PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semakin pesatnya perkembangan sains dan teknologi saat ini menjadikan
pembelajaran sains sebagai salah satu pembelajaran yang penting dalam
pembangunan generasi bangsa sehingga dapat berkontribusi dan bersaing di abad
ke-21. Ada beberapa kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa untuk
menghadapi kehidupan di abad ke-21 ini diantaranya keterampilan belajar dan
berinovasi yang meliputi keterampilan berpikir kritis dan penyelesaian masalah,
berpikir kreatif dan inovatif, kemampuan dalam berkomunikasi dan berkolaborasi;
terampil dalam menggunakan media, teknologi, informasi dan komunikasi (TIK);
serta kemampuan dalam menjalani kehidupan dan karir (Kemendikbud, 2016).
Dari pemaparan di atas, salah satu kemampuan yang dapat mendukung
kemampuan berpikir kritis siswa adalah kemampuan argumentasi ilmiah (Hakyolu
& Feral, 2011). Argumentasi ilmiah adalah proses dalam menghasilkan
pernyataan atau klaim yang dibenarkan dengan dukungan bukti-bukti ilmiah.
Tujuan dari argumentasi dalam sains adalah membentuk argumen atau pendapat
yang tujuannya adalah untuk menjelaskan hubungan antara ide dan bukti (Duschl,
Schweingruber & Shouse, 2007). Argumentasi sebagai proses wacana kritis dalam
sains telah menjadi bagian dari tujuan epistemik dan konseptual dari pembelajaran
sains (Duschl & Osborne, 2002). Argumentasi juga dapat meningkatkan
pemahaman konsep siswa, membantu siswa dalam membuat keputusan dan
membuat siswa mampu untuk bekerja seperti seorang saintis (von Aufschnaiter,
Erduran, Osborne & Simon, 2008). Oleh karena itu, argumentasi sebagai bagian
dari pembelajaran sains harus digaungkan dan secara langsung diajarkan dalam
kelas sains (Simon, Erduran & Osborne, 2006).
Faktanya, aplikasi argumentasi belum begitu banyak diterapkan dalam kelas
sains karena beberapa faktor (Driver et al., 2000). Bukti menunjukkan bahwa
kesulitan siswa dalam merumuskan argumen disebabkan karena kurangnya
partisipasi siswa dalam wacana ilmiah dan keterbatasan kemampuan pedagogik
guru dalam mendukung aktivitas argumentasi seperti kurangnya kemampuan guru
dalam memulai dan mengatur jalannya diskusi (Newton et al., 1999; Duschl &
1
2
Osborne, 2002). Wacana di kelas juga lebih didominasi oleh guru dengan sangat
sedikit diskusi kelas dan kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam membentuk
argumen (Newton et al., 1999). Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa
masih rendahnya kemampuan argumentasi siswa. Viyanti (2015) menyatakan
bahwa siswa sering tidak menguatkan argumentasi mereka dengan bukti dan
alasan yang cukup. Pernyataan ini juga didukung oleh temuan Pritasari, Dwiastuti
& Probosari (2016) bahwa siswa belum terlatih berargumentasi sehingga
argumentasi siswa hanya berupa pernyataan sederhana tanpa disertai oleh
pendukung dan alasan.
Berdasarkan kuesioner yang telah diberikan pada delapan orang guru IPA
dari delapan SMP di Bengkulu terkait permasalahan pembelajaran IPA,
didapatkan hasil bahwa menurut guru, kemampuan berargumentasi siswa masih
rendah dibandingkan dengan kemampuan yang lainnya. Hal ini juga diperkuat
dengan hasil tes kemampuan awal siswa dalam memahami konsep dan
argumentasi ilmiah yang telah diujikan kepada tiga puluh dua orang siswa kelas
VIII di SMP Negeri 1 Arga Makmur, Bengkulu Utara. Berdasarkan hasil tes
tersebut diperoleh kemampuan memahami konsep siswa secara keseluruhan
dalam kelas hanya mencapai nilai 49,71 dari nilai maksimal 100. Begitupun untuk
kemampuan argumentasi siswa secara keseluruhan dalam kelas diperoleh nilai
51,43 dari nilai maksimal 100. Kedua nilai kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah ini termasuk kategori rendah. Berdasarkan analisis kualitas
argumen siswa, siswa sudah bisa membuat klaim atau pernyataan yang akurat
tetapi belum bisa memberikan alasan dan bukti yang logis untuk membenarkan
klaim mereka.
Rendahnya kemampuan berargumentasi siswa dapat disebabkan oleh faktor
pembelajaran IPA yang diterapkan, yang kurang dapat mengembangkan
kemampuan siswa dalam mengungkapkan argumen sesuai dengan bukti ilmiah
baik secara lisan maupun tulisan. Menurut hasil observasi, metode pembelajaran
yang dominan dilakukan oleh guru di kelas adalah demonstrasi. Metode
demonstrasi ini dilakukan karena kurangnya sarana dan prasarana untuk
menunjang kegiatan praktikum. Sebagai solusinya, guru memilih melakukan
demonstrasi di depan kelas sebagai pengganti praktikum. Sedangkan menurut
3
Yamin (2008) metode demonstrasi menjadi kurang efektif jika tidak diikuti
dengan sebuah aktivitas dimana siswa sendiri dapat ikut bereksperimen dan
menjadikan aktivitas tersebut sebagai pengalaman pribadi.
Solusi yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan menerapkan
pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan
argumentasinya, salah satunya dengan model Problem Based Learning. Model
Problem Based Learning dimulai dengan melibatkan siswa pada situasi
permasalahan yang autentik dan bermakna misalnya dengan menyajikan
fenomena yang menimbulkan konflik kognitif sehingga dari fenomena tersebut
menjadi landasan bagi investigasi atau penyelidikan siswa (Arends, 2008). Model
Problem Based Learning menurut Arends (2008) terdiri atas lima fase yaitu
mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar,
membimbing penyelidikan kelompok, mempresentasikan hasil karya serta
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Langkah dalam
model Problem Based Learning dapat mengakomodasi kemampuan argumentasi
siswa.
Pada fase mengorientasikan siswa pada masalah, masalah dimunculkan.
Menurut Tan (2003), dalam fase ini siswa mengajukan klaim atau pernyataan dari
hasil pemikiran mereka terkait permasalahan. Pada fase mengorganisasi siswa
untuk belajar, siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar
terkait permasalahan dengan mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah dan
menganalisis masalah (Tan, 2003). Evidence atau bukti berupa data ilmiah yang
mendukung pernyataan dapat siswa peroleh melalui fase penyelidikan kelompok.
Pada fase ini, siswa melakukan penyelidikan ilmiah secara berkelompok melalui
kegiatan praktikum untuk mengumpulkan data ilmiah yang dapat digunakan untuk
mendukung klaim yang mereka buat. Warrant atau pembenaran yang menjelaskan
hubungan antara klaim dan data atau penjelasan bagaimana data mendukung
klaim (Jimenez-Aleixandre et al., 2002) dapat berkembang pada fase
mempresentasikan hasil karya. Pada fase ini, siswa dalam kelompok akan
menyampaikan penjelasan terkait solusi dari permasalahan. Kemampuan
menjelaskan dan memberikan pembenaran berdasarkan pernyataan yang didukung
4
9
10
Permasalahan
dalam sebuah
topik
Permasalahan
yang mencakup
beberapa topik
Permasalahan
antardisiplin
Permasalahan
multidisiplin
Flipped Classroom yaitu proses membuat dan mengedit materi video sulit dan
menghabiskan banyak waktu, selain itu proses membagi dan menggunakan video
melalui internet akan menjadi sulit untuk daerah yang koneksi internetnya rendah
dan terbatas.
Untuk meminimalisir kekurangan dalam penerapan Flipped Classroom, pada
rancangan penelitian ini, penerapan pembelajaran dengan pendekatan Flipped
Classroom akan sedikit dimodifikasi pada penggunaan video yang berisi materi
pelajaran yang diakses siswa sebelum sesi di kelas diganti dengan video yang
berisi fenomena-fenomena IPA yang autentik berkaitan dengan materi yang akan
dipelajari sebagai cara untuk mengorientasikan siswa pada masalah. Dasar
penggantian isi video ini dikarenakan jika video yang diamati siswa sebelum sesi
pembelajaran di kelas berisi materi pelajaran secara keseluruhan diasumsikan
akan membuat siswa menjadi kurang tertarik dengan sesi pembelajaran di kelas
karena mereka telah mengetahui keseluruhan materi melalui video dan tidak
bersesuaian dengan teori konstruktivisme dalam belajar IPA dimana siswa yang
harus aktif mengonstruk atau membangun pengetahuan mereka sendiri melalui
pengalaman langsung (Arends, 2008). Selain itu, siswa juga akan diberikan
lembar kerja yang harus diisi setelah mengamati video. LKS ini akan menuntun
siswa untuk mengungkapkan ide dan pendapat mereka terkait fenomena tersebut.
Melalui video, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam
berpikir dan berargumentasi.
C. Kemampuan Memahami Konsep
Menurut KBBI, konsep adalah suatu ide abstraksi atau gambaran dari objek
melalui suatu proses yang digunakan untuk memahami hal-hal tertentu. Konsep
sangat penting bagi manusia karena digunakan dalam berkomunikasi dengan
orang lain, dalam berpikir, belajar, membaca, dan lain-lain (Nasution, 2006).
Lebih lanjut Dahar (1996) mengungkapkan bahwa konsep merupakan dasar bagi
proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan
generalisasi-generalisasi.
Dimensi proses kognitif pada taksonomi Bloom terbaru versi Anderson terdiri
dari enam level yaitu remembering (mengingat), understanding (memahami),
applying (menerapkan), analyzing (menganalisis), evaluating (menilai) dan
17
mengenali ciri-ciri yang dimiliki suatu benda atau fenomena. Istilah lain dari
mengklasifikasikan adalah mengkategorisasikan (categorising).
d. Meringkas (summarising): indikator dari meringkas adalah jika siswa mampu
membuat suatu pernyataan yang mewakili keseluruhan informasi dari sebuah
tulisan. Meringkas menuntut siswa untuk memilih inti dari suatu informasi
dan meringkasnya. Istilah lain dari meringkas adalah membuat generalisasi
(generalising) dan mengabstraksi (abstracting).
e. Menarik inferensi (inferring): indikator dari menarik inferensi adalah jika
siswa mampu menemukan suatu pola dari sederetan contoh atau fakta. Untuk
dapat melakukan inferensi siswa harus terlebih dulu dapat menarik abstraksi
dari suatu konsep/prinsip berdasarkan sejumlah contoh yang ada. Istilah lain
dari menarik inferensi adalah mengekstrapolasi (extrapolating),
menginterpolasi (interpolating), memprediksi (predicting), dan menarik
kesimpulan (concluding).
f. Membandingkan (comparing): indikator siswa dapat membandingkan jika
siswa mampu mendeteksi persamaan dan perbedaan yang dimiliki dua buah
objek, ide, ataupun situasi. Proses membandingkan mencakup juga
menemukan kaitan antara unsur-unsur satu objek atau keadaan dengan unsur-
unsur yang dimiliki objek atau keadaan lain. Istilah lain dari membandingkan
adalah mengontraskan (contrasting), mencocokkan (matching), dan
memetakan (mapping).
g. Menjelaskan (explaining): indikator dalam menjelaskan jika mampu
mengonstruk dan menggunakan model sebab-akibat dalam suatu sistem.
Termasuk dalam menjelaskan adalah menggunakan model tersebut untuk
mengetahui apa yang terjadi apabila salah satu bagian dari sistem tersebut
diubah. Istilah lain dari menjelaskan adalah mengonstruksi model
(constructing a model).
Dari definisi tentang memahami dan konsep dapat disimpulkan bahwa
definisi operasional dari memahami konsep adalah kemampuan seseorang dalam
memaknai (mengonstruksi) suatu konsep yang ada berdasarkan pengetahuan dasar
yang dimiliki dengan menggunakan kata-kata sendiri dan mampu membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan yang baru.
19
D. Argumentasi Ilmiah
Beberapa ahli mendefinisikan pengertian dari argumentasi diantaranya
menurut Eemeren & Grootendorst (2004) menekankan argumentasi sebagai
aktivitas sosial dan rasional. Kuhn dan Udell (2003) memberikan definisi bahwa
argumentasi adalah “proses dialog dimana dua atau lebih orang ikut serta dalam
perdebatan dengan klaim yang berlawanan” melalui evaluasi dan pembenaran
klaim dari pengetahuan ilmiah. Lebih lanjut, Jiménez-Aleixandre, Agraso dan
Eirexas (2004) memahami argumentasi sebagai “kapasitas yang menghubungkan
data dan bukti dengan klaim teoritis, kapasitas memilih antara beberapa alternatif
menggunakan kriteria yang beralasan”. Argumentasi ilmiah adalah proses dalam
menghasilkan pernyataan atau klaim yang dibenarkan dengan dukungan bukti-
bukti ilmiah. Tujuan dari argumentasi dalam sains adalah membentuk argumen
atau pendapat yang tujuannya adalah untuk menjelaskan hubungan antara ide dan
bukti (Duschl, Schweingruber, & Shouse, 2007 dalam Sampson, 2010).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat digeneralisasikan bahwa
argumentasi merupakan sebuah aktivitas sosial, rasional dan ilmiah dimana
terjadi proses dialog antara dua atau lebih individu untuk menghasilkan
pernyataan atau klaim yang dibenarkan dengan dukungan bukti-bukti ilmiah.
Kegiatan berargumentasi adalah cara yang efektif untuk mengembangkan
pemahaman konseptual peserta didik dalam sains (Driver, Newton, & Osborne,
2000; Jimenez-Aleixandre, Rodriguez, & Duschl, 2000; Erduran, Osborne &
Simon, 2008). Argumentasi disebut juga sebagai “praktik epistemik inti” dari
sains dan sesuai dengan hal ini dinyatakan bahwa tujuan dari pendidikan sains
bukan hanya untuk menguasai konsep ilmiah tetapi juga bagaimana siswa dapat
terlibat dalam wacana ilmiah (Bricker & Bell, 2009). Kelly (2007) berpendapat
bahwa proses wacana efektif dalam membangun pengetahuan, dan pembelajaran
terjadi melalui wacana di dalam kelas. “Berbicara memberikan kesempatan untuk
menduga, berargumen, dan memberikan tantangan. Dengan berbicara, siswa akan
mengeluarkan alasan untuk mendukung pemahaman konseptualnya dan mencoba
untuk membenarkan pandangannya. Siswa yang lain akan menentang,
mengekspresikan keraguan, dan mencari alternatif jawaban sehingga pemahaman
konseptual yang lebih jelas akan muncul” (Newton, Driver, & Osborne, 1999).
20
Kualifier
Data Klaim
Pembenaran
Sanggahan
Dukungan
banyak pembenaran yang relevan dan spesifik untuk mendukung simpulan dengan
bukti-bukti konsep sains yang akurat. Sedangkan argumen yang lemah ditandai
dengan tidak adanya pertimbangan pengetahuan ilmiah atau ada pertimbangan
pengetahuan ilmiah tetapi tidak akurat dan tidak spesifik serta tidak tepat. Oleh
karena itu, disusunlah rubrik untuk menganalisis kekuatan argumen siswa
berdasarkan validitas dan rasionalitas grounds dan claim serta relevansi antara
grounds dan claim yang diajukan. Kriteria rubrik untuk mengukur kekuatan
argumen siswa yang dikembangkan oleh Herawati (2015) dari Zohar & Nemet
(2002) disajikan dalam tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.4 Rubrik Kekuatan Argumen Siswa
Kategori Deskripsi
Kuat Claim logis, didukung oleh grounds (data, warrant,
backing) yang benar* dan relevan.
Cukup Kuat Claim logis, didukung oleh sebagian grounds yang
benar dan relevan.
Sebagian claim logis, didukung oleh grounds yang
benar dan relevan.
Sebagian claim logis, didukung oleh sebagian grounds
yang benar dan relevan.
Lemah Claim logis dan grounds benar, tapi grounds tidak
relevan dengan claim.
Claim logis, tapi didukung oleh grounds yang tidak
benar dan tidak relevan.
Claim tidak logis, tapi didukung oleh grounds yang
benar dan relevan.
Claim tidak logis, didukung oleh grounds yang tidak
benar dan tidak relevan.
Claim tidak didukung oleh grounds.
*) Penentuan ‘benar’ didasarkan pada validitas konsep dan rasionalitas
jawaban yang terdapat pada dasar pengajuan claim (grounds: data, warrant,
backing).
Tekanan zat cair disebut juga dengan tekanan hidrostatis. Dalam submateri
tekanan hidrostatis, siswa mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
besarnya tekanan hidrostatis. Fenomena dan aplikasi yang berkaitan dengan
tekanan hidrostatis contohnya telinga yang akan terasa semakin sakit pada saat
seseorang menyelam di air yang semakin dalam, konstruksi bendungan, alat
scuba diving. Karena gaya gravitasi, tekanan di dalam fluida bertambah sesuai
kedalamannya. Semakin besar kedalaman tersebut, semakin besar pula tekanan
tersebut.
Konsep Hukum Pascal menyatakan bahwa tekanan yang diberikan pada zat
cair di dalam ruang tertutup diteruskan oleh zat cair tersebut ke segala arah
dengan sama besar. Misalkan kita memasukkan air kedalam tabung yang bagian
bawahnya berbentuk bola seperti pada gambar 2.4. Bagian atas tabung diberi
piston dan bagian bawah tabung yang berbentuk bola diberi beberapa lubang
yang sama besarnya. Ketika piston kita tekan ke bawah, air di dalam tabung akan
memancar keluar melalui lubang-lubang tersebut dengan sama derasnya.
e. Tekanan Gas
Air bukanlah satu-satunya fluida yang memiliki tekanan yang berubah sesuai
kedalamannya. Bumi kita diselimuti lapisan udara, yang disebut atmosfer.
Tekanan atmosfer kita juga bervariasi. Tekanan tersebut berubah sesuai dengan
ketinggian dari atas tanah. Fenomena-fenomena yang berkaitan dengan perbedaan
tekanan udara misalnya telinga yang terasa sakit dan berdengung sesaat pesawat
lepas landas pada ketinggian tertentu, angin yang berhembus, pendaki gunung
yang merasa sesak dadanya dan sulit bernafas ketika berada pada tempat yang
sangat tinggi dan lain sebagainya. Pada ketinggian lebih tinggi, dalam suatu
daerah tertentu terdapat partikel-partikel udara yang lebih sedikit. Partikel-partikel
yang lebih sedikit mendorong satu sama lain sehingga menghasilkan tekanan yang
lebih rendah.
f. Kapilaritas Jaringan Angkut pada Tumbuhan
Bagaimanakah air dapat naik dari akar ke bagian tumbuhan lain yang lebih
tinggi? Berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan, air dapat diangkut naik dari
akar ke bagian tumbuhan lain yang lebih tinggi dan diedarkan ke seluruh tubuh
tumbuhan karena adanya kerja sama yang saling berkesinambungan antara
tekanan akar, daya kapilaritas batang dan daya isap daun.
Berdasarkan rumusan masalah dan teori yang telah diuraikan, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan memahami konsep dan
argumentasi ilmiah siswa yang signifikan antara siswa yang diajarkan dengan
model Problem Based Learning melalui pendekatan Flipped Classroom
termodifikasi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan model
Problem Based Learning tanpa pendekatan Flipped Classroom termodifikasi.
2. Terdapat hubungan atau korelasi yang signifikan antara kemampuan
memahami konsep dan kemampuan argumentasi ilmiah siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
Kelompok M O1 X1 O2
Eksperimen I
Kelompok M O1 X2 O2
Eksperimen II
Keterangan : O1 = pre-test pada kedua kelas
O2 = post-test pada kedua kelas
X1 = pembelajaran dengan model Problem Based Learning melalui
pendekatan Flipped Classroom termodifikasi
X2 = pembelajaran dengan model Problem Based Learning tanpa
pendekatan Flipped Classroom termodifikasi
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah kelompok besar dimana sampel diambil dan diharapkan hasil
penelitian dapat digeneralisasikan ke populasi. Sedangkan sampel adalah orang
atau obyek lain yang diambil dari populasi yang diminati dengan tujuan untuk
dipelajari. Sampel harus merepresentasikan populasi atau dapat mewakili populasi
(Fraenkel, et al., 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
VIII SMPN 01 Arga Makmur Bengkulu Utara pada semester genap tahun ajaran
2017/2018 yang terdiri dari 10 kelas. Sampel penelitian terdiri dari dua kelas yang
akan diambil melalui teknik purposive sampling yaitu memilih sampel
33
34
diujicobakan dan hasil analisis butir soal dapat dilihat pada Lampiran. Berikut
rekapitulasi hasil uji coba soal kemampuan memahami konsep.
Tabel 3.3 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Soal Kemampuan Memahami Konsep
Reliabilitas Tes = 0,68 (Tinggi)
No Validitas Daya Tingkat Keputusan
Soal Pembeda Kesukaran
1 Rendah Cukup Mudah Diperbaiki
2 Tinggi Sangat Baik Mudah Dipakai
3 Sedang Cukup Sedang Dipakai
4 Tinggi Baik Mudah Dipakai
5 Tinggi Baik Sedang Dipakai
6 Rendah Baik Sedang Diperbaiki
7 Sedang Baik Sukar Dipakai
8 Sedang Sangat Baik Sedang Dipakai
9 Rendah Baik Sedang Diperbaiki
10 Sedang Baik Sedang Dipakai
11 Rendah Cukup Sukar Diperbaiki
12 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
13 Tinggi Sangat Baik Sukar Dipakai
14 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
15 Korelasi Sangat Jelek Sedang Dibuang
Negatif
16 Sedang Sangat Baik Mudah Dipakai
17 Tinggi Baik Sukar Dipakai
18 Sedang Cukup Sukar Dipakai
19 Tinggi Cukup Sangat Sukar Dibuang
karena
sangat sukar
20 Rendah Baik Mudah Diperbaiki
21 Korelasi Sangat Jelek Sukar Dibuang
Negatif
22 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
23 Tinggi Sangat Baik Mudah Dibuang
karena
kualitas
pengecoh
sangat buruk
24 Rendah Cukup Sukar Diperbaiki
25 Rendah Cukup Sedang Diperbaiki
26 Sedang Baik Sedang Dipakai
27 Rendah Sangat Baik Sedang Diperbaiki
28 Tinggi Sangat Baik Sedang Dipakai
29 Rendah Baik Sukar Dibuang
30 Tinggi Baik Sukar Dipakai
31 Sedang Cukup Sedang Dipakai
37
Berdasarkan tabel 3.3, dari hasil uji coba soal kemampuan memahami
konsep, didapatkan 5 dari 31 soal yang diujikan harus dibuang yaitu soal nomor
15, 19, 21, 23 dan 29 sedangkan 26 soal lainnya dapat digunakan. Soal
kemampuan argumentasi ilmiah siswa yang diuji cobakan berjumlah 6 soal yang
berupa soal wacana dengan masing-masing soal terdiri dari 4 pertanyaan yang
memuat 4 komponen dalam argumentasi yaitu klaim, data, pembenaran dan
dukungan. Selengkapnya soal kemampuan argumentasi ilmiah yang diujicobakan
dan hasil analisis butir soal dapat dilihat pada Lampiran. Berikut rekapitulasi hasil
uji coba soal kemampuan argumentasi ilmiah.
Tabel 3.4 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Soal Kemampuan Argumentasi Ilmiah
Korelasi XY = 0,83
Reliabilitas Tes = 0,91 (Tinggi)
No T Daya Keterangan Tingkat Validitas Keterangan
Soal Pembeda Daya Kesukaran
(%) Pembeda
1 2,60 29,63 Minimum Mudah Sedang Diperbaiki
2 3,00 33,33 Cukup Mudah Sedang Dipakai
3 3,61 48,15 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
4 4,00 59,26 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
5 2,82 40,74 Sangat Baik Mudah Tinggi Dipakai
6 6,95 48,15 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
7 3,77 40,74 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
8 3,27 44,44 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
9 1,75 22,22 Minimum Mudah Rendah Diperbaiki
10 4,27 48,15 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
11 3,21 44,44 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
12 1,55 25,93 Minimum Sedang Sedang Diperbaiki
13 2,97 29,63 Minimum Sedang Sedang Diperbaiki
14 3,30 44,44 Sangat Baik Sedang Sedang Dipakai
15 2,63 29,63 Minimum Sedang Sedang Diperbaiki
16 2,60 29,63 Minimum Sukar Tinggi Diperbaiki
17 3,14 40,74 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
18 3,35 51,85 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
19 4,12 55,56 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
20 4,24 44,44 Sangat Baik Sukar Tinggi Dipakai
21 4,24 44,44 Sangat Baik Sukar Tinggi Dipakai
22 4,95 51,85 Sangat Baik Sedang Tinggi Dipakai
23 3,43 37,04 Cukup Sukar Tinggi Dipakai
24 2,47 33,33 Cukup Sukar Tinggi Dipakai
38
Berdasarkan tabel 3.4, dari hasil uji coba soal kemampuan argumentasi
ilmiah, didapatkan bahwa reliabilitas tes tinggi dan semua soal dapat digunakan
dengan beberapa perbaikan.
E. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi kedalam tiga
tahapan yaitu:
1. Tahap persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi:
a. Studi pendahuluan untuk mengetahui kondisi lapangan
b. Studi literatur untuk memperoleh teori yang akurat mengenai
permasalahan yang akan dikaji
c. Studi kurikulum mengenai pokok bahasan yang akan dijadikan materi
pembelajaran, mengetahui tujuan, kompetensi inti dan kompetensi dasar
yang hendak dicapai.
d. Merancang dan membuat video pembelajaran yang berisi masalah yang
akan diselidiki oleh siswa.
e. Menyusun LKS yang harus diisi oleh siswa setelah mengamati tayangan
video.
f. Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan LKS untuk
kegiatan eksperimen.
g. Menyusun instrumen penelitian untuk menjaring data penelitian, meliputi
tes kemampuan memahami konsep, tes kemampuan argumentasi ilmiah,
lembar observasi dan angket tanggapan siswa.
h. Meminta pertimbangan dosen ahli terhadap video dan instrumen yang
dibuat kemudian melakukan revisi berdasarkan saran dari dosen ahli.
i. Melakukan uji coba dan analisis instrumen penelitian.
j. Merevisi instrumen yang sudah divalidasi dan diuji coba.
k. Menentukan populasi dan sampel penelitian.
2. Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan meliputi:
39
Studi Kurikulum
Tahap Pelaksanaan
Pemberian Pre-test
⟨ S post ⟩ −⟨ S pre ⟩
⟨ g ⟩= (2)
⟨ S maks ⟩ − ⟨ S pre ⟩
⟨ S post ⟩ : rata-rata skor posttest
⟨ S pre ⟩ : rata-rata skor pretest
⟨ S maks ⟩ : rata-rata skor maksimum
⟨ g ⟩ : nilai rata-rata gain yang dinormalisasi
Interpretasi nilai rata-rata gain yang dinormalisasi ditunjukkan oleh tabel 3.6.
Tabel 3.6 Interpretasi Nilai Rata-Rata Gain yang dinormalisasi
Nilai ⟨ g ⟩ Klasifikasi
⟨ g ⟩ ≥ 0,7 Tinggi
0,7< ⟨ g ⟩ ≤ 0,3 Sedang
⟨ g ⟩ <0,3 Rendah
(Hake, 1999)
4. Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
memahami konsep dan argumentasi ilmiah siswa yang signifikan antara siswa
yang diajarkan dengan model Problem Based Learning melalui pendekatan
Flipped Classroom termodifikasi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan
dengan model Problem Based Learning tanpa pendekatan Flipped Classroom
termodifikasi dilakukan uji hipotesis dengan alur yang diperlihatkan pada gambar
3.2.
44
Data
Tidak
Uji Normalitas
Uji Mann Whitney
Ya
Tidak
Uji Homogenitas Pengujian hipotesis
dengan uji t’
Ya
Pengujian
hipotesis dengan
uji-t
Kesimpulan
Uji Mann Whitney jika data berdistribusi tidak normal pada taraf
signifikansi α = 0,05.
o Terima Ho jika nilai sig (2 tailed) ≥ α = 0,05.
o Tolak Ho jika nilai sig (2 tailed) harus ¿ α = 0,05.
Langkah-langkah Uji Hipotesis dengan menggunakan SPSS sebagai berikut:
Uji t dua sampel:
Menu Analyze Compare meansIndependent sample t testmasukan data
yang akan diuji ke test variablepada pilihan options ketik 95 % pada confidence
interval percentage continue ok.
Uji Mann-Whitney:
Menu AnalyzeNon-Parametric TestLegacy dialogTwo Independent
Samples Testmasukan data yang akan diuji ke test variablecontreng Mann-
Whitney U pada pilihan test typeok.
5. Korelasi atau Hubungan antara Kemampuan Memahami Konsep dan
Argumentasi Ilmiah
Untuk menjawab pertanyaan penelitian apakah ada hubungan antara
kemampuan memahami konsep dengan kemampuan argumentasi ilmiah siswa
maka dilakukan uji korelasi antara skor kemampuan memahami konsep dengan
skor argumentasi ilmiah siswa. Rumus uji korelasi dapat menggunakan uji
korelasi Product Moment dari Pearson dengan syarat data harus terdistribusi
normal. Rumus uji tersebut yaitu:
r XY =N ¿ ¿
Keterangan:
r XY =¿ koefisien korelasi
N = jumlah sampel
∑ X = jumlah skor kemampuan memahami konsep
∑ Y = jumlah skor kemampuan argumentasi ilmiah
∑ XY = jumlah perkalian skor kemampuan memahami konsep dan kemampuan
argumentasi ilmiah
∑ X 2 = jumlah kuadrat skor kemampuan memahami konsep
∑ Y 2 = jumlah kuadrat skor kemampuan argumentasi ilmiah
47
% Tanggapan Siswa=
∑ Siswa yang menjawab ya atau tidak ×100 % (4)
∑ Siswa seluruhnya
7. Analisis Data Hasil Observasi Keterlaksanaan Model PBL
Data yang diperoleh dari observasi aktivitas guru dan siswa selama kegiatan
pembelajaran menggunakan model PBL berdasarkan rencana pelaksanaan
pembelajaran yang telah dibuat merupakan data kuantitatif yang akan dianalisis
secara deskriptif dengan menghitung persentase. Observasi dilakukan untuk
mengetahui keterlaksanaan setiap tahapan model PBL dalam kegiatan
pembelajaran. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah data tersebut
yaitu:
48
a. Menghitung jumlah tanda cek pada kolom “terlaksana” dan “tidak terlaksana”
yang diisi oleh pengamat pada lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran.
b. Tanda cek pada kolom “terlaksana” mendapat skor 1 dan “tidak terlaksana”
mendapat skor 0.
c. Menghitung persentase dengan menggunakan persamaan deskriptif untuk
keterlaksanaan pembelajaran (Wibowo, 2012).
Jumlah aktivitas yang terlaksana
% Keterlaksanaan Pembelajaran= ×100 %
Jumlah aktivitas
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Fraenkel, Jack R dan Wallen, Norman E. (2007). How To Design and Evaluate
Reseach in Education. Edisi 6. New York: The Mc Graw Hill Companies.
Framework for 21st Century Learning. (2010). The Partnership for 21st Century
Skills. Diakses 4 Juli 2017. http://www. p21.org/overview/skills-framework.
Go Teach. (2011). Innovative Teaching: Innovative Flip It. http://www.
futureeducators.org/goteach/2011/08/09/innov8-flip-it/.
Gomez, David Gonzalez, et al. (2016). Performance and Perception in the
Flipped Learning Model: An Initial Approach to Evaluate the Effectiveness
of a New Teaching Methodology in a General Science Classroom. Journal
Science Education Technology 25: 450-459.
Hake, R.R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. United States of America
Indiana University.
Harmer AJ & Cates WM. (2007). Designing for Learner Engagement in Middle
School Science: Technology, Inquiry, and the Hierarchies of Engagement.
Computers in the Schools 24:105–124
Herawati, Desti. (2015). Penalaran Ilmiah (Scientific Reasoning) Siswa Sekolah
Berorientasi Lingkungan dan Sekolah Multinasional. Tesis. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Jeong, J.S, Gomes, D.G, & Canada, F.C. (2016). Students’ Perception and
Emotions Toward Learning in a Flipped General Science Education. Journal
Science Education Technology 25: 747-758.
Jihad dan Haris. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.
Jiménez-Aleixandre, M. P., & Erduran, S. (2008). Argumentation In Science
Education: An Overview : Perspectives From Classroom-Based Research
(pp. 3–28). Dordrecht, Netherlands: Springer.
Jimenez-Aleixandre, M. P., Rodriguez, A. B., & Duschl, R. A. (2000). “Doing
The Lesson” Or “Doing Science”: Argument In High School Genetics.
Science Education,84(6), 757e792.
Jiménez-Aleixandre, M.P., Agraso, M.F., & Eirexas, F. (2004). Scientific
Authority and Empirical Data in Argument Warrants about the Prestige Oil
Spill. Paper Presented at the National Association for Research in Science
Teaching (NARST) Annual Meeting, Vancouver, WA.
Johnson L., Renner J. (2012). Effect Of The flipped Classroom Model On
Secondary Computer Applications Course: Student And Teacher Perceptions,
Questions And Student Achievement. (Doctoral Dissertation, University of
Louisville).
Kelly, G. J., & Chen, C. (1999). The Sound Of Music: Constructing Science As A
Sociocultural Practices Through Oral And Written Discourse. Journal Of
Research In Science Teaching, 36(8), 883 – 915.
Kemendikbud. (2013). Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013: Model
Pembelajaran Berbasis Masalah. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber
51