Anda di halaman 1dari 6

1. Pandangan mengenai penerapan transfer pricing di Indonesia.

Respon: Perlu ditekankan bahwa praktik Transfer Pricing dalam dunia bisnis merupakan
hal yang wajar dan memang cukup sering menjadi komponen tax planning wajib pajak,
khususnya wajib pajak yang tergabung dalam suatu grup usaha/multinational enterprises
(MNE) untuk memitigasi potensi maupun risiko ekonomi, terutama yang terkait dengan
pajak.
Dari sudut pandang perpajakan, praktik Transfer Pricing diperbolehkan sepanjang
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) / Arm’s Length Principle (ALP)
sesuai dengan pengaturan PMK-22/PMK.03/2020 khususnya Pasal 8 sampai dengan
Pasal 14 (Penerapan PKKU). Apabila diketahui bahwa pricing policy yang diterapakan oleh
wajib pajak dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa tidak memenuhi
PKKU dimaksud, maka Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan oleh Undang-
Undang untuk melakukan koreksi dengan menetapkan nilai transaksi tersebut sesuai
dengan PKKU.
Secara garis besar, praktik Transfer Pricing di Indonesia sudah cukup lumrah dan massive
diterapkan oleh para wajib pajak. Hal ini dapat terlihat dari semakin tingginya jumlah koreksi
maupun sengketa Transfer Pricing yang ditangani oleh DJP setiap tahunnya. Hal ini pula
salah satunya yang mendorong diperbaruinya pengaturan PKKU di Indonesia melalu
penetapan PMK-22/PMK.03/2020.
2. Pandangan mengenai penyebab meningkatknya sengketa pajak atas koreksi transfer
pricing di Indonesia.
Respon: Pada dasarnya peningkatan jumlah sengketa transafer pricing disebabkan karena
jumlah hasil pemeriksaan DJP terkait isu transfer pricing memang mengalami peningkatan.
Hal ini dikarenakan penanganan isu transfer pricing memang telah menjadi salah satu
inisiatif strategis yang ditetapkan oleh DJP, sehingga pihak auditor maupun account
representative di KPP juga turut meningkatkan upaya pengawasan dan assessmentnya
terhadap isu tersebut.
3. Tingkat pemahaman Wajib Pajak mengenai isu transfer pricing dan arm’s length
principle pada transaksi afiliasi.
Respon: Direktorat Perpajakan Internasional tidak memiliki instrument maupun
kewenangan untuk melakukan pengawasan ataupun assessment terkait bagaimana tingkat
pemahaman WP atas isu transfer pricing, dikarenakan tidak adanya jalur
kewenangan/asesmen langsung dari Direktorat Perpajakan Internasional kepada para
wajib pajak. Perlu diketahui bahwa interaksi/komunikasi yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak kepada WP pada umumnya dilakukan dalam rangka pemrosesan
permohonan Mutual Agreement Procedure (MAP) atau Advance Pricing Agreement (APA),
serta beberapa kegiatan sosialisasi lainnya terkait Perpajakan Internasional.
Direktorat Perpajakan Internasional telah secar aktif memberikan training, sosialisasi,
maupun pelatihan kepada para pegawai DJP di tingkat KPP, Kanwil, maupun unit vertikal
lainnya, dengan harapan pemahaman para pegawai DJP akan isu transfer pricing dapat
meningkat, untuk kemudian dimanfaatkan dalam mengedukasi maupun mengawasi wajib
pajak di wilayah kerja masing-masing unit tersebut.
4. Metode yang sering digunakan Wajib Pajak dalam menganalisis kesebandingan
dalam transfer pricing document.
Respon: Direktorat Perpajakan Internasional tidak melakukan penelitian maupun akses
atas aktivitas WP dimaksud.
5. Tingkat pemahaman Wajib Pajak dalam menyusun transfer pricing document.
Respon: Direktorat Perpajakan Internasional tidak melakukan penelitian maupun akses
atas informasi dimaksud. Namun mengingat bahwa PMK-213/PMK.03/2016 tentang TP
Doc telah diberlakukan dan disosialisasikan secara massal sejak pengundangannya
(2016), maka seharusnya pemahaman para wajib pajak akan penyusunan TP Doc
dimaksud sudah memadai, dikarenakan ikhtisar dokumen tersebut merupakan salah satu
syarat kelengkapan SPT Tahunan PPh Badan atas WP yang diwajibkan menyelenggarakan
TP Doc.
6. Pentingnya penyusunan transfer pricing document oleh Wajib Pajak.
Respon: Mengutip BEPS Action 13 tentang Transfer Pricing Documentation and Country
by Country Reporting, terdapat tiga tujuan (arti penting) penyusunan TP Doc bagi wajib
pajak, sebagai berikut:
a. Untuk membantu memastikan bahwa wajib pajak telah memberikan perhatian yang
cukup dalam penentuan pricing policy-nya atas transaksi-transaksi yang dilakukan
yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa serta dalam melaporkan penghasilan
yang diperoleh dari transaksi tersebut dalam SPTnya;
b. Untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh kantor pajak dalam melakukan
asesmen risiko terkait transfer pricing;
c. Untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh kantor pajak dalam melakukan
proses audit/pemeriksaan pajak yang komprehensif terkait isu transfer pricing atas
wajib pajak.
Dengan diberlakukannya PMK-213/PMK.03/2016, penyusunan dan penyelenggaraan TP
Doc, selain untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana diuraikan di atas, juga dibutuhkan
sebagai salah satu syarat kelengkapan SPT Tahunan PPh Badan bagi Wajib Pajak yang
memang memenuhi threshold kewajiban penyelenggaran TP Doc. Dengan demikian,
penyelenggaraan TP Doc tersebut, dapat menghindarkan wajib pajak dari potensi sanksi
administratif di bidang perpajakan.
7. Langkah yang dilakukan oleh DJP dalam pemeriksaan transaksi terkait transfer
pricing.
Respon: Langkah-langkah pemeriksaan terhadap WP terkait isu transfer pricing dapat
dilihat secara lengkap dalam Surat Edaran Direktur Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 tentang
Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
8. Pandangan fiskus mengenai langkah yang tepat dan tidak tepat dalam melakukan
analisis kesebandingan.
Respon: Dengan diberlakukannya PMK-22/PMK.03/2020, Direktorat Jenderal Pajak dan
Wajib Pajak mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) PMK
tersebut sebagai panduan dalam melaksanakan analisis kesebandingan. Pasal tersebut
telah secara detail menguraikan tahapan-tahapan pelaksanaan analisis kesebandingan,
yang juga sejalan dengan tahapan comparability adjustments sebagaimana diatur oleh
OECD dalam Transfer Pricing Guidelines-nya. Dengan mengikuti tahapan tersebut,
pelaksanaan analisis kesebandingan seharusnya dapat terhindar dari kekeliruan.
9. Pandangan fiskus dalam menentukan rentang waktu data pembanding yang andal.
Respon: PMK-22/PMK.03/2020 tidak secara spesifik mengatur mengenai penentuan
rentang waktu data pembanding. Fokus pengaturan PMK-22/PMK.03/2020 terkait
pengidentifikasian data pembanding lebih kepada tingkat kesebandingan dan keandalan
dari data pembanding yang diidentifikasi. Dalam hal atas data pembanding tersebut
terdapat hal yang secara materiil dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan/keandalan
dimaksud, maka PMK-22/PMK.03/2020 memungkinkan dilakukannya penyesuaian
(comparability adjustment) untuk mengeliminasi perbedaan dimaksud, jika memang
dimungkinkan.
Namun dalam PMK-213/PMK.03/2016, Pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa penyusunan TP
Doc wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan
akhir tahun pajak bersangkutan. Prinsip ini dikenal dengan istilah ex-ante yang merupakan
salah satu prinsip wajib dalam penyusunan TP Doc.
Informasi lebih detail dapat diperoleh dari OECD TPG Chapter III Part B – Timing Issues in
Comparability. Terdapat dua isu timing yang diatur yaitu Timing of Origin dan Timing of
Collection. Masing-masing pengaturan tersebut secara konsisten mengatur bahwa data
pembanding yang digunakan sebaiknya berasal dari periode yang sama dengan transaksi
yang diuji (timing of origin) serta data pembanding tersebut sebaiknya tersedia pada saat
terjadinya transaksi (timing of collection).
10. Pandangan mengenai tingkat pengetahuan dan pengalaman pemeriksa pajak di
bidang transfer pricing berpengaruh pada hasil pemeriksaan transfer pricing.
Respon: Pada dasarnya, tingkat pengetahuan dan pemahaman petugas pemeriksa pajak
akan isu transfer pricing tentu berpengaruh pada hasil (koreksi) yang dihasilkannya. Hal ini
yang mendasari Direktorat Perpajakan Internasional secara rutin melakukan sosialisasi dan
pelatihan transfer pricing kepada seluruh unit dan pegawai yang terkait, untuk memastikan
bahwa seluruh pegawai yang berkaitan dengan penanganan transfer pricing, setidaknya
memiliki pemahaman dan pengetahuan yang seragam terkait transfer pricing.
11. Faktor yang menyebabkan hasil pencarian data pembanding berbeda antara Wajib
Pajak dan pemeriksa.
Respon: Dalam konteks pengujian transfer pricing yang dilakukan oleh pihak DJP (baik
dalam rangka pemeriksaan di KPP maupun dalam rangka pemrosesan APA di Direktorat
Perpajakan Internasional), pengujian data pembanding yang dilakukan oleh DJP akan
memperhatikan searching criteria yang telah diterapkan dan dilaporkan WP dalam TP Doc
nya. Dalam hal hasil pengujian DJP mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian atau
ketidaktepatan penggunaan data pembanding, maka DJP berhak melakukan adjustment
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PMK-22/PMK.03/2020 maupun panduan yang
disediakan dalam SE-50/PJ/2013.
12. Hambatan yang dihadapi dalam proses penentuan data pembanding.
Respon: Tantangan mendasar yang sering dihadapi dalam upaya pengidentifikasian data
pembanding adalah ketersediaan dari data pembanding itu sendiri. Hal ini seringkali
dipengaruhi oleh kriteria data pembanding yang digunakan serta metode transfer pricing
yang ingin diterapkan.
13. Pandangan mengenai arm’s length principle atas transaksi afiliasi manufacturer
goods?
Respon: PMK-22/PMK.03/2020 maupun OECD TPG tidak menetapkan pengaturan metode
yang spesifik untuk masing-masing jenis industri. Namun panduan mengenai karakteristik,
kelemahan dan kelebihan dari masing-masing metode, serta beberapa klausul mengenai
hierarki penggunaan metode TP dapat diperoleh dari PMK-22/PMK.03/2020 maupun
OECD TPG. Wajib Pajak maupun DJP dapat mengikuti panduan tersebut untuk
mengelaborasi metode TP apa yang paling sesuai per transaksi. Untuk industri manufaktur,
beberapa metode TP yang berpotensi untuk digunakan sebagai metode yang tepat
misalnya Transactional Net Margin Method (TNMM), Cost Plus Method (CPM), atau Profit
Split Method (PSM) tergantung dari facts and circumstances transaksinya.
14. Penentuan metode transfer pricing pada industri manufaktur otomotif.
Respon: Lihat jawaban atas pertanyaan nomor 13.
15. Pandangan mengenai penggunaan multiple year data yang direkomendasikan oleh
OECD dalam mencari data pembanding.
Respon: Perlu kami luruskan bahwa OECD tidak secara eksplisit merekomendasikan
penggunaan multiple year data dalam pencarian atau penentuan data pembanding. OECD
hanya menyarankan penggunaan multiple year data tersebut apabila memang dianggap
dapat meningkatkan keandalan analisis transfer pricing yang dilakukan.
Beberapa contoh situasi yang memungkinkan digunakannya multiple year data tersebut
dapat dibaca pada OECD TPG Paragraph 3.76 s.d 3.79.
16. Penerapan dan perkembangan penggunaan multiple year data di Indonesia.
Respon: Sejalan dengan jawaban pertanyaan Nomor 15 di atas, PMK-22/PMK.03/2020
juga tidak secara eksplisit merekomendasikan penggunaan multiple year data dalam
konteks pencarian atau penentuan data pembanding. Namun pada praktiknya, memang
cukup lumrah wajib pajak menggunakan multiple year data dalam analisis
kesebandingannya, dengan alasan bahwa penggunaan multiple year data tersebut dapat
meningkatkan keandalan analisis kesebandingan wajib pajak.
17. Kelebihan dan kekurang dalam menggunakan multiple year data.
Respon: Kelebihan dan kekurangan penggunaan multiple year data dalam analisis
kesebandingan dapat diidentifikasi dari beberapa contoh yang diuraikan oleh OECD
sebagaimana dimaksud pada jawaban pertanyaan nomor 15 di atas.
18. Alasan DJP menggunakan multiple year data.
Respon: Perlu kami tegaskan bahwa tidak ada pengaturan yang mewajibkan penggunaan
multiple year data dalam penerapan PKKU di Indonesia. Penggunaan multiple year data
tersebut hanya diterapkan dalam hal memang dianggap dapat meningkatkan keandalan
analisis kesebandingan atau analysis transfer pricing yang dilakukan. Lihat jawaban
pertanyaan nomor 15 s.d 17 di atas.
19. Bagaimana peraturan perpajakan di Indonesia mengakomodasi penggunaan multiple
year data.
Respon: Lihat jawaban pertanyaan nomor 18 di atas.
20. Hambatan dalam menggunakan multiple year data dan solusi.
Respon: Lihat jawaban pertanyaan nomor 15 s.d 18 di atas.
21. Langkah yang digunakan DJP dalam mengurangi sengketa transfer pricing terkait
data pembanding dan multiple year data.
Respon: Salah satu upaya yang tengah digalakkan oleh DJP dalam mengurangi sengketa
transfer pricing, selain melalui sosialisasi dan pelatihan transfer pricing secara berkala,
adalah dengan merekomendasikan pemanfaatan Advance Pricing Agreement (APA) oleh
Wajib Pajak, sebagaimana diatur dalam PMK-22/PMK.03/2020.
Advance Pricing Agreement merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan pihak DJP
dan WP berdiskusi secara konstruktif untuk menentukan metode transfer pricing yang tepat
untuk digunakan oleh WP atas transaksi-transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa,
untuk tahun pajak yang akan datang, serta tahun pajak yang telah lalu (roll-back clause).
Dengan adanya APA tersebut, diskusi antara DJP dan WP akan menghasilkan
kesepakatan yang wajib diterapkan oleh WP sehingga terhindar dari potensi
sengketa/dispute atas transaksi yang dicakup dalam kesepakatan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai