Mana yang lebih penting untuk diprioritaskan saat ini? Menjadikan kodifikasi sebagai suatu
strategi primer atau justru mendahulukan modifikasi hukum? Perdebatan ini sudah pernah
disuarakan antara lain oleh Teuku Mohammad Radhie dan Hamid S. Attamimi pada kurun
akhir dasawarsa 1980-an. Pak Radhie sebagai Kepala BPHN (1984-1988) meyakini
perlunya kodifikasi dilakukan terhadap area-area hukum yang mendasar (beliau
menyebutnya ‘basic law’) seperti hukum pidana, perdata, acara pidana, dan acara perdata.
Karena beliau adalah pengajar hukum perdata internasional, beliau juga memasukkan area
hukum perdata internasional sebagai hukum yang mendasar juga (kendati ketentuan
dalam hukum perdata internasional lebih berfungsi sebagai kaidah-kaidah petunjuk). Di
kubu berbeda terdapat pandangan Pak Hamid yang lebih memilih untuk mendahulukan
modifikasi, dalam arti membuat undang-undang tersendiri yang mencabut atau mengubah
kodifikasi dan/atau membentuk undang-undang sektoral sebanyak mungkin guna mengisi
kebutuhan yang lebih pragmatis dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Pak
Hamid adalah ahli dalam ilmu perundang-undangan yang pernah menjabat sebagai Wakil
Sekretaris Kabinet (1983-1993). Kedua figur ini kebetulan cukup penulis kenal dalam
kapasitas sebagai dosen dan (terutama Pak Radhie) sebagai rekanan kerja di sebuah
perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Sesungguhnya tidak tepat untuk memperhadapkan secara frontal antara strategi kodifikasi
dan modifikasi. Sebab, modifikasi adalah strategi yang tak bisa dihindari karena selalu
dilakukan pada semua kodifikasi. Di dalam KUH Perdata, KUH Dagang, dan KUH Pidana
sudah terdapat sekian banyak pasal baru yang dicabut, diubah, atau ditambahkan melalui
undang-undang susulan. Pak Radhie rupanya tidak cukup sabar dengan strategi ‘tambal
sulam’ seperti itu, yakni sekadar mengutak-atik kodifikasi secara parsial. Beliau ingin ada
langkah yang lebih komprehensif untuk membentuk kitab undang-undang yang baru versi
Indonesia merdeka.
Kodifikasi adalah suatu gerakan yang cukup tua, yang konon sudah dimulai pada tahun
2112-2095 Sebelum Masehi, yang dibuat pada masa pemerintahan Raja Ur-Nammu. Pada
era Romawi kuno, kodifikasi juga dikenal seperti the Twelve Tables (sekitar 449 Sebelum
Masehi) dan kemudian pada Romawi Timur yang disebut Corpus Juris Civilis (529 Masehi).
Tatkala Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis pada awal abad ke-19, ia
menugaskan pembuatan kodifikasi yang di kemudian hari disebut the Napoleonic Code. Dalam
sistem hukum di Indonesia, KUH Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, dan KUH Acara Pidana
adalah contoh kodifikasi yang digunakan sampai sekarang. HIR (S.1848 No.16) atau RBG
(S.1927 No. 227) yang memuat ketentuan hukum acara perdata tidak lazim dikategorikan
sebagai kodifikasi. Jika tolok ukurnya adalah banyaknya pasal, maka tentu HIR dan RBG ini
sudah layak dianggap sebagai ‘kodifikasi’ karena area hukumnya memang mendasar dan
lingkup pengaturannya cukup komprehensif (kendati ada begitu banyak pasal yang sudah
tidak relevan lagi untuk kondisi keindonesiaan saat ini). Cukup ironis bahwa kita memiliki
kodifikasi di bidang hukum acara pidana (UU No. 8 Tahun 1981), tetapi tidak mempunyai
kodifikasi di bidang hukum acara perdata. Sementara itu, kita sebenarnya mengenal ada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sebutan “kitab undang-undang
hukum pidana militer” ini adalah terminologi resmi karena dinyatakan secara eksplisit di
dalam Pasal 150 KUHPM (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167).
Kembali ke isu utama dalam tulisan ini: apakah benar bahwa strategi kodifikasi lebih
primer dibandingkan dengan modifikasi untuk kebutuhan Indonesia dewasa ini; atau
sebaliknya?