Anda di halaman 1dari 12

ASAS DAN LANDASAN MORAL

A. Nilai Moral
1. Pengertian Nilai
Berbicara tentang nilai, artinya berbicara tentang sesuatu yang berlaku, sesuatu
yang memikat atau yang mengimbau. Nilai memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri
antara lain; 1) nilai berkaitan dengan subjek, tanpa kehadiran subjek yang menilai
maka nilai pun tidak ada, 2) nilai tampil dalam suatu konteks praktis, untuk subjek
ingin membuat sesuatu, 3) nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh
subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Salah satu cara yang sering
digunakan untuk menjelaskan tentang “nilai” adalah memperbandingkannya dengan
fakta. Nilai berperan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering
akan dinilai secara berbeda oleh pelbagai orang. Sedangkan fakta terdapat dalam
konteks deskripsi, semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu
pada prinsipnya dapat diterima oleh semua orang (Bertens, 2013: 111-113).
Secara umum, nilai dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu baik dan buruk.
Namun tidak semua memiliki kesepakatan pengertian yang sama tentang apa itu baik,
dan apa itu buruk. Hal tersebut membuat munculnya keanekaragaman nilai,
Keanekaragaman nilai bukan soalan relatifnya nilai, melainkan terutama berkaitan
dengan kayanya realitas kehidupan manusia. Krisis nilai kerap dikaitkan dengan
merosotnya nilai-nilai moral kehidupan, misalnya fenomena tindakan korupsi
dipandang wajar, kekerasan terhadap manusia, main hakim sendiri, dan lain
sebagainya. Fenomena-fenomena tersebut, yang terjadi sebenarnya bukan nilai-nilai
mengalami proses relatifnya, melainkan kekayaan kehidupan manusia yang tidak
mendapat perhormatan yang secukupnya (Dewantara, 2017: 44-45). Manusia
mengalami proses pendangkalan dalam menghayati kehidupannya, dan kehidupan
bersamanya dengan orang lain. Dengan demikian krisis nilai tidak sekedar sama
sebagai suatu krisis konsep atau gagasan atau ide mengenai kebaikan. Krisis nilai
adalah kehidupan dalam arti etis dan moral secara mendalam dan real.
Perbuatan manusia sebagai manusia senantiasa dihubungkan dengan nilai yang
berkaitan langsung pada etika, dengan mengajukan nilai-nilai sebagai produk yang
dihasilkan dari penelusuran etika. Nilai bagaikan prestasi dari aktivitas pendalaman
ilmu normatif, etika. Suatu nilai berkaitan dengan perbuatan manusia, yang mencakup
aktivitas berpikir, mempertimbangkan, memutuskan, mempraktikkan, menindak
lanjuti, dan seterusnya. Secara fenomenologis, nilai itu berhubungan dengan peristiwa
suatu tindakan, tetapi sekaligus mengatasinya (Dewantara, 2017: 43-44). Nilai dalam
hubungannya dengan perbuatan manusia langsung menyoal pada yang menggerakkan
kehendak (will), dengan melalui pertimbangan-pertimbangan akal budi manusia.
Kehendak adalah fase langsung dan paling dekat sebelum tindakan. Jika nilai itu baik,
akan menggerakkan manusia untuk mengejarnya, demikian pula sebaliknya, jika nilai
itu buruk, nilai tersebut akan menggerakkan manusia untuk menghindari. Karena nilai
merupakan hal yang mendesak eksekusi suatu tindakan, tidak selamanya melalui
produk insting.
Manusia yang memiliki kesadaran dalam tindakannya, maka ia akan selalu
mengajukan nilai-nilai. Keberadaan manusia berkaitan langsung dengan nilai moral
dalam hidup, dan tindakannya. Kesadaran dan kehidupan manusia adalah bukti yang
secara fenomenal menyatakan tampilnya nilai-nilai. Eksistensi nilai ada jika manusia
sadar, contoh revolusi filsafat Descartes “cagito ergo sum”, artinya saya
berpikir/sadar, maka saya ada, dalam etika “cagito” (saya berpikir/sadar) maka saya
mengajukan nilai-nilai. Aktivitas penilaian ini menjadi ciri khas manusia. Kesadaran
paling langsung dan serentak mengenai nilai jelas dalam kenyataan bahwa “menilai”
diri sendiri dan orang lain. Menilai diri sendiri artinya melakukan paling sedikit
kesadaran akan segala apa yang kita lakukan, rasakan, pikirkan, olah dan seterusnya.
Kesadaran semacam ini memproduksi nilai-nilai atau sangat mengutamakan paham-
paham nilai-nilai (Dewantara, 2017: 47-48).
Manusia yang memiliki kesadaran dalam tindakannya, maka ia akan selalu
mengajukan nilai-nilai. Keberadaan manusia berkaitan langsung dengan nilai moral
dalam hidup, dan tindakannya. Kesadaran dan kehidupan manusia adalah bukti yang
secara fenomenal menyatakan tampilnya nilai-nilai. Eksistensi nilai ada jika manusia
sadar, contoh revolusi filsafat Descartes “cagito ergo sum”, artinya saya
berpikir/sadar, maka saya ada, dalam etika “cagito” (saya berpikir/sadar) maka saya
mengajukan nilai-nilai. Aktivitas penilaian ini menjadi ciri khas manusia. Kesadaran
paling langsung dan serentak mengenai nilai jelas dalam kenyataan bahwa “menilai”
diri sendiri dan orang lain. Menilai diri sendiri artinya melakukan paling sedikit
kesadaran akan segala apa yang kita lakukan, rasakan, pikirkan, olah dan seterusnya.
Kesadaran semacam ini memproduksi nilai-nilai atau sangat mengutamakan paham-
paham nilai-nilai (Dewantara, 2017: 47-48).
Nilai moral bukan pilihan, akan tetapi adalah kewajiban, nilai moral adalah
fenomena kewajiban. Kesaksian tentang kewajiban ada dalam tindakan dan bahasa
manusia sehari-hari. Kewajiban manusia hadir dalam tindakan dan bahasa, bukan
pikiran. Bahasa melukiskan, mengungkapkan, memberikan wacana (referensi) atau
yang semacamnya berkaitan dengan fenomena kewajiban. Tindakan mewujudkan
kewajibannya, yang dimaksudkan dalam arti luas, bukan hanya sekedar tindakan
fisik, melainkan juga segala apa yang merupakan pencetusan eksistensi manusiawi.
Konfirmasi mengenai karakter normatif etika ada dalam keseharian hidup manusia.
Karakter normative etika dibuktikan dalam fenomena peristiwa-peristiwa kehidupan
konkret. Prinsip bonum faciendum et malum vitandumi (kebaikan harus dilakukan
dan keburukan harus dihindarkan) adalah penegasan realitas bahwa hidup manusia
langsung menyentuh kewajiban moral. Menurut Aristoteles, kebaikan harus
dilakukan karena menjanjikan kebahagiaan, sedang menurut Kant, karena itulah
kodrat kebaikan, kodrat baik itu sekaligus mencetuskan wajib atau harus. Jika
Aristoteles berpendapat, keharusan untuk menjalankan kebaikan untuk tujuan
kebahagiaan, berbeda dengan Kant, bahwa keharusan terletak pada kodrat kebaikan
itu sendiri.
Ciri-ciri nilai moral lebih khusus menandai atau dapat terlihat pada pribadi
manusia yang bertanggung jawab, yang dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya
berasal dari inisiatif bebas. Manusia membuat tingkah lakunya menjadi baik atau
buruk dari sudut moral, yang tergantung pada kebebasannya dan menjadi syarat
mutlak dari nilai moral. Nilai moral tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap
tanggung jawab, dan hanya dapat dituntut apabila ada kebebasan untuk memilih.
Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari hati nurani, kemudian
menimbulkan “suara” dari hati nurani yang akan merendahkan atau menentang nilai-
nilai moral dan memuji bila mewujudkan nilai-nilai moral (Bertens, 2013: 114-115).
Oleh filsuf Immanuel Kant dirumuskan secara singkat, bahwa tuntutan suara hati
bersifat mutlak. Kemutlakan tuntutan suara hati tidak berarti bahwa suara hati pasti
betul. Suara hati pun hanya berdasarkan penilaian-penilaian diri sendiri dan penilaian
manusia tidak pernah pasti seratus persen. Pengertian manusia pada hakikatnya
terbatas dan sering kurang lengkap dan kadang-kadang berat sebelah. Jika seseorang
memberi pengertian yang salah memberi masukan kepada suara hati, suara hati akan
menuntut sikap yang secara objektif tidak tepat (Magnis Suseno, 1987: 56-57).
Manusia selalu melakukan pertimbangan-pertimbangan dalam hidupnya, melakukan
pertimbangan artinya manusia memiliki semacam gradasi nilai-nilai yang fundamen
untuk menegaskan pilihan-pilihan dan melakukan keputusan. Hati nurani pertama-
tama menyentuh pengetahuan (atau kesadaran) dari hati. Hati nurani ialah hati yang
mengetahui, yang memiliki pengetahuan, jika hati nurani mengetahui artinya ialah
hati memiliki semacam pertimbangan yang membimbing kehendak manusia
(Dewantara, 2017: 19-20). Kewajiban terhadap nilai-nilai moral, secara absolut
dengan tidak dapat ditawar-tawar. Dan tidak ada nilai-nilai moral yang murni,
terpisah dari nilai-nilai lain, oleh karena itu nilai moral adalah bersifat formal
(Bertens, 2013: 114-117).

b. Macam-Macam Nilai
1) Eudaemonisme
Bentuk dari eudaemon menurut Epikuros mewujud dalam pleasure, kenikmatan
yang mewujud dalam kenikmatan yang mengalir dari eating and drinking, “The root
of all goad is the pleasure that cames from eating and drinking”. Gagasan
“kenikmatan” dalam Epikureanisme memaksudkan arti yang sangat mendalam.
Kenikmatan menjadi sangat jelas dan konkrit dalam aktivitas makan dan minum.
Tetapi ide kenikmatan menyentuh pada soal bahwa aktivitas kehidupan manusia
harus terarah kepada segala yang berkaitan untuk menghindari kesengsaraan,
penderitaan, kecemasan, dan seterusnya. Kaum Epikurean adalah para pemuja
kehidupan, lebih dari sekedar penyanjung kenikmatan atau kepuasan fisik yang
rendah. Pleasure Epikurean diteruskan oleh Jeremy Bentham (1748-1832), ia
memandang bahwa kehidupan manusia diatur dan terus ditata sedemikian rupa pada
pendasaran untuk menghindari penderitaan dan mengejar kenikmatan (Dewantara,
2017: 51-54).
Aristoteles adalah pencetus etika eudaemonistis rasional, etika kebaikan yang
yang terarah kepada kebahagiaan (eudaemonia). Kebahagiaan adalah pencetusan
yang paling sempurna, ideal, rasional dari aktivitas tindakan manusia. Jika Plato
menggagas kebaikan manusia dalam kaitannya sang Kebaikan tertinggi (Idea/Forma),
Aristoteles menegaskan bahwa manusia dengan rasionya (akal budinya) dapat meraih
kebahagiaan bagi hidupnya. Kebahagiaan berkaitan langsung dengan virtue
(keutamaan), yaitu aktivitas manusia yang melukiskan kesesuaiannya dengan akal
budinya. Berbeda dengan Epikuros, Bentham dan kaum Epikurean yang mencetuskan
rasa/cita rasa/kenikmatan dalam hubungannya dengan terminologi kebahagiaan,
Aristoteles meletakkan karakter rasional pada pengertian tentang kebahagiaan. Bagi
Aristoteles, kebahagiaan itu bukan menikamati hasil atau prestasi jerih payah,
melainkan suatu kegiatan. Sedang Thoma Aquinas melukiskan kebahagiaan abadi di
surga, misalnya sebagai pengetahuan sempurna mengenal Tuhan. Dalam pengertian
tersebut, kebahagiaan adalah soal pengetahuan, soal yang jelas langsung berhubungan
dengan rasio. Pengetahuan sempurna yang dimaksud berarti mengalami secara
sepenuhnya kesatuan dengan sang sumber kebahagiaan. Eudaemonisme menurut
Thomas memiliki karakter eskatologi, yaitu kebahagiaan abadi di surga, yang
diusahakan, kejar, hayati, wartakan, atau hidup sebagai beriman kepada Tuhan.
Pertimbangan yang paling mendasari etika kebahagiaan, yaitu tujuan pada
dirinya sendiri, tanpa ada yang mengatasinya. Orang yang telah bahagia, tidak
memerlukan apa-apa lagi. Yang khas bagi hedonisme adalah aggapan bahwa orang
akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak
mungkin, dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang tidak
menyenangkan. Hedonisme muncul sebagai teori yang ingin menentang etika-etika
tradisional yang kaku. Hedonisme sering kali mendarkan diri pada suatu teori bahwa
manusia, bagaimanapun juga hanya selalu mencari nikmat, dan menghindari
perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Teori ini disebut hedonisme psikologis
karena mengenai hal motivasi dasar manusia (yang diselidiki oleh para psikologi).
Hedonisme psikologis adalah sebuah teori yang tidak percaya bahwa manusia dapat
betul-betul tergerak oleh cita-cita yang luhur, oleh dorongan untuk membantu orang
lain (Magnis Suseno, 1987: 113-115).
2) Utilitarian
Etika utilitarian ialah penilai baik buruk tindakan manusia difondasikan pada
soal berguna atau tidak berguna (utile), untuk kesejahteraan bersama. Utilitarian
mengusahakan kebaikan sebanyak mungkin bagi komunitas, dalam aktivitas hidup
bersama dengan mengejar kesejahteraan, atau dengan kata lain kebahagiaan. Disebut
utilitarian karena segala aktivitas manusia dipikirkan tentang apa kegunaannya bagi
sebanyak mungkin orang dalam menikmati kesejahteraan.
Menurut John Stuart Mill, manusia mengusahakan kesejahteraan bagi dirinya
selalu dalam relasinya dengan yang lain (dalam konteks komunitas, kelompok
masyarakatnya. Utilitarian memaksudkan penolakan atas ide bahwa baik-buruk
tindakan tergantung pada kodrat atau natura dari tindakannya (Dewantara, 2017: 56-
57). Utilitarisme sering dituduh oleh filsuf-filsuf moral yang ingin menyamakan
kebaikan moral dengan manfaat. Utilitarisme juga dianggap sebagai “etika sukses”,
yakni etika yang menilai kebaikan orang dari apakah perbuatannya menghasilkan
sesuatu yang baik atau tidak (Magnis Suseno, 1987: 122-123). Akan tetapi maksud
sebenarnya utilitarisme ialah agar manusia semua selalu bertindak sedemikian rupa
dengan sebanyak mungkin orang dapat sebahagia mungkin.

3. Esensi Nilai Moral


Nilai moral apakah tercakup dalam sesuatu yang intrinsik ada pada tindakan
manusia ataukah mengalir dari penyesuaian suatu tindakan dengan norma yang murni
ekstrinsik (seperti hukum positif, kebiasaan, adat, dan sebagainya), pertanyaan
tersebut berkaitan langsung dengan esensi nilai moral, atau yang menyentuh nilai
moralnya. Dengan esensi nilai dimaksudkan pula hakikat, kodrat, natural nilai. Ada
beberapa pengertian atau pendekatan teoritis dalam memahami nilai, yaitu: 1) teori
yang mengaitkan nilai moral suatu perbuatan dengan hukum positif (entah dari Tuhan
atau dari manusia) disebut positivisme moral. Moralitas ekstrinsik ialah penilaian
baik buruk atas tindakan manusia yang selalu didasarkan dalam konformitasnya
(kesesuaian) dengan hukum positif atau perintah, 2) Moralitas ekstrinsik menegaskan
kebenaran bahwa tatanan moral manusia itu baik atau buruk, adil atau tidak, bukan
karena ditentukan oleh keputusan-keputusan manusia yang berkuasa atau instansi
yang berkuasa, melainkan oleh kesadaran seseorang dalam arti yang sedalam-
dalamnya sebagai manusia (Dewantara, 2017: 49-51).
Nilai moral tidak terpisah dari nilai-nilai jenis lainnya. Setiap nilai memperoleh
suatu “bobot moral”, jika diikutsertakan dalam tingkah laku moral, misalnya
kejujuran adalah suatu nilai moral, tetapi kejujuran itu akan menjadi “kosong”, bila
tidak diterapkan pada nilai lain, seperti pada nilai ekonomi. Nilai-nilai itu mendahului
tahap moral, tetapi dapat berbobot moral, karena diikutsertakan dalam tingkah laku
moral (Bertens, 2013: 113-114).
Esensi sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas, adalah sikap hati orang
yang terungkap dalam tindakan lahiriah (tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya
dari sikap hati). Moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik kerena
ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari untung.
Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih, yang
bernilai secara moral (Magnis Suseno, 1987: 58).

4. Kaidah dan Landasan Etika atau Moral


Manusia menjadi manusia yang sebenarnya, apabila menjadi manusia yang etis,
yang titik tolaknya adalah; 1) ia percaya kepada kebenaran, kebaikan dan keadilan, 2)
ia berusaha sekuat tenaga untuk berbuat secara benar, baik, dan adil. Manusia disebut
etis, ialah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat
hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
sosialnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri
sendiri dengan khaliknya (Charris Zubair, 1990: 71-72).
a. Kaidah Dasar Moral
Manusia selalu mencari dasar yang lebih tinggi dalam berpikir tentang
kesusilaan. Apa yang disebut kesusilaan pada hakikatnya adalah perkembangan yang
sejati dari kodrat manusia. Oleh karena itu, Ketuhanan adalah dasar dari seluruh
kesusilaan dan juga tujuan dari kesusilaan. Tanpa ketuhanan tidak mungkin ada
kesusilaan yang berkembang (Charris Zubair, 1990: 75).
1) Sikap baik sebagai kaidah dasar moral
Manusia wajib bertindak sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dari akibat
baik dibanding akibat buruk. Kaidah tersebut hanya berlaku jika manusia menerima
kaidah yang lebih dasar, yaitu harus membuat yang baik dan mencegah yang buruk.
Secara ideal manusia hanya menghasilkan akibat baik dan sama sekali tidak
menghasilkan yang buruk, atau sedapat mungkin keburukan diminimalkan.
Kaidah sikap baik pada dasarnya mendasari semua norma moral, kecuali
mempunyai alasan khusus, harus bersikap baik terhadap apa saja, yang memandang
seseorang/sesuatu tidak hanya berguna untuk diri sendiri, menyetujui, membenarkan,
mendukung, membela, membiarkan seseorang/sesuatu berkembang demi dirinya
sendiri, dan sikap baik itu harus dinyatakan secara konkrit pada situasi tersebut.
2) Kaidah keadilan
Keadilan dalam membagikan yang baik dan yang buruk. Ketidakadilan ialah
apabila dari dua oang yang sifat-sifatnya cukup mirip dan yang berada dalam situasi
yang mirip juga, yang satu diperlakukan dengan lebih baik atau dengan lebih buruk
daripada yang lain. Mencari ciri-ciri relevan dalam rangka pertimbangan moral, untuk
membenarkan perlakuan yang sama, dan untuk membenarkan perlakuan yang tidak
sama. Menurut Aristoteles bahwa ciri-ciri yang relevan adalah ciri-ciri yang
mempengaruhi kebahagiaan manusia. Ciri-ciri yang paling mempengaruhi
kebahagiaan orang adalah kemampuan dan kebutuhannya. Dalam menentukan
perlakuan yang sama, perlu diperhatikan kemampuan dan kebutuhan. Sebab
perbedaan dalam kemampuan dan kebutuhan orang adalah ciri yang dapat
membenarkan suatu perlakuan yang berbeda pula (Charris Zubair, 1990: 71-73).
Memberi perlakuan yang sama kepada orang lain berarti memberi sumbangan yang
relatif sama terhadap kebahagiaan mereka, diukur pada kebutuhan mereka, dan
menuntut dari mereka pengorbanan yang relative sama, diukur pada kemampuan
mereka. Jadi kesamaan sumbangan ke arah kebahagiaan orang lain tidak
dimaksudkan dalam arti sama rata, melainkan kesamaan itu ditentukan dengan
melihat kebutuhan orang itu.
b. Landasan Kaidah Moral
Landasan kaidah dasar moral terdiri atas dua yaitu; 1) kaidah sikap baik,
berdasarkan kesadaran bahwa apa saja yang ada karena adanya itu saja, maka pantas
mendapat dukungan, terhadap apa saja yang ada, pantas manusia bersikap baik
terhadapnya, 2) kaidah keadilan, mengarah kepelaksanaan suatu nilai yang lain, perlu
diingat bahwa kaidah itu hanya berlaku bagi makhluk yang berakal budi dan
fungsinya ialah menjamin agar tidak ada seorangpun yang dirampas haknya demi
keuntungan orang lain atau seluruh masyarakat (Charris Zubair, 1990: 74).

5. Norma Moral
Pengertian kata “norma” pada mulanya berarti alat tukang batu atau kayu yang
berupa segi tiga. Dalam perkembangannya, berarti ukuran, garis, pengarah, atau
aturan, kaidah bagi pertimbangan dan penilaian. Nilai yang menjadi milik bersama
dalam satu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan
menjadi norma yang disepakati bersama (Charris Zubair, 1990: 20). Kata norma
berasal dari bahasa Latin “carpenter’s square”, artinya siku-siku yang dipakai
tukang kayu untuk mencek apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi,
dan lain sebagainya) sungguh-sungguh lurus. Asal-usul ini membantu untuk mengerti
maksud dari kata “norma”, yakni aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur
untuk menilai sesuatu (Bertens, 2013: 117-118). Terdapat banyak sekali macam
norma, misalnya norma yang menyangkut benda dan norma yang menyangkut
tingkah laku manusia. Contoh tentang norma yang menilai benda adalah norma-
norma teknis yang dipakai untuk menentukan kelaikan udara sebuah pesawat terbang
atau kelaikan laut sebuah kapal. Jika sesuai dengan norma-norma tersebut, pesawat
boleh terbang dan kapal boleh berlayar. Namun jika sebaliknya, pesawat atau kapal
harus diperbaiki dulu, hingga akhirnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Norma yang menyangkut tentang tingkah laku manusia sebagai keseluruhan dan
norma khusus yang hanya menyangkut aspek tertentu dari apa dilakukan manusia.
Contoh tentang norma-norma adalah norma bahasa. Tata bahasa Indonesia adalah
norma yang menentukan apakah seseorang menggunakan bahasa dengan baik atau
justru sebaliknya.
Ada tiga macam norma umum, yaitu norma-norma sopan santun, norma-norma
hukum, dan norma-norma moral. Norma-norma sopan santun menyangkut sikap
lahiriyah manusia. Meskipun sikap lahiriyah dapat mengungkapkan sikap hati dan
karena itu mempunyai kualitas moral, namun sikap lahiriyah sendiri tidak bersifat
moral. Orang yang melanggar norma kesopanan karena kurang mengetahui tata
krama di daerah itu, atau karena di tuntut oleh situasi tidak melanggar norma-norma
moral. Demikian pula halnya norma-norma hukum, yaitu norma-norma yang dituntut
dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan
kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar,
orang yang melanggar hokum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sanksi. Tetapi
norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan
suara hati, jadi demi kesadaran moral, kita harus melanggar hukum. Kendatipun kita
kemudian dihukum, hal itu tidak berarti bahwa kita ini orang buruk. Hukum tidak
dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk
menjamin tertib umum. Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral
kita betul-betul dinilai. Oleh sebab itu penilaian moral selalu berbobot, yang tidak
melihat dari salah satu segi, melainkan sebagai manusia (Magnis Suseno, 1987: 18-
19).
Dalam etika dan hukum, aturan tradisional dan yang diterima harus diikuti jika
hal tersebut tidak ada alasan yang jelas untuk melawannya. Beban pembuktian tidak
pernah berdasar atas aturan yang ditetapkan, melainkan berdasar atas rusaknya atau
berubahnya aturan. Setiap aturan moral harus dipertimbangkan, tentunya sesuai
dengan utilitasnya. Namun beberapa aturan moral memiliki utilitas hanya karena
aturan tersebut telah diterima. Menjadi tugas filsuf moral, dan bahkan kaum utilis
peraturan, tidak begitu membentuk aturan moral yang tepat yang mengatur situasi
khusus sebagaimana menemukan aturan moral yang tepat. Maka ia sama dengan
harus memutuskan untuk menemukan dan menafsirkan hukum yang relevan.
Kesalahan yang dilakukan filsuf moral, kuno maupun modern, adalah asumsi bahwa
manusia dapat mencabut semua aturan etis yang ada sampai ke akarnya, hal ini akan
menjadi mustahil (Hazliti, 2003: 94).

6. Kebebasan dan Tanggung Jawab


a. Kebebasan
Kata kebebasan (liberty dan freedom) digunakan baik dalam dunia hukum-
politis maupun dalam dunia moral. Di dalam dunia hukum dan politis yang paling
pas, atau setidaknya konsep yang sangat berguna dan bermanfaat, adalah konsep John
Locke dalam The Second Treatise of Civil Government (Hazliti, 2003: 336-337).
Konsep kebebasan sebagai tidak adanya rintangan (yang mencakup kualifikasi bahwa
“terdapat kasus yang seseorang harus dibatasi jika orang ingin memelihara kebebasan
orang lain”) merupakan konsep politis yang paling tua tentang kebebasan.
Manusia dalam hidupnya, kebebasan adalah suatu unsur yang hakiki. Dalam
hidup manusia kebebasan merupakan banyak aspek dan banyak karakteristik. Oleh
para filsuf dikemukakan pelbagai cara untuk membagikan serta membedakan arti-arti
kebebasan. Ada tiga macam kebebasan, yaitu; 1) kebebasan jasmaniah, adalah tidak
adanya paksaan terhadap kemungkinan-kemungkinan seseorang untuk menggerakkan
badannya. Jangkauan kebebasan jasmaniah ditentukan oleh kemampuan badannya
sendiri, 2) kebebasan kehendak, adalah kebebasan untuk menghendaki sesuatu.
Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir,
karena manusia dapat memikirkan apa saja, dan menghendaki apa saja, 3) kebebasan
moral; dalam arti luas, tidak adanya macam-macam ancaman tekanan larangan dan
lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik, sedang dalam arti sempit, tidak
adanya kewajiban (Charris Zubair, 1990: 41-43).
Perdebatan tentang kebebasan yang difahami secara positif dengan tekanan
“bebas untuk apa”, atau secara negatif, “bebas dari apa”. Dengan pembedaan antara
dua segi kebebasan tersebut, maka kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan
eksintensial atau kemampuan manusia untuk mengambil sikap sendiri, dan kebebasan
sosial atau tentang ruang gerak yang diberikan masyarakat kepada manusia. Akan
tetapi, membedakan dua kebebasan tersebut tidak berarti memisahkan. Kedua
kebebasan tersebut hanya dua sudut dari satu kenyataan, yaitu kebebasan manusia,
yang tidak pernah lepas satu dari yang lain (Magnis Suseno, 1987: 33-34). Kebebasan
sosial adalah terbatas, merupakan suatu fakta yang tidak dapat disangkal. Dimanapun
seseorang tidak akan pernah akan diizinkan dan dibiarkan melakukan apa saja yang
diinginkan.
Kebebasan merupakan dasar yang sangat penting, sebagai sine qua non bagi
moralitas. Moralitas dapat ada hanya dalam masyarakat yang bebas, moralitas dapat
ada sebesar adanya kebebasan. Hanya sebesar itulah manusia memiliki kemampuan
untuk memilih yang dapat mereka sebut memilih yang baik (Hazliti, 2003: 338).
b. Tanggung Jawab
Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia, lebih khusus menandai pada
pribadi manusia yang bertanggung jawab. Suatu nilai moral hanya dapat diwujudkan
dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab orang
bersangkutan. Tanggung jawab adalah salah satu perwujudan kodrat manusia yang
sempurna. Manusia terbatas, tetapi ia memiliki kodrat keterarahan pada
kesempurnaan. Tanggung jawab adalah cetusannya yang sangat memesona.
Kemajuan atau pertumbuhan kesempurnaan manusia setiap hari perlu diusahakan
(Dewantara, 2017: 64).
Bertanggung jawab berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-
perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan
tentang tingkah lakunya dan tidak hanya dapat menjawab, melainkan juga ia harus
menjawab. Tanggung jawab bahwa orang tidak boleh mengelak, bila diminta
penjelasan tentang perbuatannya. Jawaban itu harus diberikan kepada dirinya sendiri,
kepada masyarakat luas, dan bila ia orang yang beragama, kepada Tuhan (Bertens,
2013: 99).
Bertanggung jawab sebagai tindakan dialogis, menjawab, berbeda dengan arti
“menanggung” sesuatu dengan suatu akibat tertentu. Tindakan menjawab adalah
tindakan aktif, ada inisiatif yang terarah kepada bukan dirinya, melainkan orang lain.
Tindakan menjawab mengandaikan ada sesuatu permintaan, harapan, kerinduan. Jika
demikian halnya, maka tindakan menjawab hanya akan merupakan sungguh-sungguh
tindakan menjawab bila sesuai dengan permintaan, harapan, kerinduan. Maka dengan
sendirinya, lantas, tindakan menjawab adalah tindakan positif. Berarti secara negatif,
jika tindakan itu tidak merupakan pemenuhan atas permintaan, harapan, kerinduan, ia
bukan merupakan tindakan menjawab (Dewantara, 2017: 67). Bila tanggung jawab
tidak sekedar tindakan menanggung sesuatu atau akibat dari sesuatu, karena ada
beberapa pengertian. Sering kata tersebut dimaksudkan untuk melukiskan sifat atau
keadaan manusia dewasa. Sebab orang dewasa, dalam ilmu psikologi, adalah orang
yang sudah mampu menanggung dirinya, tindakannya, akibat-akibat dari
tindakannya.
Dalam tanggung jawab terkandung pengertian penyebab, orang bertanggung
jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Orang yang tidak menjadi penyebab
dari suatu akibat tidak bertanggung jawab juga. Tetapi untuk bertanggung jawab,
tidak cukup orang menjadi penyebab, perlu juga orang menjadi penyebab bebas.
Kebebasan adalah syarat mutlak untuk tanggung jawab (Bertens, 2013: 99-101).
Tanggung jawab itu dapat langsung dan tidak langsung bila pelaku sendiri
bertanggung jawab atas perbuatannya. Dalam konteks hati nurani, tanggung jawab
dapat dibedakan antara tanggung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospektif.
Tanggung jawab retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah
berlangsung dan segala konsekuensinya, sedang tanggung jawab prospektif adalah
tanggung jawab atas perbuatannya yang akan datang. Dengan demikian, sebelum
perbuatan dilakukan, pelaku bersangkutan telah bertanggung jawab (prospektif),
tetapi saat itu tanggung jawabnya masih terpendam dalam hatinya dan belum
berhadapan dengan orang lain. Baik untuk tanggung jawab retrospektif maupun untuk
tanggung jawab prospektif berlaku bahwa tidak ada tanggung jawab, jika tidak ada
kebebasan.

7. Kesadaran Moral
Kata hati atau istilah lain dari kesadaran moral menurut Poedjawijatna, sebagai
berikut: a) index atau petunjuk, memberi petunjuk tentang baik-buruknya sesuatu
tindakan yang mungkin akan dilakukan seseorang, b) judex atau hakim, sesudah
tindakan dilakukan, kata hati menentukan baik-buruknya tindakan, c) vindex atau
penghukum, jika ternyata tindakan itu buruk, maka dikatakan dengan tegas dan
berulangkali bahwa hal itu buruk. Sedang menurut Prof. Notonagoro; a) sebelum,
sebelum melakukan tindakan, kata hati telah memutuskan satu diantara empat hal,
yaitu memerintahkan, melarang, menganjurkan, dan atau membiarkan, b) sesudah,
sesudah melakukan tindakan, jika bermoral diberi penghargaan, jika tidak bermoral,
dicela atau dihukum (Charris Zubair, 1990: 55).
Kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan
manusia selalu bermoral, berperilaku susila, tindakannya sesuai dengan norma yang
berlaku. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial,
fundamental. Perilaku manusia yang didasarkan atas kesadaran moral, perilakunya
akan selalu direalisasikan sebagaimana yang seharusnya, kapan saja, dan di mana
saja. Meskipun tanpa ada orang yang melihatnya, tindakan yang bermoral selalu
dilakukan, sebab tindakannya berdasarkan atas kesadaran, bukan berdasar pada suatu
kekuasaan atau paksaan. Terdapat tiga unsur kesadaran moral menurut Von Magnis
(Charris Zubair, 1990: 55), adalah sebagai berikut:
1) Perasaan wajib atau keharusan untuk melakuknan tindakan yang bermoral ada
pada seseorang, dan terjadi di dalam setiap hati sanubari manusia, siapapun, di
manapun, dan kapanpun. Rasa wajib tersebut menunjukkan bahwa suara batin
harus selalu ditaati, karena suara batinnya justru sebagai kesadaran bahwa
seseorang merasa mempunyai beban atas kewajiban mutlak, untuk
melaksanakan sesuatu, tanpa ada kekuatan apapun yang yang berhak
mengganggu pelaksanaannya.
2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum,
terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan, Dinyatakan sebagai hal yang
objektif dapat diuniversalisasikan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap
waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
Dalam masalah rasionalitas kesadaran moral, manusia meyakini bahwa akan
sampai pada pendapat yang sama sebagai suatu masalah moral, asal manusia
bebas dari paksaan dan tekanan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak
berpihak, bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum,
pengetahuan jernih, dan mengetahui informasi.
3) Kebebasan, atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya,
bebas dalam menentukan perilakunya, dan di dalam penentuan tersebut
sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.
Terdapat tiga lembaga yang mengajukan norma-norma mereka kepada manusia,
dan yang paling menyolok adalah masyarakat. Lembaga yang pertama dan terpenting
adalah keluarga, terutama orang tua. Dari orang tua untuk pertama kali seseorang
belajar apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus dianggap
baik dan apa yang tidak baik, bagaimana harus bergaul dengan orang lain. Perbedaan
antara baik dan buruk dipelajari dari mereka. Belajar pula tentang larangan
berbohong, dan hendaknya membantu orang yang menderita. Lembaga dan orang lain
yang mengajukan tuntutan-tuntutan mereka adalah sekolah dengan bapak-ibu guru.
Agama menuntut kepercayaan, tindakan-tindakan tertentu dan sikap-sikap yang
mendasar. Kelompok norma lain yang diterapkan ditempat kerja, yang mengharuskan
untuk menaati, misalnya setia pada perusahaan, selalu taat pada atasan, dan tentang
tanggung jawab. Dan negara menetapkan norma-norma hukum dan peraturan-
peraturan yang wajib ditaati apabila tidak hendak dihukum. Disamping lembaga-
lembaga tersebut, terdapat pula pihak-pihak informal dari lingkungan, misalnya
kelompok-kelompok sebaya, teman-teman akrab. Kelompok-kelompok tersebut dapat
mempunyai sistem normatif yang sangat ketat. Oleh karena itu, masyarakat dengan
pelbagai lembaganya merupakan sumber orientasi moral pertama bagi manusia. Dari
masyarakat, orang belajar bagaimana ia harus hidup (Magnis Suseno, 1987: 49-50).
Lembaga normatif adalah ideologi, yakni segala macam ajaran tentang makna
kehidupan, tentang nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak. Meskipun ideologi tidak lepas dari masyarakat, namun harus dibedakan
karena bekerja dalam bentuk abstrak, sebagai keyakinan atau kepercayaan seseorang
yang dipegangnya dengan teguh. Kekuatan ideologi terletak dalam pegangannya
terhadap hati dan akal seseorang. Memeluk sebuah ideology berarti meyakini apa saja
yang termuat di dalamnya dan kesediaan untuk melaksanakannya. Ideologi menuntut
agar mengesampingkan penilaiannya sendiri dan bertindak sesuai ajarannya (Magnis
Suseno, 1987: 50-51).

SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai