Anda di halaman 1dari 13

TAREKAT UWAISIYAH

Diajukan Untuk Memenuhi Satu Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)


Mata Kuliah Ilmu Akhlak

Dosen Pengampu:
H. Deden Hidayat, Lc, M.A

DISUSUN OLEH:

AHMAD NIDA NURODIN


1155020008

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG
2018
A. Latar Belakang
Tarekat Uwaisiyah bila dilihat secara etimologis mempunyai arti “jalan”. Jalan
yang dimaksud adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi menuju Allah. Tarekat
adalah pengalaman syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan
menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang sebenarnya memang
tidak boleh dipermudah. Selain itu, Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf.
Namun, tidak semua orang yang mempelajari tasawuf lebih-lebih belum mengenal
tasawuf akan faham sepenuhnya tentang tarekat. Banyak orang yang memandang
tarekat secara sekilas akan menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar
Islam (bid’ah), padahal tarekat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-
peraturan syari’at Islam yang sah. Namun perlu kehati-hatian  juga karena tidak
sedikit tarekat-tarekat yang dikembangkan dan dicampuradukkan dengan ajaran-
ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Perlu diketahui bahwa ada
pengklasifikasian antara tarekat muktabarah (yang dianggap sah) dan ghairu
muktabarah (yang tidak dianggap sah).
Dengan perkembangan zaman pengertian tarekat mengalami perluasan, tarekat
bukan hanya suatu jalan yang dilalui oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada
Allah tetapi tarekat menjadi suatu organisasi yang melembaga dikalangan para
pengikut tarekat tersebut. Tarekat yang sudah menjadi sesuatu yang lembaga dipimpin
oleh seorang syekh yang mengajarkan tentang tata cara melakukan ibadah yang
terdapat dalam tarekat tersebut. Pada intinya tarekat itu lebih terstruktur daripada
tasawuf. Hakikat tarekat yang sebenarnya adalah usaha mendekatkan diri kepada
Allah SWT melalui ajaran-ajaran tasawuf yang dilakukan dibawah bimbingan seorang
guru atau syekh. Apabila dihubungkan antara tasawuf dan tarekat, hubungan yang ada
di dalamnya adalah tasawuf merupakan usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT.
dan tarekat merupakan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Memang seluk-beluk tarekat tidak bisa dijabarkan dengan
mudah karena setiap tarekat-tarekat tersebut memiliki filsafat dan cara pelaksanaan
amal ibadah masing-masing.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tarekat Uwaisiyah?
2. Bagaimana sejarah timbulnya tarekat Uwaisiyah?
3. Apa saja unsur-unsur terbentuknya tarekat Uwaisiyah?
4. Bagaimana perkembangan tarekat Uwaisiyah di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tarekat Uwaisiyah
2. Untuk mengetahui sejarah timbulnya tarekat Uwaisiyah
3. Untuk mengetahui unsur-unsur terbentuknya tarekat Uwaisiyah
4. Untuk mengetahui perkembangan tarekat Uwaisiyah di Indonesia

1.
D. Pembahasan
1. Pengertian Thariqoh Uwaisiyah
Penisbatan Tharîqah kepada Uwais al-Qarni Ra (w. 36 H) Abu „Amir Uwais
bin „Amir al-Muradi Tsumma al-Qarn. Beliau adalah termasuk golongan
pembesar Tabi‟in (menurut Pendapat yang ashah) (Syaikh Ismâil haqqi bin
Musthâfa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar
Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 18), bahkan termasuk pembesar Tabi‟in dan
orang yang paling utama pada masanya. Kedudukan Uwais al-Qarni Ra
disaksikan sendiri oleh Rasûlullâh Saw., beliau bersabda:

“Aku mencium nafas tuhan yang Maha Rahman dari arah tanah Yaman”

Yang dimaksud oleh nabi adalah mencium bau harum kekasih Allâh Swt.
yaitu Uwais al-Qarni Ra.
Rasûlullâh Saw. menuturkan keistimewaan Uwais dikabarkan Allâh Swt. kepada
Umar dan Ali bahwa: ”Ada seseorang dari umatku yang bisa memberikan syafaat
di hari kiamat sebanyak bulu domba dari jumlah domba yang dimiliki oleh
Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak),
lalu para sahabat bertanya: “Siapa dia wahai Rasûlullâh Saw.?”. Rasul Saw.
Menjawab: “Ia adalah hamba Allâh Swt”. Siapa namanya ya Rasul? “Rasul
menjawab: “Ia bernama Uwais al-Qarni Ra”.
Rasul Saw. bersabda: “Yang mencegah untuk menemuiku adalah dua hal (1)
karena keadaan, dan (2) karena dia menghormati aturan. Sebab dia mengasuh
ibunya yang sudah tua, buta matanya, lumpuh kedua tangan dan kakinya. Uwais
bekerja sebagai pengembala unta di siang hari dengan upah yang cukup untuk
dibelanjakan untuk ibunya, dirinya dan dishadaqahkan kepada tetangganya yang
miskin. Para sahabat bertanya apakah kita bisa melihatnya atau tidak? Rasul Saw.
bersabda: Abu Bakar al-Shiddiq r.a tidak bisa menemukannya, yang bisa
menemukan dia adalah Umar dan Ali. Dia memiliki ciri-ciri berambut lebat, dan
memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya tanda
putih, tanda putih itu bukan penyakit belang (barosh). Jika kalian menemukan dia
sampaikan salamku padanya, lalu mintakan doanya untuk umatku”, (Muslim,
Shahih Muslim hadits, Libanon: Dar al-Fikr, nomor: 2542 jilid 4, juz 7, halaman:
188 & Farid al-Din al-Attor, Tadzkirat al-Auliyâ‟, Libanon: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2010. halaman: 49).

2. Sejarah
Setelah Rasûlullâh Saw. dan Abu Bakar al-Shiddiq r.a wafat, Umar diangkat
menjadi Khalifah. Di sela-sela kesibukan Umar sebagai Khalifah beliau teringat
tentang sabda Rasul tentang Uwais. Lalu Umar mengajak Ali bin Abi Thalib
untuk mencarinya di kota Najt (Yaman). Umar mengumpulkan penduduk Najt dan
bertanya: Apakah di antara kalian ada seseorang dari suku Qorn? penduduk Najt
menjawab: “Ya”. Kemudian salah satu dari penduduk Qorn mendekati Umar, lalu
Umar mengabarkan tentang Uwais dan para penduduk tidak mengenalnya.
Dengan nada tinggi Umar berkata: “Nabi Muhammad Saw. pemilik syariat ini
tidak berkata sembarangan”. Sebagian penduduk berkata: wahai pemimpin orang
mukmin, Uwais adalah orang yang tidak pantas Engkau cari karena dia adalah
orang gila lagi gelandangan. „Umar berkata: “Aku mendatangi kalian hanya
untuknya, di mana dia?”. Para penduduk Najt menjawab: “Dia ada di lembah
Uranah sedang mengembala unta di rerumputan, dia mengembala unta sampai
waktu sore hari kemudian kami memberinya makan sore, dia tidak bergaul dalam
keramaian penduduk, tidak berteman dengan siapapun, tidak memakan makanan
orang pada umumnya, tidak bergembira seperti suka cita orang pada biasanya,
justru dia menangis tatkala semua orang tertawa, dan dia tertawa tatkala banyak
orang-orang menangis”. Umar berkata: “Bawalah aku menemui dia”. Lalu para
penduduk mengantar Umar dan Ali menuju ke tempat Uwais, saat itu Uwais
sedang shalat, ketika Uwais merasakan kedatangan Umar dan Ali, dia
mempercepat shalatnya, lalu ketika Umar melihat Uwais selesai shalat, Umar
langsung mengucapkan salam kepada Uwais. Lalu Uwais menjawab salam Umar
dan Ali. Umar bertanya: “Siapa namamu?” Uwais menjawab: “Abdullah (hamba
Allâh Swt.)”, Umar berkata, kita juga hamba-hamba Allâh Swt., siapa nama yang
dikhususkan untukmu. Uwais menjawab: “Uwais”. Kemudian Umar berkata:
“Tunjukkan tangan kananmu kepadaku”. Pada saat itu terlihat tanda putih di
telapak tangan Uwais seperti yang disebutkan oleh nabi Muhammad Saw. Umar
berkata: “Nabi kirim salam kepadamu dan berwasiat kepadamu untuk
mendo‟akan aku”. Uwais berkata: “Engkau lebih utama mendo‟akan seluruh
orang-orang muslim karena Engkau adalah orang yang paling utama di muka
bumi ini”. Umar berkata: “Aku juga mendo‟akan orang mukmin tetapi
seyogyanya Engkau mengikuti wasiat Nabi untuk berdo‟a”. Uwais keberatan
untuk diminta mendo‟akan, sehingga Uwais berkata: “Wahai Umar mintalah do‟a
kepada seseorang selain aku”. Umar membujuk Uwais untuk mau berdo‟a, lalu
Umar berkata: “Rasul telah menunjukkan tanda-tandamu kepada kami, dan semua
tanda itu ada padamu”. Uwais berkata: “Ambillah wasiat Nabi itu dariku”, lalu
sahabat Umar dan Ali kembali ke Madinah, kemudian Uwais bersujud di tanah
sambil berdo‟a: “Wahai Tuhanku, kekasihmu nabi Muhammad Saw. telah
memindahkan keadaan ini kepadaku, kekasihmu berwasiat kepadaku untuk
berdo‟a. Wahai tuhanku, Ampunilah seluruh umat nabi Muhammad Saw.”, (Farid
al-Din al-Attor, Tadzkirat al-Auliyâ‟, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010.
halaman: 49-50).
Setelah pertemuan antara Uwais dengan Umar dan Ali, Lalu tersiar kabar
bahwa Uwais memiliki derajat yang tinggi, sehingga penduduk kota Yaman selalu
mencari dan mendatanginya. Dengan keadaan ini Uwais merasa terganggu untuk
bermunajat kepada Allâh Swt., sehingga Ia meninggalkan Yaman agar tidak
diketahui keberadaannya oleh penduduk, setelah itu tidak ada yang melihat Uwais
di manapun kecuali Harim Bin Hayyan, dia berkata: “Aku mendengar bahwa
Uwais bisa diterima syafa‟atnya pada hari qiamat, sehingga aku melakukan
perjalanan untuk mencarinya, lama aku mencarinya sehingga hatiku terbuai
kerinduan untuk bertemu dengan Uwais. Seluruh desa dan kota telah aku lalui,
sehingga aku sampai di kota Kuffah. Pencarianku terhenti pada seorang laki-laki
yang memiliki ciri-ciri yang persis seperti yang diceritakan Nabi, Umar, dan Ali.
Laki-laki itu sedang berwudhu‟ di pinggir sungai Furadh. Hatiku senang sekali
dan berucap salam padanya, kemudian dia menjawab dan melihat ke arahku,
kemudian aku ingin mencium tangannya, tapi dia menolak. Aku berkata semoga
Allâh Swt. mengasihimu dan mengampunimu wahai Uwais. Bagaimana kabarmu?
Setelah aku bertanya seperti itu aku tidak kuasa membendung tangisku karena
merasa kasihan terhadap keadaan Uwais yang lemah dan Uwais juga menangis.
Usai menangis Uwais berkata: “Wahai Harim bin Hayyan, siapa yang
menunjukkanmu kepadaku?”. Aku tidak menjawab pertanyaan itu, lalu aku balik
bertanya: “Bagaimana Anda tahu namaku dan bapakku ?” Uwais menjawab:
“Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada yang menceritakan kepadaku,
ruhku telah mengenali ruhmu, karena antara ruh orang-orang mukmin saling
mengenal”. Harim, berkata kepada Uwais: “Ceritakanlah kepadaku tentang
haditsnya Rasul?” Uwais menjawab: “Aku tidak pernah bertemu dengan Nabi
tetapi aku mendengar hadits Nabi yang diriwayatkan dari sahabatnya, aku tidak
menyukai membuka pintu fatwa dan pengingat karena aku telah disibukkan selain
hal itu”. Lalu aku berkata: “Aku menyukai mendengar ayat al-Qur‟an darimu,
kemudian Uwais memegang tanganku sambil mengucapkan ta‟awudz, Uwais
menangis tersedu-sedu, kemudian membaca ayat al-Quran:
Kemudian Uwais menjerit dengan keras, bahkan aku tidak mengetahui apakah
akalnya masih ada atau tidak. Selang beberapa saat Uwais berkata: “Wahai Harim
bin Hayyan, kenapa engkau mendatangiku?”. Aku menjawab: “Tujuanku
mencarimu untuk merasa tenang dan nyaman bersamamu”, Uwais mengomentari
jawabanku: “Aku tidak mengerti, bahwasanya orang yang mengenal Allâh Swt.
bagaimana ia bisa merasa tenang dan nyaman bersama selain-Nya?”. Aku berkata:
“Berilah aku wasiat”. Uwais berkata: “Jadikan kematian di bawah kepalamu
(ingat pada kematian) dan di dalam kepalamu dan setelah itu tidak ada pengaruh
kehidupan setelah kematian (tidak ingat pada kehidupan dunia dan yang diingat
hanya Allâh Swt. semata), jangan Engkau memandang dosa kecil tapi pandanglah
pada besarnya maksiat kepada Allâh Swt. karena jika Engkau meremehkan dosa
maka Engkau telah meremehkan berpaling dari Allâh Swt”. Harim berkata: “Apa
yang Engkau perintahkan kepadaku? Di tempat mana aku bermukim?” Uwais
berkata: “Bertempatlah di Syam” Aku berkata: “Bagaimana aku mendapatkan
penghidupan di kota Syam (Syiria)?” Uwais berkata: “Jauhkan perasaan itu dari
hatimu, karena keragu-raguan telah mencemari hatimu, sehingga nasihat tidak
bermanfaat”. aku berkata lagi: “Berilah aku wasiat” Uwais berkata: “Bapakmu
Hayyan telah mati, Nabi Adam, Hawa, Nuh, Ibrahim, Musa, Nabi Muhammad
Saw. dan seluruh Nabi dan Rasul telah meninggal semua, abu Bakar, Umar bin al-
Khattab telah mati” aku bertanya kepada Uwais “apakah Umar bin al-Khattab
telah mati?” Uwais menjawab: “Ya. Allâh Swt. telah memberikan kabar kepadaku
melalui ilham tentang kematian Umar bin al-Khattab”. Kemudian Uwais berkata:
“Wahai Harim, aku dan Engkau termasuk golongan orang-orang yang mati”.
Kemudian Uwais membaca shalawat kepada Nabi, berdo‟a dengan do‟a yang
pelan. Lalu Uwais berkata: “Wasiatku kepadamu bersuluklah dengan jalan sesuai
syari‟at dan Tharîqah orang-orang yang baik, jangan Engkau melupakan dzikir
kepada Allâh Swt. walaupun sekejap, jika Engkau sudah sampai kepada kaummu
berilah nasihat kepada mereka, jangan Engkau memutus nasihat (mengharapkan
kebaikan) dari Hamba Allâh Swt., jangan Engkau menyimpang dari taat kepada
pemimpin umat sehingga imanmu tidak keluar tanpa kamu sadari, Engkau tidak
mengetahui apakah Engkau akan jatuh ke neraka atau tidak”. Kemudian Uwais
berkata: “Wahai Harim, Engkau dan aku tidak akan pernah bertemu sejak saat ini,
jangan lupakan aku dalam do‟a, berangkatlah ketika aku berangkat, jangan
Engkau tinggalkan aku sedetikpun sebelum kepergianmu”. Lalu aku dan Uwais
menangis, kemudian Uwais pergi sementara aku memandanginya dari belakang
sampai Uwais naik ke gunung. Setelah peristiwa itu aku tidak melihat dan
mengetahui keadaannya, (al-Din al-Attar, Tadzkirat al-Auliyâ‟. Libanon: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 51–52).

Salah satu tarekat yang berkembang di Barat sekarang ini adalah tarekat
Uwaisi Shahmaqshudi. Sebagaimana kebanyakan tarekat, silsilah emasnya sampai
pada Rasulullah saw melalui Imam Ali bin Abi Thalib kw. Kata “Uwaisi” diambil
dari sahabat Rasulullah, Uwais Al-Qarni. Menurut keyakinan tarekat ini, Uwais
menimbang ilmu dan memperoleh “ijazah” langsung dari Imam Ali untuk
kemudian menerus-kannya secara turun temurun, hingga berkem-bang di Barat
dewasa ini. Kata “Shahmaqshudi” diambil dari mursyid ke-41, Maulana Shah
Maqshud Sadeq Anqa, yang pertama kali mempopulerkan tarekat ini di dunia
modern.
3. Perkembangan
Ronald Grissel, dalam bukunya Sufism, menulis: “Maktab Tarekat Uwaisi
Shahmaqshudi adalah para pengikut Uwais Al-Qarni. Sebagai-mana yang ditulis
oleh para sejarahwan, Uwais Al-Qarni adalah orang yang mendapat kehormat-an
untuk memperoleh jubah Rasulullah; Uwais adalah putra Amer. Ia dilahirkan di
Najd, Yaman. Ia menghabiskan seluruh hidupnya dalam zuhud dan
kesederhanaan. Tingginya sedang, dan rambutnya jarang, sehingga ia kerap
dipanggil dengan gelaran Sya’rani, orang yang berambut tipis. Riwayat
mengatakan bahwa Uwais bekerja sebagai gembala unta. Dari upahnya, ia
menghidupi dan mengayomi ibunya yang buta. Apabila waktu siang hari ia
habiskan untuk menggembalakan unta, maka pada malam harinya Uwais akan
tersungkur dalam sujud dan doa. Karena perkhidmatannya yang luar biasa pada
ibunya, Uwais tidak pernah meninggalkan Yaman untuk berjumpa dengan
Rasulullah. Tetapi Uwais beriman kepada Allah, dan meyakini kenabian
Muhammad walaupun tidak pernah melihatnya.

Dalam riwayat yang sangat terkenal, Rasulullah dikabarkan sering


menghadapkan wajah beliau yang suci ke arah Yaman dan berkata, “Nafas al-
rahman bertiup dari arah Yaman.” Ketika para sahabat bertanya, “Siapakah yang
engkau maksud, Ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Uwais Al-Qarni.”

Begitu rindunya Rasulullah pada Uwais, sehingga menjelang wafatnya beliau


berwasiat pada Imam Ali kw, “Wahai Ali, bawalah jubahku ini ke Yaman dan
berikan pada Uwais. Perawakan-nya sedang dan rambutnya jarang. Ia mempunyai
tanda di telapak tangan kanannya. Ia menjadi perantara antara Tuhan dengan
kaumnya. Apabila engkau berjumpa dengannya, sampaikan salam-ku. Mintakan ia
agar berdoa untuk kaumku. Betapa banyak umatku kelak yang akan dicintai
Tuhan karenanya.”

Begitulah kemudian, tarekat Uwaisi yang dinisbahkan kepada Uwais Al-Qarni


berkembang generasi demi generasi. Di antara silsilahnya terdapat nama-nama
seperti Salman Al-Farisi, Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balkhi, dan Ali Hasan
Bashri. Tarekat ini baru banyak dibicarakan ketika Shah Maqshud membawanya
ke Amerika. Dari Pusat Tarekat Uwaisi Shahmaqshudi yang didirikan di Amerika
pada 1980, ajaran ini menyebar ke seluruh dunia. Menurut Avideh Shashaani,
pengajar Islamic Sufism dan Philosophy pada University of Washington, tercatat
sekitar 400.000 orang kini menjadi pengikut yang setia.

Yang menarik dari tarekat ini, adalah ketika Shah Maqshud —dalam banyak
tulisan dan karyanya yang kemudian membuat tarekat ini menjadi terkenal—
membagi perjalanan menuju Tuhan, atau al-sair wa al-suluk, ke dalam delapan
prinsip utama: Dzikr, fikr, sahar, ju’, shumt, shaum, khalwat, dan khidmat.

Dzikir adalah mengingat Allah dalam setiap keadaan. Fikir adalah merenung,
ber-meditasi, dan senantiasa mencari jawaban dari rahasia yang tersebar di alam
raya. Sahar adalah keadaan ketika jiwa dan jasad dibangunkan dari “tidur”-nya
yang panjang. Ju’ adalah rasa lapar untuk senantiasa mencari kedamaian pikiran
(mind) dan perasaan (heart). Shumt adalah mengurangi pembicaraan dan pikiran
dari sesuatu yang tidak berharga. Shaum adalah puasa tubuh dan pikiran. Khalwat
adalah mengkhususkan waktu untuk beribadah kepada Tuhan, dan khidmat adalah
mematrikan Kebenaran dalam hubungan keduniawian insan.

Menarik untuk dicatat, betapa setiap prinsip utama itu terkandung dalam
Ramadhan. Bukan tanpa dasar jika para sufi mempersiapkan diri untuk
menyambut bulan Ramadhan, bahkan sejak Rajab dan Sya’ban. Mereka
memandang, sebagaimana yang dinyatakan Ibn ‘Arabi, bahwa Ramadhan adalah
tamu agung, yang akan tinggal dalam rumah kita, sebulan lamanya, sekali dalam
setahun. Tamu agung itu datang dengan sejuta kemuliaan. Karena Ramadhan,
misalnya, nafas kita dihitung tasbih. Tidur kita dinilai ibadah. Pahala amalan yang
kita lakukan dilipatgandakan. Bacaan seayat Al-Quran saja dihitung seperti pahala
khatam Al-Quran di bulan-bulan yang lainnya. Tamu agung itu adalah Ramadhan,
dan rumah yang akan dihuninya selama sebulan adalah diri kita. Selayaknya tuan
rumah, yang akan menyambut kehadiran seorang pembesar, maka ia akan
bersihkan rumahnya, ia akan hiasi dengan semarak bunga, ia akan tebarkan
wewangian yang penuh aroma. Apa mungkin kita mempersembah-kan rumah
yang kotor, untuk didatangi tamu yang datang dengan segudang persembahan?
Karena itu para sufi memulai membersih-kan “rumah” mereka jauh sebelum
tamu agung itu datang. Sejak Rajab mereka mulai berpuasa. Pada bulan Sya’ban,
mereka mulai meluangkan malam dalam ibadah dan doa. Sehingga ketika
Ramadhan datang menjelang, menahan lapar bukan lagi sesuatu yang baru, dan
ibadah malam sudah terlatih dengan khusyu.

Rajab dan Sya’ban adalah upaya untuk menjemput tamu yang mulia itu untuk
singgah di rumah kita. Kelak, setelah Ramadhan berakhir, dan awal Syawwal
menjelang, para sufi tidak begitu saja melepaskan kepergian Ramadhan. Mereka
kembali antarkan Ramadhan dengan memelihara diri dalam kesucian, dengan
meneruskan ibadah yang mereka lakukan selama sebulan. Sebagian kita
mengenalnya dengan tradisi puasa Syawwal. Bahkan ada di antara kita yang
mengakhirkan qadha puasanya (yang wajib) dan menjalankan puasa Syawwal
(yang sunnah) terlebih dahulu, demi untuk menghormati tamu agung yang pernah
singgah dan telah pergi untuk kembali datang setahun yang akan datang.

Ramadhan kini datang, dengan berjuta ampunan dan kemuliaan. Bagi mereka
yang sudah berbekal, sejak Rajab dan Sya’ban, Ramadhan kini menjadi sarana
pembersih diri. Pada tataran syariat, Ramadhan ditujukan untuk melatih anggota
lahiriah kita dengan menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan dengan
pasangan. Pada tataran tarekat, Ramadhan ditujukan untuk melatih anggota
batiniah kita, dengan menahan pen-dengaran dari ghibah, fitnah, dan dosa; dengan
menahan lidah dari cela dan dusta, dengan menahan mata dari yang membuat
Tuhan murka; dengan mengkhususkan waktu untuk mendahulu-kan kehendak
Tuhan di atas kehendak sendiri. Pada tahap akhir, pada tataran hakikat, Ramadhan
ditujukan untuk memusatkan hati kita —setelah terlatih dengan latihan lahiriah
dan batiniah— khusus untuk Allah swt.

Karena itu, bagi tarekat Uwaisi —dan bagi umat Islam pada umumnya—
Ramadhan adalah waktu yang sangat berharga. Delapan prinsip utama dalam
berjalan menuju Allah tersedia begitu luang ketika berpuasa. Dengan Ramadhan,
ingatan akan Tuhan (dzikir) menjadi lebih intensif dibanding bulan-bulan lainnya.
Dari banyaknya waktu yang tersedia —sejak sahur hingga tengah malam—
perenungan (fikir) dan perjungan untuk menyingkapkan rahasia Tuhan menjadi
lebih bermakna. Pelatihan untuk “membangunkan” (sahar) diri dari tidur yang
panjang diperoleh dengan melatih untuk bangun setiap waktu sahur. Perasaan
lapar akan kedamaian dipupuk melalui perasaan lapar (ju’) di siang hari. Shumt
diperoleh melalui puasa berbicara yang tak berguna. Dan shaum dijalankan
berangkat dari puasa jasmaniah hingga puasa batiniah. Di bulan Ramadhan juga,
kita meluangkan waktu untuk khalwat, meng-khususkan malam untuk Tuhan, dan
siang dalam ketaatan atas perintah-Nya. Kita mengakhiri prinsip kedelapan
dengan berkhidmat kepada sesama manusia. Melalui zakat yang kita berikan,
sedekah yang kita infakkan, dan makanan berbuka yang kita hadiahkan.
Semuanya melatih diri untuk senantiasa berada dalam ketaatan pada Tuhan.

Kelak, setelah diri kita terlatih untuk menjalankan delapan prinsip utama —
menurut Tarekat Uwaisi— sampailah kita pada makna tasawuf (‘irfan) yang
sesungguhnya. Menurut Abu Abdullah Khafif, “Seorang sufi yang sejati adalah ia
yang telah melepaskan dirinya dari keterikatan duniawi, dari keinganan nafsani,
dan dari segala pemilikan untuk kemudian dimiliki Allah swt.”
E. Penutup
1. Simpulan
Tarekat dari bahasa Arab thariqah yang berarti jalan atau metode. Sedangkan
pengertian tarekat secara istilah adalah suatu jalan atau cara untuk mendekatkan
diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, Fikih dan Tasawuf.
Penisbatan Tharîqah kepada Uwais al-Qarni Ra (w. 36 H) Abu „Amir Uwais
bin „Amir al-Muradi Tsumma al-Qarn. Beliau adalah termasuk golongan
pembesar Tabi‟in (menurut Pendapat yang ashah) (Syaikh Ismâil haqqi bin
Musthâfa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar
Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 18), bahkan termasuk pembesar Tabi‟in dan
orang yang paling utama pada masanya
Ronald Grissel, dalam bukunya Sufism, menulis: “Maktab Tarekat Uwaisi
Shahmaqshudi adalah para pengikut Uwais Al-Qarni. Sebagai-mana yang ditulis
oleh para sejarahwan, Uwais Al-Qarni adalah orang yang mendapat kehormat-an
untuk memperoleh jubah Rasulullah; Uwais adalah putra Amer. Ia dilahirkan di
Najd, Yaman.

Anda mungkin juga menyukai