Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semakin pesatnya perkembangan sains dan teknologi saat ini menjadikan
pembelajaran sains sebagai salah satu pembelajaran yang penting dalam
pembangunan generasi bangsa sehingga dapat berkontribusi dan bersaing di abad
ke-21. Ada beberapa kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa untuk
menghadapi kehidupan di abad ke-21 ini diantaranya keterampilan belajar dan
berinovasi yang meliputi keterampilan berpikir kritis dan penyelesaian masalah,
berpikir kreatif dan inovatif, kemampuan dalam berkomunikasi dan berkolaborasi;
terampil dalam menggunakan media, teknologi, informasi dan komunikasi (TIK);
serta kemampuan dalam menjalani kehidupan dan karir (Kemendikbud, 2016).
Dari pemaparan di atas, salah satu kemampuan yang dapat mendukung
kemampuan berpikir kritis siswa adalah kemampuan argumentasi ilmiah (Hakyolu
& Feral, 2011). Argumentasi ilmiah adalah proses dalam menghasilkan
pernyataan atau klaim yang dibenarkan dengan dukungan bukti-bukti ilmiah.
Tujuan dari argumentasi dalam sains adalah membentuk argumen atau pendapat
yang tujuannya adalah untuk menjelaskan hubungan antara ide dan bukti (Duschl,
Schweingruber & Shouse, 2007). Argumentasi sebagai proses wacana kritis dalam
sains telah menjadi bagian dari tujuan epistemik dan konseptual dari pembelajaran
sains (Duschl & Osborne, 2002). Argumentasi juga dapat meningkatkan
pemahaman konsep siswa, membantu siswa dalam membuat keputusan dan
membuat siswa mampu untuk bekerja seperti seorang saintis (von Aufschnaiter,
Erduran, Osborne & Simon, 2008). Oleh karena itu, argumentasi sebagai bagian
dari pembelajaran sains harus digaungkan dan secara langsung diajarkan dalam
kelas sains (Simon, Erduran & Osborne, 2006).
Faktanya, aplikasi argumentasi belum begitu banyak diterapkan dalam kelas
sains karena beberapa faktor (Driver et al., 2000). Bukti menunjukkan bahwa
kesulitan siswa dalam merumuskan argumen disebabkan karena kurangnya
partisipasi siswa dalam wacana ilmiah dan keterbatasan kemampuan pedagogik
guru dalam mendukung aktivitas argumentasi seperti kurangnya kemampuan guru
dalam memulai dan mengatur jalannya diskusi (Newton et al., 1999; Duschl &

1
2

Osborne, 2002). Wacana di kelas juga lebih didominasi oleh guru dengan sangat
sedikit diskusi kelas dan kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam membentuk
argumen (Newton et al., 1999). Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa
masih rendahnya kemampuan argumentasi siswa. Viyanti (2015) menyatakan
bahwa siswa sering tidak menguatkan argumentasi mereka dengan bukti dan
alasan yang cukup. Pernyataan ini juga didukung oleh temuan Pritasari, Dwiastuti
& Probosari (2016) bahwa siswa belum terlatih berargumentasi sehingga
argumentasi siswa hanya berupa pernyataan sederhana tanpa disertai oleh
pendukung dan alasan.
Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan pada delapan orang guru IPA
dari delapan SMP di Bengkulu terkait permasalahan pembelajaran IPA,
didapatkan hasil bahwa menurut guru, kemampuan berargumentasi siswa masih
rendah dibandingkan dengan kemampuan yang lainnya. Hal ini juga diperkuat
dengan hasil tes kemampuan awal siswa dalam memahami konsep dan
argumentasi ilmiah yang telah diujikan kepada tiga puluh dua orang siswa kelas
VIII di SMP Negeri 1 Arga Makmur, Bengkulu Utara. Berdasarkan hasil tes
tersebut diperoleh kemampuan memahami konsep siswa secara keseluruhan
dalam kelas hanya mencapai nilai 49,71 dari nilai maksimal 100. Begitupun untuk
kemampuan argumentasi siswa secara keseluruhan dalam kelas diperoleh nilai
51,43 dari nilai maksimal 100. Kedua nilai kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah ini termasuk kategori rendah. Berdasarkan analisis kualitas
argumen siswa, siswa sudah bisa membuat klaim atau pernyataan yang akurat
tetapi belum bisa memberikan alasan dan bukti yang logis untuk membenarkan
klaim mereka.
Rendahnya kemampuan berargumentasi siswa dapat disebabkan oleh faktor
pembelajaran IPA yang diterapkan, yang kurang dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam mengungkapkan argumen sesuai dengan bukti ilmiah
baik secara lisan maupun tulisan. Menurut hasil observasi, metode pembelajaran
yang dominan dilakukan oleh guru di kelas adalah demonstrasi. Metode
demonstrasi ini dilakukan karena kurangnya sarana dan prasarana untuk
menunjang kegiatan praktikum. Sebagai solusinya, guru memilih melakukan
demonstrasi di depan kelas sebagai pengganti praktikum. Sedangkan menurut
3

Yamin (2008) metode demonstrasi menjadi kurang efektif jika tidak diikuti
dengan sebuah aktivitas dimana siswa sendiri dapat ikut bereksperimen dan
menjadikan aktivitas tersebut sebagai pengalaman pribadi.
Solusi yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan menerapkan
pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan
argumentasinya, salah satunya dengan model Problem Based Learning. Model
Problem Based Learning dimulai dengan melibatkan siswa pada situasi
permasalahan yang autentik dan bermakna misalnya dengan menyajikan
fenomena yang menimbulkan konflik kognitif sehingga dari fenomena tersebut
menjadi landasan bagi investigasi atau penyelidikan siswa (Arends, 2008). Model
Problem Based Learning menurut Arends (2008) terdiri atas lima fase yaitu
mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar,
membimbing penyelidikan kelompok, mempresentasikan hasil karya serta
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Langkah dalam
model Problem Based Learning dapat mengakomodasi kemampuan argumentasi
siswa.
Pada fase mengorientasikan siswa pada masalah, masalah dimunculkan.
Menurut Tan (2003), dalam fase ini siswa mengajukan klaim atau pernyataan dari
hasil pemikiran mereka terkait permasalahan. Pada fase mengorganisasi siswa
untuk belajar, siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar
terkait permasalahan dengan mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah dan
menganalisis masalah (Tan, 2003). Evidence atau bukti berupa data ilmiah yang
mendukung pernyataan dapat siswa peroleh melalui fase penyelidikan kelompok.
Pada fase ini, siswa melakukan penyelidikan ilmiah secara berkelompok melalui
kegiatan praktikum untuk mengumpulkan data ilmiah yang dapat digunakan untuk
mendukung klaim yang mereka buat. Warrant atau pembenaran yang menjelaskan
hubungan antara klaim dan data atau penjelasan bagaimana data mendukung
klaim (Jimenez-Aleixandre et al., 2002) dapat berkembang pada fase
mempresentasikan hasil karya. Pada fase ini, siswa dalam kelompok akan
menyampaikan penjelasan terkait solusi dari permasalahan. Kemampuan
menjelaskan dan memberikan pembenaran berdasarkan pernyataan yang didukung
4

oleh bukti-bukti ilmiah merupakan bagian dari kemampuan berargumentasi


(Saracaloglu, Aktamis & Delioglu, 2011).
Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa dengan menerapkan
model Problem Based Learning dalam pembelajaran sains dapat meningkatkan
kemampuan argumentasi siswa diantaranya menurut Pritasari, Dwiastuti &
Probosari (2016) dimana kemampuan siswa membuat klaim, menyertakan bukti
dan pembenaran terus berkembang selama tiga siklus pembelajaran. Pernyataan
ini juga didukung dari hasil penelitian sebelumnya oleh Tarigan (2015) bahwa
penerapan Problem Based Learning berbasis praktikum dapat meningkatkan
kemampuan argumentasi tertulis siswa dalam pembelajaran sains.
Penerapan model Problem Based Learning dapat dikolaborasikan dengan
pendekatan Flipped Classroom. Pendekatan Flipped Classroom diterapkan
dengan memindahkan pelajaran ke luar kelas melalui teknologi dan memindahkan
pekerjaan rumah dan latihan ke dalam kelas melalui kegiatan pembelajaran.
Menurut Bergmann dan Sams (2012), perubahan paradigma ini melibatkan
penggunaan teknologi internet untuk meningkatkan pembelajaran di kelas
sehingga guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan siswa
di kelas dibanding hanya sekedar mendengarkan ceramah. Materi pelajaran
diberikan di luar kelas melalui video pembelajaran yang bisa dilihat oleh siswa
dimanapun mereka berada sebelum sesi pembelajaran di kelas, bersama dengan
bahan ajar tertulis, tugas online dan kuis (Touron & Santiago, 2015; Gonzalez-
Gomez et al., 2016).
Pada fase pertama dalam model Problem Based Learning, guru harus
memunculkan masalah. Masalah ini dapat dimunculkan melalui rekaman video
pendek tentang berbagai kejadian atau situasi menarik yang mengilustrasikan
masalah-masalah kehidupan nyata seperti polusi atau kerusakan lingkungan
perkotaan yang dapat bersifat motivasional (Arends, 2008). Video ini dapat
diakses oleh siswa di luar jam pelajaran dengan memanfaatkan teknologi internet
dengan menerapkan Flipped Classroom sehingga guru dapat memaksimalkan
waktu di kelas untuk kegiatan penyelidikan. Selain diberi kewajiban mengamati
video, siswa juga akan diberikan lembar kerja yang harus diisi perorangan
berdasarkan video yang telah mereka amati. Melalui video, diharapkan dapat
5

mengembangkan kemampuan berpikir siswa untuk mengungkapkan ide-ide dan


pendapat mereka sehingga secara tidak langsung dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam berargumentasi. Berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan, dirasa perlu untuk dilakukan penelitian dengan menerapkan model
Problem Based Learning melalui pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi”
untuk meningkatkan kemampuan memahami konsep dan argumentasi ilmiah
siswa SMP pada materi Tekanan Zat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: Apakah penerapan model Problem Based Learning melalui pendekatan
“Flipped Classroom termodifikasi” dapat meningkatkan kemampuan memahami
konsep dan argumentasi ilmiah siswa SMP pada materi Tekanan Zat? Rumusan
masalah di atas dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah perbedaan peningkatan kemampuan memahami konsep antara
siswa yang belajar dengan model Problem Based Learning melalui
pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi” dan siswa yang belajar
dengan model Problem Based Learning tanpa melalui pendekatan “Flipped
Classroom termodifikasi” pada materi Tekanan Zat?
2. Bagaimanakah perbedaan peningkatan kemampuan argumentasi ilmiah antara
siswa yang belajar dengan model Problem Based Learning melalui
pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi” dan siswa yang belajar
dengan model Problem Based Learning tanpa melalui pendekatan “Flipped
Classroom termodifikasi” pada materi Tekanan Zat?
3. Bagaimanakah korelasi atau hubungan antara kemampuan memahami konsep
dan kemampuan argumentasi ilmiah siswa?
4. Bagaimanakah tanggapan siswa terkait penerapan pembelajaran dengan
model Problem Based Learning melalui pendekatan “Flipped Classroom
termodifikasi” pada materi Tekanan Zat?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
6

1. Memperoleh gambaran mengenai perbedaan peningkatan kemampuan


memahami konsep antara siswa yang belajar dengan model Problem Based
Learning melalui pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi” dan siswa
yang belajar dengan model Problem Based Learning tanpa melalui
pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi” pada materi Tekanan Zat.
2. Memperoleh gambaran mengenai perbedaan peningkatan kemampuan
argumentasi ilmiah antara siswa yang belajar dengan model Problem Based
Learning melalui pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi” dan siswa
yang belajar dengan model Problem Based Learning tanpa melalui
pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi” pada materi Tekanan Zat.
3. Memperoleh gambaran korelasi atau hubungan antara kemampuan
memahami konsep dan kemampuan argumentasi ilmiah siswa.
4. Memperoleh gambaran mengenai tanggapan siswa terkait dengan penerapan
pembelajaran dengan model Problem Based Learning melalui pendekatan
“Flipped Classroom termodifikasi” pada materi Tekanan Zat.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bukti empiris mengenai potensi pembelajaran dengan model
Problem Based Learning melalui pendekatan “Flipped Classroom
termodifikasi” dalam meningkatkan kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah siswa SMP pada materi Tekanan Zat.
2. Sebagai bahan rujukan bagi pihak yang berkepentingan seperti mahasiswa
bidang pendidikan, guru, praktisi, lembaga penyelenggara pendidikan serta
bagi peneliti yang bermaksud mengadakan penelitian sejenis serta
pengembangannya.
E. Definisi Operasional
Istilah-istilah dalam penelitian ini perlu didefinisikan secara jelas untuk
menghindari kesalahan dalam penafsiran, untuk itu diperlukan definisi
operasional. Definisi operasional dari istilah-istilah yang menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah:
1. Model pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Problem
Based Learning. Problem Based Learning merupakan pembelajaran dimana
7

guru menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna,


yang berfungsi sebagai landasan bagi investigasi atau penyelidikan siswa.
Langkah-langkah dalam model Problem Based Learning terdiri atas lima fase
yaitu mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk
belajar, membimbing penyelidikan kelompok, mengembangkan dan
mempresentasikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah. Model Problem Based Learning akan diterapkan melalui
pendekatan pembelajaran Flipped Classroom termodifikasi dimana masalah
akan disajikan melalui video, yang akan diamati oleh siswa di luar sesi
pembelajaran di kelas. Keterlaksanaan pembelajaran dengan model Problem
Based Learning melalui pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi”
dalam penelitian ini ditentukan dengan lembar observasi aktivitas guru dan
siswa kemudian dihitung persentase keterlaksanaan dalam pembelajarannya.
2. Kemampuan memahami konsep merupakan suatu tingkatan dimana seseorang
tidak sekedar mengetahui konsep melainkan dapat memaknai dan
mengungkap arti dari suatu ide atau konsep. Indikator kemampuan
memahami konsep merujuk pada taksonomi Bloom revisi atau yang dikenal
dengan taksonomi Anderson yang terdiri dari tujuh proses kognitif yaitu
menafsirkan, mengklasifikasikan, membuat inferensi, membandingkan,
menjelaskan, mencontohkan dan meringkas. Kemampuan memahami konsep
siswa di ukur melalui soal pilihan ganda yang diberikan sebelum dan setelah
pembelajaran (pre-test dan post-test). Kategori peningkatan kemampuan
memahami konsep ditentukan oleh rata-rata skor gain yang dinormalisasi (N-
Gain).
3. Argumentasi ilmiah adalah proses dalam menghasilkan pernyataan atau klaim
yang dibenarkan dengan dukungan bukti-bukti ilmiah. Tujuan dari
argumentasi dalam sains adalah membentuk argumen atau pendapat yang
tujuannya adalah untuk menjelaskan hubungan antara ide dan bukti. Indikator
argumentasi ilmiah merujuk pada model Toulmin’s Argumentation Pattern
(TAP) yang terdiri dari claim, evidence, warrant dan backing. Argumentasi
ilmiah yang akan diukur dalam penelitian ini dibatasi pada argumentasi
tertulis. Aspek kemampuan argumentasi ilmiah yang diukur meliputi
8

kemampuan membuat klaim sesuai permasalahan, menyertakan dan


menganalisis data untuk mendukung klaim, menjelaskan hubungan antara
data dengan klaim dan melandasi pembenaran untuk mendukung klaim.
Kemampuan argumentasi tertulis siswa di ukur melalui soal uraian yang
diberikan sebelum dan setelah pembelajaran (pre-test dan post-test). Kategori
peningkatan kemampuan argumentasi ilmiah siswa ditentukan oleh rata-rata
skor gain yang dinormalisasi (N-Gain). Kelengkapan struktur argumentasi
siswa akan dianalisis berdasarkan level argumentasi yang dikembangkan oleh
Dawson dan Venville (2009) serta kualitas argumen siswa juga akan
dianalisis dengan melihat kekuatan argumen siswa berdasarkan rubrik yang
dikembangkan oleh Herawati (2015).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Problem Based Learning (PBL)


Pembelajaran berbasis masalah atau dikenal dengan Problem Based Learning
(PBL) pada mulanya diperkenalkan pada awal tahun 1970-an di fakultas
kedokteran McMaster University Kanada, sebagai satu upaya menemukan solusi
dalam diagnosis dengan membuat pertanyaan – pertanyaan sesuai situasi yang
ada. Walaupun PBL aslinya dari pendidikan kedokteran, penerapannya telah
berkembang ke berbagai bentuk bidang pendidikan (Amir, 2010).
PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan
permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka
sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi,
mengembangkan kemandirian, dan percaya diri (Arends, 2008). Menurut
Kemendikbud (2013) PBL merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang
menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar.
Pengertian yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Harasym, H.P et al.
(2013) bahwa PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa
untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa
dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan
sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.
Esensi PBL berupa menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik
dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai landasan bagi
investigasi atau penyelidikan siswa (Arends, 2008). Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa PBL adalah model pembelajaran yang memfokuskan pada
penyajian situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang
berhubungan dengan topik yang akan dipelajari, dimana siswa akan bekerja di
dalam tim untuk memecahkan masalah tersebut melalui penyelidikan guna
memperoleh pengetahuan dan membangun pengetahuan mereka sendiri sehingga
menjadi pembelajar yang mandiri.
Menerapkan pembelajaran dengan model PBL membutuhkan upaya
perencanaan yang maksimal dari guru agar dapat berjalan sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan oleh guru

9
10

dalam mengimplementasikan model PBL yaitu guru berperan sebagai fasilitator


dalam menyediakan informasi dan siswa mengonstruk pengetahuan mereka dari
apa yang mereka temukan (Darland & Carmichael, 2012). Selain itu, masalah
yang dihadapkan pada siswa harus disesuaikan dengan tingkatan usia siswa yang
mengharuskan siswa memilih bukti-bukti yang relevan dari hasil penyelidikan dan
membangun argumen yang tepat berdasarkan bukti-bukti tersebut untuk
menyelesaikan permasalahan (Rutherford & Ahlgren, 1990 dalam Redhana,
2012).
Pada penerapan PBL, siswa dilibatkan dalam proses diskusi, baik diskusi
kelompok maupun diskusi kelas. Diskusi kelompok perlu dilakukan untuk
mengembangkan kemampuan penalaran siswa, sedangkan diskusi kelas
memungkinkan siswa untuk dapat memperbaiki atau meninjau ulang pandangan
mereka terhadap perspektif yang berbeda, karena siswa cenderung lebih
termotivasi dan belajar saat mereka memiliki kesempatan untuk berbagi dan
mengelaborasi penalarannya (Atwood et al., 2010). Melalui PBL siswa dalam
kelompok akan berdiskusi secara intensif sehingga secara lisan mereka akan
saling bertanya, menjawab, mengkritisi, mengoreksi dan mengklarifikasi setiap
konsep atau argumen yang muncul dalam diskusi (Steck et al., 2012).
Pada hakikatnya, PBL dirancang untuk mengembangkan keterampilan
berpikir kritis siswa, strategi pemecahan masalah, dan menjadikan siswa
pembelajar yang mandiri serta pentingnya kerjasama tim dalam mencapai tujuan
tersebut (Steck et al., 2012). Pembelajaran yang mengarah pada pengembangan
kemampuan berpikir kritis akan mendorong siswa untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari, mampu berargumen dan menerapkan ilmu
pengetahuannya. Saat siswa menuliskan argumen, siswa cenderung kesulitan
menghubungkan klaim yang dipilih dengan data maupun teori yang mendukung
sehingga sangat dibutuhkan peran guru sebagai fasilitator. Kind et al. (2011)
mengemukakan bahwa siswa membutuhkan bantuan saat menyusun,
menyampaikan, mengidentifikasi ataupun mengevaluasi klaim menggunakan teori
ilmiah atau data.
Latihan berpikir, merumuskan masalah dan memecahkannya serta mengambil
keputusan akan membantu seseorang untuk mengembangkan pemikiran dan
11

intelegensinya (Suparno, 2001). Wibowo (2013) juga mengatakan bahwa kegiatan


belajar memecahkan masalah merupakan usaha untuk mengembangkan
kemampuan berpikir siswa dimana berpikir merupakan aktivitas kognitif tingkat
tinggi yang melibatkan asimilasi dan akomodasi berbagai pengetahuan dan
struktur kognitif yang dimiliki siswa untuk memecahkan masalah.
Langkah-langkah dalam menerapkan pembelajaran dengan model PBL terdiri
atas lima fase. Fase pertama yaitu mengorientasikan siswa pada masalah. Pada
fase ini, guru perlu menekankan kepada siswa bahwa tujuan utama belajar bukan
untuk menguasai banyak pengetahuan tetapi untuk belajar tentang cara
menyelidiki permasalahan-permasalahan penting dan menjadi pembelajar yang
mandiri. Guru perlu menyuguhkan situasi bermasalah yang dapat membangkitkan
motivasi dan ketertarikan siswa untuk menyelidiki. Salah satu cara untuk
menyodorkan situasi bermasalah dalam PBL yaitu dengan menggunakan
discrepant event (situasi yang hasilnya tidak dapat diperkirakan dan mengejutkan)
yang menciptakan misteri. Rekaman video pendek tentang berbagai kejadian atau
situasi menarik yang mengilustrasikan masalah-masalah kehidupan nyata seperti
polusi atau kerusakan lingkungan perkotaan juga dapat bersifat motivasional
(Arends, 2008).
Fase kedua dalam PBL yaitu mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pada
fase ini, guru melatihkan keterampilan berkolaborasi diantara siswa dan
membantu siswa bekerja sama dalam penyelidikan. Siswa-siswa diorganisasikan
kedalam tim-tim dan merencanakan tugas investigatif serta pelaporannya.
Selanjutnya, fase ketiga yaitu membimbing penyelidikan kelompok. Kegiatan
investigasi atau penyelidikan ini melibatkan serangkaian proses mengumpulkan
data dan eksperimentasi, mengembangkan hipotesis dan penjelasan serta
memberikan solusi. Setelah siswa mengumpulkan data yang cukup dan
melaksanakan eksperimen terhadap fenomena yang mereka selidiki, siswa akan
menawarkan hipotesis, penjelasan dan solusi. Pada fase ini, guru mendorong
terjadinya pertukaran ide-ide secara bebas dan penerimaan penuh terhadap
berbagai ide yang muncul. Guru harus mempertanyakan tentang kecukupan solusi
yang ditawarkan oleh siswa serta kualitas informasi yang telah mereka kumpulkan
sehingga siswa harus yakin apakah solusi yang mereka usulkan adalah yang
12

terbaik atau perlu mencari tambahan informasi untuk menyempurnakan solusi


permasalahan (Arends, 2008).
Fase penyelidikan diikuti dengan pembuatan hasil karya dan exhibit. Setelah
hasil karya dikembangkan oleh siswa, selanjutnya guru mengorganisasikan
exhibit untuk memamerkan hasil karya siswa tersebut, dapat berupa kegiatan
pekan ilmu, yang masing-masing siswa memamerkan hasil karyanya untuk
diobservasi dan dinilai oleh orang lain, atau presentasi verbal dan/atau visual yang
mempertukarkan ide-ide dan memberikan umpan balik atas kinerja siswa. Fase
terakhir dalam PBL yaitu menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan
masalah. Pada fase ini, guru membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi
proses berpikirnya sendiri maupun keterampilan penyelidikan dan keterampilan
intelektual yang mereka gunakan selama proses pembelajaran. Siswa menilai
pemahaman mereka, kekuatan yang mereka punya dan kesulitan yang mereka
hadapi selama proses pembelajaran dalam mencari solusi permasalahan serta
menjadi refleksi untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya (Arends, 2008).
Fase-fase pembelajaran dengan model PBL yang telah dijelaskan dirangkum
ke dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Langkah-langkah (Sintaks) PBL
Fase Perilaku guru
Fase 1: Mengorientasikan Guru membahas tujuan pelajaran,
siswa pada masalah mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik
penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat
dalam kegiatan mengatasi masalah
Fase 2: Mengorganisasikan Guru membantu siswa untuk mendefinisikan
siswa untuk belajar dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar
yang terkait dengan permasalahan
Fase 3: Membimbing Guru mendorong siswa untuk mendapatkan
penyelidikan siswa secara informasi yang tepat, melaksanakan
mandiri maupun kelompok eksperimen, dan mencari penjelasan dan
solusi
Fase 4: Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam merencanakan
mempresentasikan hasil dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat,
karya seperti laporan, rekaman video, dan model-
model, dan membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang lain
Fase 5: Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk melakukan
mengevaluasi proses refleksi terhadap investigasinya dan proses-
pemecahan masalah proses yang mereka gunakan
(Arends, 2008)
13

Ada beberapa tingkat kompleksitas permasalahan yang disajikan dalam PBL


tergantung dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Permasalahan bisa
berupa permasalahan dalam satu bidang pelajaran atau bisa juga melibatkan
beberapa disiplin ilmu atau lintas bidang studi (Sani, 2014). Permasalahan yang
melibatkan beberapa lintas bidang studi membutuhkan proses penyelidikan yang
lebih panjang, yang memungkinkan siswa untuk melakukan penyelidikan dengan
terjun ke lapangan dan mencari sumber data primer secara langsung.
Kompleksitas permasalahan dalam PBL ditunjukkan pada gambar 2.1.

Permasalahan
dalam sebuah
topik
Permasalahan
yang mencakup
beberapa topik

Permasalahan
antardisiplin

Permasalahan
multidisiplin

Gambar 2.1. Variasi Kompleksitas Permasalahan dalam PBL


(Sani, 2014)
Berdasarkan gambar di atas dapat dipahami bahwa permasalahan yang
disajikan dalam pembelajaran dengan PBL mempunyai level atau tingkatan-
tingkatan tergantung dengan karakteristik materi dan tujuan pembelajaran yang
ingin dicapai. Tentu saja, permasalahan yang dipilih juga harus disesuaikan
dengan level kognitif atau kemampuan siswa. Rendhana (2012) juga berpendapat
bahwa model PBL adalah model pembelajaran inkuiri terbuka yaitu pemecahan
masalah tanpa adanya bimbingan. Namun pada kenyataannya, siswa SMP
mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah tanpa adanya bimbingan dari
guru sehingga akan sangat sulit menerapkan model PBL murni kepada siswa
SMP. Oleh karena itu, model ini perlu dimodifikasi dimana modifikasi yang
dimaksud adalah memasukkan unsur-unsur bimbingan.
14

Beberapa keunggulan PBL menurut Akinoglu & Tandogen dalam Toharudin,


et al. (2011) yaitu pembelajaran berpusat pada siswa; memungkinkan siswa untuk
mampu melihat kejadian secara multidimensi dan dengan perspektif yang lebih
dalam; mengembangkan keterampilan siswa untuk memecahkan masalah
(problem solving); mendorong siswa untuk mempelajari materi baru dan konsep
ketika menyelesaikan sebuah masalah; mengembangkan keterampilan sosial dan
komunikasi siswa yang dengannya memungkinkan mereka untuk belajar dan
bekerja secara tim; mengembangkan keterampilan berpikir siswa ke tingkat yang
tinggi, atau kemampuan berpikir kritis dan berpikir ilmiah; kemampuan
menggabungkan pengetahuan lama dan baru serta mengembangkan keterampilan
dalam pengambilan keputusan dalam disiplin lingkungan yang spesifik;
memotivasi para guru dan siswa untuk berperan lebih aktif dan semangat bekerja
sama; siswa memperoleh keterampilan dalam manajemen waktu, kemampuan
untuk fokus dalam pengambilan data, serta persiapan dalam pembuatan laporan
dan evaluasi; membuka cara untuk belajar sepanjang hayat.
B. Pendekatan “Flipped Classroom termodifikasi”
Pendekatan pembelajaran Flipped Classroom pertama kali dikenalkan oleh
guru kimia SMA Jonathan Bergmann dan Aaron Sams (Tucker, 2012) pada tahun
2007. Metodologi pengajaran ini berdasarkan asumsi bahwa pengajaran langsung
dan ceramah tidak efektif bagi lingkungan pembelajaran kelompok, tetapi lebih
efektif diberikan secara individual. Pendekatan Flipped Classroom diterapkan
melalui memindahkan pelajaran ke luar kelas melalui teknologi dan
memindahkan pekerjaan rumah dan latihan ke dalam kelas melalui kegiatan
pembelajaran. Menurut Bergmann dan Sams (2012), perubahan paradigma ini
melibatkan penggunaan teknologi internet untuk meningkatkan pembelajaran di
kelas sehingga guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan
siswa di kelas dibanding hanya sekedar mendengarkan ceramah. Materi pelajaran
diberikan di luar kelas melalui video pembelajaran yang bisa dilihat oleh siswa
dimanapun mereka berada sebelum sesi pembelajaran di kelas, bersama dengan
bahan ajar tertulis, tugas online dan kuis (Touron & Santiago, 2015; Gonzalez-
Gomez et al., 2016).
15

Tujuan dari pendekatan Flipped Classroom yaitu untuk memaksimalkan


kegiatan pembelajaran aktif di kelas. Pada sesi kelas dapat diisi dengan kegiatan
diskusi (Critz & Knight, 2013), proyek kelompok kecil atau individual (Arnold-
Garza, 2014), demonstrasi yang dibimbing guru (Enfield, 2013), diskusi
situasional (Critz & Knight, 2013), permainan (Missildine et al., 2013), penyajian
seperangkat masalah (Wilson, 2013), refleksi mingguan (Talley & Scherer,
2013), kegiatan bebas (Arnold & Garza, 2014), dan kegiatan laboratorium (Go
Teach, 2011). Selain itu, waktu di kelas juga digunakan untuk mengikutsertakan
siswa pada aktivitas pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti aktivitas
berbasis inkuiri dan pemecahan masalah, mengembangkan siswa untuk lebih
aktif selama sesi di kelas (Moraros et al. , 2015).
Menurut Moore et al., (2014), keunggulan dari Flipped Classroom adalah
dapat meningkatkan interaksi guru-siswa dan siswa-siswa sepanjang
pembelajaran. Melalui pembelajaran dengan Flipped Classroom memungkinkan
guru mempunyai lebih banyak waktu untuk mengembangkan keterampilan abad
ke-21, yang meliputi kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi dan pengaturan
diri (Kerangka Pembelajaran Abad 21, 2010). Beberapa kelebihan dalam
penerapan Flipped Classroom dalam pembelajaran sains diantaranya dapat
meningkatkan pencapaian akademik siswa (Schultz, et al., 2014; Asiksoy &
Ozdamli, 2015; Liou et al., 2016; Gomez, et al., 2016; Olakanmi, 2016; Leo &
Puzio, 2016), meningkatkan motivasi dan kemandirian belajar (Asiksoy &
Ozdamli, 2015), serta memperoleh respon positif dari siswa setelah proses
pembelajaran (Schultz, et al., 2014; Asiksoy & Ozdamli, 2015; Gomez, et al.,
2016).
Selain memberikan kontribusi positif dalam pembelajaran, dari beberapa
penelitian juga didapatkan hasil bahwa penerapan pembelajaran dengan Flipped
Classroom tidak memberikan kontribusi positif terhadap pemahaman konseptual
siswa pada materi pelajaran (Strayer, 2007; Johnson & Renner, 2012). Siswa
merasa kurang puas dengan pembelajaran yang mereka terima. Meskipun siswa
di kelas Flipped lebih menyukai kolaborasi dan strategi pengajaran yang inovatif,
siswa merasa kurang terhubung dengan guru dan waktu di kelas menjadi berlebih
setelah mempelajari materi melalui video. Kesulitan lainnya dari penerapan
16

Flipped Classroom yaitu proses membuat dan mengedit materi video sulit dan
menghabiskan banyak waktu, selain itu proses membagi dan menggunakan video
melalui internet akan menjadi sulit untuk daerah yang koneksi internetnya rendah
dan terbatas.
Untuk meminimalisir kekurangan dalam penerapan Flipped Classroom, pada
rancangan penelitian ini, penerapan pembelajaran dengan pendekatan Flipped
Classroom akan sedikit dimodifikasi pada penggunaan video yang berisi materi
pelajaran yang diakses siswa sebelum sesi di kelas diganti dengan video yang
berisi fenomena-fenomena IPA yang autentik berkaitan dengan materi yang akan
dipelajari sebagai cara untuk mengorientasikan siswa pada masalah. Dasar
penggantian isi video ini dikarenakan jika video yang diamati siswa sebelum sesi
pembelajaran di kelas berisi materi pelajaran secara keseluruhan diasumsikan
akan membuat siswa menjadi kurang tertarik dengan sesi pembelajaran di kelas
karena mereka telah mengetahui keseluruhan materi melalui video dan tidak
bersesuaian dengan teori konstruktivisme dalam belajar IPA dimana siswa yang
harus aktif mengonstruk atau membangun pengetahuan mereka sendiri melalui
pengalaman langsung (Arends, 2008). Selain itu, siswa juga akan diberikan
lembar kerja yang harus diisi setelah mengamati video. LKS ini akan menuntun
siswa untuk mengungkapkan ide dan pendapat mereka terkait fenomena tersebut.
Melalui video, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam
berpikir dan berargumentasi.
C. Kemampuan Memahami Konsep
Menurut KBBI, konsep adalah suatu ide abstraksi atau gambaran dari objek
melalui suatu proses yang digunakan untuk memahami hal-hal tertentu. Konsep
sangat penting bagi manusia karena digunakan dalam berkomunikasi dengan
orang lain, dalam berpikir, belajar, membaca, dan lain-lain (Nasution, 2006).
Lebih lanjut Dahar (1996) mengungkapkan bahwa konsep merupakan dasar bagi
proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan
generalisasi-generalisasi.
Dimensi proses kognitif pada taksonomi Bloom terbaru versi Anderson terdiri
dari enam level yaitu remembering (mengingat), understanding (memahami),
applying (menerapkan), analyzing (menganalisis), evaluating (menilai) dan
17

creating (mencipta). Revisi Anderson ini sering digunakan dalam merumuskan


tujuan belajar yang sering dikenal dengan istilah C-1 sampai dengan C-6.
Kemampuan memahami masuk kedalam proses kognitif C-2 yaitu understanding
(memahami).
Definisi dari memahami adalah membangun makna atau pengertian
berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, mengaitkan informasi yang baru
dengan pengetahuan yang telah dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan
yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran siswa. Karena
penyusunan skema adalah konsep, maka pengetahuan konseptual merupakan
dasar dari pemahaman. Kategori memahami mencakup tujuh proses kognitif
yaitu menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying),
mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi
(inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining)
(Anderson & Krathwohl, 2001). Berikut penjelasan masing-masing kategori
memahami menurut Anderson & Krathwohl (2001).
a. Menafsirkan (interpreting): indikator siswa dapat menafsirkan jika mampu
mengubah dari satu bentuk informasi ke bentuk informasi yang lainnya,
misalnya dari kata-kata ke grafik atau gambar, atau sebaliknya, dari kata-kata
ke angka, atau sebaliknya, maupun dari kata-kata ke kata-kata, misalnya
meringkas atau membuat paraprase. Istilah lain dari menafsirkan adalah,
memparafrase (paraphrasing), mengklarifikasi (clarifying), menyajikan
kembali (representing) dan menerjemahkan (translating).
b. Memberikan contoh (exemplifying): memberikan contoh dari suatu konsep
atau prinsip yang bersifat umum. Indikator siswa dapat memberikan contoh
jika siswa mampu mengidentifikasi ciri khas suatu konsep dan selanjutnya
menggunakan ciri tersebut untuk membuat contoh. Istilah lain dari
memberikan contoh adalah memberikan ilustrasi (illustrating) dan
mencontohkan (instantiating).
c. Mengklasifikasikan (classifying): indikator mengklasifikasikan yaitu jika
siswa mampu mengenali bahwa sesuatu (benda atau fenomena) masuk dalam
kategori tertentu. Termasuk dalam kemampuan mengklasifikasikan adalah
18

mengenali ciri-ciri yang dimiliki suatu benda atau fenomena. Istilah lain dari
mengklasifikasikan adalah mengkategorisasikan (categorising).
d. Meringkas (summarising): indikator dari meringkas adalah jika siswa mampu
membuat suatu pernyataan yang mewakili keseluruhan informasi dari sebuah
tulisan. Meringkas menuntut siswa untuk memilih inti dari suatu informasi
dan meringkasnya. Istilah lain dari meringkas adalah membuat generalisasi
(generalising) dan mengabstraksi (abstracting).
e. Menarik inferensi (inferring): indikator dari menarik inferensi adalah jika
siswa mampu menemukan suatu pola dari sederetan contoh atau fakta. Untuk
dapat melakukan inferensi siswa harus terlebih dulu dapat menarik abstraksi
dari suatu konsep/prinsip berdasarkan sejumlah contoh yang ada. Istilah lain
dari menarik inferensi adalah mengekstrapolasi (extrapolating),
menginterpolasi (interpolating), memprediksi (predicting), dan menarik
kesimpulan (concluding).
f. Membandingkan (comparing): indikator siswa dapat membandingkan jika
siswa mampu mendeteksi persamaan dan perbedaan yang dimiliki dua buah
objek, ide, ataupun situasi. Proses membandingkan mencakup juga
menemukan kaitan antara unsur-unsur satu objek atau keadaan dengan unsur-
unsur yang dimiliki objek atau keadaan lain. Istilah lain dari membandingkan
adalah mengontraskan (contrasting), mencocokkan (matching), dan
memetakan (mapping).
g. Menjelaskan (explaining): indikator dalam menjelaskan jika mampu
mengonstruk dan menggunakan model sebab-akibat dalam suatu sistem.
Termasuk dalam menjelaskan adalah menggunakan model tersebut untuk
mengetahui apa yang terjadi apabila salah satu bagian dari sistem tersebut
diubah. Istilah lain dari menjelaskan adalah mengonstruksi model
(constructing a model).
Dari definisi tentang memahami dan konsep dapat disimpulkan bahwa
definisi operasional dari memahami konsep adalah kemampuan seseorang dalam
memaknai (mengonstruksi) suatu konsep yang ada berdasarkan pengetahuan dasar
yang dimiliki dengan menggunakan kata-kata sendiri dan mampu membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan yang baru.
19

D. Argumentasi Ilmiah
Beberapa ahli mendefinisikan pengertian dari argumentasi diantaranya
menurut Eemeren & Grootendorst (2004) menekankan argumentasi sebagai
aktivitas sosial dan rasional. Kuhn dan Udell (2003) memberikan definisi bahwa
argumentasi adalah “proses dialog dimana dua atau lebih orang ikut serta dalam
perdebatan dengan klaim yang berlawanan” melalui evaluasi dan pembenaran
klaim dari pengetahuan ilmiah. Lebih lanjut, Jiménez-Aleixandre, Agraso dan
Eirexas (2004) memahami argumentasi sebagai “kapasitas yang menghubungkan
data dan bukti dengan klaim teoritis, kapasitas memilih antara beberapa alternatif
menggunakan kriteria yang beralasan”. Argumentasi ilmiah adalah proses dalam
menghasilkan pernyataan atau klaim yang dibenarkan dengan dukungan bukti-
bukti ilmiah. Tujuan dari argumentasi dalam sains adalah membentuk argumen
atau pendapat yang tujuannya adalah untuk menjelaskan hubungan antara ide dan
bukti (Duschl, Schweingruber, & Shouse, 2007 dalam Sampson, 2010).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat digeneralisasikan bahwa
argumentasi merupakan sebuah aktivitas sosial, rasional dan ilmiah dimana
terjadi proses dialog antara dua atau lebih individu untuk menghasilkan
pernyataan atau klaim yang dibenarkan dengan dukungan bukti-bukti ilmiah.
Kegiatan berargumentasi adalah cara yang efektif untuk mengembangkan
pemahaman konseptual peserta didik dalam sains (Driver, Newton, & Osborne,
2000; Jimenez-Aleixandre, Rodriguez, & Duschl, 2000; Erduran, Osborne &
Simon, 2008). Argumentasi disebut juga sebagai “praktik epistemik inti” dari
sains dan sesuai dengan hal ini dinyatakan bahwa tujuan dari pendidikan sains
bukan hanya untuk menguasai konsep ilmiah tetapi juga bagaimana siswa dapat
terlibat dalam wacana ilmiah (Bricker & Bell, 2009). Kelly (2007) berpendapat
bahwa proses wacana efektif dalam membangun pengetahuan, dan pembelajaran
terjadi melalui wacana di dalam kelas. “Berbicara memberikan kesempatan untuk
menduga, berargumen, dan memberikan tantangan. Dengan berbicara, siswa akan
mengeluarkan alasan untuk mendukung pemahaman konseptualnya dan mencoba
untuk membenarkan pandangannya. Siswa yang lain akan menentang,
mengekspresikan keraguan, dan mencari alternatif jawaban sehingga pemahaman
konseptual yang lebih jelas akan muncul” (Newton, Driver, & Osborne, 1999).
20

Dalam sains, argumentasi bukanlah sebuah kompetisi yang mencakup


pembenaran dan perdebatan untuk menentukan siapa yang menang dan siapa
yang kalah tetapi lebih dari itu merupakan wacana logis yang digunakan untuk
menggali hubungan antara klaim dan bukti (Duschl & Osborne, 2002). Golanics
dan Nussbaum (2008) mengamati bahwa argumentasi kolaboratif penting dalam
konteks pendidikan karena dapat membantu siswa menggali hubungan antara ide,
mengubah konsepsi siswa, berunding mencari bukti untuk klaim.
Sesuai dengan kerangka Toulmin’s Argument Pattern (TAP), sebuah argumen
mencakup enam komponen: klaim, data yang mendukung klaim, kualifier yang
mengindikasikan kekuatan dari klaim, pembenaran yang menghubungkan klaim
dan data, dukungan yang menguatkan pembenaran, dan sanggahan yang
mengindikasikan pengecualian atau limitasi dari klaim (Simon, 2008; Toulmin,
1958). Penjelasan lebih lanjut mengenai komponen dari argumen adalah sebagai
berikut:
 Claim (Klaim/Pernyataan): sebuah ide yang merupakan dasar gagasan/sebuah
pendapat atau sebuah hasil (pencarian penjelasan untuk menginterpretasikan
fenomena alam yang tersusun dari klaim pendek yang khusus).
 Data (Data): fakta yang berdasarkan kenyataan dan digunakan untuk
mendukung klaim.
 Warrant (Pembenaran): menjelaskan hubungan antara klaim dan data, sebuah
penjelasan bagaimana data mendukung klaim.
 Backing (Dukungan): asumsi utama yang mendukung penerimaan warrant
(pembenaran).
 Rebuttal (Sanggahan): digunakan saat klaim tidak diterima.
 Qualification (Kualifikasi): mengekspresikan tingkat kepercayaan dan
ketidakpercayaan terhadap argumen, misalnya “kemungkinan”, “dengan
pasti”, “tergantung” (Jimenez-Aleixandre et al., 2002).
21

Kualifier

Data Klaim

Pembenaran
Sanggahan

Dukungan

Gambar 2.2 Toulmin’s Argument Pattern (TAP)


Kulatunga et al., (2013) mengatakan bahwa tiga komponen argumen yaitu
claim, data, dan warrant merupakan komponen pokok dan inti dari argumen.
Argumen yang lebih kuat mengandung dukungan (backing) yang memberi
penjelasan bagaimana argumen memiliki otoritas dan memberikan validitas pada
inti argumen. Komponen lain yang mungkin muncul dalam argumen yang lebih
kompleks adalah sanggahan (rebuttal) yaitu klaim yang berlawanan maupun
sangkalan terhadap komponen argumen dan qualifier yaitu pernyataan terbatas
yang mendeskripsikan bahwa klaim yang diajukan benar.
Terdapat beberapa jenis kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
argumen dalam sains meliputi seberapa baik kesesuaian klaim dengan semua
bukti yang tersedia, kecakupan bukti yang disertakan dalam argumen, dan kualitas
bukti (Sampson & Gerbino, 2010). Lebih lanjut, indikator aspek kemampuan
argumentasi dapat ditunjukkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Aspek Kemampuan Berargumentasi
Aspek Indikator Deskripsi
Argumentasi
Klaim Membuat klaim sesuai  Membuat klaim yang akurat
permasalahan sesuai permasalahan.
 Mengartikulasikan klaim yang
benar berdasarkan bidang
kajian atau disiplin ilmu
tertentu.
 Mengartikulasikan klaim
dengan struktur bahasa yang
22

Aspek Indikator Deskripsi


Argumentasi
baik dan benar.
Data Menyertakan dan 
Menyertakan data (hasil
menganalisis data untuk
pengamatan, pengukuran dan
mendukung klaim sebagainya) yang sesuai dan
mendukung klaim.
 Menyertakan data (hasil
pengamatan, pengukuran dan
sebagainya) yang memadai
baik secara kualitas maupun
kuantitas.
 Menganalisis data untuk
mendukung klaim.
Pembenaran Menjelaskan hubungan Menjelaskan hubungan yang logis
antara data dengan klaim antara data dengan klaim (seperti
analogi, sebab akibat,
perbandingan dan sebagainya).
Dukungan Melandasi pembenaran Mengemukakan prinsip, hukum,
untuk mendukung klaim konsep, atau teori yang
mendukung pembenaran.
Dalam menganalisis komponen argumen siswa digunakan rubrik yang
dikembangkan oleh Dawson dan Venville (2009) dengan adanya penambahan
rebuttal dan level 5 seperti terlihat pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Level Argumentasi Siswa
Level Deskripsi
1 Hanya mengandung claim.
2 Mengandung claim dan data, dan/atau terdapat warrant.
3 Mengandung claim, data, warrant, dan
backing/qualifier/rebuttal.
4 Mengandung claim, data, warrant, backing dan
qualifier/rebuttal.
5 Mengandung semua komponen argumentasi: claim, data,
warrant, backing, qualifier dan rebuttal.
Level argumentasi tertinggi terjadi ketika argumen tersebut mengandung
semua komponen argumen seperti yang diutarakan oleh Sampson (dalam
Roshayanti, 2012) bahwa dalam kerangka TAP Toulmin, suatu argumentasi
dinilai kuat apabila mengandung keenam komponen argumen tersebut.
Kualitas sebuah argumen selain dianalisis dari banyaknya komponen yang
terdapat pada argumen tersebut juga dinilai dari validitas konsep serta rasionalitas
pernyataan yang melatarbelakangi suatu argumen. Menurut Zohar & Nemet
(2002) tentang dasar kekuatan suatu argumen, argumen yang kuat memiliki
23

banyak pembenaran yang relevan dan spesifik untuk mendukung simpulan dengan
bukti-bukti konsep sains yang akurat. Sedangkan argumen yang lemah ditandai
dengan tidak adanya pertimbangan pengetahuan ilmiah atau ada pertimbangan
pengetahuan ilmiah tetapi tidak akurat dan tidak spesifik serta tidak tepat. Oleh
karena itu, disusunlah rubrik untuk menganalisis kekuatan argumen siswa
berdasarkan validitas dan rasionalitas grounds dan claim serta relevansi antara
grounds dan claim yang diajukan. Kriteria rubrik untuk mengukur kekuatan
argumen siswa yang dikembangkan oleh Herawati (2015) dari Zohar & Nemet
(2002) disajikan dalam tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.4 Rubrik Kekuatan Argumen Siswa
Kategori Deskripsi
Kuat  Claim logis, didukung oleh grounds (data, warrant,
backing) yang benar* dan relevan.
Cukup Kuat  Claim logis, didukung oleh sebagian grounds yang
benar dan relevan.
 Sebagian claim logis, didukung oleh grounds yang
benar dan relevan.
 Sebagian claim logis, didukung oleh sebagian grounds
yang benar dan relevan.
Lemah  Claim logis dan grounds benar, tapi grounds tidak
relevan dengan claim.
 Claim logis, tapi didukung oleh grounds yang tidak
benar dan tidak relevan.
 Claim tidak logis, tapi didukung oleh grounds yang
benar dan relevan.
 Claim tidak logis, didukung oleh grounds yang tidak
benar dan tidak relevan.
Claim tidak didukung oleh grounds.
*) Penentuan ‘benar’ didasarkan pada validitas konsep dan rasionalitas
jawaban yang terdapat pada dasar pengajuan claim (grounds: data, warrant,
backing).

E. Hubungan Model Problem Based Learning melalui Pendekatan “Flipped


Classroom termodifikasi” dengan Kemampuan Memahami Konsep dan
Argumentasi Ilmiah Siswa
Kemampuan argumentasi ilmiah adalah kemampuan individu saat terlibat
dalam wacana ilmiah dimana individu berusaha untuk meyakinkan orang lain
bahwa pernyataan, pendapat, sikap atau keyakinannya bernilai benar didukung
dengan bukti-bukti dan fakta-fakta ilmiah. Argumen digunakan untuk
memberitahu orang lain dan meyakinkan mereka tentang kebenaran. Berlatih
24

berargumentasi melalui kegiatan diskusi kelompok merupakan cara yang efektif


untuk mengembangkan keterampilan dasar kemampuan argumentasi masing-
masing siswa. Dalam diskusi kelompok, siswa mengomunikasikan pernyataan
atau pendapat mereka mengenai sesuatu kemudian memberikan alasan atau
argumentasi atas penjelasan mereka supaya lebih kuat dan ilmiah (Osman, Chuo
Hiong, & Vebrianto, 2013). Hal ini juga didukung oleh Golanics dan Nussbaum
(2008) yang mengamati bahwa argumentasi kolaboratif melalui kegiatan diskusi
penting dalam konteks pendidikan karena dapat membantu siswa menggali
hubungan antara ide, mengubah konsepsi siswa, berunding mencari bukti untuk
pernyataan atau klaim.
Penerapan model Problem Based Learning dengan pendekatan Flipped
Classroom termodifikasi dapat memfasilitasi siswa dalam meningkatkan
kemampuan memahami konsep dan argumentasi ilmiah. Pembelajaran dengan
model PBL dimulai dari mengorientasikan siswa pada situasi bermasalah yang
menjadi titik fokus dari pembelajaran dimana siswa akan mencari solusi dari
permasalahan yang diajukan. Guru dapat mengajukan masalah melalui rekaman
video pendek yang berisi fenomena alam, kejadian atau situasi menarik yang
mengilustrasikan masalah-masalah dalam kehidupan nyata seperti kerusakan
hutan, pencemaran udara, dampak pemanasan global dan lain sebagainya yang
dapat menarik minat dan rasa ingin tahu siswa sehingga siswa termotivasi untuk
mencari penjelasan lebih lanjut melalui kegiatan penyelidikan ilmiah. Pada fase
ini guru dapat melatih siswa mengembangkan kemampuan berargumentasi secara
tertulis melalui pemberian LKS per orang dimana siswa akan mengidentifikasi
permasalahan dan mengajukan hipotesis berdasarkan video yang siswa amati.
Setelah siswa mengidentifikasi permasalahan yang akan dicari solusinya,
siswa akan diorganisasikan oleh guru untuk bekerja di dalam kelompok. Guru
melatihkan kemampuan berkolaborasi pada siswa untuk mengidentifikasi tugas-
tugas belajar, logistik yang diperlukan, membuat rencana penyelesaian masalah
serta menentukan target waktu dalam menyelesaikan masalah. Kemudian, siswa
akan melakukan penyelidikan ilmiah untuk menjawab permasalahan. Kegiatan
penyelidikan ini dapat dilakukan melalui eksperimen atau percobaan untuk
mengumpulkan data dan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjawab permasalahan.
25

Pada fase penyelidikan, guru mendorong terjadinya pertukaran ide-ide secara


bebas dan penerimaan penuh terhadap berbagai ide yang muncul. Disini siswa
diberikan kebebasan berargumentasi, saling menyampaikan pendapat dengan
sesama anggota kelompoknya, menyanggah maupun menerima pendapat anggota
lainnya dalam rangka menemukan solusi yang terbaik untuk penyelesaian
masalah. Kemampuan berargumentasi siswa secara lisan dapat dikembangkan
pada fase ini.
Seiring dengan kegiatan penyelidikan, siswa kemudian akan membuat hasil
karya yang dapat berupa laporan tertulis maupun rancangan ide dari solusi
permasalahan yang dituliskan pada sebidang karton kemudian dipresentasikan di
depan kelas. Presentasi verbal dan/atau visual ini bertujuan agar siswa dapat
mempertukarkan ide-ide mereka kepada siswa-siswa lainnya dan mendapatkan
umpan balik atas kinerja mereka. Pada fase ini, guru mengarahkan terjadinya
diskusi kelas. Diskusi kelas ini bertujuan untuk mendapatkan penjelasan dan
solusi terbaik dari masalah sehingga semua siswa memperoleh pemahaman yang
utuh.
Venville dan Dawson (2010) menyatakan bahwa hubungan antara
pemahaman konsep dan kemampuan argumentasi siswa dapat dijelaskan dalam
dua arah. Arah pertama adalah pemahaman konsep mempengaruhi kompleksitas
struktur argumentasi yang dapat dibuat oleh siswa sedangkan arah yang kedua
adalah selama proses membuat argumentasi, pemahaman konsep siswa akan
meningkat lebih mendalam dikarenakan siswa merekonstruksi pengetahuan
konseptual yang telah dimiliki untuk menganalisis dan menjelaskan alasan-alasan
pendukung pernyataan. Selain itu, kegiatan berargumentasi juga merupakan salah
satu cara yang efektif untuk mengembangkan pemahaman konseptual siswa dalam
sains (Driver, Newton, & Osborne, 2000; Jimenez-Aleixandre, Rodriguez, &
Duschl, 2000; Erduran, Osborne & Simon, 2008). Ketika siswa melakukan
kegiatan diskusi di dalam kelas, siswa diberikan kesempatan berbicara untuk
menduga, berargumen, dan memberikan tantangan. Dengan berbicara, siswa akan
mengeluarkan alasan untuk mendukung pemahaman konseptualnya dan mencoba
untuk membenarkan pandangannya. Siswa yang lain akan menentang,
26

mengekspresikan keraguan, dan mencari alternatif jawaban sehingga pemahaman


konseptual yang lebih jelas akan muncul” (Newton, Driver, & Osborne, 1999).
Dari penjelasan mengenai hubungan model PBL dengan kemampuan
memahami konsep dan argumentasi ilmiah, dapat disajikan dalam bentuk matriks
hubungan langkah-langkah dalam PBL dengan kompetensi atau kemampuan yang
diharapkan muncul dan berkembang pada tiap tahapnya.
Tabel 2.5 Matriks Hubungan antara Tahapan Model Problem Based
Learning (PBL) dengan Kemampuan Memahami Konsep dan Argumentasi
Ilmiah
Tahap Pembelajaran Aktivitas Guru Kompetensi yang
diharapkan
Fase 1: Guru menjelaskan tujuan Indikator kemampuan
Mengorientasikan pembelajaran, mendeskripsikan memahami konsep
siswa pada masalah berbagai kebutuhan logistik (menafsirkan,
penting, memberikan apersepsi mengklasifikasikan)
dan memotivasi siswa untuk Indikator Argumentasi
terlibat dalam kegiatan mengatasi  Membuat klaim yang
masalah. Guru menyajikan akurat sesuai
masalah melalui video (di rumah permasalahan.
pada kelompok eksperimen 1 dan  Mengartikulasikan klaim
di kelas pada kelompok yang benar berdasarkan
eksperimen 2) bidang kajian atau
disiplin ilmu tertentu.
 Mengartikulasikan klaim
dengan struktur bahasa
yang baik dan benar.
Fase 2: Guru membantu siswa untuk Indikator kemampuan
Mengorganisasikan mendefinisikan dan memahami konsep
siswa untuk belajar mengorganisasikan tugas-tugas (menafsirkan,
belajar yang terkait dengan mengklasifikasikan)
permasalahan
Fase 3: Guru mendorong siswa untuk Indikator kemampuan
Membimbing mendapatkan informasi yang memahami konsep
penyelidikan kelompok tepat, melaksanakan eksperimen, (menafsirkan,
dan mencari penjelasan dan mengklasifikasikan, menarik
solusi inferensi)
Indikator Argumentasi
 Menyertakan data (hasil
pengamatan, pengukuran
dan sebagainya) yang
sesuai dan mendukung
klaim.
 Menyertakan data (hasil
pengamatan, pengukuran
dan sebagainya) yang
27

Tahap Pembelajaran Aktivitas Guru Kompetensi yang


diharapkan
memadai baik secara
kualitas maupun kuantitas.
 Menganalisis data untuk
mendukung klaim.
Fase 4: Guru membantu siswa dalam Indikator kemampuan
Mengembangkan dan merencanakan dan menyiapkan memahami konsep
mempresentasikan hasil karya, seperti laporan, (menjelaskan,
hasil karya rekaman video, dan model- membandingkan, memberikan
model, dan membantu mereka contoh)
untuk menyampaikannya kepada Indikator Argumentasi
orang lain  Menjelaskan hubungan
yang logis antara data
dengan klaim (seperti
analogi, sebab akibat,
perbandingan dan
sebagainya).
 Mengemukakan prinsip,
hukum, konsep, atau teori
yang mendukung
pembenaran.
Fase 5: Menganalisis Guru membantu siswa untuk Indikator kemampuan
dan mengevaluasi melakukan refleksi terhadap memahami konsep (menarik
proses pemecahan investigasinya dan proses-proses inferensi, meringkas)
masalah yang mereka gunakan

F. Kajian Materi Tekanan Zat


Materi tekanan zat merupakan salah satu materi IPA SMP/MTs semester
genap. Kompetensi dasar, materi pokok, dan pembelajaran yang harus dikuasai
oleh siswa tertuang dalam model silabus mata pelajaran IPA SMP/MTs yang
disusun oleh Kemendikbud pada tahun 2017 yang disajikan pada tabel 2.6
berikut.
Tabel 2.6. Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Pembelajaran
Tekanan Zat
Kompetensi Dasar Materi Pokok Pembelajaran
3.8 Menjelaskan Tekanan Zat  Mengamati berbagai
tekanan zat dan  Tekanan zat padat, fenomena yang
penerapannya dalam cair, dan gas berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari,  Tekanan darah tekanan zat padat, cair
termasuk tekanan  Osmosis dan gas serta tekanan
darah, osmosis, dan  Gaya apung pada pembuluh darah
kapilaritas jaringan  Kapilaritas jaringan manusia dan jaringan
angkut pada tumbuhan angkut pada angkut pada
28

Kompetensi Dasar Materi Pokok Pembelajaran


4.8 Menyajikan data tumbuhan tumbuhan
hasil percobaan untuk  Menghubungkan
menyelidiki tekanan zat tekanan zat cair di
cair pada kedalaman ruang tertutup dengan
tertentu, gaya apung, tekanan darah
dan kapilaritas, manusia, osmosis, dan
misalnya dalam batang peristiwa kapilaritas
tumbuhan  Melakukan percobaan
untuk menyelidiki
tekanan zat padat,
cair, dan gas serta
mengidentifikasi
faktor-faktor yang
mempengaruhinya
 Menyajikan hasil
percobaan tekanan zat
padat, cair, dan gas
dalam bentuk peta
konsep dan
mendiskusikannya
dengan teman
(Kemendikbud, 2017)
Konsep-konsep yang dipelajari dalam materi tekanan zat adalah sebagai berikut:
a. Tekanan Zat Padat
Konsep inti dari tekanan zat padat adalah bahwa tekanan merupakan besarnya
gaya tekan yang mendorong suatu luasan bidang tekan dan besarnya dipengaruhi
oleh gaya tekan (F) dan luas bidang tekan (A) dimana tekanan berbanding lurus
dengan besarnya gaya tekan dan berbanding terbalik dengan luas bidang tekan.
Setelah mempelajari konsep tekanan, siswa dapat menjelaskan fenomena dan
aplikasi dalam sehari-hari yang berkaitan dengan tekanan zat padat misalnya
balon yang tidak meletus jika diletakkan pada permukaan banyak paku sedangkan
diletakkan di permukaan satu paku akan meletus, kaki itik yang dapat berjalan di
tanah yang becek dan tidak tergelincir, pisau yang tajam dengan mudah
memotong makanan dibandingkan pisau yang tumpul dan lain-lain.

b. Tekanan Zat Cair (Hidrostatis)


29

Tekanan zat cair disebut juga dengan tekanan hidrostatis. Dalam submateri
tekanan hidrostatis, siswa mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
besarnya tekanan hidrostatis. Fenomena dan aplikasi yang berkaitan dengan
tekanan hidrostatis contohnya telinga yang akan terasa semakin sakit pada saat
seseorang menyelam di air yang semakin dalam, konstruksi bendungan, alat
scuba diving. Karena gaya gravitasi, tekanan di dalam fluida bertambah sesuai
kedalamannya. Semakin besar kedalaman tersebut, semakin besar pula tekanan
tersebut.

Gambar 2.3. Tekanan di dalam fluida meningkat sesuai kedalamannya


c. Hukum Archimedes
Pernahkah kamu bersantai dengan mengapungkan punggungmu di dalam
kolam renang. Kamu merasa seperti tidak memiliki berat pada saat air tersebut
menopangmu. Jika kamu perlahan-lahan naik keluar dari kolam, kamu merasa
tubuhmu seperti bertambah berat. Semakin tinggi kamu naik, kamu harus
semakin banyak mengerahkan otot-ototmu untuk menopang tubuhmu. Pada saat
kamu berada di dalam kolam renang tersebut, kamu mengalami gaya apung.
Gaya apung adalah kemampuan suatu fluida, zat cair atau gas, untuk
mengerahkan suatu gaya ke atas pada suatu benda yang dibenamkan ke dalam
fluida tersebut.
Aplikasi teknologi yang berkaitan dengan gaya apung misalnya kapal selam
yang dapat tenggelam, melayang dan terapung, kapal laut yang terbuat dari
baja/besi yang massanya bisa berton-ton tetapi tidak tenggelam di laut, balon
udara yang dapat mengambang di udara dan sebagainya. Pada submateri hukum
Archimedes ini, siswa akan mempelajari konsep gaya apung yang menyebabkan
benda dapat mengapung, tenggelam dan melayang di dalam fluida.
d. Hukum Pascal
30

Konsep Hukum Pascal menyatakan bahwa tekanan yang diberikan pada zat
cair di dalam ruang tertutup diteruskan oleh zat cair tersebut ke segala arah
dengan sama besar. Misalkan kita memasukkan air kedalam tabung yang bagian
bawahnya berbentuk bola seperti pada gambar 2.4. Bagian atas tabung diberi
piston dan bagian bawah tabung yang berbentuk bola diberi beberapa lubang
yang sama besarnya. Ketika piston kita tekan ke bawah, air di dalam tabung akan
memancar keluar melalui lubang-lubang tersebut dengan sama derasnya.

Gambar 2.4. Prinsip Hukum Pascal


Hukum Pascal banyak diaplikasikan dalam alat-alat teknik seperti pada alat
dongkrak hidrolik. Dongkrak hidrolik terdiri dari dua tabung yang berhubungan
yang memiliki diameter yang berbeda ukurannya. Masing-masing ditutup dan
diisi air. Dengan menaik turunkan piston, maka tekanan pada tabung pertama akan
dipindahkan ke tabung kedua sehingga dapat mengangkat beban yang berat.
Contoh alat lainnya yang menggunakan prinsip hukum Pascal adalah tensimeter
untuk mengukur tekanan darah, rem hidrolik, pompa hidrolik dan alat press
hidrolik.
Tekanan darah merupakan contoh tekanan zat cair dalam ruang tertutup. Pada
saat jantung memompa darah, terdapat tekanan darah yang diperlukan untuk
mendorong darah dalam pembuluh darah. Dengan demikian, darah akan dapat
diedarkan ke seluruh tubuh. Tekanan yang terdapat pada pembuluh darah
mengikuti prinsip kerja seperti hukum Pascal. Jantung adalah organ yang
memberikan tekanan pada darah sehingga darah dapat mengalir ke seluruh tubuh
melalui pembuluh darah. Tekanan diberikan pada saat jantung memompa darah ke
pembuluh arteri.
31

e. Tekanan Gas
Air bukanlah satu-satunya fluida yang memiliki tekanan yang berubah sesuai
kedalamannya. Bumi kita diselimuti lapisan udara, yang disebut atmosfer.
Tekanan atmosfer kita juga bervariasi. Tekanan tersebut berubah sesuai dengan
ketinggian dari atas tanah. Fenomena-fenomena yang berkaitan dengan perbedaan
tekanan udara misalnya telinga yang terasa sakit dan berdengung sesaat pesawat
lepas landas pada ketinggian tertentu, angin yang berhembus, pendaki gunung
yang merasa sesak dadanya dan sulit bernafas ketika berada pada tempat yang
sangat tinggi dan lain sebagainya. Pada ketinggian lebih tinggi, dalam suatu
daerah tertentu terdapat partikel-partikel udara yang lebih sedikit. Partikel-partikel
yang lebih sedikit mendorong satu sama lain sehingga menghasilkan tekanan yang
lebih rendah.
f. Kapilaritas Jaringan Angkut pada Tumbuhan
Bagaimanakah air dapat naik dari akar ke bagian tumbuhan lain yang lebih
tinggi? Berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan, air dapat diangkut naik dari
akar ke bagian tumbuhan lain yang lebih tinggi dan diedarkan ke seluruh tubuh
tumbuhan karena adanya kerja sama yang saling berkesinambungan antara
tekanan akar, daya kapilaritas batang dan daya isap daun.

Gambar 2.5. Sistem Transportasi pada Tumbuhan


G. Hipotesis Penelitian
32

Berdasarkan rumusan masalah dan teori yang telah diuraikan, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah siswa yang signifikan antara siswa yang diajarkan dengan
model Problem Based Learning melalui pendekatan Flipped Classroom
termodifikasi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan model
Problem Based Learning tanpa pendekatan Flipped Classroom termodifikasi.
2. Terdapat hubungan atau korelasi yang signifikan antara kemampuan
memahami konsep dan kemampuan argumentasi ilmiah siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian


Rancangan penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan
Pretest-Posttest Control Group Design yang memberikan perlakuan berupa
penerapan model Problem Based Learning melalui pendekatan Flipped
Classroom termodifikasi pada kelas eksperimen I dan penerapan model Problem
Based Learning pada kelas eksperimen II. Sebelum diberikan perlakuan, siswa di
kedua kelas akan diberikan soal pre-test untuk mengukur kemampuan awal dalam
memahami konsep dan argumentasi ilmiah. Soal post-test akan diberikan setelah
perlakuan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap kemampuan memahami
konsep dan argumentasi ilmiah siswa. Tabel 3.1 menggambarkan desain
penelitian yang digunakan.
Tabel 3.1 Desain penelitian

Kelompok M O1 X1 O2
Eksperimen I
Kelompok M O1 X2 O2
Eksperimen II
Keterangan : O1 = pre-test pada kedua kelas
O2 = post-test pada kedua kelas
X1 = pembelajaran dengan model Problem Based Learning melalui
pendekatan Flipped Classroom termodifikasi
X2 = pembelajaran dengan model Problem Based Learning tanpa
pendekatan Flipped Classroom termodifikasi
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah kelompok besar dimana sampel diambil dan diharapkan hasil
penelitian dapat digeneralisasikan ke populasi. Sedangkan sampel adalah orang
atau obyek lain yang diambil dari populasi yang diminati dengan tujuan untuk
dipelajari. Sampel harus merepresentasikan populasi atau dapat mewakili populasi
(Fraenkel, et al., 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
VIII SMPN 01 Arga Makmur Bengkulu Utara pada semester genap tahun ajaran
2017/2018 yang terdiri dari 10 kelas. Sampel penelitian terdiri dari dua kelas yang
akan diambil melalui teknik purposive sampling yaitu memilih sampel

33
34

berdasarkan pertimbangan tertentu karena sampel yang dipilih disesuaikan dengan


kebutuhan dimana siswa pada salah satu kelas minimal mempunyai alat
komunikasi atau media yang bisa mengakses video.
C. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model Problem Based Learning
melalui pendekatan Flipped Classroom termodifikasi sedangkan variabel
terikatnya adalah kemampuan memahami konsep dan argumentasi ilmiah siswa.
D. Instrumen Penelitian
Untuk mendapatkan data yang mendukung penelitian, peneliti menyusun dan
menyiapkan beberapa instrumen untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Tabel 3.2 Instrumen Penelitian dan Tujuan Penggunaan Instrumen

No Jenis Instrumen Tujuan Instrumen Sumber Waktu


Data
1. Tes kemampuan Mendeskripsikan Siswa Pada awal dan
memahami konsep dan menganalisis akhir kegiatan
kemampuan pembelajaran
memahami konsep
siswa sebelum dan
setelah mengikuti
proses
pembelajaran.
Instrumen tes
berupa soal pilihan
ganda.
2. Tes kemampuan Mendeskripsikan Siswa Pada awal dan
argumentasi ilmiah dan menganalisis akhir kegiatan
kemampuan pembelajaran
argumentasi ilmiah
siswa sebelum dan
setelah mengikuti
proses
pembelajaran.
Instrumen tes
berupa soal esai.
3. Angket tanggapan Memperoleh Siswa Di akhir
siswa gambaran pendapat setelah semua
atau tanggapan proses
siswa terhadap pembelajaran
proses di kelas
pembelajaran yang eksperimen I
mereka alami selesai
dengan model
35

No Jenis Instrumen Tujuan Instrumen Sumber Waktu


Data
Problem Based
Learning melalui
pendekatan Flipped
Classroom
termodifikasi.
4. Lembar observasi Mengukur Siswa dan guru Selama
keterlaksanaan model keterlaksanaan pelaksanaan
PBL setiap tahapan kegiatan
kegiatan pembelajaran
pembelajaran
menggunakan
model PBL untuk
setiap aktivitas guru
dan siswa
berdasarkan
rencana
pelaksanaan
pembelajaran yang
telah dibuat

Tes kemampuan memahami konsep dan argumentasi ilmiah siswa


Langkah-langkah dalam penyusunan instrumen tes adalah sebagai berikut:
a. Membuat kisi-kisi instrumen penelitian untuk tes kemampuan memahami
konsep dan argumentasi ilmiah
b. Menyusun instrumen penelitian berdasarkan kisi-kisi
c. Melakukan validasi konstruksi dari instrumen dengan meminta pertimbangan
ahli (judgement expert)
d. Melakukan uji coba instrumen tes kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah
e. Hasil uji coba kemudian dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas,
taraf kesukaran dan daya pembeda soal.
Untuk menganalisis hasil uji coba soal kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah digunakan program aplikasi Anates V4. Soal kemampuan
memahami konsep diuji cobakan kepada 31 orang siswa kelas IX dan soal
kemampuan argumentasi ilmiah diuji cobakan kepada 32 orang siswa kelas IX.
Soal kemampuan memahami konsep yang diujikan berupa soal pilihan ganda
berjumlah 31 soal. Selengkapnya soal kemampuan memahami konsep yang
36

diujicobakan dan hasil analisis butir soal dapat dilihat pada Lampiran. Berikut
rekapitulasi hasil uji coba soal kemampuan memahami konsep.
Tabel 3.3 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Soal Kemampuan Memahami Konsep
Reliabilitas Tes = 0,68 (Tinggi)
No Validitas Daya Tingkat Keputusan
Soal Pembeda Kesukaran
1 Rendah Cukup Mudah Diperbaiki
2 Tinggi Sangat Baik Mudah Dipakai
3 Sedang Cukup Sedang Dipakai
4 Tinggi Baik Mudah Dipakai
5 Tinggi Baik Sedang Dipakai
6 Rendah Baik Sedang Diperbaiki
7 Sedang Baik Sukar Dipakai
8 Sedang Sangat Baik Sedang Dipakai
9 Rendah Baik Sedang Diperbaiki
10 Sedang Baik Sedang Dipakai
11 Rendah Cukup Sukar Diperbaiki
12 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
13 Tinggi Sangat Baik Sukar Dipakai
14 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
15 Korelasi Sangat Jelek Sedang Dibuang
Negatif
16 Sedang Sangat Baik Mudah Dipakai
17 Tinggi Baik Sukar Dipakai
18 Sedang Cukup Sukar Dipakai
19 Tinggi Cukup Sangat Sukar Dibuang
karena
sangat sukar
20 Rendah Baik Mudah Diperbaiki
21 Korelasi Sangat Jelek Sukar Dibuang
Negatif
22 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
23 Tinggi Sangat Baik Mudah Dibuang
karena
kualitas
pengecoh
sangat buruk
24 Rendah Cukup Sukar Diperbaiki
25 Rendah Cukup Sedang Diperbaiki
26 Sedang Baik Sedang Dipakai
27 Rendah Sangat Baik Sedang Diperbaiki
28 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
29 Rendah Baik Sukar Dibuang
30 Tinggi Baik Sukar Dipakai
31 Sedang Cukup Sedang Dipakai
37

Berdasarkan tabel 3.3, dari hasil uji coba soal kemampuan memahami
konsep, didapatkan 5 dari 31 soal yang diujikan harus dibuang yaitu soal nomor
15, 19, 21, 23 dan 29 sedangkan 26 soal lainnya dapat digunakan. Soal
kemampuan argumentasi ilmiah siswa yang diuji cobakan berjumlah 6 soal yang
berupa soal wacana dengan masing-masing soal terdiri dari 4 pertanyaan yang
memuat 4 komponen dalam argumentasi yaitu klaim, data, pembenaran dan
dukungan. Selengkapnya soal kemampuan argumentasi ilmiah yang diujicobakan
dan hasil analisis butir soal dapat dilihat pada Lampiran. Berikut rekapitulasi hasil
uji coba soal kemampuan argumentasi ilmiah.
Tabel 3.4 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Soal Kemampuan Argumentasi Ilmiah
Korelasi XY = 0,83
Reliabilitas Tes = 0,91 (Tinggi)
No T Daya Keterangan Tingkat Validitas Keterangan
Soal Pembeda Daya Kesukaran
(%) Pembeda
1 2,60 29,63 Minimum Mudah Sedang Diperbaiki
2 3,00 33,33 Cukup Mudah Sedang Dipakai
3 3,61 48,15 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
4 4,00 59,26 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
5 2,82 40,74 Sangat Baik Mudah Tinggi Dipakai
6 6,95 48,15 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
7 3,77 40,74 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
8 3,27 44,44 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
9 1,75 22,22 Minimum Mudah Rendah Diperbaiki
10 4,27 48,15 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
11 3,21 44,44 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
12 1,55 25,93 Minimum Sedang Sedang Diperbaiki
13 2,97 29,63 Minimum Sedang Sedang Diperbaiki
14 3,30 44,44 Sangat Baik Sedang Sedang Dipakai
15 2,63 29,63 Minimum Sedang Sedang Diperbaiki
16 2,60 29,63 Minimum Sukar Tinggi Diperbaiki
17 3,14 40,74 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
18 3,35 51,85 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
19 4,12 55,56 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
20 4,24 44,44 Sangat Baik Sukar Tinggi Dipakai
21 4,24 44,44 Sangat Baik Sukar Tinggi Dipakai
22 4,95 51,85 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
23 3,43 37,04 Cukup Sukar Tinggi Dipakai
24 2,47 33,33 Cukup Sukar Tinggi Dipakai
38

Berdasarkan tabel 3.4, dari hasil uji coba soal kemampuan argumentasi
ilmiah, didapatkan bahwa reliabilitas tes tinggi dan semua soal dapat digunakan
dengan beberapa perbaikan.
E. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga
tahapan yaitu:
1. Tahap persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi:
a. Studi pendahuluan untuk mengetahui kondisi lapangan
b. Studi literatur untuk memperoleh teori yang akurat mengenai
permasalahan yang akan dikaji
c. Studi kurikulum mengenai pokok bahasan yang akan dijadikan materi
pembelajaran, mengetahui tujuan, kompetensi inti dan kompetensi dasar
yang hendak dicapai.
d. Merancang dan membuat video pembelajaran yang berisi masalah yang
akan diselidiki oleh siswa.
e. Menyusun LKS yang harus diisi oleh siswa setelah mengamati tayangan
video.
f. Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan LKS untuk
kegiatan eksperimen.
g. Menyusun instrumen penelitian untuk menjaring data penelitian, meliputi
tes kemampuan memahami konsep, tes kemampuan argumentasi ilmiah,
lembar observasi dan angket tanggapan siswa.
h. Meminta pertimbangan dosen ahli terhadap video dan instrumen yang
dibuat kemudian melakukan revisi berdasarkan saran dari dosen ahli.
i. Melakukan uji coba dan analisis instrumen penelitian.
j. Merevisi instrumen yang sudah divalidasi dan diuji coba.
k. Menentukan populasi dan sampel penelitian.
2. Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan meliputi:
39

a. Beberapa hari sebelum pembelajaran, siswa di kelas eksperimen I


diberikan video dan LKS yang wajib diisi setelah mengamati video
sebagai persiapan kegiatan pembelajaran di kelas.
b. Melaksanakan pre-test untuk menjaring data kemampuan awal siswa
dalam memahami konsep dan argumentasi ilmiah sebelum pembelajaran
dilakukan.
c. Melakukan proses pembelajaran sesuai dengan sintaks model
pembelajaran yang telah dirancang di kelas eksperimen I dan kelas
eksperimen II.
d. Selama proses pembelajaran, melakukan observasi mengenai
keterlaksanaan pembelajaran dengan mengobservasi aktivitas guru dan
siswa.
e. Memberikan post-test untuk menjaring data kemampuan memahami
konsep dan argumentasi ilmiah siswa setelah proses pembelajaran.
f. Memberikan angket tanggapan siswa untuk mengetahui tanggapan siswa
terhadap model pembelajaran yang diterapkan di kelas eksperimen I
setelah selesai semua proses pembelajaran.
3. Tahap akhir
Kegiatan yang dilakukan pada tahap akhir meliputi:
a. Mengolah data hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahap
pelaksanaan penelitian. Data hasil penelitian yang diolah meliputi data
kemampuan memahami konsep, kemampuan argumentasi ilmiah,
hubungan kemampuan memahami konsep dan argumentasi ilmiah,
angket tanggapan siswa dan observasi keterlaksanaan model PBL.
b. Melakukan analisis terhadap seluruh data hasil penelitian yang diperoleh.
c. Menyimpulkan hasil analisis data berdasarkan tujuan penelitian.
d. Menyusun laporan.
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan ditunjukkan oleh alur penelitian
pada gambar 3.1.
40

Studi Pendahuluan Perumusan Masalah

Studi Literatur Solusi Masalah

Studi Kurikulum

Tahap Persiapan Merancang dan Membuat Video dan LKS Video

Pembuatan rancangan instrumen dan perangkat pembelajaran

Validasi, Uji Coba dan Revisi

Pemilihan Sampel Penelitian berupa Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II

Pemberian Video dan LKS Video pada Siswa Kelas Eksperimen


I Sebelum Sesi Pembelajaran di Kelas

Tahap Pelaksanaan
Pemberian Pre-test

Menerapkan Model Menerapkan Model Problem


Problem Based Learning Based Learning tanpa
melalui Pendekatan Pendekatan Flipped
Flipped Classroom Lembar Classroom termodifikasi di
termodifikasi di Kelas Observasi Kelas Eksperimen II
Eksperimen I

Pemberian Post-test dan angket tanggapan siswa

Pengolahan dan Analisis Data


Tahap Akhir
Kesimpulan

Gambar 3.1 Alur Penelitian


41

F. Teknik Analisis Data


1. Analisis Data Kemampuan Memahami Konsep
Analisis data kemampuan memahami konsep siswa dilakukan secara
kuantitatif dengan memberi skor pada hasil pre-test dan post-test sesuai
dengan kunci jawaban dari pedoman penskoran yang digunakan. Jika
jawaban benar bernilai 1 dan salah bernilai 0. Skor yang diperoleh adalah
hasil penjumlahan jawaban yang benar.
2. Analisis Data Argumentasi Ilmiah Siswa
a. Analisis data kuantitatif: Tes kemampuan argumentasi ilmiah siswa di
skoring dengan merujuk pada rubrik skoring tes kemampuan argumentasi
ilmiah yang dijelaskan pada tabel 3.5.
Tabel 3.5 Rubrik Skoring Tes Kemampuan Argumentasi Ilmiah Siswa
No Kemampuan Skor dan Kriteria
Argumentasi Ilmiah
Unsur Aspek 0 1 2 3
1 Klaim Akurasi Tidak Klaim Klaim Klaim
(Claim) klaim menuliskan sepenuhnya sebagian sepenuhnya
klaim tidak akurat akurat akurat
2 Data (Data) Kecukupan Tidak Menuliskan Menuliskan Menuliskan
data menuliskan data tetapi data, tetapi data yang
data tidak tidak cukup cukup untuk
relevan untuk mendukung
untuk mendukung klaim
mendukung klaim
klaim
Kualitas Tidak Data ada Data Data
data menganalisis tetapi tidak sebagian sepenuhnya
data dianalisis dianalisis dianalisis
untuk untuk untuk
mendukung mendukung mendukung
klaim klaim klaim
3 Pembenaran Kualitas Tidak Pembenaran Pembenaran Pembenaran
(Warrant) pembenara menuliskan untuk untuk untuk
n penjelasan menjelaskan menjelaska menjelaskan
hubungan hubungan n hubungan hubungan
antara data antara data antara data antara data
dan klaim dan klaim dan klaim dan klaim
tidak sebagian sepenuhnya
mendukung mendukung mendukung
klaim klaim klaim
4 Dukungan Kualitas Tidak Dukungan Dukungan Dukungan
42

No Kemampuan Skor dan Kriteria


Argumentasi Ilmiah
Unsur Aspek 0 1 2 3
(Backing) dukungan melandasi untuk untuk untuk
pembenaran melandasi melandasi melandasi
untuk pembenaran pembenaran pembenaran
mendukung tidak sebagian sepenuhnya
klaim mendukung mendukung mendukung
klaim klaim klaim
Diadaptasi dari Sampson & Gerbino (2010)
b. Analisis data kualitatif
Argumentasi ilmiah siswa selain dianalisis secara kuantitatif juga dianalisis
secara kualitatif untuk menentukan kualitas argumentasi yang teridentifikasi.
Level argumentasi siswa yang diperoleh dari jawaban argumentasi siswa
dianalisis menggunakan rubrik yang dikembangkan oleh Dawson dan Venville
(2009) yang terdapat pada tabel 2.3. Kekuatan argumentasi siswa pada tes tertulis
juga dianalisis dengan menggunakan rubrik yang dikembangkan oleh Herawati
(2015) dari Zohar & Nemet (2002) yang disajikan dalam tabel 2.4. Banyaknya
argumen siswa untuk setiap level argumen dan level kekuatan argumen
selanjutnya dihitung dalam bentuk persen menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Purwanto (2010) sebagai berikut.
R
NP = × 100 % (1)
SM
NP = Nilai persen yang dicari atau diharapkan
R = Skor mentah yang diperoleh (dalam penelitian ini jumlah argumen
yang muncul pada tingkat level yang ditentukan)
SM = Skor maksimum ideal yang diharapkan (dalam penelitian ini jumlah
total argumen siswa di kelas yang ditentukan)
3. Perhitungan Rata-Rata Gain yang dinormalisasi
Data kemampuan memahami konsep dan argumentasi ilmiah siswa yang
diperoleh dari pre-test dan post-test digunakan untuk mencari nilai rata-rata N-
Gain. Rata-rata N-Gain digunakan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan
suatu variabel, dalam hal ini hasil tes kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan model PBL.
43

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan memahami konsep dan argumentasi


ilmiah siswa dilakukan perhitungan rata-rata N-Gain dengan rumus (Hake, 1999) :

⟨ S post ⟩ −⟨ S pre ⟩
⟨ g ⟩= (2)
⟨ S maks ⟩ − ⟨ S pre ⟩
⟨ S post ⟩ : rata-rata skor posttest
⟨ S pre ⟩ : rata-rata skor pretest
⟨ S maks ⟩ : rata-rata skor maksimum
⟨ g ⟩ : nilai rata-rata gain yang dinormalisasi
Interpretasi nilai rata-rata gain yang dinormalisasi ditunjukkan oleh tabel 3.6.
Tabel 3.6 Interpretasi Nilai Rata-Rata Gain yang dinormalisasi
Nilai ⟨ g ⟩ Klasifikasi
⟨ g ⟩ ≥ 0,7 Tinggi
0,7< ⟨ g ⟩ ≤ 0,3 Sedang
⟨ g ⟩ <0,3 Rendah
(Hake, 1999)
4. Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
memahami konsep dan argumentasi ilmiah siswa yang signifikan antara siswa
yang diajarkan dengan model Problem Based Learning melalui pendekatan
Flipped Classroom termodifikasi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan
dengan model Problem Based Learning tanpa pendekatan Flipped Classroom
termodifikasi dilakukan uji hipotesis dengan alur yang diperlihatkan pada gambar
3.2.
44

Data

Tidak
Uji Normalitas
Uji Mann Whitney
Ya
Tidak
Uji Homogenitas Pengujian hipotesis
dengan uji t’
Ya

Pengujian
hipotesis dengan
uji-t

Kesimpulan

Gambar 3.2. Alur Uji Hipotesis


Pengolahan data untuk uji hipotesis menggunakan aplikasi statistik SPSS 22.
Berikut langkah-langkah pengolahan data menggunakan SPSS 22.
 Uji Normalitas:
H0 : Data rata-rata peningkatan kemampuan memahami konsep dan argumentasi
ilmiah siswa berdistribusi normal.
H1 : Data rata-rata peningkatan kemampuan memahami konsep dan argumentasi
ilmiah siswa berdistribusi tidak normal.
Statistik uji yang digunakan adalah:
 Kolmogorov-Smirnov (K-S)
 Shapiro-Wilk (S-W)
Dengan kriteria pengujian sebagai berikut:
H0 : ditolak jika sig (p-value) < α = 0,05; dan jika nilai sig (p-value) ¿ α

= 0,05 ; maka H0 diterima.


 Uji Homogenitas
H0 : Data rata-rata peningkatan kemampuan memahami konsep dan argumentasi
ilmiah siswa homogen.
45

H1 : Data rata-rata peningkatan kemampuan memahami konsep dan argumentasi


ilmiah siswa tidak homogen.
Statistik Uji : “Levene Statistik”
Kriteria Uji:
H0: ditolak jika sig (p-value) < α = 0,05; dan jika nilai sig (p-value) ¿ α =
0,05 ; maka H0 diterima.
Langkah-langkah Uji Normalitas dan Uji Homogenitas dengan menggunakan
SPSS sebagai berikut:
Menu Analyze DescriptiveExploremasukan data yang akan diuji
berikan tanda centang (√) normality plots with test dan power estimation
statistics descriptives confidence interval for mean ketik 95 %  continue 
ok.
Setelah uji normalitas dan homogenitas dilakukan, selanjutnya melakukan uji
hipotesis dengan hipotesis uji sebagai berikut.
Ho1 : tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan memahami konsep yang
signifikan antara siswa kelas eksperimen I dan siswa kelas eksperimen II (
μ1=μ 2 ¿
Ha1 : terdapat perbedaan peningkatan kemampuan memahami konsep yang
signifikan antara siswa kelas eksperimen I dan siswa kelas eksperimen II (
μ1 ≠ μ2 ¿
Ho2 : tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan argumentasi ilmiah yang
signifikan antara siswa kelas eksperimen I dan siswa kelas eksperimen II (
μ1=μ 2 ¿
Ha2 : terdapat perbedaan peningkatan kemampuan argumentasi ilmiah yang
signifikan antara siswa kelas eksperimen I dan siswa kelas eksperimen II (
μ1 ≠ μ2 ¿
Statistik uji:
 Uji t dua sampel independen jika data berdistribusi normal dan homogen
pada taraf signifikansi α = 0,05.
o Terima Ho jika nilai sig (2 tailed) ≥ α = 0,05.
o Tolak Ho jika nilai sig (2 tailed) ¿ α = 0,05.
46

 Uji Mann Whitney jika data berdistribusi tidak normal pada taraf
signifikansi α = 0,05.
o Terima Ho jika nilai sig (2 tailed) ≥ α = 0,05.
o Tolak Ho jika nilai sig (2 tailed) harus ¿ α = 0,05.
Langkah-langkah Uji Hipotesis dengan menggunakan SPSS sebagai berikut:
Uji t dua sampel:
Menu Analyze Compare meansIndependent sample t testmasukan data
yang akan diuji ke test variablepada pilihan options ketik 95 % pada confidence
interval percentage continue ok.
Uji Mann-Whitney:
Menu AnalyzeNon-Parametric TestLegacy dialogTwo Independent
Samples Testmasukan data yang akan diuji ke test variablecontreng Mann-
Whitney U pada pilihan test typeok.
5. Korelasi atau Hubungan antara Kemampuan Memahami Konsep dan
Argumentasi Ilmiah
Untuk menjawab pertanyaan penelitian apakah ada hubungan antara
kemampuan memahami konsep dengan kemampuan argumentasi ilmiah siswa
maka dilakukan uji korelasi antara skor kemampuan memahami konsep dengan
skor argumentasi ilmiah siswa. Rumus uji korelasi dapat menggunakan uji
korelasi Product Moment dari Pearson dengan syarat data harus terdistribusi
normal. Rumus uji tersebut yaitu:

r XY =N ¿ ¿
Keterangan:

r XY =¿ koefisien korelasi
N = jumlah sampel
∑ X = jumlah skor kemampuan memahami konsep
∑ Y = jumlah skor kemampuan argumentasi ilmiah
∑ XY = jumlah perkalian skor kemampuan memahami konsep dan kemampuan
argumentasi ilmiah
∑ X 2 = jumlah kuadrat skor kemampuan memahami konsep
∑ Y 2 = jumlah kuadrat skor kemampuan argumentasi ilmiah
47

Hipotesis uji korelasi adalah sebagai berikut.

Ho = tidak terdapat korelasi atau hubungan yang signifikan antara kemampuan


memahami konsep dan kemampuan argumentasi ilmiah siswa
Ha = terdapat korelasi atau hubungan yang signifikan antara kemampuan
memahami konsep dan kemampuan argumentasi ilmiah siswa
Bila nilai sig < α atau r hitung > rtabel maka Ha diterima artinya terdapat
hubungan antara kemampuan memahami konsep dan kemampuan argumentasi
ilmiah. Interpretasi koefisien korelasi (rhitung) dengan tingkat hubungan dapat
dilihat pada tabel 3.7.
Tabel 3.7 Interpretasi Koefisien Korelasi dengan Tingkat Hubungan

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
(Sugiyono, 2010)
6. Analisis Data Angket Tanggapan Siswa
Angket tanggapan siswa berupa pernyataan dengan menggunakan skala
Guttman yang terdiri dari dua alternatif jawaban, yaitu ya atau tidak. Angket
tanggapan siswa dianalisis dengan cara menghitung persentase jawaban siswa
pada setiap pertanyaan.

% Tanggapan Siswa=
∑ Siswa yang menjawab ya atau tidak ×100 % (4)
∑ Siswa seluruhnya
7. Analisis Data Hasil Observasi Keterlaksanaan Model PBL
Data yang diperoleh dari observasi aktivitas guru dan siswa selama kegiatan
pembelajaran menggunakan model PBL berdasarkan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang telah dibuat merupakan data kuantitatif yang akan dianalisis
secara deskriptif dengan menghitung persentase. Observasi dilakukan untuk
mengetahui keterlaksanaan setiap tahapan model PBL dalam kegiatan
pembelajaran. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah data tersebut
yaitu:
48

a. Menghitung jumlah tanda cek pada kolom “terlaksana” dan “tidak terlaksana”
yang diisi oleh pengamat pada lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran.
b. Tanda cek pada kolom “terlaksana” mendapat skor 1 dan “tidak terlaksana”
mendapat skor 0.
c. Menghitung persentase dengan menggunakan persamaan deskriptif untuk
keterlaksanaan pembelajaran (Wibowo, 2012).
Jumlah aktivitas yang terlaksana
% Keterlaksanaan Pembelajaran= ×100 %
Jumlah aktivitas
(5)

Hasil perhitungan persentase keterlaksanaan model PBL tersebut kemudian


diinterpretasikan sesuai dengan kriteria keterlaksanaan model pembelajaran
menurut Wibowo (2012) seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Kriteria Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran (KP)
KP (%) Kriteria
KP = 0 Tak satu kegiatan pun terlaksana
0 < KP < 25 Sebagian kecil kegiatan terlaksana
25 < KP < 50 Hampir setengah kegiatan terlaksana
KP = 50 Setengah kegiatan terlaksana
50 < KP < 75 Sebagian besar kegiatan terlaksana
75 < KP < 100 Hampir seluruh kegiatan terlaksana
KP = 100 Seluruh kegiatan terlaksana
(Wibowo, 2012)
49

DAFTAR PUSTAKA

Amir, T. (2010). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Jakarta :


Kencana Prenada Media Group.
Andarini dan Masykuri. (2012). Pembelajaran Biologi Menggunakan Pendekatan
CTL, Flipchart dan Video Ditinjau dari Kemampuan Verbal Gaya Belajar,
Jurnal Inkuiri. Vol.1 No. 2.
Anderson & Krathwohl. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching &
Assessing, A Revision of Bloom’s Taxonomy of Education Objectives. United
States: Longman
Arends, Richard I. 2008. Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar Jilid 2.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arikunto, S. (2006). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Bumi
Aksara.
Arnold-Garza S. (2014). The flipped Classroom. Coll Res Libr News 75(1):10–13.
Asiksoy & Ozdamli (2015). Flipped Classroom adapted to the ARCS Model of
Motivation and Applied to a Physics Course. Eurasia Journal of Mathematics,
Science & Technology Education, 2016, 12(6), 1589-1603 doi:
10.12973/Eurasia.2016.1251a.
Bergmann J, Sams A. (2012). Flip Your Classroom: Reach Every Student In
Every Class Every Day. Association for Supervision and Curriculum
Development, Alexandria.
Bricker, L., & Bell, P. (2009). Conceptualizations of Argumentation from Science
Studies and the Learning Sciences and their Implications for the Practices of
Science Education. Science education, 92(3), 473-498.
Critz C, Knight D. (2013). Using The flipped Classroom In Graduate Nursing
Education. Nurse Educ 38(5):210–213.
Driver, R., Newton, P., & Osborne, J. (2000). Establishing The Norms Of
Scientific Argumentation In Classrooms. Science Education, 84(3), 287–312.
Duschl, R. A., & Osborne, J. (2002). Supporting And Promoting Argumentation
Discourse In Science Education. Studies In Science Education, 38(1), 39–72.
Enfield, J. (2013). Looking At The Impact Of The flipped Classroom Model Of
Instruction On Undergraduate Multimedia Students At CSUN. TechTrends
Link Res Pract Improve Learn 57(6):14–27.
Erduran, S., Simon, S., & Osborne, J. (2004). Enhancing The Quality Of
Argumentation In School Science. Journal of Research in Science Teaching,
41(10), 994–1020.
50

Fraenkel, Jack R dan Wallen, Norman E. (2007). How To Design and Evaluate
Reseach in Education. Edisi 6. New York: The Mc Graw Hill Companies.
Framework for 21st Century Learning. (2010). The Partnership for 21st Century
Skills. Diakses 4 Juli 2017. http://www. p21.org/overview/skills-framework.
Go Teach. (2011). Innovative Teaching: Innovative Flip It. http://www.
futureeducators.org/goteach/2011/08/09/innov8-flip-it/.
Gomez, David Gonzalez, et al. (2016). Performance and Perception in the
Flipped Learning Model: An Initial Approach to Evaluate the Effectiveness
of a New Teaching Methodology in a General Science Classroom. Journal
Science Education Technology 25: 450-459.
Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. United States of America
Indiana University.
Harmer AJ & Cates WM. (2007). Designing for Learner Engagement in Middle
School Science: Technology, Inquiry, and the Hierarchies of Engagement.
Computers in the Schools 24:105–124
Herawati, Desti. (2015). Penalaran Ilmiah (Scientific Reasoning) Siswa Sekolah
Berorientasi Lingkungan dan Sekolah Multinasional. Tesis. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Jeong, J.S, Gomes, D.G, & Canada, F.C. (2016). Students’ Perception and
Emotions Toward Learning in a Flipped General Science Education. Journal
Science Education Technology 25: 747-758.
Jihad dan Haris. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.
Jiménez-Aleixandre, M. P., & Erduran, S. (2008). Argumentation In Science
Education: An Overview : Perspectives From Classroom-Based Research
(pp. 3–28). Dordrecht, Netherlands: Springer.
Jimenez-Aleixandre, M. P., Rodriguez, A. B., & Duschl, R. A. (2000). “Doing
The Lesson” Or “Doing Science”: Argument In High School Genetics.
Science Education,84(6), 757e792.
Jiménez-Aleixandre, M.P., Agraso, M.F., & Eirexas, F. (2004). Scientific
Authority and Empirical Data in Argument Warrants about the Prestige Oil
Spill. Paper Presented at the National Association for Research in Science
Teaching (NARST) Annual Meeting, Vancouver, WA.
Johnson L., Renner J. (2012). Effect Of The flipped Classroom Model On
Secondary Computer Applications Course: Student And Teacher Perceptions,
Questions And Student Achievement. (Doctoral Dissertation, University of
Louisville).
Kelly, G. J., & Chen, C. (1999). The Sound Of Music: Constructing Science As A
Sociocultural Practices Through Oral And Written Discourse. Journal Of
Research In Science Teaching, 36(8), 883 – 915.
Kemendikbud. (2013). Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013: Model
Pembelajaran Berbasis Masalah. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber
51

Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu


Pendidikan.
Kemendikbud. (2016). Silabus Mata Pelajaran SMP/MTs Mata Pelajaran IPA.
Jakarta: Kemendikbud.
Kemendikbud. (2017). Model Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs). Jakarta: Kemendikbud.
Ketelhut D, Nelson BC, Clarke J, Dede C. (2010). A Multi-User Virtual
Environment For Building And Assessing Higher Order Inquiry Skills In
Science. Br J Educ Technol 41:56–68.
Kuhn, D., & Udell, W. (2003). The Development of Argument Skills. Child
Development, 74 (5), 1245-1260.
Kulatunga, U., Moog, R. S. & Lewis, J.E. (2013). Argumentation and
Participation Patterns in General Chemistry Peer-Led Sessions. Vol. 50. No.
10,pp. 1207-1231. United States of America: Journal of Research in Science
Teaching.
Larkin-Hein, Teresa dan Zollman, Dean A. (2000) . Digital Video, Learning
Styles, and Student Understanding of Kinematics Graphs. Journal of SMET
Education.
Liou et al. (2016). Beyond the Flipped Classroom: A Highly Interactive Cloud-
Classroom (HIC) Embedded into Basic Materials Science Course. Journal of
Science Education Technology (2016) 25:460-473 doi: 10.1007/s10956-016-
9606-8.
Leo & Puzio. (2016). Flipped Instruction in a High School Science Classroom.
Journal of Science Education Technology (2016) 25:775-781 doi:
10.1007/s10956-016-9634-4.
Mayer, R. E., & Moreno, R. (2003). Nine Ways To Reduce Cognitive Load In
Multimedia Learning. Educational Psychologist, 38, 43–52.
Missildine K, Fountain R, Summers L, Gosselin K. (2013). Flipping The
Classroom To Improve Student Performance And Satisfaction. J Nurs Educ
52(10):597–599.
Moore A, Gillett M, Steele M. (2014). Fostering Student Engagement With The
flip. Math Teach 107(6):22–27.
Moraros J, Islam A, Yu S, Banow R, Schindelka B. (2015). Flipping For Success:
Evaluating The Effectiveness Of A Novel Teaching Approach In A Graduate
Level Setting. BMC Med Educ. doi:10. 1186/s12909-015-0317-2.
Muslim. (2014). Pengembangan Program Perkuliahan Fisika berorientasi
Kemampuan Berargumentasi Calon Guru Fisika. (Disertasi). Sekolah
Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Newton, P. Driver, R. & Osborne, J. (1999). The Place Of Argumentation In The
Pedagogy Of School Science. International Journal Of Science Education,
21(5), 553-576.
52

Nussbaum, E. M. (2008). Collaborative Discourse, Argumentation, And


Learning: Preface And Literature Review. Contemporary Educational
Psychology, 33(3), 345-359.
Olakanmi. (2016). The Effects of a Flipped Classroom Model of Instruction on
Students’ Performance and Attitudes Towards Chemistry. Journal of Science
Education Technology (2017) 26:127-137 doi: 10.1007/s10956-016-9657-x.
Purwanto. (2010). Evaluasi Hasil Belajar. Surakarta: Pustaka Belajar.
Rahmawati, F., Soegimin, & Kardi, S. (2016). Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Fisika Model Inkuiri Terbimbing Berbantuan Videoscribe
pada Materi Kalor untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMAN 1
Kedungwaru. Jurnal Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri
Surabaya, vol. 5, No. 2.
Rosenbaum, E., Klopfer, E., Perry, J. (2007). On Location Learning: Authentic
Applied Science with Networked Augmented Realities. J Sci Educ Technol
16:31–45
Roshayanti, F. (2012). Pengembangan Model Asesmen Argumentatif untuk
Mengukur Keterampilan Argumentasi Mahasiswa pada Konsep Fisiologi
Manusia. Disertasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Sampson, V., et al. (2010). Argument-Driven Inquiry as a Way to Help Students
Learn How to Participate in Scientific Argumentation and Craft Written
Arguments : An Exploratory Study. Science Education, 95, hlm 217-257.
Sandoval, W. A., & Millwood, K. A. (2005). The Cognition and Instruction,
23(1), 23-55.
Sani, R.A. (2014). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Bumi Aksara.
Schultz, et al. (2014). Effects of the Flipped Classroom Model on Student
Performance for Advanced Placement High School Chemistry Students.
Journal of Chemical Education pubs.acs.org.
Sherin, M. G., & Han, S. Y. (2004). Teacher Learning In The Context Of A Video
Club. Teaching And Teacher Education, 20, 163–183.
Simon, S. (2008). Using Toulmin's Argument Pattern In The Evaluation Of
Argumentation In School Science. International Journal of Research &
Method in Education, 31(3), 277e289.
http://dx.doi.org/10.1080/17437270802417176.
Simon, S., Erduran, S., & Osborne, J. (2006). Learning To Teach Argumentation:
Research And Development In The Science Classroom. International Journal
Of Science Education, 28(2–3), 235–260.
Strayer J. (2007). The Effects Of The Classroom flip On The Learning
Environment: A Comparison Of Learning Activity In A Traditional
Classroom And A flip Classroom That Used An Intelligent Tutoring System.
Unpublished Doctoral Dissertation. UMI No. 3279789. Retrieved from
ProQuest Dissertations and Theses.
53

Sudijono, A. (2011). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Sun, C. T., Ye, S. H., & Wang, Y. J. (2015). Effects Of Commercial Video Games
On Cognitive Elaboration Of Physical Concepts. Computers & Education,
88, 169–181.
Syukur, Abdul. (2013). Penggunaan Video Dalam Pembelajaran Materi
Metabolisme Untuk Mengungkapkan Keterampilan Mengajukan Pertanyaan
Dan Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA Kelas XII IPA.
Tesis Pascasarjana UPI Bandung.
Talley C, Scherer S. (2013). The Enhanced flipped Classroom: Increasing
Academic Performance With Student-Recorded Lectures And Practice
Testing In A ‘‘Flipped’’ STEM Course. J Negro Educ 82(3):339–347.
Tindall-Ford, S., Chandler, P., & Sweller, J. (1997). When Two Sensory Modes
Are Better Than One. Journal of Experimental Psychology: Applied, 3, 257–
287.
Toharudin, U, dkk. (2011). Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung:
Humaniora.
Toulmin, S. (1958). The Uses of Argument. Cambridge, England: Cambridge
University Press.
Tucker B. (2012). The flipped Classroom. Online Instruction At Home Frees
Class For Learning. Educ Next 12(1):82–83.
Erduran, S., Osborne, J., & Simon, S. (2008). Arguing To Learn And Learning To
Argue: Case Studies Of How Students Argumentation Relates To Their
Scientific Knowledge, Journal Of Research In Science Teaching, 45, 1, 101
131.
Wibowo, F.C. (2012). Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Pengalaman
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif dan Kemampuan Pemecahan
Masalah Fisika Siswa SMP. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Wilson SG. (2013). The flipped Class: A Method To Address The Challenges Of
An Undergraduate Statistics Course. Teach Psychol 40(3):193–199.
Yamin, Martinis. (2008). Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan
Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada Press.

Anda mungkin juga menyukai