Anda di halaman 1dari 2

Kecil-kecil Perantau

Merantau dan berpisah jauh dengan orang tua, mungkin hal yang dianggap
biasa saja bagi sebagian orang. Namun bagaimana jika perantau tersebut adalah
anak-anak yang tentunya sangat membutuhkan kasih sayang orang tua? Miris,
sedih, kasihan, mungkin itulah yang akan Anda rasakan. Tentu adalah bukan hal
biasa jika kita mau belajar kebermaknaan hidup dari anak-anak seperti itu.
Tengoklah sosok Azwan, salah satu siswa SD di tanah perbatasan. Sudah 4 tahun
dia berpisah dengan ibu dan ayahnya. Sejak ia datang ke Indonesia 2012 silam
sudah tak pernah dia berjumpa dengan sang ibu.

Dulu saya sering berasumsi bahwa anak yang kurang memperoleh perhatian
dari orang tua biasanya lebih banyak menunjukkan perilaku menyimpang alias
disebut ‘anak nakal’. Namun ternyata tak demikian dengan Azwan. Sepanjang
mengenalnya sebagai siswa saya di penempatan tepatnya SDN 001 Sebuku Filial
Kalas (Kalimantan Utara), asumsi ‘anak nakal’ pun terpatahkan. Azwan anak yang
baik, rajin dan penuh semangat. Tak jarang dia membuat guru-gurunya di sekolah
terharu melihat ahklak baiknya. Azwan selalu berpacu mengikuti setiap aktivitas
pembelajaran di sekolah. Kegigihannya itu turut mengantarnya meraih juara kelas.
Tak hanya itu, Azwan juga rajin menjaga kebersihan di sekolah. Pantaslah amanah
polisi kebersihan sekolah diberikan kepadanya. Pernah suatu hari saya mendapati
Azwan tengah mengepel teras sekolah usai kegiatan di Ramadhan ceria yang ditaja
SGI 7 penempatan Nunukan beberapa waktu lalu. Di saat teman-temannya memilih
pulang lebih dahulu. Namun Azwan tidak menolak mengakhirkan pulangnya untuk
menjaga kebersihan. “Rajin memang itu anak bu. Di rumah pun begitu. Rajin
membantu ke kebun, menombak, rajin mengaji, sholat juga,” ujar Pak Amrino, salah
satu gurunya di SDN 001 Sebuku Filial Kalas.

Kini saya semakin percaya, memang fitrah anak itu suci. Tidak ada anak
nakal. Jika pun ada anak yang menyimpang perilakunya mungkin dia belum
mendapat sentuhan teladan dan sentuhan doa dari guru dan orang-orang di
lingkungannya. Saya jadi teringat, bukankah kisah Rasulullah di masa kecilnya
terlahir tanpa kenal wajah dan suara ayahnya. Bahkan kemudian kehilangan ibu di
usianya yang baru enam tahun. Beliau diasuh oleh paman dan bibinya. Tapi
tengoklah, Rasulullah yang sejak kecil sudah ditempa perjuangan itu kemudian
tumbuh menjadi anak yang mandiri. Justru disitulah letak hikmahnya. Sekali lagi
telak sudah asumsi saya tentang ‘anak nakal’ yang tak bersama orang tua. Sejatinya
lingkungan hanyalah sebab. Perkara hati tetap Allah lah yang membolak-balikkan.

Kembali berkisah tentang Azwan. Mungkin Anda bertanya mengapa Azwan


berpisah dengan ibu dan bapaknya? Jawabannya singkat karena Azwan ingin
sekolah. Ayah dan ibu Azwan tinggal di Malaysia. Azwan lahir dan diasuh pada
masa kecilnya di negeri jiran itu. Namun sungguh disayangkan, urusan administrasi
bukan hal yang mudah jika warga negara Indonesia ingin menyekolahkan anaknya
di Malaysia. Demikian paparan warga yang saya dengar. Azwan kecil terpaksa
dikirim ke Indonesia dan tinggal dengan neneknya di kampung Kilo empat, desa
Pembeliangan, Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Namun, Azwan tetaplah anak biasa yang membutuhkan kasih sayang orang tuanya.
“Saya ingin sekali bertemu dengan ibu dan bapak saya. Saya sangat sedih apabila
lebaran, tidak bisa lebaran dengan ibu dan bapak. Tapi aku tabah saja menerima
semua. Aku harus sekolah dengan rajin agar bisa membanggakan kedua orang
tuaku,” curhatnya.

Ada satu hal yang membuat saya kaget luar biasa. Ternyata umur Azwan kini
16 tahun. Mungkin Anda pun menebak Azwan baru saja lulus SD atau mungkin
masih kelas 6. Ternyata tidak. Anak yang teman seumurnya sudah SMA ini, kini
baru naik kelas 4 SD. Azwan terlambat dikirim ke Indonesia. Azwan terlambat masuk
sekolah. Tahun ajaran lalu, siswa yang waktu itu masih kelas 3 ini sempat mengikuti
pelajaran di kelas 4 lebih kurang sebulan lamanya (baca: lompat kelas). Namun
sayang sekali, kemudian menurut kebijakan sekolah, Azwan diturunkan kembali ke
kelas 3. Bukan karena dia tidak mampu mengikuti, namun karena khawatir data
Azwan akan mengganggu dapodik. Saat itu Azwan sempat kecewa. Tak jarang pula
dia merasa sedih karena teman-temannya pun sering mengejeknya. Siapa sangka
siswa tertua di sekolah itu justru duduk di bangku kelas 3 bukan kelas 6. Namun,
Azwan tak pernah merasa malu untuk terus menuntut ilmu.

Semangat Azwan muda sungguh patut diteladani siapapun. Azwan bercita-


cita ingin menjadi guru dan artis. Saya sungguh terharu, membaca tulisan harapan
Azwan yang dipajang di kelas. Azwan bilang dia berjanji ingin belajar sungguh-
sungguh agar bisa meraih cita-citanya. Dia juga ingin sekali bisa menghafal Al
Qur’an. “agar bisa masuk surga,”katanya. “Apabila cita-cita saya tercapai, saya ingin
mengajar siswa-siswa saya mengaji dan menghafal Al Qur’an seperti bu guru ”
papar Azwan.

Sungguh cita-citamu mulia Azwan! Kendati hati saya risau ketika teringat
nasib Azwan. Apa mungkin kelak dia bisa melanjutkan sekolah ke bangku SMP dan
SMA? Sementara batas umurnya telah terlewati. Atau dia terpaksa mengikuti
program paket B dan paket C? Semoga saja kamu bisa terus sekolah nak! Semoga
Allah senantiasa memudahkan jalan untuk kamu menuntut ilmu dan meraih
kemuliaan. Disaat anak-anak seumurmu menikmati masa remajanya, kamu masih
dalam kepolosan dunia anak dan pancaran ketulusan hati. Di saat anak-anak lain
masih biasa merengek rapuh namun kau tumbuh jadi anak yang mandiri. Teruslah
berjuang wahai murid hebatku! Sekolahmu boleh saja tingkat dasar, tapi urusan
menginspirasi kamu sudah jauh loncat kelas. Semoga semangat hidupmu mengetuk
hati banyak orang. Semoga para pengambil kebijakan lebih peduli dengan nasib
pendidikan anak-anak negeri di tanah perbatasan.

Sebuku, Agustus 2015

Peni Yanda

Anda mungkin juga menyukai