Anda di halaman 1dari 24

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sejarah berdirinya Rumah Sakit Bhayangkara Makassar diawali

berdasarkan perintah lisan Pangdak (Panglima Daerah Kepolisian)

XVIII Sulselra Brigjen Imam Supoyo kepada Kapten Polisi dr. Adam

Iman Santosa pada tanggal 2 Nopember 1965, untuk menempati dan

memfungsikan bekas Sekolah Polisi Negara Djongaya menjadi

Rumah Sakit Kepolisian Bhayangkara Makassar dan sebagai Kepala

Rumah Sakit pertama adalah Komisaris Polisi (Tit) dr. Zainal Arifin,

berdasarkan Surat Perintah Panglima Komando Daerah Angkatan

Kepolisian XVIII Sulselra Nomor : 6/1069, tanggal 24 Januari 1969.

Pada tanggal 10 Januari 1970 Rumah Sakit Bhayangkara Makassar

diakui oleh Mabes Polri denga Surat Keputusan Kapolri No. Pol :

B/117/34/I/1970 yang ditandatangani oleh Wakapolri. Dalam

perjalanan waktu, RS. Bhayangkara akhirnya berubah status menjadi

Rumah Sakit Bhayangkara Tk. II dengan Surat Kapolri No. Pol:

Skep/1549/X/2001 tanggal 10 Nopember 2001. Selanjutnya Kepala

Rumah Sakit Kedua adalah Letkol. Pol. Dr. Ida Bagus Putra

Djungutan, Sp.B (Alm) sejak tahun 1985 hingga tahun 1993,

selanjutnya pada tahun 1993 Kepla Rumah Sakit ke tiga dijabat oleh
Letkol. Pol. Purn. Dr. Roesman Roesli, Sp.PD dari tahun 1991 hingga

tahun 1993, selanjutnya pada tahun

Pembangunan tahap kedua tahun 1983 terdiri atas 2 ruang

perawatan anak 2 lantai, ruang fisioterapi dan ruang gawat darurat,

tahun 1996 peresmian ruang ICU dan Ruang Operasi dan di tahun

2000 rumah sakit mendapat bantuan lunak peralatan kesehatan dari

Spanyol..

Sampai saat ini luas bangunan Rumah Sakit Bhayangkara

Makassar adalah 6.005 m2 yang berdiri pada lahan seluas 17.642 m 2

dan telah memiliki ruang rawat jalan (17 jenis Poliklinik), IGD dan

ruang rawat inap dengan berbagai kelas (VVIP = 2 TT, VIP = 40 TT,

kelas I = 13 TT, kelas II = 114 TT, kelas III = 62 TT dan ICU = 10 TT

sehingga total tempat tidur adalah 265), serta didukung dengan

sarana penunjang lainnya (Laboratorium klinik, instalasi gizi, instalasi

fisioterapi, laundry, apotik, dan Kompartemen Dokpol).

Sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Pusdokkes Polri, Rumah

Sakit Bhayangkara Makassar berkedudukan di bawah Kapolda

melalui Kabiddokkes, yang memiliki tugas pokok; menyelenggarakan

kegiatan pelayanan Kedokteran Kepolisian untuk mendukung tugas

operasional

Dalam perjalanan waktu berdasarkan keputusan Menteri

Keuangan RI Nomor : 440/KMK.05/2010, tanggal 23 Nopember 2010,

Rumah Sakit Bhayangkara Tk. II Mappaoudang Makassar ditetapkan


sebagai instansi pemerintah yang menerapkan Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU).

B. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil dari pengolahan data yang telah dilakukan

kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi analisa

univariat dan bivariat sebagai berikut:

1. Karakteristik Responden

a. Analisa Univariat

Pada bagian ini akan dijelaskan deskripsi data hasil penelitian dari

masing-masing variabel dari 46 responden yaitu variabel karakteristik

responden, tingkat pengetahuan dan variabel tingkat kecemasan.

1. Distribusi Responden Berdasarkan Karateristik Pasien

Table 5.1.
Distribusi Responden Berdasarkan Karateristik Pasien di
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Bhayangkara Makassar

No Variabel Jumlah Persentase


(n) %

1. Usia
1) 15-20 5 10,9

2) 21-40 20 43,5

3) 41-65 21 45,7

Total 46 100

2. Jenis Kelamin

1) Laki-laki 22 47,8
2) Perempuan 24 52,2

Total 46 100

3. Pendidikan

1) Rendah 19 41,3

2) Sedang 15 32,6

3) tinggi 12 26,1

Total 46 100

4. Pengalaman

1) Ya 16 34,8

2) Tidak 30 65,2

Total 46 100

5. Dukungan

1) Ya 44 95,7

2) Tidak 2 4,2

Total 46 100

Sumber: Data Primer, 2019


Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan distribusi responden yang

tertinggi pada kelompok umur yaitu ber umur 41 – 65 tahun dengan 21

(45,7%) responden, sedangkan yang paling rendah adalah kelompok

umur 15 – 20 tahun dengan 34 (66,7%) responden. Pada kelompok

jenis kelamin yang tertinggi pada kelompok jenis kelamin perempuan


dengan 24 (52,2%) responden,sedangkan yang paling rendah adalah

jenis kelamin laki-laki dengan 22 (47,8%) responden. Pada kelompok

pendidikan yang paling tinggi adalah yang mengatakan rendah yaitu 19

(41,3%) responden dan yang tinggi 12 (26,1%). Pada kelompok

pengalaman yang paling tinggi adalah yang mengatakan tidak dengan

30 (65,2%) responden, sedangkan yang mengatakan ya 16 (34,8)

responden. Pada kelompok dukungan yang paling tinggi adalah yang

mengatakan ya dengan 44 (95,7%) responden, sedangakan yang

mengatakan tidak 2 ( 4,2%) responden.

2. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat pengetahuan Pasien


Pengetahuan informasi operasi adalah pengetahuan pasien yang

berhubungan dengan informasi operasi yang akan dijalankan yaitu jenis

operasi, manfaat operasi atau komplikasi yang mungki timbul dari

tindakan opeasi tersebut.

Tingkat pengetahuan pasien diukur dari hasil jawaban pasien

dalam menjawab 8 pertanyaan pada kuesioner. Penelitian ini

mengkatagorikan tingkat pengetahuan dalam 3 katagori yaitu kurang

baik, cukup, baik. Jawaban kurang baik jika skor < 55%, jika skor antara

56% - 75% , dan dikatakan baik jika >76%.

Table 5.2.
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
Pasien di Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Bhayangkara Makassar
Frekuensi Presentase
Tingkat Pengetahuan (n) (%)
Kurang Baik 31 67,4
Sedang 10 21,7
Baik 5 10,9
Total 46 100
Sumber: Data Primer, 2019

Berdasarkan table 5.2 diatas dapat diketahui bahwa sebagian

besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik

mengenai informasi operasi yang akan dijalankan (67,4%).

3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan Pasien

Tingka kecemasan pasien operasi adalah derajat kecemasan

yang menggambarkan perasaan takut atau tidak tenang yang dialami

oleh pasien sebelum menjalani operasi, dalam hal ini jenis operasi

mayor.

Penelitian ini mengukur tingkat kecemasan pasien dari hasil

jawaban pasien dalam menjawab kuesioner. Alat ukur ini terdiri dari 14

kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan

dengan gejala yang lebih spesifik. Masing-masing nilai angka (score)

dari ke 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil

penjumlah tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang,

yaitu total nilai < dari 14 adalah tidak ada kecemasan, 14-20 adalah

kecemasan ringan, 21-27 adalah kecemasan sedang, 28-4 adalah

kecemasan berat, 42-56 adalah kecemasan berat sekali atau panik.

Table 5.3.
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecemasan
Pasien di Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Bhayangkara Makassar
Frekuensi Presentase
Tingkat Kecemasan (n) (%)
Tidak Ada kecemasan 31 67,4
Kecemasan Ringan 10 21,7
Kecemasan Sedang 5 10,9
Total 46 100
Sumber: Data Primer, 2019

Berdasarkan table 5.3 diatas dapat diketahui bahwa sebagian

besar responden memiliki tingkat kecemasan ringan dalam menghadapi

operasi yang akan dijalankan (67,4%) dan hanya sebagian kecil

responden mengalami kecemasan sedang (6,5%).

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan

antara faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan yaitu karakteristik

pasien dan tingkat pengetahuan pasien dengan tingkat kecemasan

pasien yang akan menjalani operasi di ruang rawat Inap Rumah Sakit

Umum Bhayangkara Makassar.

1. Hubungan usia dengan tingkat kecemasan pasien yang akan

menjalani operasi.

Tabel 5.4.
Hubungan Usia Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Yang Akan
Menjalani Operasi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Bhayangkara Makassar.
Tingkat
Kecemasan
tidak ada P
Usia kecemasan Ringan Sedang Total value 95%CI
N (%) n (%) n (%) N (%)
5
15-20 0 (0%) 5(10,9%) 0 (0%) (10,9%)
13 20
21-40 7 (15,2%) (28,3%) 0 (0%) (41,7%)
13 3 21 0,168 0,05
41-65 5 (10,9%) (28,3%) (6,5%) (45,8%)
31 3 46
Total 12 (26,1%) (67,4%) (6,5%) (100%)
Sumber: Data Primer, 2019

Pada tabel 5.4 terlihat bahwa sebagian besar responden

mengalami kecemasan ringan (67,4%) terdiri dari usia 41-65 tahun

(28,3%), usia 21-40 tahun (28,3%), usia 15-20 tahun (10,9%).

Terdapat 12 responden tidak mengalami kecemasan terdiri dari usia

41-65 tahun (10,9%), usia 21-40 tahun (15,2%), dan hanya 3

responden yang memiliki kecemasan sedang yaitu berusia 41-65 tahun

(6,5%).

Dari hasil uji statitik didapatkan p value = 0,169 (= 0,05), dengan

demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima. Maka

dapat bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan tingkat

kecemasan pasien pre operasi mayor elektif di ruang rawat Rumah

Sakit Bhayangkara Makassar.

2. Hubungan jenis kelamin dengan tingkat kecemasan

Tabel 5.5.
Hubungan Jenis Kelamin Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Yang
Akan Menjalani Operasi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Bhayangkara Makassar
Tingkat
Jenis Kecemasan
Kelamin tidak ada P
kecemasan Ringan Sedang Total value 95%CI
n (%) N (%) n (%) N (%)
14 3 22
Laki-laki 5 (10,9%) (30,4%) (6.5%) (47,8%)
17 24 0,17 0,05
Perempuan 7 (15,2%) (37,0%) 0 (0%) (52,2%)
31 3 46
Total 12 (26,1%) (67,4%) (6,5%) (100%)

Sumber: Data Primer, 2019

Pada tabel 5.5 menunjukan bahwa terdapat 31 responden

mengalami kecemasan ringan diantaranya berjenis kelamin perempuan

(37,0%), jenis kelamin laki-laki (30,4%). Terdapat 12 responden tidak

menglami kecemasan diantaranya berjenis kelamin perempuan

(15,2%), jenis kelamin laki-laki (10,9%), dan hanya 3 responden yang

mengalami kecemasan sedang yaitu berjenis kelamin laki-laki (6,5%).

Dari hasil uji statitik didapatkan p value = 0,170 ( = 0,05), dengan

demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima.

3. Hubungan pendidikan dengan tingkat kecemasan

Tabel 5.6.
Hubungan Pendidikan Dengan Tingkat Kecemasan Pasien
Yang Akan Menjalani Operasi Di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Makassar
Tingkat
Kecemasan
Pendidikan tidak ada P
kecemasan Ringan Sedang Total value 95%CI
n (%) n (%) n (%) N (%)
12 3 19
Rendah 4 (8,7%) (26,1%) (6,5%) (41,7%)
8 15
Sedang 7 (15,2%) (17,4%) 0 (0%) (31,3%) 0,043 0,05
11 12
Tinggi 1 (2,2%) (23,9%) 0 (0%) (27,1%)
31 3 46
Total 12 (26,1%) (67,4%) (6,5%) (100%)

Sumber: Data Primer, 2019

Pada tabel 5.6 menggambarkan 31 responden mengalami

kecemasan ringan diantaranya responden yang berpendidikan rendah

(26,1%),berpendidikan sedang (17,4%), berpendidikan tinggi (23,9%).


Terdapat 12 responden yang tidak mengalami kecemasan terdiri dari

responden yang berpendidikan rendah (8,7%), berpendidikan sedang

(15,2%), berpendidikan tinggi (2,2%), dan hanya 3 responden yang

mengalami kecemaan sedang yaitu responden yang berpendidikan

rendah (6,5%).

Dari hasil uji statitik didapatkan p value = 0,043 (= 0,05),dengan

demikian p value lebih kecil dari alpha sehingga Ho ditolak. Maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan tingkat

kecemasan pasien pre operasi mayor elektif di ruang rawat Rumah

Sakit Bhayangkara Makassar.

Dari tabel diatas dapat diketahui dua nilai OR= 0,273 dan

OR=0,104 menujukan bahwa responden yang memiliki tingkat

pendidikan rendah beresiko mengalami kecemasan ringan 0,273 kali

sedangkan responden yang memiliki tingkat pendidikan sedang

beresiko mengalami kecemasan ringan 0,104 kali dibandingkan dengan

yang berpendidikan tinggi.

4. Hubungan pengalaman dengan tingkat kecemasan

Tabel 5.7.
Hubungan Pengalaman Dengan Tingkat Kecemasan Pasien
Yang Akan Menjalani Operasi Di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Bhayangkara Makassar
Tingkat Kecemasan
Pengalaman tidak ada P 95%
kecemasan Ringan Sedang Total value CI
N (%) n (%) n (%) N (%)
10 3 16
Ya 3 (6,5%) (21,7%) (6.5%) (34,8%)
21 30
Tidak 9 (19,6%) (45,7%) 0 (0%) (65,2%) 0,045 0,05
31 3 46
Total 12 (26,1%) (67,4%) (6,5%) (100%)
Sumber: Data Primer, 2019
Pada tabel 5.7 menunjukan 31 responden mengalami kecemasan

ringan diantaranya responden yang memiliki pengalaman operasi

sebelumnya (21,7%), responden yang tidak memiliki pengalaman

operasi (45,7%). Terdapat 12 responden yang tidak mengalami

kecemasan terdiri dari responden yang memiliki pengalaman operasi

(6,5%), responden yang tidak memiliki pengalaman (19,6%), dan hanya

3 respnden yang memiliki kecemasan sedang yaitu responden yang

memiliki pengalaman operasi (6,5%).

Dari hasil uji statitik didapatkan p value = 0,045 (= 0,05), dengan

demikian p value lebih kecil dari alpha sehingga Ho ditolak. Maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara jenis pengalaman dengan

tingkat kecemasan pasien pre operasi mayor elektif di ruang rawat inap

Rumah Sakit Bhayangkara Makassar dan diketahui nilai OR=1,429 hal

ini berarti bahwa responden yang memiliki pengalaman operasi

sebelumnya beresiko mengalami kecemasan ringan 1.429 kali dari

respoden yang tidak memiliki pengalaman operasi.


5. Hubungan dukungan dengan tingkat kecemasan

Tabel 5.8.
Hubungan Dukungan Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Yang Akan
Menjalani Operasi Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar
Dukungan Tingkat Cemas
as P
tidak ada Sedang Total value 95%CI
kecemasan
n (%) n (%) n (%) N (%)
30 3 22
Ya 11 (65,2%) (6.5%) (47,8%)
(23,9%) 0,709 0,05
1 24
Tidak 1 (2,2%) (2,2%) 0 (0%) (52,2%)
31 3 46
Total 12 (67,4%) (6,5%) (100%)
(26,1%)
Sumber: Data Primer, 2019

Pada tabel 5.8 menggambarkan bahwah sebagian besar

responden mengalami keemasan ringan diantaranya responden yang

mendapatkan dukungan psikologis (65,2%), tidak mendapatkan

dukungan dari orang terdekat (2,2%), terdapat 12 responden yang

tidak menyalami kesemasan diantaranya responden yang

mendapatkan dukungan dari orang terdekat (23,9%), yang tidak

mendapatkan dukungan (2,2%), dan hanya 3 responden yang

mengalami kecemasan sedang yaitu responden yang mendapatkan

dukungan dari orang terdekat.


Dari hasil uji statitik didapatkan p value = 0,709 ( = 0,05), dengan

demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima. Maka

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman

dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi mayor elektif di ruang

rawat Rumah Sakit Umum Bhayangkara Makassar.

6. Hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat kecemasan

Tabel 5.9.
Hubungan tingkat pengetahuan dengan tingkat kecemasan pasien
yang akan menjalani operasi di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Bhayangkara Makassar

Tingkat
Tingkat Kecemasan
Pengetahuan tidak ada P
kecemasan Ringan Sedang Total value 95%CI
n (%) n (%) n (%) N (%)
Kurang 31
Baik 8 (25,8%) 20(64,5%) 3(9,7%) (67,4%)
Cukup 4 (33,3%) 6 (19,4%) 0 (0%) 10(21,7%)
0,354 0,05
Baik 0 (0%) 5(16,1%) 0(0%) 5 (16,1%)
12 31 3 46
Total (26,1%) (100%) (6,5%) (100%)
Sumber: Data Primer, 2019

Pada tabel 5.9 menunjukan bahwa sebagian besar responden

mengalami kecemasan ringan diantaranya responden yang memiliki

tingkat pengetahuan yang kurang baik (64,5%), memiliki pengetahuan

cukup (19,4%), memiliki pengetahuan yang baik (16,1%). Terdapat 12

responden yang tidak mengalami kecemasan diantaranya responden

yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik (25,8%), memiliki

pengethuan cukup (33,3%), memiliki pengetahuan yang baik(0%), dan


hanya 3 responden yang mengalami kecemasan sedang yaitu

responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang baik (9,7%).

Dari hasil uji statitik didapatkan p value = 0,354 (= 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima.

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat

pengetahuan dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi mayor

efektif di ruang rawat Rumah Sakit Umum Bhayangkara Makassar.

C. Pembahasan

Pada uraian dibawah ini, penulis akan menjelaskan beberapa

variabel meliputi pembahasan hasil penelitian tentang karakteristik

responden, kecemasan responden dan hubungan antara tingkat

pengetahuan dengan kecemasan pasien pre operasi dalam

menghadapi operasi mayor elektif di ruang rawat bedah Rumah Sakit

Umum Bhayangkara Makassar.

1. Tingkat kecemasan

Berdasarkan tabel 5.3 didapatkan hasil bahwa sebagian besar

responden mengalami kecemasan ringan yaitu 33 responden

(68,8%), sementara untuk pasien yang mengalami kecemasan

sedang yaitu 3 responden (6,3%), dan pasien yang tidak mengalami

kecemasan terdapat 12 responden (25%). Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa responden yang memiliki kecemasan ringan

lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden yang memilik

kecemasan sedang, dan terdapat beberapa responden yang tidak


mengalami kecemasan. Tanda-tanda yang sering muncul pada

responden diantaranya sering bangun pada malam hari, denyut nadi

meningkat, gemetar, merasa takut terhadap ruang operasi,

peralatan, dan takut operasi yang dilakukannya gagal.

Hal ini dikarenakan respon cemas seseorang tergantung pada

kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi tantangan,

harga diri, dan mekanisme koping yang digunakan (Stuart, 2016) dan

juga mekanisme pertahanan diri yang digunakan untuk mengatasi

kecemasannya antara lain dengan menekan konflik, impuls-impuls

yang tidak dapat diterima dengan secara sadar, tak mau memikirkan

hal-hal yang kurang menyenangkan dirinya (supresi).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Hendri (2018) dengan sampel 38 orang, menunjukan bahwa

sebagian besar responden mengalami tingkat kecemasan ringan

(44,7%) kecemasan sedang (28.9%) dan kecemasan berat (26,3%).

Tanda gejala yang sering muncul pada responden yaitu irama

jantung meningkat, nafas pendek, gejala tidak enak lambung dan

gemetar.

2. Karakteristik responden

Berdasarkan tabel 5.1 mengenai karakteristik responden yang

mempegaruhi tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani

operasi mayor elektif menggambarkan bahwa sebagian besar

responden berusia antara 41-65 tahun (45,7%), berjenis kelamin


perempuan (52,2%), berpendidikan rendah (41,3%), hampir seluruh

responden (65,2%) pengalaman pernah dioperasi sebelumnya

(58,7%), dan hampir seluruh responden mendapatkan dukungan

psikologis (95,7%).

a. Usia

Penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden

berusia 40-65 tahun (45,7%), pada usia pertengahan 40-65 tahun

mulai terjadi perubahan-perubahan baik fisik maupun psikologis.

Hasil analisis bivariat pada tabel 5.4 menunjukan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara usia responden dengan

kecemasan yang dialami (p=0,143,  =0,05), penelitian ini tidak

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Budi santoso tahun

2015 dengan sampel yang diteliti berjumlah 35 orang menunjukan

ada hubungan yang signifikan antara umur dengan tingkat

kecemasan dengan X2=10,503 df=2 p=0,000 dinyatakan signifikan

taraf 0,05 dan Molby (1998) memperlihatkan adanya hubungan

umur terhadap kecemasan pasien fraktur. Pasien yang

dikategorikan dewasa lanjut lebih dapat merespon kejadian fraktur

dengan koping individu yang baik dibandingkan kelompok umur

dibawahnya (Lukman, 2016).

Menurut Haryanto (2015) umur menunjukan ukuran waktu

pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Umur


berkorelasi dengan pengalaman, pengalaman berkorelasi dengan

pengetahuan, pemahaman dan pandangan terhadap suatu

penyakit atau kejadian sehingga akan membentuk persepsi dan

sikap. Kematangan dalam proses berpikir pada individu yang

berumur dewasa lebih memungkinkannya untuk menggunakan

mekanisme koping yang baik dibandingkan kelompok umur anak-

anak, ditemukan sebagian besar kelompok umur anak yang

mengalami insiden fraktur cenderung lebih mengalami respon

cemas yang berat dibandingkan kelompok umur dewasa (Lukman,

2016).

b. Pendidikan

Pendidikan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia bahwa

pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tingkah laku

seseorang dalam usaha mendewasakan diri manusia melalui

upaya pengajaran dan latihan.

Hasil analisa bivariat pada tabel 5.6 menunjukan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan

kecemasan pasien (p=0,043,  = 0,05) dan di dapatkan nilai OR=

0,273 menujukan bahwa responden yang memiliki tingkat

pendidikan rendah beresiko mengalami kecemasan ringan 0,273

kali sedangkan responden yang memiliki tingkat pendidikan sedang

beresiko mengalami kecemasan ringan 104 kali dibandingkan

dengan yang berpendidikan tinggi.


Hasil Riset yang dilakukan Stuarth and Sundden (2016)

menunjukan responden yang berpendidikan tinggi lebih mampu

menggunakan pemahaman mereka dalam merespon kejadian

fraktur secara adaptif dibandingkan kelompok responden yang

berpendidikan rendah (Lukman,2015). Kondisi ini menunjukan

respon cemas berat cenderung dapat kita temukan pada

responden yang berpendidikan rendah karena rendahnya

pemahanan mereka terhadap kejadian fraktur sehingga

membentuk persepsi yang menakutkan bagi mereka dalam

merespon kejadian fraktur.

c. Pengalaman

Hasil analisis bivariat pada tabel 5.7 menunjukan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara pengalaman dengan kecemasan

pasien yang akan menghadapi operasi jenis operasi mayor

(p=0,045, =0,05). Penelitian ini menunjukan nilai OR=1,429 hal ini

berarti bahwa responden yang memiliki pengalaman operasi

sebelumnya beresiko mengalami kecemasan ringan 1.429 kali dari

respoden yang tidak memiliki pengalaman operasi.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Robby (2016)

pengalaman masa lalu terhadap penyakit baik yang positif maupun

negatif dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan

menggunakan koping. Keberhasilan seseorang pada masa lalu

dapat membantu individu untuk mengembangkan ketrampilan


menggunakan koping, sebaliknya kegagalan atau reaksi emosional

menyebabkan seseorang menggunakan koping yang maladaptif

terhadap stressor tertentu.

d. jenis kelamin

Hasil analisa bivariat yang dijabarkan pada tabel 5.5

menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

jenis kelamin dengan kecemasan pasien (p=0,170, =0,05). Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Budi santoso

berjudul hubungan antara karakteristik demografi dengan

kecemasan pasien pre operasi di RS.

Islam Amal Sehat Sragen tahun 2016, sampel yang diteliti

berjumlah 35 orang menunjukan tidak ada hubungan yang

signifikan antara jenis kelamin dengan tingkat kecemasan dengan

nilai X2=3,457 df=1 p=0,063 dinyatakan tidak signifikan taraf 0,05.

Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil pengamatan tim

psikologis independen program kajian psikolgis Universitas

Indonesia mendapatkan 56,41 % individu perempuan cenderung

lebih berespon cemas terhadap kejadian fraktur dibandingkan

individu laki-laki (Lukman,2016). Diperkuat dengan teori Berkaitan

dengan kecemasan pada pria dan wanita oleh Sunaryo, 2014 yang

menulis dalam bukunya bahwa pada umumnya seorang laki-laki

dewasa mempunyai mental yang kuat terhadap sesuatu hal yang

dianggap mengancam bagi dirinya dibandingkan perempuan. Laki-


laki lebih mempunyai tingkat pengetahuan dan wawasan lebih luas

dibanding perempuan, karena laki-laki lebih banyak berinteraksi

dengan lingkungan luar sedangkan sebagian besar perempuan

hanya tinggal dirumah dan menjalani aktivitasnya sebagai ibu

rumah tangga, sehingga tingkat pengetahuan atau transfer

informasi yang didapatkan terbatas tentang pencegahan penyakit,

dan Myers (2015) mengatakan bahwa perempuan lebih cemas

akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, laki-laki lebih

aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. Penelitian

lain menunjukkan bahwa laki-laki lebih rileks dibanding perempuan.

(Power dalam Myers, 2016)

e. Dukungan

Hasil penelitian bivariat pada tabel 5.8 menunjukan bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga

dengan kecemasan pasien yang akan menghadapi operasi dengan

jenis operasi mayor (p=0,709, =0,05). Hal ini tidak sesuai dengan

teori Kaplan dan Saddock, 2014 yang mengatakan bahwa

dukungan psikososial keluarga adalah mekanisme hubungan

interpersonal yang dapat melindungi seseorang dari efek stress

yang buruk, dan penelitian yang dilakukan oleh Priyadi bahwa ada

hubungan yang bermakna antara Support System (Dukungan)

Sosial dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi dengan

nilai Signifikasi (r) 0,000 dimana nilai r < 0.05 maka terjadi
penolakan Ho. Hal ini membuktikan tidak semua responden yang

mendapat dukungan penuh dari keluarga tidak memiliki kecemasan

dan responden yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya

memiliki kecemasan ringan.

Hasil penelitian ini didukung oleh Friedman, 2015 yang

menyatakan bahwa fungsi afektif keluarga merupakan dukungan

psiokososial keluarga kepada anggotanya, sehingga anggota

keluarga tersebut merasa nyaman dan dicintai akan tetapi jika

fungsi yang penting ini tidak adekuat maka individu akan merasa

diasingkan dan tidak diharapkan lai oleh keluarga.

3. Tingkat pengetahuan

Hasil analisis univariat didapatkan mayoritas responden (67,4%)

memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, memiliki tingkat

pengetahuan cukup (21,7%), dan memiliki pendidikan yang baik

(10,9%).

Berdasarkan hasil penelitian bivariat menunjukan tidak adanya

hubungan yang signifikan antara Hubungan tingkat pengetahuan

dengan kecemasan pasien yang akan menghadapi operasi mayor

elektif di ruang rawat bedah Rumah Sakit Umum Bhayangkara

Makassar. Hasil di atas dapat dilihat hasil uji statistik didapatkan

p=0,354 yang berarti lebih kecil dari =0,05 maka dapat disimpulkan

hipotesa Ho diterima sehingga tidak adanya hubungan yang signifikan


antara Hubungan tingkat pengetahuan dengan kecemasan pasien

yang akan menghadapi operasi mayor elektif.

Hal ini tidak sesuai dengan Penelitian yang dilakukan oleh X

yang berjudul Hubungan tingkat pengetahuan informasi prabedah

dengan tingkat kecemasan pasien praoperasi yang menggambarkan

bahwa 57,1% responden memiliki pengetahuan yang baik tentang

informasi prabedah, 92,9% responden mengalami cemas sedang

pada saat akan dilakukan operasi (Grahacendikia, 2016) dan

penelitian Budi santoso, 2015 yang menunjukan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan (0,05, nilai X2=22,857 df=2 p=0,000) antara

Tingkat pengetahuan tentang pembedahan dengan tingkat

kecemasan.

Hal ini menunjukan tidak semua responden yang memiliki

pengetahuan tinggi tidak mengalami kecemasan begitu juga

responden yang memiliki pengetahuan pra bedah kurang akan

mengalami kecemasan berat, hal ini mungkin tergantung terhadap

persepsi atau penerimaan responden itu sendiri terhadap operasi

yang akn dijalankannya, mekanisme pertahanan diri dan mekanisme

koping yang digunakan. Pada sebagian orang yang mengetahui

informasi prabedah secara baik justru akan meningkatkan

kecemasannya, dan sebaliknya pada responden yang mengetahui

informasi pra bedah yang minim justru membuatnya santai menghaapi

operasinya, karna menurut Asmadi (2017) setiap ada stresor yang


menyebabkan individu merasa cemas maka secara otomatis muncul

upaya untuk mengatasinya dengan berbagai mekanisme koping.

Anda mungkin juga menyukai