Anda di halaman 1dari 9

Dampak Pencemaran SO2

1. Kesehatan
Gas SO2 telah lama dikenal sebagai gas yang dapat menyebabkan iritasi pada system
pernafasan, seperti pada slaput lender hidung, tenggorokan dan saluran udara di paru-paru.
Efek kesehatan ini menjadi lebih buruk pada penderita asma. Disamping itu SO2 terkonversi
di udara menjadi pencemar sekunder seperti aerosol sulfat.
Aerosol yang dihasilkan sebagai pencemar sekunder umumnya mempunyai ukuran yang
sangat halus sehingga dapat terhisap ke dalam sistem pernafasan bawah. Aerosol sulfat yang
masuk ke dalam saluran pernafasan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang lebih berat
daripada partikel-partikel lainnya karena mempunyai sifat korosif dan karsinogen. Oleh
karena gas SO2 berpotensi untuk menghasilkan aerosol sulfat sebagai pencemar sekunder,
kasus peningkatan angka kematian karena kegagalan pernafasan terutama pada orang tua dan
anak-anak sering berhubungan dengan konsentrasi SO2 dan partikulat secara bersamaan
(Harrop,2002).
Dalam bentuk gas, SO2 dapat menyebabkan iritasi pada paru-paru yang menyebabkan
timbulnya kesulitan bernafas, terutama pada kelompok orang yang sensitive seperti orang
berpenyakit asma, anak-anak dan lansia. SO2 juga mampu bereaksi dengan senyawa kimia
lain membentuk partikel sulfat yang jika terhirup dapat terakumulasi di paru-paru dan
menyebabkan kesulitan bernapas, penyakit pernapasan, dan bahkan kematian (EPA, 2007).

Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Sulfur Dioksida terhadap Kesehatan Manusia

2. Lingkungan

Tingginya kadar SO2 di udara merupakan salah satu penyebab terjadinya hujan
asam.Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan pengotor dalam bahan
bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida
dan nitrogen oksida. Zat-zat ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk
membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan.
Air hujan yang asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan
yang terbukti berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman.
Gambar 5. Hujan Asam

Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species yang
bertahan. Jenis Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati
akibat pengaruh pengasaman. Apa yang terjadi jika didanau memiliki pH dibawah 5, lebih
dari 75 % dari spesies ikan akan hilang (Anonim, 2002). Ini disebabkan oleh pengaruh rantai
makanan, yang secara signifikan berdampak pada keberlangsungan suatu ekosistem. Tidak
semua danau yang terkena hujan asam akan menjadi pengasaman, dimana telah ditemukan
jenis batuan dan tanah yang dapat membantu menetralkan keasaman.
Selain menyebabkan hujan asam, SO2 juga dapat mengurangi jarak pandang karena gas
maupun partikel SO2 mampu menyerap cahaya sehingga menimbulkan kabut.

3. Tanaman

Sulfur dioksida juga berbahaya bagi tanaman. Adanya gas ini pada konsentrasi tinggi
dapat membunuh jaringan pada daun. pinggiran daun dan daerah diantara tulang-tulang daun
rusak. Secara kronis SO2 menyebabkan terjadinya khlorosis. Kerusakan tanaman iniakan
diperparah dengan kenaikan kelembaban udara. SO2 diudara akan berubah menjadi asam
sulfat. Oleh karena itu, didaerah dengan adanya pencemaran oleh SO2 yang cukup tinggi,
tanaman akan rusak oleh aerosol asam sulfat.
Kadar SO2 yang tinggi di hutan menyebabkan noda putih atau coklat pada permukaan daun,
jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kematian tumbuhan
tersebut. Menurut Soemarmoto (1992), dari analisis daun yang terkena deposisi asam
menunjukkan kadar magnesium yang rendah. Sedangkan magnesium merupakan salah satu
nutrisi assensial bagi tanaman. Kekurangan magnesium disebabkan oleh pencucian
magnesium dari tanah karena pH yang rendah dan kerusakan daun meyebabkan pencucian
magnesium di daun.
Gambar 6. Dampak pada Tanaman

Pada dasarnya ekosistem darat tumbuhan mudah terpengaruh. Perbedaan dalam kerentanan
pada berbagai spesies tanaman yang berbeda telah didokumentasi dengan baik. Hal ini
konsisten dengan adanya beragam spesies tanaman dari pusat kota dan daerah industri,
sedangkan spesies yang samadekat dengan daerah perbatasan. Kerentanan selalu
mencerminkan perbedandalam faktor genetik, umur, atau keadaan fisiologis. Tidak hanya
adanyaperbedaan antara spesies tetapi seringkali terdapat keragaman antara genotiftanaman.
Dalam sejumlah kasus terjadi seleksi genetik didalam beberapa komunitas tanaman alamiah
terhadap daya tahan pencemaran atmosfer.Pengaruh sulfur dioksida dan presipitasi asam
paling nyata dan buruk dalam ekosistem hutan yang berbatasan dengan peleburan atau
beberapa sumber pusat pencemaran lainnya. Sejalan dengan penelitian lainnya, spesies lumut
bertambah dan diversivitas meningkat dengan meningkatnya jarak dari gedung dibandingkan
dengan sisi arus angin naik. Jenis pepohonan tertentu, sweet birch dan pinus putih, diketahui
paling rentan terhadap pencemaran atmosfer. 

4. Hewan

The National Academy Of Sciences (1978) juga menyimpulkan pengaruh pH terhadap ikan.
Di Norwegia presipitasi asam juga mempunyai pengaruh terhadap perikanan komersial.
Wright dkk (1977) melaporkan bahwa penurunan penangkapan ikan salmon di sungai-sungai
selama seratus tahun yang lalu, disebabkan oleh penurunan pH yang tetap.
Dengan penurunanya pH terjadi serangkaian perubahan kimiawi yang menyebabkan
penurunan laju daur zat makanan dalam sistem perairan. Dengan demikian, terdapat
penurunan jumlah bahan organik dalam suatu daerah dansuatu pergeseran keadaan
oligotropik didanau. Perubahan ekologis mengikuti pengaruh umum zat toksik terhadap
ekosistem.
Sebagaimana tumbuhan, hewan juga memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam. Spesies
hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena sifat
hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang
ekstrim. Spesies hewan yang lain juga akan terancam karena jumlah produsen (tumbuhan)
semakin sedikit. Berbagai penyakit juga akan terjadi pada hewan karena kulitnya terkena air
dengan keasaman tinggi. Hal ini jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.

5. Material
Kerusakan oleh pencemaran SO2 juga dialami oleh bangunan yang bahan-bahannya seperti
batu kapur, batu pualam, dolomit akan dirusak oleh SO 2 dari udara. Efek dari kerusakan ini
akan tampak pada penampilannya, integritas struktur, dan umur dari gedung tersebut.
Ancaman serius juga dapat terjadi pada bagunan tua serta monument termasuk candi dan
patung. Hujan asam dapat merusak batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat,
meninggalkan kristal pada batuan yang telah menguap. Seperti halnya sifat kristal semakin
banyak akan merusak batuan.

Gambar 7. Korosi pada Material

Desulfurisasi

Desulfurisasi merupakan reaksi kimia yang melibatkan pemisahan sulfur (Belerang)


dari suatu molekul (Anonim, 2016). Desulfurisasi batubara merupakan suatu proses
penurunan kadar sulfur dari batubara. Batubara merupakan bahan bakar alternatif dengan
cadangan melimpah di Indonesia. Kandungan sulfur tersebut dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan, menyebabkan kerusakan (korosif) dan memperpendek umur alat pabrik industri.
Agar batubara tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar maka terlebih dahulu
dilakukan proses desulfurisasi. Desulfurisasi batubara dibutuhkan tidak hanya untuk
meminimalkan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh emisi dari sulfur dioksida
selama pembakaran, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas batubara (Mery,2014).

Metode Desulfurisasi

Metode fisika terbatas hanya dapat memisahkan jenis sulfur anorganik dalam
batubara, sedangkan sulfur organik tidak dapat dipisahkan. Sedangkan metode kimia dan
biologi dapat memisahkan sulfur anorganik maupun sulfur organik dalam batubara, hanya
saja metode biologi menggunakan bantuan mikroba yang bekerja pada suhu rendah sehingga
waktunya relatif lama dari metode kimia. Berdasarkan prosesnya, desulfurisasi batubara
dapat dilakukan dengan metode kimia, fisika dan biologi (Iskak, Taufil Maula, dkk, 2015) :

Desulfurisasi Secara Fisika

Menurut Ehsani, M. Resa dalam Iskak dkk, 2015 beberapa teknologi desulfurisasi secara
fisika antara lain sebagai berikut:

1. Pemisahan magnet
Dalam proses pemisahan magnet (magnetic separation) dilakukan atas perbedaan
muatan listrik (paramagnetik) bahan dalam campuran. Sulfur dalam bentuk pirit (FeS2)
memiliki sifat paramagnetik, dapat melekat pada magnet sehingga dapat dipisahkan dari
campuran batubara. Metode ini sangat sederhana, sebab tidak memerlukan bahan-bahan
aditif dan pereaksi kimia, hanya membutuhkan power untuk menggerakan magnet dan
mengalirkan bahan batubara. Namun metode ini agak sulit mereduksi abu batuubara
khususnya jenis abu yang mengandung logam-logam diamagnetik sehingga fixed carbon
dan nilai kalor sulit dipertahankan.

2. Kolom flotasi

Metode ini sudah banyak digunakan secara komersial oleh industri batubara. Devisi
riset empire coal company di Ohio Amerika Serikat telah merancang kolom flotasi
dengan skala pilot plant, diameter 8 inchi(0,2 m) dan tinggi 30ft (9 m) atau perbandingan
L/D=45. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kolom flotasi mampu memisahkan sampai
70% sulfur pirit dan 80% abu batu bara.

3. Flokasi selektif

Metode ini dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi pengurangan kadar sulfur


dari batubara dengan kolom flotasi konvesional. Prinsip pemisahan adalah dengan
penambahan reagent flokulan kedalam kolom flotasi yang secara selektif mampu
membentuk flok batubara sehingga meningkatkan efisiensi pemisahan.

Desulfurisasi Secara Kimia

Tujuan Desulfurisasi Batubara Dengan Proses Kimia bertujuan untuk :

1. Untuk menghasilkan batubara yang dapat dibakar secara langsung tanpa megalami
proses desulfurisasi pada gas buang.
2. Untuk mengurangi gas cleaning setelah proses gasifikasi batubara.

Beberapa metode desulfurisasi batubara secara kimia antara lain sebagai berikut:

1. Menggunakan etanol.
Metode ini efektif untuk mengurangi sulfur anorganik dan sulfur organik dalam
reaktor yang digunakan berupa fluidized bed dan moving bed.
2. Oksidasi selektif.
Proses desulfurisasi dilakukan dalam reaktor fluidisasi pada suhu antara 650-800℉
dengan menggunakan uap dan udara. Proses yang dikembangkan oleh Battle Colombus
Devision mampu mengurangi kadar sulfur total sebesar 95% dengan kehilangan panas
rata-rata sebesar 15%. Gas SO2 yang dihasilkan proses ini kemudian di proses lebih
lanjut dalam unit DeSOx. Oleh Palmer et al (1994) melakukan desulfurisasi batubara
menggunakan oksidasi selektif dengan campuran pereaksi hidrogen peroksida dan asam
asetat yang akan membentuk asam peroksi asetat secara in situ. Kelebihan pereaksi ini
mampu mereduksi semua kandungan sulfur anorganik dan sebagian sulfur organik dalam
batubara.
3. Menggunakan Asam Sulfonat Triflorometan (TFMS).
Metode ini menggunakan pelarut organik (toluena) dan asam sulfonat triflorometan
sebagai katalis. Metode ini dikembangkan hanya untuk mengurangi kadar sulfur organik
yang sulit dipisahkan dengan metode konvensional. Proses desulfurisasi dilakukan dalam
reaktor slurry pada suhu sekitar 200oC. Pada konsentrasi TFMS 45,2 % mmol/g batubara
diperoleh tingkat desulfurisasi 48,7%.
4. Menggunakan larutan Barium Klorida.
Metode ini umumnya hanya efektif untuk menghilangkan sulfur anorganik terutama
pirit. Redeuksi sulfur organik tidak efektif dengan pereaksi ini karena BaCl2 merupakan
oksidator lemah. Disamping itu, sulitnya pemisahan endapan BaSO4 yang terbentuk
diproses ini menjadi problem lain sehingga metode ini kurang dikembangkan.
5. Menggunakan Oksidator Besi Sulfat atau Besi Klorida.
Metode in cukup efektif untuk mengurangi kadar sulfur khususnya sulfur anorganik
(pirit) dalam batubara. Prinsip utama desulfurisasi ini adalah dengan menggunakan
reaksi oksidasi reduksi. Keuntungan proses ini adalah larutan Fe2(SO4)3,
memungkinkan direcovery untuk di reuse sehingga bisa menghemat biaya produksi,
tetapi laju reaksinya relatif lambat pada suhu kamar (Aladin, A., 2002).
6. Menggunakan Pereaksi Asam H2O2 atau H2SO4, HNO3, dan HCL
Pereaksi H2O2/H2SO4 terbukti dapat mereduksi sulfur dalam batubara high sulfur
pada suhu reaksi 180℃ (Samit Mukherjee, 2001). Larutan hidrogen peroksida, H2O2
yang diencerkan ke dalam larutan encer H2SO4 0,1 N secara kimia bereaksi dengan
material sulfur yang terkandung dalam batubara. Reaksi ini berlangsung dalam suasana
asam, dimana hidrogen peroksida mengoksidasi mineral-mineral sulfida (dalam bentuk
pyrit). Menurut Mery Marthen , 2014 reaksi nya dapat digambarkan dalam reaksi
berikut:
FeS2 + 7/2 O2 + H2O----> Fe2+ + 2 SO42- + 2H+
Fe2+ +1/4 O2 + H+ ------> Fe3+ + ½ H2O
Fe3++ 3H2O ------> Fe (OH)3 + 3H+
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O ------> 2 H2SO4 + Fe (OH)3

Berikut adalah tahapan proses desulfurisasi secara kimia.

1. Oksidative (temperatur penguraian batubara dibawah 400°C)

a. Zat Pengoksidasi

Pada proses oksidasi untuk menghilangkan sulfur yang terkandung dalam


batubara menggunakan zat pengoksidasi sebagai berikut:

1) Metal ions (Fe+3, Hg+2, Ag+ )

2) Strong acids (HNO3 + HClO4)

3) O2, Cl2, SO2, H2O2 dan udara.

b. Meyers Proses
Metode yang digunakan dalam proses oksidasi ini yaitu Metode Meyer yang telah
dikembangkan. Proses tersebut berdasarkan oksidasi kandungan sulfur bentuk
pirit dalam batubara dengan menggunakan larutan Ferric sulfate panas, tanpa
menghilangkan asam organik.

1) Batu bara : Berukuran 1,4 mm

2) Pereaksi : Fe2(SO4)3

3) Temperatur : 100-130oC

4) Waktu : 5-6 jam

5) Tekanan : 3-6 atm

6) Pirit dioksidasikan menjadi ferrous sulfate, H2SO4, unsur S.

7) Penghilangan Pyritic-S : 83-99 %

8) As, Cd, Mn, Pb dan Zn juga dihilangkan.

c. Reaksi oksida desulfurisasi sebagai berikut:

5FeS2 + 23Fe2(SO4)3 + 24H2O→51FeSO4+ 4S;

O2 ditambahkan untuk mengoksidasi FeSO4 agar kembali menjadi;

Fe2(SO4)3 4FeSO4 + 2H2SO4 + O2 →2Fe2(SO4)3 + 2H2O;

Netralisasi batu kapur untuk menghilangkan kelebihan sulfat;

Fe2(SO4)3 + CaO→3CaSO4 + Fe2O3 FeSO4 + CaO →CaSO4 + FeO.

d. Reaksi oksidade sulfurisasi secara umum:

2FeS2 + 7O2 + 2H2O→ 2FeSO4 + 2H2SO4

4FeSO4 + O2 + 2H2SO4 →2Fe2(SO4)3 + 2H2O

Fe2(SO4)3 + 3H2O → Fe2O3 + 3H2SO4

2. Caustic (temperatur penguraian batubara dibawah 400°C)

a. Reaksi desulfurisasi menggunakan caustic:

2FeS2 + 6NaOH→2NaFeO2 + Na2S + 2H2O + O2

Coal-S + 2NaOH →Coal-O + Na2S + H2O

b. Molten Caustic Leaching (MCL)

Proses MCL konvensional menggunakan campuran NaOH + KOH (1:1), atau


NaOH + KOH + Ca(OH)2 pada temperatur 370-390oC selama 2-3 jam.
3. Reduction (proses hidrosulfurisasi pada temperatur > 440℃).
Reaksi yang terjadi pada proses reduksi adalah sebagai berikut:
FeS2 + H2 →FeS(s) + H2S (g) FeS + H2 →Fe + H2S (g).

Kekurangan proses desulfurisasi secara kimia:


1. Biaya proses yang tinggi
2. Severe leaching conditions (100-400℃).
3. Energy intensive.
4. Penambahan material ke dalam batubara selain dapat mengurangi kandungan ash
dan sulfur dapat juga berpotensi menjadi polutan.
5. Banyak di temukan permasalahan pengendalian polusi, korosi dan pembuangannya.

Desulfurisasi Secara Biologi


Prinsip dari proses biodesulfurisasi batubara adalah dengan mengoksidasi
sulfur dalam bentuk organik atau anorganik yang terdapat pada batubara dengan
bakteri tertentu yang digunakan. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
biodesulfurisasi batubara, yaitu suhu, kemasaman, konsentrasi sel, konsentrasi
batubara, ukuran partikel, komposisi medium, penambahan partikulat dan surfaktan
dan interaksi suatu bakteri dengan bakteri lain. Meningkatkan kecepatan reaksi
desulfurisasi batubara juga dapat dilakukan untuk mempercepat kinerja dari bakteri
tersebut(Anwar, 2002).
Hidupnya bakteri pada permukaan mineral memainkan peranan yang sangat
penting tidak hanya untuk hidupnya bakteri di alam. Namun juga dapat dimanfaatkan
dalam industri penambangan. Salah satu bakteri yang dapat digunakan dalam industri
pertambangan adalah bakteri pengoksidasi besi dan sulfur T. Ferroxidans (Ohmura,
dkk,. 1993). Pengurangan kandungan sulfur dengan metode biologi disebut
biodesulfurisasi yaitu metode yang dalam prosesnya memanfaatkan organisme, yaitu
bakteri. Metode ini merupakan metode yang memilki paling banyak keunggulan
dibandingkan dengan metode lainnya (Kargi, 2004), namun desulfurisasi dengan
metode biologi memiliki beberapa kekurangaanya yaitu bakteri hanya mampu
mengoksidasi sulfur dalam bentuk-bentuk tertentu. Bakteri yang dapat digunakan
dalam proses desulfurisasi antara lain:
1. T. ferroxidans (FeS2)
2. T. thiooxidans (FeS2)
3. L. ferooxidans (FeS2)
4. S. acidocalderius (FeS2)
5. R. spheriodes (S-organik)
T. ferroxidans merupakan bakteri yang paling penting dalam biodesulfurisasi
batubara karena dapat mengoksidasi pirit (FeS2) secara langsung. Walaupun begitu
proses desulfurisasi batubara hanya dengan memanfaatkan salah satu kinerja bakteri
akan menghasilkan desulfuriasi yang kurang optimal. Biodesulfurisasi secara kultur
gabungan dengan menggunakan berbagai bakteri dapat membuahkan hasil yang lebih
baik (Rawling, 1994).
Salah satu alternatif yang paling aman dan ramah lingkungan untuk
desulfurisasi batubara adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri T.
Ferroxidans dan T. Thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan
untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi sulfur. Desulfurisasi menggunakan
kombinasi dari kedua bakteri tersebut memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
desulfurisasi kimiawi, yaitu lebih efisien, ekonomis dan ramah lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai