Anda di halaman 1dari 5

Inovasi Baru Budidaya Ulat Sutra Daun Singkong

Ir. Cindelaras Yulianto, Pembudidaya Ulat Sutra


By redaksi - November 15, 2021

Ir. Cindelaras Yulianto, Pembudidaya Ulat Sutra

B
iasanya orang membudidayakan ulat sutra dengan pakan daun murbai.  Tapi
ternyata ulat sutra bisa juga diberi makan daun singkong. Dan hasilnya pun tidak
kalah, mampu menghasilkan serat dan dipintal menjadi kain sutra yang kualitasnya
sama bagusnya dengan ulat sutra pemakan daun murbai.

Budidaya ulat sutra dengan pakan daun singkong ini adalah inovasi baru yang dikenalkan oleh
Ir. Cindelaras Yulianto bersama rekan (Nonot dan Agus) kepada masyarakat Gunung Kidul,
Yogyakarta, yang mayoritas bertani singkong. Dengan wadah KSB Surya Sutera Sejahtera,
aktivis petani yang sudah malang melintang di dunia pertanian ini mengajak petani untuk
kembali bertani singkong dan mendapat hasil yang lain, yaitu produk dari ulat sutra.

Apa yang saat ini dilakukan bukan tanpa alasan, ini dilandasi keprihatinan terhadap petani di
Gunung Kidul, khususnya petani singkong yang sering terombang ambing dengan harga
singkong yang jatuh, dan membuat petani frustasi nyaris putus asa.

Bagaimana kiprah Bapak Cindelaras dalam mengenalkan inovasi baru ini, Agro Indonesia
berkesempatan mewancarainya.

Kenapa pilih budidaya ulat sutra daun singkong?

Sebenarnya karena kita ingin membangkitkan rasa percaya diri petani untuk kembali bertani
singkong, mulainya dari situ. Ini salah satu kegiatan kita sebagai bentuk pendampingan. Ada
keprihatinan, perlu dipikirkan. Mayoritas petani di Gunung Kidul adalah petani singkong dan
sebenarnya mereka nyaris putus asa dengan singkong. Karena singkong pernah harganya
turun sampai Rp100-Rp200 per kg. Itukan harga yang luar biasa gila, bukan sekedar rugi,
petani bangkrut semua. Dan itu sudah berulangkali yang tidak pernah diperhitungkan yang
kemudian membuat rasa putus asa.

Dalam program ini kita edukasi mereka bagaimana budidaya singkong kembali. Pada saat
yang bersamaan kita perkenalkan produk baru, produk alternatif ini, budidaya ulat sutra daun
singkong. Supaya mereka mendapat 2 keuntungan sekaligus, dari singkong dan ulat sutranya.

Apakah mereka tertarik?

Ya. Dan banyak anak muda yang terlibat disini. 70% itu anak-anak muda yang ikut pelatihan.
Biasanya anak muda tidak tertarik bertani. Dalam pelatihan juga ada praktik, uji coba
budidaya ini, dan ada hasil yang sudah bisa dilihat, sudah ada yang berhasil menjadi
kepompong.

Solusi pertanian terpadu yang kita tawarkan ini program tepat momentum, terutama dalam
situasi sulit seperti ini, pas betul. Kita lakukan ini dari setahun lalu, waktu covid. Sekarang
usaha-usaha dalam posisi slow-slow semua. Yang di kota kembali ke desa, tapi di desa tidak
punya harapan apa-apa hanya sekedar merasa lebih survival di desa. Nah dengan budidaya
ulat sutra seperti ini sangat membantu. Sekarang ini terlihat mereka punya harapan untuk
kembali berttani singkong.

Teknis kemitraannya bagaimana?

Kemitraan atau kerjasama ini meliputi bentuk pelatihan budidaya, penyediaan ulat dan bibit
singkong. Lahan pertanian kami sewakan. Kita juga bekerjasama dengan Dinas Kehutanan
Provinsi DIY. Kedepan hasilnya kita beli. Sehingga petani bisa diuntungkan. Kalau mereka
sudah menguasai semua, mereka bisa membuat bibit ulatnya sendiri.

Keuntungan apa yang diperoleh?

Ada 2 keuntungan dengan budidaya ulat sutra daun singkong ini. Petani bisa mendapat hasil
dari dua produk, dari singkongnya dan dari ulat sutranya. Singkongnya bisa dijadikan mokaf,
criping, keripik, gatot, tiwul dan olahan yang lain. Dan nantinya bisa diarahkan menjadi
bioetanol. Daun singkongnya bisa dipakai untuk pakan ulat sutra. Dengan demplot 1000 m2
panen 15 hari, pendapatan petani dalam 15 hari itu kuranglebih Rp2 juta. Kalau sebulan
mereka dapat sekitar Rp4 jutaan dari jual kepompong. Mereka menerima ulat yang sudah
ditetaskan umurnya 15 hari. Umur ulat itu 30 hari, yang 15 hari itu ditetaskan ditempat
breeding, disiapkan untuk betul-betul siap lepas. Jadi ada hasil dari singkong dan hasil dari
ulat sutranya

Singkongnya dari jenis apa?

Yang dipakai singkong karet. Kita sebut singkong sutra karena daunnya akan dipakai untuk
makan ulat sutranya. Itu dengan teknik sambung. Singkongnya itu kita sambung. Singkong
biasa disambung dengan Singkong Karet yang terkenal berbatang besar dan berdaun lebih
lebar. Ada dua keuntungan dari proses penyambungan ini, pertama singkong biasa yang sudah
disambung Singkong Karet, daunnya akan tambah besar dan lebar, dan yang kedua isi dari
singkong akan bertambah besar. Dengan proses sambung ini, diharapkan hasil produksi
singkong akan semakin meningkat.

Apa tidak akan menyita waktu?

Budidaya ulat sutra ini sebenarnya kegiatan sambilan yang tidak banyak menyita waktu.
Karena budidaya ini sifatnya hanya untuk sampingan, pengerjaannya tidak membutuhkan
waktu yang lama, tidak memerlukan modal awal yang besar, pemeliharaanya juga tidak sulit,
dan tidak memakan banyak tempat, tidak menyita lahan atau tempat yang luas. Sementara
masa panennya juga termasuk cepat, yaitu 15 hari panen. Kegiatan sambilan ini nantinya bisa
saja menjadi kegiatan pokok karena hasil dari ulat sutranya bernilai secara ekonomis.

Berapa kebutuhan daun untuk ulatnya?


Analisa keseimbangan antara tanaman dengan ulat sutra seperti ini. Dengan luas lahan
1000m2, jarak tanam 1,5 m ada sekitar 750 pohon. 1 pohon berisi rata-rata 200 s/d 300
daun. 1 ulat perlu rata-rata 3 daun perhari. Umur pemeliharaan ulat 15 hari. Selama 15 perlu
daun, 15×3 daun = 45 daun /ulat. Jadi 1 pohon disiapkan untuk pakan 4 s/d 5 ekor ulat.
Kalau 750 pohon (1000m2) x 300 daun = 225.000 daun. Jadi kalau 225.000 daun : 45, maka
225.000 daun akan habis untuk memelihara 5000 ekor ulat.

Harapan ke depan?

Tumbuh kepercayaan masyarakat kembali untuk menanam singkong. Bertani singkong dengan
cara ini bisa dikembangkan secara profersional. Di Gunung Kidul petani yang menanam
singkong secara profesional hampir tidak ada. Mereka anggap itu tanaman sela, karena itu
dianggap tanaman sela, menanamnya asalan asalan, tidak ada lahan khusus.
Mengembangkan ulat sutra, butuh makan daun singkong, kalau makanannya harus mencari
kesana kemari, tidak mungkin. Jadi harus menaman singkong. Setiap hari mereka panen
daunnya untuk pakan ulat sutranya. Dan nanti pada saat bersamaaan 10 bulan yang akan
datang, mereka akan panen singkong. Sekali panen, bibit singkongnya bisa digunakan 3-4
kali. Jadi setelah panen bisa ditanam lagi. Generasi kedua ini yang justru hasilnya yang
terbaik, yang ke3 sudah mulai menurun, bisa sampai ke4 atau mulai nyambung lagi.

Kita kasih tahu juga bagaimana memperdayakan tanahnya kembali. Jenis Manihot utilissima
ini rakus unsur hara, kalau ditanam asal-asalan tidak disiapkan makanannya pasti hasil
ketelanya kecil-kecil. Jadi harus disediakan makanan. Makanan terbaiknya ya kotoran ulat
sutranya itu. Kotoran ulat sutranya juga bisa dipakai sebagai pupuk tanaman singkong. Itu
sangat bagus. Karena kotoran yang berasal dari hewan pemakan daun tanaman, bermanfaat
terbaik untuk memupuk tanaman itu sendiri. Kandungan unsur makro dan mikronya itu
takarannya kira-kira sudah sesuai dengan kebutuhan tanaman itu sendiri. Jadi kotorannya itu
diurai, dan digunakan kembali sebagai pupuk, dikasihkan kembali ke tanaman.

Bidik besarnya memang kita ingin kembalikan supaya Gunung Kidul sebagai penghasil
singkong kembali bisa diregenerasi sebagai penghasil singkong. Itu hanya mungkin jika terjadi
kaderisasi petani singkong. Kadersisasi petani singkong hanya terjadi kalau pendapatan
singkong itu signifikan. Pendapatan singkong itu signifikan itu kalau terjadi pelipat gandakan
produksi hasil singkong. Dan meningkatkan bargaining position petani singkong terhadap
pedagangnya.
Kedepannya dari hasil singkong bisa sebagai bioetanol. Tidak lama lagi dengan adanya trend
mobil listrik, motor mobil kita ini nantinya mesinnya akan seperti kompor minyak tanah, beli
minyak tanah sekarang mahal karena ada gas yang murah sekali. Jadi singkong itu larinya
diolah menjadi bietanol. Bioetanol itu komponen terbesar dari petramax turbo. Prosentasenya
sekian % itu etanol. Bagaimana supaya motor mobil disana itu yang sudah terlanjur dibeli,
dengan adanya mobil listrik bisa diselamatkan. Mereka akan bisa menggunakan bahan bakar
yang mereka produksi sendiri di kampungnya. Dari bioetanol nanti jadi desa mandiri energi.
Anna Zulfiyah

Anda mungkin juga menyukai