Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian


Pembentukan Kecamatan Kijang berdasarkan peraturan Daerah Kabupaten
Bintan Nomor 12 Tahun 2007 pada tanggal 23 Agustus 2007 (Lembaran Daerah
Kabupaten Bintan Tahun 2007 Nomor 12). Kecamatan Bintan Pesisir di bentuk
dalam rangka pengembangan dan kemajuan pembangunan, karena adanya aspirasi
masyarakat dan keinginan untuk lebih meningkatkan kemajuan diberbagai sektor
dan pelayanan masyarakat.
Kecamatan Kijang terdiri dari desa Kelong, Numbing dan Mapur yang
dipisahkan oleh perairan laut. Masih kurangnya fasilitas di desa ini
mengakibatkan penduduk sering melakukan aktivitas di Kecamatan Kijang.
Kecamatan Kijang memiliki Topografi yang bervariatif dan bergelombang
dengan kemiringan lereng berkisar 0-3% hingga di atas 40% pada wilayah
pegunungan. Ketinggian wilayah pada pulau-pulau yang terdapat di Kecamatan
Kijang antara 0-50 meter di atas permukaan laut hingga mencapai ketinggian 400
meter di atas permukaan laut (Satuan kerja Provinsi Kepulauan Riau). Kecamatan
Kijang memiliki iklim tropis yang terbagi menjadi dua musim yaitu musim
kemarau dan musim penghujan.
Luas wilayah Kijang ±2174 km2 terdiri dari daratan ±234 km2 dan lautan
±1940 km2 (Tabel 1).
Tabel 1. Luas Kecamatan Kijang Per-Desa
No Desa Darat Laut Jumlah
1 Kelong ± 57 Km2 ± 570 Km2 ± 627 Km2
2 Numbing ± 53 Km2 ± 530 Km2 ± 583 Km2
3 Mapur ± 44 Km2 ± 440 Km2 ± 484 Km2
Jumlah ± 234 Km2 ± 1940 Km2 ± 2.174 Km2
Sumber : Bapeda Tanjungpinang 2012

5
6

Secara geografis pelabuhan Kijang berada pada 000 51' 04,7" LU dan 1040
36' 39,7" BT. Pelabuhan ini berfungsi untuk menghubungkan antara kecamatan
Kijang dengan desa Kelong, Numbing dan Mapur.
Setiap desa di Kecamatan Kijang memiliki pelabuhan kecil. Pelabuhan ini
berfungsi untuk tempat bersandarnya kapal yang setiap hari berlayar
menghubungkan desa dengan kecamatan Kijang. Pelabuhan Kelong berada pada
koordinat 000 51' 57,9" LU dan 1040 39' 09,5" BT, koordinat pada pelabuhan
Numbing 000 45' 36,7" LU dan 1040 43' 24,1" BT dan koordinat pada pelabuhan
Mapur 010 00' 03,0" LU dan 1040 47' 44,87" BT.

2.2 Klasifikasi dan Morfologi Teritip


Teritip adalah crustacea dari subkelas cirripedia, yang dalam bahasa
inggris disebut barnacle. Sifat-sifatnya sebagai hewan berbuku-buku yang tidak
jelas kelihatannya karena tersembunyi dalam cangkangnya yang keras berkapur
(Nontji 1993).
Teritip ketika dewasa mempunyai bentuk cangkang seperti gunung api yang
terdiri dari bagian tepi basal yang langsung menempel ke substrat, parapet yang
merupakan dinding terdiri dari 6 plat-plat yang tidak bergerak dan operculum
berupa 1 dan 2 pasang plat (scutum dan targum) yang dapat menutup sangat rapat
sehingga benar-benar kedap air dan kedap udara (Gambar 1).
Klasifikasi teritip menurut Ermaitis (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Arthoropoda
Sub filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Cirripedia
Ordo : Thoracica
Sub ordo : Balanomorpha
Familia : Balanoidea
Genus : Amphibalanus

Pada cangkang dewasa berupa mantel yang terdiri dari bagian yang
saling berhubungan mengelilingi tubuhnya yaitu : carina (c), carina lateral (cl),
lateral (l) dan rostrum (r), sedangkan ada bagian atas terdapat sepasang terga (t)
7

dan sepasang scuta (s) yang membuka dan menutup sewaktu teritip menangkap
makanannya (Gambar 1).

Gambar 1. Bagian Hewan Teritip


Sumber : Ermaitis (1984)

Pada umumnya cangkang dari teritip ini adalah putih, kuning, merah,
jingga, ungu dan bergaris dengan ukuran cangkang 1-6 cm atau lebih yang diukur
dari dasar carina sampai rostrum (Ermaitis 1984). Balanus psittacus di pantai
barat Amerika Selatan dapat mencapai diameter 8 cm dengan tinggi 2,3 cm
(Buchbaun 1951 dalam Barnes 1953). Teritip memiliki organ tambahan
(appendages) yang disebut juga dengan pasangan cirri yang berguna untuk
menangkap makanan. Setiap ujung dari pasangan cirri tersebut terdapat setae
yang berguna untuk menyaring makanan (Ermaitis 1984).
Makanan teritip berupa plankton hewan kecil yang masuk bersama aliran
air kedalam mulut. Aliran air terjadi oleh gerakan-gerakan kaki berbulu dan itulah
fungsi kaki tersebut, bukan hanya untuk berjalan ataupun berenang (Darsono
1979).

2.3 Habitat dan Kebiasaan Makan Teritip


Teritip termasuk dalam hewan laut bersifat sesil (menetap) dari crustacea.
Teritip masuk kedalam kelompok crustacea karena mempunyai karakteristik yang
bercangkang. Teritip adalah invertebrata yang hidup di laut, kehidupannya
melalui dua stadium, yaitu stadium larva yang bersifat planktonis yang terbagi dua
8

macam yakni larva nauplius dan larva cypris (Gambar 2) sedangkan stadium
dewasa bersifat menempel (Ermaitis 1984).

Gambar 2. Stadium larva (A). Larva Nauplius (B) Larva Cypris


Sumber : Ermaitis (1984)

Ermaitis (1984) berpendapat bahwa teritip tumbuh mengendapkan kapur


(CaCO3) sepanjang pinggir dan dasar masing-masing plat. Selanjutnya teritip
dewasa terbungkus dengan cangkang kapur yang menempel pada susbtrat dengan
sekresi kelenjar penghasil cement yang berupa kalsium karbonat (CaCO3)
(Barnes et al dalam Adriman 1990).
Nontji (1993) mengatakan bahwa di dalam cangkang terdapat tubuh yang
sederhana yang disertai dengan 6 umbai-umbai yang berbulu-bulu. Jika terendam
air umbai-umbai tersebut secara beraturan dijulurkan mekar keluar dan ditarik
kembali lewat pintu operculum. Berdasarkan cara ini teritip menyaring dan
menangkap plankton yang terbawa arus kemudian disodorkan kearah mulutnya.
Oleh karena itu hanya pada saat arus pasang teritip mempunyai kesempatan
9

mencari makanan. Apabila air telah surut dan teritip terpapar di udara maka
operculumnya menutup rapat setelah cangkangnya diisi air sebanyak mungkin.
Dalam kondisi demikian teritip berdiam diri dalam cangkangnya dan berpuasa
untuk sementara. Dalam keadaan terpapar ke udara menyebabkan tekanan
lingkungan yang dialaminya cukup berat, misalnya teritip tertimpa hujan atau
tersengat panasnya matahari dan ancaman kekeringan. Tetapi daya tahannya luar
biasa. Percobaan dengan menggunakan Balanus balanoides menunjukkan bahwa
teritip yang dikeluarkan dari air masih dapat hidup sampai enam minggu.
Teritip dapat hidup di daerah estuaria dan marga ini hidup komensal dengan
hewan lain seperti ikan paus, kepiting dan ular laut. Teritip hidup menempel
bersama biota-biota lain seperti alga, hidrozoa, tunikata, cacing serta moluska.
Balanus tersebar luas di seluruh perairan yang disebabkan oleh cangkangnya yang
keras sehingga tahan terhadap perubahan lingkungan yang besar. Penyebaran
Balanus dipengaruhi oleh kuat arus dan gelombang (Darsono dan Hutomo 1983).
Teritip merupakan salah satu biota penempel yang sering dijumpai pada
berbagai benda atau bangunan di laut yang mendapat perhatian yang lebih besar.
Teritip bersifat menempel permanen pada substrat, daya tahannya yang cukup
kuat terhadap perubahan lingkungan yang besar, serta perkembangbiakannya yang
hermaprodit dapat menyebabkan penyebaran yang sangat luas (Ermaitis 1984).
Hampir semua benda-benda yang terendam dalam air laut misalnya batu,
besi, dasar perahu, lunas-lunas kapal, pipa saluran sistem pendingin pembangkit
tenaga listrik, saluran pendingin pabrik serta alat pengukur arus dan benda-benda
lainnya yang ditempatkan di dalam air sepanjang perairan pantai, muara dan teluk
yang beriklim sedang, subtropik dan tropik bisa merupakan substrat yang baik
bagi teritip (Romimohtarto 1977).

2.4 Reproduksi dan Daur Hidup Teritip


Teritip seperti kebanyakan binatang penempel lainnya berkembang biak
secara hermaprodit, yaitu tidak membuahi telurnya sendiri tetapi menyemprotkan
spermanya kepada teritip lain yang terdekat. Teritip melakukan fertilisasi
(pembuahan) secara internal yang terjadi dalam rongga tubuh. Pembuahan dapat
10

berlangsung apabila sperma membuahi sel telur. Telur yang telah dibuahi
dieramkan dalam rongga tubuh sampai menjadi larva naupli. Larva naupli
dicurahkan ke laut sebulan setelah penetasan.
Costow dan Bookhout (1957) dalam Ermaitis (1984) menyatakan stadium
larva terdiri dari naupli, enam stadium yakni naupli I-VI (Gambar 3). Lama waktu
untuk melewati stadium naupli berbeda-beda. Naupli I membutuhkan waktu 15
menit sampai 4 jam. Naupli II berkisar antara 1-2 hari, naupli III berkisar antara
1-4 hari, stadium IV berkisar antara 1-2 hari, stadium V membutuhkan waktu 2-4
hari dan untuk menyelesaikan stadium VI membutuhkan 2 sampai 3 minggu.
Larva naupli berkembang menjadi larva cypris melalui pergantian kulit
yang terjadi satu sampai tiga kali dalam seminggu. Pada pergantian kulit
selanjutnya akan terbentuk larva cypris. Cypris kemudian melata dan menetap
menjadi teritip muda dan akhirnya membentuk cangkang yang keras.

(III). Larva nauplis (IV). Larva nauplis

(II). Larva nauplis


(V). Larva nauplis

(I). Larva naupli


(VI). Larva nauplis

LARVA NAUPLIS
CYPRIS

telur A. Perkembangan dari telur,


Larva naupli (I-VI) sampai
menjadi Cypris

STADIUM DEWASA

Gambar 3. Daur Hidup Teritip


Sumber : Ermaitis (1984)
11

2.5 Proses Penempelan Teritip


Proses penempelan cypris dimulai dengan bergerak ke substrat. Jika akan
menempel didahului dengan proses seleksi atau pemilihan substrat dengan
menggunakan atenulanya. Penempelan ini tidak selalu dilakukan pada substrat
yang pertama dijumpai. Pada substrat yang cocok larva akan menempel dan
diikuti proses metamorfosis. Larva teritip mempunyai kemampuan menunda
metamorfosis dalam periode waktu yang terbatas. Jika dalam jangka waktu
tertentu belum menemukan substrat yang cocok, metamorfosis akan tetap
berlangsung. Pada substrat yang cocok larva akan menempel dan kemudian
diikuti metamorfosis menjadi bentuk dewasa yang ditandai pembentukan
cangkang (Nybakken 1992). Barnes (1953) menjelaskan bahwa cairan yang
dikeluarkan teritip dewasa digunakan oleh larva untuk menstimulasi proses
penempelan. Cairan ini terdiri dari kalsium yang digunakan untuk mengikatkan
dirinya pada susbtrat.
Periode penempelan teritip menurut Ermaitis (1984) terjadi sepanjang
tahun dimana intensitas penempelannya dibedakan oleh musim. Di Suralaya
Banten, intensitas penempelan teritip tertinggi terjadi pada awal musim timur
(Juni). Sedangkan pada bulan Juli, intensitas penempelan menurun dengan cepat
sampai akhir bulan Agustus. Pada peralihan dari musim Timur ke Barat (Januari-
Februari), intensitas penempelan meningkat. Pada peralihan dari musim Barat ke
Timur (Maret-April-Mei), intensitas penempelan menurun.

2.6 Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Kehidupan Teritip


Teritip merupakan salah satu kelompok hewan yang paling luas
penyebarannya, yang didapati di perairan pasang dan surut atau laut dangkal. Hal
ini disebabkan oleh cangkang yang keras dan daya tahannya cukup kuat terhadap
perubahan lingkungan yang besar sehingga pertumbuhannya lebih cepat
(Rohmimohtarto 1977). Selanjutnya menurut Hutagalung (1982), Penempelan dan
perkembangan teritip sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan antara lain
pasang surut, kecerahan, cahaya, pH, salinitas, suhu, arus dan gelombang.
12

1. Substrat
Teritip sangat menyukai substrat keras atau substrat yang berbatu. Teritip
menempati substrat batuan pada garis pasang tertinggi sampai ke zona percikan
ombak di atasnya. Dengan demikian, substrat keras seperti tiang-tiang penyangga.
dermaga dan bangunan lainnya akan menjadi sasaran penempelan hewan tersebut.
Warna dan kimia substrat berpengaruh pada keberadaan hewan penempel. Larva
teritip lebih suka menempel pada substrat yang mempunyai permukaan yang
kasar, bewarna gelap, bercelah-celah atau retak dan berada pada perairan yang
tenang (Nontji 1987).
Pada perairan Kota Dumai menurut Adriman (1990), pada ketiga jenis
substrat yaitu beton, seng, dan kayu menunjukkan penempelan terendah terjadi
pada substrat seng, disebabkan permukaan seng lebih licin bila dibandingkan
dengan kedua substrat lainnya. Selain itu, Syafriadiman (1992) menyatakan
bahwa pada perairan Kota Dumai, bivalva seperti teritip lebih suka menempel
pada substrat kayu Kulim kemudian diikuti subtsrat kayu Meranti dan Jati.
Erlambang (1989) melaporkan pada perairan selat Dompak, intensitas
penempelan tertinggi adalah pada substrat papan dengan warna merah
dibandingkan dengan substrat papan dengan warna putih. Hal ini disebabkan
teritip tidak menyukai warna terang dan menyilaukan.
Laju pertumbuhan teritip menurut hasil penelitian Rohmimohtarto (1977) di
perairan Muara Karang, menunjukkan panel baja yang dipasang dalam waktu
seminggu sudah ditempeli teritip (3900 individu/900 cm2). Selain itu, Smith
dalam Rohmimohtarto (1977) menyatakan di perairan Miami dalam waktu 2 jam
lempeng kaca sudah ditempeli teritip.

2. Pasang Surut
Pasang surut adalah naik turunnya permukaan laut secara periodik selama
satu interval waktu tertentu. Pasang surut merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kehidupan di zona intertidal yaitu, terkenanya udara terbuka secara
periodik dengan kisaran parameter fisik yang cukup besar. Pendedahan pada udara
terbuka terhadap suatu organisme merupakan fungsi suhu dan kekeringan.
13

Semakin lama terdedah di udara terbuka menyebabkan kenaikan suhu yang


mempengaruhi metabolisme dalam tubuh (Nybakken 1992).
Teritip adalah crustacea dari anak kelas Cirripedia, dimana sifat-sifatnya
sebagai hewan berbuku tidak jelas kelihatan karena tersembunyi dalam
cangkangnya yang keras berkapur. Biasanya hidupnya di bagian teratas zona
pasang surut, mulai dari pasang tertinggi hingga pada kedudukan rata-rata pasang
surut. Jadi setiap hari teritip dapat silih berganti terendam air dan terpapar ke
udara masing-masing selama beberapa jam (Nontji 1987). Pada penelitian yang
dilakukan selama 3 tahun di daerah intertidal Irlandia oleh Maley (1947)
menyebutkan teritip masih dapat dijumpai pada panel/transek penelitian hingga
kedalaman 12 meter dari rata-rata permukaan surut terendah.
Teritip mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan udara terbuka
selama 6-18 jam setiap hari (Nontji 1987). Adaptasi yang dilakukan teritip untuk
menghadapi lingkungan yang ekstrim dengan menutup rapat operculumnya.
Dalam kondisi demikian teritip dapat berdiam diri saja dalam cangkangnya,
berpuasa untuk sementara dan kegiatan respirasinya turun hingga kebutuhan
oksigennya sedikit. Dalam keadaan terpapar ke udara tekanan lingkungan yang
dialami cukup berat, misalnya bisa tertimpa hujan atau tersengat panasnya
matahari dan ancaman kekeringan.

3. Kecerahan Perairan
Cahaya merupakan faktor penting dalam menentukan menetap atau
tidaknya teritip pada substrat. Larva teritip sangat sensitif terhadap cahaya.
kecerahan perairan berhubungan dengan penetrasi cahaya. Banyaknya material
terlarut dan partikel-partikel yang berasal dari daratan, potongan rumput laut,
kepadatan plankton yang tinggi dan melimpahnya nutrien yang menyebabkan
terhambatnya penetrasi cahaya. Darsono dan Hutomo (1983) membuktikan
bahwa masa padat tersuspensi yang tinggi, yaitu 30 mg/liter akan menyebabkan
kecerahan kurang dari 20 cm dan dapat menyebabkan kematian teritip.
14

4. Temperatur
Perubahan temperatur di suatu perairan dapat menjadi pertanda bagi
organisme untuk memulai atau mengakhiri aktivitas hidupnya, misalnya
reproduksi. Suhu tidak hanya mempengaruhi fungsi metabolisme, tetapi semua
aspek pertumbuhan dan pemanfaatan makanan bahkan dinamika populasi
(Nybakken 1992).
Teritip menyukasi perairan dengan suhu 15-350C. Temperatur merupakan
faktor pembatas bagi teritip dan berbeda untuk setiap spesies. Pada suhu sekitar
36-370 C selama enam jam dapat menyebabkan kematian teritip 50% pada pasang
surut diurnal. Pada temperatur 100C masih menunjukkan aktivitas hidupnya teritip
(Foster 1969).

5. Derajat Keasaman
Derajat keasaman adalah ukuran untuk menentukan sifat asam basa
perairan yang diketahui melalui konsentrasi atau aktivitas ion hidrogen. Nilai pH
dipengaruhi oleh temperatur, kandungan karbondioksida dan oksigen terlarut.
Air laut mempunyai sifat “buffer” yang cukup kuat untuk mencegah
perubahan pH. Perubahan pH berpengaruh terhadap proses fisik kimia maupun
biologis suatu organisme. Apabila teritip hidup pada kisaran pH yang lebih besar
akan terjadi tekanan fisiologis pada tubuhnya dan menyebabkan kematian. Teritip
dapat hidup optimal pada pH antar 6-9 (Romomohtarto 1991).

6. Turbulensi dan Gerakan ombak


Pada perairan dangkal interaksi ombak, arus dan upwelling menimbulkan
turbulensi. Adanya turbulensi ini mencegah perairan pantai terstratifikasi secara
termal. Akibatnya jumlah nutrien daerah intertidal melimpah. Melimpahnya
nutrien daerah intertidal berasal dari aliran permukaan dari daratan maupun dari
pendaurulangan nutrien itu sendiri. Melimpahnya nutrien di daerah intertidal
menyebabkan produktivitas periaran menjadi tinggi. Kondisi diatas sangat cocok
menyangga populasi organisme plankton maupun benthos.
15

Kecepatan arus dan ombak sangat penting pengaruhnya terhadap


komunitas perairan, baik langsung maupun tidak langsung. Kecepatan arus
menentukan kondisi habitat alamiah dari perairan tersebut. Pada arus yang
mempunyai kecepatan 0,6 knot (0,3 meter/detik), penempelan teritip akan
terganggu dan sering mengalami kegagalan Smith (1948) dalam Rohmimohtarto
(1977).

7. Salinitas
Dalam air laut terkandung berbagai jenis garam yaitu garam Klorida,
Magnesium, Kalsium dan Kalium. Salinitas adalah jumlah berat semua garam
yang terlarut dalam 1 liter air laut dengan satuan per mil atau gram/liter. Pada
perairan samudra, salinitas berkisar antara 340/00 – 370/00 perairan tawar berkisar
0
antara 0-0,5 /00. Pada perairan payau antara 0,5-1,70/00. Barnes (1953)
membuktikan bahwa teritip mampu hidup pada perairan estuarin sampai laut
terbuka dan mempunyai toleransi salinitas antara 15-410/00.

2.7 Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Keberadaan Teritip Pada


Kapal
Jumlah teritip yang ada di lambung kapal disebabkan beberapa faktor yang
meliputi pengaruh dari kontruksi lambung kapal, kecepatan kapal, periode
docking kering dan jalur pelayaran. Hasil penelitian tentang perbandingan jumlah
teritip pada kapal penumpang, kapal perang dan kapal AL menunjukkan bahwa
jumlah teritip pada lambung kapal penumpang lebih sedikit daripada di lambung
kapal perang dan kapal Angkatan Laut (AL). Hal ini disebabkan kapal penumpang
memiliki jadwal yang tetap. Selain itu periode docking rata-rata untuk kapal
penumpang 7 bulan, kapal perang 8 bulan dan kapal AL 9 bulan (Maley 1947
dalam Puspasari 1995).

2.7.1 Jenis dan Kecepatan Kapal


Jumlah teritip tidak sama pada setiap jenis kapal, ini dikarenakan jalur dan
operasi berlayar yang berbeda. Kecepatan kapal pada saat berlayar secara
16

langsung yang berhubungan dengan kontruksi lambung dan bentuk kontur kapal.
Faktor kecepatan kapal berpengaruh terhadap jumlah teritip. Tekanan gesekan
yang besar terhadap lambung kapal ketika kapal melaju pada kecepatan 30 knot
menyebabkan matinya teritip yang berada di tempat terbuka (1 knot = 51,5 cm/dt).
Dari hasil pengamatan yang dilakukan Maley, didapatkan hasil bahwa
kapal penumpang menghabiskan waktu 60% untuk berlayar, kapal barang 40%,
kapal AL 30%, kapal penjelajah sekitar 20% dan kapal perang 15%. Jumlah
teritip meningkat dengan berkurangnya waktu pelayaran tanpa memperhatikan
faktor-faktor lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Pada kapal yang berlayar cepat jarang ditemukan biota penempel yang
bertubuh lunak seperti Hydroids dan Tunikata, tetapi jumlah biota yang
bercangkang seperti Balanus dan Polychaeta (Maley 1947 dalam Puspasari 1995).

Gambar 4. Hubungan Antara Tipe Kapal dan Jumlah Teritip


(Maley 1947 dalam Puspasari 1995)
17

2.7.2 Periode Docking Kering


Pertumbuhan teritip bertambah cepat bila kapal berhenti lama di
pelabuhan. Sebaliknya selama pelayaran dengan adanya gelombang dan arus akan
menghambat proses penempelan teritip.
Pada Gambar 5 dapat dilihat jumlah teritip dan hubungannya dengan
waktu terakhir docking kering. Diagram tersebut menunjukkan bahwa laju
pertambahan teritip konstan dari waktu terakhir docking kering sampai saat
docking berikutnya. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa lambung kapal
terfouling ringan setelah tiga bulan docking kering. Antara empat sampai enam
bulan setelah docking kering sebagian besar kapal ditemukan terfouling ringan
dan menengah. Sedangkan 18 bulan setelah docking kering dilakukan, ditemukan
lambung kapal terfouling berat(banyak sekali).

Gambar 5. Hubungan Penempelan Teritip Dengan Lama Waktu


Di Pelabuhan Setelah Docking Kering

2.7.3 Jalur Pelayaran


Kapal penumpang memiliki jalur pelayaran yang tetap, sebaliknya kapal
barang dan kapal AL mempunyai jalur pelayaran berubah-ubah. Kapal yang
kembali dari pelabuhan-pelabuhan di Amerika Selatan bersih atau hanya
terfouling ringan. Sedangkan kapal yang melalui trans-Atlantik baik kapal
penumpang maupun kapal barang terfouling ringan.
18

Jenis teritip berbeda pada setiap jalur pelayaran atau setiap perairan. Kapal
laut yang berada di perairan teluk Guantanamo, Kuba terfouling banyak oleh
spesies Balanus improvisus, B. amphitrite dan Membranifora lacroxii. Kapal-
kapal yang berlayar di perairan Atlantik Timur biota penempel yang khas berada
pada lambung kapal adalah B. eburneus dan Tubularia sp. Sedangkan kapal-kapal
yang mengunjungi pantai dan pelabuhan Amerika Selatan ditemukan
pertumbuhan B. tintinnabulum dan B. amphitrite.
Pada kapal-kapal yang mengunjungi pelabuhan diperairan tropis biasanya
penuh dengan teritip daripada di perairan sub tropis. Bila kapal yang terfouling
berat meninggalkan perairan tropis dan memasuki perairan sub tropis didapatkan
organisme mati dan tinggal cangkangnya. Hal ini disebabkan kondisi ekologi
perairan yang berbeda (Puspasri 1995).

Anda mungkin juga menyukai