporan tahunan Instalasi Rekam. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini
adalah
observasi, dalam tabel tersebut tercatat karakteristik responden dan saturasi
oksigen sebelum dan sesudah pemberian posisi semi fowler dengan fowler pada
pemberian terapi oksigen nasal kanul, untuk pengukuran nilai saturasi oksigen
menggunakan pulse oximetry.
Analisa data yaitu analisa univariat dan analisa bivariat menggunakan uji
Independent sample t Test, penggunaan rumus ini adalah untuk menguji efektifitas
suatu perlakuan terhadap suatu besaran variabel yang ingin ditentukan (Dahlan,

l. Pemberian Oksigen pada Posisi Semi Fowler terhadap Perubahan Saturasi pada
Pasien
Asma Bronkial Persisten Ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura
Gambar 6_ 1 Nilai saturasi sebelum dan sesuah pemberia

saturasi sebelum —•—rnenit k Berdasarkan gambar 6.1 terlihat bahwa rata-rata


saturasi oksigen dari 10 responden saat datang ke IGD sekitar 93.10 %, setelah
pemberian terapi oksigen dengan posisi semi fow/er nilai rata-rata saturasi
meningkat menjadi 98.00 0 0. Pada grafik scatter di atas menunjukkan adanya
peningkatan nilai saturasi oksigen pada setiap responden pada saat sebelum dan
sesudah diberikan terapi oksigen dengan pengaturan posisi semi fow/er. Pada saat
sebelum pemberian oksigen dan pengaturan posisi, terlihat pada grafik nilai
saturasi responden bervariasi, yaitu 2
responden dengan saturasi 91 2
responden dengan saturasi 92 0 0 1
responden dengan saturasi 93%, 3
responden dengan saturasi 940 0, dan 2
responden dengan saturasi 95%. Pada
grafik menit ke-5 terlihat nilai saturasi masing-masing responden meningkat, namun
pada responden SF3 dan SF 7 tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi
ini terjadi adanya kontribusi faktor Iain, sepelti aktivitas (pergerakan yang
berlebihan pada area sensor oksimetri) sehingga memengaruhi hasil pembacaan
saturasi. Menulllt Kozier & Erb's (2016) bahwa hemoglobin, sirkulasi, aktivitas,
dan keracunan karbon monoksida memengarahi 1--lasil pembacaan saturasi
oksigen. Pada menit ke-10 dan ke-15, nilai saturasi tiap responden terlihat relatif
sama, dengan rata-rata saturasi pada menit ke10 dan ke-15 sebesar 98.50% (Kozier
dan Erb's , 2016). Peningkatan yang signifikan. Menulllt peneliti, kemungkinan hal
ini disebabkan oleh faktor Iain, seperti aktivitas (seperti pergerakan yang
berlebihan pada area sensor oksimetri) sehingga memengałuhi hasil pembacaan
saturasi.

hemoglobin, sirkulasi, aktivitas, dan keracunan karbon monoksida memengalllhi


hasil pembacaan saturasi oksigen. Pada menit ke-10 dan ke-15, nilai saturasi tiap
responden terlihat relative sama, dengan rata-rata saturasi pada menit ke-10 dan
ke-15 sebesar 98.50% (Kozier dan Erb's , 2016). Pemberian terapi oksigen pada
pasien bertujuan untuk mengoreksi hipoksemia (kadar oksigen yang rendah dalam
darah). Terapi oksigen memperbaiki hipoksemia, menurunkan kerja pernapasan, dan
mengurangi kerja miokardium (Morton, dkk, 2012). Pengaturan posisi merupakan salah
satu cara untuk mengurangi rasa sesak pada pasien asma bronkial. Tujuan pemberian
posisi semi fowler adalah membantu mengatasi masalah kesulitan pernapasan dan
pasien dengan gangguan jantung (Suparmi, dkk, 2008). Hasil penelitian terkait nilai
saturasi pada pemberian oksigen sebelum dan sesudah pengaturan posisi semi fowler
pada pasien asma bronkial persisten rłngan menghasilkan peningkatan saturasi
oksigen dengan rata-rata saturasi oksigen (Sp02) 93.10 % sebelum dilakukan
pengaturan posisi semi fowler dan pemberian terapi oksigen dan 98 0 0 setelah
dilakukan pengaturan posisi semi fowler dan pemberian terapi oksigen.

Gambar 6.3 Grafik Perbandingan Nilai Saturasi Oksigen Responden Sebelum dan Sesudah
pemberian oksigen dengan Pengaturan Posisi Semi Fowler dengan Fowler pada Pasien
Asma Bronkial Persisten Ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura

2. Pemberian Oksigen pada Posisi Fowler terhadap Perubahan Saturasi pada Pasien
Asma Bronkial Persisten Ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura
100
98
88
86
—Sebelum —•—Menit ke-5 —••—Menit ke-10 —••••—Menit ke-15
Gambar 6.2 Nilai saturasi sebelum dan sesuah pemberian oksigen pada posisifow/er

Berdasarkan gambar 6.2 terlihat bahwa rata-rata saturasi oksigen dari 10 responden
saat datang ke IGD sekitar 92.60 %, setelah pemberian terapi oksigen dengan posisi
fowler nilai rata-rata saturasi meningkat menjadi 98.00 %. Pada grafik tersebut
menunjukkan adanya peningkatan nilai saturasi oksigen pada setiap responden pada
saat sebelum dan sesudah diberikan terapi oksigen dengan pengaturan posisifow/er.
Pada saat sebelum pemberian oksigen dan pengaturan posisi, terlihat pada grafik
nilai saturasi responden bervariasi, yaitu 3
responden dengan saturasi 91%, 2
responden dengan saturasi 92 0 0, 2
responden dengan saturasi 93 0 0, 2
responden dengan saturasi 940 0, dan I responden dengan saturasi 95%. Pada grafik
menit ke-5 terlihat nilai saturasi masing-masing responden meningkat, namun pada
5.4%
responden F3 dan SF 9 tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi ini
terjadi adanya kontribusi faktor lain, seperti nilai Hemoglobin, aktivitas (seperti
pergerakan yang berlebihan pada area sensor oksimetri) sehingga memengaftlhi hasil
pembacaan saturasi. Hal ini sesuai dengan teori di dalam buku Kozier & Erb's (2016)
bahwa haemoglobin, sirkulasi, aktivitas, dan keracunan karbon monoksida memengaruhi
hasil pembacaan saturasi oksigen pada menit ke-10 nilai saturasi tiap responden
sebesar 98.000/0 dan pada menit ke-15 sebesar 98.60 0/0 (Kozier dan Erb's , 2016).
Pengaturan posisi merupakan salah satu cara untuk mengurangi rasa sesak pada pasien
asma bronkial. Posisi fowler bertujuan untuk mempertahankan kenyamanan dan
memfasilitasi ftngsi sehingga meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru serta
menurunkan upaya IGD RSUD mecha Manapura Hasil analisis menggunakan uji t
independen pada pemberian oksigen pada posisi semi fowler dengan fowler pada pasien
asma bronkial di IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura menunjukkan tidak ada perbedaan
efektivitas pemberian oksigen pada posisi semi fowler dengan fowler terhadap
perubahan saturasi pada pasien asma bronkial persisten ringan. Nilai t hitung
berdasarkan uji t-independen yaitu 0.000, sedangkan nilai t tabel sebesar 2, 101.
Nilai P value berdasarkan uji t-independen yaitu 1.000, sehingga dapat disimpulkan
jika nilai t hitung < t tabel (0.000 < 2.101) dan P value (1.000 > 0.05) maka Ho
diterima. Pada gambar 6.3 menunjukkan nilai ratarata peningkatan saturasi oksigen
sebelum dan sesudah pemberian oksigen dengan pengaturan posisi semi fowler dengan
fowler pada pasien asma bronkial persisten ringm di IGD RSUD Ratu Zalecha
Martapura. Pada grafik tersebut terlihat tidak adanya perbedaan nilai saturasi yang
signifikan baik pada posisi semi fowler maupunfow/er. Rata-rata kenaikan saturasi
oksigen pada posisi semi fowler yaitu 4.9 %, sedangkan rata-rata kenaikan saturasi
oksigen pada posisi fowler yaitu 5.4 %, sehingga tidak ada perbedaan nilai saturasi
antara posisi semi fowler dengan fowler. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sucahyono, W. tahun 2012 dengan judul "Identifikasi Penempatan
Posisi terhadap Saturasi Oksigen pada Pasien Penyakit Pam Obstruksi Kronis di Ruang
Dahlia Rumah Sakit Pam dr. Ario Wirawan Salatiga" yang menunjukkan bahwa ratarata
kenaikan saturasi oksigen pada posisi semi fowler yaitu 2.87 % dan rata-rata
kenaikan saturasi pada posisi fowler yaitu 4.99 % (Sucahyono, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan efektivitas antara pemberian
oksigen pada posisi semi fowler dengan fowler terhadap Perubahan Saturasi pada
RISKESDAS (2007) data prevalensi asma berdasarkan karakteristik umur menunjukkan
angka kejadian asma pada usia 40 — 60 tahun sebesar 4.8 %, prevalensi asma
berdasarkan karakteristik umur menunjukkan angka kejadian asma pada usia 40 — 60
tahun sebesar 4.8 %, sedangkan pada usia 20 — 39 tahun penelitian dan teori yang
ada, dapat
sebesar

2.8 % (Balitbang, 2007). Berdasarkan hasil

Pasien Asma Bronkial di IGD RSUD Ratu yaitu faktor usia, jenis kelamin, nutrisi,
Zalecha Manapura. Pada prinsipnya ekspansi paru serta cara pemberian oksigen
oksigen dipengaralli oleh beberapa faktor,
a. Faktor Usia
Gambar 6.4 Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Pasien Asma Bronkial
Persisten ringan di IGD RSUD Rattl Zalecha Maftapura

bertambahnya usia, maka fungsi paru akan menurun (Cardova, et al, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, dapat kita simpulkan bahwa jenis
kelamin merapakan salah satu faktor dari kejadian asma bronkial. Hal tersebut
dikarenakan volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20-25% lebih
kecil dari pada pria (Hidayat, 2008). Selain itu, adanya perbedaan pada paru dan
ukuran jalan napas (ainvay) antara lakilaki dan perempuan juga mempenganłhi
oksigenasi. Pada saat anak-anak, ukuran paru dan jalan napas pada anak laki-laki
lebih kecil dibandingkan pada anak perempuan, sedangkan pada saat dewasa
c. Faktor nutrisi
Pada faktor nutrisi, pasien yang obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi paru,
gizi yang buruk menjadi anemia sehingga
d. Faktor ekspansi paru
Pada faktor ekspansi paru juga
berpengarah terhadap oksigen. Pengaturan posisi semi fowler dan fow/er merupakan
cara untuk meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru serta menurunkan upaya
e. Cara pemberian oksigen
Cara pemberian oksigen juga berpengalllh terhadap oksigenasi dalam tubuh. 1--1al
ini dikarenakan setiap jenis pemberian oksigen memiliki konsentrasi Fraksi (usia 40
tahun) ukuran paru dan jalan napas pada perempuan lebih kecil dibandingkan pada
laki -laki, sehingga perempuan lebih berisiko terkena serangan asma pada saat
dewasa Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC's National Asthma Control
Program Grantees (2013) prevalensi kejadian asma pada orang dewasa lebih banyak
dialami oleh perempuan sebesar IO. 7 %, sedangkan pada laki-laki sebesar 6.5 %
(CDC's National Asthma Control Program Grantee,
b. Faktor Jenis Kelamin
Gambar Grafik Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Asma Bronkial Persisten ringan di
IGD RSUD Ratu Zalecha Martapura

2013). daya ikat oksigen berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulkan
arteriosclerosis (Mubarak, dkk, 2015). pernapasan. Tujuan pengaturan posisi semi
fowler dan fowler untuk membantu mengatasi masalah kesulitan bernapas dan
mempefiahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien Oksigen
Inspirasi (Fi02) yang berbeda (Mofion, dkk, 2015). Peningkatan nilai saturasi
berdasarkan cara pemberian oksigen terdapat pada gambar 6.6 di bawah 6.6 di atas,
menunjukkan bahwa pemberian oksigen nasal kanul sebanyak 2 liter per menit dapat
meningkatkan oksigen sekitar 4.56 0 0, sedangkan pada pemberian oksigen nasal kanul
sebanyak 3 liter per menit dapat meningkatkan oksigen sekitar

SIMPULAN
Rata-rata saturasi oksigen dari 10 responden saat datang ke IGD sekitar
93.10 % dan setelah pemberian terapi oksigen dengan posisi semi fowler sebesar
98.00 0 0.
Rata-rata saturasi oksigen dari 10 responden saat datang ke IGD sekitar
DAFTAR RUJUKAN
Balitbang Kemenkes RI.2007.Riset Kesehatan Dasar.Jaka1ta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
.2013.Riset

Kesehatan Dasar.Jakarta: Badan


Penelitian dan Pengembangan Morton, PG dkk (2012) bahwa setiap jenis pemberian
oksigen memiliki konsentrasi Fraksi Oksigen Inspirasi (Fi02) yang berbeda sehingga
semakin banyak jumlah oksigen yang diberikan, peningkatan saturasi oksigen semakin
cepat (Morton, dkk, 2012). 92.60 % dan setelah pemberian terapi oksigen dengan
posisi fowler sebesar 98.00 0 0. Tidak ada perbedaan efektivitas pemberian oksigen
pada posisi semi fowler dengan fowler terhadap pembahan saturasi pada pasien asma
bronkial persisten ringan di IGD RSUD Ratu Zalecha Manapura. Kesehatan Departemen
Kesehatan, Republik Indonesia.
Cardona, V., et al.2011 Allergic diseases in the elderly.Clinical and Translational
Allergy. (Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov pada hari Jumat, 28 April 2017
pukul 16.58 wita).
CDC's National Asthma Control Program Grantees.2013„4sthma Facts. United
States of America : Department of Health and 1--luman Services Centers for Disease
Control and Prevention
Dahlan, S.2011 .Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi 5.Jakarta: Salemba
Medika
Doenges, M.E, et al, 2010.Nursing Care Plans Guidelines for Individualizing Client
Care Across the Life Span Eight
Edition.Phi1ade1phia: F.A Davis Company
FitzGera1d, J Mark et.a1.2016.G/0ba/
Strategy for Asthma Management and Preventation. (diakses dari: http:
www.ginasthma.com pada hari Selasa, I November 2016 pukul 20.51
WITA)
Global Initiative for Asthma.2016.G/oba/ Strategy For Asthma Management And
Prevention Updated 2016. (diakses dari: http: www.ginaasthma.ory' pada hari Jumat,
28 April 2017 pukul 19.09 wita)
Hidayat, A. Aziz.2008.Pengantar
Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi
Konsep dan Proses
Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika
.2012.Pengantar
Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan Buku 2.Jaka1ta: Salemba Medika
Kozier & Erb's.2016.Fundamenta/s of Nursing Concepts, Process and
Practice Tenth Edition.United States of America : Julie Levin Alexader
Morton, P.G, dkk.2012.Keperawatan Kritis Volume 1 Edisi 8.Jakafta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Mubarak, W.I. dkk.2015.Buku Ajar 11mu Keperawatan Dasar Buku 2.Jakarta:
Salemba Medika Musliha.2010.Keperawatan Gawat
Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika
Nursalam.2015.Metodo/ogi Penelitian
11mu Keperawatan: Pendekatan
Praktis.Jakarta: Salemba Medika
Pangestu, M dkk.2016.1--lari Asma Sedunia: You Can Control Your Asthma.1SMK1
Wilayah 1. (diakses dari http://wilayahI.ismki.o@hari-asmasedunia-2016 [l November
2016 pukul 21.23 WITA]
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson.2006.Patofisio/ogi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Edisi
6.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Setyohadi, B., dkk.2015.EIMED PÅPDI
Kegawatdaruratan Penyakit
Dalam.Jakarta: Interna Publishing
Smeltzer, S.C et.al.2010.Brunner & Suddart's Text Book of Medical-
Surgical Nursing Twelfth
Edition.Phi1ada1phia: Lippincott Williams & Wilkins
Sucahyono, W.2012.1dentifikasi
Penenpatan Posisi terhadap Saturasi Oksigen pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi
Kronis di Ruang Dahlia Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.Universitas
Kristen Setya Wacana: Salatiga
Suparmi, Y, dkk.2008.Panduan Praktik Keperawatan Kebutuhan Dasar Manusia.Yogyakarta
: PT.Citra Aji Parama
Tarwoto dan Watonah.2010.Kebutuhan
Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Salemba
Medika
ISSN 2087-5002
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN SERANGAN ASMA PADA PENDERITA ASMA BRONKIAL DI BP4
SEMARANG
Rosma Karinna Haq
StafPengajar Program Studi D-lll Keperawatan STIKES Kusuma Husada Surakaf

ABSTRAK
Kecemasan mempakan bagian dari kehidupan dan mempakan gejala yang normal. Bagi
orang yang penyesuaiannya baik, kecemasan dapat cepat diatasi. Apabila penyesuaian
yang dilakukan tidak tepat, akan menimbulkan dampak tertiadap kesehatan jasmani dan
psikis. Asma adalah gangguan pada sistem pemapasan yang dapat menyebabkan kesulitan
bernapas.' Serangan asma umumnya timbul karena pajanan faktor pencetus. Pada
beberapa individu, kecemasan dapat menjadi pencetus serangan asma. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan serangan
asma pada penderita asma bronkial di BP4 Semarang. Penelitian ini menggunakan
desain studi korelasional dengan pendekatan cross-sectional yang menggunakan
instmmen bempa kuesioner. Subyek penelitian adalah penderita asma bronkial di BP4
Semarang dengan sampel 52 responden. ujf stansftrtc menggunaican C'f)i Square untuk
mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma
bronkial di BP4 Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden tidak
mengalami — kecemasan; 44,2% responden mengalami kecemasan ringan; 19,2% responden
mengalami kecemasan sedang; responden mengalami kecemasan berat dan I responden
mengalami kecemasan sangat berat. Sedangkan responden mengalami serangan asma
ringan; 53,8 0 0 responden mengalami serangan asma sedang dan 2S,S% responden
mengalami serangan asma berat. Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma
bronkial di BP4 Semarang. Penderita asma dianjurkan dapat meminimalkan timbulnya
kecemasan yang menjadi pencetus teijadinya serangan asma. Kata Kunci: Kecemasan,
Serangan Asma, Penderita Asma.
ABSTRACT
Anxiety is a part of life and normal symptom. For people with good adaptation,
anxiety can be handled immediately. If the implemented adaptation inappropriate, it
will affect physical and mental health. Asthma is a respiratory system impairment
which can cause hard breath. Asthma attack usually occur because there is contact
with precipitation factors. For many people, anxiety can precipitate asthma attack.
The purpose of this research was to know corrrelation between anxiety level and
asthma attack among asthma bronchiale clients at BP4 Semarang. The research used
correlational study design with cross- sectional approach and used questionnaire as
an instmment. Research subject was asthma bronchiale clients in BP4 Semarang with
52 respondents as sample. Statistic test used Chi Square to know correlation
between anxiety level and asthma attack among asthma bronchiale clients at BP4
Semarang. Research result showed that 30,80 0 respondents with no amxiety•, 44,2%
respondents with low anxiety; 19,2% respondents with medium anxiety; 3,80 0
respondents with high anxiety and 1,9% respondents with severe anxiety. While
respondents with low asthma attack; 53,S% respondents with medium asthma attack and
2S,8% respondents with severe asthma attack. Statistic analysis result showed
titers was significant corrrerafion between anxiety level and asthma attack among
asthma bronchiale clients at BP4 Semarang. Asthma clients must suggested to
minimalize anxiety which can precipitate asthma attack.
Key word: Anxiety, Asthma Attack, Asthma Clients.
PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan masalah dunia, dengan adanya peningkatan prevalensi baik
pada anak maupun dewasa. Pada tahun 2007 tercatat penderita asma bronkial di
seluruh dunia mencapai 300 juta orang. Di Indonesia, diperkirakan 10% penduduknya
menderita asma bronkial. Sedangkan prevalensi asma bronkial di Semarang mencapai
5,50 0. Hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Februari 2008 di BP4 Semarang
didapatkan data jumlah rata-rata pasien asma bronkial di BP4 Semarang tiap bulan
sebanyak 60 orang (1,2,3).
Jurna1KesMaDaSka, vol 1 No. 1, Juii 2010 (26-33)
Serangan asma umumnya timbul karena adanya pajanan terhadap faktor pencetus,
gagalnya upaya pencegahan, atau gagalnya tatalaksana asma jangka
panjang. Penderita dengan serangan asma akan. mengalami gejala bempa batuk, sesak
napas, mengi, rasa dada teltekan yang timbul dalam berbagai derajat dari ringan
sampai berat yang dapat mengancam jiwa (4,15).
Pada beberapa individu, stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma dan bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Stres dapat mengantarkan
seseorang pada tingkat kecemasan sehingga memicu dilepaskannya histamin dan
leukotrien, yang menyebabkan penyempitan saluran napas dimana ditandai dengan sakit
tenggorokan dan sesak napas, yang pada gilirannya bisa memicu serangan asma
(5,6,7,8,9).
Berdasarkan fenomena dan data- data di atas, maka peneliti teltarik untuk melakukan
suatu penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada
penderita asma bronkial di BP4 Semarang.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada
penderita asma bronkial di BP4 Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan tingkat kecemasan yang dialami penderita asma bronkial di BP4
Semarang.
b. Menggambarkan serangan asma yang teijadi pada penderita asma bronkial di BP4
Semarang.
C. Menggambarkan hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma pada penderita
asma bronkial di BP4 Semarang.
Manfaat Penelitian
I. Bagi Penderita Asma dan Keluarga Penelitian ini diharapkan dapat menambah
pemahaman penderita asma bronkial maupun keluarganya tentang tingkat kecemasan
terutama dalam hubungannya dengan serangan asma serta mendorong klien dan keluarga
agar dapat menerapkan strategi antisipasi untuk mencegah timbulnya serangan asma.

2. Bagi Perawat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan atau informasi
kepada perawat tentang hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma sehingga
dapat bermanfaat dalam penatalaksanaan pasien asma bronkial yang lebih ditinjau
dari segi emosional atau kecemasan pada penderita asma bronkial.
3. Ragi Pengelola BP4 Semarang Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi kepada pengelola BP4 Semarang tentang hubungan tingkat kecemasan dengan
serangan asma pada penderita asma bronkial sehingga dapat diaplikasikan dalam
rangka penatalaksanaan dan pencegahan serangan asma.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman sekaligus latihan bagi
peneliti dalam pelaksanaan suatu penelitian, dan juga diharapkan dapat membekali
peneliti pada masa yang akan
datang,serta menambah pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan tingkat kecemasan
dengan serangan asma.
CARA PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain studi korelasional dengan pendekatan cross-
sectional yang menggunakan instmmen bempa kuesioner. Subyek penelitian adalah
penderita asma bronkial di BP4 Semarang dengan sampel sebanyak 52 responden. Uji
statistik dengan menggunakan Chi Square untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan
dengan serangan asma pada penderita asma bronkial di BP4

Hubungan tingkat kecemasan dengan serangan asma penderita asma.... (R K. Haq)


HASIL PENELITIAN
I. Jenis Kelamin Responden
Tabel
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kalamin pada Penderita Asma Bronkial
di BP4 Semarang Bulan April
No Jenis Kelamin Jumlah Presentase
2 Laki-laki
Perempuan 12
Total 52 10096
Berdasarkan tabel 1.1 teriihat bahwa (76,9%) dan responden laki-laki
responden perempuan berjumlah 40 berjumlah 12 (23,1%).
2. Umur Responden
Tabel 1.2
Distribusi Frekuensi Responden Menunıt Umur pada Penderita Asma Bronkial di BP4
Semarang Bulan April 2008(N 52)
No. Kelompok umur (tahun) Jumlah Presentase
2
3
4 15-24
25-44
45-64
764 3
14
26
5
Tot 52 100%

Berdasarkan tabel 1.2 teriihat bahwa responden benımur 45-64 tahun sebanyak 26
responden sedangkan responden yang benımur 2544 tahun sebanyak 14 responden
(26,9%), '64 tahun sebanyak 5 responden (I I dan responden benımur 15-24 tahun
sebanyak 3 responden

Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Serangan Asma pada Penderita Asma Bronkial di BP4
Semaran
Tabel
Hubungan Tingkat Kecemasan den BF4 an Serangan Asma pada Penderita Asma Bronkial di
Semaran
Variabel Serangan Asma 1
Ringan Sedang Berat
Tingkat
Kecemasan Tidak
Ada kecemasan 5 11 16
31,3% 0% 100%
Ringan 4 12 7 23
17,4% 52,20 0 30,4% 100%
Sedang 5 5 10
0% 50% 100%
Berat 2 2
0% 0% 100% 100%
Sangat
Berat 1 1
0% 0% 100% 100%
Total 9 28 15 52
17,3% 53,8% 28,8% 100%

Hasil analisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma di'peroleh
bahwa sebanyak 7 responden dengan kecemasan ringan (30,4%) mengalami serangan asma
berat, 5 responden dengan kecemasan sedang (50%) mengalami serangan asma berat, 2
responden dengan kecemasan berat (100%) mengalami serangan asma berat dan responden
dengan kecemasan sangat berat (100%) mengalami serangan asma berat.
Hasil uji Chi Square didapatkan nilai X2 sebesar 17,814 dan p value 0,023. Dari
hasil tersebut menunjukkan bahwa X2 hitung lebih besar dari X2 tabel (17,814 >
15,507) dan p value lebih kecil dari 0,05 sehingga Ho ditolak yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan serangan asma pada
penderita asma bronkial di BP4 Semarang. Hubungan tingkat kecemasan dengan serangan
asma penderita asma (R.K. Haq)
PEMBAHASAN: Reponden dalam penelitian ini adalah penderita asma bronkial di BP4
Semarang pada bulan April 2008 dengan jumlah responden sebanyak 52 orang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 76,9% responden berjenis kelamin perempuan Idan 23,1%
responden berjenis kelamin laki-laki. Kecendenłngan asma lebih sering terjadi
pada perempuan dibanding pria disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon. Penelitian
menunjukkan bahwa kebanyakan perempuan mengalami gejala asma dalam minggu-minggu
sekitar menstnłasi dengan puncak gejala umumnya terjadi pada tiga hari menjelang
menstnłasi.Asma yang terjadi pada perempuan juga berkaitan dengan masa menopause
dimana terjadi penunłnan level hormon estrogen yang menyebabkan menunłnnya fungsi
organ tubuh termasuk pani, sehingga menyebabkan rentan terhadap oenvakit
pernapasan, salah satunya adalah asma (10,11).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55,8% responden adalah benłmur 45-64 tahun. Pada
usia ini terjadi perkembangan dan penłbahan yang cepat yang mempenganłhi
hipotalamus dan mengakibatkan produksi koftisol menunłn yang berhubungan dengan
kelainan inflamasi yang umumnya terjadi pada penderita asma. Responden benłsia 25-
44 tahun sebanyak 26,9%. Asma yang terjadi pada usia ini biasanya disebabkan karena
faktor pekerjaan atau lingkungan kerja dimana lingkungan pekerjaan tersebut
memudahkan penderita asma terpapar oleh alergen. Sedangkan 11,5% responden adalah
benłsia >64 tahun. Pada usia lanjut terjadi beberapa penłbahan yaitu penłbahan
anatomi-fisiologi sistem pernapasan, penłbahan daya tahan tubuh, pembahan metabolik
tubuh, dan penłbahan lainnya yang memudahkan timbulnya penyakit pernapasan, salah
satunya adalah asma. Responden yang benłsia 15-24 tahun sebanyak 5,80 0. Asma pada
usia ini dapat terjadi karena faktor ketunłnan dan alergi (5,6, 12, 13).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44,2% responden mengalami kecemasan ringan;
30,8% responden tidak mengalami kecemasan; 19,2% responden mengalami kecemasan
sedang; 3,8% responden mengalami kecemasan berat dan 1,9% responden mengalami
kecemasan sangat berat.
Jurnal KesMaDaSka, VOI I No. l, Juii 2010 (2633)
30
Gejala kecemasan yang sering dirasakan oleh responden adalah perasaan cemas,
gelisah, sukar masuk tidur, tidur tidak nyenyak, bangun dini hari, sukar
konsentrasi, daya ingat menurun, sakit dan nyeri otot, berdebar-debar, rasa
tertekan atau sempit di dada, sering buang air kecil, mudah berkeringat dan kepala
terasa pusing.
Kecemasan ringan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan Iahan
persepsinya dan kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal
yang penting serta mengesampingkan yang lain. Sedangkan kecemasan berat membuat
individu tidak mampu memecahkan masalahnya dan terjadi gangguan fungsional, dan
kecemasan sangat berat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan dapat membahayakan
dirinya (14).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53,8% responden mengalami serangan asma sedang;
28,8% responden mengalami serangan asma berat dan 17 ,3% responden mengalami
serangan asma ringan. Gejala serangan asma yang sering dirasakan oleh responden
adalah sulit bernapas, suara mengi (bunyi ngik-ngik), dada terasa sempit, bernapas
dengan terengah-engah, dada terasa tertekan, sulit mengucapkan kata atau kalimat,
dan kesadaran terhadap sekeliling berkurang.
Serangan asma umumnya timbul karena adanya pajanan terhadap faktor pencetus,
gagalnya upaya pencegahan, atau gagalnya tatalaksana asma jangka panjang. Meskipun
serangan asma jarang yang fatal, kadang terjadi reaksi yang lebih berat, yang
disebut status asmatikus yaitu asma yang berat dan persisten yang tidak berespon
terhadap terapi konvensional dimana serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam
(4,15). Prinsip umum pengobatan asma adalah menghilangkan obstnłksi jalan napas
dengan segera, mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan
serangan asma, memberikan penjelasan kepada
penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma baik pengobatannya maupun
tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengefti tujuan pengobatan yang
diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnya (6,16).
Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tingkat
kecemasan dengan serangan asma pada penderita asma bronkial di BP4 Semarang.
Kecemasan dapat menjadi pencetus serangan asma atau memperberat serangan asma yang
sudah ada. Kecemasan mempakan respon individu terhadap stres yang dapat memicu
dilepaskannya histamin dan leukotrien, menunnkan produksi k01tisol dan menumnkan
sistem imun, yang bisa memicu serangan asma. Serangan asma selain dicetuskan karena
adanya kecemasan, juga dapat dicetuskan oleh faktor-faktor lain sepefti alergen,
penlbahan cuaca, lingkungan kerja. olahraga atau aktifitas jasmani yang terlalu
berat, dan infeksi saluran pernapasan

Peran perawat dalam membantu individu atau klien dengan asma bronkial untuk
menghindari atau meminimalkan kecemasan adalah mendorong individu untuk
mengembangkan strategi pencegahan dan penatalaksanaan kecemasan misalnya dengan
memanfaatkan support system (sistem pendukung), sumber koping dan strategi koping.
Sedangkan peran perawat dalam membantu individu untuk menghindari akibat stres
adalah dengan mengajarkan penerapan manajemen stres dan tekink relaksasi.
Individu dapat menggunakan support system seperti keluarga, teman atau rekan kerja
yang dapat memberikan dukungan emosional sehingga sangat bermanfaat bagi seseorang
yang mengalami kecemasan atau stres. individu juga dapat mengatasi kecemasan dengan
menggerakkan sumber koping meliputi kesehatan fisik atau energi, pandangan positif,
keterampilan memecahkan masalah,
dukungan sosial dan materi, yang dapat membantu individu dalam
Hubungan tingkat kecemasan den an serangan asma pehderita asma.... (R.k Haq)
asma tentang kecemasan yang dialami. 9. . Stres bisa timbulkan
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan kecemasan dan mengadopsi strategi
koping yang berhasil (18,19).
Strategi koping mempakan proses dimana individu bemsaha menangani situasi stres
dengan cara melakukan pembahan kognitif maupun perilaku untuk memperoleh rasa aman
dalam dirinya. Strategi koping dapat berbentukproblem solvingfocused coping, dimana
individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi
atau situasi yang menimbulkan stres atau kecemasan; dan emotion focused coping,
dimana individu melibatkan usahausaha untuk mengatur emosinya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau
situasi yang penuh tekanan (19).
Upaya untuk menghindari akibat stres dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen
stres dan teknik relaksasi. Manajemen stres dapat dilakukan dengan menjaga kondisi
tubuh dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman-yang sehatr tidur dan istirahat
cukup, olahraga teratur, berpikir positif, melakukan hobi atau hal positifyang
menyenangkan, tidak terpaku pada mtinitas, dan bersosialisasi dengan teman atau
lingkungan (20,21). SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Responden
terbanyak mengalami kecemasan ringan, diikuti responden dengan tidak ada kecemasan,
responden dengan kecemasan sedang, responden dengan kecemasan berat, dan reponden
paling sedikit mengalami kecemasan sangat berat.
2. Responden terbanyak mengalami serangan asma sedang, diikuti responden dengan
serangan asma berat, dan responden

B. Saran Itid=204&ltemid=3. Diakses 21 Febmari 2008.


4. . Tatalaksana serangan asma.
l . Bagi Penderita Asma dan Keluarga http ://www.pediatrik.com/ilmiah
pop
Dianjurkan pada penderita asma maupun ularv-fexu16-ilmiah-
popular.doc. Diakses 29
keluarganya dapat menerapkan upaya - untuk meminimalkan timbulnya
Febmari 2008.
5. . Penyebab penyakit asma
kecemasan pada penderita asma yang dapat dan faktor pencetus serangan
asma. 2006.
menjadi pencetus terjadinya serangan asma. http://www.medicastro.
com/asma/penvebab asma.html. Diakses 29
2. Bagi Perawat
Dianjurkan kepada perawat dalam Januari 2008.
memberikan asuhan keperawatan pada pasien 6. Tanjung D. Asuhan keperawatan
asma bronchial.
asma sebaiknya juga memperhatikan segi 2003.
emosional atau tingkat kecemasan pasien sehingga dapat membantu menangani
atau http://librgry.usu.ac.id/download/tk/
meminimalkan serangan asma yang terjadi keperawatan dudut2.pdf.
Diakses 29 Januari
pada penderita asma. 2008.
3. Bagi Pengelola BP4 Semarang Dianjurkan 7. Sudhita R. Pencetus asma ada
dimana-mana. 3
kepada pengelola BP4 Semarang untuk Juli 2005.
memperhatikan dan memahami tingkat http:
www.balipost.co.id/BaliPostcet
kecemasan pasien dalam pengelolaan pasien asma temtama dalam rangka
pengobatan ak/2005/7/3/ke15 .html. Diakses 29 Januari 2008.
maupun pencegahan serangan asma. 8. . Gangguan jiwa. 7 Januari
4. Ragi Penelitian Selanjutnya Diharapkan untuk 2003.
peneliti selanjutnya agar dapat melakukan http: pdpersi.co.id/?
show=detailne
penelitian ini secara kualitatif sehingga dapat
ws&kode=2009&tbl=cakrawala. Diakses 24
menggali informasi lebih dalam dari penderita Januari 2008.

Journal of Telenursing (JOTING) Volume 3, Nomor l, Juni 2021 e-ISSN: 2684-8988


p-1SSN: 2684-8996 gyMewe
DOI: https://doi.org/10.31539 joting.v3il .2113
PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER MENINGKATKAN SATURASI OKSIGEN PASIEN PPOK
Ni Made Dwi Yunica Astriani l , Putu Wahy,l Sri Juniantari Sandy2,Made Mahaguna
Putra3 , Mochamad 1--1er1 Sekolah Tinggi 11mu Kesehatan Buleleng172,374
astrianiyanicaI@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui keefektifan pemberian posisi Semi
Fowler terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK. Desain penelitian menggunakan
rancangan One Group Pre-Post Test Design. Hasil penelitian pada 30 responden PPOK
menunjukkan bahwa rata-rata nilai saturasi oksigen sebelum diberikan posisi Semi
Fowler yaitu 89,47. Setelah diberikan posisi Semi Fowler selama 30 menit, rata-rata
nilai saturasi oksigen pasien PPOK mengalami peningkatan yaitu 95,83. Berdasarkan
hasil dari uji paired t-test menunjukkan bahwa hasil sig (2-tailed) atau nilair
0,0001. Simpulan, terdapat peningkatan antara nilai saturasi oksigen setelah
diberikan posisi Semi Fowler.
Kata Kunci: PPOK, Saturasi Oksigen, Semi Fowler
ABSTRACT
This study aims to determine the effectiveness of the Semi Fowler position on
oxygen saturation in COPD patients. The research design used the One Group Pre-Post
Test Design. The research results on 30 COPD respondents showed that the average
value of oxygen saturation before being given the Semi Fowler position was 89.47.
After being given the Semi Fowler position for 30 minutes, the average oxygen
saturation value of COPD patients increased, namely 95.83. The results of the
paired t-test show that the results are sig (2-tailed) or the value of r 0.0001. In
conclusion, there is an increase in the oxygen saturation values after being given
the Semi Fowler position.
Keywords: COPD, Oxygen Saturation, Semi Fowler
PENDAHULUAN
Prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2% pada tahun
2013 menjadi 9,1 0 0 pada tahun 2018. Prevalensi merokok di Bali meningkat dari 20%
pada tahun 2013 dan 23,5% tahun 2018 (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Penyakit
Parm Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
terhambatnya arus udara pernafasan dan bersifat tidak menular. ISPA di Kabupaten
Buleleng mempakan penyakit yang tidak menular dan menduduki peringkat kedua dengan
13.240 kasus (Dinas Kesehatan, 2019). Terapi farmakologis PPOK dapat diberikan
dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak/mukus. Adapun terapi non farmakologis
PPOK dapat diberikan dengan relaksasi nafas dan penlbahan posisi.
Nebuli:er dan posisi Semi Fowler dapat diberikan secara bersama-sama untuk dapat
membuka jalan nafas (Ummah & Alivian, 2020).
Tanda dan gejala yang dialami pasien PPOK adalah sesak nafas secara kronis dan
menahun serta batuk-batuk (J et al., 2020; Padila et al., 2020). Batuk yang di
rasakan oleh pasien PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok yang dilakukan oleh
kebanyakan laki-laki sehingga angka kejadian PPOK sebagian beşar terjadi pada laki-
laki (Astriani et al., 2020; Padila et al., 2019; Pratama et al., 2019). Upaya yang
dilakukan untuk menurunkan sesak nafas yaitu dengan terapi non farmakologis. Salah
satu nya adalah pemberian posisi Semi Fowler. Penelitian yang dilakukan oleh
Sahrudi & Satria (2020) mengenai pemberian posisi Semi Fowler pada 20 orang
responden penderita asma bronkial menunjukkan bahwa terjadi penurunan frekuensi
nafas dari 28x/menit menjadi 21x/menit. Posisi Semi Fowler bisa meningkatkan
ekspansi paru dan menurunkan frekuensi sesak napas dikarenakan dapat membantu otot
pemapasan mengembang maksimal.
Studi pendahuluan yang dilakukan di RS Santi Graha menunjukkan bahwa jumlah
penderita PPOK dalam dua bulan terakhir yaitu sebanyak 60 orang, dimana rata-rata
kunjungan penderita PPOK setiap bulan sebanyak 30 orang. Hasil observasi pada 5
pasien PPOK memperlihatkan bahwa rata-rata nilai saturasi pasien PPOK yang baru
berobat ke İGD adalah kurang dari 90%. Selain itu, tiga orang pasien di İGD yang
diwawancara menyatakan bahwa ketika maşuk ke RS, mereka langsung dipasang 02 dan
masih merasa kurang nyaman. Begitu juga saat pasien merasa sesak, mereka hanya
dipasang 02.
Sejauh ini belum ada penelitian yang mengkaji tentang pemberian posisi Semi Fowler
dalam meningkatkan saturasi oksigen pasien PPOK. Dengan adanya permasalahan yang
telah dijabarkan oleh peneliti di ataş, maka peneliti tertarik untuk mencoba
menerapkan posisi Semi Fowler untuk meningkatkan nilai saturasi oksigen pasıen.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini memberikan perlakuan atau intervensi pada objek yang akan diteliti.
Penelitian ini menıpakan penelitian eksperimen, dimana Sübjek penelitiannya adalah
pasien PPOK di RS Santi Graha. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik
purposive sampling. Peneliti menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang
dipandang dapat memberikan data secara maksimal dengan jumlah sampel 30 orang
responden. Desain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu One Group Pre-Test dan
Post-Test. Pre-test dilakukan untuk mengetahui nilai saturasi oksigen pada pasien
PPOK sebelum diberikan posisi Semi Fowler. Setelah itu, peneliti menerapkan posisi
Semi Fowler pada pasien PPOK selama 30 menit dan dilakukan post-test untuk melihat
penıbahan saturasi oksigen. Kaji etik dalam penelitian ini dilakukan oleh Komite
Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Sekolah Tinggi limu Kesehatan Buleleng.
HASIL PENELITIAN
Tabel. 1
Distribusi Frekuensi Usia
Umur Jumlah Persentase (%)
40_45
46-50
51-55 7
14
9 23.3
46.7
30
Total 30 100
Berdasarkan tabel l, data menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 46-50
tahun sebanyak 14 orang (47%) dan terendah adalah pada umur 40-45 tahun yaitu
sebanyak 7 orang (23%).
Tabel. 2
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin
Usia Frekuensi (f) Persentase (0/0)
Laki-laki
Perempuan 23
7 76.7
23.3
Total 30 100
Berdasarkan tabel 2, data memperlihatkan bahwa distribusi frekuensi responden
berdasarkan jenis kelamin sebagian besar adalah berjenis kelamin laki-laki yang
berjumlah 23 orang (77%) dan 7 orang (23%) responden berjenis kelamin perempuan.
Tabel. 3
Saturasi Oksigen Responden
Sebelum Diberikan Posisi Semi Fowler
N Mean Min Mar SD
Pre-rest 30 89,47 87 93 1,697 88,83 - 90,10
Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa rata-rata nilai saturasi oksigen pasien PPOK
sebelum diberikan posisi Semi Fowler dari 30 responden adalah 89,47 (95% CI:
88,8390,10) dengan standar deviasi 1,697. Nilai saturasi oksigen terendah adalah
sebesar 87 dan tertinggi yaitu 93.
Tabel. 4
Saturasi Oksigen Responden
Setelah Diberikan Posisi Semi Fowler
N Mean Min SD
Post-rest 30 95,83 92 2,214 95,01 - 96,66
Berdasarkan tabel 4, data menunjukkan bahwa rata-rata nilai saturasi oksigen
setelah diberikan posisi Semi Fowler dari 30 responden adalah 95,83 (95% CI:
95,0196,66) dengan standar deviasi 2,214. Nilai saturasi oksigen terendah adalah 92
dan tertinggi yaitu 100.
Tabel. 5
Hasil Analisis Pre dan Post-Test dengan Menggunakan Program Kompüter
Mean p- Value
Pair I Pre-Test 89,47 0,000
Post-Test 95,83 0,000
Berdasarkan tabel 5, data menunjukkan bahwa ada penganıh yang signifikan pada
pelaksanaan intervensi Posisi Semi Fowler terhadap saturasi oksigen pasien PPOK.
Hasil perhitungan dengan program kompüter menunjukkan p-value 0,000 maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaıuh Posisi Semi Fowler terhadap saturasi oksigen
pasien PPOK Rumah Sakit Santi Graha.
PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Responden pada penelitian ini yaitu sebanyak 30 orang penderita PPOK dengan usia
40-55 tahun yang mengalami hipoksemia. Dengan karakteristik umur responden, yang
paling banyak menderita PPOK yaitu rentang umur 46-50 tahun. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan pada 30 orang pasien PPOK di Rumah Sakit Paru dr. Ario
Wirawan Salatiga yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 15 orang pada kelompok posisi
Tripod dan 15 orang pada Diaphragmatic Breathing Exercise. Penderita PPOK berada
pada usia 56-65 tahun. Penelitian tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi usia
seseorang semakin beşar juga resiko untuk terkena penyakit PPOK (Nurmalasari et
al., 2017).
Jumlah penderita PPOK pada penelitian ini dominan pada laki-laki yaitu sebanyak 23
orang (76,7%). Hasil ini membuktikan bahwa PPOK banyak menyerang laki-laki
dibandingkan perempuan. Hal ini di karenakan laki-laki memiliki kebiasaan merokok.
Konsumsi rokok yang berlebihan dapat merangsang prodüksi mukus pada sistem
pemafasan yang kental yang dapat menurunkan pergerakan udara, sehingga menimbulkan
pertumbuhan mikroorganisme. Penelitian yang dilakukan oleh Astriani et al., (2020)
pada 30 orang responden PPOK di RSUD Kabupaten Buleleng menunjukkan 73,3% pasien
PPOK diderita oleh laki-laki. Pada umumnya PPOK dapat terjadi pada laki-laki dan
perempuan, tetapi laki-laki lebih beresiko dan insidennya lebih banyak.
Nilai Saturasi Oksigen sebelum Pemberian Posisi Semi Fowler
Nilai saturasi oksigen pada pasien PPOK dari 30 orang responden sebelum diberikan
posisi Semi Fowler menunjukkan nilai rata-rata saturasi oksigen yaitu 89,47. Data
ini menunjukkan nilai saturasi oksigen pada pasien PPOK sebelum diberikan posisi
Semi Fowler sebagian beşar mengalami hipoksemia sedang. Hal ini dikarenakan selain
pemberian nebuli:er untuk mengencerkan secret, sangat penting juga untuk memberikan
therapy batuk efektif dan pemberian posisi yang nyaman seperti posisi Semi Fowler
yang dapat memudahkan pasien dalam mengeluarkan secret. Sebelum diberikan posisi
Semi Fowler sebagian beşar pasien PPOK mengalami hipoksemia sedang. Hal ini
berkaitan dengan faktor-faktor yang mempenganıhi hipoksemia pada penderita PPOK
antara lain faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor-faktor yang tidak
diketahui.
Faktor Lingkungan seperti kebiasaan merokok, polusi udara dan pemajanan di tempat
kerja. Faktor-faktor lain yang tidak diketahui seperti jenis kelamin dan status
sosial ekonomi. Penderita PPOK pada umumnya mengalami batuk-batuk, sesak nafas
secara kronis dan menahun. Gejala tersebut diakibatkan oleh tumpukan mukus yang
kental dan mengendap menyebabkan obstruksi jalan nafas yang mengakibatkan asupan
oksigen tidak adekat sehingga terjadi penurunan saturasi oksigen. Penyembuhan PPOK
secara medis tidak bisa secara tuntas, sehingga untuk mengencerkan mukus dilakukan
dengan memberikan inhalasi atau nebulizer.
Selain itu, penderita PPOK juga diberikan therapy batuk efektif dan pemberian
posisi yang nyaman untuk memudahkan mengeluarkan secret sehingga jalan nafas
menjadi lancar dan peningkatan saturasi oksigen. Penelitian pada 29 responden
pasien PPOK dari bulan April-Juni 2019 di RS Islam Jakarta Cempaka Putih untuk
melihat nilai saturasi oksigen dengan pemberian pemberian fisioterapi dada, batuk
efektif dan nebulizer. Rata-rata saturasi oksigen sebelum diberikan intervensi 93
dan setelah diberikan intervensi nilai saturasi oksigen sebesar 97. 1--1al ini
membuktikan bahwa pemberian fisioterapi dada, batuk efektif dan nebulizer sangat
efektif diberikan pada klien dengan pasien PPOK (Nurmayanti et al., 2019).
Nilai Saturasi Oksigen sesudah Pemberian Posisi Semi Fowler
Nilai saturasi oksigen pada pasien PPOK dari 30 orang responden setelah diberikan
posisi Semi Fowler selama 30 menit menunjukkan nilai rata-rata 95,83. Data ini
menunjukkan nilai saturasi oksigen pada pasien PPOK setelah diberikan posisi Semi
Fowler sebagian besar mengalami peningkatan saturasi oksigen menjadi Sa02 normal.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian posisi Semi Fowler mampu meningkatkan saturasi
oksigen dengan memudahkan mengeluarkan secret dan melancarkan jalan nafas.
Tindakan untuk mengatasi penurunan saturasi oksigen adalah pemberian terapi baik
terapi farmakologi maupun terapi non farmakologi. Terapi farmakologi sepelti
bronkodilator, steroid dan obat-obat tambahan lainya. Sedangkan terapi non
farmakologi yaitu terapi oksigen jangka pajang dan rehabilitasi seperti latihan
pernafasan serta pemberian posisi nyaman. Salah satu posisi nyaman yang diberikan
pada pasien PPOK adalah posisi Semi Fowler. Pengaturan posisi Semi Fowler 45 sangat
efektif pada penyakit kardiopulmonari. Metode tersebut dapat mengurangi sekresi
pulmonar dan mengurangi resiko penurunan dinding dada. Penelitian yang dilakukan
oleh (khasanah, 2019) pada 38 pasien CHF mengetahui perbedaan respirasi rate (RR)
dan saturasi oksigen (Sa02) pada posisi Head Up, Semi Fowler dan Fowler. Rerata
saturasi oksigen (Sa02), dari posisi Head Up ke Semi Fowler mengalami peningkatan
0.5 point dan dari posisi Semi Fowler ke Fowler juga mengalami peningkatan sebesar
0,2 point.
Beberapa penelitian yang dilakukan dapat meningkatkan nilai rata-rata saturasi
oksigen. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Qorisetyartha et al., (2018) pada
38 responden pasien TB Pam RSP dr Ario wirawan Salatiga. Nilai rata-rata saturasi
oksigen sebelum diberikan intervensi adalah 94% dan setelah diberikan intervensi
menjadi 97%. Hal ini menunjukkan bahwa Posisi Semi Fowler dengan Pursed Lip
Breathing efektif untuk meningkatkan saturasi oksigen pasien TB paru. Demikian juga
penelitian yang dilakukan oleh Astriani et al., (2020) pada 15 responden warga
Bungkulan menunjukkan bahwa rata-rata saturasi oksigen tertinggi adalah 99% dan
terendah adalah 91% dengan rata-rata saturasi oksigen sebesar 94,53%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemberian relaksasi nafas dengan ballon blowing dapat
meningkatkan saturasi oksigen pada pasien PPOK.
Pemberian Posisi Semi Fowler terhadap Saturasi Oksigen
Hasil uji analisa data dengan menggunakan uji paired dependent t-test menunjukkan
bahwa nilai (0.0000<0.05). Dengan demikian, ada pengaruh pemberian posisi Semi
Fowler terhadap saturasi oksigen pada pasien PPOK di RS Santi Graha.
Sejalan dengan teori Kozier yang menyatakan bahwa ketika pasien yang mengalami
kesulitan dalam bernapas diberikan posisi Semi Fowler, maka gravitasi akan menarik
diafragma ke bawah, sehingga memungkinkan ekspansi dada dan ventilasi paru yang
lebih besar. Ventilasi maksimal dapat membuka area atelektasis dan pengeluaran
secret melalui jalan nafas. Saat dada mengembang dan tekanan dari abdomen pada
diafragma menurun, maka oksigen di dalam paru-paru juga meningkat. Peningkatan
oksigen di dalam paru-paru membantu memperingan kesukaran nafas dan sekaligus juga
membantu meningkatkan saturasi oksigen serta mengurangi kerusakan membran alveolus
akibat tertimbunnya cairan, sehingga perbaikan kondisi klien lebih cepat. Pemberian
posisi tidur Semi Fowler dapat meningkatkan nilai saturasi oksigen pada penderita
Congestive Heart Failure (Wijayati et al., 2019).
Penelitian yang dilakukan oleh Firdaus et al., (2019) pada 20 responden pasien asma
bronkial menunjukkan adanya peningkatan nilai saturasi oksigen meningkat dari
92,60% menjadi 98% setelah diberikan terapi oksigen dengan posisi Fowler. Studi
kasus Mustikarani & Mustofa (2020) pada 2 orang pasien dengan Stroke Hemoragik juga
menunjukkan adanya peningkatan nilai saturasi oksigen, kasus I meningkat dari 95-
98% dan kasus Il meningkat dari 94-98%. Responden mengalami kenaikan saturasi
oksigen setelah diberikan tindakan head of bed 300. Kebutuhan yang diperlukan
pasien salah satunya adalah oksigenasi untuk meningkatkan suplai oksigen ke otak
melalui pengaturan posisi dan pemberian oksigen. Posisi Semi Fowler juga dapat
menurunkan sesak nafas yang dialami oleh pasien PPOK. Posisi Semi Fowler, dimana
kepala dan tubuh dinaikkan 450 membuat oksigen di dalam paru-paru semakin meningkat
sehingga memperingan kesukaran napas (Suhatridjas & Isnayati, 2020).
Penelitian Amiar & Setiyono (2020) pada 12 responden pasien TB Pani menunjukkan
adanya perubahan nilai saturasi oksigen setelah diberikan Semi Fowler yaitu dari
92,83% menjadi 95, 17%. Derajat kemiringan Semi Fowler 300 -45 0 ini dapat membantu
pengembangan paru dan mengurangi tekanan abdomen dari diafragma hanya dengan gaya
gravitasi. Penelitian oleh Yulia et al., (2019) pada 30 responden pasien asma yang
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok I tidak diberikan intervensi dan kelompok
2 diberikan intervensi nafas dalam dan posisi Semi Fowler. Nilai saturasi oksigen
sebelum diberikan intervensi yaitu 93, 1% menjadi 98,3% setelah intervensi.
Modifikasi posisi Semi Fowler dan teknik relaksasi nafas dapat meningkatkan oksigen
dalam darah serta ventilasi paru dalam pemberian asuhan keperawatan.
SIMPULAN
Posisi Semi Fowler efektif dalam meningkkatkan saturasi oksigen pada pasien PPOK.
Metode tersebut dapat mengurangi sekresi pulmonar dan mengurangi resiko penurunan
dinding dada. Posisi Semi Fowler bisa meningkatkan expansi paru dan menurunkan
frekuensi sesak napas dikarenakan dapat membantu otot pernapasan mengembang
maksimal.
SARAN
Diharapkan masyarakat yang mengalami kesukaran napas akibat PPOK untuk mampu
mengatur posisi Semi Fowler saat istirahat agar mampu meringankan kesukaran napas
secara mandiri dan non-farmakologis. Bagi pelayanan memberikan informasi dalam
pengaplikasian pemberian posisi Semi Fowler sebagai salah satu alternatif untuk
mengurangi kesukaran bernapas akibat PPOK kepada sellilllh profesi keperawatan.
Peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih memperbanyak jumlah sampel dan
mengembangkan variabel yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang lebih variatif dan
memberikan dampak yang positif bagi pengembangan konsep dan ilmu keperawatan dalam
hubungannya dengan pemberian posisi Semi Fowler. Peneliti juga berharap bahwa
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian dasar dalam melaksanakan
penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan topik permasalahan yang sama yaitu
berkaitan dengan saturasi oksigen dan pemberian posisi Semi Fowler.
DAFTAR PUSTAKA
Amiar, W., & Setiyono, E. (2020). Efektivitas Pemberian Teknik Pernafasan Pursed
Lips Breathing dan Posisi Semi Fowler terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen pada
Pasien TB Pam. Indonesian Journal ofNursing Science and Practice, 3(1), 7-13.
https://doi.org/10.24853/ijnsp.v3il.7-13
Astriani, N. M. D. Y., Ariana, P. A., Dewi, P. 1. S., Heri, M., Cita, E. E. (2020).
PKM Pelatihan Relaksasi Nafas Ballon Blowing untuk Meningkatkan Saturasi Oksigen
pada Warga Desa Bungkulan Singaraja. VIVANO: Jurnal Pengabdian Multidisiplin, 2, 1-
7. https: doi.org/10.35799 vivabio.2.2.2020.30279
Astriani, N. M. D. Y., Aryawan, K. Y., & Heri, M. (2020). Teknik Clapping dan
Vibrasi Meningkatkan Saturasi Oksigen Pasien PPOK. Jurnal Keperawatan Silampari,
4(1), 248-256. https://d0i.org/10.31539/jks.v4i1.1767
Astriani, N. M. D. Y., Dewi, P. 1. S., & vanti, K. H. (2020). Relaksasi Pernafasan
dengan Teknik Ballon Blowing terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen pada Pasien
PPOK. Jurnal Keperawatan Silampari, 3 426—435.
https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1049
Dinas Kesehatan. (2019). Profil Kesehatan Kabupaten Buleleng Tahun 2018.
https://www.diskes.baliprov.go.id/download/profil-kesehatan-buleleng-tahun2018
Firdaus, S., Ehwan, M. M., & Rachmadi, A. (2019). Efektivitas Pemberian Oksigen
Posisi Semi Fowler dan Fowler terhadap Perubahan Saturasi pada Pasien Asma Bronkial
Persisten Ringan. JKEP, 4(1), 31_43. https://doi.org/10.32668/jkep.v4il.278
J, H., Padila, P., Andri, J., Andrianto, M., & Yanti, L. (2020). Frekuensi
Pernafasan Anak Penderita Asma Menggunakan Intervensi Tiup Super Bubbles dan Meniup
Baling Baling Bambu. Journal of Telenursing (JOTING), 2(2), 119-126.
https://doi.org/10.31539/joting.v2i2.1409
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar 2018.
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir 519d41d8cd98f00/files/Hasilriskesdas-
2018 1274.pdf
Khasanah, S. (2019). Perbedaan Saturasi Oksigen dan Respirasi Rate Pasien
Congestive Heart Failure pada Perubahan Posisi. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal
Bedah, 2(1), 1-54. https: doi.org 10.32584 jikmb.v2il.157
Mustikarani, A., & Mustofa, A. (2020). Peningkatan Saturasi Oksigen pada Pasien
Stroke Melalui Pemberian Posisi Head Up. Ners Muda, 1(2), 114-119.
https://doi.org/10.26714/nm.vli2.5750
Nurmalasari, S., Kristiyawati, P., & SN, M. S. A. (2017). Efektifitas Diaphragmatic
Breathing Exercise terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen pada Pasien PPOK di RS
Dr Ario Wirawan Salatiga. Jurnal limu Keperawatan dan Kebidanan, 6, 1-12. e-
journal/index.php/ilmukeperawatan/article/view/652
Nurmayanti, N., Waluyo, A., Jumaiyah, W., & Azzam, R. (2019). Pengaruh Fisioterapi
Dada, Batuk Efektif dan Nebulizer terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen dalam Darah
pada Pasien PPOK. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(1), 362-371.
https://doi.org/10.31539/jks.v3il .836
Padila, P., Febriawati, H., Andri, J., & Dori, R. (2019). Perawatan Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita. Jurnal Kesmas Asclepius, 1(1), 25-34.
https://doi.org/10.31539/jka.vlil .526
Padila, P., J, H., Yanti, L., Setiawati, S., & Andri, J. (2020). Meniup super
Bubbles dan Baling-Baling Bamboo pada Anak Penderita Pneumonia. Jurnal Keperawatan
Silampari, 4(1), 112-119. https://doi.org/10.31539/jks.v4il.1545
Pratama, M., Gurning, F., & Suharto, S. (2019). Implementasi Penanggulangan
Tuberkulosis di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan. Jurnal Kesmas
Asclepius, 1(2), 196-205. https: doi.org/10.31539/jka.vli2.961
Qorisetyartha, N., Kristiyawati, S. P., & Arief, M. S. (2018). Efektivitas Pursed
Lips Breathing dengan Diaphragma Breathing terhadap Sa02 Pasien Pneumonia di RSP
Dr. Ariowirawan Salatiga. Jurnal ILmu Keperawatan dan Kebidanan, 6, 1-
15.
http: ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php ilmukeperawatan/article/view 636
634
Sahrudi, S., & Satria, M. (2020). Posisi Semi Fowler Menurunkan Frekuensi Napas.
Jurnal Antara Keperawatan, 3(2), 59-65.
https://doi.org/10.37063/antaraperawat.v3i2.181
Suhatridjas, S., & Isnayati, I. (2020). Posisi Semi Fowler terhadap Respiratory
Rate untuk Menurunkan Sesak pada Pasien TB Paru Jurnal Keperawatan Silampari, 3(2),
566-575. https://d0i.org/10.31539/jks.v3i2.1116
Ummah, A. K., & Alivian, G. N. (2020). Implementation of Pursed Lip Breathing and
Semi Fowler Position in COPD Patients which Get Nebulizer in IGD : A Literature
Review. Jurnal of Bionursing, 2(3), 208-214. https://doi.org/10.20884/bion.v2i3.74
Wijayati, S., Ningrum, D. H., & Putrono, P. (2019). Pengaruh Posisi Tidur Semi
Fowler
45 0 terhadap Kenaikan Nilai Saturasi Oksigen pada Pasien Gagal Jantung
Kongestif di RSUD Loekmono Hadi Kudus. Medica Hospitalia: Journal of
Clinical Medicine, 6(1), 13-19. https://d0i.org/10.36408 nmjcm.v6i1.372
Yulia, A., Dahrizal, D., & Lestari, W. (2019). Pengalllh Nafas Dalam dan Posisi
terhadap Saturasi Oksigen dan Frekuensi Nafas pada Pasien Asma. Jurnal Keperawatan
Raflesia, 1(1), 67-75. https://d0i.org/10.33088 jkr.v1i
PENGARUH PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP RESPIRATION RATE PADA PASIEN ASM4
BRONKIAL DI PUSKESMAS AIR UPAS KETAPANG
1) 2)
Luhur Arifian , Joko Kismanto
2Prodi Kedokteran Keluarga Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
mister loe@yahoo.co.id
2Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
c.endang@yahoo.com
ABSTR4K
Padapenyakit asma, serangan umumnya datangpada malam hari, tetapi dalam keadaan
berat serangan dapat terjadi setiap saat tidak tergantung vaktu. Inspirasipendek
dan dangkal, mengakibatkan penderita menjadi sianosis, wajahnya pucat dan lemas,
serta kulit banyak mengeluarkan keringat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pemberian posisi Semi fowler terhadap respiration rate pada pasien asma
bronkial di Puskesmas Air Upas Ketapang
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi
Eksperimental dengan Pre and post test with control group design. Populasi dalam
penelitian ini adalah sejumlah 48 orang yang mengalami asma bronkial di Puskesmas
Air Upas Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Pemilihan sampel dilakukan dengan
metode purposive sampling denganjumlah sampel pada penelitian ini adalah 42
responden. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan uji Wilcoxon dengan nilai p value 0, 000 sehingga ada
pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap respiration rate pada pasien asma
bronkial di Puskesmas Air
Upas Ketapang
Kata Kunci: posisi semifowler, respiration rate, asma bronkial
ABSTR4CT
In asthma, the attacks usually come at night, but in a state ofsevere attacks can
occur at any time does not depend on time. Inspiration short and shallow, resulting
in the patient became cyanotic, hisface pale and limp, and skin a lot ofsweat. This
study aimed to determine the effect ofsemifowlerposition against respiration rate
in patients with bronchial asthma in the Main Clinic Air Upas Ketapang. This
research used the quasi experimental quantitative method with the pre andpost test
with control group design. It's population was 48 asthma sufferers at the main
clinic Air Upas Ketapang ofwest Borneo. The sanples ofresearch were determined
through the purposive sampling technique and consisted of 42 respondents who were
divided into hvo groups: 21 in the control group and 21 in the experimental group.
The data ofresearch were analyzed by using the Wilcoxon 's analysis. The results
showed the Wilcoxon test with p value of 0.000 so that there is the effect ofsemi
fowler position against respiration rate in patients with bronchial asthma in the
Main Clinic Air Upas Ketapang. Keywords: position semifowler, respiration rate,
bronchial asthma
1. PENDAHULUAN
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi saluran nafas yang dapat menyerang semua
kelompok umur. Asma ditandai dengan serangan benllang sesak napas dan mengi, yang
bervariasi setiap individunya dalam tingkat keparahan dan frekuensi (Somantri,
2009). Asma mempakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas. Dasar penyakit ini
adalah hiperaktivitas bronkus dan obstmksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan
pemapasan (sesak), batuk produktif temtama pada malam hafi atau menjelang pagi, dan
dada terasa teitekan (Depkes, 2013).
Pada penyakit asma, serangan umumnya datang pada malam hafi, tetapi dalam keadaan
berat serangan dapat teljadi setiap saat tidak tergantung waktu. Inspirasi pendek
dan dangkal, mengakibatkan penderita menjadi sianosis, wajahnya pucat dan lemas,
seña kulit banyak mengeluarkan kefingat. Bentuk thorax terbatas pada saat inspirasi
dan pelgerakannya pun juga terbatas, sehingga pasien menjadi cemas dan bemsaha
untuk bemafas sekuat-kuatnya (Kumoro, 2008). Pelaksanaan keperawatan dalam
pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan tempat tidur ofihopedik
dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung, sehingga dapat
memberi kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak nafas pada pasien
asma saat terjadi serangan (Ruth, 2012).
Pada tahun 2008, WHO (World Health Organization) mencatat sebanyak 300 juta orang
menderita asma dan 225 ribu penderita meninggal karena asma diselumh dunia. Angka
kejadian asma 800 0 terjadi di negara berkembang yang diakibatkan kemiskinan,
rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan fasilitas pengobatan. Angka kematian
yang disebabkan oleh penyakit asma diselumh dunia diperkirakan akan meningkat 200 0
pada 10 tahun kedepan, jika tidak terkontrol dengan baik. Prevalensi asma di selumh
dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun
terakhir ini meningkat sebesar 50% (PDPI, 2014).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat tahun 2008 ada 300 juta pasien asma di
selumh dunia. Indonesia sendiri memiliki 12,5 juta pasien asma. 95% diantaranya
adalah pasien asma tak terkontrol (Widodo, 2009). Jeremy (2006) mengemukakan bahwa,
satu dari tujuh orang di Inggris memiliki penyakit alergi dan lebih dari 9 juta
orang mengalami mengi dan sesak nafas. Dalam 12 tahun terakhir ini jumlah usia
dewasa yang mengalami penyakit asma hampir dua kali lipat dañ usia anak-anak
Pada tahun 2013, RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) mencatat prevalensi Asma masih
yang teñinggi sebanyak 4,5% dañ total penduduk di Indonesia (Depkes, 2013)
Prevalensi asma di Kalimantan Barat mencapai 4,3 % dari total penduduk Kalimantan
Barat. Prevalensi asma bronkial di Ketapang mencapai 4.318 orang pada tahun 2012
(Dinkes, 2012).
Hyperventilation yang diikuti dengan kecemasan mempakan gejala yang sering
ditemukan pada penderita asma, sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi jalan nafas
(PDPI, 2014). Penebalan dinding jalan nafas karena remodellingjalan nafas meningkat
dengan tajam dan berkontribusi terhadap obstmksi aliran udara. Pemafasan yang
sepefii ini berkontfibusi dalam kerentanan dan kelemahan tubuh terhadap berbagai
macam penyakit dan berhubungan erat dengan cara bemafas yang efektif dan benar
(Zara, 2012).
Gejala asma yang paling umum adalah batuk. Batuk umumnya teljadi di malam hari,
dini hafi, saat cuaca dingin, dan saat beraktivitas fisik. Napas yang terdengar
sepelti bunyi peluit juga kesulitan bemapas. Gejala asma akan berlangsung selama 2-
3 hafi, atau bahkan lebih. Setelah serangan asma membaik, pendefita akan
membutuhkan pereda serangan (reliever) 3-4 kali per hari hingga batuk dan mengi
menghilang (Nugroho, 2011).
Pengobatan untuk asma dibedakan atas dua macam yaitu pengobatan secara fannakologis
dan non fannakologis. Terdapat dua golongan medikasi secara faunakologis yakni
pengobatan jangka panjang dan pengobatan cepat atau quick reliefsebagai pereda
gejala yang dikombinasikan sesuai kebutuhan (PDPI, 2014). Bentuk pengobatan
nonfannakologis adalah pengobatan komplementer yang meliputi breathing technique
(teknik pemafasan), acupunture, exerase theraphy, psychological therapies, manual
therapies (Council, 2006).
Metode yang paling sedemana dan efektif dalam biaya untuk mengurangi risiko stasis
sekresi pulmonar dan mengurangi risiko penunłnan pengembangan dinding dada yaitu
dengan pengaturan posisi saat istirahat (Bum dalam Potter, 2008). Posisi semi
fowler mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi 02 dalam darah. Saat
terjadi serangan sesak biasanya pasien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan
posisi berbaring. Melainkan hanłs dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk
meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O dalam darah. Dengan posisi
tersebut pasien lebih rileks saat makan dan berbicara sehingga kemampuan berbicara
pasien tidak tełputus — putus dan dapat menyelesaikan kalimat (Supadi, et al.,
2008).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di puskesmas Air Upas didapatkan hasil pada
bulan Juni-Juli 2016 terdapat sekitar 30 pasien perbulan dengan gangguan asma dan
penatalaksanaan menggunakan oksigen dan obat bronkodilator sedangkan posisi tubuh
saat pembełian obat bronkodilator diberikan posisi semi fowler (Dinkes, 2012).
Latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa adanya upaya posisi semi fowler untuk
melonggarkanjalan nafas sehingga aliran oksigen bisa maksimal sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Penga111h
Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Respiration Rate Pada Pasien Asma Bronkial di
Puskesmas Air Upas Ketapang”
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Quasi Eksperimental dengan Pre and
post test with control group design. Populasi pada penelitian ini adalah sebanyak
48 orang mengalami asma bronkial. Teknik pengambilan sampel menggunakan purpose
sampling menggunakan kriteria inklusi dengan jumlah sampel 42 responden dengan
pembagian 21 responden pada kelompok perlakuan dan 21 responden pada kelompok
kontrol.
Kriteria inklusi:
a. Pasien yang mengalami asma
b. Pasien yang kooperatif
Alat penelitan yang digunakan yaitu lembar obsewasi frekuensi pemapasan. Analisis
data univariat penelitian meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan dan pekerjaan
yang disajikan dalam bentuk propołsi presentase. Analisis bivariat yang dilakukan
untuk mengetahui keterkaitan dua variable menggunakan uji Wilcoxon.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Karakteristik Responden
Tabel 3.1 Karakterstik responden berdasarkan jenis kelamin (n =42)
Jenis Kelamin Kontrol Perlakuan

Laki-laki
Perempuan 13 61,9
8 38,1 12 57,1
9 42,9
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.I menunjukkan bahwa karakteństik responden berdasarkan jenis kelamin
paling banyak di kelompok kontrol adalah laki-laki sebanyak 13 orang (61 ,9%)
sedangkan kelompok perlakuan adalah perempuan sebanyak 12 orang (57,1%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan Majampoh (2013), bahwa responden berjenis
kelamin laki laki sebanyak 22 orang (55,0%) lebih banyak dari perempuan. Laki laki
memiliki resiko terkena asma lebih tinggi dari perempuan. Hal ini terkait bahwa
laki—laki cendenłng merokok dan mengkonsumsi miras sehingga
dapat menunłnkan sistem pełtahanan tubuh dan lebih mudah tewapar dengan agen
penyebab asma. Perokok dan peminum terjadi gangguan makrofag dan meningkatkan
resistensi saluran napas dan penneabilitas epitel pani. Rokok dapat menunłnkan
sifat responsif antigen (PDPI, 2014). Pada penelitian ini jumlah laki-laki lebih
banyak dibandingkan perempuan. Laki-laki cendenłng memiliki gaya hidup yang kurang
sehat sepełti merokok, minum alkohol, minum kopi dan jarang olahraga sehingga
cendenłng berisiko lebih tinggi terkena penyakit pani.
Tabel 3.2 Karakteristik responden berdasarkan umur (n=42)
Umur Kontrol Perlakuan

21-25
26-35
36-45
46-55 5 23,8
15 71,4 2 9,5
5 23,8
13 61,9
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.2 menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan umur yang
paling banyak pada kelompok kontrol adalah 36-45 tahun sebanyak 15 orang (71,4%)
dan kelompok perlakuan adalah 36-45 tahun sebanyak 13 orang (61,9%). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Safitri (2011), yang memperlihatkan bahwa
umur responden kelompok perlakuan sebagian besar yaitu benłmur 41-50 tahun sebanyak
11 pasien (33%). Orang yang bekełja di lingkungan laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai kecendemngan tinggi menderita
asma. Faktorfaktor pencetus tersebut menimbulkan suatu predisposisi genetik
terhadap alergi sehingga orang yang bekerja selama beltahun-tahun rentan terhadap
penyakit asma. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang ditempati individu banyak
debunya menimbulkan kerentanan penyakit asma pada usia individu menjelang tua di
atas 41 tahun (Kumiawan, 2008).
Hasil penelitian ini mendukung teori Guyton dan Hall (2011), sełta Hudak dan Gallo
(2015) yang mengatakan semakin tua usia seseorang, maka fungsi ventilasi parunya
akan semakin menunłn. Hal ini disebabkan semakin menunłnnya elastisitas dinding
dada. Selama proses penuaan terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan
kelenjar bronkial, penunłnan kapasitas pani dan peningkatan jumlah mang nłgi.
Penłbahan ini menyebabkan penunłnan kapasitas difusi oksigen. Pada penelitian ini
mayoritas benłsia dewasa tua karena semakin tinggi usia seseorang maka akan lebih
rentang terhadap berbagai penyakit sepefii penyakit pam dikarenakan kondisi tubuh
yang makin melemah dan sistem kekebalan tubuh yang semakin menunłn.
Tabel 3.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan (n =42)
Pendidikan Kontrol Perlakuan

SD
SMP
SMA
Sarjana 6
8
4
2
1 28,6
38,1
19,0
9,5 11
4
4 4,8
52,4
19,0
19,0
4,8
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.3 menunjukkan bahwa karaktelistik responden berdasarkan pendidikan
yang paling banyak pada kelompok kontrol adalah SD sebanyak 8 orang (38,1%) dan
kelompok perlakuan adalah SD sebanyak Il orang (52,4%).
Hasil penelitian ini sej alan dengan penelitian Majampoh (2013), yang menunjukka
bahwa pendidikan paling dominan adalah SD sebanyak Il orang (27,5%). Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Safitr (2011) menjelaskan bahwa adanya
hubungan antara pengetahuan dengan tindakan peńlaku hidup sehat. Dalam hal ini
seseorang melakukan tindakan yang baik terhadap kesehatannya apabila pengetahuan
yang dimiliki seseorang juga baik. Pada penelitian ini didapatkan tingkat
pendidikan responden paling banyak adalah SD. Rendahnya tingkat pendidikan akan
memepengamhi seseorang untuk hidup tidak sehat karena kurangnya infonnasi terkait
kesehatan dan bagaimana cara mencegah penyakit panł.
Tabel 3.4 Karakteristik responden berdasarka pekerjaan (n=42)

Kontrol Perlakuan
Pekerjaan
47,6 33,3
Bunłh 9 42,9 12 57,1
Swasta 2 9,5 2 9,5

Jumlah 21 100 21 100


Dali Tabel 3.4 menunjukkan bahwa karaktelistik responden berdasarkan pekełjaan yang
paling banyak pada kelompok kontrol adalah tidak bekerja sebanyak IO orang (47,6%)
dan kelompok perlakuan adalah bunłh sebanyak 12 orang (57,1%).
Asma akibat kerja mempakan keadaan yang umum pada penyakit pam dengan perkiraan
15%-23% kasus bam asma pada dewasa di Amerika Serikat disebabkan oleh pemaparan
akibat kerja. Pemaparan pada tempat kelja dapat memperparah keadaan asma (Lewis, et
al. 2007). Menurut British Thoracic Society and Scottish Intercollegiate Guidelines
Nehvork tahun 2011, jenis pekeljaan yang dapat meningkatkan risiko serangan asma
antara Iain pembuat roti dan makanan, pekelja kehutanan, pekelja di pabrik kimia,
plastik dan karet, pekerja tekstil, pekelja di industri elektronik, pekerja gudang,
pekelja di area pefianian, pelayan nunah makan, pekelja bagian kebersihan, tukang
cat dan teknisi laboratorium.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori karena bila dilihat dali
karaktefistik responden yaitu jenis pekeljaan, responden pada penelitian ini
terbanyak pada kategofi Iain-lain (ibu mmah tangga, tidak bekelja dan siswa)
sehingga kemungkinan telpapar oleh faktor kelja di luar mmah juga lebih sedikit.
Walaupun hasil penelitian menyatakan bahwa faktor kelja tidak berhubungan dengan
terjadinya serangan asma, bukan berafii faktor kerja tidak lagi menjadi pemicu
tetapi faktor kerja disini tetap menjadi risiko terhadap kejadian serangan asma
pada orang yang sensitif Pada penelitian ini paling banyak memiliki pekeljaan bumh.
Pekerjaan billilh befisiko terkena penyakit pam akibat pupuk serbuk sefta obat
pestisida yang digunakan pada saat bekerja dengan kondisi responden tanpa
menggunakan maskelz
b. Respiration Rate Sebelum Tindakan
Tabel 3.5 Distribusi Respiration Rate Sebelum
Perlakuan
Pemafasan Kontrol Perlakuan

Bradypnea
Nonnal
Tacypnea o
21 o o
100 o o
21 o o
100
Jumlah 21 100 21 100

Dari Tabel 3.5 menunjukkan hasil respiration rate pre test pada kelompok kontrol
dan perlakuan semuanya adalah tacypnea sebanyak 21 orang (100%). Penyempitan
saluran napas menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka pasien asma akan
cendemng melakukan pemafasan pada volume paru yang tinggi dan membutuhkan kelja
keras dari otot—otot pemapasan sehingga akan menambah energi untuk pemapasan
(Brooker, 2009). Pendapat
Brooker (2009) tersebut dibuktikan oleh Setiawati (2008) dalam penelitiannnya yang
menyatakan bahwa pasien asma mengalami sesak nafas berat sehingga kesulitan bemapas
karena penyempitan saluran napas ini terjadi adanya hypeneaktifitas dali saluran
napas terhadap berbagai macam rangsang.
Pada penelitian ini mayoritas responden memiliki nafas tacypnea dikarenakan kondisi
bronkospasme sehingga tubuh akan bempaya untuk lebih menarik oksigen ke paru-palll
sehingga akan hipewentilasi.
c. Respiration Rate Setelah Tindakan
Tabel 4.6 Distribusi Respiration Rate Setelah
Perlakuan
Pemafasan Kontrol Perlakuan

Bradypnea
Normal
Tacypnea o o 3 14,3
18 85,7 o
18
3 o 85,7
14,3
Jumlah 21 100 21 100
Dali Tabel 3.6 menunjukkan respiration rate padapost test yang paling banyak pada
kelompok kontrol adalah tacypnea sebanyak 18 orang (85,7%) dan kelompok perlakuan
adalah nonnal sebanyak 18 orang (85,7%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safitri (2011) yang
menunjukkan bahaw hasil pengukuran sesak nafas setelah dilakukan perlakuan dari 33
responden selama tiga hari diperoleh data yaitu sebanyak 18 pasien (55%).
Peningkatan sesak nafas tersebut dapat dijelaskan ada pengurangan sesak nafas berat
ke sesak nafas ringan sebanyak 11 pasien (33%) yaitu dari 17 pasien sesak nafas
berat menjadi menjadi 6 pasien. Jadi, ada pengurangan pasien sesak nafas berat ke
sesak nafas lingan.
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengamh pemberian posisi semi fow/er
terhadap sesak nafas. Hal tersebut berafii mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Supadi et al (2008) bahwa pembelian semi fow/er mempengamhi berkurangnya sesak
nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien telpenuhi. Saat sesak napas
pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk sehingga posisi semi
fow/er memberikan kenyamanan dan membantu mempelingan kesukaran bemapas. Menurut
Angela (dalam Supadi et al, 2008) saat terjadi serangan sesak biasanya pasien
merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring. Melainkan hams dalam
posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan napas dan
memenuhi darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih rileks saat makan dan berbicara
sehingga kemampuan berbicara pasien tidak telputus—putus dan dapat menyelesaikan
kalimat. Pada penelitian ini semua responden pada kelompok perlakuan mengalami
pembahan pada respiration rate karena posisi jalan nafas lebih terbuka dibandingkan
dengan kelompok kontrol.
d. Pengaruh Posisi Semi Fowler Tehadap
Respiration Rate
Tabel 3.7 Uji Normalitas Data

Shapiro-Wilk
Kelompok Statistic df Sig.
Pre_perlakuan
Pre kontrol Post_perlakuan post kontrol 0,864
0,808
0,874
0,876 21
21
21
21 ,007
,011
,012

Dali Tabel 3.7 menunjukkan uji nonnalitas pada kelompok perlakuan adalah pre:
0,007, post: 0,011 dan kelompok kontrol adalah pre: 0,001, post: 0, 12 sehingga
data tidak terdistribusi secara normal karenap value < 0,05 sehingga uji bivariat
menggunakan uji Wilcoxon.
Tabel 3.8 Pengaruh Posisi Semi Fowler
Terhadap Respiration Rate

Kontrol 21 3 18 0,160
Perlakuan 21 18 3 0,000

Dali Tabel 3.8 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol p value = 0,160 sehingga p
value > 0,05 maka tidak ada pembahan yang sgnifikan sedangkan pada kelompok
perlakuan p value 0,000 sehinga p value < 0,05 maka terdapat pengamh posisi Semi
fow/er terhadap Respiration Rate pada pasien asma bronkial di Puskesmas Air Upas
Ketapang.
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi et al, 2008) bahwa posisi semi fow/er dimana
kepala dan tubuh dinaikkan 45 0 membuat oksigen didalam paru—palll semakin
meningkat sehingga mempelingan kesukaran napas. Penumnan sesak napas tersebut
didukungjuga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi
semifowler sehingga pasien dapat bemafas.
Posisi semi fow/er mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi 02 dalam
darah ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim (2014) bahwa pemberian
posisis semifowler dapat meningkatkan masukan oksigen bagi pasien pasca pembedahan
pemt
laparoskopi. Sedangkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemberian posisi
semi fow/er ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiawati (2008). Dalam
penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi semifowler dapat
efektifuntuk mengurangi sesak napas pada pasien TBC. Hal ini dapat diketahui
melalui nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-3,196) > Z tabel (1,96). Pada
penelitian ini posisi semi fow/er membuat jalan nafas lebih terbuka sehingga
kapasitas oksigen yang masuk ke pam lebih maksimal dan membuat frekuensi pemafasan
menjadi lebih stabil dan dalam batas normal.
4. KESIMPULAN
a. Jenis kelamin paling banyak di kelompok kontrol adalah laki-laki sebanyak 13
orang (61,9%) sedangkan kelompok perlakuan
adalah perempuan sebanyak 12 orang (57, 1%), pendidikan yang paling banyak pada
kelompok kontrol adalah SD sebanyak 8 orang (38, 1%) dan kelompok perlakuan adalah
SD sebanyak 11 orang (52,4%), pekerjaan yang paling banyak pada kelompok kontrol
adalah tidak bekelja sebanyak 10 orang (47,6%) dan kelompok perlakuan adalah bumh
sebanyak 12 orang (57, 1%).
b. Hasil respiration rate pre test pada kelompok kontrol dan perlakuan semuanya
adalah tacypnea sebanyak 21 orang (100%).
c. Hasil respiration rate pada post test yang paling banyak pada kelompok
kontrol adalah tacypnea sebanyak 18 orang (85, 7%) dan kelompok perlakuan adalah
nonnal sebanyak 18 orang
d. Ada pengamh posisif01 vler terhadap frekuensi pemafasan pada pasien asma
bronkial di Puskesmas Air Upas Ketapang dengan nilai p value = 0,000 < 0,05.
5. REFERENSI
Brooker, C. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.
Council, N. A .2006. Asthma management handbook 2006. Melboume: National Asthma
CouncilLTD.
Depkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Dinkes, 2012. Laporan Survei Penyakit Kalbar 2012. Pontianak: Dinkes Kalbar.
Guyton, & Hall (2011). Human Physiology and Diseases Mechanism. (3 ed.)
(Teljemahanoleh Pet ms Andrianto, 2011). Jakarta: EGC.
Hudak, C. M dan Gallo B. M. 2015. Keperawatan Kritis Holistik Edisi VIN, Volume 1.
Jakarta: EGC.
Jeremy. 2006. At a Glance Sistem Respirasi edisi Kedua. Bandung: Erlangga.
Kim, K. 2014. The Effects of Semi- Fowler's Position on Post- Operative Recove1Y in
Recovery Room for Patients with Laparoscopic Abdominal Surgew. Abstract.
College of Nursing, Catholic University of Pusan, Korea
Kumoro, D. 2008. Pengamh Pemberian Senam
Asma Terhadap Frekwensi Kekambuhan Asma Bronkial. Karya Ilmiah (tidak
diterbitkan).UMS
Kumiawan, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. A Dengan Gangguan Sistem
Pemafasan: Asma Bronkial Pada NY. S Di
Puskesmas Tanjung, Juwiring, Klaten. Tugas Akhir (Tidak Diterbitkan) UMS
Lewis, S. M., Heitkemper, M. M. , & Direksen, S.2007. Medical surgical nursmg:
Assessment and management of clinical problem. (5 Ed.). St. Louis: Mosby
Majampoh, Aneci Boki, Rondonuwu, Rolly & Onibala, Franly. 2013. Pengamh pemberian
posisi semi fowler terhadap kestabilan pola nafas pada pasien TB Paru di Irina C5
RSUP Prof Dr. R.D Kandou Manado.Universitas
Sam Ratulagi. ejournal keperawatan Vol.3
Nugroho, Taufan.2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah dan Penyakit
Dalam. Yogyakalta: Nuha Medika
PDPI (Perhimpunan Dokter Pam Indonesia). 2014. Asma Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: FRUI
Potter, P. 2008. Fundamtal Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC
Ruth, F. 2012. Fundamental OfNursing Human Health And Function. Jakalta: EGC.
Safitri, Refi & Andriyani, Annisa. 2011. Keefektifan pemberian posisi semi fowler
terhadap penumnan sesak nafas pada pasien asma di Ruang Rawat Inap Kelas 111 RSUD
dr. Moewardi Surakarta. STIKES Aisyiyah Surakafia. GASTER, vol. 8, No.2
Setiawati, L. 2008. Efektivitas Penggunaan Posisi Semi Fowler Pada Klien TBC Untuk
Mengurangi Sesak Napas (Studi Kasus Di Rumah Sakit Pam Batu). Jurnal. http
athearobiansyah.blogspot. com/2008/03/ asuhan keperawatan kebutuhan oksigenasi.
html.
Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan
edisi2. Jakarta: Salemba Medika
Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008.
Hubungan Analisa Posisi Tidur Semi Fowler Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal
Jantung Di RSU Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan volume
IV No 2 hal 97-108.
Widodo. 2009. "Penderita Asma di Indonesia Meningkat, "Tribun News.
Zara, A .2012. Pengaruh teknik pernafasan buteyko terhadap penurunan gejala asma di
wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru kecamatan Bayang Painan Pesisir Selatan.
Universitas Andalas.

-00000-

Anda mungkin juga menyukai