Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus Bronkiektasis

1. Anatomi fisioterapi paru

a. Anatomi

Sistem pernapasan manusia terdiri dari sepasang paru yaitu paru kanan dan

paru kiri yang terdapat didalam rongga dada. Paru kanan terbagi menjadi 3 lobus

dan paru kiri terbagi menjadi 2 lobus. Lapisan yang melapisi paru-paru adalah

pleura yang terdiri visceral pleura (lapisan dalam) dan parietal pleura (lapisan

luar). Visceral pleura yang bersifat tipis, mempunyai membran yang dapat

melicinkan sekuruh permukaan paru yang diberi pelicin oleh cairan pleura.

Lapisan dalam merupakan lapisan inti dari selaput pembungkus pleura yang

melanjutkan menuju ke mediastinum dan inti dinding rongga dada. Lobus-lobus

dari paru tersebut terbagi menjadi beberapa segmen sesuai segmen dari

bronkusnya yaitu paru kanan menjadi 10 segmen dan paru kiri menjadi 9 segmen.

Dan disetiap paru terdapat bagian upper, lower, pemburu darah paru dan bronkial,

saraf dan pembuluh limfe yang memasuki setiap bagian paru dan berakhir di akar

paru atau hilus (Price and Wilson, 1995).

Saluran pernapasan dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus,

sampai bronkiolus (Gambar 2.1). Saluran pernapasan tersebut dilapisi oleh


membran mukosa yang bersilia. Saluran nafas bagian atas terdiri hidung,

faring, laring, sedangkan saluran nafas bagian bawah terdiri trakea, bronkus yang

bercabang menjadi 2 yaitu bronkus kanan sebagai bronkus utama dan bronkus

kiri. Pada saat udara masuk ke dalam rongga hidung dan didalam rongga hidung

terdapat bentuk mekanisme perlindungan yang dilakukan oleh rongga hidung

sehingga udara yang masuk akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan.

Faring merupakan percabangan 2 saluran yaitu saluran pernapasan yang

berada di depan dan saluran pencernaan yang berada di belakang. Laring

merupakan serangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan

mengandung pita suara. Diantara pita suara yang bermuara pada trakea terdapat

glotis yang juga merupakan pemisah antara sakuran nafas bagian atas dan saluran

nafas bagian bawah. Laring berperan sebagai organ pelindung yang membantu

dalam proses menelan, mengarahkan makanan dan cairan masuk kedalam saluran

pencernaan.

Trakea merupakan pisa yang panjangnya sekitar 10 cm. Sifat dari dinding

trakea yang tipis dan kaku diklelilingi oleh cincin tulang rawan dan di bagian

dalam terdapat silia yang berfungsi menyaring benda asing yang masuk kedalam

saluran pernapasan. Bronkus kanan adalah lebih pendek dan lebih lebar dan

arahnya hampir vertikal. Sehingga bronkus kanan lebih mudah terkena benda

asling seperti debu, bakteri, dan lain lain. Cabang utama bronkus kanan dan

bronkus kiri masih terbagi lagi menjadi bronkus lobaris kemudian bronkus

segmentalis dan sampai bagian terkecil dari bronkus yang disebut bronkiolus
terminalis. Di dalam bronkus terminalis masih terdapat alveoli dan alveolus

(Gambar 2.2).

Otot respirasi terdiri dari otot inspirasi dan otot ekspirasi. Otot utama dari

otot inspirasi adalah diagframa, ketika tarik nafas dalam otot otot inspirasi

aksesoris membantu pada saat inspirasi. Otot-otot inspirasi tersebut adalah oto

skaleneus, otot sternomatoideus dan seratus anterios. Otot-otot ekspirasi yang

utama adalah otot-otot abdomen yang terdiri dari otot rektus abdominis, otot

obliqus eksternus dan obliques internus.

Gambar 2.1

Saluran pernapasan (Watchie, 2010)

Keterangan gambar 2.1

1. Conchae 6. Laring
2. Epligottis 7. Trakea
3. Faring 8. Arteri pulmonari
4. Glottis 9. Vena pulmunari
5. Esofagus 10. Aveoli
Gambar 2.2

Pembagian bronkopulmonari (Watchie, 2010)

Keterangan gambar 2.2

1) Apical

2) Posterior

3) Anterior segments (left upper lobe)

4) Superior lingular

5) Inferior lingular segments (right middle lobe)

6) Superior

7) Medial basal (right lung)

8) Anterior basal

9) Lateral basal

10) Posterior basal segmen


b. Fisiologi

Proses fisiologi pernafasan menurut price and wilson tahun 1995 secara

garis besar dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:

1) Stadium ke satu (Ventilasi)

Stadium ke satu adalah stadium awal dimana udara bergerak masuk dan

keluar paru-paru secara bergantian karena terdapat selisih tekanan yang terdapat

antara alveoulus dan tekanan atmosfer akibat beban kerja mekanis dari otot-otot

inspirasi maupun otot ekspirasi. Selama inspirasi berlangsung, volume paru akan

bertambah besar karena kerja dari diafragma, tulang rusuk dan otot-otot

pernafasan yaitu diafragma akan menurun, tulang rusuk akan naik akibat kontraksi

beberapa otot pernafasan tersebut yang mana otot sternomatoideus akan

mengangkat sternum ke atas dan otot inspirasi lainnya yang akan mengangkat

tulang rusuk (Price and Wilson, 1995). Peningkatan volume paru akan berdampak

pada penurunan tekanan intrapleural dengan selisih 4 mmHg dan penurunan

tekanan intrapulmonal dengan selisih 2 mmHg. Akibat selisih penurunan tersebut

udara dapat mengalir ke dalam paru-paru sampai tekanan intrapulmonal pada

akhir inspirasi akan sama lagi dengan tekanan atmosfer.

Pada saat ekspirasi yang pada intinya selama pernafasan tenang

merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Kebalikan

dari proses inspirasi, selama ekspirasi volume paru akan berkurang karena

diafragma naik keatas ke dalam rongga torak dan pada saat dinding dada turun

otot interkostalis eksternus mengalami rileksasi. Otot interkostalis internus

berfungsi pada saat ekspirasi kuat dan aktif yang dapat menekan tulang rusuk ke
bawah dan ke dalam,Sehingga otot-otot abdomen juga akan mengalami kontraksi

yang mengakibatkan tekanan intra abdominal menjadi besar dan menekan

diafragma ke atas. Dampak dari itu semua tekanan intrapleural dan tekanan

intrapulmonal menjadi meningkat dan berakibat udara mengalir keluar dari paru-

paru sampai kedua tekanan tersebut menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.

2) Stadium ke dua (Transportasi)

a) Difusi

Pada tahup difusi mencangkup proses difusi gas gas yang melintasi

membran alveolus kapiler yang tipis. Besar tekanan parsial oksigen dalam

atmosfer pada permukaan laut sekitar 149 mmHg. Dalam keadaan istirahat

normal, disfusi dan keseimbangan oksigen pada kapiler darah paru-paru dan

aveolus yang berlangsung sekitar 0,25 detik dengan total waktu kontak langsung

selama 0,75 detik.

b) Hubungan antara ventilasi-perfusi

Pemindahan gas secara aktif antara alveolus dan kapiler paru-paru

membutuhkan distribusi yang merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi

didalam kapiler. Ventilasi dan perfusi dari unit pulmonar harus sesuai dan harus

berjalan secara seimbang. Sirkulasi pulmonar di dalam tubuh dengan tekanan dan

resistensi yang rendah mengakibatkan aliran darah pada daerah bawah di paru-

paru menjadi lebih besar dari pada daerah atas di paru-paru, hal tersebut

disebabkan karena pengaruh gravitasi bumi. Ketidakcocokan dan

ketidakseimbangan ventilasi perfusi merupakan penyebab penting masalah

penyakit pernafasan yaitu pertukaran gas,


Misalnya PPOK, pneumonia, dan edema paru (ward et al, 2007)

c) Transpor oksigen dalam darah

Oksigen yang berasal dari paru-paru menuju ke jaringan-jaringan melalui

dua jalan yaitu secara fisik akan larut dalam plasma dan atau secara kimia oksigen

dapat berkaitan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin yang bersifat

reversibel. Tekanan parsial oksigen dalam darah arteri mempunyai hubungan yang

tidak segaris dengan jumlah sesungguhnya yang di angkut dalam bentuk kimia,

yang ditentukan pula dengan jumlah oksigen yang secara fisik larut dalam plasma

darah.selanjutnya, jumlah oksigen yang secara fisik larut dalam plasma darah

mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus.

Hanya 25% oksigen dalam darah arteria yang digunakan untuk keperluan jaringan

(Price and Wilson, 1995).

d) Transpor karbondioksida dalam darah

Transpor karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru merupakan aspek

penting dalam memenuhi kebutuhan respirasi yaitu untuk di buang sebagai

ekskresi.

3) Stadium ke tiga (Respirasi Sel atau Respirasi Interna)

Stadium akhir bagian respirasi yang merupakan pengubahan dari oksigen

dan metabolit menjadi energi karbon dioksida sehingga membuat sampah dari

proses metabolisme sel yang pada akhir nya akan dikeluarkan oleh paru-paru

(Price and Wilson, 1995).


2. Definisi Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah kelainan dari satu bronkus atau lebih yang

mengalami pembesaran yang bersifat kronis, yang berakibat pada penurunan

efektifitas kerja mucociliary clearance. Bronkiektasis dikikuti dengan proses

peradangan serta perkembangan nya terdapat destruksi kartilago dan di dinding

brnkial terdapat perubahan silia dari epitel kolumnar menjadi epitel berbentuk

kubus. Kelenjar dahak yang terdapat di dinding bronkial mengalami peningkatan

produksi yang bersamaan dengan penurunan fungsi silia. Dan hal ini

mengakibatkan tertimbun nya dahak. Tanda dan gejala bronkiektasis adalah batuk

produktif menahun, dahak kadang berdarah, eksaserbasi akut juga diikuti badan

panas, sesak nafas dan kadang berbunyi (pryoy, 2004).

3. Patologi Bronkiektasis

a. Epidemiologi

Di indonesia ada laporan tentang angka angka yang pasti mengenai

penyakit ini. Weycker et al (2005) melaporkan prevalensi di amerika serikat 42

dari 10.000 orang dalam rentang usia 18-34 tahun dan 272 per 10.000 orang pada

usia sekitar 75 tahunan. Meskipun demikian, prevalensi bronkiektasis masih

belom dapat dipastikan (weycker, 2005). Di indonesia belum ada data, tetapi

karena kasus infeksi paru dan saluran nafas masih tinggi, bronkiektasis perlu

diperhatikan. Kenyataannya penyakit ini sering di temukan di klinik-klinik dan

diderita oleh laki-laki maupun perempuan, penyakit ini dapat diderita mulai sejak

anak, bahkan berupa kelainan kongenital. Penyebab bronkiektasis sampai saat ini

belum diketahui dengan jelas.


Namun bronkiektasis dapat pula terjadi karena kelainan yang didapat.

Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang

sering kambuh dan berlangsung lama. Obstruksi bronkus seperti yang terjadi pada

karsinoma bronkus atau akibat tekanan dari luar ke bronkus juga dapat

menyebabkan bronkiektasis. Angka kematian dari penyakit pneumonia 5% - 12%

dari pasien yang di rawat di rumah sakit dan 25% - 50% pada pasien yang di

rawat di ICU (Ward et al, 2007)

b. Etimologi

Jika etimologinya berupa kongenital, patogenesis belum banyak diketahui.

Namun diduga ini berkaitan dengan faktor genetik dan faktor lingkungan. Pada

bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga melalui beberapa mekanisme.

Faktor penyebab noninfeksi yang dapat menyebabkan penyakit ini adalah paparan

substansi toksik, misalnya terhirup has toksik (amonia, aspirasi asam dari cairan

lambung dan lain-lain). Kemungkinan adanya faktor imun yang terlibat belum

diketahui dengan pasti karena bronkiektasis dapat ditemukan pula pada pasien

kolitis ulseratif dan sindrom sjorgen. Bronkiektasis biasanya didapat pada masa

anak anak. Kerusakan bronkus pda penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh

infeksi. Penyebab infeksi tersering adalah H. Influenza dan P. Aeruginosa. Infeksi

oleh bakteri lain, seperti Klebsiela dan Staphylococus aureus disebabkan oleh

absen atau terlambatnya pemberian antibiotik pada pengobatan pneumonia.

Bronkiektasis ditemukan pula pada pasien dengan infeksi HIV atau virus lain nya,

seperti adenovirus atau virus influenza.


c. Perubahan patologis

Bronkiektasis merupakan infeksi pada bronkus paru, yang akan diikuti

oleh proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi. Pada pemeriksaan patologi

anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi srta

terdapat proses fibrosis. Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal dan

silia pada epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa dan terjadi

inflamasi hebat pada sel-sel bronkus. Kondisi ini menyebabkan terganggunya

proses pembersihan sekresi dari pohon bronkial. Gangguan clearance dari

sekresinya menyebabkan kolonisasi dan infeksi dengan organisme patogen,

berkontribusi terhadap dahak purulen umum diamati pada pasien dengan

bronkiektasis. Hasil nya adalah kerusakan bronkial lebih lanjut dan lingkaran

setan kerusakan bronkial, pelebaran bronkial, gangguan pembersihan sekret,

infeksi berulang, dan kondisi lebih lanjut yaitu bronkial damage.

Etimologi lainnya yang berupa obstruksi akan menyebabkan pada bagian

distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus kemudian

terjadi bronkiektasis. Mekanisme terjadinya sangat rumit. Dikatakan bahwa hanya

infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan dinding bronkus sehingga

terjadi bronkiektasis.

d. Tanda dan gejala

Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi

sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Batuk pada bronkiektasis

memiliki ciri antara lain batuk produktif


Yang berlangsung lama dan frekuensi mirip dengan bronkitis kronik. Jika terjadi

karena infeksi, warna sputum akan menjadi purulen, dan dapat memberikan bau

tidak sedap pada mulut. Pada kasus yang sudah berat, sputum disertai dengan

nanah dan jaringan nekrosis bronkus. Pada sebagian besar pasien juga ditemukan

dyspnoe dengan suara tambahan wheezing akibat adanya obstruksi bronkus.

Demam berulang juga dapat dirasakan pasien karena adanya

infeksi berulang yag sifatnya kronik. Hemoptisis juga dapat terlihat pada

sebagian besar kasus, hal ini disebabkan adanya destruksi mukosa bronkus

yang mengenai pembuluh darah. Pda dry bronkiektasis (bronkiektasis

kering), hemoptisis terjadi tanpa disertai dengan batuk dan pengeluaran

dahak. Hal ini biasanya terjadi pada bronkiektasis yang menyerang

mukosa bronkus bagian lobus atas paru. Bagian ini memiliki drainase yang

baik sehingga sputum tidak pernah menumpuk pada bagian ini.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sianosis dari jari tabuh.

Pada keadaan yang lebih parah dapat terlihat tanda-tanda kor pulmonal.

Kelainan paru yang lain dapat ditemukan tergantung dari tempat kelainan

yang terjadi. Pada bronkiektasis biasanya ditemukan ronkhi basah paru

yang jelas pada bagian lobus bawah paru dan ini hilang setelah melakukan

drainase postural. Dapat dilihat pula retraksi dinding dada dan

berkurangnya gerakan dinding dada pada paru yang terkena serta terjadi

pergerakan mediastinum (tertarik) kearah yang terkena.


4. Prognosis

Pada umumnya prognosis dari bronkiektasis tergantung dari faktor

kesehatan secara umum penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik

yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi

prognosis penyakit pada pederita yang dirawat.

B. Problematika Fisioterapi

Menurut international classification of functioning, disability and health

(ICF) diagnosis kesehatan terutama di bidang fisioterapi dapat dibagi menjadi 3

yaitu impairment, functional limitation dan participation of restriction.

Didasarkan ICF tersebut di atas diagnosis fisioterapi yang terjadi pada pasien

pneumonia meliputi :

1. Impairment

Problematika level impairment yaitu (a) dyspnoe (nafas pendek), (b) batuk

yang tidak efektif, (c) hambatan pengeluaran sputum, dan (d) pola pernafasan

yang tidak normal.

2. Functional Limitation

Problematika level functional limitation antara lain menurunnya kapasitas

fisik dalam beraktivitas sehari-hari seperti pasien mudah merasa kelelahan apabila

digunakan sedikit melakukan aktifitas.


3. Participation of Restriction

Problematika level participation of restriction adalah pasien kurang

percaya diri dalam bersosialisasi dengan masyarakat karena pasien merasa tidak

mampu beraktifitas lebih lama daripadayang lainnya dan dalam melakukan

kegiatan yang sifatnya membutuhkan fisik dan tenaga yang penuh.

C. Tegnologi Intervensi

1. Postural Drainage

Postural Drainage adalah suatu teknik yang pasif bagi pasien, yang mana

pasien ditempatkan dalam posisi mendekati inti bronchopulmonary untuk

mengalirkan mukus sesuai dengan arah gravitasi bumi. Posisi pasien yang

demikian memungkinkan membantu pasien dalam mengalirkan mukus-mukus

yang berasal dari bronkus (Zaidai, 1981 dikutip oleh Dean et al, 1996). Setiap

lobus harus mengalirkan mukus secara searah jalurnya sesuai gravitasi sehingga

mukus dapat mengalir dari bronkiolus menuju bronkus kemudian kepusat jalur

nafas. Mekanisme dari postural drainage dengan mempertimbangkan dampak

langsung pengaruh dari gravitasi pada bronkial (Dean et al, 1996)

Menurut studi dari lannefors, 1992 dikutip oleh Dean et al, 1996 dari

pengamatannya bahwa gravitasi dapat mempengaruhi ventilasi paru disekitarnya

dan volume paru mempengaruhi mekanisme lain yang saling berpengaruh.

Indikasi untuk postural drainage adalah pasien yang didalam parunya terdapat

banyak sputum, seperti bronkiektasisdan penyakit paru lainnya.


Kontra indikasi untuk posisi Postural Drainage adalah tekanan intracranial (ICP)

lebih dari 20 mmHg, terdapat cidera pada kepala dan leher, posisi trendelenburg,

empyema, eboli paru, terdapat luka oprasi, efusi pleura (Dean et al, 1996). Dan

terdapat berbagai posisi Postural Drainage dari semua area lapang paru dan

masing-masing lobus (Gambar 2.3).

1 2

3 4
5 6

7 8

9 10
Gambar 2.3

Posisi Postural Drainage (Pryor and Webber, 1998)

Keterangan gambar 2.3

1. Segmen posterior, lobus atas, paru kiri

2. Segmen anterior, lobus atas, paru kanan dan kiri

3. Segmen posterior, lobus atas, paru kanan

4. Lingula

5. Segmen lateral dan medial, lobus tengah, paru kanan

6. Segmen anterior basal, lobus bawah, paru kanan dan kiri

7. Segmen apical, lobus bawah, paru kanan dan kiri

8. Segmen lateral basal, lobus bawah, paru kanan

9. Segmen lateral basal paru kiri dan segmen medial basal paru kanan, lobus

bawah

10. Segmen posterior basal, lobus bawah, parukanan dan paru kiri.
2. Tapotement

Tapotement merupakan tepukan dengan kedua tangan membentuk seperti

mangkok pada area lapang paru yang bertujuan untuk mengalirkan mukus.

Tepukan yang dilakukan pada dinding torak ke jaringan paru diharapkan dapat

mencetuskan getaran yang akan di transmisikan oleh dinding torak ke jaringan

paru yang terletak di bawahnya untuk menimbulkan getaran pada saluran napas.

Getaran ini diharapkan dapat melepaskan mukus dari dinding saluran napas dan

memberikan stimulasi terhadap aktivitas dari mucocilliary transport (Gosselink,

1989).

Pada penelitian Gallon 1991 disebutkan bahwa penambahan Tapotement

pada postural drainage, diaphragmatic breathing exercise dan FET, dapat

meningkatkan jumlah mukus yang dikeluarkan secara signifikan. Pemberian

Tapotement bersamaan dengan postural drainagedan FET juga direkomendasikan

oleh The Bromptom Hospital Guide to Chest Physiotherapy (Webber, 1988).

3. Active cycle of breathing technique

Active cycle of breathing technique suatu siklus dari breathing control,

thoracic expansion exercise dan forced expiration technique (FET). breathing

control adalah suatu pernapasan tenang pada normal FRC dan volume tidal sesuai

kecepatan dan kedalaman yang dikehendaki oleh pasien. thoracic expansion

exercise adalah latihan napas dengan penekanan inspirasi maksimal dengan atau

tanpa penahanan pada akhir inspirasi diikuti ekspirasi yang pelan/rileks.


FET adalah teknik yang digunakan terapis yang mendasarkan pada

ekspirasi yang menggunakan kekuatan. Menurut Pryor dan Webber (1988) FET

didefinisikan sebagai satu atau dua ekspirasi paksa atau huffing dari mid inspirasi

sampai dengan volume paru rendah yang diselingi periode relaksasi.

Menurut penelitian yang dilakukan Patterson tahun 2004, ACBT efektif

digunakan dalam pengeluaran mucus karena merupakan suatu kombinasi dari

berbagai teknik.

4. Diaphragmatic breathing exercise

diaphragmatic breathing exercise merupakan latihan napas yang

menekankan pada pernapasan normal FRC dan normal Vt, sehingga otot-otot

bantu pernapasan tidak terlibat dalam pernapasan ini. Teknik ini dilakukan untuk

re edukasi agar pasien dapat melakukan pernapasan dengan normal.

Anda mungkin juga menyukai