Anda di halaman 1dari 3

KODIFIKASI ATAU MODIFIKASI?

Oleh SHIDARTA (April 2018)

Mana yang lebih penting untuk diprioritaskan saat ini? Menjadikan kodifikasi sebagai suatu
strategi primer atau justru mendahulukan modifikasi hukum? Perdebatan ini sudah pernah
disuarakan antara lain oleh Teuku Mohammad Radhie dan Hamid S. Attamimi pada kurun
akhir dasawarsa 1980-an. Pak Radhie sebagai Kepala BPHN (1984-1988) meyakini
perlunya kodifikasi dilakukan terhadap area-area hukum yang mendasar (beliau
menyebutnya ‘basic law’) seperti hukum pidana, perdata, acara pidana, dan acara perdata.
Karena beliau adalah pengajar hukum perdata internasional, beliau juga memasukkan area
hukum perdata internasional sebagai hukum yang mendasar juga (kendati ketentuan
dalam hukum perdata internasional lebih berfungsi sebagai kaidah-kaidah petunjuk). Di
kubu berbeda terdapat pandangan Pak Hamid yang lebih memilih untuk mendahulukan
modifikasi, dalam arti membuat undang-undang tersendiri yang mencabut atau mengubah
kodifikasi dan/atau membentuk undang-undang sektoral sebanyak mungkin guna mengisi
kebutuhan yang lebih pragmatis dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Pak
Hamid adalah ahli dalam ilmu perundang-undangan yang pernah menjabat sebagai Wakil
Sekretaris Kabinet (1983-1993). Kedua figur ini kebetulan cukup penulis kenal dalam
kapasitas sebagai dosen dan (terutama Pak Radhie) sebagai rekanan kerja di sebuah
perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Sesungguhnya tidak tepat untuk memperhadapkan secara frontal antara strategi kodifikasi
dan modifikasi. Sebab, modifikasi adalah strategi yang tak bisa dihindari karena selalu
dilakukan pada semua kodifikasi. Di dalam KUH Perdata, KUH Dagang, dan KUH Pidana
sudah terdapat sekian banyak pasal baru yang dicabut, diubah, atau ditambahkan melalui
undang-undang susulan. Pak Radhie rupanya tidak cukup sabar dengan strategi ‘tambal
sulam’ seperti itu, yakni sekadar mengutak-atik kodifikasi secara parsial. Beliau ingin ada
langkah yang lebih komprehensif untuk membentuk kitab undang-undang yang baru versi
Indonesia merdeka.

Kodifikasi adalah suatu gerakan yang cukup tua, yang konon sudah dimulai pada tahun
2112-2095 Sebelum Masehi, yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Ur-Nammu. Pada
era Romawi kuno, kodifikasi juga dikenal seperti the Twelve Tables (sekitar 449 Sebelum
Masehi) dan kemudian pada Romawi Timur yang disebut Corpus Juris Civilis (529 Masehi).
Tatkala Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis pada awal abad ke-19, ia
menugaskan pembuatan kodifikasi yang di kemudian hari disebut the Napoleonic Code. Dalam
sistem hukum di Indonesia, KUH Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, dan KUH Acara Pidana
adalah contoh kodifikasi yang digunakan sampai sekarang. HIR (S.1848 No.16) atau RBG
(S.1927 No. 227) yang memuat ketentuan hukum acara perdata tidak lazim dikategorikan
sebagai kodifikasi. Jika tolok ukurnya adalah banyaknya pasal, maka tentu HIR dan RBG ini
sudah layak dianggap sebagai ‘kodifikasi’ karena area hukumnya memang mendasar dan
lingkup pengaturannya cukup komprehensif (kendati ada begitu banyak pasal yang sudah
tidak relevan lagi untuk kondisi keindonesiaan saat ini). Cukup ironis bahwa kita memiliki
kodifikasi di bidang hukum acara pidana (UU No. 8 Tahun 1981), tetapi tidak mempunyai
kodifikasi di bidang hukum acara perdata. Sementara itu, kita sebenarnya mengenal ada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sebutan “kitab undang-undang
hukum pidana militer” ini adalah terminologi resmi karena dinyatakan secara eksplisit di
dalam Pasal 150 KUHPM (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167).
Kembali ke isu utama dalam tulisan ini: apakah benar bahwa strategi kodifikasi lebih
primer dibandingkan dengan modifikasi untuk kebutuhan Indonesia dewasa ini; atau
sebaliknya?

Kodifikasi pada hakikatnya penting terutama sebagai tempat diletakkannya asas-asas


hukum yang berlaku umum bagi area hukum tersebut. Asas hukum sesungguhnya tidak
harus diformulasikan secara legal dalam dokumen hukum yang otoritatif, semacam
peraturan perundang-undangan. Sebagian besar asas hukum lahir dari doktrin atau
pendapat ahli yang kerapkali dituangkan di dalam buku-buku teks hukum. Oleh sebab itu,
tidak mengherankan ada asas hukum yang berbahasa Latin, Inggris, Prancis, Jerman, dan
sebagainya karena mengacu pada tulisan para pakar hukum negara tersebut. Substansi
kodifikasi dengan demikian harus ditempatkan sebagai lex generalis untuk suatu area
hukum. KUHP adalah lex generalis bagi hukum pidana material dan KUHAP adalah lex
generalis bagi hukum pidana formal. Jadi, bilamana ada undang-undang lain yang mengatur
hukum pidana formal di luar KUHAP, maka seharusnya ketentuan undang-undang lain ini
dapat diasumsikan merupakan lex specialis dari KUHAP. Sayangnya, sangat jarang ada
penegasan di dalam suatu undang-undang sektoral tadi yang secara tegas menyatakan
dirinya adalah lex specialis, sehingga berpotensi menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, apakah prosedur pertanggungjawaban perusahaan pers di dalam Undang-
Undang tentang Pers dapat dianggap lex specialis dari KUHAP? Jika ada seseorang menilai
bahwa suatu pemberitaan sudah mencermarkan nama baiknya, apakah ia dapat langsung
melaporkan ke polisi dengan mengacu pada Pasal 315 KUHP? Apakah kalangan pers dapat
menyatakan bahwa prosedur pelaporan ke polisi tersebut telah salah prosedur karena
melanggar Undang-Undang Pers. Di dalam undang-undang ini diatur mengenai hak jawab
dan hak koreksi. Apakah penggunaan hak jawab dan hak koreksi ini masih berada dalam
area hukum pidana atau sudah di luar hukum pidana? Kebingungan ini pada ujungnya
membutuhkan petunjuk dari otoritas pengadilan, yang antara lain mendorong
lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2008 yang pada intinya memberi
preferensi kasus-kasus seperti ini diawali dengan mendengar/meminta keterangan ahli
dari Dewan Pers.
Di sini terlihat bahwa modifikasi yang mengarah pada pembentukan lex specialis tidak selalu
mulus apabila tidak dibangun dalam suatu desain hukum nasional yang komprehensif dan
terpadu. Lebih jauh lagi, desain ini juga tidak akan jalan tanpa kejelasan politik hukum
nasional. Kodifikasi pada hukum-hukum yang bersifat mendasar sebenarnya berfungsi
untuk memaparkan desain hukum nasional kita, agar dapat menjadi arah pada hukum-
hukum sektoral. Dalam perspektif ini, kebutuhan kita terhadap kodifikasi hukum yang
solid, masih sangat primer dan signifikan untuk kebutuhan Indonesia saat ini. Modifikasi
sebagaimana disarankan Pak Hamid dapat saja dilakukan terhadap suatu kodifikasi, tetapi
selayaknya tidak boleh dijalankan dengan pendekatan tambal sulam karena berpotensi
mengganggu kesatuan logis yang melandasi filosofi hukum-hukum mendasar tadi. Apabila
format tambal sulamnya sudah terlalu dominan, maka kodifikasi tersebut akan cenderung
seperti kain percah (patchwork) yang justru berbahaya bagi kelangsungan sistem hukum
Indonesia.
Strategi modfikasi lebih aman dilakukan terhadap undang-undang sektoral. Patut dicatat
bahwa produk modifikasi pada undang-undang sektoral itu bakal mampu
mengenyampingkan produk kodifikasi. Padahal, dalil “lex specialis derogat legi generali” yang
dipakai secara serampangan sangat potensial mendekonstruksi bangunan sistem hukum.
Misalnya, semangat untuk memidanakan pelaku secara berlebihan, seperti yang acapkali
dirumuskan dalam ketentuan pidana undang-undang sektoral, sepatutnya tidak boleh
bertabrakan dengan bobot pemidanaan untuk tindak pidana sejenis di dalam KUHP.
Lalu, bagaimana strategi untuk memadukan dan mensinergikan antara gerakan kodifikasi
dan modifikasi dalam rangka pembangunan sistem hukum Indonesia? Di tengah banyaknya
pekerjaan rumah DPR yang belum pernah tuntas dalam fungsi legislasinya, maka
seharusnya ada fokus terhadap penyelesaian undang-undang yang memuat hukum-hukum
mendasar tersebut. Sementara DPR diharapkan fokus pada kebutuhan pembentukan
kodifikasi, maka konsentrasi pembentukan undang-undang sektoral biarlah diinisiasi oleh
Pemerintah saja dulu. Jargon tentang ‘legislative heavy’ dalam konteks pembentukan undang-
undang di dalam sistem ketatanegaraan kita saat ini, jangan sampai memasung
inisiatif lembaga eksekutif untuk menggunakan hak inisiatifnya. Oleh karena Pemerintah
adalah lembaga yang diasumsikan menjadi pelaksana utama undang-undang, maka dengan
sendirinya Pemerintah akan lebih selektif dalam menginisiasi hak inisiatif tersebut. Ini
semua tentu jika kita memiliki iktikad baik dan tekad yang sama untuk membangun sistem
perundang-undangan nasional yang lebih mumpuni. (***)

Anda mungkin juga menyukai