Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH SISTEM ADMINISTRASI NEGARA

MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI PELAYANAN PUBLIK

Disusun oleh Kelompok 2 :

Istiqomah : 20.11.022413

Rifqi Aulia : 20.11.022421

Riska Febrianty : 20.11.022586

Raden Dhia Asyifa : 20.11.022569

Figa Karina Hayati : 20.11.022598

Intantri Dian Novita : 20.11.022578

Elvina Dwimaya Astuty : 20.11.022739

ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum WR.WB. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan rahmat serta karunia-nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Mewujudkan Good Governance Melalui
Pelayanan Publik” ini tepat pada waktunya untuk memenuhi tugas oleh Dosen
Pengampu mata kuliah Sistem Administrasi Negara, Ibu Indah Trihandayani., M.A.P

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena kami
masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Untaian terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita.

Palangka Raya, 12 Desember 2021

Kelompok 2

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................I


DAFTAR ISI .................................................................................................. II
BAB I .............................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................. 3
BAB II ............................................................................................................. 4
PEMBAHASAN .............................................................................................. 4
1. Pengertian Good Governance ................................................................ 4
2. Konsep Dasar Good Governance ........................................................... 5
3. Pelaksanaan Good Governance di Indonesia ......................................... 6
4. Pengertian dan Konteks Pelayanan Publik ........................................... 11
5. Unsur-Unsur Pelayanan Publik ............................................................ 13
6. Asas-asas Pelayanan Publik................................................................. 14
7. Kaitan prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik dan
penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik ................... 16
A. Prinsip-Prinsip Good Governance ................................................ 16
B. Penerapan Good Governance ....................................................... 17
BAB III ......................................................................................................... 19
PENUTUP ..................................................................................................... 19
A. KESIMPULAN .................................................................................. 19
B. SARAN .............................................................................................. 19
C. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 20

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kinerja pelayanan publik yang optimal dan excellent di instansi pemerintah


merupakan pendorong keberhasilan dan peningkatan kepuasan layanan kepada
masyarakat selaku penerimanya. Hal ini juga sangat penting dalam rangka
meningkatkan daya saing dari daerah serta mewujudkan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan sudah lama didengungkan. Sehingga pembangunan
negara dapat berlangsung yang pada akhirnya pembangunan negara dapat
mewujudkan kebahagiaan bagi masyarakatnya.

Dewasa ini fenomena pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi


pemerintah masih sering ditemui permasalahan misalnya dalam hal prosedur .
Pelayanan yang masih bertele-tele tidak sesuai dengan prosedur yang telah ada
sehingga menjadikan banyaknya waktu yang terbuang serta masih adanya
ketidakpastian terhadap waktu dan harga yang sulit dijangkau secara wajar oleh
masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan munculnya ketidakpercayaan terhadap
pemberi atau penyelenggara pelayanan publik sehingga warga masyarakat
lebih memilih mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan secara
lebih cepat dan tidak menunggu lama seperti halnya memberikan biaya
tambahan ataupun menyuruh orang lain atau di sebut juga calo. Maka dari itu untuk
mengatasi permasalahan tersebut harus diadakan upaya perbaikan terhadap
kualitas maupun kinerja penyelenggaraan pelayanan publik yang
berkesinambungan demi terwujudnya pelayanan publik yang memberikan hasil yang
prima. Rakyat berharap pada pemerintah agar dapat terselenggaranya good
governance, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan,
akuntabel, dan bertanggung jawab. Efektif artinya penyelenggaraan tepat sasaran

1
sesuai dengan perencanaan strategis yang ditetapkan, efisien artinya penyelenggaraan
dilakukan secara hemat berdaya guna dan berhasil guna, transparan artinya segala
kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara itu adalah terbuka, semua orang
melakukan dapat pengawasan secara langsung sehingga mereka dapat memberikan
penilaian kinerjanya terhadap hasil yang dicapai, akuntabel artinya penyelenggara
pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan yang ditetapkan, serta
mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada seluruh warga negara pada setiap akhir
tahun penyelenggaraan pemerintahan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis kemukakan dalam hal pelayanan publik
adalah sebagai berikut:

1. Kurang responsif, respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi mapun harapan


masyarakat seringkali lambat ditanggapi atau bahkan diabaikan.

2. Kurang informatif, berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada


masyarakat lambat atau bahkan tidak sampai.

3. Inefisiensi, berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan dengan


pelayanan yang diberikan.

4. Birokrasi, pelayanan pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari
berbagai level sehingga menyebabkan pelayanan yang terlalu lama

Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis dapat mengajukan rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari good governance?

2. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik?

2
3. Bagaimana perwujudan konsep good governance dalam kaitannya dengan
pelayanan publik?

4. Bagaimana kualitas pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada


masyarakat sehingga dapat memuaskan masyarakat?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengertian dari good governance.

2. Untuk mengetahui penerapan prinsip prinsip good governance dalam pelayanan


publik.

3. Untuk mengetahui perwujudan konsep good governance dalam kaitannya dengan


pelayanan publik.

4. Untuk menjelaskan kualitas pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada


masyarakat sehingga dapat memuaskan masyarakat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Good Governance

UNDP mendefinisikan Good Governance sebagai “the exercise of political,


economic and social resources for development of society” penekanan utama dari
definisi diatas adalah pada aspek ekonomi, politik dan administratif dalam
pengelolaan negara. Pendapat ahli yang lain mengatakan good dalam Good
Governance mengandung dua pengertian sebagai berikut :

a. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang
dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional),
kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.

b. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan
tugasnya untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan pengertian ini, maka Good Governance berorientasi pada :

a. Orientasi ideal, Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.

Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara


dengan elemen konstituennya seperti : legitimacy (apakah pemerintah) dipilih
dan mendapat kepercayaan dari rakyat, accountability (akuntabilitas), securing of
human rights autonomy and devolution of power dan assurance of civilian
control.

b. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam
melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi kedua ini tergantung pada
sejauh mana pemerintah mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta
mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.
(Sedarmayanti, 2003:6)

4
Jadi, good governance pada esensinya merupakan pemerintahan yang efektif dan
modern, yakni suatu pemerintahan yang demokratik (democratic governance) yang
elemen utamanya partisipasi masyarakat (Goffrey R. Njeru, 2000:213).

2. Konsep Dasar Good Governance

Konsep Good Governance lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi


demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan
masyarakat secara berkelanjutan (Thoha 2003:61). Konsep governance dalam Good
Governance sering kali dirancukan dengan konsep government. Konsep government
menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi
(negara dan pemerintah), sedangkan konsep governance melibatkan tidak sekedar
pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara,
sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas (Ganie-Rochman, 2000, dalam
Joko Widodo, 2001).

Berdasarkan pengertian di atas, Miftah Thoha (2003) mencoba menyimpulkan


bahwa tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi yang menjamin
adanya kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling
mengontrol yang dilakukan oleh ketiga komponen yakni pemerintah (government),
rakyat (citizen) atau civil society, dan usahawan (bussiness) yang berada di sektor
swasta (Taschereau dan Campos, 1997; UNDP, 1997). Ketiga domain tersebut
mempunyai tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini sangat
berpengaruh terhadap upaya menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Sebaliknya
jika kesamaan yang sederajat itu tidak terbukti maka akan terjadi pembiasan dimana
salah satu dimainkan mempengaruhi dan menguasai domain yang lain. Upaya untuk
menyeimbangkan ketiga komponen tersebut merupakan peran yang harus dimainkan
oleh administrasi publik. Dengan demikian ilmu administrasi publik ikut berperan
dalam mengkaji dan mewujudkan program aksi dari tata pemerintahan yang

5
demokratis dan berjalan secara baik. Proses keseimbangan inilah yang dijaga oleh
praktika administrasi publik agar tidak berhenti sampai sketsa (Miftah Thoha, 2003).

3. Pelaksanaan Good Governance di Indonesia

Harvorsen menyebutkan perbedaan antara World Bank dan United Nations


Development Programme (UNDP). Didalam buku ini membahas mengenai istilah
good governance dan global economic menurut pandangan World Bank dan UNDP.
Masih belum ada titik temu mengenai esensi dan pengertian terkait Good
Governance. Dalam kaitan ini perdebatan tentang good governance, dilihat dari
perspektif bagaimana aktor multilateral (Bank Dunia dan UNDP) menggunakan
kategori Good Governance dalam strategi pembangunan mereka. Dengan
menggunakan dua pendekatan yang berbeda untuk Good Gevernance, salah satunya
adalah terkait dengan rezim neoliberal global dan wacana liberalisasi ekonomi, Bank
Dunia menempatkan tata kelola ekonomi (economic governance) yang bertujuan
untuk perbaikan tata kelola ekonomi yang mendukung administrasi negara, dimana
anti korupsi adalah faktor kunci penting yang membagi secara jelas antara politik dan
ekonomi.

Menurut Bank Dunia, economic governance dapat berjalan dengan baik apabila
ekonomi pasar dapat berjalan, dan hal tersebut perlu dirancang seorang pengambil
keputusan yang rasional. Bank Dunia memandang bahwa keahlian ekonomi adalah
penting, sementara itu hak asasi manusia yang penting, meliputi hak untuk memiliki
property dan perlindungan hak milik seseorang disamping perlindungan dari pasar
dan state violence. Disisi lain, UNDP melihat Good Governance sebagai tata
pemerintahan yang demokratis (democratic governance), yang menekankan pada
proses demokratisasi dari bawah, fokusnya adalah dalam konteks politik dari negara
dan pemahaman struktur kekuasaan dan bagaimana perubahan struktur kekuasaan
secara demokratis. Demokrasi bukan hanya cara untuk memecahkan masalah-
masalah politik praktis tetapi juga cara untuk transformasi identitas seperti dunia

6
simbolis dari inklusif dan solidaritas kebangsaan. Proses pengambilan keputusan,
serta gerakan populer yang tumbuh dari masyarakat sipil.

World Bank, sebagai salah satu lembaga donor keuangan dunia menganggap
bahwa globalisasi merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan ekonomi setiap
negara-negara yang ada di dunia. Namun globalisasi dapat dianggap sebagai suatu
tantangan dan juga suatu masalah bagi negara-negara yang menggunakan sistem
demokrasi di dalam hubungan antara negara dan masyarakatnya. World Bank pun
memperkenalkan prinsip good governance di dalam hubungan antara negara dengan
masyarakatnya. Prinsip-prisip kerja administrasi publik dalam good governance
dianggap sebagai salah satu cara untuk meningkatkan ekonomi setiap negara, salah
satunya karena dapat mengurangi pelaku korup di dalam birokrasi pemerintahan.
Namun prinsip good governance yang diperkenalkan oleh World Bank mendapat
sejumlah kritikan. Salah satu kritik yang diberikan adalah kurangnya kontrol yang
dilakukan dalam penerapan good governance di dalam pemerintahan. Tidak hanya itu
penerapan good governance di dalam suatu negara seringkali dipaksakan walaupun
prinsip tersebut tidak cocok dengan sistem pemerintahan, negara, budaya masyarakat
yang ada.Prinsip Good Governance yang diciptakan World Bank justru dianggap
tidak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan terutama di negara-negara
berkembang (Scholte, 2012).

Apalagi ketika prinsip neoliberalisme yang diperkenalkan pada tahun 1946 oleh
sekelompok jaringan masyarakat yang suskes menerapkan suatu hegemoni kebijakan
dibeberapa negara di dunia. Neoliberalisme kemudian masuk dan diterapkan dalam
setiap kebijakan ekonomi di negara maju. Neo Liberalisme merupakan suatu paham
yang menganut prinsip-prinsip seperti mengutamakan investasi asing yang masuk ke
suatu negara, menciptakan kondisi yang seimbang antara investasi internal dan
eksternal, melegalkan ijin-ijin usaha dan menasionalisasikan investasi asing. Hal ini
menbuat ekonomi di suatu negara akan semakin maju, namun menciptakan krisis di
negara belahan dunia lainnya. Sehingga tujuan good governance yang digagas oleh
World Bank untuk memberantas kemiskinan di negara berkembang, justru gagal

7
diimplementasikan. Selain itu, praktek good governance yang digagas oleh UNDP
pun menuai kritik. UNDP mengusung good governance dalam frame democratic
governance. Konsep untuk good governance tidak bisa serta merta di
implementasikan di suatu negara, perlu adanya penyesuaian terhadap kharakteristik
kondisi dan karakteristik dari masing-masing negara. Alhasil, good governance ketika
dipaksakan di suatu negara bisa menjadi cacat. Artinya konsep good governance ini
mencoba untuk menerjang tatanan yang ada di negara tersebut dengan memasukkan
prinsip-prinsip yang diusung oleh UNDP. Hal ini bisa menghilangkan prinsip-prinsip
lokalitas yang murni berasal dari negara yang bersangkutan. Lebih lanjut, negara-
negara donor juga mempunyai keberagaman politiik dan kapitalisme yang dapat
mempengaruhi negara-negara yang menerima donor tersebut.

Good Governance mulai muncul di Indonesia setelah era reformasi. Hal ini
dilatar belakangi oleh berbagai macam permasalahan yang muncul Tuntutan
pemerintah orde baru yaitu presiden sebagai pusat kekuasaan. sebagai akibat dari
konstitusi maupun akibat dari lembaga tinggi negara lainnya yang tidak berjalan
dengan baik, dan juga tersumbatnya control social yang berasal dari partisipasi
masyarakat. Namun pada kenyataannya, hingga saat ini pun masih belum
menemukan pemaham yang baik mengenai apa itu good governance sehingga dalam
implementasinya, konsep ini belum dapat berjalan dengan baik. Pemerintahpun mulai
mempunyai komiten untuk menjadikan good governance sebagai landasan atau
pondasi nilai pemerintahan Pada masa reformasi, badan eksekutif dan legislatif telah
berhasil menciptakan 3 perundang-undangan yang kemudian mengubah sistem dalam
pemerintahan di Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang membahas mengenai pemberian


kewenangan yang lebih besar untuk daerah (Kabupaten dan Kota) untuk dapat
mengatur dan mengelola bidang pemerintahan dan juga bidang pembangunan.
Undang undang ini berimplikasi terhadap kebijakan dan perencanaan sebagai dampak
dari bergesernya kewenangan pada hal tersebut dengan adanya kebijakan yang
terdesentralisasi, maka daerahpun mempunyai kewenangan. Dengan adanya sistem

8
yang terdesentralisasi ini, daerah mempunyai kewenangan untuk dapat menetapkan
kebijaksanaan dalam hal perencanaan dan pembangunan daerah.

2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 yang membahas mengenai pemberian


wewenang yang lebih besar dalam pengelolaan dan pengalokasian dana kepada
pemerintah daerah (Kabupaten atau kota). Lebih umumnya undang-undang ini
mengatur tata pelaksanaan ini mengatur pelaksanaan perimbangan dalam bidang
keuangan antara pusat dan daerah.

3. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 mengenai pelaksanaan pada bidang


pembangunan dan pelaksanaan pemerintahan ditingkat pusat dan daerah sebagai
bentuk pengimplementasian pemerintahan yang baik. Undang-undang tersebut
merupakan landasan utama diterapkannya konsep Good Governance sebagai landasan
penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki orientasi membangun citra
pemerintahan sebagai pemberi layanan yang adil kepada masyarakat.

Ketiga undang-undang tersebut merupakan pondasi utama diterapkannya konsep


Good Governance dalam menyelenggarakan pemerintahan yang berorientasi kepada
pembangunan citra pemerintahan sebagai pemberi layanan yang adil.

Good Governance di Indonesia dikenal sejak era reformasi. Perkembangan good


governance di Indonesia pun juga dipengaruhi oleh krisis monetar dan kondisi sejarah
negara lainnya. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia disebabkan oleh banyak hal,
diantaranya tata kelola pemerintahan yang buruk, maraknya KKN (Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme). Praktik KKN menjadi perhatian serius dan menjangkiti hampir
semua elemen pemerintahan. Dampak dari permasalahan ini adalah kualitas
pelayanan masyarakat yang buruk. Masyarakat seperti dipandang sebelah mata. Para
penyelenggara pemerintahan hanya sibuk untuk mengisi perut dan memenuhi
kepentingannya. Hal ini tentunya menghabat proses pembangunan, merabaknya
kriminalitas, meningkatnya jumlah pengangguran, bertambah jumlah penduduk
miskin, tingkat kesehatan menurun, kualitas pendidikan yang buruk, dan munculnya
konflik didaerah yang mengancam persatuan dan kesatuan NKRI. Penerapan good

9
governance di Indonesia pada waktu itu bisa dikatakan sebagai angin segar yang
dapat memperbaiki sistem yang korup dan kualitas pelayanan masayarakat yang
buruk. Berikut beberapa permasalahan good governance di Indonesia:

1. Belum adanya kesesuaian antara tuntutan kebutuhan masyarakat dengan


reformasi birokrasi yang berjalan.
2. Tingginya tingkat keberagaman masalah dalam mencari keputusan akhir atau
pernyelesaianya.
3. Tren penyalahgunaan dan pelanggaran wewenang dan perilaku dan tindakan
Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang masih tinggi, serta pengadaan kontrol dan
pengendalian kinerja aparatur pemerintah yang masih lemah.
4. Partisipasi masyarakat yang semakin tinggi tuntutannya dalam pembuatan dan
pengimplementasian kebijakan publik.
5. Tuntutan publik terhadap pelaksanaan prinsip prinsip Good Governance yang
semakin meningkat, dalam rangka untuk memperbaiki dan meningkatkan tata kelola
kepemerintahan.
6. Era desentralisasi, yang berakibat pada meningkatnya tuntutan dalam
pelimpahan kewenangan, tanggung jawab dan pengambilan keputusan.
7. Belum memadainya sistem kelembagaan dan tata kelola pemerintahan di
daerah sehingga menyababkan rendahnya kinerja sumber daya aparatur pemerintahan
terkait.

Berbagai upaya dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik telah
dilakukan, namun apabila dilihat dalam perkembangan Good Governance di
Indonesia, pada pengimplementasiannya masih terdapat kebocoran akibat kurangnya
transparansi sebagai salah satu syarat pokok dari Good Governance, sehingga
pengimplementasiannya ini belum dapat dikatakan baik dan berhasil sepenuhnya.

10
4. Pengertian dan Konteks Pelayanan Publik

Pelaksanaan pelayanan publik pada prinsipnya ditujukan kepada manusia. Sudah


menjadi kodratnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim
dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.
Sejak lahirnya manusia sudah membutuhkan pelayanan, sebagaimana dikemukakan
Rusli (2004) bahwa selama hidupnya, manusia selalu membutuhkan pelayanan.
Pelayanan menurutnya sesuai dengan life cycle theory of leadership bahwa pada awal
kehidupan manusia (bayi) pelayanan secara fisik sangat tinggi, tetapi seiring dengan
usia manusia pelayanan yang dibutuhkan akan semakin menurun.

Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari
birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara
empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan hal-hal seperti
berbelit-belit, lamban, mahal, melelahkan, ketidakpastian. Keadaan demikian terjadi
karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani” bukan yang
dilayani.

Pelayanan publik secara konseptual dapat dijelaskan dengan menelaah kata demi
kata. Menurut Kotler sebagaimana dikutip oleh Lukman (2000), disebutkan bahwa
Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau
kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu
produk secara fisik. Istilah publik dalam pengertian sehari-hari di Indonesia sering
dipahami sebagai negara atau umum, hal ini biasa dijumpai dalam pola Bahasa
Indonesia yang menterjemahkan publik seperti pada istilah public administration
yang diterjemahkan sebagai administrasi negara. Kata publik sebenarnya sudah
diterima menjadi Bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, atau
orang banyak.

Berdasarkan uraian pengertian di atas, maka berbagai pengertian pelayanan


public dapat diartikan sebagai pemberian layanan keperluan orang atau masyarakat
yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan

11
tatacara yang telah ditetapkan (Kurniawan, 2005). Dalam Kepmenpan No.
63/KEP/M.PAN/7/2003, diberikan pengertian publik sebagai segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan
keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan pengertian
pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang- undangan bagi setiap
warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Berbagai gerakan reformasi publik yang dialami negara-negara maju pada awal
tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan
kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini juga ditandai pada
berbagai karya ilmiah yang telah ditulis oleh para pakar berkaitan dengan pelayanan
publik ini antara lain yang berkembang di Amerika Serikat dengan munculnya
paradigma postbureaucratic oleh Barzelay (1992) bersama dengan Armajani (1997).
Pandangan post-bureacratic berkaitan dengan pelayanan publik terlihat pada
penekanan administrasi publik pada hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan
nilai, produk dan keterikatan terhadap norma, dan mengutamakan misi, pelayanan
dan hasil akhir (outcome).

Kemudian selanjutnya dalam waktu yang hampir bersamaan muncul pula


paradigm reinventing government yang disampaikan oleh Osborne dan Gaebler
(Keban, 2008) kemudian dioperasionalisasikan oleh Osborne dan Plastrik pada tahun
1997 dalam karyanya Banishing Bureaucracy: The Five Strategiesfor Reinventing
Government. Paradigma ini juga dikenal dengan nama New Public Management.

Pandangan dari paradigma ini sebenarnya menekankan bahwa pemerintah atau


birokrat sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaiknya kepada
masyarakat. Mereka menilai bahwa pemerintahan harus mengalihkan wewenang

12
kontrol yang dimilikinya kepada masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga
mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. New Public
Management dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi publik yang
menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dalam dunia manajemen
bisnis dan disiplin yang lain untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kinerja
pelayanan publik pada birokrasi moderen (Vigoda, dalam Keban, 2008).

Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal menurut paradigma new public
service yaitu pelayanan publik harus responsif terhadap berbagai kepentingan dan
nilai-nilai public yang ada. Tugas pemerintah adalah melakukan negosiasi dan
mengelaborasi berbagai kepentingan warga negara dan kelompok komunitas.
Pandangan tersebut mengandung makna karakter dan nilai yang terkandung di dalam
pelayanan publik tersebut harus berisi preferensi nilai-nilai yang ada di dalam
masyarakat. Karena masyarakat bersifat dinamis, maka karakter pelayanan publik
juga harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Selain itu pelayanan
publik model baru ini harus bersifat non-diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh
dasar teoritis yang digunakan yaitu teori demokratis yang menjamin adanya
persamaan warga negara tanpa membeda-bedakan asal-usul, kesukuan, ras, etnik,
agama, dan latar belakang kepartaian (Dwiyanto, 2005).

5. Unsur-Unsur Pelayanan Publik

Menurut Bharata (2004:11) terdapat enam unsur penting dalam proses pelayanan
publik, yaitu:

a. Penyedia layanan, yaitu pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu
kepada konsumn, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan
barang (goods) atau jasa-jasa (services).

b. Penerima layanan, yaitu mereka yang disebut sebagai konsumen (customer) yang
menerima berbagai layanan dari penyedia layanan.

13
c. Jenis layanan, yaitu layanan yang dapat diberikan oleh penyedia layanan kepada
pihak yang membutuhkan layanan.

d. Kepuasan pelanggan, dalam memberikan layanan penyedia layanan harus mengacu


pada tujuan utama pelayanan, yaitu kepuasan pelanggan. Hal ini sangat penting
dilakukan karena tingkat kepuasan yang diperoleh para pelanggan itu biasanya sangat
berkaitan erat dengan standar kualitas barang dan atau jasa yang mereka nikmati.

Menurut Kasmir (2006:34) ciri-ciri pelayanan publik yang baik adalah memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:

a. Tersedianya karyawan yang baik;

b. Tersedianya sarana dan prasarana yang baik;

c. Bertanggung jawab kepada setiap nasabah (pelanggan) sejak awal hingga akhir;

d. Mampu melayani secara cepat dan tepat;

e. Mampu berkomunikasi;

f. Memberikan jaminan kerahasiaan setiap transaksi;

g. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik;

h. Berusaha memahami kebutuhan nasabah (pelanggan)

i. Mampu memberikan kepercayaan kepada nasabah (pelanggan)

6. Asas-asas Pelayanan Publik

Menurut Ratminto dan Winarsih (2006:245) terdapat bebarapa asas dalam


penyelenggaraan pelayanan pemerintah dan perizinan yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Empati dengan customers. Pegawai yang melayani urusan perizinan dari instansi
penyelenggara jasa perizinan harus dapat berempati dengan masyarakat pengguna
jasa pelayanan.

14
b. Pembatasan prosedur. Prosedur harus dirancang sependek mungkin, dengan
demikian konsep one stop shop benar- benar diterapkan.

c. Kejelasan tata cara pelayanan. Tata cara pelayanan harus didesain sesederhana
mungkin dan dikomunikasikan kepada masyarakat pengguna jasa layanan.

d. Minimalisasi pesyaratan pelayanan. Persyaratan dalam mengurus pelayanan harus


dibatasi sesedikit mungkin dan sebanyak yang benar-benar diperlukan.

e. Kejelasan kewenangan. Kewenangan pegawai yang melayani masyarakat


pengguna jasa pelayanan harus dirumuskan sejelas mungkin dengan membuat bagan
tugas dan distribusi kewenangan.

f. Transparansi biaya. Biaya pelayanan harus ditetapkan seminimal mungkin dan


setransparan mungkin.

g. Kepastian jadwal dan durasi pelayanan. Jadwal dan durasi pelayanan juga harus
pasti, sehingga masyarakat memiliki gambaran yang jelas dan tidak resah.

h. Minimalisasi formulir. Formulir-formulir harus dirancang secara efisien, sehingga


akan dihasilkan formulir komposit (satu formulir yang dapat diapkai untuk berbagai
keperluan).

i. Maksimalisasi masa berlakunya izin. Untuk menghindarkan terlalu seringnya


masyarakat mengurus izin, maka masa berlakunya izin harus ditetapkan selama
mungkin.

j. Kejelasan hak dan kewajiban provides dan customers. Hak-hak dan kewajiban-
kewajiban bagi providers maupun customers harus dirumuskan secara jelas, dan
dilengkapi dengan sanksi serta ketentuan ganti rugi.

k. Efektivitas penanganan keluhan. Pelayanan yang baik sedapat mungkin harus


menghindarkan terjadinya keluhan. Akan tetapi jika muncul keluhan, maka harus
dirancang suatu mekanisme yang dapat memastikan bahwa keluhan tersebut ditangani
secara efektif sehingga permasalahan yang ada dapat segera diselesaikan dengan baik.

15
7. Kaitan prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik dan
penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik

A. Prinsip-Prinsip Good Governance

Menurut kamus besar bahas Indonesia dalam KoAk (2002:55) dikatakan bahwa
prinsip mengandung pengertian "asas" (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir
dan bertindak, dan sebagainya). Secara harafiah, prinsip dapat diartikan sebagai dasar
yang mnejadi pedoman yang dijunjung tinggi oleh seseorang atau kelompok karena
diyakini kebenarannya. Dalam kaitannya dengan judul skripsi ini, maka faktor yang
ditekankan disini adalah bagaimana suatu "Prinsip" dapat diterapkan secara nyata
dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu kebenaran umum bukan sekedar
mengetahui atau memahami saja hakikat dari pada prinsip itu sendiri. Selain itu juga
berbicara mengenai bagaimana suatu prinsip diterapkan secara seimbang dan selaras
sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan ketimpangan (overlapping) dalam
kehiduapan masyrakat, bangsa dan Negara.
Lembaga Administrasi Negara memberikan pengertian Good governance yaitu
penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien
dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-
domain negara, sektor swasta, dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan
yang baik terdiri dari:
1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan
biaya yang terjangkau.
2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.

16
3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur
yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana
dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5. Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan
hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada
masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab.
7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan
adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian,
menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.

B. Penerapan Good Governance

Penerapan good governance adalah merupakan kebutuhan mutlak mayoritas


rakyat demi terciptanya suatu sistem politik pemerintahan yang lebih berpihak kepada
kepentingan rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi secara universal. Hal ini
dapat pula menjadi faktor pendorong terwujudnya political governance yang
menghendaki bahwa berbagai proses pemerintahan baik itu dari segi proses
perumusan kebijakan publik, penyelenggaraan pembangunan, pelaksanaan birokrasi
publik pemerintahan agar berjalan secara transparan, efektif dan efisien untuk
meningkatkan kesejahtraan rakyat.
Era globalisasi yang ditandai dengan semakin terbukanya arus informasi,
komunikasi dan transportasi, komunikasi dan transportasi antar negara di dunia,
menuntut suatu negara untuk memprakondisikan dirinya dengan melakukan upaya

17
pemberdayaan (empowering) dan reformasi total atas kehidupan politik dan
pemerintahan, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan pertanahan serta keamanan
nasional. Dalam kondisi persaingan bebas di era globalisasi, peran pemerintah
mengalami pergeseran, dalam arti bahwa pemerintah sudah tidak lagi menjalankan
peran secara dominan dalam berbagai aktivitas negara melainkan hanya sebagai
fasilitator bagi kelancaran arus perdagangan dan persaingan bebas. Ini menuntut
kondisi Negara (pemerintah) dengan permerintah yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme agar memperoleh kepercayaan yang besar dari masyarakat serta
agar terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan arus investasi guna
mendorong laju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi maupun mikro ekonomi.
Penerapan good governance dapat dijadikan sebagai bagian dari upaya untuk
melaksanakan asas-asas demokrasi dan demokratisasi, yang merefleksikan dijunjung
tingginya aspek pemenuhan hak-hak rakyat oleh penguasa, ditegakannya nilai-nilai
keadilan dan solidaritas sosial, serta adanya penegakan HAM dalam berbagai aspek
kehidupan negara, misalnya dengan menegakan prinsip Rule Of Law atau supremasi
hukum dalam berbagai aspek kehiduapn Negara. Good governance juga dapat
dipandang sebagai suatu konsep ideology politik yang memuat kaidah-kaidah pokok
atau prinsip-prinsip umum pemerintahan yang harus dijadikan pedoman dalam
menyelenggarakan kehidupan Negara. Dalam perspektif Otonomi Daerah, khususnya
di Indonesia, penerapan Good governance merupakan suatu urgensitas dalam upaya
mewujudkan pemerintahan daerah atau lokal governance yang efektif, efisien,
mandiri serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini didukung pula
dengan diberlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah yang
akan memberikan peluang lebih besar bagi terlaksananya asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan; serta prinsip-prinsip Otonomi Daerah sehingga
pemerintah daerah mampu menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat (publik services) secara optimal dan
tidak terlalu bergantung lagi kepada pemerintah pusat (sentralistik) sebagaimana era
pemerintahan sebelumnya.

18
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance), pada dasarnya


menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan
birokrasi maupun di lingkungan masyarakat, dekat dengan masyarakat dan dalam
memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi
membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, di sisi lain menunjukkan adanya
perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap
sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan
publik
Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan,
yaitu: mempercepat terbentuknya UU pelayanan publik, pembentukan pelayanan
publik satu atap (one stop service), transparansi biaya pengurusan pelayanan publik,
membuat SOP, dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.

B. SARAN

Profesionalitas, integritas, dan nilai etika aparatur pemerintah perlu ditingkatkan


atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait.
Karena sebaik apapun desain sebuah pelayanan publik tidak akan terlaksana dengan
efektif, efisien, dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki
integritas dan nilai etika yang rendah.
Diperlukannya Penguatan partisipasi masyarakat yang madani dengan dibangunnya
sistem pelayanan publik guna mewujudkan nilai budaya keterbukaan, antara lain
dengan menerapkan konsep Citizen’s Charter dengan melibatkan partisipasi

19
masyarakat. Kegiatan sosialisasi kepada publik sehingga masyarakat semakin paham
dan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, sehingga pada
gilirannya akan dapat memacu tumbuhnya semangat partisipasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.

C. DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, A. (2021). Mewujudkan good governance melalui pelayanan publik.


UGM PRESS.
Enceng, E. (2008). Meningkatkan Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah
Dalam Mewujudkan Good Governance. Civil Service Journal, 2(1 Juni).
Mahsyar, A. (2011). Masalah pelayanan publik di Indonesia dalam perspektif
administrasi publik. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(2).
Rahmadana, M. F., Mawati, A. T., Siagian, N., Perangin-angin, M. A., Refelino,
J., Tojiri, M. Y., ... & Bahri, S. (2020). Pelayanan Publik. Yayasan Kita Menulis.
Siti Maryam, N. (2017). Mewujudkan good governance melalui pelayanan
publik. JIPSI-Jurnal Ilmu Politik Dan Komunikasi UNIKOM, 6.
Soeprapto, R. (2003). Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah Menuju
Good Governance. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik FIA Universitas Brawijaya,
Nomor, 4, 2003.
Tomuka, S. (2013). Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance Dalam
Pelayanan Publik Di Kecamatan Girian Kota Bitung (Studi Tentang Pelayanan Akte
Jual Beli). Jurnal Politico, 1(3).
Palangda, L., & Dame, J. M. (2020). Penerapan Prinsip Good Governance
Terhadap Kualitas Pelayanan Publik. PUBLIC POLICY (Jurnal Aplikasi Kebijakan
Publik & Bisnis), 1(2), 273-287.

20

Anda mungkin juga menyukai