Anda di halaman 1dari 147

Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

oleh Dr. Dyah Kumalasari

Hak Cipta © 2018 pada penulis

Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283


Telp: 0274-889398; 0274-882262; Fax: 0274-889057;

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian


atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, terma-
suk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari
penerbit.

Tajuk Entri Utama: Kumalasari, Dyah


Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah/Dyah
Kumalasari
− Edisi Pertama. Cet. Ke-1. − Yogyakarta: Suluh Media, 2018
x + 258 hlm.; 24 cm

Bibliografi: 249 - 258


ISBN : 978-602-5879-06-7
E-ISBN : 978-602-5879-07-4

1. Pendidikan Moral I. Judul


370.114
BAB ..

KATA PENGANTAR

B
uku ini berasal dari disertasi yang saya ajukan sebagai salah satu
persyaratan untuk mendapatkan gelar Doktor dalam Ilmu
Pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta. Judul asli dari disertasi ini adalah “Kajian Konsep Pendidikan
Karakter Menurut K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara, Suatu Refleksi
Historis Kultural”. Saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya kepada
segenap pihak yang dengan keikhlasannya telah membantu ter-
selesaikannya penulisan buku ini. Secara khusus saya ucapkan pula
banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro, M.A., dan Prof.
Darmiyati Zuchdi, Ed.D., atas bimbingan, kritik, saran serta masukan yang
diberikan selama proses penelitian dan penulisan. Saya merasa sangat
beruntung dan berterima kasih mendapat kesempatan untuk berkarya di
bawah bimbingan beliau berdua.
Pendidikan karakter merupakan tema aktual yang banyak diangkat
saat ini, mengingat berbagai permasalahan yang muncul terkait per-
masalahan krisis moral di berbagai kalangan. Bagi bangsa Indonesia,
pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru. Sejak
awal abad XX ketika bangsa Indonesia masih dalam belenggu kolonialisme
telah muncul ide dan gagasan tentang pendidikan karakter dari kalangan
tokoh-tokoh pendidikan saat itu, seperti K.H.A. Dahlan dan Ki Hadjar
Dewantara. Melalui pendidikan karakter, keduanya mencoba membangun
vi Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

semangat kemandirian, kepercayaan diri, dan rasa nasionalisme di


kalangan generasi muda. Agama sebagai basis pendidikan karakter K.H.A
Dahlan dan budaya sebagai basis pendidikan karakter Ki Hadjar
Dewantara bersama-sama berusaha membangun semangat kebangsaan
saat itu, berusaha melawan dominasi penjajah yang menanamkan perasaan
inlander atau rendah diri di kalangan masyarakat pribumi.
Buku ini mencoba memadukan agama dan budaya sebagai basis
pendidikan karakter dalam konsep pendidikan K.H.A. Dahlan dan Ki
Hadjar Dewantara. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
tentang kajian historis pendidikan karakter dalam pendidikan nasional,
bagian kedua adalah kajian teori tentang agama dan budaya sebagai basis
pendidikan karakter, bagian ketiga dari buku ini mencoba memadukan
agama dan budaya sebagai basis pendidikan karakter melalui kajian yang
dilakukan terhadap pemikiran dan praktik pendidikan karakter K.H.A.
Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara.
Perpaduan agama dan budaya sebagai basis pendidikan karakter di
sekolah diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan solusi alternatif
menemukan konsep pendidikan karakter yang sesuai dengan karakteristik
masyarakat Indonesia. Mengingat kedua tokoh yang dikaji dalam tulisan
ini merupakan tokoh pendidikan yang dimiliki bangsa ini, yang tidak
hanya mengembangkan teori akan tetapi telah mencoba me-
ngimplementasikannya dalam praksis pendidikan di masing-masing
lembaga pendidikan yang mereka dirikan. Proses implementasi
pendidikan karakter K.H.A Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara pun didasari
dengan teori-teori pendidikan yang mereka dapatkan selama menempuh
pendidikan sebelumnya.
Pengalaman K.H.A Dahlan yang menempuh pendidikan agama di
Mekah banyak mendapatkan informasi terbaru tentang gerakan Islam
modern saat itu, sementara Ki Hadjar Dewantara yang berhasil mem-
peroleh Europeesche Akta yaitu ijasah pendidikan bergengsi yang
didapatkannya setelah menempuh pendidikan di Belanda pada masa pem-
buangan. Dalam proses pendidikannya K.H.A Dahlan banyak mendalami
pemikiran-pemikiran pembaharu seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Kata Pengantar vii

Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Sementara dalam teori-teori


pendidikannya Ki Hadjar Dewantara banyak mengadopsi ide-ide sejumlah
tokoh Barat seperti Froebel, Montessori serta pendidikan India Santiniketan
keluarga Tagore.
Pemikiran pendidikan yang dikembangkan oleh K.H.A. Dahlan dan
Ki Hadjar Dewantara tentu saja telah melalui proses penyesuaian dengan
kondisi masyarakat Indonesia saat itu. Banyak dimensi pendidikan
karakter dalam muatan pendidikan keduanya. Agama sebagai basis
pendidikan karakter K.H.A. Dahlan dan budaya sebagai basis pendidikan
karakter Ki Hadjar Dewantara telah disesuaikan dengan kebutuhan dan
karakteristik masyarakat pribumi dengan segala permasalahannya saat itu.
Pendidikan untuk membangun karakter dibutuhkan dalam rangka untuk
membangun jati diri bangsa.
Kurikulum 2013 yang diberlakukan di sekolah saat ini menekankan
pada dimensi pendidikan karakter yang terintegrasi dalam setiap mata
pelajarannya. Namun demikian pola penanaman karakter seperti apa yang
dapat dilakukan dalam proses pengintegrasian tersebut masih menemui
banyak kesulitan. Oleh karenanya, menggali kembali konsep-konsep
pendidikan dari tokoh-tokoh lokal penting dilakukan sebagai upaya
memperoleh konsep ideal tentang pendidikan karakter yang lebih sesuai
dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia
adalah bagian dari bangsa Timur yang masih menjunjung tinggi agama
dan budaya dalam kehidupan sehari-hari maka pendidikan karakternya
pun mestinya berbeda dengan pendidikan karakter yang diterapkan di
negara-negara yang sekular. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah
satu alternatif gambaran pendidikan karakter yang berbasis pada agama
dan budaya.

-oo0oo-
viii Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
BAB ..

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 KAJIAN HISTORIS PENDIDIKAN NASIONAL 13
2.1 Pengertian Pendidikan dan Tujuan Pendidikan Nasional 13
2.2 Pengertian dan Manfaat Kajian Historis Pendidikan 23
2.3 Pendidikan Nasional dalam Membangun Karakter Anak 29
BAB 3 PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AGAMA 43
DAN BUDAYA
3.1 Kajian tentang Pendidikan Karakter 43
3.2 Pengertian Pendidikan Karakter 45
3.3 Pendidikan Karakter Berbasis Agama 54
3.4 Pendidikan Karakter Berbasis Budaya 60
BAB 4 LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H. AHMAD 67
DAHLAN DAN KI HADJAR DEWANTARA
4.1 K.H. Ahmad Dahlan 67
4.2 Ki Hadjar Dewantara 78
x Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

BAB 5 PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN 93


DALAM MENGHADAPI KOLONIALISME
5.1 K.H. Ahmad Dahlan 93
5.2 Muhammadiyah Sebagai Bagian dari Modernisme Islam 104
di Indonesia
5.3 Pendidikan untuk Memperbaiki Akhlak dan Perilaku 122
5.4 Memadukan Pengetahuan Umum dan Pendidikan 133
Agama
5.5 Madrasah Muhammadiyah 141
BAB 6 PEMIKIRAN PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA 151
DALAM MENGHADAPI KOLONIALISME
6.1 Ki Hadjar Dewantara 151
6.2 Tamansiswa Sebagai Bentuk Perlawanan 164
terhadap Pendidikan Kolonial yang Intelektualis
6.3 Pendidikan dan Kebudayaan 173
6.4 Pendidikan Budi Pekerti 181
6.5 Pendidikan Sistem Pondok 187
BAB 7 DIMENSI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM 201
PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. AHMAD DAHLAN
DAN KI HADJAR DEWANTARA
7.1 Dimensi Pendidikan Karakter dalam Pemikiran 201
Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan Sebagai Dasar
Menghadapi Situasi pada Zamannya
7.2 Dimensi Pendidikan Karakter dalam Pemikiran 218
Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Sebagai Dasar
Menghadapi Situasi pada Zamannya
BAB 8 KESIMPULAN 243
DAFTAR PUSTAKA 249

-oo0oo-
BAB 1

PENDAHULUAN

P
endidikan saat ini masih menyisakan banyak persoalan. Mulai
dari masalah kurikulum sampai dengan masalah-masalah lain
yang terkait dengan materi maupun target capaian dalam proses
pembelajaran. Kurikulum 2013 yang diterapkan di sekolah saat ini
menekankan pada dimensi pendidikan karakter yang terintegrasi pada
setiap mata pelajarannya. Dalam praktiknya masih perlu kajian lebih lanjut
tentang konsep pendidikan karakter yang sebaiknya diterapkan pada
setiap mata pelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013 tersebut.
Era globalisasi menuntut kita untuk bangun dan melihat kembali
realitas pendidikan yang ada saat ini. Kurikulum 2013 yang sarat dengan
muatan pendidikan karakter memberi harapan baru bahwa pendidikan
tidak sekedar mengejar ketercapaian dari sisi aspek kognitif saja melainkan
juga afektif bahkan psikomotor. Membekali anak dengan kecerdasan emosi
sangat penting pada masa ini mengingat banyaknya kasus terjadi, anak
cerdas di sekolah, nilainya selalu bagus tapi tidak bisa mengelola emosinya
dengan baik, seperti mudah marah, mudah putus asa atau angkuh dan
sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk
dirinya. Kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan
pada anak sejak usia dini sebagai dasar ketrampilan mereka di tengah
masyarakat ketika dewasa, sehingga akan membuat seluruh potensinya
dapat berkembang secara lebih optimal.
2 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pertanyaannya kemudian adalah model pendidikan karakter seperti


apakah yang sebaiknya dikembangkan bagi para peserta didik kita saat
ini? Mengingat banyaknya teori-teori pendidikan karakter yang
berkembang sampai dengan sekarang. Jika menilik sejarah perkembangan
pendidikan kita di tanah air sejak masa kolonial hingga sekarang,
pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sebuah hal baru bagi dunia
pendidikan kita. Oleh karenanya kajian pendidikan karakter yang pernah
dilaksanakan dalam sejarah pendidikan bangsa kita perlu dilakukan guna
mendapatkan alternatif pendidikan karakter yang sesuai dengan
karakteristik masyarakat Indonesia saat ini.
Mengkaji kembali tentang pendidikan karakter di tanah air kita dapat
dilakukan dengan mempelajari konsep pendidikan karakter dari dua tokoh
pendidikan kita yaitu Kyai Haji Ahmad Dahlan (selanjutnya akan ditulis
K.H. Ahmad Dahlan) dan Ki Hadjar Dewantara. Keduanya adalah dua
tokoh pendidikan yang dimiliki bangsa Indonesia sejak masa kolonial
Belanda. Keduanya telah lama mengembangkan konsep pendidikan yang
disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, dan keagamaan masyarakat
Indonesia. Tidak hanya menggali konsep pendidikan bagi masyarakat
pribumi yang pada waktu itu masih menghadapi masa penjajahan, tetapi
dua tokoh ini juga turut berperan aktif melaksanakan dan terjun langsung
dalam dunia pendidikan dan berjuang melalui membangun pendidikan
bagi masyarakat pribumi dengan mendirikan lembaga pendidikan
Muhammadiyah dan Tamansiswa. K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar
Dewantara memanfaatkan pendidikan sebagai alat perjuangan dalam
membangun integritas nasional sejak awal abad XX dengan tujuan
mencapai kemerdekaan.
Proses penjajahan terhadap bangsa Indonesia dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda selama hampir tiga setengah abad lamanya.
Selama itu pula bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan akibat
penghisapan ekonomi dari sistem Tanam Paksa, proses pembodohan
akibat diskriminasi dalam bidang pendidikan, sosial, politik, maupun
budaya (Kahin, 1995: 55). Diskriminasi yang dilakukan khususnya dalam
bidang pendidikan, menyebabkan kebanyakan masyarakat pribumi
Pendahuluan 3

mengalami keterbelakangan dan rasa rendah diri. Kondisi tersebut yang


kemudian mencoba diubah melalui pendidikan yang dilakukan oleh K.H.
Ahmad Dahlan maupun Ki Hadjar Dewantara dalam rangka menanamkan
kembali kepercayaan diri, penghargaan terhadap diri sendiri di kalangan
masyarakat pribumi untuk memunculkan kesadaran untuk bangkit dan
melawan penindasan dan diskriminasi.
Selain sifatnya yang diskriminatif karena hanya diperuntukkan bagi
golongan keturunan Belanda dan para priyayi, penyelenggaraan
pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, pendidikan
Barat saat itu diselenggarakan oleh pemerintah Belanda sebagai upaya
menjauhkan masyarakat pribumi dari agama dan kebudayaannya.
Disebutkan oleh Hasbullah, 2001: 30 dan Nasution, 2001: 37, bahwa
pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda saat itu
lebih terpusat pada pendidikan intelektual saja, tanpa memperhatikan
pendidikan moral, kebudayaan setempat, dan keagamaan. Pelajaran di
sekolah meliputi empat mata pelajaran wajib yaitu membaca, menulis,
bahasa (bahasa daerah, bahasa Belanda dan bahasa Melayu) dan berhitung.
Agama sama sekali tidak diajarkan bahkan dilarang di semua sekolah
pemerintah. Agama dan budaya dinilai potensial menghambat usaha
westernisasi (pembaratan) yang telah direncanakan. Pendidikan yang
sifatnya intelektualistik dan sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja yang dapat dibayar murah meniadakan pendidikan agama dan
pendidikan moral. Pendidikan Barat akhirnya memunculkan elite
intelektual baru yang sedikit banyak telah menjadi asing terhadap
kebudayaan bahkan agamanya sendiri.
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda
sejak awal abad XX tidak berdampak sama sekali pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat pribumi. Pendidikan dengan kualitas yang baik
hanya terbatas pada golongan atas, sedangkan untuk rakyat secara umum
pendidikan dijaga agar tetap rendah dan sederhana. Jika diamati dari
struktur pendidikan saat itu hampir tanpa jalan ke luar ke pendidikan
lanjutan untuk mendapat kedudukan yang lebih baik (Nasution, 2001: 19).
Akses pendidikan terhenti di beberapa level sekolah, karena untuk
4 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi terbentur pada tingginya biaya


dan kesempatan yang memang dipersempit dengan standar kelulusan
yang dibuat tinggi oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam Kahin (1995:
65) juga disebutkan, bahwa meskipun pendidikan Barat semakin banyak
tersedia, namun jumlah orang yang dapat menikmatinya masih sangat
kecil. Dari sini Nampak bahwa diskriminasi pendidikan bagi berbagai
kelompok masyarakat seperti orang Belanda, pribumi golongan atas,
pribumi golongan bawah, golongan Timur Asing, tetap saja diberlakukan
dalam pelaksanaan Politik Etis.
Berdasarkan gambaran kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perjalanan sejarah pendidikan bangsa Indonesia pernah mengalami masa-
masa sulit, terutama pada masa penjajahan Belanda. K.H. Ahmad Dahlan
adalah salah satu tokoh pendidikan yang turut memperjuangkan nasib
bangsa Indonesia dalam bidang pendidikannya. Organisasi
Muhammadiyah yang didirikannya menjadi salah satu gerakan
pendidikan dari kelompok agama (Islam). K.H. Ahmad Dahlan
mengarahkan kegiatan Muhammadiyah pada pemurnian keyakinan dan
pelaksanaan ajaran Islam di kalangan umat yang saat itu mengalami
penyimpangan, kejenuhan, kemandegan, serta kemerosotan.
K.H. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa keadaan masyarakat yang
menyedihkan secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya akibat penjajahan
dan kehidupan agama yang kurang sesuai dengan Qur’an dan Hadits
menyebabkan sikap yang fatalistik dan statis, yaitu menerima keadaan
buruk dan penderitaan sebagai pemberian. Untuk mengatasi keadaan ini
diperlukan kebangkitan kesadaran baru agar masyarakat memiliki
kepercayaan diri (self reliance) untuk mengubah dirinya. Bagi orang yang
taat agama, kembali pada ajaran Qur’an dan Hadits diyakini sebagai cara
membangun kembali jati diri (self identity) dan kepercayaan diri,
keberanian untuk berjuang melawan kemungkaran (penindasan) serta
mempunyai kemauan untuk membangun kebaikan (kemerdekaan). Hal ini
menjadi dasar perjuangan pendidikan Muhammadiyah.
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pelopor pendidikan Islam yang
memadukan antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum.
Pendahuluan 5

Dalam pendidikan Muhammadiyah, dua sisi kebutuhan dasar hidup


manusia, baik kebutuhan material maupun spiritual dikembangkan secara
harmonis. Pendidikan Belanda yang sekular dianggap tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang agamis. Pendidikan di sekolah-sekolah
Belanda saat itu hanya memberikan ilmu pengetahuan umum saja tanpa
ada pembelajaran tentang ilmu agama. Padahal, menurut beliau
pengetahuan agama perlu ditanamkan guna menunjang pendidikan moral
bagi para siswanya. Sebaliknya, pendidikan tradisional milik kaum
pribumi saat itu adalah pesantren juga hanya memberikan pengetahuan
agama saja tanpa memberikan pelajaran pengetahuan umum. Menurut
K.H. Ahmad Dahlan yang demikian pun juga memiliki kekurangan, karena
siswa menjadi terbatas pengetahuannya dan tidak dapat mengikuti
perkembangan zaman.
Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
saat itu memelopori pendidikan yang menyatukan pengetahuan agama
dengan pengetahuan umum sekaligus. Dengan demikian dua sisi
kebutuhan dasar hidup manusia, kebutuhan material dan spiritual dapat
dikembangkan secara harmonis. Di sekolah Muhammadiyah diajarkan
pula Bahasa Arab sebagai mata pelajaran sehingga pemahaman mengenai
Qur’an dan Hadist dapat dilakukan secara bebas oleh siswa sendiri. Anak-
anak dengan demikian memperolah kebebasan berfikir dalam memahami
agama. Kebebasan berfikir ini yang diharapkan sebagai proses yang
membebaskan anak, sehingga tidak merasa terkekang dan merasa senang
belajar agama.
Berbeda dengan K.H. Ahmad Dahlan yang banyak menyerap nilai-
nilai modern agama Islam dalam memajukan peradaban manusia, maka Ki
Hadjar Dewantara lebih banyak terpengaruh oleh pandangan baru
pendidikan di Barat dan menguraikan teori pendidikannya dengan
menggunakan basis nilai-nilai budaya bangsa (khususnya Jawa). Dari
sudut teori pendidikan Ki Hadjar Dewantara banyak dipengaruhi oleh
teori pendidikan Montessori yang meletakkan penghargaan pada
kemerdekaan jiwa anak, kebebasan dalam belajar, perhatian pada minat
dan kebutuhan anak, dan kebebasan dalam belajar. Tugas guru bukan
6 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

memberi pengetahuan pada anak tetapi hanya membimbing belajar anak


sesuai dengan minat dan kebutuhan perkembangannya. Kekerasan,
hukuman, dan paksaan seperti yang saat itu banyak diterapkan dalam
pendidikan modern yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda
tidak seharusnya dipakai dalam mendidik anak, dengan harapan dapat
berkembang jiwa yang merdeka.
Teori pendidikan Barat tersebut secara sadar dirumuskan oleh Ki
Hadjar Dewantara dengan menggunakan basis nilai-nilai budaya Jawa
dengan tujuan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Dalam
budaya Jawa mengasuh anak dengan jiwa merdeka biasa disebut dengan
istilah momong, among, ngemong. Ki Hadjar Dewantara menteorikan
pendidikan Tamansiswa yang didirikannya sebagai pendidikan sistem
among, dengan tugas guru Tut Wuri Handayani, artinya untuk mengasuh
anak dengan jiwa merdeka guru membimbing dari belakang, bukan
memaksakan keinginan guru pada anak akan tetapi sebaliknya guru harus
memahami keinginan dan bakat seorang anak.
Jiwa merdeka yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara saat itu
dinilai sangat jauh dari kenyataan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Alasan ketidakpuasan melihat kondisi
persekolahan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial inilah yang
mendasari pemikirannya untuk mendirikan perguruan Tamansiswa demi
mewujudkan ide-ide atau gagasan pendidikannya.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial dianggap
tidak sesuai dengan hidup dan penghidupan masyarakat Indonesia.
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak
Indonesia hendaknya berlandaskan kehidupan kebangsaan Indonesia,
karena pengaruh dari pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional
itu dapat membuat anak-anak memiliki rasa cinta terhadap tanah air dan
bangsanya, sehingga kelak ia tidak akan terpisah dari kehidupan
bangsanya. Ditambahkan pula bahwa sistem pendidikan nasional di
Indonesia hendaknya berlandaskan pada kultur dan kebudayaan
kebangsaan Indonesia. Oleh karenanya meskipun Ki Hadjar Dewantara
sebenarnya banyak mengadopsi teori-teori Barat akan tetapi telah
Pendahuluan 7

disesuaikan dengan kondisi masyarakat pribumi yang kental dengan


kultur dan religi.
Apabila berdasarkan pada tujuan pendidikan yang hakiki, kegiatan
mendidik dan mengajar sebenarnya bermakna penting untuk membawa
anak manusia pada tingkat manusiawi dan taraf peradaban. Noeng
Muhadjir (2000) menyatakan bahwa pendidikan mempunyai “tujuan baik”
yang beragam. Makna “baik” yang secara filosofik mencakup etiket,
perilaku terpuji, watak terpuji, practical values, sampai living values.
Berbagai tujuan yang baik tersebut dengan harapan agar anak menjadi
pandai, agar orang menjadi ahli, bertambah cerdas, berkepribadian luhur,
dan toleran. Tujuan baik tersebut jika dicermati merujuk pada
pembentukan karakter seseorang. Teori ini menguatkan pula teori
pendidikan K.H. Ahmad Dahlan maupun Ki Hadjar Dewantara bahwa
pendidikan tidak sekedar menargetkan kecerdasan intelektual semata akan
tetapi lebih kepada mengembangkan hakikat kemanusiaan secara utuh,
meliputi segala aspek baik intelektual, fisik , maupun mentalnya.
Pendidikan Indonesia pasca kemerdekaan mengalami banyak
perubahan dan perkembangan. Pendidikan yang sebelumnya bersifat
kolonial sentris, mengutamakan kepentingan dan kebutuhan pemerintah
kolonial, berubah orientasi dan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa sesuai amanah yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 3 menegaskan, bahwa “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. Dari
rumusan tersebut nampak bahwa pendidikan nasional mengemban misi
yang tidak ringan, yakni membangun manusia yang utuh, yang memiliki
nilai-nilai karakter yang agung di samping juga harus memiliki keimanan
8 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

dan ketaqwaan. Oleh karenanya, pendidikan menjadi agent of change yang


harus melakukan perbaikan karakter bangsa.
Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih menyisakan banyak
persoalan, baik dari segi kurikulum, manajemen, maupun para praktisi
dan pengguna pendidikan. SDM Indonesia masih belum mencerminkan
cita-cita pendidikan yang diharapkan. Masih banyak ditemukan kasus
seperti siswa yang melakukan kecurangan ketika menghadapi ujian,
bersikap malas dan senang berhura-hura, senang tawuran antar sesama
siswa, melakukan pergaulan bebas, hingga terlibat narkoba dan tindak
kriminal lainnya. Di sisi lain, masih ditemukan pula guru yang melakukan
kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam penyelenggaraan
ujian nasional. Atas dasar inilah, maka pendidikan kita perlu
direkonstruksi agar dapat menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan
siap menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan serta
memiliki karakter mulia.
Dibutuhkan sistem pendidikan yang memiliki materi yang
komprehensif serta ditopang oleh pengelolaan dan pelaksanaan yang
benar untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter
seperti dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Terkait dengan hal
ini, pendidikan Muhammadiyah yang mengembangkan nilai-nilai agama
Islam dan pengetahuan umum seperti yang telah diangkat dalam konsep
pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan pendidikan berbasis budaya nasional
seperti dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara memiliki tujuan yang
seiring dengan tujuan pendidikan nasional.
Secara umum pendidikan Islam mengemban misi utama untuk
memanusiakan manusia, yakni menjadikan manusia mampu
mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga berfungsi
maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan dalam Al Quran
dan Hadits, yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang utuh
(Marzuki, 2011). Sedangkan pendidikan berbasis budaya seperti ajaran Ki
Hadjar Dewantara bertujuan mendidik anak supaya dapat berperasaan,
berpikir, dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib
damainya hidup bersama. Jika digabungkan kedua prinsip tersebut maka
Pendahuluan 9

akan menghasilkan satu konsep pendidikan yang sejalan dengan cita-cita


pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya,
yang tidak hanya cerdas tapi juga berakhlak mulia dan memiliki rasa
kecintaan dan bangga terhadap bangsa dan negaranya.
Pendidikan karakter tidak terlepas dari penanaman nilai-nilai moral
dan keagamaan bagi siswa. Kesadaran akan pentingnya nilai, moral dan
keagamaan serta pengembangan pengajaran yang memadukan keimanan
dan ketaqwaan sejalan dengan esensi pendidikan sebagai sarana
perubahan. Paulo Freire yang dikutip dalam Firdaus M. Yunus (2007)
menyatakan bahwa pendidikan dipandang sebagai salah satu upaya untuk
mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari
berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai ketertinggalan. Oleh
karenanya sebagai pusat pendidikan, manusia harus menjadikan
pendidikan sebagai alat pembebasan guna mengantarkan dirinya menjadi
makhluk yang bermartabat. Pernyataan ini menunjukkan pentingnya
fungsi pendidikan dalam membentuk manusia yang ideal.
Pendidikan dalam konsep Ki Hadjar Dewantara berarti daya upaya
untuk memajukan tumbuhnya budipekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intellect) dan tubuh anak. Dalam pengertian Tamansiswa,
ketiganya tidak bisa dipisah-pisahkan, agar dapat memajukan
“kesempurnaan hidup”, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang kita didik selaras dengan dunianya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, maka dalam
melaksanakan pendidikan harus memperhatikan beberapa hal, seperti: (1)
segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya; (2)
kodrat itu tersimpan dalam adat istiadat setiap rakyat; (3) adat istiadat
tersebut tidak bersifat tetap, karena selalu ada pengaruh zaman dan
tempat; (4) garis hidup yang tepat dari suatu bangsa diketahui dengan
mempelajari masa lalu bangsa tersebut; (5) akibat hubungan yang modern,
maka percampuran antar bangsa semakin mudah terjadi, oleh karenanya
perlu sikap waspada dalam memilih mana yang baik dan mana yang
merugikan.
10 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Beberapa waktu belakangan ini, pengembangan pendidikan karakter


yang berisi nilai-nilai moral dan keagamaan semakin disadari sebagai
kebutuhan mendesak mengingat kecerdasan kognitif saja tidak menjamin
keberhasilan seseorang. Membangun keseimbangan antara aspek kognitif,
afektif dan psikomotor secara berkesinambungan merupakan nilai
pendidikan yang paling tinggi. Dalam pandangan Zamroni (2000)
pendidikan merupakan proses yang berkaitan dengan upaya untuk
mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupannya
yakni pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup. Pendidikan
merupakan pembudayaan atau “enculturation” yaitu suatu proses untuk
mentasbihkan seseorang agar mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.
Bahwa pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam budaya
tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa
menghambat dan mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai
budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara juga telah mengingatkan, bahwa dalam menyikapi
budaya ini, sikap waspada diperlukan dalam memilih mana yang baik
untuk menambah kemuliaan hidup dan mana yang akan merugikan.
Pendidikan karakter yang selama ini diwacanakan di negara kita
lebih banyak berorientasi ke Barat, lebih banyak mempergunakan
referensi-referensi dari Barat. Kenyataannya, konsep nilai yang terkandung
dalam pendidikan karakter tersebut, antara Barat dengan Timur jelas
berbeda. Berbicara tentang “nilai” yang diartikan sebagai “konsep tentang
yang baik dan yang diinginkan” sebenarnya dapat diterima di Barat
maupun di Timur (Harun Nasution, 1998). Yang membedakan adalah apa
yang dipakai untuk menentukan yang baik dan yang diinginkan itu. Orang
di Barat lebih memakai akal dan logika sedang orang Timur lebih memakai
nilai-nilai agama dan kebudayaan sebagai basis nilai pengembangan
karakter, sehingga terjadi perbedaan tentang nilai-nilai tersebut. Apa yang
dianggap orang Barat baik, belum tentu dapat diterima baik pula oleh
orang-orang Timur, begitupun sebaliknya. Dimasukkannya nilai-nilai Barat
ke dalam budaya Timur dapat menimbulkan kekacauan nilai dalam
masyarakat itu sendiri.
Pendahuluan 11

Sebagai salah satu contoh, sesuai dengan pendapat yang ada di Barat,
agama adalah hasil pemikiran manusia, nilai-nilai agama disejajarkan
dengan nilai-nilai ekonomi, politik, pengetahuan, susila, dan sebagainya.
Akibatnya nilai-nilai itu berkembang dalam kelompoknya masing-masing,
terlepas dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan pengertian di Timur,
nilai ekonomi, nilai politik, nilai sosial, nilai pengetahuan, nilai susila, dan
sebagainya tidak bisa dilepaskan dari agama dan budaya. Bahkan agama
dan budayalah yang menjadi dasar dari nilai-nilai dalam berbagai
kelompok itu.
Hubungannya dengan agama sebagai basis nilai, dalam Islam Al-
Quran mengandung ajaran-ajaran bukan hanya mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama
manusia, manusia dengan hewan dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
Mengenai hubungan manusia dengan manusia, Al-Quran mengandung
ajaran-ajaran dasar tentang hidup kemasyarakatan manusia dalam aspek
sosial, hukum, ekonomi, politik, moral, dan sebagainya (Harun Nasution,
1998). Di atas ajaran-ajaran dasar itulah nilai-nilai dalam berbagai
kelompok berkembang. Yang berkembang dalam filsafat ini kemudian
bukanlah nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, pengetahuan, susila dan
sebagainya yang sekular, tetapi nilai-nilai sosial, politik, ekonomi,
pengetahuan, susila dan sebagainya yang agamis. Nilai-nilai sekular
seperti di Barat jelas tidak sesuai dengan jiwa kemasyarakatan Timur yang
agamis.
Selanjutnya mengenai konsep pendidikan, pengertian pendidikan
bagi kita di Timur, bertujuan bukan hanya mengisi yang dididik dengan
ilmu pengetahuan dan mengembangkan ketrampilannya saja, tetapi juga
mengembangkan aspek moral dan agamanya. Dari sini terlihat bahwa akar
pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sebuah wacana baru bagi dunia
pendidikan di Indonesia, namun telah ada dalam pendidikan kita sejak
dulu. Konsep ini sejalan dengan konsep manusia yang tersusun dari tubuh,
akal, dan hati nurani seperti diyakini oleh orang-orang Timur.
Konsep pendidikan seperti itu tentu saja menghendaki bukan hanya
pengintegrasian nilai-nilai kebudayaan nasional, tetapi juga pe-
12 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

ngintegrasian ajaran-ajaran agama ke dalam pendidikan. Dengan demikian


yang dimaksud dengan nilai-nilai kebudayaan nasional adalah nilai-nilai
kebudayaan nasional yang bernafaskan agama. Jika ini yang dimaksud,
bukan nilai nasional yang bersifat sekular seperti di Barat tentu saja, maka
pengintegrasian agama ke dalam pendidikan nasional akan sejalan dan
sesuai dengan sifat bangsa kita yang agamis. Seperti disampaikan oleh
Harun Nasution (1998), keresahan yang timbul selama ini karena konsep-
konsep Barat yang didasarkan atas filsafat yang sekular dibawa melalui
pendidikan modern ke dalam masyarakat agamis di Indonesia. Hal ini lah
yang kemudian dapat memunculkan masalah dalam kehidupan sosial
masyarakat kita.
Buku ini mencoba untuk mengkaji lebih lanjut tentang pendidikan
karakter berbasis agama dan budaya dengan mengkaji serta memadukan
konsep pendidikan karakter berdasarkan konsep pendidikan K.H. Ahmad
Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara. Mengkaji konsep pendidikan K.H.
Ahmad Dahlan yang berbasis nilai-nilai agama Islam dan Ki Hadjar
Dewantara yang berbasis nilai-nilai kultural nasional dengan harapan
dapat menemukan konsep pendidikan karakter yang paling sesuai untuk
diterapkan di negara kita ini, sehingga kita akan memiliki konsep
pendidikan karakter sendiri, yang khas dan sesuai dengan karakteristik
masyarakat Indonesia, yaitu yang berbasis pada nilai-nilai keagamaan dan
kebudayaan nasional Indonesia.

-oo0oo-
BAB 2

KAJIAN HISTORIS PENDIDIKAN NASIONAL

2.1  Pengertian Pendidikan dan Tujuan Pendidikan 
Nasional 

P
endidikan menurut UU No.20 Tahun 2003 adalah sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
negara.
Berdasarkan UU tersebut jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan
nasional tidak untuk mencerdaskan anak secara intelektual, tetapi juga
mengembangkan kepribadian mereka secara utuh. Tantangan kehidupan
global sekarang ini, justru membutuhkan anak-anak, generasi muda dan
manusia yang memiliki kepribadian, kemandirian, kreativitas, dan
semangat (motivasi) untuk melakukan adaptasi dan perubahan kehidupan,
bukan sekedar generasi muda yang menguasai pengetahuan teknis, tetapi
lemah kepribadiannya. Hal penting bagi praktik pendidikan dalam
menghadapi tantangan kehidupan modern dan global tersebut adalah
dibutuhkannya landasan pradigma pendidikan yang bersifat
transformasional, pendidikan yang membangun perubahan pada diri anak,
14 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

seluruh aspek kehidupan dirinya, perasaan, emosi, pikiran, nilai-nilai, dan


kepribadiannya yang mendorong untuk perbaikan kehidupan.
Banyak ahli pemikir pendidikan seperti Pestalozzi, Montessori,
bahkan sampai tingkat nasional Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Ahmad
Dahlan yang telah membangun teori pendidikan yang progresif
transformasional, di mana anak dipandang sejak lahir sudah memiliki
potensi, talenta yang diletakkan sebagai kodrat alam atau oleh Tuhan bagi
umat beragama.
Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara tidak hanya
penguasaan pengetahuan ketrampilan teknikal, tetapi lebih kepada anak
itu sendiri yang dapat berkembang mencapai sempurnanya hidup manusia
sehingga bisa memenuhi segala bentuk keperluan hidup lahir dan batin.
Buah pendidikan adalah matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan
hidup dan penghidupan yang tertib dan suci dan bermanfaat bagi orang
lain.
Pendidikan merupakan sebuah usaha kebudayaan, oleh karenanya
dasar-dasar pendidikan harus berorientasi pada budaya. Pada kongres
pertama Tamansiswa tahun 1930, Ki Hadjar Dewantara telah mengajukan
konsep pendidikan sebagai berikut, bahwa pendidikan harus beralaskan
garis hidup bangsanya (kulturil nasional), yang ditujukan untuk keperluan
perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar
dapat bersama-sama dengan bangsa yang lain dan segenap manusia di
seluruh dunia. Selain itu, pendidikan juga diartikan sebagai “daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh
dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak
kita….” Sejalan dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara (1955), Pestalozzi
dalam Heafford (1961), berpendapat bahwa ketiga aspek tersebut penting
untuk diperhatikan dan tak terpisahkan.
Pestalozzi, ahli pendidikan Eropa (Swiss) abad 18 telah melontarkan
pemikiran pendidikan progressif yang menekankan pada the whole
personality which had to be educated. Dia mengatakan bahwa alam
Kajian Historis Pendidikan Nasional 15

membentuk anak sebagai suatu keseluruhan yang tak terpisahkan, sebagai


suatu kesatuan organ vital dengan banyak aspek kapasitas: moral, mental,
dan fisik. Alam menghendaki tidak ada aspek-aspek kapasitas ini yang
tidak dikembangkan. Di mana alam telah mempengaruhi anak, dan juga
membimbing anak, alam mengembangkan hati anak, pikiran, dan
badannya (fisiknya) dalam kesatuan yang harmoni. Perkembangan satu
aspek kapasitas tidak hanya tidak terpisahkan dengan perkembangan
aspek lain, tetapi setiap aspek kapasitas ini dikembangkan melalui dan
dengan bantuan yang lain. Pestalozzi juga sangat mementingkan
perkembangan ketiga aspek tersebut dalam proses pendidikannya.
Pandangan dasar Pestalozzi tentang pendidikan adalah, bahwa
pendidikan pada hakikatnya adalah usaha pertolongan (bantuan) pada
anak agar mampu menolong dirinya sendiri (Heafford, 1961). Pestalozzi
mempunyai anggapan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan
daya-daya jiwa yang dimiliki anak sehingga menjadi orang yang berguna
bagi masyarakat dan negaranya. Pendidikan bukanlah upaya menimbun
pengetahuan pada anak didik. Pendidikan dalam konsep ini menolak
pengajaran yang berbentuk verbalistis. Oleh karenanya, usaha pendidikan
harus disesuaikan dengan perkembangan anak menurut keadaan
sesungguhnya (kodratnya).
Pestalozzi juga berpendapat bahwa pendidikan harus me-
ngembangkan aspek sosial sehingga anak dapat melakukan adaptasi
dengan lingkungan sosialnya. Pendidikan sosial ini berkembang jika
pendidikan dimulai dengan pendidikan keluarga yang baik agar mampu
menjadi anggota masyarakat yang berguna. Peran utama pendidikan
keluarga yang sangat ditekankan adalah ibu yang dapat memberikan
sendi-sendi dalam pendidikan jasmani, budi pekerti dan agama.
Pandangan dasar di atas sesuai dengan filosofi yang mengarah
kepada filsafat naturalisme romantic, yaitu pengetahuan anak diperoleh
secara bertahap melalui interaksi dengan lingkungannya yang diarahkan
oleh minat dan perkembangannya sendiri. Sesuai dengan pandangan Jean
Jacques Rousseau (1712-1778) bahwa anak dilahirkan membawa bakat
yang baik, maka pendidikan adalah pengembangan bakat anak secara
16 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

maksimal melalui pembiasaan, latihan, permainan, partisipasi dalam


kehidupan, serta penyediaan kesempatan belajar selaras dengan tahap-
tahap perkembangan anak.
Pendidikan dilihat dari sudut pandang problematikanya, menurut
Driyarkara dalam Sudiarja (2006), pendidikan adalah problem eksistensia
yang mendasarkan diri pada “antropologia transcendental” dengan metode
yang disebut “existensilistiko-fenomenologika”, bahwa fenomena pendidikan
meliputi: (1) mendidik sambil hidup bersama; (2) pendidikan yang
mengatasi perbuatan; (3) pemaparan persoalan; (4) pendidikan dan
eksistensi manusia. Proses mendidik terjadi dalam perbuatan-perbuatan
yang tidak dengan sendirinya berupa perbuatan pendidikan, sehingga ada
distansi atau jarak antara pendidikan dan perbuatan di mana pendidikan
itu menjelma.
Pandangan tentang pendidikan yang secara aplikatif dilaksanakan
dalam rangka menjawab problematika yang ada di masyarakat, seperti
yang telah dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan ketika menghadapi
pendidikan kolonial yang dualistis. K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah
tipe man of action, sehingga lebih banyak mewariskan amal usaha
dibanding tulisan. Untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis
pendidikan beliau, harus lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau
membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau
pada kongres Muhammadiyah ke-12 tahun 1923, sesaat sebelum beliau
meninggal, yang berjudul Tali Pengikat Hidup, menarik untuk dicermati
karena menunjukkan secara eksplisit konsep beliau terhadap pencerahan
akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang
menggambarkan tingginya minat beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1)
pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang
dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan
akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan didasari hati
yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq
atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya
akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Kajian Historis Pendidikan Nasional 17

Cita-cita pendidikan yang digagas K.H. Ahmad Dahlan adalah


lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-
intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki
keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad
Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus melalui pendidikan
integralistik; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan
pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Konsep yang kedua, yang
sampai saat ini masih tetap diterapkan di negara kita.
Kegiatan pendidikan yang terlepas dari akar budaya, pandangan
hidup, dan kesejarahan masyarakatnya akan menimbulkan keterasingan
yang mematikan semangat, gairah, atau motivasi untuk membangun
kemajuan budaya dan masyarakatnya. Apalagi jika ditambah pula dengan
pendidikan model banking system, yang menghancurkan kemerdekaan dan
kreativitas anak (Paulo Freire, 1972), di mana anak sebagai tujuan
pendidikan (subyek) justru diubah menjadi obyek yang menerima secara
pasif pengetahuan yang diberikan.
Dalam praktik pendidikan, John Dewey menekankan kosep sosial
pendidikan yang melihat, berpikir, dan melakukan sebagai satu kesatuan
yang mengalir dari pengalaman yang berkesinambungan. Antara berpikir
(thinking), dan melakukan (doing) tidak dapat dipisahkan. Berpikir tidak
lengkap apabila tidak diuji dengan pengalaman. Berpikir dalam kehidupan
sehari-hari tidak hanya terjadi dalam otak, tetapi dengan melakukan
sesuatu atas obyek tertentu, maka manusia berpikir. Antara teori dengan
praktik, bagi John Dewey tidak dapat dipisahkan, sama seperti antara
berpikir dan melakukan tidak dapat dipisahkan. Rupanya terdapat
kesamaan antara konsep John Dewey dengan K.H. Ahmad Dahlan, bahwa
keduanya menekankan pada pengamalan. Menurut K.H. Ahmad Dahlan,
agama tidak cukup sekedar dipahami secara tekstual, melainkan harus
dilakukan atau diamalkan dalam kehidupan sehari-hari untuk perbaikan
kehidupan.
18 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan mengandung yang sangat kompleks, tidak hanya sekedar


mencerdaskan anak secara intelektualitas, tapi lebih kepada membangun
secara utuh kepribadian dan karakternya. Banyak ahli yang rupanya
sependapat bahwa pendidikan harus memperhatikan ketiga aspek penting,
yakni moral, mental, dan fisik. Dari ketiga aspek tersebut yang paling
berperan penting dalam membentuk kepribadian seseorang adalah dari
aspek moralnya.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Berdasarkan pengertian
pendidikan sesuai rumusan UU No. 20 Tahun 2003, maka tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berdasarkan pengertian dan tujuan pendidikan nasional tersebut,
maka fungsi pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Tokoh pendidikan nasional Indonesia, Ki Hadjar Dewantara telah
lama menggagas tentang pendidikan nasional, yang mestinya sesuai
dengan budaya bangsanya dan bertujuan untuk mencerdaskan
masyarakatnya. Seperti diungkapkan dalam pidato sambutannya pada 7
Nopember 1956 saat pemberian gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gadjah Mada sebagai berikut:
Kajian Historis Pendidikan Nasional 19

Pendidikan nasional ialah pendidikan jang berdasarkan garis-hidup bangsanja


(kultur-nasional) dan ditudjukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk),
jang dapat mengangkat deradjat negeri dan rakjatnja, sehingga bersamaan
kedudukan dan pantas bekerdjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan
segenap manusia di seluruh dunia.
Dari kutipan pidato di atas, menurut Ki Hadjar Dewantara
pendidikan nasional seharusnya berdasarkan kultur/budaya nasional dan
bertujuan untuk mengangkat derajat negara dan bangsanya agar dapat
memiliki kedudukan dan kemuliaan yang setara dengan bangsa-bangsa
lain di dunia.
Saat ini kehidupan nasional telah memasuki era global, dari
kehidupan global ini akan melahirkan kebudayaan global. Dewasa ini
kebudayaan global telah mulai melanda kehidupan global yang tanpa
batas. Menurut Tilaar (2000), di satu pihak budaya global dapat membuka
horizon pemikiran masyarakat, tapi tidak menutup kemungkinan
masuknya unsur-unsur kebudayaan global yang negatif akan dapat
meracuni kehidupan generasi muda. Oleh sebab itu semakin penting
adanya suatu kesadaran akan identitas suatu bangsa. Identitas suatu
bangsa merupakan tumpuan yang kuat sebagai benteng pertahanan yang
melindungi pengaruh-pengaruh negatif kebudayaan global. Tugas
pendidikan nasional adalah mengembangkan identitas peserta didik agar
dia bangga menjadi bangsa Indonesia yang dengan penuh percaya diri
memasuki kehidupan global sebagai seorang Indonesia yang berbudaya.
Pendidikan memang bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang
pintar dan terdidik saja, tetapi yang lebih penting ialah manusia yang
terdidik dan berbudaya (educated and civilized human being).
Pendidikan harus pula sesuai dengan kebutuhan massanya. Orientasi
pendidikan abad 21 salah satunya menekankan relevansi antara apa yang
dipelajari oleh peserta didik dengan kebutuhan masyarakatnya. Kebutuhan
ini bisa bersifat kebutuhan ekonomi, sosial, maupun kebutuhan yang lain.
Masyarakat di era global saat ini membutuhkan pendidikan yang mampu
membekali peserta didik dengan ketahanan moral spiritual dalam
menjawab tantangan zaman. Oleh karenanya dibutuhkan satu konsep
pendidikan yang tidak hanya memberikan pengetahuan intelektualitas
20 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

semata, tapi juga mengedepankan pendidikan nilai-nilai yang berbasis


pada agama dan budayanya.
RENSTRA Kementrian Pendidikan Nasional dalam pengembangan
sistem pendidikan nasional saat ini lebih menekankan pada masalah
institusional yaitu manajemen dan kepemimpinan, bukan pada masalah
pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Kepentingan dan kebutuhan
anak Indonesia. Tujuan pendidikan menjadi bagaimana organisasi
pendidikan nasional dapat dilaksanakan secara efisien sehingga
memberikan profit yang sebesar-besarnya. Menghilangnya anak Indonesia
di dalam proses pendidikan telah menjadikan anak Indonesia sebagai
obyek semata-mata, bukan lagi di dalam proses humanisasi atau
pemanusiaannya, tetapi anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan
tujuan ekonomis, yaitu pertumbuhan, ketrampilan, dan skill yang dituntut
dalam pertumbuhan ekonomi, inilah yang berbahaya. Kondisi tersebut
sangat bertolak belakang dengan cita-cita pendidikan Ki Hadjar Dewantara
tentang pendidikan nasional Indonesia. Menurut Ki Hadjar Dewantara
pendidikan nasional adalah pendidikan yang mencerdaskan tidak saja
secara lahiriah, tapi juga rokhaniahnya, untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya. Oleh karenanya, siswa diposisikan sebagai subyek
didik, bukan hanya sebagai obyek.
Apabila dicermati dari perjalanan sejarahnya, setidaknya ada tiga
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki
Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950, Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama
UUSPN, dan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan
Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS.
Undang-Undang no 4 tahun 1950 pernah menjadi perdebatan karena
dianggap belum mencerminkan harapan rakyat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Undang-Undang ini akhirnya menuai protes dari berbagai
kalangan umat Islam dan akhirnya dilakukan perubahan. Inti perubahan
ini karena undang-undang pendidikan agama dikesampingkan. Tidak
Kajian Historis Pendidikan Nasional 21

dipungkiri pula bahwa undang-undang tahun 1950 masih diwarnai


dengan undang-undang kolonialisme warisan Belanda.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 yang
kurang memihak kepada pendidikan Islam, maka isu pendidikan agama
ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini
memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989
sebagai Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang
disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam undang-undang yang muncul
39 tahun kemudian dari undang-undang pertama ini, pendidikan
keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup
signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan
diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah (UU No. 2 Tahun 1989
Pasal 11 ayat 1 dan 6, dan Pasal 15 ayat), Pendidikan agama menjadi mata
pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan (UU No. 2
Tahun 1989 Pasal 39). Lebih dari itu, undang-undang ini menjadikan
keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan nasional (UU No. 2
Tahun 1989 Pasal 4). Keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang
sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.
Terlihat ada kecenderungan yang kuat dalam menganut aliran
neopositivisme di dalam pendidikan nasional. Aliran neopositivisme ini
menurut Tilaar (2006) artinya hanya yang berguna, yang nyata, yang dapat
memberi faedah yang tampak yang dapat dijadikan sebagai program
pendidikan. Idealism menjadi tidak ada, pendidikan lebih dipengaruhi
oleh paradigma ekonomi. Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan
yang meminta biaya yang mahal. Dengan sendirinya pandangan ini akan
menutup pintu bagi kelompok yang tidak mempunyai kemampuan untuk
membiayai pendidikan yang berkualitas.
Banyaknya sekolah-sekolah plus yang bermunculan, jika diamati,
sejak tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas, bahkan
perguruan tinggi hanya dapat menerima anak-anak dari golongan
keluarga kaya saja. Dengan terselubung kurikulum internasional serta
mempekerjakan guru-guru ekspatriat serta menjanjikan kesinambungannya
22 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

dengan pendidikan tinggi di luar negeri, sekolah tersebut hanya bisa


dimasuki oleh anak-anak dari kalangan atas saja.
Pendidikan sebaiknya disesuaikan dengan konteks di mana
pendidikan tersebut dilaksanakan. Revolusi pendidikan itu perlu, namun
harus berdasar pada habitus seseorang yaitu masyarakat setempat.
Revolusi pendidikan yang hanya sebagai suatu revolusi seperti yang saat
ini terjadi dengan meninggalkan nilai-nilai positif pada masa lalu, akan
menyebabkan chaos di dalam kehidupan. Seorang sosiolog dari Prancis
Piere Bourdieu (1996) menyebutkan pentingnya modal budaya dalam
kehidupan masyarakat. Terbentuknya modal budaya tersebut antara lain
adalah hasil pendidikan. Proses pendidikan bukan hanya sekedar transmisi
budaya tetapi juga dekonstruksi dan rekonstruksi budaya. Peranan
pendidikan yang mentransformasikan nilai-nilai budaya telah ditunjukkan
dalam studinya tentang suku Kabila di Afrika yang tampak pula dalam
kehidupan modern di kota-kota besar Eropa.
Proses pendidikan dalam membentuk karakter bangsa tidak akan
lepas dari budaya lokal yang berupa nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
di mana dia tinggal. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki rasa
kebangsaan dan nasionalisme yang tinggi, mestinya pemerintah dalam
menyusun rencana pendidikan dan pengajaran (kurikulum) lebih
mengutamakan pada materi yang mampu membentuk karakter anak
Indonesia menjadi anak yang cinta tanah air dan bangsanya. Sehingga
anak-anak mampu menghargai nilai-nilai moral dan budaya bangsanya
sendiri, bukan mendewakan atau bangga dengan budaya bangsa lain,
sehingga ia menirunya dan melupakan adat budaya bangsanya sendiri.
Visi pendidikan di Indonesia sebenarnya telah digagas oleh para
tokoh pendidikan Indonesia dan dirumuskan secara tegas dalam tujuan
pendidikan nasional dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang
termuat dalam pembukaan UUD 1945 sebagai prinsip kehidupan
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan di
sekolah-sekolah yang cenderung menekankan pada pendidikan intelektual,
sangat tidak mendukung pencapaian tujuan nasional dan menyimpang
dari hakekat pendidikan. Untuk mengantispasi hal itu, perlu ada upaya
Kajian Historis Pendidikan Nasional 23

pembenahan pendidikan secara menyeluruh, terutama untuk menghadapi


dunia global yang terus bergulir tanpa mengenal batas-batas kemanusiaan,
pengaruh kapitalisme dan materialisme yang merasuk dalam dunia
pendidikan saat ini. Menjadi suatu hal yang penting untuk mengkaji
kembali konsep-konsep atau pemikiran pendidikan para tokoh pendidikan
kita di masa lalu untuk menjawab tantangan masa ini dan masa yang akan
datang.

2.2  Pengertian dan Manfaat Kajian Historis Pendidikan 
Manusia tidak akan pernah terlepas atau bisa dikatakan juga menyatu
dengan sejarah hidupnya. Manusia menyejarah diartikan bahwa manusia
memiliki kemampuan merefleksi kejadian-kejadian masa lalu secara
subyektif, untuk berbuat di masa sekarang dalam rangka menuju masa
depan yang lebih baik. Manusia sebagai subyek menjadikan masa lalu,
masa sekarang, dan masa yang akan datang sebagai rangkaian karya yang
mengisi kehidupan yang berlangsung terus-menerus. Hal ini dikemukakan
pula oleh Freire (1977:73-74),
The difference between animals-who (because their activity does not constitute
limit-acts) cannot create products detached from themselves – and men – who
through their action upon the world create the realm of culture and history – is that
only the latter are beings of the praxis. Only men are praxis – the praxis which, as
the reflection and action which truly transform reality, is the source of knowledge
and creation. Animal activity, which occurs without a praxis, is not creative; man’s
transforming activity is.
…through their continuing praxis, men simultaneously create history and become
historical – social beings. Because – in contrast to animals – men can try
dimensionalize time into the past, the present, and the future, their history, in
function of their own creations, develops as a constant process of transformation
within which epochal units materialize. These epochal units are not closed periods of
time, static compartment within wich men are confined. Were this the case, a
fundamental condition of history – its continuity – would disappear. On the
contrary, epochal units interrelate in the dynamics of historical continuity.

Bahwa manusia berbeda dengan binatang. Melalui praksis (refleksi


dan aksi) yang terus menerus, manusia terus menerus membangun sejarah
24 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

dan manusia menjadi menyejarah. Manusia membangun sejarah dan


menjadi manusia yang sosial, melalui tindakan dan perkataan. Karena
berbeda dengan binatang, manusia dapat mencoba
membagi/membedakan waktu ke dalam masa lalu, masa sekarang, dan
masa yang akan datang, dalam fungsi bahwa sejarah adalah ciptaan
mereka sendiri. Dalam waktu tertentu manusia menghadapi material
(alam, benda-benda) secara terus menerus, bukan waktu di mana manusia
dibatasi. Masa lalu dan masa sekarang tidak terpisah, kondisi sejarah yang
fundamental itu bersifat kontinyu, berhubungan dalam suatu
kesinambungan sejarah yang dinamis.
Posisi manusia sebagai makhluk yang mengubah dan kreatif, dalam
hubungannya yang permanen dengan realita menghasilkan produk yang
tidak hanya berupa materi benda-benda yang terlihat nyata, tetapi juga
lembaga sosial, ide-ide, dan konsep. Melalui praxis yang
berkesinambungan, manusia secara simultan menciptakan sejarah dan
menjadikan dirinya diri yang sosial dan menyejarah. Kondisi tersebut
berbeda dengan binatang, manusia mampu berada dalam tiga dimensi
waktu, yaitu di masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang, sejarah
mereka dalam fungsi untuk kreasi mereka sendiri, berkembang sebagai
transformasi yang terus menerus dalam wujud unit-unit masa. Unit-unit
masa ini bukan peride waktu yang terpisah, bukan ruang statis di mana
diri manusia dibatasi. Hal itu sebagai sebuah kondisi yang fundamental
dari sejarah, kesinambungannya akan tidak Nampak. Sebaliknya, unit-unit
masa itu saling berhubungan secara dinamis sebagai kontinuitas sejarah.
Pandangan Freire (1977) tersebut, terkait dengan sifat manusia yang
menyejarah dan membudaya, bahwa manusia mampu menyejarah dan
membudaya, karena mampu berinteraksi, berdialog, dan mampu berbuat
yang melebihi realitasnya. Realitas pengalaman di masa lalu direfleksikan
untuk digunakan masa sekarang, dan mencipta kondisi masa depan. Tiga
dimensi waktu tersebut digunakan dan berdialog dengan pengalaman-
pengalaman yang telah dilalui, selanjutnya untuk berinteraksi dengan
dunianya dalam rangka mencipta masa depannya.
Kajian Historis Pendidikan Nasional 25

Tiga dimensi waktu yang dimaksud oleh Freire (1977:73), saling


berhubungan dalam refleksinya dan hal itu yang menandakan manusia
secara subyektif menyejarah. Hasil refleksi digunakan untuk berbuat dan
beraktivitas dalam mencipta berbagai barang, ide-ide, dan pikiran-pikiran
untuk mengisi masa ke masa sebagai tema-tema pada alam semesta.
Berbuat dan beraktivitas sebagai aktivitas mencipta dari masa ke masa
tersebut menunjukkan manusia membudaya dalam rangkaian sejarahnya.
Ide atau pikiran Freire tersebut, jika dikaitkan dengan sejarah
pendidikan, bahwa manusia untuk melangsungkan kehidupan membawa
peserta didik ke masa depan. Peserta didik diarahkan ke masa depan
sebagai tujuan hidupnya, dan orang dewasa mengarahkan atas dasar
praktek di masa lalu yang telah dibangun sebagai teori. Teori yang
digunakan, tujuan atau arah peserta didik merupakan hasil dialog dan
refleksi pengalaman masa lalu, yang masih dapat digunakan pada masa
sekarang dan untuk membangun masa depan.
Peserta didik perlu diajak berdialog dengan budaya yang menjadi
kehidupannya, yang telah berlangsung di masa lalu, berhubungan dengan
saat sekarang, dan dirancang untuk masa depannya. Dengan demikian,
mengkaji sejarah pendidikan digunakan untuk membangun teori
pendidikan saat ini atas dasar pengalaman pendidikan di masa lalu. Hasil
konstruksi teori tersebut, untuk merancang tujuan di masa yang akan
datang.
Kajian historis pendidikan yang dimaksud disini adalah kajian
tentang sejarah pendidikan. Sejarah atau history menurut definisi yang
paling umum berarti “masa lampau umat manusia” (Gottschalk, 1986:27).
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa dalam bahasa Inggris history berasal dari
kata benda Junani istoria, yang berarti ilmu. Menurut Mohammad Ali
(1961:18-19), arti sejarah adalah sebagai: (1) sejumlah perubahan, kejadian,
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita; (2) ceritera-ceritera
tentang perubahan-perubahan tersebut; (3) ilmu yang menyelidiki
perubahan-perubahan tersebut, dan ketiganya terjadi pada masa lampau.
26 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Kajian historis (sejarah), karena yang diteliti adalah hal-hal yang


sudah lampau, maka tidak dapat berhadapan langsung dengan semua
kejadian sebagaimana adanya. Seolah-olah hanya dengan kesan-kesan atau
bekas-bekasnya, seperti: surat-surat, piagam-piagam, prazasti, catatan-
catatan, serta laporan-laporan. Masa lampau manusia sebagian besar tidak
dapat ditampilkan kembali, karena pasti ada peristiwa, kata-kata, pikiran,
orang, tempat-tempat, dan bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama
sekali tidak menimbulkan kesan, atau yang kini telah dilupakan. Apalagi
pengalaman suatu generasi yang telah lama mati yang sebagian besar di
antara anggotanya tidak meninggalkan rekaman-rekaman atau kalaupun
ada tidak mungkin diingat kembali secara lengkap.
Penelitian ini khususnya mengkaji tentang sejarah pendidikan.
Historis pendidikan menurut adalah uraian yang sistematis dari segala
sesuatu yang telah dipikirkan dan dikerjakan dalam lapangan pendidikan
pada waktu yang telah lampau. Sejarah pendidikan menguraikan
perkembangan pendidikan dari dahulu hingga sekarang. Lebih lanjut
dikatakan bahwa sejarah pendidikan termasuk ke dalam ilmu mendidik
(pedagogic).
Kedudukan sejarah pendidikan dalam keseluruhan lapangan ilmu
pendidikan masuk ke dalam wilayah kajian teoritis. Menurut Djumhur
(1976:1) ilmu mendidik terdiri dari dua bagian, yakni: bagian teoritis dan
bagian praktis. Bagian yang teoritis terbagi lagi menjadi: sistematis dan
historis (sejarah pendidikan); sedangkan pada bagian praktis terdapat
didaktik dan administrasi sekolah
Kajian historis pendidikan adalah cabang lain dari ilmu pendidikan,
yang menuturkan pendidikan sebagaimana keadaannya pada masa-masa
silam (Imam Barnadib, 1982:13). Tugas historis pendidikan selain
mengutarakan masa lampau pendidikan masa lampau itu dalam lukisan
(deskriptif), dapat juga menuturkan secara teoritik sistem-sistem
pendidikan dari zaman ke zaman dengan menghubungkannya dengan
kebudayaan dan filsafat yang mendasari kehidupan manusia pada zaman-
zaman tertentu.
Kajian Historis Pendidikan Nasional 27

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa antara ilmu pendidikan


historis dan sistematis ada hubungan erat timbal balik. Hal ini ditambah
adanya kemungkinan, bahwa ilmu pendidikan sistematis akan dapat

didorong untuk memikirkan masalah pendidikan baru bila ilmu ini


mempunyai sifat terbuka dalam menerima bahan-bahan dari ilmu
pendidikan historis (Imam Barnadib, 1975: 13). Ilmu pendidikan sistematis
mempunyai kedudukan primer terhadap ilmu pendidikan historis.
Sebagaimana diutarakan oleh dalam Imam Barnadib (1982:13), bahwa
penuturan yang sistematis harus ada lebih dahulu untuk memungkinkan
adanya penyusunan ilmu pendidikan historis. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa untuk mempelajari ilmu pendidikan, perlu terlebih dahulu
memperdalam ilmu historis pendidikan.
Ada beberapa hal penting yang harus dilakukan saat mempelajari
historis pendidikan (sejarah pendidikan). Wilds mengatakan dalam Imam
Barnadib (1982: 14-16), bahwa mempelajari sejarah pendidikan berarti
melakukan enam hal. Pertama, studi mengenai perkembangan ide-ide
pendidikan ini dapat menuntun seseorang ke arah penilaian gagasan-
gagasan pendidikan yang telah bertahan hidup dari masa yang lampau.
Selain itu seseorang dapat dengan cepat menolak hal-hal yang tidak dapat
dipertahankan lagi. Oleh karena itu studi ini dapat mendorong seseorang
menjadi pendidik yang inteligen.
Kedua, studi mengenai bermacam-macam teori dan perubahan
konsep-konsep pendidikan. ini dapat memberikan pertolongan kepada
seseorang untuk inteligen dan maju dalam memilih tujuan dari
matapelajaran-matapelajaran yang diperlukan dalam pendidikan modern.
Kemampuan dapat dilandasi oleh kecekatan dalam melihat masalah-
masalah pendidikan masa lampau dengan kritis dan kreatif.
Ketiga, studi tentang bermacam aspek pendidikan yang telah dicita-
citakan (digambarkan) dan diusahakan oleh para tokoh. Dalam menelaah
aspek-aspek ini seseorang dapat termotivasi untuk menyelesaikan
pekerjaan mereka dan berusaha mewujudkan cita-cita ini dalam suasana
28 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

dan lingkungan yang lebih mudah atau sesuai dibandingkan dengan masa-
masa yang telah lampau.
Keempat, studi tentang evolusi teori pendidikan. Dengan
memperhatikan perubahan yang meningkat dari teori-teori pendidikan
yang ada, orang dapat terpengaruh untuk memiliki tingkah laku yang baik
seperti kerendahan hati dan kesabaran. Kelima, studi mengenai aspirasi-
aspirasi pendidikan melewati sejarahnya, karena aspirasi adalah pikiran
tajam yang menghendaki terwujudnya sesuatu yang lebih baik yang
pernah ada, orang dapat menempuh jalan untuk menambah pengetahuan
mengenai sivilisasi.
Keenam, studi mengenai sejarah alam fikir pendidikan. ini
merupakan pendekatan dan pemahaman yang dapat memberikan arah
studi mengenai prinsip-prinsip pembaharuan sosial, kultural dan politis.
Dari keenam hal tersebut berarti Wilds menaruh perhatian besar terhadap
aspek-aspek teoritik. Nampak pula bahwa penuturan historis itu dimulai
dengan menentukan terlebih dahulu aspek-aspek pendidikannya secara
sistematis. Berdasarkan konsep ini, Wilds menafsirkan dan membuat
kejadian-kejadian pendidikan yang lampau sebagai ceritera sejarah
pendidikan.
Mempelajari sejarah pendidikan mempunyai banyak nilai penting.
Imam Barnadib mengemukakan lima manfaat yang dapat diperoleh dari
mempelajari sejarah pendidikan. Di antaranya dikemukakan bahwa studi
mengenai teori-teori pendidikan di masa lampau berarti mengantarkan
seseorang ke arah pemilikan kemampuan berpikir edukatif yang kreatif.
Manfaat lain dalam mempelajari sejarah pendidikan dikemukakan
oleh Djumhur (1976:2) bahwa dengan mempelajari sejarah pendidikan: (1)
memperoleh pengertian tentang fungsi pendidikan dalam keseluruhan
kebudayaan; (2) mengajari kita membedakan mana yang bernilai tinggi
dan mana yang tidak, sehingga menghindarkan kita dari tindakan-
tindakan yang salah dalam melaksanakan usaha-usaha pendidikan; (3)
memberi pegangan, sehingga kita tidak selalu menganggap rendah hal-hal
yang sudah lama dan menganggap tinggi hal-hal yang baru (up to date); (4)
Kajian Historis Pendidikan Nasional 29

menyadarkan kita bahwa pendidikan dan tugas pendidik mempunyai arti


penting; dan (5) dapat memperoleh contoh-contoh pendidikan yang baik.
Mempelajari sejarah pendidikan dilakukan karena berbagai alasan.
Menurut Djumhur (1976:2-3) yaitu: pertama, sejarah pendidikan memberi
pelajaran kepada kita bahwa sejak dulu banyak dalil-dalil pendidikan
dikemukakan orang, yang kemudian dilupakan. Di samping itu dapat kita
sadari pula adanya kebenaran-kebenaran yang berlaku sepanjang masa
dan yang besar sekali nilainya bagi perkembangan kebudayaan.
Kedua, munculnya pendapat bahwa teori-teori pendidikan tidak
dapat kita rumuskan dalam suatu rumus yang nilainya mutlak atau
berlaku untuk setiap waktu dan setiap bangsa, karena berhubungan erat
dengan falsafah, kepercayaan, pandangan hidup, pandangan politik yang
selalu berubah. Ketiga, dalam sejarah pendidikan itu suatu garis yang
menuju ke arah perkembangan, ke arah perbaikan dalam sistem
pendidikan.
Dari uraian di atas jelas bahwa jika ingin memahami keadaan
sekarang dan berusaha untuk mencapai kemajuan di masa depan,
sebaiknya terlebih dahulu diketahui hal-hal di masa yang telah lampau.
Selanjutnya dilakukan refleksi untuk mencari alternatif terbaik.

2.3  Pendidikan Nasional dalam Membangun Karakter Anak 
Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara (2008:26) adalah upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intelektual) dan jasmani anak-anak. Pendidikan menurutnya adalah untuk
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dalam pengertian
tersebut, pendidikan tidak hanya untuk intelektualitas saja tetapi juga
untuk membimbing perkembangan karakternya (budi pekerti).
Tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan moral,
pengembangan ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, secara bersama-sama.
Dari ketiga aspek tersebut, baik Ki Hadjar Dewantara maupun Pestalozzi
lebih menganggap pengembangan moral adalah yang paling penting.
30 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pandangan progresif Pestalozzi meletakkan teori pendidikan yang


humanis, di mana sejak lahir anak dipandang memiliki kapasitas bawaan
alam yaitu intelektual, moral, dan fisik, yang ketiganya tidak dapat
dipisahkan dan membangun suatu kesatuan yang utuh. Tugas pendidikan
untuk mengembangkan kapasitas bawaan tersebut sebagai perwujudan
diri manusia yang utuh atau kepribadian manusia yang utuh dan
harmonis. Pengembangan moral terutama, berpengaruh besar dalam
membentuk karakter atau kepribadian seseorang.
Pendidikan karakter yang berpusat pada pengajaran mengutamakan
isi nilai-nilai tertentu yang harus dipelajari serta sekumpulan kualitas
keutamaan moral seperti kejujuran, keberanian, dan kemurahan hati agar
diketahui dan dipahami oleh siswa. Menurut Doni Koesoema (2004:2),
klasifikasi nilai lebih mengutamakan proses penalaran moral serta
pemilihan nilai yang mesti dimiliki oleh siswa. Sedangkan fokus pada
pertumbuhan karakter moral mengutamakan perilaku yang merefleksikan
penerimaan nilai serta menekankan unsur motivasi, serta aspek-aspek
kepribadian yang relatif stabil yang akan mengarahkan tindakan individu
Pestalozzi mencoba memperkenalkan suatu sistem pendidikan baru
yang lebih mengedepankan eksistensi siswa, yang tidak hanya
menganggap siswa sebagai subyek. Untuk menggantikan sistem
pendidikan lama yang dinilainya kurang relevan, “…a new system of
education which would take fully into account the child himself, what he was
capable of achieving mentally and phisically, and he was capable of experiencing
spiritually”. Pendidikan tersebut yang akan selalu diingat oleh anak dan
dibawanya sampai usia dewasa, “…education was become ‘child-centered’ and
adapt itself to the intellegence, feelings, and enthusiasms of the children”
(Heafford, 1961:41). Pestalozzi merekomendasikan sebuah sistem
pendidikan yang berpusat pada siswa, dan mengedepankan aspek mental,
fisik, dan spiritual secara bersama. Pestalozzi mengharap pengembangan
anak melalui pendidikan dilakukan secara utuh, dari sisi intelektual, fisik,
maupun moral. Di antara tiga aspek tersebut, yang paling dianggap paling
penting adalah pendidikan moral (kepribadian, karakter), karena ini yang
memberi arah.
Kajian Historis Pendidikan Nasional 31

Metode pendidikan moral seperti yang dimaksudkan oleh Pestalozzi


(1961:42), tidak diajarkan seperti halnya ilmu pengetahuan, tetapi melalui
metode melakukan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak
berbeda dengan konsep pendidikan karakter menurut Ki Hadjar
Dewantara, yang mengajarkan budi pekerti melalui praktik keseharian,
seperti ketika mengajarkan etika, sopan santun, tata krama, serta kehalusan
budi yang diasah melalui kegiatan seni tari dan musik. Konsep yang sama
juga diajarkan K.H. Ahmad Dahlan yang mencoba membiasakan santri-
santrinya dengan melaksanakan seluruh ajaran atau isi Al Quran, seperti
hidup sederhana, perduli dengan anak yatim dan fakir miskin. Bahwa
agama bukan hanya untuk dipelajari, tapi lebih penting adalah
mempraktikannya dalam hidup sehari-hari (Kyai Syuja, 2010).
Pendidikan karakter perlu direncanakan secara matang oleh
stakeholders, baik para pakar karakter (akhlak) seperti tokoh agama,
pemimpin non formal (tokoh masyarakat), kepala sekolah, guru-guru, serta
orangtua siswa. Pendidikan karakter ini harus memperhatikan nilai-nilai
secara holistik dan universal. Keberhasilan pendidikan karakter dengan
keluaran menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi personal
dan kompetensi sosial yang memiliki moral luhur dan dinamis sehingga
menghasilkan warga negara yang baik (good citizen).
Setiap orangtua selalu mendambakan anak-anak yang tidak hanya
cerdas tapi juga berperilaku baik dalam kehidupan sehari-harinya.
Harapannya kelak anak-anak tersebut bisa menjadi anak-anak yang unggul
dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Menurut Seto Mulyadi (2008:2), orangtua memegang peranan sangat
penting dalam hal ini. Generasi unggul seperti tersebut tidak muncul
dengan sendirinya, mereka membutuhkan lingkungan yang sengaja
diciptakan untuk itu, yang memungkinkan potensi anak dapat tumbuh
optimal sehingga menjadi lebih sehat, cerdas dan berperilaku baik.
Kondisi lingkungan yang kondusif perlu dan harus sengaja
diciptakan untuk mendukung berkembangnya potensi anak secara
optimal. Menurut Seto Mulyadi (2008) lingkungan tersebut adalah
lingkungan yang penuh kasih sayang, mau menerima anak apa adanya,
32 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

menghargai potensi anak, memberi stimulus yang kaya untuk segala aspek
perkembangan anak, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik,
semuanya merupakan jawaban nyata bagi tumbuhnya generasi unggul di
masa yang akan datang.
Kondisi lingkungan yang kondusif tidak hanya diciptakan dalam
lingkungan keluarga saja, tapi juga dalam pendidikan di sekolah. Seorang
guru berperan penting dalam membangun karakter siswa. Dalam hal ini
guru mempunyai peran penting. Seperti disebutkan dalam falsafah Jawa,
bahwa seorang guru itu harus bisa “digugu lan ditiru” atau bisa diikuti kata-
katanya dan bisa dijadikan suri tauladan bagi para siswanya. Seorang guru
yang baik harus lebih memahami pengertian mengenai pendidikan itu
sendiri sesuai dengan makna yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Setelah memahami secara mendalam mengenai pengertian dan
makna dari pendidikan itu sendiri, seorang guru dalam mendidik perlu
juga memahami psikologi anak yang dididiknya. Guru atau pendidik
dalam tugasnya harus mem-perhatikan pembentukan karakter anak, sebab
karakter tidak sekedar tumbuh dari potensi-potensi yang dimiliki anak.
Karakter harus dibentuk melalui interaksi yang penuh dengan muatan
perasaan dan kedekatan dengan anak sehingga nilai-nilai moral dapat
diresapi dan dihayati, dan selanjutnya menjadi bagian dari sikap dirinya
yang dilakukan dalam tindakan kehidupan.
Disebutkan oleh Seto Mulyadi (2008), bahwa secara psikologis ada
beberapa hal mendasar dari anak-anak ini yang perlu dipahami oleh guru,
yaitu: pertama, anak bukan orang dewasa mini, mereka memiliki
keterbatasan-keterbatasan bila dibandingkan dengan orang dewasa.
Mereka memiliki dunia sendiri yang khas dan harus dilihat dengan
kacamata anak-anak. Dalam menghadapi mereka dibutuhkan adanya
Kajian Historis Pendidikan Nasional 33

kesabaran, pengertian, serta toleransi yang mendalam. Dalam hal ini

konsep among dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara menurut


Fudyartanto dapat dipakai sebagai acuan dalam menciptakan hubungan
yang harmonis antara guru dengan muridnya
Harus dipahami pula bahwa dunia anak adalah dunia bermain.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, sekolah adalah arena bermain bagi anak,
oleh sebab itu beliau menamai sekolahnya sebagai “taman”, mulai dari
Taman Anak, Taman Muda, hingga Taman Dewasa (Ki Hadjar Dewantara,
1977:80-81) yang diartikan sebagai tempat bermain dan bersenang-senang
bagi anak. Hal senada diungkapkan Seto Mulyadi (2008), bahwa dunia
anak adalah dunia bermain, yang penuh spontanitas dan menyenangkan.
Segala sesuatu akan dilakukan mereka dengan semangat apabila terkait
dengan suasana yang menyenangkan. Seorang anak akan rajin belajar,
mendengarkan keterangan guru, atau melakukan pekerjaan rumahnya
apabila suasana belajar mereka adalah suasana belajar yang me-
nyenangkan dan menumbuhkan tantangan, karena anak juga sangat
menyenangi tantangan.
Anak mempunyai ciri fisik yang harus dipahami oleh guru maupun
orang tua, bahwa mereka adalah berkembang, selain tumbuh secara fisik,
anak juga berkembang secara psikologis. Menurut Seto Mulyadi (2008), ada
fase-fase perkembangan anak yang dilaluinya. Perilaku yang ditampilkan
anak akan sesuai dengan ciri-ciri pada masing-masing fase perkembangan
tersebut. Dengan memahami bahwa anak berkembang, guru akan tetap
tenang dalam bersikap dengan menghadapi berbagai gejala yang mungkin
muncul pada setiap tahap tertentu perkembangannya tersebut.
Selain berkembang, anak juga senang meniru, karena anak pada
dasarnya senang meniru, dan salah satu proses pembentukan tingkah laku
mereka diperoleh dengan cara meniru. Oleh karenanya, di sekolah guru
dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan yang nyata
akan hal-hal yang baik, seperti selalu tersenyum, menghargai orang lain
termasuk perilaku bersemangat dalam mempelajari hal-hal baru.
34 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Anak-anak pada dasarnya mereka adalah kreatif. Menurut Seto


Mulyadi (2008:21), mereka memiliki ciri-ciri yang oleh para ahli
digolongkan sebagai ciri-ciri individu yang kreatif, misalnya: rasa ingin
tahu yang besar, senang bertanya, imajinasi yang tinggi, minat yang luas,
tidak takut salah, berani menghadapi resiko, bebas dalam berpikir, senang
hal-hal yang baru, dan sebagainya. Namun sering dikatakan, bahwa begitu
anak masuk sekolah, kreativitas anakpun semakin menurun. Hal ini
disebabkan pengajaran yang diberikan terlalu menekankan pada cara
berfikir konvergen, sementara cara berfikir secara divergen kurang
dirangsang. Dalam hal ini maka guru perlu memahami kreativitas yang
ada pada diri anak-anak, dengan bersikap luwes dan kreatif pula. Guru
perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat jawaban kreatif
dan berbeda, tidak harus sama dengan yang ada di buku, hal ini akan
mendorong siswa untuk lebih kreatif lagi.
Guru dalam kegiatan pembelajaran perlu belajar memahami siswa
secara psikologis, bahwa anak itu berkembang sesuai usianya dan tidak
bisa dipaksakan untuk melakukan sesuatu hal tanpa dasar. Beberapa ahli
mengatakan bahwa generasi sekarang cenderung mulai banyak mengalami
kesulitan emosional, seperti misalnya: mudah merasa kesepian dan
pemurung, mudah cemas, mudah bertindak agresif, kurang menghargai
sopan santun, dan sebagainya Seto Mulyadi, 2008:24). Itu semua akan
merugikan perkembangan anak-anak itu sendiri, meskipun mungkin
mereka tampil sebagai anak-anak yang pintar. Menurut Gardner (1993),
kecerdasan atau angka IQ yang tinggi bukan satu-satunya jaminan bagi
kesuksesan seorang anak di masa depan, ada faktor lain yang saat ini
cukup populer, yaitu kecerdasan emosional.
Kecerdasan anak tidak terbatas pada kecerdasan intelektual atau IQ
saja, dalam istilah Gardner (1993), anak memiliki Multiple intelligences.
Lebih lanjut Gardner (1993: 12-20) menyebutkan bahwa kecerdasan
seseorang meliputi tujuh kecerdasan, yaitu: kecerdasan matematika-logika,
memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan
deduktif, kemampuan berpikir menurut aturan logika, memahami dan
menganalisis pola angka-angka serta memecahkan masalah dengan
Kajian Historis Pendidikan Nasional 35

menggunakan kemampuan berpikir. Anak-anak dengan kecerdasan ini


cenderung menyenangi kegiatan analisis dan mempelajari sebab akibat
terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, seperti
menyusun hipotesis, mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa
yang dihadapinya. Anak-anak semacam ini cenderung menyukai aktivitas
berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem
masalah.
Kecerdasan bahasa, memuat kemampuan seseorang menggunakan
bahasa dan kata-kata, secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk
untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Anak dengan kecerdasan
bahasa yang tinggi ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa, seperti: membaca, menulis
karangan, membuat puisi, dan sebagainya. Anak tersebut cenderung
memiliki daya ingat yang kuat misalnya terhadap nama-nama seseorang,
istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detil. Penguasaan
terhadap bahasa baru biasanya lebih tinggi.
Kecerdasan musical, memuat kemampuan seseorang untuk peka
terhadap suara-suara non verbal yang berada di sekelilingnya, termasuk
dalam hal ini nada dan irama. Anak-anak ini cenderung senang
mendengarkan nada dan irama yang indah, mereka juga lebih mudah
mengingat sesuatu dan mengekspresikan gagasan-gagasan apabila
dikaitkan dengan musik.
Kecerdasan visual spasial memuat kemampuan seseorang untuk
memahami secara lebih mendalam hubungan antara obyek dan ruang.
Anak-anak ini memiliki kemampuan menciptakan imajinasi bentuk dalam
pikirannya, atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga
dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat
patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu
bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan
dengan kemampuan ini adalah hal menonjolpada jenis kecerdasan visual-
spasial ini. Anak-anak demikian akan unggul dalam permainan mencari
jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan misalnya.
36 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Kecerdasan kinestetik, memuat kemampuan seseorang untuk secara


aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk
berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Anak-anak ini
biasanya unggul pada salah satu cabang olah raga, menari, atau bermain
sulap.
Kecerdasan interpersonal, menunjukkan kemampuan seseorang untuk
peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung memahami dan
berinteraksi dengan orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi
dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan ini sering disebut sebagai
kecerdasan sosial, di mana selain seorang anak mampu menjalin
persahabatan yang akrab dengan teman-temannya, juga termasuk
kemampuan seperti memimpin, mengorganisasi, menangani perselisihan
antar teman, memperoleh simpati dari anak-anak yang lain dan
sebagainya.
Kecerdasan intrapersonal, menunjukkan kemampuan seseorang untuk
peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu mengenali
berbagai kekuatan maupun kelemahannya. Anak-anak semacam ini senang
melakukan introspeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun
kelemahannya kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa di
antaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung dan
berdialog dengan dirinya sendiri.
Kecerdasan naturalis, kemampuan seseorang untuk peka terhadap
lingkungan alam. Misalnya senang berada di lingkungan alam yang
terbuka seperti pantai, gunung, hutan, dan sebagainya. Anak dengan
kecerdasan ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti
aneka macam bebatuan, aneka macam flora fauna, benda-benda di angkasa
dan sebagainya.
Melalui konsepnya mengenai multiple intelligences atau kecerdasan
ganda tersebut, Gardner ingin mengoreksi keterbatasan cara berpikir yang
konvensional mengenai kecerdasan. Di mana seolah-olah kecerdasan
hanya terbatas pada apa yang diukur oleh beberapa test intelegensi yang
Kajian Historis Pendidikan Nasional 37

sempit saja, atau sekedar melihat prestasi yang ditampilkan seorang anak
melalui ulangan maupun ujian di sekolah saja.
Teori Gardner tersebut kemudian dikembangkan dan semakin
dilengkapi oleh para ahli lain. Di antaranya adalah Daniel Goleman (1995)
melalui bukunya yang terkenal “Emotional Intelligence” atau Kecerdasan
Emosional. Dari ketujuh spectrum kecerdasan yang dikemukakan oleh
Gardner, Goleman mencoba memberi tekanan pada aspek kecerdasan
intra-personal atau antar pribadi. Inti dari kecerdasan ini mencakup
kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana
hati, temperamen, motivasi dan hasrat keinginan orang lain. Menurut
Gardner kecerdasan antar-pribadi ini lebih menekankan pada aspek
kognisi atau pemahaman. Sementara factor emosi atau perasaan kurang
diperhatikan. Padahal menurut Goleman, faktor emosi ini sangat penting
dan memberikan suatu warna yang kaya dalam kecerdasan antar-pribadi
ini.
Selanjutnya oleh tokoh-tokoh seperti Sternberg dan Salovey dalam
Goleman (1995), disebutkan adanya lima wilayah kecerdasan pribadi
dalam bentuk kecerdasan emosional. Lima wilayah tersebut adalah:
kemampuan mengenali emosi diri; kemampuan mengelola emosi;
kemampuan memotivasi diri; kemampuan mengenali emosi orang lain;
dan kemampuan membina hubungan.
Kecerdasan emosional tersebut penting untuk dikembangkan pada
diri anak. Karena banyaknya kita jumpai anak-anak yang begitu cerdas di
sekolah, tapi bila tidak dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah,
mudah putus asa atau angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak
akan banyak bermanfaat untuk dirinya. Kecerdasan emosional perlu lebih
dihargai dan dikembangkan pada anak sejak usia dini. Karena hal inilah
yang mendasari ketrampilan seseorang di tengah masyarakat kelak,
sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang secara
lebih optimal.
Hal senada juga diungkapkan oleh Robert Coles (1997), bahwa
disamping IQ, ada suatu jenis kecerdasan yang disebut sebagai kecerdasan
38 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

moral yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan


seseorang dalam hidupnya. Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang
anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri maupun orang lain,
memahami perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya, mengikuti
aturan-aturan yang berlaku, semua ini termasuk kunci keberhasilan bagi
seorang anak di masa depan. Bagaimana hal ini dapat diwujudkan pada
suasana pendidikan yang dapat dinikmati oleh anak-anak?
Tentang peranan sekolah, menurut hasil penelitian Roeser dkk (2001),
menjelaskan bahwa perkembangan fungsi-fungsi emosi dan sosial anak
juga banyak dipengaruhi oleh sistem sekolah. Hal ini dikuatkan oleh
pendapat Kupperminc (2001) bahwa pengaruh sekolah tidak hanya pada
kemampuan akademik dan prestasi, tetapi juga pada perkembangan
psikososial peserta didik. Sejalan pula dengan hasil penelitian Gettinger
(2001), bahwa kurikulum pada pendidikan harus merefleksikan
pemahaman pendidikan mengenai bagaimana anak-anak belajar dan
bagaimana memberikan pengalaman belajar yang penuh makna untuk
menstimulasi pertumbuhan pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-
aspek psikologisnya.
Suasana damai dan penuh kasih sayang dalam keluarga dan sekolah
merupakan contoh nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain,
ketekunan dan keuletan menghadapi kesulitan, sikap disiplin dan penuh
semangat, tidak mudah putus asa, lebih banyak tersenyum, semua ini
memungkinkan anak mengembangkan kemampuan yang berhubungan
dengan kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional maupun kecerdasan
moral dan spiritualnya.
Pada dasarnya seluruh orangtua dan guru mendambakan setiap
putra-putrinya tumbuh menjadi anak-anak yang unggul. Yaitu yang sehat,
cerdas, dan baik perilakunya. Namun anak-anak demikian ini tidak akan
tumbuh dengan sendirinya. Mereka memerlukan lingkungan yang
kondusif untuk itu.
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam rangka
mewujudkan kehidupan moral yang baik bagi anak. Menurut Doni
Kajian Historis Pendidikan Nasional 39

Koesoema (2010) diperlukan strategi perjuangan secara struktural dan


kultural secara bersama-sama. Strategi struktural dalam arti politis,
perbaikan struktural ini merupakan sarana yang paling efektif melalui
kurikulum pendidikan anak. Melalui lembaga pendidikan formal aspirasi
masyarakat tentang karakter dapat disalurkan, dan nilai-nilai moral dapat
diperjuangkan sebagai masukan dari masyarakat kepada pemerintah
khususnya Kementrian Pendidikan Nasional pendidikan nasional.
Strategi perjuangan secara kultural meliputi membangun mentalitas
bangsa yang berbasis nilai-nilai moral pembentuk karakter melalui
penghormatan kepada orang tua dan bersumber dari nilai moral, harus
diawali dari individu yang mengutamakan kehidupan, menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, pembentuk karakter disemaikan dari lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat luas.
Kerjasama yang sinergis dari berbagai kalangan diperlukan dalam
mensosialisasikan nilai-nilai. Doni Koesoema (2004) menyebutkan, dalam
guru harus bersedia bersinergis dengan orangtua siswa untuk
mewujudkan kehidupan karakter yang baik dengan menggunakan konsep
gold three angle yaitu kerjasama antara perguruan tinggi, pemerintah dan
penyandang dana. Perguruan tinggi mengadakan research and development
dalam bidang pendidikan karakter yang telah diuji cobakan dan berhasil,
Kementrian Pendidikan Nasional pendidikan nasional memberi
kemudahan melalui peraturan pemerintah dalam mensosialisasikan nilai-
nilai karakter.
Hasil penelitian perguruan tinggi tentang pendidikan karakter
diharapkan menambah alternatif bagi pemerintah, yang dapat dipilih
sebelum menentukan kebijakan, selain itu tenaga dosen bersama
mahasiswa dapat mendampingi masyarakat, sehingga perguruan tinggi
dapat menjadi solusi dalam memecahkan persoalan karakter. Menurut
Doni Koesoema (dalam mengimplementasikannya setiap lembaga dan
personal bisa saling bersinergis dan tidak saling menyalahkan, para pakar
moral dari perguruan tinggi dapat memberi masukan pada pemerintah
dan sekaligus terjun langsung ke masyarakat dengan langkah konkrit
untuk memperbaiki karakter peserta didik
40 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Keluarga, sekolah, dan masyarakat mempunyai keterkaitan yang


sangat erat dalam rangka membentuk karakter anak. Benih-benih nilai-
nilai karakter yang sudah disemaikan dalam keluarga, diajarkan di sekolah
oleh guru dan masyarakat diharapkan dapat dipraktikkan dalam totalitas
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Modal nilai karakter yang sudah
ada dalam tiap individu merupakan lahan yang subur bagi anak-anak
untuk mewujudkan kehidupan bersama dalam mewujudkan masyarakat
yang ideal. Terlebih lagi dalam pembelajaran dan sosialisasi pendidikan
moral dapat dimanfaatkan learning to do, learning to be, learning to know,
learning to live together (Lickona, 2007).
Pendidikan karakter akan berhasil apabila guru memberi motivasi
dan stimulus agar anak didik memberi respon sesuai dengan keinginan
pendidik. Dengan stimulus respon itu anak didik diberi classical
conditioning untuk menciptakan kondisi belajar yang lebih kondusif (Sigit
Dwi Kusrahmadi, 2010). Guru dapat memberi hadiah kepada siswa yang
berhasil dan hukuman bagi yang gagal, namun dalam koridor
memanusiakan manusia. Proses stimulus dan respon dalam pendidikan
karakter harus diberikan tugas terus menerus dan terprogram, sehingga
anak akan memiliki habitus (pendidikan yang merubah perilaku sehingga
memiliki karakter yang baik) dalam mewujudkan manusia Indonesia yang
berakhlak mulia. Namun terkadang model semacam ini kurang efektif,
karena bisa jadi anak melakukan hal-hal baik hanya karena ingin
mendapatkan reward dari gurunya, bukan dari keinginan atau dorongan
dari hatinya.
Pendidikan bermoral yang dilaksanakan untuk mewujudkan
manusia yang ideal, harus mampu mengembangkan kapasitas peserta
didik untuk membuat mereka sadar akan keberadaannya di dunia ini.
Pendidikan formal dan sistem persekolahan di Indonesia menurut Zamroni
(2006:114-115) tengah berada pada masa transisi menuju pendidikan yang
demokratis, dari sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan ini memerlukan
dan mengakibatkan perubahan dalam nilai-nilai, norma-norma, pola pikir
dan perilaku dalam pengelolaan sekolah dan warga sekolah.
Kajian Historis Pendidikan Nasional 41

Penyelenggaraan pendidikan bagi anak harus dilihat dalam lingkup


pengertian yang luas. Menurut Tilaar (2000:20) pendidikan tidak dapat
dibatasi hanya sebagai schooling saja, karena pendidikan akan terasing dari
kehidupan yang nyata dan masyarakat akan terlempar dari tanggung
jawabnya dalam pendidikan. Pendidikan juga bukan hanya untuk
mengembangkan inteligensi akademik peserta didik, pengembangan
seluruh spektrum inteligensi manusia perlu diberikan kesempatan
pengembangannya dalam program kurikulum yang luas dan fleksibel
dalam pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan bukan hanya
membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting adalah manusia yang
berbudaya.
Pendidikan karakter diharapkan dapat menghasilkan peserta didik
yang memiliki kompetensi personal dan sosial sehingga menjadi warga
negara yang baik dengan ciri-cirinya antara lain: berani mengambil sikap
positif untuk menegakkan norma-norma sosial, aturan hukum dan nilai-
nilai akhlak mulia atau berkarakter baik, demi masa depan bangsa yang
mengedepankan nilai-nilai kebebasan, persamaan, persaudaraan, kesatuan,
kebangsaan, kebhinekaan, multikultural, nasionalisme, demokrasi dan
demokratisasi yang bersumber pada nilai budi pekerti dan moral bangsa.
Arah kebijaksanaan pendidikan karakter mestinya adalah untuk
mewujudkan masyarakat sipil dengan parameter masyarakat lebih baik:
demokratis, anti kekerasan, berbudi pekerti luhur, bermoral; masyarakat
mendapat porsi partisipasi lebih luas, serta adanya landasan kepastian
hukum, mengedepankan nilai-nilai egalitarian, nilai keadilan, menghargai
HAM, penegakan hukum, menghargai perbedaan SARA dalam kesatuan
bangsa. Menjunjung tinggi nilai-nilai religius dengan dilandasi
pengamalan nilai-nilai Pancasila, yang diaktualisasikan baik secara
obyektif maupun subyektir sebagai paradigmanya. Pendidikan karakter
harus menjadi bagian hidup dalam kehidupan sehari-hari untuk
mewujudkan Indonesia baru yang lebih indah, tanpa kekerasan dan
masyarakatnya hidup dalam kedamaian.
Diberikannya pendidikan karakter pada siswa di sekolah merupakan
salah satu alternatif solusi penyelesaian untuk mengantisipasi kenakalan
42 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

remaja, seks bebas, pornografi, kekerasan, narkoba, dan lain-lain. Dengan


tersosialisasikannya pendidikan karakter diharapkan peserta sisik dapat
memahami, menganalisis, menjawab masalah-masalah yang dihadapi
bangsa, dan dapat membangun kehidupan budi pekerti luhur dan moral
bangsa secara berkesinambungan, konsisten yang bersumber pada nilai-
nilai budi pekerti dan karakter bangsa sehingga cita-cita bangsa dan tujuan
nasional bisa tercapai.
Beberapa teori tersebut dapat dimaknai bahwa nilai karakter dibawa
seorang guru yang meyakini kebenaran karakter sebagai ideologi ideal dan
harus ditanamkan pada setiap hati (personal, individu) khususnya pada
diri siswa agar suatu hari nanti kehidupan bangsa yang berkarakter baik
yang menjunjung nilai-nilai moral atau akhlak mulia dapat terwujud.

-oo0oo-
BAB 3

PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS AGAMA DAN BUDAYA

3.1  Kajian tentang Pendidikan Karakter 

P
endidikan tidak terlepas dari nilai-nilai yang ingin ditanamkan
terhadap siswa. Kneller (1964: 29) menyebutkan bahwa “ethics is
the study of values in the realm of human conduct.” Etika menurutnya
membahas tentang nilai-nilai dalam perilaku manusia. Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan pertanyaan seperti:
bagaimana kehidupan yang baik bagi semua orang? Bagaimana
seharusnya kita bersikap? terkait dengan nilai-nilai yang "benar" nilai-nilai
sebagai dasar untuk tindakan yang "benar". Dalam beberapa hal,
menurutnya hal ini dapat dikaitkan dengan agama.
Kneller (1964: 29-30) mencontohkan di Amerika Serikat, telah lama
memisahkan gereja dan negara, dan konsekuensinya ajaran agama telah
dilarang di sekolah-sekolah umum di Amerika. Namun, kemudian disadari
bahwa pendidikan moral ternyata perlu, larangan ini pada gilirannya telah
mendorong keinginan selanjutnya untuk menggantikannya dengan
beberapa jenis pelatihan moral.
Lebih lanjut Kneller (1964: 30) membedakan ajaran moral tersebut
menjadi dua dengan sebutan intuitionism dan naturalism.
…intuitionists assert that moral values are apprehended by the individual directly.
We grasp the rightness or wrongness of something by means of an inborn moral
44 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

sense. The moral values we apprehended in this way are right in themselves. Their
rightness cannot be proved logically or tested empirically; it can only be intuited.
Intuitionism sebagai nilai-nilai moral yang ditangkap oleh individu
secara langsung. Memahami kebenaran atau kesalahan dari sesuatu
dengan rasa moral bawaan, biasanya berhubungan dengan agama atau
kepercayaan. Nilai-nilai moral yang kita tangkap dengan cara ini diterima
“benar” dalam diri kita. Dalam artian tidak dapat dan tidak harus
dibuktikan secara logis, secara empiris, melainkan hanya bisa direnungkan
atau melalui intuisi.
Sedangkan naturalists, ”naturalists maintain that moral values should be
determined by careful studies of the ascertainable consequences to which they give
rise.” Untuk saat ini, sistem nilai yang terdapat di dunia barat, walaupun
sebagian besar berasal dari ajaran agama, tapi biasanya kemudian
dibenarkan dengan alasan lain dan didasarkan pada bukti-bukti empirik.
Bahwa nilai-nilai moral harus ditentukan oleh penelitian yang cermat
terhadap konsekuensi yang ditimbulkannya. Misalnya, jika seseorang
percaya bahwa hubungan seks pranikah secara moral salah, kita harus
mengikutinya bukan karena penilaian etis yang telah dibuat pada subjek
tetapi karena telah ada penelitian ilmiah tentang efek dari hubungan
tersebut. Orang yang menerima penafsiran etika naturalistik memilih
pembenaran nilai moral sesuai dengan hasil penelitian ilmiah yang me-
ngungkapkan tentang “benar” dan “salah”. Secara singkat, naturalis
berpendapat bahwa nilai-nilai moral harus didasarkan pada penelitian
objektif terhadap konsekuensi praktis dari setiap tindakan perilaku
manusia.
Kecenderungan di negara kita menggunakan agama sebagai
pedoman moral dalam kehidupan tentu saja akan berbeda jika
dibandingkan dengan Amerika Serikat. Sehubungan dengan ini Sodiq A.
Kuntoro (2008: 12) mengemukakan bahwa dalam masyarakat yang agamis,
keyakinan dan nilai-nilai keagamaan adalah merupakan nilai inti yang
menjadi dasar bagi pengembangan aturan masyarakat. Walaupun dalam
kehidupan modern sumber nilai bergeser lebih ke arah penggunaan nilai
keilmuan yang lebih objektif seperti kemanusiaan dan demokrasi, tetapi
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 45

nilai keagamaan tetap tidak dapat dipisahkan dari perilaku nyata


kehidupan individu dan masyarakat. Nilai-nilai keagamaan sering secara
tidak sadar tetap menjadi kekuatan yang laten bagi pilihan tindakan atau
perilaku manusia dan masyarakat.

3.2  Pengertian Pendidikan Karakter 
Selama berabad-abad, filsuf dan pendidik harus berjuang dengan berbagai
cara untuk membina perkembangan moral atau karakter pada siswa. Tidak
seperti mata pelajaran akademik yang lain (misalnya, sejarah, matematika,
bahasa) yang memiliki definisi umum, tidak ada definisi umum untuk
pendidikan karakter. Vessel dan Boyd dalam Pearson (2000: 244),
mendefinisikan pendidikan karakter “strategic instruction that promotes social
and personal responsibility and the development of the good character traits and
moral virtues that make this possible". Dari definisi tersebut, pendidikan
karakter didefinisikan sebagai pembelajaran strategis yang me-
ngembangkan tanggung jawab sosial dan pribadi yang diwujudkan
dengan pengembangan karakter yang baik dan kebajikan moral. Kaplan
dalam sumber yang sama menekankan pentingnya pengajaran kepada
siswa untuk dapat membuat keputusan yang baik sendiri daripada mem-
beritahu mereka apa yang harus dilakukan. Sedangkan menurut Lickona
dalam Pearson (2000: 244), pendidikan karakter secara luas meliputi aspek
kognitif, afektif, dan perilaku karakter yang baik terdiri dari moralitas.
Untuk mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan
yang baik, sekolah harus membantu anak-anak memahami nilai-nilai inti,
beradaptasi atau melakukan dan bertindak atas kemauan sendiri.
Pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting
dari pendidikan. Dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara (1964), bahwa
pendidikan dimaknai sebagai daya upaya untuk memajukan ber-
tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan
tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat
memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Dengan demikian
pendidikan harus mengembangkan seluruh aspek dalam diri anak.
46 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan budi pekerti yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara


(1964) menggunakan syarat, bahwa pendidikan harus sesuai dengan roh
kebangsaan, menuju ke arah keluhuran dan kesucian hidup batin, serta
ketertiban dan kedamaian hidup. Dalam hal ini Ia mementingkan pangkal
kehidupan yang terus hidup dalam kesenian, peradaban, dan keagamaan
kita, atau terdapat dalam cerita (dongeng, mythe, legenda, babad, dan lain-
lain). Dengan bermodalkan itu, langkah kita menuju zaman baru akan
berhasil, karena pada hakikatnya masa depan tidak dapat dipisahkan
dengan masa lalu. Oleh karenanya, maka perlu mendekatkan anak dengan
kehidupan masyarakatnya, agar mereka tidak hanya mendapatkan
pengetahuan saja, melainkan juga dapat mengalami sendiri dan tidak
terpisah dari rakyatnya.
Pendidikan karakter dalam konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
ditunjukkan dari tujuan pendidikan yang dianutnya, bahwa pendidikan
bertujuan untuk membentuk akhlak yang baik. Prinsip amar ma’ruf nahi
munkar (membangun kebaikan dan menghancurkan kejahatan) adalah
ajaran Islam yang diutamakan dalam pendidikan Muhammadiyah yang
didirikannya. Belajar agama bukan hanya mempelajari teori atau sebagai
pengetahuan saja, tapi harus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga terjadi kebaikan dan perubahan dalam kehidupan. Amar
ma’ruf berarti arah (direction) dari pengamalan itu, dan harus menuju ke
arah kebaikan, bukan sebaliknya. Pengamalan agama berarti proses
pendidikan karakter, karena membangun karakter. Beragam amalan,
berarti membiasakan siswa untuk melakukan segala amal kebaikan.
Dengan membiasakan berbuat baik, maka akan terbentuk karakter yang
baik pada anak. Berdasarkan prinsip tersebut pendidikan Muhammadiyah
dilaksanakan.
Tentang pentingnya pendidikan karakter bagi siswa dinyatakan
dalam tulisan Quinn M. Pearson bahwa pada awal tahun 1980-an, opini
publik mulai menuntut bahwa sekolah menegaskan kembali peran
tradisional mereka dalam memberikan pendidikan moral bagi anak-anak.
Walaupun tidak ada kesepakatan tentang apa yang harus diajarkan, nilai-
nilai tradisional adalah sesuatu yang harus diajarkan (Pearson, 2000: 243).
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 47

…the present challenge is "not simply to make them smart and good. we must help
children acquire the skills, attitudes and dispositions that will help them live well
and that will enable the common good to flourish.
Menurut Pearson, tantangan saat ini bukan hanya untuk membuat
siswa cerdas dan baik saja, tapi kita juga harus membantu anak-anak
memperoleh keterampilan, sikap dan disposisi yang akan membantu
mereka hidup dengan baik dan memungkinkan kebaikan yang berlaku
secara umum berkembang. Kondisi tersebut dapat dilakukan dengan
mencoba menerapkan pendidikan karakter di sekolah, karena fungsi
pendidikan sebenarnya memang tidak hanya untuk membuat siswa cerdas
saja tapi juga membekali mereka dengan kepribadian dan karakter yang
baik sebagai modal dalam menghadapi masa depannya yang terus
menerus berubah.
Pendidikan karakter di sekolah merupakan kebutuhan vital agar
generasi penerus dapat dibekali dengan kemampuan-kemampuan dasar
yang tidak saja mampu menjadikannya life-long learners sebagai salah satu
karakter penting untuk hidup di era informasi yang bersifat global, tetapi
juga mampu berfungsi dengan peran serta yang positif baik sebagai
pribadi, sebagai anggota keluarga, sebagai warga negara, maupun sebagai
warga dunia. Untuk itu harus dilakukan upaya-upaya instrumental untuk
meningkatkan keefektifan proses pembelajarannya disertai pengembangan
kultur yang positif (Darmiyati Zuchdi, 2010).
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah harus terintegrasi
dengan seluruh aktivitas persekolahan yang sedang berjalan. Tentang hal
ini lebih lanjut dikatakan oleh Darmiyati Zuchdi (2010), bahwa pendidikan
karakter bukanlah pembelajaran sebuah bidang studi tapi menjadi bagian
yang terintegrasi dalam keutuhan semua proses pendidikan yang terwujud
dalam pembelajaran dan layanan lainnya. Pendidikan karakter juga bukan
hal baru dari sistem pendidikan nasional (sisdiknas), sebab dalam UU no.
20/2003 tentang sisdiknas sudah terkandung amanah pendidikan karakter.
Oleh karena itu yang perlu dibangun adalah iklim dan kultur pendidikan
dan pembelajaran yang mendukung pembentukan karakter sesuai dengan
jiwa undang-undang sisdiknas.
48 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pestalozzi dalam Heafford (1961: 64-65) mengatakan, bahwa “…moral


education was always regarded as the centre of all education.” Lebih jauh ia
mengatakan, “The language of morality could not be thougt by worth of mouth, it
had to be taught by example, practice, not preaching was the basis of moral
education.” Dari pendapat tersebut, bahwa pendidikan moral adalah pusat
dari semua pendidikan. Pendidikan tidak dapat hanya disampaikan
melalui kata-kata, melainkan harus diajarkan melalui contoh atau teladan,
praktik, tidak hanya melalui ceramah, ini menjadi dasar dari pendidikan
moral tersebut.
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai membangun manusia
seutuhnya. Nation and character building dalam membangun bangsa ini
adalah hal yang amat filosofis dan menyangkut pengembangan esensi
pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan politik, ekonomi,
hukum, keamanan serta penguasaan sains dan teknologi harus menyatu
dengan pembangunan karakter manusia sebagai pelaku dari politik,
ekonomi, hukum, dan pengembangan serta pengguna sains dan teknologi,
agar berujung pada kesejahteraan, kemaslahatan dan perdamaian umat
manusia.
Pendidikan karakter merupakan usaha sengaja untuk menumbuhkan
kebajikan, menciptakan manusia yang berkualitas baik bagi individu dan
baik pula untuk seluruh lapisan masyarakat. Lickona (2000), menyebutkan
bahwa “…character education is the deliberate effort to cultivate virtue – that is,
objectively good human qualities that are good for the individual person and good
for the whole society…”. Kondisi manusia yang berkualitas menurutnya
tidak terjadi begitu saja, melainkan sebagai hasil dari kerja keras yang
diupayakan secara terus menerus.
Pendidikan karakter diharapkan akan menghasilkan orang yang
berkarakter. Definisi orang berkarakter sendiri, menurut Thomas Lickona
(1989), bahwa orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam
merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan
nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 49

dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat
kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.
Berdasarkan definisi tersebut, ada nilai-nilai yang perlu
dikembangkan dalam pendidikan karakter seperti kejujuran, belas kasih,
keberanian, kebaikan, pengendalian diri, kerjasama, ketekunan, dan kerja
keras, kesemuanya adalah jenis kualitas yang kita butuhkan untuk bisa
menjalani kehidupan yang baik, memuaskan dan untuk dapat hidup
bersama secara harmonis dan produktif. Kedelapan nilai tersebut memang
perlu ditanamkan dalam diri siswa, agar menjadi pribadi yang kuat dan
utuh dalam menghadapi masa depannya.
Pestalozzi dalam Heafford (1961) menyatakan bahwa pendidikan
moral atau karakter, yang berkembang di dalam keluarga dimulai dari
seorang ibu. Seorang ibu yang selalu memenuhi kebutuhan anaknya
dengan kasih sayang sejak dalam kandungan hingga lahir dan menjadi
dewasa. Kasih sayang ibu kepada anak inilah yang meletakkan dasar
pendidikan moral, melalui tindakan yang nyata pada anak.
Definisi secara umum tentang pendidikan karakter sering tidak bisa
diberikan. Namun demikian, Pearson (2000) menyatakan bahwa sangat
penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai apa saja yang terkait dengan
karakter yang baik. Beberapa ciri sering dikutip oleh beberapa penulis
yang berbeda, seperti dikutip oleh Pearson (2000) dari beberapa penulis
sebagai berikut:
…among the traits are responsibility (Bennett, 1993; Lickona, 1988; Tigner, 1993),
honesty (Bennett, 1993; Elam, Rose, & Gallup, 1993, 1994; Wynne, 1988), respect
(Lickona, 1993a; Moody & McKay, 1993), fairness (Edison Project, 1994; Lickona,
1988), trustworthiness (Lickona, 1988; Moody&McKay, 1993), caring (Brandt,
1989; Lickona, 1988), justice (Edison Project, 1994; Moody&McKay, 1993), civic
virtue (Lickona, 1993b; Moody&Mckay, 1993), kindness (Lickona, 1988; Wynne,
1988), emphathy (Brandt, 1989), self-respect (Edison Project, 1994), self-discipline
(Bennett, 1993), and courage (Bennett, 1993; Edison Project, 1994).
Terdapat beberapa nilai yang menurut beberapa penulis yang
dianggap penting dalam pendidikan karakter seperti dikutip dalam
pearson (2000), seperti: tanggung jawab, kejujuran, sikap menghormati,
keadilan, kepercayaan, kepedulian, keadilan, kebajikan sipil, kebaikan,
50 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

empati, harga diri, disiplin diri, dan keberanian. Ke-13 nilai tersebut yang
dianggap penting dalam pendidikan karakter. Jika dilihat dari ke-13 nilai
tersebut, nilai ke-Tuhanan yang menjadi basis dari nilai keagamaan tidak
termasuk dalam kategori nilai-nilai yang diperlukan dalam pendidikan
karakter.
Pestalozzi dalam Heafford (1961) lebih menekankan pada kasih
sayang anak kepada ibu sebagai dasar bagi pendidikan moral. Kasih
sayang tersebut mencerminkan nilai spiritual (ke-Tuhanan) yang
diwujudkan dengan nilai kemanusiaan ibu terhadap anaknya. Perhatian
dan kasih sayang seorang ibu inilah yang menjadi dasar pembentukan
karakter anak selanjutnya.
Pendidikan karakter tidak dapat terlepas dari konteks masyarakat di
mana pendidikan tersebut diterapkan. Indonesia misalnya, adalah negara
yang mengedepankan konsep ke-Tuhanan dalam kehidupan sehari-hari,
hal ini tercermin dari dasar negara Pancasila, di mana sila pertama adalah
berisi tentang ke-Tuhanan. Dengan demikian sudah selayaknya jika dalam
pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia juga menyesuaikan dengan
dasar tersebut.
Mengenai nilai-nilai yang perlu ada dalam pendidikan karakter,
Khoiruddin Bashori (2010) berpendapat bahwa dalam pendidikan karakter
penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian,
kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan
orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti
ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter
yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter
peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam
bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari,
mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, meng-
gunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan me-
ngapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.
Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap
standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 51

Dalam agama Islam, pendidikan karakter lebih didasarkan pada


praktik kehidupan sehari-hari yang lebih menekankan pada amar ma’ruf
(berbuat kebaikan) dalam kehidupan. Perbuatan kebaikan sebagai nilai
agama tidak dijelaskan secara rinci, seperti pendekatan ilmiah di Barat,
yang dijabarkan dalam nilai-nilai. Dalam agama Islam, perbuatan
tersenyum pada orang lain saja dapat dikatakan sebagai kebaikan, yang
menjadi bagian dari karakter yang baik.
Karakter yang baik, menurut Kevin Ryan dan Karen E Bohlin (1999:
5-7) mempunyai ciri dapat mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan
mengerjakan kebaikan, dan ketiga hal ini saling berkaitan. Mengetahui
kebaikan termasuk di dalamnya memahami hal-hal yang baik dan
mengetahui hal-hal yang buruk. Ini artinya mengembangkan kemampuan
untuk menyimpulkan situasi, tenang dan berhati-hati serta memperkirakan
dan memilih hal-hal yang baik untuk dikerjakan dan seterusnya
mengerjakan itu semua. Aristoteles menyebutnya sebagai practical wisdom
(kebijaksanaan praktis). Mencintai kebaikan adalah membangun sebuah
lingkaran moralitas dan emosi, termasuk cinta pada hal-hal yang baik dan
memandang hina terhadap kejahatan, dan juga berempati dengan hal-hal
seperti itu.
Karakter tidak terlepas dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu
pengetahuan, perasaan, dan perilaku. Lickona (1991: 51) mengemukakan
bahwa:
Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling,
and moral behavior. Good character consist of knowing the good, desiring the good,
and doing the good – habits of the mind, habits of the heart, and habits of action. All
three necessary for leading a moral life; all three make up moral maturity. When we
think about the kind of character we want them to be able to judge what is right,
care deeply about what is right, and then do what they believe to be right – even in
the face of pressure from without and temptation from within.
Menurut Lickona, karakter memiliki tiga bagian yang saling
berhubungan yaitu: pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku
moral. Karakter yang baik terdiri dari mengetahui segala hal yang baik,
menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik, yang meliputi
kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan. Ketiganya
52 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

diperlukan untuk memimpin kehidupan moral. Ketika kita berpikir


tentang jenis karakter, kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar,
sangat peduli tentang apa yang benar, dan kemudian melakukan apa yang
mereka yakini benar bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan
godaan dari dalam.
Kilpatrick dan Lickona merupakan pencetus utama pendidikan
karakter dari dunia Barat. Keduanya percaya adanya keberadaan moral
absolut yang perlu diajarkan kepada generasi muda agar paham betul
mana yang baik dan benar. Lickona (1992) dan Kilpatrick (1992) tidak
sependapat dengan cara pendidikan moral reasoning dan values clarification
yang diajarkan dalam pendidikan di Amerika, karena sesungguhnya
terdapat nilai moral universal yang bersifat absolut (bukan bersifat relatif)
yang bersumber dari agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai the
golden rule. Contohnya adalah berbuat jujur, menolong orang, hormat, dan
bertanggung jawab.
Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat diambil simpulan bahwa
karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan
berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam
pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek
kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami
nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati
perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan
nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan
mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh
perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita
ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup mereka.
Di Indonesia sendiri pendidikan karakter yang telah dicoba untuk
dilakukan dan dikembangkan didasarkan pada sembilan pilar karakter
dasar (Ratna Megawangi, 2007). Karakter dasar menjadi tujuan pendidikan
karakter. Kesembilan pilar karakter dasar tersebut adalah: (1) cinta kepada
Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri;
(3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama;
(6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah; (7) keadilan
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 53

dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; (9) toleransi, cinta damai dan
persatuan. Hal ini berbeda dengan karakter dasar yang dikembangkan di
negara lain, serta karakter dasar yang dikembangkan oleh Ari Ginanjar
(2007) melalui ESQ-nya, yang meliputi: Jujur; tanggung jawab; disiplin;
visioner; adil; peduli; dan kerja sama.
Konsep pendidikan karakter seperti dikembangkan di dunia Barat
tersebut, sebenarnya telah lama dimiliki dan dikembangkan oleh tokoh
pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara. Berdasarkan
konteks zamannya, K.H. Ahmad Dahlan mengembangkan konsep
pendidikan berdasarkan konsep dalam agama Islam, yaitu amar ma’ruf nahi
munkar. Diutamakannya melakukan segala anjuran kebaikan, dan
meninggalkan segala kemunkaran/keburukan merupakan seruan yang
mendukung kepada pembentukan karakter yang baik, dan ini diangkat
sebagai basis pendidikan yang didirikannya yaitu Muhammadiyah. Dari
sini terlihat bahwa pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan saat itu
(1912) tidak terlepas dari kesadaran beliau tentang pentingnya
pembentukan karakter yang baik pada anak.
Sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat meng-
hargai agama dan kebudayaan, maka pendidikan karakter yang dijalankan
Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan lebih mengambil sumber
dari ajaran agama dan kebudayaan. Dalam agama Islam, berbuat baik
(ikhsan) didasarkan pada ajaran (syariat) agama Islam dan lebih jauh
didasarkan pada kepercayaan (keimanan) pada Tuhan, bukan berdasar
pada nilai empirik yang ilmiah. Oleh karenanya, berbuat baik itu sangat
luas nilai dasarnya, yang berkaitan satu sama lain, misalnya: ibu yang
berbuat baik kepada anaknya.
Pendidikan karakter dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
tercermin dalam tujuan pendidikannya yaitu membangun budi pekerti
yang luhur dari siswa. Beliau sangat anti dengan pendidikan pemerintah
kolonial Belanda yang bersifat intelektualis tanpa memperdulikan aspek-
aspek yang lain dalam pendidikan. Dari sini terlihat bahwa Ki Hadjar
Dewantara juga memiliki konsep tersendiri dalam pendidikan karakter
bagi anak, bahwa pendidikan adalah membangun budi pekerti yang luhur
54 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

pada anak, pendidikan tidak hanya mencerdaskan secara intelektual saja,


tapi juga membangun kepribadian yang baik.
Pendidikan karakter di Indonesia, terutama untuk pelaksanaannya
saat ini sebagai bagian dari pendidikan di sekolah disebut sebagai
pendidikan budi pekerti, lebih merujuk pada istilah yang dikenalkan oleh
Ki Hadjar Dewantara. Aturan Kemendikbud melalui pelaksanaan
kurikulum 2013, terdapat 18 nilai mendasar yang harus diintegrasikan
dalam setiap mata pelajaran di sekolah, yaitu: (1) Religius; (2) jujur; (3)
Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja keras; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8)
Demokratis; (9) Rasa ingin tahu; (10) Semangat kebangsaan atau
nasionalisme; (11) Cinta tanah air; (12) Menghargai prestasi; (13)
Komunikatif; (14) Cinta damai; (15) Gemar membaca; (16) Peduli
lingkungan; (17) Peduli sosial; dan (18) Tanggung jawab.

3.3  Pendidikan Karakter Berbasis Agama  
Budaya, pendidikan, dan agama merupakan tiga bidang yang berkaitan
satu sama lain. Ketiga-tiganya berkaitan pada tingkat nilai-nilai yang
sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya
atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara
tradisional menjadi panutan bagi masyarakat (Azyumardi Azra, 2010).
Lebih lanjut diungkapkan bahwa pendidikan, selain mencakup
proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan, juga merupakan proses
yang sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka
pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung
ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk
mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Tetapi, ketiga sumber
nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat
tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan
masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya,
pendidikan dan bahkan agama kadang mengalami disorientasi karena
terjadinya perubahan-perubahan cepat dan berdampak luas, misalnya,
industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 55

Pada masa kolonial Belanda, angkatan muda yang bersekolah di


sekolah Belanda dan aparatur pemerintah dijauhkan dari kehidupan
agama. Bahkan digambarkan oleh beberapa peneliti bahwa terdapat
perasaan aneh di mata masyarakat jika ada seorang pamong praja pergi ke
masjid untuk mengikuti ibadah Sholat Jumat (Sodiq A. Kuntoro, 2006: 137).
Dari sini terlihat bahwa pada masa kolonial Belanda, agama sengaja
dipisahkan dari kehidupan sekolah maupun kehidupan bermasyarakat.
Kondisi ini ternyata menyebabkan generasi muda menjadi jauh dari agama
dan banyak melakukan hal-hal negatif yang bertentangan dengan nilai-
nilai agama, seperti berjudi, mabuk, dan menggoda lawan jenis (Hasbullah,
2001). Hal ini menunjukkan bahwa agama mempunyai peran penting
dalam membentuk karakter manusia, karena dalam ajaran agama banyak
dianjurkan untuk melakukan perilaku kebaikan dan meninggalkan segala
yang tidak baik atau bertentangan dengan moral.
Beberapa teori sebelumnya telah menyebutkan bahwa agama
mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan pendidikan karakter.
Khususnya dalam Islam, disebutkan oleh Harun Nasution (1998: 57) bahwa
ibadah dalam agama Islam, erat sekali hubungannya dengan pendidikan
akhlak. Ibadah dalam Al Quran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti
melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Perintah
Tuhan berkaitan dengan perbuatan-perbuatan baik, sedang larangan
Tuhan berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Dengan
demikian orang bertakwa adalah orang yang melaksanakan perintah
Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan
jauh dari hal-hal yang tidak baik. Menurut Harun Nasution (1998: 57),
inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, yaitu
mengajak pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik.
Tegasnya, orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia atau
dengan kata lain memiliki karakter yang baik.
Lebih lanjut dikatakan oleh Harun Nasution (1998: 58) bahwa Al
Quran dan hadits mengaitkan pelaksanaan ibadah dengan penjauhan diri
dari melaksanakan hal-hal yang tidak baik. Ayat mengatakan “shalat
menjauhkan orang dari perbuatan jahat dan tidak baik (QS 29: 45).
56 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Dijelaskan pula bahwa di dalam ibadah haji, zakat, dan puasa dekat
hubungannya dengan pendidikan akhlak. Dalam melaksanakan ibadah
haji dilarang diucapkan kata-kata tidak sopan, cacian, dan pertengkaran.
Pelaksanaan zakat tidak hanya terbatas pada pengeluaran harta, tetapi
mencakup senyuman kepada sesama manusia, seruan kepada kebaikan
dan larangan dari kejahatan, menunjukkan jalan kepada orang yang
tersesat, menjauhkan duri dari jalan umum, dan menuntun orang yang
lemah penglihatannya. Disebutkan pula bahwa tidak akan diterima puasa
seseorang jika tidak dapat menahan diri dari berkata tidak sopan apalagi
berbohong.
Tujuan akhir dan utama dari pelaksanaan ibadah dalam Islam, baik
shalat, puasa, haji, dan zakat adalah pembinaan dan pendidikan akhlak
atau karakter mulia. Tujuan ibadah dalam Islam bukan semata-mata
menjauhkan diri dari neraka dan masuk surga, tetapi tujuan yang di
dalamnya terdapat dorongan bagi kepentingan dan pembinaan akhlak
yang menyangkut kepentingan masyarakat. Masyarakat yang baik dan
bahagia adalah masyarakat yang para anggotanya memiliki akhlak mulia
dan budi pekerti luhur.
Pandangan K.H. Ahmad Dahlan tentang agama, bahwa beragama itu
adalah beramal, artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan
tindakan sesuai dengan isi pedoman Al Quran dan Sunnah. Orang yang
beragama adalah orang yang menghadapkan jiwa dan hidupnya hanya
kepada Allah SWT, yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan
seperti rela berkorban baik harta benda maupun miliknya dan dirinya,
serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah (Kyai Suja’, 2009: 34).
Dengan demikian, mengajarkan agama berarti mengajarkan anak untuk
melakukan segala tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan, tidak
hanya mengajarkan pengetahuan saja. Sejauh ini agama relevan untuk
menanamkan karakter yang baik terhadap siswa, karena pada hakikatnya
karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin dan terus
menerus.
K.H. Ahmad Dahlan menganggap perlu dilakukan upaya untuk
membangkitkan kesadaran baru agar masyarakat memiliki kepercayaan
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 57

diri untuk mengubah diri agar lebih baik. Bagi orang yang beragama
dilakukan dengan kembali pada ajaran Qur’an dan hadits yang diyakini
sebagai cara membangun kembali jati diri (self-identity) dan kepercayaan
diri, keberanian untuk berjuang melawan kemungkaran (penindasan) serta
mempunyai kemauan untuk membangun kebaikan (kemerdekaan). Di
kalangan Muhammadiyah dikenal dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar
(membangun kebaikan dan menghancurkan kejahatan), merupakan ajaran
Islam yang diutamakan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Berdasarkan prinsip
tersebut jelas terlihat bahwa agama mempunyai peran penting dalam
pendidikan karakter.
Sejalan dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan budi
pekerti yang dianjurkan Ki Hadjar Dewantara juga mengacu pada pangkal
kehidupan manusia yang ada dalam kesenian, peradaban, dan keagamaan.
Ketiganya tersimpan sebagai kekayaan batin dalam setiap diri bangsa kita.
Agama menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.
Di negara kita, pendidikan diharapkan dapat bersifat humanis-
religius, di mana dalam pengembangan kehidupan (ilmu pengetahuan)
tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan (Sodiq A.
Kuntoro, 2008:2). Masyarakat di negara ini menghargai nilai-nilai
keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang
harmonis di antara bermacam-macam etnik, kelompok, sosial, dan daerah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa nilai keagamaan bukan dipandang sebagai
nilai ritual yang sekedar digunakan untuk menjalankan upacara
keagamaan dan tradisi, tetapi diharapkan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kegiatan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan
kesejahteraan material, sosial, harga diri, intelektual, dan aktualisasi diri.
Sodiq A. Kuntoro (2008: 12) menyatakan bahwa pendidikan
keagamaan secara klasik cenderung memiliki tujuan untuk membangun
dalam diri manusia suatu kondisi moralitas yang baik atau karakter yang
mulia. Ungkapan-ungkapan dalam ajaran agama memberikan gambaran
akan hal itu, seperti ungkapan: “tidak Kami utus kamu Muhammad,
kecuali untuk memperbaiki akhlak.” Secara umum para nabi dilahirkan
dalam kondisi masyarakat yang jahiliyah, yaitu masyarakat yang
58 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

warganya mengalami kerusakan karakter, sehingga kehidupan penuh


dengan perilaku buruk, penghancuran hak-hak manusia, penindasan,
arogansi penguasa, dan ketertindasan yang lemah. Tujuan diangkatnya
kenabian secara umum adalah memperbaiki moralitas atau akhlak
manusia yang terjadi pada zamannya.
Kondisi masyarakat di Indonesia saat ini menuntut dilakukannya
sebuah usaha membangun pendidikan yang lebih baik dengan diarahkan
pada pembangunan manusia yang lebih utuh antara pengembangan
kemampuan dan pengembangan karakter untuk mewujudkan akhlak yang
mulia. Di negara kita di mana masyarakat sangat menghargai nilai-nilai
keagamaan, pendidikan dituntut untuk menjadi bagian dari
pengembangan kehidupan keberagamaan, dan bukan merupakan kegiatan
yang terpisah (sekuler) dari kehidupan keberagamaan masyarakatnya. Hal
ini menunjukkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari pendidikan
dalam usaha untuk membentuk karakter yang baik pada masyarakat.
Kondisi watak atau “karakter” manusia dewasa ini, sejak dari level
internasional sampai kepada tingkat personal individual, khususnya
bangsa Indonesia sendiri, terlihat mengalami disorientasi. Oleh karena itu,
harapan dan seruan dari berbagai kalangan untuk pembangunan kembali
watak atau karakter kemanusiaan menjadi semakin meningkat.
Nampaknya kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter sudah mulai
disadari oleh banyak kalangan di negeri kita.
Pada tingkat internasional, perdamaian masih jauh daripada berhasil
diwujudkan. Bahkan hari-hari kita sekarang ini masih menyaksikan,
konflik, kekerasan dan perang di berbagai bagian bumi. Kekerasan dan
pembunuhan terus terjadi, misalnya, di Timur Tengah antara Israel dan
Palestina, Iraq, dan Afghanistan, dan baru-baru ini kasus di Libya yang
terus bergejolak akibat pendudukan Amerika, Inggris dan sekutu-
sekutunya yang berkelanjutan, meski demokrasi seolah mulai men-
dapatkan akarnya di negeri-negeri ini.
Berbagai kekerasan yang mengorbankan nyawa dan harta benda
tersebut terkait dengan masih bertahannya “kekerasan struktural”
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 59

(structural violence) pada tingkat internasional baik dalam bidang politik,


ekonomi, militer, teknologi, informasi, dan sosial-budaya. Akibatnya,
perdamaian hakiki tidak atau belum pernah berhasil diwujudkan.
Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena
menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-
nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan
norma-norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai
contoh saja, gaya hidup hedonistik dan materialistik; dan permisif
sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada
berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan
dislokasi keluarga dan rumahtangga.
Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang ke luar dari
keluarga dan rumahtangga hampir tidak terkontrol perkembangan watak
dan karakternya. Banyak di antara anak-anak yang alim dan baik di
rumah, tetapi nakal di sekolah dan di luar sekolah, seperti terlibat dalam
tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan
kriminal lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-
anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner
beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah
(split personality).
Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini.
Sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut
kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru
dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini
sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter.
Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi
transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran
daripada pendidikan.
Dapatkah nilai-nilai moral keagamaan diajarkan sebagaimana
pengetahuan faktual di sekolah? Socrates dalam Kneller (1964: 30) mencoba
menjawab pertanyaan ini. Ia menyatakan bahwa guru dapat membawa
nilai-nilai ini ke dalam kesadaran siswa di sekolah. Masalah moral adalah
60 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

lebih dekat dengan kesadaran, bukan sekedar pengetahuan. Kebajikan,


dapat atau dengan kata lain bisa diajarkan, karena dengan mengajarkan
kebajikan tersebut bermaksud membantu siswa memahami dan lebih jauh
menjadi sadar akan hal itu. Namun pendidikan moral tidak hanya sampai
pada memahami dan membangun kesadaran saja, seorang siswa dikatakan
telah benar-benar belajar jika ia mampu bertindak atau melakukan perilaku
yang bermoral.

3.4  Pendidikan Karakter Berbasis Budaya 
Segala hasil pemikiran dan tindakan manusia dapat dimasukkan dalam
kategori kebudayaan. Kebudayaan menurut pengertian Tylor (1974) adalah
keseluruhan yang kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Geertz (1973),
mendefinisikan kebudayaan sebagai pola pemaknaan yang terwujud
dalam simbol-simbol yang secara historis dialihkan, suatu sistem
pemahaman yang diwariskan dan yang terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolik yang dipakai manusia berkomunikasi, melanggengkan dan me-
ngembangkan pengetahuannya tentang sikap-sikap terhadap kehidupan.
Kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara berarti buah budi
manusia, hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni
zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada
lahirnya bersifat tertib dan damai. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara
menyatakan pula, bahwa kebudayaan, yang berarti buah budi manusia,
adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni
alam dan zaman. Dalam posisi Indonesia yang majemuk, “kesatuan dalam
keragaman” adalah sebuah keharusan dan tidak perlu diperdebatkan.
Semakin lama pergaulan antar sesama bangsa Indonesia, pasti akan
semakin memperbanyak unsur-unsur yang sama, atau menurutnya,
kesatuan kebudayaan Indonesia itu hanya soal waktu.
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 61

Budaya manusia erat kaitannya dengan usaha sadar dari manusia


dalam penyelenggaraan pendidikan, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Tiga wujud budaya yaitu wujud ideal, wujud norma dan
wujud material yang salah satu media pewarisannya adalah melalui
pendidikan, baik di sekolah, dalam keluarga, dan dalam masyarakat.
Budaya mempunyai nilai-nilai yang biasa dinamakan nilai budaya.
Nilai budaya sifatnya abstrak, tidak tampak dan tidak dapat diraba. Tetapi
nilai budaya menjadi acuan masyarakat atau kelompok masyarakat yang
berhubungan dengan perilaku individu. Agar acuannya menjadi jelas,
maka kelompok masyarakat menciptakan norma, baik tertulis maupun
tidak tertulis, misalnya norma hukum, norma sopan santun, norma
kesusilaan, dan sebagainya.
Budaya, yang paling dalam (bukan sekedar perilaku yang nampak)
seperti telah disebutkan sebelumnya, terkait dengan nilai-nilai. Nilai di sini
diartikan sebagai konsep tentang yang baik dan yang diinginkan.
Pengertian tersebut datang dari Barat, namun dapat diterima juga di
Timur. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah kriteria apa yang
dipakai untuk menentukan yang baik dan yang diinginkan itu. Orang di
Barat lebih memakai pendapat akal (rasional empiris), sedang kita yang di
Timur lebih memakai pendapat agama. Akhirnya di sini terjadi perbedaan
tentang nilai-nilai (Harun Nasution, 1998: 289). Apa yang dianggap orang
Barat baik, oleh orang Timur bisa jadi dianggap sebaliknya.
Dimasukkannya nilai-nilai Barat ke Timur dapat menimbulkan kekacauan
nilai dalam masyarakat di Timur.
Pendapat di Barat menganggap agama sebagai hasil pemikiran
manusia, nilai-nilai agama disejajarkan dengan nilai-nilai ekonomi, politik,
pengetahuan, susila, dan sebagainya. Akibatnya nilai yang berkembang
berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Sebaliknya di
Timur, berpandangan bahwa nilai-ekonomi, politik, sosial, pengetahuan,
susila, dan sebagainya tidak bisa dilepaskan dari agama, agama yang
menjadi dasar dari nilai-nilai dalam berbagai kelompok. Dengan demikian
yang dimaksud dengan nilai-nilai kebudayaan nasional adalah nilai-nilai
kebudayaan nasional yang bernafaskan agama. Oleh karena itu,
62 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

pengintegrasian agama ke dalam pendidikan nasional akan sejalan dan


sesuai dengan sifat bangsa kita yang agamis. Pengintegrasian yang
demikian tidak akan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
Keresahan timbul selama ini karena konsep-konsep Barat yang didasarkan
atas filsafat yang sekular dibawa melalui pendidikan modern ke dalam
masyarakat agamis di Indonesia.
Pendidikan tidak dapat lepas dari kebudayaan dan hanya dapat
terlaksana dalam suatu masyarakat. Apabila kebudayaan mempunyai tiga
unsur penting yaitu kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan,
kebudayaan sebagai proses dan kebudayaan yang mempunyai suatu visi
tertentu, maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya
proses pembudayaan. Tidak ada suatu proses pendidikan tanpa
kebudayaan dan tanpa masyarakat dan sebaliknya tidak ada suatu
kebudayaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan, dan proses
kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi di dalam hubungan antar
manusia di dalam suatu masyarakat tertentu (HAR. Tilaar, 2002: 7).
Apabila ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis,
maka tugas tersebut merupakan suatu tugas pembangunan kembali
kebudayaan. Pendidikan di Indonesia dewasa ini telah terlempar dari
kebudayaan dan telah menjadi semata-mata alat dari suatu orde ekonomi
atau sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak
terlalu sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pendidikan nasional tidak
dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu
masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional.
Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan
alienasi dari subyek yang dididik dan seterusnya kemungkinan matinya
kebudayaan itu sendiri. Pendidikan merupakan suatu proses pem-
budayaan dan peradaban. Di dalam dunia yang terbuka dewasa ini proses
pendidikan haruslah menggabungkan kedua konsep tersebut, ialah mem-
bangun manusia yang berbudaya dan beradab.
Pentingnya penggabungan konsep antara pendidikan dan budaya
karena budaya adalah dasar terbentuknya kepribadian manusia. Dari
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 63

budaya dapat terbentuk identitas seseorang, identitas suatu masyarakat


dan identitas suatu bangsa. Dengan budaya itu pulalah seseorang akan
memasuki budaya global dalam dunia terbuka dewasa ini.
Pendidikan adalah suatu proses menaburkan benih-benih budaya
dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi
yang berkembang dan dikembangkan di dalam suatu masyarakat (HAR.
Tilaar, 2002: 9). Inilah pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan.
Kebudayaan bukanlah suatu yang statis tapi suatu proses. Artinya
kebudayaan selalu berada di dalam proses transformasi. Budaya yang
tidak mengalami transformasi melalui proses pendidikan adalah budaya
yang mati yang berarti pula suatu masyarakat yang mati.
Bila kita menggunakan budaya sebagai dasar dari pendidikan kita,
maka kita dituntut dua hal yakni tuntutan penyikapan terhadap nilai-nilai
yang berkembang di dalam masyarakat kita dengan segala dinamikanya,
dan kebiasaan pendidikan yang dilakukan agar anak-anak memiliki
budaya seperti yang dikehendaki. Keduanya harus terprogram dalam
pembelajaran dan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.
Kondisi keberagaman bangsa kita menurut Tilaar (2002) menuntut
pula adanya pendidikan yang diwujudkan dalam kondisi keberagaman
sesuai dengan falsafah bangsa kita Pancasila, sehingga anak-anak
merasakan keberagaman sebagai sesuatu yang alamiah. Perbedaan yang
ada tidak harus disamakan, biarkan perbedaan tetap berbeda, kesamaanya
adalah kesamaan dalam satu bangsa Indonesia dengan Pancasilanya.
Beberapa catatan untuk menetapkan wawasan budaya dari
pembangunan pendidikan kita, diantaranya: (1) budaya adalah dari dan
untuk manusia; (2) dengan budaya manusia membangun masyarakat dan
lingkungan dan lingkungan; (3) dengan budaya manusia membangun
pendidikan; (4) pendidikan melalui budaya terjadi kontekstual; (5)
pendidikan melalui budaya terjadi melalui proses; (6) membangun
manusia melalui budaya harus melibatkan fisik, akal, dan hati; (7) mem-
bangun manusia melalui budaya, maka nilai-nilai budaya itu harus
menyatu dengan dirinya menjadi nuansa batinnya, menjadi sikap dan
64 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

perilakunya serta menjadi dasar cara berpikirnya; (8) pembangunan


melalui kebudayaan berarti berkelanjutan yang bersifat konvergen (Dick
Hartoko, 1985: 37). Oleh karenanya pendekatan budaya untuk pem-
bangunan pendidikan merupakan tindakan proporsional, dan berdimensi
manusia yang akan menghasilkan kenyamanan manusia itu sendiri.
Paulo Freire (1999) menegaskan pula bahwa satu-satunya pendidikan
yang paling efektif adalah pendidikan dialogis. Dalam hal ini pendidik
menjadi subyek humanisasi yang merekonstruksi dan mentransformasi
peserta didik sebagai subyek didik sehingga pendidikan menjadi entitas
sosial, yaitu tempat hidup bersama bagi seluruh subyek didik. Untuk itu,
pendidikan tidak boleh memisahkan peserta didik dari seluruh konteks
budayanya. Sebab, manusia tidak dapat dicabut dari konteks hidupnya.
Pendidikan harus menjadikan manusia sebagai pusat dari aktivitasnya.
Manusia menjadi kritis dan humanis dalam melanjutkan dan memelihara
hidup dan dunianya di dalam keanekaragaman sosial. Inilah aktualisasi
dari manusia yang berpendidikan dan berkebudayaan, yaitu mem-
perjuangkan pola kehidupan yang harmonis dan keberagaman (agama,
suku, ras, budaya, dan golongan).
Tujuan pendidikan Indonesia meletakkan dasar-dasar yang kuat
dalam menopang pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Namun
dalam penyelenggaraannya telah mengalami degradasi yang sangat
mengkhawatirkan, di mana nilai-nilai kearifan lokal telah terbungkus oleh
kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan pribadi intelektual menjadi
ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan dalam
menempuh pendidikan, dan upaya penyeragaman kemampuan telah
membelenggu tumbuh dan berkembangnya keragaman kemampuan
sebagai pencerminan beragamnya kekayaan budaya bangsa. Sebagai
akibatnya, menipisnya tatakrama, etika, dan kreatifitas anak bangsa
menjadi fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dalam menata
pendidikan di masa yang akan datang. Oleh karena itu pendidikan budaya
dan karakter bangsa dipandang sebagai solusi cerdas untuk menghasilkan
peserta didik yang memiliki kepribadian unggul, berakhlak mulia, dan
menjunjung tinggi nilai-nilai keIndonesian secara menyeluruh.
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 65

Masyarakat yang cerdas hanya dapat dihasilkan melalui pendidikan


yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan
yang mengembangkan intelegensi akademik saja, tetapi perlu me-
ngembangkan seluruh spektrum inteligensi manusia meliputi berbagai
aspek kebudayaan. Pendidikan formal bukan hanya mengembangkan
inteligensi skolastik tetapi juga inteligensi emosional, inteligensi spatsial,
inteligensi interpersonal dan intra personal (Tilaar, 2000: 14). Sistem
pendidikan nasional harus memberikan kesempatan untuk perkembangan
spektrum yang luas itu.
Berdasarkan beberapa teori di atas, agama menempati posisi penting
dalam penanaman pendidikan karakter berbasis budaya, karena bangsa-
bangsa Timur beranggapan bahwa nilai ekonomi, politik, sosial,
pengetahuan, susila, dan sebagainya tidak bisa dilepaskan dari agama.
Agama yang menjadi dasar dari nilai-nilai dalam berbagai kelompok. Oleh
karenanya, dalam pendidikan karakter berbasis budaya tidak dapat
meninggalkan agama sebagai acuan norma dasarnya.

-oo0oo-
2 Judul Buku
BAB 4

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H. AHMAD


DAHLAN DAN KI HADJAR DEWANTARA

4.1  K.H. Ahmad Dahlan 
1. Latar belakang keluarga

K
H. Ahmad Dahlan adalah salah seorang tokoh pendidikan yang
dimiliki bangsa Indonesia. Ia lahir di Kauman, Yogyakarta pada
1 Agustus 1869, dan meninggal pada bulan Februari tahun 1923
(Munir Mulkhan, 2010:5). Muhammad Darwis adalah nama beliau pada
masa kanak-kanak, barulah ketika ia naik haji namanya berganti menjadi
Ahmad Dahlan. Ibu K.H. Ahmad Dahlan bernama Siti Aminah. Ayahnya,
K.H. Abu Bakar adalah seorang pejabat agama Kraton Yogyakarta, yaitu
seorang imam dan khatib Masjid Besar. Ia adalah putra ke-empat dari
enam bersaudara.
Kauman adalah nama sebuah kampung di Yogyakarta yang
mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri khusus ini menurut Ahmad Adaby
Darban (2010:1) tampak dalam masyarakatnya, pergerakan, dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Masyarakat Kauman
merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah.
Masyarakat yang demikian ini terjadi dari keluarga-keluarga.
Antarkeluarga itu kemudian terjadi pertalian darah. Menurut Wolf yang
dikutip dalam Ahmad Adaby Darban (2010:1) hubungan pertalian darah
antar keluarga yang terkumpul pada suatu tempat tertentu, kemudian
68 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

membentuk masyarakat yang mempunyai karakteristik tersendiri. Bentuk


masyarakat yang demikian itu mempunyai ikatan yang pekat dan tertutup.
Setiap warganya menegakkan ikatan kebersamaan, baik di dalam upacara
keagamaan, perkawinan, dan sukar untuk bisa menerima pengaruh serta
perpindahan penduduk dari luar.
Selain memiliki ciri khusus, Kauman juga mempunyai hubungan erat
dengan birokrasi kerajaan. Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan
adanya penempatan abdi dalem pamethakan yang bertugas dalam bidang
keagamaan, khususnya urusan kemasjidan, di sebuah lokasi khusus.
Beberapa abdi dalem itu kemudian membentuk masyarakat, yang disebut
dengan masyarakat Kauman. Lokasi tinggal dari masyarakat Kauman
tersebut disebut dengan nama kampung Kauman. Di tempat inilah,
Muhammad Darwis atau K.H. Ahmad Dahlan kecil lahir dan dibesarkan.
K.H. Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang
penuh dengan nuansa religius yang tinggi. Hal inilah yang rupanya
melatarbelakangi beliau tumbuh menjadi seorang ahli agama, karena sejak
kecil ia hidup dalam lingkungan yang didasari agama yang sangat kuat.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh K.H. Ahmad Dahlan telah
nampak sejak usia remaja. Disebutkan bahwa pada usia ini Ia sudah
menunjukkan sikap dan berbagai keunggulan, terutama dalam kecermatan
dan kehati-hatiannya dalam menghadapi persoalan, saat mengambil
keputusan dan bertindak. Kemampuan akal pikirannya dikembangkan
secara maksimal, sehingga kecerdasan, kedinamisan, serta kreatifitasnya
sudah mulai nampak.
Lingkungan keluarga yang agamis dan tenang telah membentuk
kepribadian K.H. Ahmad Dahlan. Disebutkan oleh Kyai Syuja (2010:5),
bahwa K.H. Ahmad Dahlan tumbuh menjadi sosok yang mempunyai budi
pekerti dan akhlak yang baik, selain juga memiliki semangat belajar yang
tinggi. Semangat belajar yang tinggi terlihat dari kegemarannya
mempelajari banyak buku atau kitab (Abdul Munir Mulkhan, 2010:7).
Rasa ingin tahunya yang besar, mendorongnya memanfaatkan setiap
kesempatan untuk belajar. Demikian pula ketika ia naik haji pada usia 22
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 69

tahun, yaitu pada tahun 1890, waktu yang ada dipergunakannya untuk
belajar pada Imam Syafi’i Sayyid Bakir Syantha selama sekitar 2 tahun.
Demikian pula ketika beliau sempat naik haji untuk kedua kalinya pada
tahun 1903 bersama putranya Siraj Dahlan, ia kemudian bermukim selama
1,5 tahun di Mekah untuk memperdalam ilmu fiqih dan ilmu hadits.
Sepulang menunaikan haji, beliau mendirikan pondok untuk menampung
para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta.
Keberangkatannya ke Mekah untuk pertama maupun kedua sebagian atau
seluruhnya disponsori pihak Kasultanan Yogyakarta, khususnya Sri Sultan
Hamengkubuwono ke VIII. Data ini menjawab hubungan K.H. Ahmad
Dahlan saat itu dengan pihak Kasultanan Yogyakarta. Ternyata hubungan
keduanya terjalin dengan baik sejak lama. Hal ini membuktikan tidak
adanya pertentangan antara gerakan Muhammadiyah yang dipimpin oleh
K.H. Ahmad Dahlan dengan kekuasaan Kerajaan Mataram Yogyakarta.
Di sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah (Heri Sucipto, 2010:51).
Sepulang dari Mekah, pada tahun 1889 M, saat itu ia berusia 24 tahun, ia
menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu
Haji Fadhil, yang kemudian dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan.
Lingkungan keluarga menjadi tempat belajar pertama bagi K.H.
Ahmad Dahlan tentang agama, yang selanjutnya membentuk
kepribadiannya. Latar belakang keluarga yang religius mempunyai andil
cukup besar, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat Kauman
tempatnya dibesarkan yang agamis, melatarbelakangi tumbuhnya seorang
K.H. Ahmad Dahlan menjadi seorang ahli agama. Semangat belajarnya
yang tinggi ditunjukkan dengan kegemarannya membaca, dan
semangatnya untuk belajar dan mendalami ilmu agama di Mekah, di
sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam.
70 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

2. Latar Belakang Pendidikan


K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah menjalani pendidikan formal dengan
memasuki sekolah tertentu. Ia menguasai beragam ilmu yang diperoleh
secara otodidak (dari belajar sendiri), berguru kepada ulama atau seorang
ahli, dengan membaca buku atau kitab-kitab. Beberapa ilmu yang dikuasai
atau pernah dipelajari antara lain ilmu-ilmu: nahu (tata bahasa Arab); fiqih;
falaq (perbintangan; hadits; qiro’atul qur’an; pengobatan dan racun; filsafat;
dan tasawuf. Membaca dan menulis ia pelajari dari ayahnya sendiri.
K.H. Ahmad Dahlan pernah menuntut ilmu dari beberapa guru dan
kiai. Guru-guru kiai tempat belajarnya sebagian berasal dari dalam negeri
dan lainnya dari luar negeri, khususnya Saudi Arabia (Abdul Munir
Mulkhan, 2010:7). Beberapa guru kiai yang disebutkan adalah: (1) ayahnya
sendiri; (2) K.H. Mohammad Sholeh (kakak iparnya) untuk ilmu fiqih; (3)
K.H. Muchsin dan K.H. Abdul Hamid untuk ilmu nahu; (5) K.H. Raden
Dahlan dari Pondok Termas untuk ilmu falaq; (6) Syech Khayyat untuk
ilmu hadits; (7) Syech Amin dan Sayyid Bakri Satock untuk qiro’atul Qur’an;
(8) Syech Hasan untuk ilmu pengobatan dan racun; (9) Sayyid Ba-bussijjil
untuk ilmu hadits; (10) Mufti Syafi’i untuk ilmu hadits; (11) Kiai Asy’ari
Baceyan dan Syech Misri dari Mekah untuk qiro’atul Qur’an dan falaq.
Selama bermukim di Mekah, K.H. Ahmad Dahlan sempat bertemu
dan berdialog dengan beberapa ulama baik dari dalam maupun luar
negeri. Di antara para ulama tersebut adalah: Syech Muhammad Khatib
dari Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kiai Faqih dari Pondok Mas Kumambang Gresik. Banyak
buku dan kitab karya ulama besar yang dipelajarinya secara mandiri.
Kitab-kitab seperti karya Imam Syafi’i, Imam al Ghazali, Ibnu Taimiyah,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridla.
Pada tahun 1903, K.H. Ahmad Dahlan kembali menunaikan ibadah
haji dengan membawa putranya yaitu Muhammad Siradj.
Keberangkatannya yang kedua ini atas bantuan biaya dari Sultan
Hamengkubuwono VII, dengan tujuan mempelajari masalah Kiblat lebih
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 71

mendalam, saat itu masjid didirikan dengan arah kiblat yang tidak tepat
karena pembangunannya bukan berdasar kepentingan agama, tetapi untuk
ketertiban pembangunan negara. Ia kembali mempelajari dan mendalami
ilmu-ilmu agama yang sudah ia dapatkan sebelumnya dan tercatat sebagai
murid dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang juga guru dari
pendiri Nadhatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asyari. Pada periode kedua
kehadirannya di Mekah ini K.H. Ahmad Dahlan juga mempelajari
pembaruan Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh tokoh-
tokoh pembaru seperti Jamaludin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad
Abduh, dan juga Muhammad Rasyid Ridha (pengarang tafsir Al-Manar).
Meskipun tidak pernah menempuh pendidikan formal, K.H. Ahmad
Dahlan mempelajari beragam ilmu dengan cara berguru kepada para
ulama dan para ahli. Beberapa guru tempatnya menuntut ilmu, mulai dari
ayahnya sendiri, kakak iparnya, sampai beberapa guru dari Saudi Arabia.
Dari beragam ilmu yang dipelajarinya, beliau mempunyai pandangan
hidup dan pemikiran yang jauh ke depan, mendahului generasi pada
zamannya. Cita-citanya tentang pendidikan anak pribumi mendasari gerak
perjuangannya dalam bidang pendidikan.

3. Pengalaman Organisasi
Selain aktif menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah K.H.
Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
sukses dengan berdagang batik. Sambil melakukan aktivitas perdagangan
ini, beliau selalu menyempatkan diri untuk bertabligh. Perjalanan dagang
sekaligus dakwahnya di kota-kota di Jawa Timur, seperti di Ponorogo,
Blitar, Sumberpucung, Kepanjen, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi.
Sebelum Muhammadiyah berdiri K.H. Ahmad Dahlan telah
melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Ia
diangkat menjadi khatib Masjid Besar dengan gelar Ketib Amin (Munir
Mulkhan, 2010:9). Satu tahun kemudian beliau memelopori Musyawarah
Alim Ulama, dalam rapat tersebut disampaikannya pendapat bahwa arah
72 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

kiblat Masjid Besar Yogyakarta kurang tepat. Sejak itulah arah kiblat
Masjid Besar digeser agak ke kanan oleh para muridnya. Kegiatan tersebut
memberi inspirasi tentang pentingnya persatuan ulama.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, terdorong oleh rasa
kebangsaan dan keinginan mempelajari tata organisasi, K.H. Ahmad
Dahlan memasuki perkumpulan Budi Utomo dan menjadi salah seorang
pengurusnya. Ia banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman sekaligus
mempunyai kesempatan untuk bicara masalah agama Islam dan akhlak
yang mulia di perkumpulan tersebut (Djarnawi Hadikoesoemo, 1973:64).
Di Budi Utomo pula, K.H. Ahmad Dahlan mempelajari persoalan politik.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa K.H. Ahmad Dahlan
bergabung dengan Budi Utomo pada tahun 1909, dengan tujuan di
samping sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar
aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya (Munir
Mulkhan, 2010:10). Selain di Budi Utomo, beliau juga sempat aktif di
organisasi Jami’iyatul Khair, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng
Nabi Muhammad saw. Keanggotaan K.H. Ahmad Dahlan dalam Budi
Utomo memberi kesempatan berdakwah kepada anggotanya dan mengajar
agama Islam kepada para siswa yang belajar di berbagai sekolah Belanda.
Sekolah-sekolah tersebut antara lain: kweekschool di Jetis setiap hari Sabtu
dan Ahad, OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren atau Sekolah
Pamong Praja) di Magelang. Kegiatan dakwah kepada anggota Budi
Utomo banyak dilakukan di rumahnya sendiri di Kauman.
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah pertamanya yaitu
Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) antara tahun 1908-1909 (Munir
Mulkhan, 2010:11). Sekolah ini diselenggarakan di ruang tamu rumahnya
yang berukuran 2,5 x 6 m. sekolah tersebut sudah mulai dikelola secara
modern dengan mempergunakan metode dan kurikulum modern.
Peralatan seperti papan tulis, meja atau kursi telah dipergunakan.
Pengajaran dilakukan dengan sistem klasikal. Saat pertama kali dibuka,
muridnya hanya enam orang, namun setengah tahun kemudian meningkat
menjadi 20 orang.
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 73

Akhirnya pada tahun 1912 bersama temannya dari Kauman, seperti


Kyai Syuja, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji Syarkawi, dan
Haji Abdul Ghani, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk mewujudkan cita-cita pembaruan Islam. Organisasi
ini dipimpin langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan. Upacara peresmian
Muhammadiyah dilakukan pada bulan Desember 1912 bertempat di
Malioboro dan dihadiri sekitar 70 orang. Hubungan Muhammadiyah
dengan Budi Utomo menjadi semakin erat, sehingga kongres Budi Utomo
tahun 1917 diselenggarakan di rumah K.H. Ahmad Dahlan.

4. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan


Kegelisahan para tokoh pendidikan, termasuk juga K.H. Ahmad Dahlan
merupakan bentuk jawaban dari ketidakpuasan mereka terhadap kondisi
bangsa yang terjajah. Dunia pendidikan ternyata tidak luput pula dari
pengaruh kepentingan penjajah. Pendidikan yang sifatnya intelektualistis
dan hanya berorientasi untuk mendapatkan pegawai yang dapat digaji
murah mewarnai corak pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
kolonial saat itu (Nasution S., 2001:4). Dunia pendidikan telah diracuni
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda demi kepentingan pribadi dan
kelangsungan hidup mereka di tanah jajahan. Berangkat dari keprihatinan
itulah yang mendorong perjuangan melalui bidang pendidikan menjadi
perhatian serius K.H. Ahmad Dahlan saat itu. Hanya dengan
pendidikanlah bangsa ini bisa maju dan terbebas dari cengkeraman kaum
imperialis.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda di Indonesia
tidak bertujuan untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, namun murni
untuk mendukung kepentingan kolonialisme. Beberapa prinsip yang oleh
pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang
pendidikan antara lain: (1) menjaga jarak atau tidak memihak salah satu
agama tertentu; (2) sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan
sosial, khususnya yang ada di Jawa; (3) pendidikan diukur dan diarahkan
untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai
pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
74 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial saat itu masih


terbatas pada calon-calon pamong praja. Sementara anak aristokrat ada
yang dididik dalam rumahnya sendiri, pendidikannya ditujukan untuk
mempertinggi budi pekerti dan kepandaian bergaul, ditambah dengan
adat istiadat nenek moyang. Bahkan untuk kaum perempuan, pelajaran
hanya terbatas pada pengetahuan kehidupan dalam rumah tangga, yang
bertujuan membekali agar kelak dapat menjadi istri yang baik. Kondisi
demikian, yang paling menderita adalah rakyat biasa, karena pada
umumnya mereka tidak mampu mengenyam pendidikan. keberadaan
pondok pesantren saat itu menjadi pilihan satu-satunya bagi rakyat biasa.
Sementara pondok pesantren sendiri saat itu masih belum terbuka dengan
dunia luar bahkan cenderung menolak semua pengaruh yang datang dari
Barat, seperti cara berpakaian, huruf latin, dan ilmu-ilmu yang datang dari
Barat.
Akibatnya terjadi dikotomi ilmu, pemisahan antara pendidikan
agama dan pendidikan sains Barat. Di satu pihak lembaga-lembaga
pendidikan Islam saat itu tidak bisa menghasilkan ilmuwan, dan di pihak
lain pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda sama
sekali tidak memperhatikan masalah-masalah kehidupan keakhiratan,
hanya mementingkan kehidupan keduniawian.
Melihat kondisi sosial pendidikan umat Islam saat itu, K.H. Ahmad
Dahlan tergerak melakukan aktivitas pendidikan dengan menerapkan
sistematika kerja organisasi ala Barat. Melalui pelembagaan amal
usahanya, ia melakukan penangkalan budaya atas penetrasi pengaruh
kolonial Belanda dalam kebudayaan, peradaban, dan keagamaan,
utamanya adalah intensifnya upaya Kristenisasi yang dilakukan melalui
misi zending dari Barat (Alwi Shihab, 1998).
Keprihatinan melihat kondisi masyarakat pribumi yang
terbelakanglah yang akhirnya melatarbelakangi perlunya didirikan
lembaga-lembaga pendidikan melalui wadah organisasi Muhammadiyah
oleh K.H. Ahmad Dahlan. Beberapa tahun sebelum Muhammadiyah resmi
berdiri, K.H. Ahmad Dahlan sudah menyelenggarakan model sekolah yang
kemudian dikenal sebagai proyek modernisasi pendidikan Islam. Ide-ide
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 75

kreatif beliau yang pada masa itu seringkali mendapat reaksi keras dan
tuduhan sekuler hingga pengkafiran, dimaksudkan untuk membuktikan
kegunaan praktis dan pragmatis ajaran Islam bagi kehidupan manusia
(Abdul Munir Mulkhan, 2010:140). Begitu yakin beliau mengembangkan
aksi sosial dan kebudayaan karena didasari konsepnya tentang kebenaran
dan kebaikan yang berkesusaian antara teks dan konteks.
Gagasan dasar K.H. Ahmad Dahlan terletak pada konsepnya tentang
kesempurnaan budi yang lahir karena pengertian baik-buruk, benar-salah,
kebahagiaan-penderitaan, dan bertindak berdasar pengertian itu. Kondisi
ini dicapai jika akalnya sempurna, yakni akal kritis dan kreatif-bebas yang
diperoleh dari belajar.
Sistem pendidikan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah
pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan
menggunakan sistem klasikal. Saat itu sistem ini masih cukup langka
dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam. Ia menggabungkan sistem
pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.
Pembaruan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam dunia
pendidikan adalah pemberian pengetahuan umum di samping
pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Pengetahuan umum merupakan hal yang penting bagi kemajuan
umat Islam. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, kunci persoalan peningkatan
kualitas hidup dan kemajuan umat Islam adalah pemahaman terhadap
berbagai ilmu pengetahuan yang sedang berkembang dalam tata
kehidupan masyarakat. K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan pesan kepada
para penerusnya, “menjadilah insinyur, guru, mester, dan kembalilah
berjuang dalam Muhammadiyah”.
K.H. Ahmad Dahlan menempatkan akal dan logika sebagai basis
pengetahuan. Apa yang disebutnya dengan Ilmu manthiq atau logika
merupakan langkah metodik untuk memperoleh pengetahuan tertinggi.
Hal itu merupakan warisan berharga yang perlu dikembangkan lebih jauh
(Abdul Munir Mulkhan, 1990:15).
76 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Visi pendidikan yang digagas Muhammadiyah tercermin dari ide-ide


dasar yang merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana
diinginkan pendirinya, yaitu “menciptakan kiai intelek dan intelek yang
kiai atau ulama yang intelek, dan intelek yang ulama”. Hal ini sejalan
dengan nasehat yang seringkali dikemukakan di hadapan murid-muridnya
sebagai berikut: “dadiyo kiai sing kemajuan, lan kanggo Muhammadiyah”, atau
jadilah ulama yang berpikir maju, dan jangan berhenti untuk kepentingan
pengabdian kepada organisasi Muhammadiyah.
Berdasarkan visi tersebut maka sistem pendidikan yang dibangun
Muhammadiyah berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan pesantren
dan sekuler dalam bentuk lembaga sekolah. Bahkan menurut Deliar Noor
(1985:118), modernisme Muhammadiyah dalam bidang pendidikan jauh
mengalahkan Al Azhar Kairo, yang pada saat yang sama masih
menerapkan sistem pendidikan tradisional Islam.
Usaha modernisasi dan pembaharuan dalam bidang pendidikan
Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada awal didirikannya
Muhammadiyah tampak dari pengembangan kurikulum yang dilakukan
yaitu: mendirikan tempat-tempat pendidikan di mana ilmu agama dan
ilmu umum diajarkan bersama-sama; dan memberikan tambahan pelajaran
agama pada sekolah-sekolah umum yang sekuler. Dengan demikian K.H.
Ahmad Dahlan menjadi peletak dasar pemikiran konsep pendidikan
seperti yang saat ini sedang berjalan di Indonesia. Menurutnya
pelaksanaan pendidikan hendaknya berdasarkan pada landasan yang
kokoh, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka
filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik
secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal (makhluk).
Pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh K.H.
Ahmad Dahlan terlihat dari pengembangan bentuk pendidikan dari model
pondok pesantren dengan menerapkan metode sorogan, bandongan, dan
wetonan, menjadi bentuk madrasah atau sekolah dengan menerapkan
metode belajar secara klasikal. Adapun tujuan pendidikan lebih difokuskan
pada pembentukan akhlak manusia.
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 77

Guna mencapai tujuan tersebut, materi pendidikan menurut K.H.


Ahmad Dahlan adalah pengajaran Al Quran dan Hadits, membaca,
menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi Al Quran dan
Hadits meliputi ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia
dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran Al
Quran dan Hadits menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-
kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak,
demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan
dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (Hery Sucipto, 2010:120-
121).
Pandangan K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam bertitik
tolak dari upaya pengembangan akal melalui proses pendidikan yang pada
akhirnya akan bermuara pada tumbuhnya kreatifitas dan memberikan
implikasi bagi warga Muhammadiyah untuk memiliki semangat tajdid
(pembaharuan) dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, sejak
berdirinya Muhammadiyah lebih mengedepankan kreatifitas. Hal ini
sejalan dengan jiwa pembaharuan yang dicita-citakan yaitu me-
ngembangkan nalar, menolak bid’ah, khurafat, dan taklid, serta
mengutamakan ijtihad. Dari sini K.H. Ahmad Dahlan mengharapkan para
lulusannya mampu menampilkan wawasan yang luas, tidak kolot, serta
menjadi pribadi yang bebas (Abdul Munir Mulkhan, 1990:45).
Menurut data yang dikemukakan Deliar Noer (1985), pendidikan
Muhammadiyah menerapkan sekolah dengan memberi muatan
pendidikan keagamaan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 1925
Muhammadiyah memiliki delapan HIS (Hollands Inlandsche School), sebuah
kweekschool atau sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun,
dan 14 buah schakelschool, seluruhnya meliputi sebanyak 119 orang guru
dan 4.000 murid. Pada tahun 1929, organisasi ini telah memiliki 31
perpustakaan umum dan 1.774 sekolah.
Berdasarkan data-data di atas, nampak bahwa sekolah
Muhammadiyah lebih menekankan pengembangan ilmu umum dengan
peranan sekolah yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan dengan
78 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

pembaharuan sistem pendidikan yang dikembangkan K.H. Ahmad


Dahlan. Sesuai dengan tujuan umum pendidikan Muhammadiyah yang
digagasnya, yang mencakup: baik budi, alim dalam agama; luas
pandangan; alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum); dan bersedia berjuang
untuk kemajuan masyarakatnya.
Sebagai seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan,
K.H. Ahmad Dahlan menekankan pentingnya pengelolaan pendidikan
Islam yang dilakukan secara modern dan profesional. Dengan demikian
diharapkan lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan peserta
didik menghadapi dinamika zamannya. Oleh karena itu, menurutnya
pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Berdasarkan konsep pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa: (1) pendidikan berdasar pada
landasan agama, dengan tujuan untuk mewujudkan perkembangan
manusia yang berakhlak mulia; (2) penyatuan yang harmonis antara
pendidikan agama dan pendidikan umum, agar manusia dapat
mengembangkan pencapaian kebutuhan spiritual dan material; (3)
penghargaan terhadap pendidikan akal, agar membangun manusia kreatif
yang dapat melakukan pembaharuan (tajdid); (4) praktik agama yang
dinamis, yaitu agama sebagai amalan untuk perbaikan kehidupan, bukan
sekedar ritual dan pemahaman tekstual.

4.2  KI HADJAR DEWANTARA 
1. Latar Belakang Keluarga
Lingkungan keluarga mempunyai arti dan pengaruh yang besar bagi
pelaksanaan pendidikan seseorang. Ki Hadjar Dewantara terlahir dengan
nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat (selanjutnya ditulis R.M. Suwardi
Suryaningrat) pada 2 Mei 1889. Ia berasal dari keluarga bangsawan,
tepatnya Kadipaten Pura Pakualaman Yogyakarta. R.M. Suwardi
Suryaningrat adalah putera keempat dari Pangeran Surjaningrat, putera
sulung dari Paku Alam III, ibunya bernama Raden Ayu Sandiyah, yang
merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang, seorang keturunan Sunan
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 79

Kalijaga. Ia kemudian menikah dengan sepupunya, R.Aj. Sutartinah yang


kemudian dikenal dengan sebutan Nyi Hadjar Dewantara (Bambang
Sukawati, 1989:2).
Raden Mas adalah gelar kebangsawanan Jawa yang otomatis melekat
pada seorang laki-laki keturunan ningrat dari keturunan kedua hingga
ketujuh dari raja atau pemimpin yang terdekat (secara silsilah) yang
pernah memerintah. Gelar ini dipakai di semua kerajaan di Jawa pewaris
Kerajaan Mataram.
Tempat kediaman K.P.H. Suryaningrat ada di sebelah timur Pura
Paku Alaman. Demikian pula rumah G.P.H Sasraningrat, ayah Nyi Hadjar
Dewantara. Seperti lazimnya rumah para bangsawan di Jawa, pada rumah
para pangeran itu terdapat pendapa dan dalem. Di halaman yang sama
terdapat rumah-rumah para sentono (keluarga) yang magersari (ikut
bertempat tinggal).
Menurut Ki Hadjar Dewantara, ciri khas kerabat Paku Alam ialah
kecenderungan akan kesasteraan dan mempelajari kesenian (Darsiti
Soeratman, 1989:12). Hingga saat ini, setiap keturunan dapat menghasilkan
seorang atau lebih yang mempelajari sastra dan kesenian. Sri Paku Alam III
mengarang Serat Darmo Wirayat, berbentuk syair dan berisi pelajaran
tentang kesusilaan.
Masa muda R.M. Suwardi Suryaningrat dipengaruhi oleh suasana
kesusasteraan Jawa, agama Islam, serta pembicaraan-pembicaraan tentang
ajaran yang dipengaruhi oleh Hinduisme dengan ayahnya. Suasana
kesenian dengan cabang-cabangnya, kesenian gending, seni suara dan seni
sastra tidak asing baginya (Abdurrachman Surjomihardjo, 1986: 52).
Pengiriman putera-putera kerabat Paku Alam ke sekolah Belanda
ternyata tidak merusak pendidikan nasional Jawa, sebab di istana Paku
Alam, selalu disediakan guru untuk mengajar sejarah, kesastraan dan
kesenian dalam arti yang luas. Hal semacam ini juga berlaku bagi R.M.
Suwardi Suryaningrat dan saudara-saudaranya. Pelajaran tentang agama
didapatkan dari ayahnya, yaitu K.P.H. Suryaningrat. Selain ajaran Islam, ia
juga mendapat pelajaran berupa ajaran lama yang dipengaruhi oleh filsafat
80 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Hindu yang terserat dalam cerita wayang. Pelajaran tentang seni sastra,
gending, dan seni suara diberikan pula secara rutin.

2. Latar Belakang Pendidikan


R.M. Suwardi Suryaningrat meneruskan pendidikan agama dari Pesantren
Kalasan di bawah asuhan K.H. Abdurrahman. Sejak kecil Ia dinilai
istimewa, K.H. Abdurrahman menjulukinya sebagai “jemblung trunogati”
yaitu anak kecil berperut buncit, tapi mampu menghimpun pengetahuan
yang luas (Suparto Rahardjo, 2010:10).
R.M. Suwardi Suryaningrat menempuh pendidikan dasar di ELS
(Europeesche Lagere School), adalah sekolah dasar pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Di sekolah ini menggunakan bahasa pengantar bahasa
Belanda. Sekolah ini awalnya diperuntukkan bagi warga Belanda di Hindia
Belanda, namun sejak 1903, kesempatan belajar juga diberikan kepada
orang-orang pribumi yang mampu dan warga keturunan timur asing
(Cina).
Setelah tamat dari ELS, R.M. Suwardi Suryaningrat meneruskan
pelajarannya ke kweekschool (sekolah guru Belanda). Ia hanya menjalaninya
selama satu tahun dan pindah ke STOVIA (sekolah dokter untuk bumi
putera) di Jakarta (Batavia) dari tahun 1903 sampai tahun 1909. Ia
mendapatkan beasiswa di STOVIA karena kecerdasannya dan mampu
menguasai bahasa Belanda dengan baik (Suparto Rahardjo, 2010:10). Saat
itu pemerintah kolonial Belanda memberikan keistimewaan kepada para
bangsawan dan anak ambtenaar (pegawai negeri) untuk mendapatkan
sekolah yang lebih baik daripada warga biasa, fasilitas inilah yang
dimanfaatkan Suwardi untuk meneruskan sekolah di STOVIA. Di sinilah
R.M. Suwardi Suryaningrat mulai mengenal politik.
Berbagai peraturan yang diberlakukan di STOVIA membuat banyak
pelajar pribumi termasuk R.M. Suwardi Suryaningrat merasa tidak puas.
Aturan seperti larangan memakai pakaian secara Eropa bagi pelajar-pelajar
asal Jawa dan Sumatera yang tidak beragama Kristen, mereka hanya
diperbolehkan mengenakan pakaian adat masing-masing. Peraturan ini
oleh para pelajar tersebut diterjemahkan sebagai usaha supaya mereka
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 81

kelak harus puas dengan gaji lebih kecil yang akan diterimanya, apabila
dibandingkan dengan jabatan-jabatan dalam pemerintahan lain, yang
diduduki oleh orang-orang yang lebih rendah pendidikannya. Selain itu
aturan tersebut juga dinilai sebagai tanda kedudukan yang lebih rendah di
mata orang Eropa. Di samping itu diberlakukan juga aturan yang dinilai
aneh, yaitu larangan merayakan Idul Fitri oleh pelajar-pelajar Stovia
(Abdurrachman Surjomihardjo, 1986:53).
R.M. Suwardi Suryaningrat masuk STOVIA dengan bantuan sang
kakak Surjopranoto. Ia bersekolah selama lima tahun, namun tidak sampai
lulus dan terpaksa keluar karena sakit selama empat bulan, akhirnya tidak
naik kelas dan beasiswanya dicabut. Sebenarnya ada alasan lain yang
sifatnya politis di balik kasus pencabutan beasiswa tersebut. Pencabutan
beasiswa dilakukan sesaat setelah R.M. Suwardi Suryaningrat
membacakan sebuah sajak dalam sebuah pertemuan. Sajak itu
menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, panglima
perang andalan Pangeran Diponegoro (Mohammad Tauchid, 1968:11).
Sajak itu kemudian digubah dalam bahasa Belanda oleh Multatuli. Pagi
hari setelah pembacaan sajak itu, Ia dipanggil dan dimarahi oleh direktur
STOVIA, karena dianggap telah membangkitkan semangat memberontak
terhadap pemerintah kolonial.
Pada sumber lain disebutkan bahwa alasan keluarnya R.M. Suwardi
Suryaningrat dari Stovia disebabkan karena biaya untuk meneruskan
pelajaran tidak mencukupi lagi. Selanjutnya ia bekerja sebagai analis pada
pabrik gula Bojong, Purbalingga, kemudian kembali lagi ke Yogyakarta
dan bekerja pada apotik Rathkamp. Dari lingkungan pekerjaan kimia dan
obat-obatan, mulailah ia tertarik kepada kewartawanan dan ia menjadi
pembantu di surat kabar Sedjatama, Midden Java, De Express dan Oetoesan
Hindia. Aktivitas menulisnya kemudian dimulai dari sana. Bermacam kritik
yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda dituangkannya lewat
tulisan, yang berakibat akhirnya ia sempat keluar masuk penjara. Terakhir
ia harus menerima hukuman pengasingan di negeri Belanda, atas
tulisannya yang mengkritik kebijakan kolonial yang dimuat harian De
Expres yang berjudul “Als ik een Nederlander was”.
82 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pada waktu ia tinggal di Belanda sebagai orang buangan, R.M.


Suwardi Suryaningrat dikenal sebagai ahli sastra Jawa. Sejak kecil ia
memang telah dilatih mendalami sastra dan kesenian Jawa lainnya,
sehingga ia menguasai betul tentang itu. Ia mendapat undangan dari
Panitia Kongres Pengajaran Kolonial I di Den Haag untuk ikut serta dalam
kongres tersebut (1916) dan diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
Suwardi selalu berpendapat bahwa pendidikan kesenian adalah sangat
penting, karena pendidikan kesenian yang disebut pula pendidikan estetis
dimaksudkan untuk menghaluskan perasaan terhadap segala benda lahir
yang bersifat indah. Pendidikan estetis ini melengkapi pendidikan etis atau
pendidikan moral, yang bermaksud menghaluskan hidup kebatinan anak.
Dengan pendidikan etis ini anak-anak dapat mengembangkan
perasaannya: religius, sosial, individual, dan sebagainya (Darsiti
Soerahman, 1989:15).
Selain kegiatan-kegiatan yang bercorak politik, sebagian dari
kehidupan R.M. Suwardi Suryaningrat di negeri Belanda juga dicurahkan
kepada soal-soal pengajaran. Hal ini merupakan akibat logis dari jalannya
pergerakan, karena sejak lahirnya pergerakan nasional, suatu gejala yang
penting ialah adanya keinginan yang bertambah luas kepada pengajaran.
Penyebabnya, karena salah satu ciri yang jelas terlihat dalam hubungan
kolonial adalah kurangnya perhatian pemerintah jajahan dalam usaha
kemasyarakatan, terutama dalam hal pendidikan dan pengajaran.
Pengajaran akan membawa suatu bangsa jajahan ke arah kemajuan dan
dapat menjadi bahaya bagi kedudukan pemerintah, yang mempertahankan
sistem kasta di daerah jajahan dengan keras. Berdasarkan pemikiran
terhadap pentingnya pengajaran tersebut, maka di samping kegiatan-
kegiatan kewartawanan dan politik, ia juga belajar lagi untuk
mendapatkan akte pengajaran Eropa, yang sangat dihargai dan sukar
untuk mendapatkannya di Hindia Belanda.
Konsep pendidikannya yang egaliter membuat R.M. Suwardi
Suryaningrat akhirnya mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara,
dengan konsekuensi menanggalkan gelar kebangsawanan miliknya.
Dengan nama baru tersebut, ia berusaha menunjukkan prinsip
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 83

kebersamaan, bahwa pengajaran bukan hanya untuk kalangan priyayi tapi


untuk semua kalangan masyarakat bumi putera.

3. Pengalaman Organisasi
Selama menempuh pendidikan di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara aktif
mengikuti perkumpulan Pirukunan Jawi yang dianggap seagai embrio dari
organisasi Budi Utomo. Setelah keluar dari STOVIA, ia bekerja sebagai
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaya Timoer, dan Poesara. Ia juga
menerbitkan surat kabar Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak (Suparto
Rahardjo, 2010:12).
Ki Hadjar Dewantara aktif berkiprah pula dalam organisasi sosial-
politik. Pada tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Budi Utomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara pada waktu itu. Kemudian bersama Douwes Dekker dan dr.
Cipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indische Partij pada 25 Desember
1912. Ini adalah partai pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia dan
bertujuan mencapai Indonesia merdeka (Mohammad Tauchid, 1968:10).
Ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai “Tiga Serangkai”.
Sebagai sebuah partai, Indische Partij ini gagal memperoleh status
badan hukum, karena perizinannya ditolak oleh Gubernur Jenderal
Idenburg pada 11 maret 1913. Alasan penolakan karena organisasi ini
dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakkan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda.
Menyusul ditolaknya Indische Partij, Ki Hadjar Dewantara ikut
membentuk Komite Bumiputera pada November 1913. Komite ini sebagai
tandingan dari komite perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa
Belanda (Suparto Rahardjo, 2010:13). Komite Bumiputera melancarkan
kritik terhadap pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus
tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik
uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
84 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Sebagai kritikan, Ki Hadjar Dewantara membuat tulisan berjudul Als Ik


Eens Nederlander Was (seandainya aku seorang Belanda) yang dimuat
dalam majalah de Express milik Douwes Dekker dan Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een (satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga).
Akibat tulisan tersebut, pemerintah kolonial menjatuhkan hukuman
tanpa proses pengadilan kepada Ki Hadjar Dewantara, berupa hukuman
internering (hukum buang), yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk
sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal.
Ki Hadjar Dewantara dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker
dan Cipto Mangunkusumo menyusul mendapat hukuman internering
setelah memprotes hukuman yang diberikan kepada Ki Hadjar Dewantara,
Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangunkusumo dibuang
ke Pulau Banda. Namun ketiganya menghendaki dibuang ke Belanda,
dengan tujuan agar mereka bisa mempelajari banyak hal daripada di
daerah terpencil (Bambang Sukowati, 1989:15). Akhirnya, mereka diizinkan
ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan
hukuman.
Sebelum berangkat ke negeri Belanda Ki Hadjar Dewantara menikah
dengan Raden Ayu Sutartinah Sasraningrat pada 1907. Ia adalah cucu Sri
Paku Alam III dan merupakan sepupunya sendiri yang kemudian dikenal
sebagai Nyi Hadjar Dewantara. Masa pembuangan di Belanda
dimanfaatkan oleh Suwardi untuk mendalami masalah pendidikan dan
pengajaran. Suwardi bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-kanak
(Frobel School) guna menunjang kebutuhan hidup dan menabung biaya
pulang ke tanah air, karena biaya hidup dari pemerintah kolonial yang
terbatas dan hanya diperuntukkan untuk satu orang.
Saat berada dalam pembuangan di Belanda, Ki Hadjar Dewantara
mulai menggagas kemerdekaan Indonesia melalui pembangunan bidang
pendidikan nasional. Selama di pengasingan ia memperdalam ilmu
pendidikan hingga mendapatkan sertifikat sebagai pendidik. Bahkan teori
tentang kontinuitas, konvergensi, dan konsentrisme telah dipraktikkannya
sejak ia menuntut ilmu pendidikan di Belanda. Ilmu pendidikan Barat
yang ia dapat berusaha disaring, ia ingin mengambil manfaat pendidikan
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 85

ala Barat bagi bangsa Indonesia, tetapi pendidikan tersebut harus tetap
berpijak kepada akar budaya tanah air.
Pada tahun 1919 Suwardi berhasil kembali ke Indonesia dan
mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan. Ia bersama rekan-rekan seperjuangannya
kemudian mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, yaitu
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa)
pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan
berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

4. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan


Sebelum didirikannya Tamansiswa, Suwardi ikut menyelenggarakan
sekolah Adhi Dharma yang didirikan oleh kakaknya, yaitu Surjopranoto
pada tahun 1915. Di sekolah inilah pertama kali dipraktikannya
pengalaman tentang pendidikan yang diperoleh dari Belanda. Suwardi
menyatakan di dalam rapat-rapat perkenalan dengan masyarakat
Yogyakarta bahwa metode yang digunakan ialah metode Meontessori-
Tagore yang disesuaikan. Unsur-unsur metode pendidikan Montessori
yang diambilnya ialah “memelihara suasana kebebasan dan menghormati
invidualitas.”
Montessori dan Tagore menurut Ki Hadjar Dewantara adalah
pembongkar dunia pendidikan lama serta pembangun aliran baru, aliran
yang sesuai dengan aliran kita, yang diambil dari adat pendidikan yang
masih hidup dalam masyarakat kita atau masih tampak bekas-bekasnya,
yaitu aliran yang disebut kultural-nasional. Montessori dan Tagore
menganggap bahwa pendidikan dan pengajaran di Eropa sangat me-
nyuburkan intelektualitas, tapi mematikan perasaan, sehingga mem-
balikkan derajat budi menjadi mesin semata.
Perbedaan antara aliran Montessori dan Tagore terletak pada
tujuannya. Montessori mementingkan hidup jasmani kanak-kanak,
khususnya panca inderanya, yang akhirnya diarahkan pula pada
kecerdasan budi, tapi hidup batin menurut Montessori semata-mata
86 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

bersifat psikologis, jauh dari tujuan religius. Sedangkan Tagore


membentuk sistem pendidikan kanak-kanak semata-mata sebagai alat dan
syarat memperkukuhkan hidup kemanusiaan dalam arti yang sedalam-
dalamnya, yaitu religius.
Kegiatan Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan metode Montessori-
Tagore yang telah disesuaikan dan diubah seperlunya oleh pendapatnya
sendiri ditulisnya dalam surat kabar De Express. Pihak Belanda tidak
menyukai aliran kemerdekaan dalam pendidikan ini, dan mengatakan
bahwa Suwardi adalah pengikut Gandhi dan sistem pendidikannya
bersifat merusak. Mereka mengingatkan golongan Islam bahwaa cita-cita
pendidikan Suwardi tersebut tidak mengenal Tuhan dan “anti Islam”,
sebagai upaya memecah belah penduduk Indonesia. Namun kenyataannya
pernyataan tersebut terbantah oleh kenyataan adanya anggota-anggota
Muhammadiyah dan Sarekat Islam (Haji Fachruddin dan Agus Salim) di
dalam pimpinan Komite Hidup Merdeka milik Tamansiswa.
Ki Hadjar Dewantara memiliki konsep pendidikan yang benar-benar
bersifat pribumi, yakni bersifat non-pemerintah kolonial dan non-Islam
(Suparto Rahardjo, 2010: 17). Ia memadukan pendidikan gaya Eropa yang
modern dengan seni-seni Jawa tradisional. Ia dengan tegas menolak
pendidikan yang terlalu mengutamakan intelektualisme dan
mengorbankan aspek keruhanian atau jiwa para siswa. Menurutnya,
pendidikan yang ditawarkan pemerintah kolonial hanya akan membuat
pribumi lupa akan kebudayaannnya dan membuat pribumi menjadi tenaga
terampil bagi kepentingan pemerintah kolonial.
Tamansiswa didirikan sebagai sebuah sekolah yang menawarkan
pendidikan berorientasi kepada kebudayaan Timur dan mengedepankan
nilai-nilai keruhanian yang dibarengi dengan intelektual. Sebagai sarana
menyebarkan ide-ide pendidikannya, diterbitkan majalah Pusara dan
Wasita. Ki Hadjar Dewantara berperan sebagai pengarang dan salah satu
dewan redaksinya. Melalui majalah ini, gagasan-gagasan Ki Hadjar
Dewantara tentang pendidikan dan pengajaran yang ia coba terapkan di
Tamansiswa dicoba disebarkan kepada khalayak umum, khususnya
masyarakat pribumi sebagai sarana pencerahan pikiran.
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 87

Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara seperti dimuat dalam


majalah Pusara jilid XIII nomor 4 tahun 1951 berarti upaya memajukan
tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), fikiran (intellect) dan
tubuh anak. Untuk dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni
kehidupan dan penghidupan para anak didik, selaras dengan dunianya,
ketiga bagian tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan kata lain,
bahwa pendidikan dimaksudkan untuk sempurnanya hidup manusia,
hingga dapat memenuhi segala kebutuhan hidup baik lahir maupun batin.
Pendidikan karakter merupakan bagian integral yang tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan.
Pendapat Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan di atas, jika kita
bandingkan dengan teori pendidikan Pestalozzi ternyata menemui
kesamaan. Pestalozzi juga menekankan tiga aspek penting dalam
pendidikan, yaitu aspek intelektual, moral, dan fisik, yang harus dibangun
secara utuh dalam diri anak melalui pendidikan (Pestalozzi, 1961:41). Dari
ketiga aspek tersebut, yang paling diutamakan adalah aspek moral, yang
nantinya berperan penting dalam membentuk karakter anak.
Pendidikan di sekolah tidak terlepas dari proses pengajaran.
Pengajaran dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara adalah bagian dari
pendidikan sebagai usaha untuk mendidik fikiran dan melatih kecakapan
dan kepandaian, utamanya adalah untuk mengembangkan dan
mencerdaskan fikiran, serta untuk menyiapkan kesiapan dan kemampuan
hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya, pengajaran harus dibangun
setinggi-tingginya dan terbuka seluas-luasnya, agar anak-anak kelak dapat
membangun kehidupanya dengan baik. Pendidikan jasmani juga penting
untuk menyehatkan diri dan keturunannya yang akan datang.
Menurut Ki Hadjar Dewantara sifat pendidikan di suatu daerah
berhubungan dengan beragam kondisi yang menyertai tempat di mana
diselerenggarakannya pendidikan itu. Sifat pendidikan menurutnya sangat
tergantung dengan alam, budaya, dan masyarakatnya. Oleh karenanya,
demi kelancaran dan keberhasilan tujuan pendidikan, dalam
pelaksanaannya perlu memperhatikan dasar-dasar hidup menurut
kodratnya keadaan. Hal inilah yang menjadi alasan bahwa pendidikan
88 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

yang diselenggarakan dalam sebuah negara harus sesuai dengan hidup


dan perikehidupan masyarakatnya sendiri. Ki Hadjar Dewantara
menyebutnya sebagai cara kebangsaan, cara kodrat alam, dan cara
kemanusiaan.
Pendidikan kebangsaan, menurut Ki Hadjar Dewantara (1951c)
adalah:
…pendidikan jg berdasarkan garis hidup dari bangsanja (cultureel nationaal),
ditudjukan untuk keperluan perikehidupan jang dapat mengangkat deradjat negeri
dan rakjatnja sehingga pantas berkerdja bersama dengan lain2 bangsa untuk
kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan yang bersifat budi pekerti,
harus mementingkan syarat-syarat yang selaras dengan roh kebangsaan,
menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir batin, baik
syarat-syarat yang sudah ada dan baik, maupun syarat-syarat baru yang
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Perlu diperhatikan pula pangkal
kehidupan yang hidup dalam kesenian, keadaban, keagamaan, atau
terdapat dalam buku-buku ceritera, dongeng, mythe, legenda, babad, dan
lain sebagainya.
Guna mewujudkan cita-cita pendidikannya, Ki Hadjar Dewantara
menyampaikan tujuh pasal yang dijadikan sebagai azas Tamansiswa, yang
dinyatakan pada saat lembaga pendidikan ini didirikan, yaitu pada 3 Juli
1922. Ketujuh azas dasar tersebut dijelaskan sebagai berikut, yang pertama
adalah pendidikan sebagai usaha kebudayaan, yang bermaksud memberi
tuntunan bagi pertumbuhan jiwa dan raga anak-anak, agar kelak mampu
bertahan dari segala pengaruh yang mengelilingi hidupnya, maju lahir
serta batinnya, menuju ke arah adab kemanusiaan.
Azas kedua, yaitu ‘kodrat hidup’ manusia menunjukkan adanya
segala kekuatan sebagai bekal hidupnya perlu dipelihara sehingga dapat
dicapai keselamatan dalam hidupnya lahir maupun batin, baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk masyarakatnya. Azas ketiga adalah adab
kemanusiaan, mengandung arti keharusan serta kesanggupan manusia
untuk menuntut kecerdasan dan keluhuran budi pekerti bagi dirinya, serta
bersama-sama dengan masyarakatnya, yang berada dalam satu lingkungan
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 89

alam dan zaman, menimbulkan kebudayaan bersama, yang mempunyai


corak khusus tapi tetap berdasar atas adab kemanusiaan sedunia.
Selanjutnya terciptalah alam-diri, alam-kebangsaan, dan alam-
kemanusiaan yang saling berhubungan, karena memiliki dasar yang sama.
Azas yang keempat, yaitu kebudayaan sebagai buah budi dan hasil
perjuangan manusia terhadap kekuasaan alam dan zaman, membuktikan
kemampuan manusia untuk mengatasi segala rintangan dalam hidup guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup bersama, yang
bersifat tertib dan damai.
Azas kelima adalah kemerdekaan, merupakan syarat mutlak dalam
setiap usaha pendidikan yang berdasarkan keyakinan, bahwa manusia,
karena kodratnya sendiri dan hanya terbatas oleh pengaruh-pengaruh
kodrat alam serta zaman dan masyarakatnya, dapat memelihara dan
memajukan, mempertinggi dan menyempurnakan hidupnya sendiri.
Setiap paksanaan hanya akan mempersulit dan menghambat kemajuan
hidup anak-anak.
Azas keenam, bahwa sebagai usaha kebudayaan, maka setiap
pendidikan wajib memelihara dan meneruskan corak warna dan garis
hidup yang terdapat dalam setiap aliran kebatinan dan kemasyarakatan
untuk mencapai keluhuran dan kehalusan hidup dan penghidupan
menurut masing-masing aliran yang menuju ke arah adab kemanusiaan.
Azas ketujuh, pendidikan dan pengajaran rakyat sebagai usaha
untuk mempertinggi dan menyempurnakan hidup dan penghidupan
rakyat, adalah menjadi kewajiban negara dan harus dilakukan sebaik-
baiknya oleh pemerintah, dengan memperhatikan kekhususan dan
keistimewaan yang berhubungan dengan hidup kebatian, serta memberi
kesempatan pada setiap warga negara untuk menuntut kecerdasan budi,
pengetahuan dan kepandaian yang setinggi-tingginya, sesuai dengan
kemampuannya.
Ketujuh azas dasar tersebut yang dijadikan sebagai azas dasar
pendidikan Tamansiswa. Pemikiran pendidikan yang lahir di tengah
pergolakan bangsa menuju kemerdekaan dan pemikiran tentang dasar-
90 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

dasar masyarakat baru setelah kemerdekaan tercapai, maka dasar-dasar


pemikiran yang sempat dirumuskan sebenarnya merupakan suatu
rangkaian yang ditawarkan kepada segenap bangsa Indonesia untuk
dikembangkan sesuai dengan perubahan alam dan zaman.
Pada masa kolonial, gagasan-gagasan dasar tersebut telah dicoba
untuk diimplementasikan sebagai pelaksanaan suatu teori pendidikan
ekstra kolonial, artinya mencoba untuk mengimbangi sistem pendidikan
kolonial dengan sistem pendidikan yang bersumber pada kebudayaan
sendiri dan kepercayaan atas kekuatan sendiri untuk tumbuh. Saat kongres
Tamansiswa pada tahun 1946, dicoba dirumuskan kembali pernyataan azas
dasar tersebut, ditemukanlah Panca Dharma sebagai dasar Tamansiswa,
yang berisi: kemerdekaan; kodrat alam; kebudayaan; kebangsaan; dan
kemanusiaan.
Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara (1955: 357) harus
ditujukan pada kecakapan panca indera, tajamnya pikiran, jernihya
perasaan, tetap dan kuatnya kemauan dan tenaga serta pada umumnya
masaknya budi pekerti; inilah tiang-tiang kemerdekaan hidup. Adapun
cara melakukannya adalah dengan jalan memberi contoh, ibadat dan
pengajaran, sedangkan murid membiasakan diri mencari dan belajar
sendiri. Tugas guru adalah mengamati dengan perhatian, dan hanya
menolong di mana perlu. Perintah dan paksaaan hanya boleh dipakai
untuk tingkat tertentu, murid harus dibiaskaan bergantung pada disiplin
kebatinannya sendiri. Segala cara pendidikan harus sesuai dengan cara
hidup, yakni adat istiadat masing-masing, itulah yang dimaksud dengan
pendidikan dan pengajaran nasional.
Dalam pelaksanaan pendidikan Ki Hadjar Dewantara mem-
perkenalkan among systeem (sistem among). Sistem among adalah cara
pendidikan yang dipakai dalam sistem Tamansiswa, dengan maksud
mewajibkan pada guru supaya mengingat dan mementingkan kodrat-
irodat murid, dengan tidak melupakan segala keadaan yang me-
ngelilinginya. Oleh karena itu, perintah dan paksaan dengan hukuman
harus diganti dengan aturan: memberi tuntunan dan menyokong anak-
anak dalam tumbuh kembangnya menurut kodratnya sendiri,
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 91

menghilangkan segala hambatan yang menghalangi pertumbuhan dan


perkembangan sendiri itu dan mendekatkan anak-anak pada alam dan
masyarakatnya.
Berdasarkan konsep pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Ki Hadjar Dewantara: 1) menempatkan anak sebagai sentral pendidikan; 2)
memandang pendidikan sebagai suatu proses yang bersifat dinamis; 3)
mengutamakan keseimbangan antara cipta, rasa, dan karsa dalam diri
anak; 4) mengisi ruh pendidikan nasional dengan wawasan kebudayaan,
kebangsaan, dan kemajuan.

-oo0oo-
92 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
BAB 5

PEMIKIRAN PENDIDIKAN K.H. AHMAD


DAHLAN DALAM MENGHADAPI
KOLONIALISME
5.1  K.H. Ahmad Dahlan 
1. Latar Belakang Keluarga

K
H. Ahmad Dahlan adalah salah seorang tokoh pendidikan yang
dimiliki bangsa Indonesia. Ia lahir di Kauman, Yogyakarta pada
1 Agustus 1869, dan meninggal pada bulan Februari tahun 1923
(Munir Mulkhan, 2010:5). Muhammad Darwis adalah nama beliau pada
masa kanak-kanak, barulah ketika ia naik haji namanya berganti menjadi
Ahmad Dahlan. Ibu K.H. Ahmad Dahlan bernama Siti Aminah. Ayahnya,
K.H. Abu Bakar adalah seorang pejabat agama Kraton Yogyakarta, yaitu
seorang imam dan khatib Masjid Besar. Ia adalah putra ke-empat dari
enam bersaudara.
Kauman adalah nama sebuah kampung di Yogyakarta yang
mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri khusus ini menurut Ahmad Adaby
Darban (2010:1) tampak dalam masyarakatnya, pergerakan, dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Masyarakat Kauman
merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah.
Masyarakat yang demikian ini terjadi dari keluarga-keluarga.
Antarkeluarga itu kemudian terjadi pertalian darah. Menurut Wolf yang
dikutip dalam hubungan pertalian darah antar keluarga yang terkumpul
pada suatu tempat tertentu, kemudian membentuk masyarakat yang
94 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

mempunyai karakteristik tersendiri. Bentuk masyarakat yang demikian itu


mempunyai ikatan yang pekat dan tertutup. Setiap warganya menegakkan
ikatan kebersamaan, baik di dalam upacara keagamaan, perkawinan, dan
sukar untuk bisa menerima pengaruh serta perpindahan penduduk dari
luar.
Selain memiliki ciri khusus, Kauman juga mempunyai hubungan erat
dengan birokrasi kerajaan. Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan
adanya penempatan abdi dalem pamethakan yang bertugas dalam bidang
keagamaan, khususnya urusan kemasjidan, di sebuah lokasi khusus.
Beberapa abdi dalem itu kemudian membentuk masyarakat, yang disebut
dengan masyarakat Kauman. Lokasi tinggal dari masyarakat Kauman
tersebut disebut dengan nama kampung Kauman. Di tempat inilah,
Muhammad Darwis atau K.H. Ahmad Dahlan kecil lahir dan dibesarkan.
K.H. Ahmad Dahlan lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang
penuh dengan nuansa religius yang tinggi. Hal inilah yang rupanya
melatarbelakangi beliau tumbuh menjadi seorang ahli agama, karena sejak
kecil ia hidup dalam lingkungan yang didasari agama yang sangat kuat.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh K.H. Ahmad Dahlan telah
nampak sejak usia remaja. Disebutkan bahwa pada usia ini Ia sudah
menunjukkan sikap dan berbagai keunggulan, terutama dalam kecermatan
dan kehati-hatiannya dalam menghadapi persoalan, saat mengambil
keputusan dan bertindak. Kemampuan akal pikirannya dikembangkan
secara maksimal, sehingga kecerdasan, kedinamisan, serta kreatifitasnya
sudah mulai nampak.
Lingkungan keluarga yang agamis dan tenang telah membentuk
kepribadian K.H. Ahmad Dahlan. Disebutkan oleh Kyai Syuja (2010:5),
bahwa K.H. Ahmad Dahlan tumbuh menjadi sosok yang mempunyai budi
pekerti dan akhlak yang baik, selain juga memiliki semangat belajar yang
tinggi. Semangat belajar yang tinggi terlihat dari kegemarannya
mempelajari banyak buku atau kitab.
Rasa ingin tahunya yang besar, mendorongnya memanfaatkan setiap
kesempatan untuk belajar. Demikian pula ketika ia naik haji pada usia 22
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 95

tahun, yaitu pada tahun 1890, waktu yang ada dipergunakannya untuk
belajar pada Imam Syafi’i Sayyid Bakir Syantha selama sekitar 2 tahun.
Demikian pula ketika beliau sempat naik haji untuk kedua kalinya pada
tahun 1903 bersama putranya Siraj Dahlan, ia kemudian bermukim selama
1,5 tahun di Mekah untuk memperdalam ilmu fiqih dan ilmu hadits.
Sepulang menunaikan haji, beliau mendirikan pondok untuk menampung
para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta (Abdul Munir
Mulkhan, 1990:6). Keberangkatannya ke Mekah untuk pertama maupun
kedua sebagian atau seluruhnya disponsori pihak Kasultanan Yogyakarta,
khususnya Sri Sultan Hamengkubuwono ke VIII. Data ini menjawab
hubungan K.H. Ahmad Dahlan saat itu dengan pihak Kasultanan
Yogyakarta. Ternyata hubungan keduanya terjalin dengan baik sejak lama.
Hal ini membuktikan tidak adanya pertentangan antara gerakan
Muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan
kekuasaan Kerajaan Mataram Yogyakarta.
Di sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Sepulang dari Mekah, pada
tahun 1889 M, saat itu ia berusia 24 tahun, ia menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kemudian
dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan.
Lingkungan keluarga menjadi tempat belajar pertama bagi K.H.
Ahmad Dahlan tentang agama, yang selanjutnya membentuk
kepribadiannya. Latar belakang keluarga yang religius mempunyai andil
cukup besar, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat Kauman
tempatnya dibesarkan yang agamis, melatarbelakangi tumbuhnya seorang
K.H. Ahmad Dahlan menjadi seorang ahli agama. Semangat belajarnya
yang tinggi ditunjukkan dengan kegemarannya membaca, dan
semangatnya untuk belajar dan mendalami ilmu agama di Mekah, di
sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam.
96 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

2. Latar Belakang Pendidikan


K.H. Ahmad Dahlan tidak pernah menjalani pendidikan formal dengan
memasuki sekolah tertentu. Ia menguasai beragam ilmu yang diperoleh
secara otodidak (dari belajar sendiri), berguru kepada ulama atau seorang
ahli, dengan membaca buku atau kitab-kitab (Munir Mulkhan, 2010:7).
Beberapa ilmu yang dikuasai atau pernah dipelajari antara lain ilmu-ilmu:
nahu (tata bahasa Arab); fiqih; falaq (perbintangan; hadits; qiro’atul qur’an;
pengobatan dan racun; filsafat; dan tasawuf. Membaca dan menulis ia
pelajari dari ayahnya sendiri.
K.H. Ahmad Dahlan pernah menuntut ilmu dari beberapa guru dan
kiai. Guru-guru kiai tempat belajarnya sebagian berasal dari dalam negeri
dan lainnya dari luar negeri, khususnya Saudi Arabia (Abdul Munir
Mulkhan, 2010:7). Beberapa guru kiai yang disebutkan adalah: (1) ayahnya
sendiri; (2) K.H. Mohammad Sholeh (kakak iparnya) untuk ilmu fiqih; (3)
K.H. Muchsin dan K.H. Abdul Hamid untuk ilmu nahu; (5) K.H. Raden
Dahlan dari Pondok Termas untuk ilmu falaq; (6) Syech Khayyat untuk
ilmu hadits; (7) Syech Amin dan Sayyid Bakri Satock untuk qiro’atul Qur’an;
(8) Syech Hasan untuk ilmu pengobatan dan racun; (9) Sayyid Ba-bussijjil
untuk ilmu hadits; (10) Mufti Syafi’i untuk ilmu hadits; (11) Kiai Asy’ari
Baceyan dan Syech Misri dari Mekah untuk qiro’atul Qur’an dan falaq.
Selama bermukim di Mekah, K.H. Ahmad Dahlan sempat bertemu
dan berdialog dengan beberapa ulama baik dari dalam maupun luar
negeri. Di antara para ulama tersebut adalah: Syech Muhammad Khatib
dari Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kiai Faqih dari Pondok Mas Kumambang Gresik. Banyak
buku dan kitab karya ulama besar yang dipelajarinya secara mandiri.
Kitab-kitab seperti karya Imam Syafi’i, Imam al Ghazali, Ibnu Taimiyah,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridla.
Pada tahun 1903, K.H. Ahmad Dahlan kembali menunaikan ibadah
haji dengan membawa putranya yaitu Muhammad Siradj.
Keberangkatannya yang kedua ini atas bantuan biaya dari Sultan
Hamengkubuwono VII, dengan tujuan mempelajari masalah Kiblat lebih
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 97

mendalam, saat itu masjid didirikan dengan arah kiblat yang tidak tepat
karena pembangunannya bukan berdasar kepentingan agama, tetapi untuk
ketertiban pembangunan negara. Ia kembali mempelajari dan mendalami
ilmu-ilmu agama yang sudah ia dapatkan sebelumnya dan tercatat sebagai
murid dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang juga guru dari
pendiri Nadhatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asyari. Pada periode kedua
kehadirannya di Mekah ini K.H. Ahmad Dahlan juga mempelajari
pembaruan Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh tokoh-
tokoh pembaru seperti Jamaludin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad
Abduh, dan juga Muhammad Rasyid Ridha (pengarang tafsir Al-Manar).
Meskipun tidak pernah menempuh pendidikan formal, K.H. Ahmad
Dahlan mempelajari beragam ilmu dengan cara berguru kepada para
ulama dan para ahli. Beberapa guru tempatnya menuntut ilmu, mulai dari
ayahnya sendiri, kakak iparnya, sampai beberapa guru dari Saudi Arabia.
Dari beragam ilmu yang dipelajarinya, beliau mempunyai pandangan
hidup dan pemikiran yang jauh ke depan, mendahului generasi pada
zamannya. Cita-citanya tentang pendidikan anak pribumi mendasari gerak
perjuangannya dalam bidang pendidikan.

3. Pengalaman Organisasi
Selain aktif menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah K.H.
Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
sukses dengan berdagang batik. Sambil melakukan aktivitas perdagangan
ini, beliau selalu menyempatkan diri untuk bertabligh. Perjalanan dagang
sekaligus dakwahnya di kota-kota di Jawa Timur, seperti di Ponorogo,
Blitar, Sumberpucung, Kepanjen, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi.
Sebelum Muhammadiyah berdiri K.H. Ahmad Dahlan telah
melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Ia
diangkat menjadi khatib Masjid Besar dengan gelar Ketib Amin (Munir
Mulkhan, 2010:9). Satu tahun kemudian beliau memelopori Musyawarah
Alim Ulama, dalam rapat tersebut disampaikannya pendapat bahwa arah
kiblat Masjid Besar Yogyakarta kurang tepat. Sejak itulah arah kiblat
98 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Masjid Besar digeser agak ke kanan oleh para muridnya. Kegiatan tersebut
memberi inspirasi tentang pentingnya persatuan ulama.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, terdorong oleh rasa
kebangsaan dan keinginan mempelajari tata organisasi, K.H. Ahmad
Dahlan memasuki perkumpulan Budi Utomo dan menjadi salah seorang
pengurusnya. Ia banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman sekaligus
mempunyai kesempatan untuk bicara masalah agama Islam dan akhlak
yang mulia di perkumpulan tersebut. Di Budi Utomo pula, K.H. Ahmad
Dahlan mempelajari persoalan politik.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa K.H. Ahmad Dahlan
bergabung dengan Budi Utomo pada tahun 1909, dengan tujuan di
samping sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar
aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Selain di Budi
Utomo, beliau juga sempat aktif di organisasi Jami’iyatul Khair, Syarikat
Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Keanggotaan
K.H. Ahmad Dahlan dalam Budi Utomo memberi kesempatan berdakwah
kepada anggotanya dan mengajar agama Islam kepada para siswa yang
belajar di berbagai sekolah Belanda (Munir Mulkhan, 2010:11). Sekolah-
sekolah tersebut antara lain: kweekschool di Jetis setiap hari Sabtu dan Ahad,
OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren atau Sekolah Pamong
Praja) di Magelang. Kegiatan dakwah kepada anggota Budi Utomo banyak
dilakukan di rumahnya sendiri di Kauman.
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah pertamanya yaitu
Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) antara tahun 1908-1909. Sekolah ini
diselenggarakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 m.
sekolah tersebut sudah mulai dikelola secara modern dengan
mempergunakan metode dan kurikulum modern. Peralatan seperti papan
tulis, meja atau kursi telah dipergunakan. Pengajaran dilakukan dengan
sistem klasikal. Saat pertama kali dibuka, muridnya hanya enam orang,
namun setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang.
Akhirnya pada tahun 1912 bersama temannya dari Kauman, seperti
Kyai Syuja, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji Syarkawi, dan
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 99

Haji Abdul Ghani, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi


Muhammadiyah untuk mewujudkan cita-cita pembaruan Islam. Organisasi
ini dipimpin langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan. Upacara peresmian
Muhammadiyah dilakukan pada bulan Desember 1912 bertempat di
Malioboro dan dihadiri sekitar 70 orang. Hubungan Muhammadiyah
dengan Budi Utomo menjadi semakin erat, sehingga kongres Budi Utomo
tahun 1917 diselenggarakan di rumah K.H. Ahmad Dahlan.

4. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan


Kegelisahan para tokoh pendidikan, termasuk juga K.H. Ahmad Dahlan
merupakan bentuk jawaban dari ketidakpuasan mereka terhadap kondisi
bangsa yang terjajah. Dunia pendidikan ternyata tidak luput pula dari
pengaruh kepentingan penjajah. Pendidikan yang sifatnya intelektualistis
dan hanya berorientasi untuk mendapatkan pegawai yang dapat digaji
murah mewarnai corak pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
kolonial saat itu (Nasution S., 2001:4). Dunia pendidikan telah diracuni
oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda demi kepentingan pribadi dan
kelangsungan hidup mereka di tanah jajahan. Berangkat dari keprihatinan
itulah yang mendorong perjuangan melalui bidang pendidikan menjadi
perhatian serius K.H. Ahmad Dahlan saat itu. Hanya dengan
pendidikanlah bangsa ini bisa maju dan terbebas dari cengkeraman kaum
imperialis.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda di Indonesia
tidak bertujuan untuk mencerdaskan bangsa Indonesia, namun murni
untuk mendukung kepentingan kolonialisme. Beberapa prinsip yang oleh
pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang
pendidikan antara lain: (1) menjaga jarak atau tidak memihak salah satu
agama tertentu; (2) sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan
sosial, khususnya yang ada di Jawa; (3) pendidikan diukur dan diarahkan
untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai
pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial saat itu masih
terbatas pada calon-calon pamong praja. Sementara anak aristokrat ada
100 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

yang dididik dalam rumahnya sendiri, pendidikannya ditujukan untuk


mempertinggi budi pekerti dan kepandaian bergaul, ditambah dengan
adat istiadat nenek moyang. Bahkan untuk kaum perempuan, pelajaran
hanya terbatas pada pengetahuan kehidupan dalam rumah tangga, yang
bertujuan membekali agar kelak dapat menjadi istri yang baik. Kondisi
demikian, yang paling menderita adalah rakyat biasa, karena pada
umumnya mereka tidak mampu mengenyam pendidikan. keberadaan
pondok pesantren saat itu menjadi pilihan satu-satunya bagi rakyat biasa.
Sementara pondok pesantren sendiri saat itu masih belum terbuka dengan
dunia luar bahkan cenderung menolak semua pengaruh yang datang dari
Barat, seperti cara berpakaian, huruf latin, dan ilmu-ilmu yang datang dari
Barat.
Akibatnya terjadi dikotomi ilmu, pemisahan antara pendidikan
agama dan pendidikan sains Barat. Di satu pihak lembaga-lembaga
pendidikan Islam saat itu tidak bisa menghasilkan ilmuwan, dan di pihak
lain pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda sama
sekali tidak memperhatikan masalah-masalah kehidupan keakhiratan,
hanya mementingkan kehidupan keduniawian.
Melihat kondisi sosial pendidikan umat Islam saat itu, K.H. Ahmad
Dahlan tergerak melakukan aktivitas pendidikan dengan menerapkan
sistematika kerja organisasi ala Barat. Melalui pelembagaan amal
usahanya, ia melakukan penangkalan budaya atas penetrasi pengaruh
kolonial Belanda dalam kebudayaan, peradaban, dan keagamaan,
utamanya adalah intensifnya upaya Kristenisasi yang dilakukan melalui
misi zending dari Barat (Alwi Shihab, 1998).
Keprihatinan melihat kondisi masyarakat pribumi yang
terbelakanglah yang akhirnya melatarbelakangi perlunya didirikan
lembaga-lembaga pendidikan melalui wadah organisasi Muhammadiyah
oleh K.H. Ahmad Dahlan. Beberapa tahun sebelum Muhammadiyah resmi
berdiri, K.H. Ahmad Dahlan sudah menyelenggarakan model sekolah yang
kemudian dikenal sebagai proyek modernisasi pendidikan Islam. Ide-ide
kreatif beliau yang pada masa itu seringkali mendapat reaksi keras dan
tuduhan sekuler hingga pengkafiran, dimaksudkan untuk membuktikan
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 101

kegunaan praktis dan pragmatis ajaran Islam bagi kehidupan manusia


(Abdul Munir Mulkhan, 2010:140). Begitu yakin beliau mengembangkan
aksi sosial dan kebudayaan karena didasari konsepnya tentang kebenaran
dan kebaikan yang berkesusaian antara teks dan konteks.
Gagasan dasar K.H. Ahmad Dahlan terletak pada konsepnya tentang
kesempurnaan budi yang lahir karena pengertian baik-buruk, benar-salah,
kebahagiaan-penderitaan, dan bertindak berdasar pengertian itu. Kondisi
ini dicapai jika akalnya sempurna, yakni akal kritis dan kreatif-bebas yang
diperoleh dari belajar.
Sistem pendidikan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah
pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan
menggunakan sistem klasikal. Saat itu sistem ini masih cukup langka
dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam. Ia menggabungkan sistem
pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.
Pembaruan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam dunia
pendidikan adalah pemberian pengetahuan umum di samping
pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Pengetahuan umum merupakan hal yang penting bagi kemajuan
umat Islam. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, kunci persoalan peningkatan
kualitas hidup dan kemajuan umat Islam adalah pemahaman terhadap
berbagai ilmu pengetahuan yang sedang berkembang dalam tata
kehidupan masyarakat. K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan pesan kepada
para penerusnya, “menjadilah insinyur, guru, mester, dan kembalilah
berjuang dalam Muhammadiyah”.
K.H. Ahmad Dahlan menempatkan akal dan logika sebagai basis
pengetahuan. Apa yang disebutnya dengan Ilmu manthiq atau logika
merupakan langkah metodik untuk memperoleh pengetahuan tertinggi.
Hal itu merupakan warisan berharga yang perlu dikembangkan lebih jauh.
Visi pendidikan yang digagas Muhammadiyah tercermin dari ide-ide
dasar yang merupakan cita-cita penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana
diinginkan pendirinya, yaitu “menciptakan kiai intelek dan intelek yang
kiai atau ulama yang intelek, dan intelek yang ulama”. Hal ini sejalan
102 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

dengan nasehat yang seringkali dikemukakan di hadapan murid-muridnya


sebagai berikut: “dadiyo kiai sing kemajuan, lan kanggo Muhammadiyah”, atau
jadilah ulama yang berpikir maju, dan jangan berhenti untuk kepentingan
pengabdian kepada organisasi Muhammadiyah.
Berdasarkan visi tersebut maka sistem pendidikan yang dibangun
Muhammadiyah berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan pesantren
dan sekuler dalam bentuk lembaga sekolah. Bahkan menurut Deliar Noor
(1985:118), modernisme Muhammadiyah dalam bidang pendidikan jauh
mengalahkan Al Azhar Kairo, yang pada saat yang sama masih me-
nerapkan sistem pendidikan tradisional Islam.
Usaha modernisasi dan pembaharuan dalam bidang pendidikan
Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada awal didirikannya
Muhammadiyah tampak dari pengembangan kurikulum yang dilakukan
yaitu: mendirikan tempat-tempat pendidikan di mana ilmu agama dan
ilmu umum diajarkan bersama-sama; dan memberikan tambahan pelajaran
agama pada sekolah-sekolah umum yang sekuler. Dengan demikian K.H.
Ahmad Dahlan menjadi peletak dasar pemikiran konsep pendidikan
seperti yang saat ini sedang berjalan di Indonesia. Menurutnya
pelaksanaan pendidikan hendaknya berdasarkan pada landasan yang
kokoh, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka
filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik
secara vertikal (Khaliq) maupun horizontal (makhluk).
Pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh K.H.
Ahmad Dahlan terlihat dari pengembangan bentuk pendidikan dari model
pondok pesantren dengan menerapkan metode sorogan, bandongan, dan
wetonan, menjadi bentuk madrasah atau sekolah dengan menerapkan
metode belajar secara klasikal. Adapun tujuan pendidikan lebih difokuskan
pada pembentukan akhlak manusia.
Guna mencapai tujuan tersebut, materi pendidikan menurut K.H.
Ahmad Dahlan adalah pengajaran Al Quran dan Hadits, membaca,
menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi Al Quran dan
Hadits meliputi ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 103

dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran Al


Quran dan Hadits menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-
kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak,
demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan
dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak.
Pandangan K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam bertitik
tolak dari upaya pengembangan akal melalui proses pendidikan yang pada
akhirnya akan bermuara pada tumbuhnya kreatifitas dan memberikan
implikasi bagi warga Muhammadiyah untuk memiliki semangat tajdid
(pembaharuan) dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, sejak
berdirinya Muhammadiyah lebih mengedepankan kreatifitas. Hal ini
sejalan dengan jiwa pembaharuan yang dicita-citakan yaitu
mengembangkan nalar, menolak bid’ah, khurafat, dan taklid, serta
mengutamakan ijtihad. Dari sini K.H. Ahmad Dahlan mengharapkan para
lulusannya mampu menampilkan wawasan yang luas, tidak kolot, serta
menjadi pribadi yang bebas.
Menurut data yang dikemukakan Deliar Noer (1985), pendidikan
Muhammadiyah menerapkan sekolah dengan memberi muatan
pendidikan keagamaan. Hal ini ditunjukkan bahwa pada tahun 1925
Muhammadiyah memiliki delapan HIS (Hollands Inlandsche School), sebuah
kweekschool atau sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar lima tahun,
dan 14 buah schakelschool, seluruhnya meliputi sebanyak 119 orang guru
dan 4.000 murid. Pada tahun 1929, organisasi ini telah memiliki 31
perpustakaan umum dan 1.774 sekolah.
Berdasarkan data-data di atas, nampak bahwa sekolah
Muhammadiyah lebih menekankan pengembangan ilmu umum dengan
peranan sekolah yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan dengan
pembaharuan sistem pendidikan yang dikembangkan K.H. Ahmad
Dahlan. Sesuai dengan tujuan umum pendidikan Muhammadiyah yang
digagasnya, yang mencakup: baik budi, alim dalam agama; luas
pandangan; alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum); dan bersedia berjuang
untuk kemajuan masyarakatnya (Abdul Munir Mulkhan, 1990:50).
104 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Sebagai seorang pemikir dan pembaharu dalam dunia pendidikan,


K.H. Ahmad Dahlan menekankan pentingnya pengelolaan pendidikan
Islam yang dilakukan secara modern dan profesional. Dengan demikian
diharapkan lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan peserta
didik menghadapi dinamika zamannya. Oleh karena itu, menurutnya
pendidikan Islam perlu membuka diri, inovatif, dan progresif.
Berdasarkan konsep pendidikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa: (1) pendidikan berdasar pada
landasan agama, dengan tujuan untuk mewujudkan perkembangan
manusia yang berakhlak mulia; (2) penyatuan yang harmonis antara
pendidikan agama dan pendidikan umum, agar manusia dapat
mengembangkan pencapaian kebutuhan spiritual dan material; (3)
penghargaan terhadap pendidikan akal, agar membangun manusia kreatif
yang dapat melakukan pembaharuan (tajdid); (4) praktik agama yang
dinamis, yaitu agama sebagai amalan untuk perbaikan kehidupan, bukan
sekedar ritual dan pemahaman tekstual.

5.2  Muhammadiyah Sebagai Bagian dari Modernisme Islam 
di Indonesia 
Kegiatan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan, tidak terlepas dari gerak atau
proses langkah modernisasi Islam di Indonesia. Sebelum abad ke-20, Islam
di Indonesia dijelaskan dalam Alfian (2010:74) berada dalam kondisi
“kegelapan”, hal ini ditunjukkan dengan kemundurannya sebagai konsep
keyakinan serta keterbelakangan atau kemunduran intelektual para
penganutnya. Selanjutnya, dikatakan bahwa kemunduran tersebut
disebabkan oleh dua hal, yakni: (1) agama sangat dipengaruhi oleh sufisme
(tasawuf) dan tradisionalisme agama selama satu abad lamanya; (2)
ketertinggalan para penganutnya, secara historis disebabkan oleh sistem
pendidikan yang statis, tidak berkembang. Kedua sebab tersebut saling
berkaitan, dan kedua hal itulah yang kemudian berusaha diubah oleh K.H.
Ahmad Dahlan, melalui gerakan dakwah dan pendidikan yang
revolusioner.
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 105

Sebelum lebih jauh membahas masalah modernisasi Islam yang


menjadi awal perjuangan K.H. Ahmad Dahlan, perlu diketahui terlebih
dahulu kondisi masyarakat Islam Indonesia saat itu. Berabad-abad
lamanya, dari abad XIX hingga abad XX, golongan menengah pribumi
terbenam dalam kegelapan. Disebutkan oleh Kuntowijoyo (1985:38), bahwa
kemerosotan dalam kegiatan komersial yang dialami kaum pedagang di
kerajaan-kerajaan Jawa di masa lalu disebabkan oleh pertikaian politik
antara pemerintahan di pedalaman dengan kota-kota pantai dalam tahun-
tahun pembentukan dinasti Mataram di Jawa Tengah. Pemerintah kolonial
membiarkan kelangsungan kecenderungan tersebut dengan kebijaksanaan
yang membatasi kegiatan perdagangan dari kota-kota pantai tersebut.
Arus komersialisasi dan industrialisasi di pertengahan abad XIX yang
menyebabkan golongan menengah muslim pribumi kembali muncul ke
permukaan dari kehidupan ekonomi kaum tani dan ekonomi pedesaan
kecil-kecilan.
Golongan menengah santri di Indonesia memiliki sejarah yang
panjang, orang percaya bahwa penganjur dan penyebar Islam pertama
adalah kaum pedagang di kota-kota sepanjang pantai. Oleh karenanya
pusat-pusat kaum santri di bagian-bagian kota yang disebut Kauman di
kota-kota Jawa, juga merupakan pusat perdagangan dan industri. Pusat-
pusat kaum santri tersebut dalam dokumen tahun 1909 memperoleh pujian
karena memiliki semangat dagang bangsa pertengahan atau kelas
menengah yang menggeluti bidang perniagaan (Mitsuo Nakamura,
1983:55).
Kauman, yang merupakan tempat lahir dan dibesarkannya K.H.
Ahmad Dahlan, merupakan suatu pemukiman yang ditunjuk bagi para
pejabat keagamaan dalam pemerintahan pribumi. Penduduknya adalah
para abdi dalem santri yang mengabdikan diri dalam pemerintahan dan
karenanya termasuk golongan priyayi. Apabila dilihat dari segi status
sosialnya, mereka termasuk golongan priyayi, tetapi dari segi kelas sosial,
mereka termasuk kelas menengah. Karena mereka lebih memiliki etika
santri dibandingkan etika priyayi, mereka tidak canggung berkecimpung
dalam kegiatan komersial dan perdagangan seperti golongan priyayi yang
106 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

lain. Kisah di kampung Kauman Yogyakarta misalnya, di kampung ini


kaum laki-laki bekerja sebagai pametakan (petugas keamanan), namun
mereka bersama dengan isterinya melakukan kegiatan dagang. K.H.
Ahmad Dahlan adalah contoh terkemuka dari seorang santri merangkap
pedagang di Kauman. Di samping sebagai khatib di Masjid Agung Kraton
Yogyakarta, ia juga dikenal sebagai pedagang batik yang berhasil memiliki
jaringan dagang di banyak kota (Ahmad Adaby Darban, 1980:30).
Kebangkitan agama yang terjadi pada abad XX, telah diawali
sebelumnya oleh kebangkitan agama di Indonesia dalam bentuk
pembenahan lembaga pendidikan pesantren dan gerakan tarekat Islam
yang dipimpin oleh para pemuka agama di pedesaan, yakni para kyai pada
abad XIX. Mereka inilah yang sering dicurigai oleh pemerintah kolonial,
sehingga dibatasi berbagai usaha dan tindakan mereka yang berpengaruh
pada kebangkitan agama tersebut. Tindakan ini dilakukan karena
kebangkitan agama sebagai gerakan juga telah mendorong gerakan
menentang kekuasaan kolonial, bersamaan dengan berbagai gerakan
protes di daerah pedesaan Jawa (Sartono Kartodirdjo yang dikutip dalam
Kuntowidjojo, 1985:37).
Berbeda dengan kebangkitan pada abad XIX yang bersifat kedesaan,
kolot, dan konservatif, kebangkitan kaum santri pada abad XX bersifat
kekotaan, reformis, dan dinamis. Harry J. Benda (1980:71) menyatakan
bahwa kebangkitan kaum santri kota berjuang melawan empat seteru
yaitu: formalisme kolot, kebudayaan adat dan priyayi, sikap kebarat-
baratan, dan status quo penjajahan.
Kemunculan kelas baru dari kalangan kaum santri dimulai oleh
kepemimpinan yang dipegang oleh para haji, mereka yang kembali dari
ziarah ke Mekah. Para haji biasanya tidak mendapat pendidikan khusus
untuk menjadi pemuka agama, karena untuk menjadi haji, orang tidak
harus mempunyai pengetahuan agama sampai pada tingkat dapat
mengajarkannya kepada orang lain. Jumlah haji meningkat banyak sejak
perempat terakhir dari abad itu karena semakin baiknya fasilitas
perhubungan, terutama adanya kapal uap yang menurunkan biaya
peziarah. Sekembali dari Mekah, kaum santri dari golongan menengah
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 107

memperoleh status tertentu. Keberangkatan mereka ke Mekah, di samping


karena dorongan keagamaan juga mengharapkan ganjaran sosial dari
pemenuhan rukun Islam yang kelima tersebut. Seperti gelar bangsawan,
sebutan haji bagi seseorang mengandung rasa hormat (Kuntowijoyo,
1985:39). Dengan cara ini, golongan menengah yang sedang tumbuh,
menemukan tempatnya dalam hirarki status masyarakat.
Ilmuwan pertama yang mengamati hubungan pembaruan agama
beraliran modern dengan sifat borjuis ialah Wertheim, dalam penelitiannya
tentang perubahan sosial di Indonesia, yang kemudian disusul oleh banyak
peneliti lainnya. Dengan nada yang sama, penelitian Geertz tentang kota-
kota kecil di Jawa Timur menemukan bahwa Muhammadiyah yang
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, didukung oleh para pengusaha santri,
yang mengakibatkan perpecahan antara kaum santri perkotaan yang
masuk ke Muhammadiyah beraliran modern dan kaum santri pedesaan
yang bergabung dengan Nadhatul Ulama (NU) beraliran kolot
(konservatif). Kenyataan yang terjadi adalah bahwa dalam organisasi
Muhammadiyah, para pengusaha berhasil menduduki jabatan penting,
sedangkan di NU, para kyai yang memonopoli kedudukan penting,
sedangkan para pengusahanya sekedar memainkan peranan sebagai
penunjang.
Pendirian Muhammadiyah memang mendapat sambutan baik dari
golongan menengah perkotaan di Jawa dan Madura. Di Sumatera, di mana
pembaruan agama dibarengi munculnya kaum muda, gerakan
Muhammadiyah juga diterima baik. Sedangkan di Jawa, bukan hanya
golongan menengah dan golongan yang terdidik, termasuk juga kaum
bangsawan setempat, menyambut gerakan pembaruan tersebut. Sultan
Hamengkubuwono VII di Yogyakarta bahkan menghibahkan sebidang
tanah untuk mendirikan sebuah sekolah Muhammadiyah. Berdasarkan
kondisi tersebut, Muhammadiyah segera memperlihatkan dirinya sebagai
gerakan yang paling giat pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah bahkan mendapat pujian dari pembesar Belanda,
karena semangat, militansi, dan kecerdasannya (Peacock dalam
Kuntowidjojo, 1980:45). Semangat Muhammadiyah sebagai organisasi
108 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

pembaru dapat dilihat dari banyaknya kegiatan untuk mendirikan sekolah-


sekolah modern ala Barat, perkumpulan kaum ibu (Aisyiah), kaum remaja
puteri (Nasyiah), kaum muda (Pemuda Muhammadiyah), rumah sakit dan
klinik, rumah yatim piatu, gerakan kepanduan (Hisbul Wathon),
perkumpulan pencak silat dan sepak bola. Muhammadiyah semenjak
didirikan, adalah gerakan dan organisasi golongan menengah perkotaan
maupun umat Islam umumnya.
Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi modernis Islam juga
melambangkan sebuah masyarakat terbuka dalam proses kelahirannya.
Kegiatan-kegiatan seperti kumpulan-kumpulan pengajian di malam hari,
kegiatan dakwah dengan tabligh, jauh berbeda dengan suasana dan iklim
dalam pertemuan masyarakat tertutup seperti dalam gerakan tarekat yang
sudah ada sebelumnya, yang biasanya diliputi suasana “angker” untuk
dzikir dan wirid. Muhammadiyah sendiri disebutkan memang menentang
praktik tarekat yang dianggap berlebih-lebihan dan penuh dengan syirik.
Gerakan pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah tidak hanya
ditujukan bagi kaum tradisionalis Islam saat itu, tapi ditujukan pula untuk
kalangan abangan. Upaya yang dilakukan adalah dengan membersihkan
agama Islam dari segala khurafat, sisa-sisa kebudayaan kuno yang melekat
di kalangan abangan. Sebagai contoh, saat itu seorang abangan akan lebih
mengingat hari lahirnya, K.H. Ahmad Dahlan lebih memperkenalkan
untuk mengingat tahun kelahirannya. Konsep hari dalam tradisi Jawa
adalah satu siklus yang kembali setiap 35 hari, orang Jawa saat itu biasanya
hanya mengingat hari lahirnya saja, bukan tahunnya. Dengan mengingat
tahunnya saja, K.H. Ahmad Dahlan berusaha menanggalkan siklus
kosmologis yang statis dan menggantinya dengan pandangan linier yang
dinamis, melihat dunia dalam keadaan selalu berkembang maju. Dalam
hubungannya dengan hal ini, Geertz (1971:49) mengatakan bahwa gerakan
pembaruan Muhammadiyah telah berhasil menumbuhkan sikap mandiri
yang haus kemajuan daripada sikap menyerah kepada nasib, berkat
suntikan dinamika baru ke dalam masyarakat berorientasi pasar.
Di balik segala aspek positif dari kegiatan modernisasi Islam yang
dilakukan Muhammadiyah, ada pula dari kritik atas kekurangannya.
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 109

Tidak seperti kaum tradisional, Muhammadiyah telah mengikis ikatan


tradisi antara kyai dan santri, suatu ikatan antara pengasuh dan anak asuh,
digantikan oleh ikatan antara pengurus dengan anggota. Selain itu juga
menghilangkan lambang-lambang sebagai pernyataan dunia santri,
upacara keagamaan dan tetabuhan serta nyanyian agama, seperti
salawatan, nyanyian pujian kepada nabi, dan barzanji, pembacaan syair-
syair bernafaskan agama. Di awal 1930-an, dalam masa dua dasawarsa
setelah dilancarkannya ideologi pembaruan, kegiatan tersebut mulai
lenyap dari Kampung Kauman, tempat kelahiran Muhammadiyah. Salah
satu konsekuensi untuk menghapuskan kehidupan yang penuh per-
lambang (simbol-simbol) dan menggantikannya dengan kehidupan yang
lebih rasional dan praktis.
Organisasi Muhammadiyah menjadi basis perjuangan yang
dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, baik dalam bidang pendidikan
maupun sosial keagamaan. Khususnya di bidang pendidikan, didirikannya
Muhammadiyah merupakan reaksi terhadap dua hal. Pertama, reaksi
terhadap kondisi pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh pemerintah
kolonial saat itu; dan kedua, kondisi pendidikan Islam itu sendiri.
Keduanya akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut.
Perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda di Indonesia sejak abad XIX berjalan sangat lambat dan
diskriminatif. Kat Angelino dalam Nasution (2001:20-21) menyebutnya
sebagai politik gradualisme dalam penyelenggaraan pendidikan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Penyelenggaraan pendidikan yang dibuat
sangat lamban, dalam hal ini mereka membiarkan penduduk Indonesia
dalam keadaan pendidikan yang hampir sama sewaktu Belanda mula-
mula menginjakkan kakinya di Indonesia. Kahin (1995:36-40) menyebutkan
bahwa pendidikan Barat saat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang
keturunan Eropa dan beberapa orang pribumi dengan berbagai kriteria.
Bahkan disebutkan pula, bahwa sampai dengan tahun 1940, Pendidikan
Sekolah Menengah Atas (yaitu di atas MULO) masih diutamakan untuk
penduduk Eropa. Sekolah semacam itu mempunyai lulusan 5.688 pelajar
Eropa berbanding 1.786 orang Indonesia.
110 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Pemerintah Belanda yang menggantikan VOC terpengaruh oleh


pikiran liberalisme sehingga mengakui kebutuhan pendidikan bagi anak-
anak Belanda. Bagi anak-anak Indonesia, hal itu tidak dilakukan selama
bagian pertama abad XIX, walaupun banyak dikeluarkan peraturan-
peraturan yang mengandung janji-janji serta tekanan pada kewajiban
Gubernur Jenderal agar memajukan juga pendidikan bagi pribumi.
Tekanan parlemen Belanda untuk segera melaksanakan Politik Etis baru
dilaksanakan kemudian pada awal abad XX.
Sifat diskriminatif pemerintah kolonial terletak pada perbedaan
pelaksanaan pendidikan bagi pribumi dan orang-orang Belanda sendiri.
Pada akhir 1863, masih ada kecenderungan usaha agar penduduk pribumi
tidak diberi pendidikan. Perhatian banyak diberikan kepada pendidikan
untuk anak Belanda, dan pada akhir abad XIX mereka bahkan mendapat
kesempatan belajar yang lebih baik daripada di Nederland sendiri. Pada
tahun 1902, setiap 523 orang di Jawa hanya seorang yang bersekolah. Pada
tahun 1900, hanya seorang di antara 35-36.000 orang di Indonesia yang
tamat sekolah rendah pemerintah, atau kira-kira sama dengan persentase
anak Belanda yang lulus HBS (Hollands Burgere School) di Nederland. Data
tersebut menggambarkan sifat diskriminatif yang disebut pula sebagai
politik pendidikan kolonial yang berciri gradualisme, yaitu
penyelenggaraan pendidikan yang sangat lamban bagi kaum pribumi.
Tindakan itu disengaja untuk menghambat perkembangan pendidikan
bagi masyarakat pribumi.
Awalnya, pendidikan Barat hanya tersedia bagi beberapa anak dari
kalangan bangsawan Indonesia yang sedang dididik untuk menduduki
pangkat-pangkat teratas pegawai negeri yang diperuntukkan bagi
golongan pribumi (Kahin, 1995:41). Sebagai gambaran tentang hal ini,
disebutkan oleh Kahin, bahwa hingga tahun ajaran 1912-1913, dalam
sekolah hukum, salah satu sekolah menengah atas yang penting, hanya ada
40 orang pelajar Indonesia, dan semuanya terdiri dari putra-putri
bangsawan pribumi. Putra bangsawan yang pandai biasanya mendapat
hak masuk sekolah, sebaliknya meskipun mampu membayar uang sekolah,
anak rakyat jelata jarang diizinkan masuk sekolah.
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 111

Begitu kecil kesempatan bagi anak Indonesia untuk memperoleh


pendidikan sekolah menengah, dan jauh lebih sedikit yang dapat mem-
peroleh pendidikan universitas. Akibatnya sedikit pula yang mampu
bersaing dengan tenaga terampil hasil pendidikan Belanda serta orang
Belanda yang dididik di Belanda. Apalagi kebijakan pemerintah pada
sejumlah departemen, lebih memilih orang Eropa dan orang Belanda
daripada orang Indonesia, sehingga persaingan tampak lebih nyata dan
tidak seimbang. Hanya sedikit orang Indonesia dapat melamar posisi-
posisi pegawai negeri yang lebih tinggi dari posisi juru tulis, bahkan
hampir 25% orang Indonesia yang telah lulus dari sekolah-sekolah Barat
tidak dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan
mereka.
Fasilitas pendidikan yang bermutu tinggi bagi anak-anak Belanda
senantiasa dipertahankan selama masa kolonial, hal ini bertujuan untuk
menjaga agar anak-anak Belanda selalu mendapat pendidikan yang lebih
baik daripada anak-anak pribumi. Jalan ke Perguruan Tinggi telah tersedia
bagi anak Belanda di saat hanya segelintir anak pribumi berkesempatan
bersekolah di sekolah rendah yang jumlahnya juga sangat sedikit. Sekolah
yang jumlahnya terbatas tersebut ditambah pula dengan tidak dibukanya
kesempatan memasuki pendidikan lanjutan. Selama puluhan tahun, jalan
satu-satunya untuk melanjutkan pelajaran ialah ELS (Europese Lagere
School), sekolah rendah khusus untuk anak Belanda. Sekolah ini hanya
menerima sejumlah kecil anak-anak pribumi dari kalangan priyayi kaya,
dengan adanya pembatasan-pembatasan, pembayaran tinggi, dan kesulitan
bahasa, jumlahnya dapat dibatasi. Tingginya biaya yang dikenakan oleh
sekolah-sekolah Belanda, serta syarat menguasai bahasa Belanda semakin
mempersulit anak-anak pribumi untuk memasuki sekolah tersebut.
Kurikulum sekolah Belanda pada awal abad ke-20 juga mengalami
perubahan yang radikal. Dipengaruhi oleh ide liberalisme, orang menaruh
kepercayaan akan kekuasaan pengetahuan yang diperoleh melalui
penelitian ilmiah empiris. Tujuan pendidikan bukan lagi memupuk rasa
takut akan Tuhan, dan pusat studi bukan lagi kitab suci. Pendidikan
kemudian ditujukan kepada pengembangan kemampuan itelektual, nilai-
112 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

nilai rasional dan sosial dan usaha mencapai tujuan-tujuan sekuler lainnya.
Ada keyakinan bahwa moralitas tidak dicapai melalui pendidikan agama,
akan tetapi melalui peraturan sekolah dan cerita-cerita yang mengandung
tema moral, agar murid memahami apa yang baik dan berbuat demikian
(Nasution, 2001:9-10). Alasan tersebut yang kemudian menyebabkan
penyelenggaraan pendidikan pemerintah kolonial Belanda meniadakan
pendidikan agama bagi siswanya.
Apabila perkembangan pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh
pemerintah kolonial Belanda tersebut dikaji dengan kaca mata pendidikan
Islam, maka tidak ubahnya ketika melihat kedatangan bangsa Barat
pertama kali ke bumi Nusantara ini. Kedatangan bangsa Barat, di satu
pihak memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi kemajuan
teknologi tersebut bukan untuk dinikmati oleh penduduk pribumi,
tujuannya hanyalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula
halnya di bidang pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan
metodologi baru, dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan
sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu
kepentingan kolonialisme, dengan imbalan yang murah sekali
dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.
Pendidikan Islam sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum
masuknya kolonialisme di Indonesia. Pada awal pendudukan Belanda,
pendidikan Islam tersebut memang tidak mengalami perkembangan yang
berarti. Pendidikan Islam yang coraknya masih termasuk tradisional, yang
berlangsung di pesantren, masjid, mushola, dianggap tidak membantu
pemerintah Belanda. Para santri pondok pesantren masih dianggap buta
huruf latin yang secara resmi dijadikan acuan pada waktu itu (Hasbullah,
2001:52). Namun, tidak berarti keberadaan pendidikan ini tidak
mendapatkan pengawasan dari pemerintah Belanda. Kekhawatiran akan
adanya gerakan-gerakan yang membahayakan dari keberadaan
pendidikan Islam ini, membuat pemerintah Belanda akhirnya beberapa
kali mengeluarkan peraturan dan kebijakan untuk mengatur pendidikan
Islam.
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 113

Pada tahun 1882 tata tertib dan aturan bagi pelaksanaan pendidikan
Islam mulai disusun dengan mendirikan sebuah badan khusus yang
bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam,
yang mereka sebut priesterraden. Berdasarkan nasihat dari badan khusus
inilah, maka pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran
atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada
pemerintah Belanda. Aturan ini diperketat lagi pada tahun 1925, dengan
dikeluarkannya aturan bahwa tidak semua orang (kyai) boleh
membersihkan pelajaran mengaji kecuali telah mendapat semacam
rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda. Puncaknya, pada 1932
dikeluarkan lagi Ordonansi Sekolah Liar atau Wilde School Ordonantie,
berupa peraturan yang isinya adalah kewenangan untuk memberantas dan
menutup madrasah atau sekolah yang tidak ada izinnya, atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda.
Kegiatan dengan maksud untuk menekan dan mematikan kegiatan-
kegiatan pendidikan Islam dilakukan sejak awal kedatangan pemerintah
Belanda ke Indonesia. Salah satunya adalah dengan mempelajari secara
mendalam dan ilmiah di negeri Belanda, tentang segala hal tentang
pribumi dan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan indologi (Aqib
Suminto, 1985:2).
Secara khusus dipelajari secara mendalam sifat-sifat dan keadaan
umat Islam di Indonesia dengan segala aspeknya, oleh Prof. Snouck
Hurgronje yang memakai nama samaran Abdul Gaffar. Dia adalah seorang
sarjana sastra semit (Arab) yang telah lama belajar dan berpengalaman di
tanah Arab. Ia mempelajari Islam di Indonesia dengan mencari celah-celah
kelemahannya untuk selanjutnya dilaporkan sebagai hasil studi kepada
pemerintah Belanda, disertai saran-saran bagaimana seharusnya berbuat
dan menghadapi umat Islam di Indonesia. Saran-saran tersebut yang
menjadi pijakan atau dasar segala kebijakan pemerintah Belanda di
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kesadaran nasionalisme rupanya juga mempengaruhi para pendidik
Islam Indonesia awal abad XX. Para ulama saat itu menyadari bahwa
114 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional sudah tidak begitu


sesuai lagi dengan iklim Indonesia dan jumlah murid yang ingin belajar
pun semakin bertambah. Oleh karenanya, maka dirasakan kebutuhan
untuk memberikan pelajaran agama di madrasah atau sekolah secara
teratur. K.H. Ahmad Dahlan sendiri mengawalinya dengan mendirikan
Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912.
Kehadiran Persyarikatan Muhammadiyah saat itu menurut Daris
Tamim (1990: 35) merupakan mata rantai kebangkitan nasional pada awal
abad ke-20. Berdirinya Muhammadiyah merupakan bagian dari
bangkitnya kembali semangat dan jiwa patriotik segenap kekuatan
nasional progresif yang bertekad meneruskan perjuangan menghadapi
kekuatan dan kekuasaan kolonialis, imperialis, kapitalis Belanda, yang
dalam bentuk konkretnya berwujud pemerintaan kolonial Hindia Belanda.
Dikatakan bahwa kebangkitan nasional yang dipelopori oleh Budi Utomo
pada tahun 1908, diikuti berdirinya Syarikat Islam 1911 yang merupakan
kelanjutan Syarikat Dagang Islam yang sudah berdiri sejak 1905, kemudian
diikuti berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah 1912 sebagai organisasi
keagamaan dan kemasyarakatan. Sesudah dipelopori dengan berdirinya
ketiga organisasi tersebut di atas barulah kemudian disusul berdirinya
organisasi-organisasi lainnya sesudah tahun 1920an.
Dalam waktu hampir bersamaan, berkembang di Kairo ajaran-ajaran
Modernis Islam. Gagasan-gagasam modernis Islam yang diajarkan di
Kairo, terutama yang berasal dari Muhammad Abduh dianggap menjadi
bahaya besar bagi pemerintah kolonial Belanda. Pergerakan Abduh
muncul dan menjadi kuat pada pergantian abad XX, dan sejak itu berlanjut
menjadi suatu kekuatan yang potensial. Para pengikutnya yakin bahwa
Islam hanya dapat dipertahankan dengan memahami pengetahuan dan
metode-metode Barat, serta pengetahuan tentang apa saja yang telah
membawa kemajuan dunia Barat, sambil memurnikan ajaran Islam dari
pengaruh dan praktik tahyul. Pendidikan Tinggi Islam harus diperbaiki
dengan memasukkan mata pelajaran ilmu pengetahuan modern, sejarah
Eropa dan agama Kristen, dan keadilan sosial politik harus diberi tekanan
(Kahin, 1995:60).
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 115

Muhammadiyah, menurut Harry J. Benda (1985:70) merupakan


organisasi pembaharu paling penting di Indonesia pada saat berdirinya.
Masyarakat Islam yang secara komersial mendapat ancaman persaingan
dari para pedagang Cina dan secara agama terancam oleh kegiatan
misionaris Kristen yang semakin meningkat di Jawa pada dasawarsa
pertama abad XX dengan penuh semangat masuk ke dalam organisasi itu.
Dalam perkembangannya, sejak tahun 1920-an dan seterusnya,
Muhammadiyah menjadi kekuatan dominan di dalam Islam Indonesia;
bahkan dalam kenyataannya, dia menjadi perserikatan Indonesia yang
terbesar dan paling mampu bertahan, jauh melampaui organisasi-
organisasi agama dan politik lainnya. Disebutkan pula data bahwa pada
tahun 1937, Muhammadiyah telah memiliki 913 cabang di Jawa dan luar
Jawa.
Keberhasilan Muhammadiyah yang luar biasa menurut Harry J.
Benda (1985:71), terletak dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di kalangan
orang-orang tua dan pemuda. Sekolah-sekolah Muhammadiyah, yang
sebagian memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, mengajarkan
silabus modern yang memasukkan pendidikan umum dan pendidikan
gaya Barat maupun pengajaran agama yang berdasarkan pelajaran bahasa
Arab dan tafsir Alquran.
Muhammadiyah lahir dari buah pikir K.H. Ahmad Dahlan, sebagai
wujud sebuah organisasi resmi yang mengikuti paham modernis Islam,
mengajukan pengesahan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada
tahun 1912. Berdasarkan surat permohonan K.H. Ahmad Dahlan tertanggal
20 Desember 1912 yang ditandatangani oleh Voorzitter, yang terdiri dari
K.H. Ahmad Dahlan dan sekretaris Haji Abdullah Siraj, Gubernur Jenderal
Hindia Belanda dengan suratnya tertanggal 22 Agustus 1914 mengesahkan
Anggaran Dasar (statute) Muhammadiyah. Anggaran Dasar tersebut mulai
berlaku pada tanggal 22/23 Januari 1915, atau 12 Maulud 1333 H (Abdul
Munir Mulkhan, 1990: 94).
Saat diajukan, tujuan organisasi Muhammadiyah dirumuskan dalam
statute-nya sebagai berikut: (1) menyebarkan pengajaran agama Kanjeng
Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putera di dalam Residensi
116 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Yogyakarta, dan (2) memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.


Usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut di antaranya
dilakukan dengan mendirikan, memelihara, atau menolong dalam bidang
pengajaran, yaitu dengan memberikan pengajaran agama Islam di sekolah,
selain pengajaran umum.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1921, tujuan dan usaha
Muhammadiyah sesuai dengan besluit Gubernur Jenderal tertanggal 2
September 1921 no. 36, berubah menjadi: (1) memajukan dan meng-
gembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Nederland
(rumusan ini menunjukkan bahwa perkembangan Muhammadiyah dalam
tujuh tahun mampu menerobos batas geografis yang ditentukan oleh
pemerintah Belanda, dari lingkup residensi Yogyakarta menjadi seluas
wilayah Hindia Belanda); (2) memajukan dan menggembirakan cara
kehidupan sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya (segala
sekutunya). Adapun usaha yang dilakukan dalam mencapai tujuan
tersebut meliputi: (1) mendirikan, memelihara, dan membantu sekolah-
sekolah yang baru awal diberikan pengajaran agama Islam; (2) mendirikan
dan memelihara tempat sembahyang; (3) mengadakan perkumpulan untuk
membicarakan masalah agama; (4) menerbitkan serta membantu terbitnya
kitab-kitab yang memuat permasalahan agama Islam, tetapi tidak boleh
melanggar undang-undang dan keamanan serta ketertiban umum.
Tujuan organisasi tersebut bertahan cukup lama, selama lebih dari 20
tahun, namun pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942, atas desakan
Jepang, tujuan Muhammadiyah diubah dengan tambahan Mukaddimah
menjadi sebagai berikut (Abdul Munir Mulkhan, 1990:96),
Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia
Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh
Tuhan Allah, maka perkumpulan ini: (a) hendak menyiarkan agama Islam serta
melatihkan hidup selaras dengan tuntunannya; (b) hendak melakukan pekerjaan
kebaikan umum; (c) hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi
pekerti yang baik kepada anggota-anggotanya….
Berdasarkan kutipan tersebut, di samping tambahan mukaddimah,
ternyata terdapat penambahan pula dalam tujuan organisasi, yaitu selain
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 117

untuk memajukan pengetahuan dan kepandaian, juga untuk menanamkan


budi pekerti yang baik kepada para anggotanya.
Muktamar pertama setelah Indonesia merdeka yang diselenggarakan
pada tahun 1950 di Purwokerto, atau ke-31 jika dihitung sejak periode
rapat tahunan sejak Muhammadiyah berdiri tahun 1912, menandai
perubahan maksud dan tujuan organisasi Muhammadiyah untuk keempat
kalinya. Rumusan maksud dan tujuan pada tahun 1950 tersebut,
merupakan rumusan maksud dan tujuan yang pertama kalinya sejak
Indonesia merdeka. Maksud dan tujuan Muhammadiyah yang tercantum
dalam anggaran dasar Muhammadiyah pasal 3 saat itu adalah,
“menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.
Dari berbagai rumusan tujuan organisasi Muhammadiyah tersebut,
dapat disimpulkan bahwa tujuan Muhammadiyah secara umum adalah
tersusunnya suatu tata kehidupan kemasyarakatan sebagai akibat dari
penegakan Islam dalam kehidupan sosial tersebut. Penegakan Islam yang
dimaksud adalah pengkajian, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
serta dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar. Penegakan Islam yang
dimaksud dengan harapan terwujudnya suatu sistem tata kehidupan yang
diridhoi Allah.
Berdasarkan konsep tujuan di atas, maka orientasi gerak
Muhammadiyah lebih ditekankan kepada amal, karya, dan gerak dakwah.
Lebih khusus lagi, menurut Abdul Munir Mulkhan (1990:102), tujuan
perjuangan Muhammadiyah lebih berkualifikasi kultural daripada
struktural. Bagi Muhammadiyah, dimensi struktural hidup sosial adalah
merupakan akibat logis dari kondisi kultural tersebut, karena yang menjadi
persoalan utama bagi Muhammadiyah adalah bagaimana membudayakan
dan menjadikan Islam sebagai kepribadian masyarakat. Konsep tersebut
tercermin dalam rumusan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam
dan tidak melakukan tindakan politik praktis.
Persyarikatan Muhammadiyah berdiri atas prakarsa K.H. Ahmad
Dahlan sebagai sebuah gerakan Islam. Gerakan umat Islam yang
118 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

diorganisir untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab terhadap


agamanya, serta terhadap nusa dan bangsanya. Sebagai gerakan Islam,
Muhammadiyah berjuang di bidang masyarakat, bekerja dan bergerak di
tengah masyarakat, melaksanakan dakwah Islam dan amar makruf nahi
munkar dalam arti yang sebenarnya dan seluas-luasnya, untuk me-
negakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT.
Persyarikatan Muhammadiyah berdiri pada tanggal 18 November
1912. Tanggal bersejarah ini telah diabadikan dalam Anggaran Dasar sejak
pertama kalinya. Organisasi ini mendapatkan pengakuan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, melalui surat keputusan Pemerintah Hindia
Belanda (Gouvernement besluit) no. 81 tanggal 22 Agustus 1914, yang diubah
dan disempurnakan dengan surat keputusan No. 40 tanggal 16 Agustus
1920, diubah dan disempurnakan lagi dengan surat keputusan no. 36
tanggal 2 September 1921 yang menyebutkan
1.Mensahkan berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Hindia Belanda untuk
waktu 29 tahun sejak tanggal berdirinya…; 2. Mengakui bahwa Persyarikatan
Muhammadiyah ber-badan hukum Barat (Eroupesche rechts persoon).
Dipersamankan kedudukannya dengan bangsa/orang Belanda di dalam dan di luar
Pengadilan….
Saat itu, Muhammadiyah perlu mendapat badan hukum Barat,
menurut K.H. Ahmad Dahlan agar sebagai gerakan Islam bangsa Indonesia
martabatnya tidak direndahkan, dihina dan diperlakukan semena-mena
oleh kaum kolonialis Belanda dan ambtenaar Hindia Belanda yang sikapnya
sangat membenci dan memusuhi agama Islam dan kaum Muslimin bangsa
Indonesia. Dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk memisahkan
Muhammadiyah dari bangsa Indonesia. Saat itu tidak semua organisasi
mempunyai perizinan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Berbagai usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan
organisasinya, mendorong lahirnya berbagai jenis amal usaha, Seperti di
bidang penyelidikan hukum dan pendidikan yang terlihat dari
pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah di seluruh pelosok tanah
air. Amal usaha di bidang pengamalan dan dakwah dalam pengertiannya
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 119

yang luas mendorong tumbuhnya gerakan zakat fitrah, sholat ied di


lapangan, usaha perbaikan ekonomi anggota dan masyarakat. Pada bidang
ini juga melahirkan rumah Sakit, poliklinik, balai kesehatan, rumah yatim
(panti asuhan, rumah miskin, dan jompo). Selain itu, dibentuk pula
gerakan perbaikan perjalanan haji, dengan didirikannya Kapal Haji
Muhammadiyah.
Usaha dakwah dan penyiaran Islam pada masyarakat diusahakan
dalam bentuk usaha penerbitan buku, majalah, dan surat kabar, seperti
majalah Suara Muhammadiyah, surat kabar Adil (kini berubah menjadi
majalah), percetakan, penerbitan, dan toko buku. Dalam organisasinya,
didirikan Majlis Taman Pustaka yang mengelola segala bentuk usaha
penerbitan.
Berdasarkan rumusan tujuan dan amal usahanya, maka ruang
lingkup amal usaha Muhammadiyah rupanya meliputi empat pokok
persoalan. Hal itu tercermin dalam sistematisasi ajaran Islam ke dalam
empat bidang, yaitu: aqidah; akhlaq, ibadah, dan muamalah. Keempat
bidang tersebut merupakan struktur ajaran Islam sekaligus sistem hidup
menurut ajaran Islam. Berdasarkan pembidangan tersebut,
Muhammadiyah memandang bahwa hidup manusia merupakan ibadah,
dengan prinsip Tauhid, dan essensi eksistensinya adalah akhlaq, dalam
operasionalisasi muamalah. Dengan demikian ruang lingkup amal usaha
Muhammadiyah meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Penjabaran
aspek-aspek kehidupan tersebut menurut Abdul Munir Mulkhan
(1990:105) mempergunakan berbagai kriteria penjabaran, seperti: aspek
akal di bidang pemikiran dan filsafat, aspek budaya, aspek nilai, aspek
teknologi, aspek sosial-politik, aspek kesehatan, kesejahteraan sosial,
ekonomi, dan pendidikan.
Sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah
lebih menitikberatkan perhatian dakwahnya dalam bidang sosial dan
sebagian kecil ekonomi, di samping bidang-bidang pengkajian dan
pendalaman ke-Islaman. Sejak tahun 1927 telah disepakati bahwa
Muhammadiyah tidak akan melakukan tindakan politik praktis. Masalah
120 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

politik dalam Muhammadiyah hampir selalu menimbulkan perbedaan


pendapat, karena selama pertumbuhannya, dukungan politik
Muhammadiyah terhadap partai dan golongan politik selalu bergerak
dinamis bahkan seringkali berubah-ubah. Sikap politik Muhammadiyah
antara lain tercermin dalam penolakan organisasi ini terhadap Ordonansi
Guru, dalam kongres ke-15 tahun 1926. Sampai saat ini Muhammadiyah
masih berusaha mempertahankan prinsip untuk menjauhi politik praktis.
Setiap anggota Muhammadiyah tidak dilarang untuk terjun dalam politik
praktis, dengan syarat tidak melibatkan Muhammadiyah dalam
aktivitasnya.
Sejak didirikan, masalah kaderisasi dan pendidikan merupakan salah
satu sasaran utama gerakan dakwah Muhammadiyah. Pengajaran bahasa
Arab, Melayu, dan pribumi di sekolah-sekolah Muhammadiyah dilakukan
sejak tahun 1926. Beberapa tahun kemudian, Muhammadiyah menetapkan
program “bebas buta huruf (1934)”. Penyeragaman kurikulum di sekolah-
sekolah Muhammadiyah mulai dicanangkan tahun 1929. Satu tahun
kemudian (1930) ditetapkan hari Jumat sebagai libur mingguan, bulan
puasa sebagai libur tahunan, dan bulan Syawal sebagai awal tahun
pelajaran.
Penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah pemerintah atau
Gubernemen dilakukan sejak tahun 1926. Sejak itu pula, K.H. Ahmad
Dahlan mengusulkan agar pendidikan agama dilaksanakan di semua
tingkatan sekolah, dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Untuk
menampung para pelajar yang datang dari luar daerah, didirikan asrama
putri dan pondok Muhammadiyah, sejak tahun 1938. Pada tahun yang
sama, diusahakan pula program untuk membebaskan biaya pendidikan
bagi anak yatim dan mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar
sebagian uang kas masjid dipergunakan untuk membiayai pendidikan
mereka.
Restrukturisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah dimulai pada tahun
1929, mulai dari Sekolah Dasar, yang terdiri dari HIS, Standard school,
Arabsch Inlands School, Volkschool, Schakelschool, dan vervolgschool, dan
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 121

selanjutnya didirikan pula Normaalchool di Surakarta. Pada tahun 1930,


dilakukan peningkatan mutu kehidupan guru dengan meningkatkan gaji
guru. Pada tahun yang sama dilakukan pula penyesuaian kurikulum
Madrasah Ibtidaiyah dengan kurikulum pendidikan Mesir. Tujuh tahun
sebelumnya, Muhammadiyah menetapkan pula untuk membentuk badan
yang bertugas mengumpulkan dana tugas belajar ke Mesir dan Turki, serta
pengajuan permohonan kepada pemerintah agar Masjid dapat
dipergunakan untuk penyelenggaraan sekolah.
Perumusan mengenai dasar dan tujuan Perguruan Muhammadiyah
baru mulai disusun pertama kali pada tahun 1936. Inti dari rumusan
tersebut adalah, “menggiring anak Indonesia menjadi orang Islam yang
bersemangat, khusyuk, cerdas, sehat, cakap, dan trampil serta berguna bagi
masyarakat”. Perguruan Tinggi Muhammadiyah pertama kali didirikan
pada tahun 1936 di Betawi (Jakarta), sebagai tindak lanjut pengembangan
berbagai sekolah yang didirikan.
Organisasi Muhammadiyah menjadi basis utama perjuangan K.H.
Ahmad Dahlan di bidang pendidikan. Meskipun sebenarnya aktivitas K.H.
Ahmad Dahlan di bidang pendidikan sudah dimulai jauh sebelumnya,
namun dengan didirikannya Muhammadiyah merupakan langkah penting
dalam mengorganisasi segala gerak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam
bidang pendidikan, sosial, maupun budaya. Muhammadiyah menjamin
legalitas segala gerak perjuangannya, karena organisasi ini diusahakan
pula memiliki izin resmi dari pemerintah kolonial.
Muhammadiyah sebagai bagian dari gerakan modernisme Islam di
Indonesia, ditandai dengan tumbuhnya semangat di kalangan umat Islam
untuk melakukan gerakan modern di bidang pendidikan, organisasi sosial,
keagamaan, pelayanan kesehatan, panti asuhan, dan sebagainya. Selain itu,
ditandai pula dengan berkembangnya generasi baru yang lebih aktif dalam
organisasi modern, semangat dalam mengamalkan agama serta memiliki
jiwa merdeka.
BAB 8

KESIMPULAN

K
.H. Ahmad Dahlan berjuang keras memasukkan pendidikan
agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengetahuan
umum di sekolah. Ide menggabungkan antara pengajaran agama
dengan pengetahuan umum diwujudkannya dengan mendirikan sekolah
Muhammadiyah yang mengajarkan agama dan pengetahuan umum secara
bersama-sama. K.H. Ahmad Dahlan menganggap pengajaran agama di
sekolah secara teratur mendesak untuk segera dilakukan, dalam rangka
memberikan pendidikan moral bagi para siswa. Pemikiran pendidikan
tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi pendidikan Barat yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial, yang berjalan sangat lambat
dan diskriminatif, serta kondisi pendidikan Islam yang memprihatinkan.
Sifat diskriminatif pendidikan pemerintah kolonial terletak pada
perbedaan pelaksanaan pendidikan bagi pribumi dan bagi orang-orang
keturunan Belanda sendiri. Politik gradualisme, sengaja dilakukan oleh
Pemerintah Belanda dalam penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan
pendidikan yang sengaja dibuat sangat lamban serta membiarkan
penduduk Indonesia dalam kondisi pendidikannya tidak mengalami
kemajuan. Pendidikan Barat hanya diperuntukkan bagi orang-orang
keturunan Eropa dan beberapa orang pribumi dengan berbagai kriteria.
Ki Hadjar Dewantara mewujudkan konsep pendidikannya dengan
mendirikan Perguruan Tamansiswa yang lebih banyak mengajarkan
244 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

semangat nasionalisme melalui penanaman rasa cinta terhadap budaya


sendiri. Ki Hadjar Dewantara menganggap diperlukan usaha menanamkan
kesadaran kecintaan terhadap budaya lokal untuk memupuk rasa
kebangsaan dan nasionalisme. Derasnya arus westernisasi yang ditunjukkan
dengan semakin lunturnya rasa bangga terhadap budaya lokal serta
pemujaan yang berlebihan terhadap budaya Eropa di kalangan masyarakat
pribumi melatarbelakangi pula pemikiran pendidikannya. Ia juga menolak
konsep pendidikan kolonial yang saat itu dilaksanakan oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pendidikan kolonial saat itu mengedepankan aspek
intelektual semata tanpa memperhatikan aspek lain dari pendidikan
seperti pendidikan moral atau budi pekerti.
Pendidikan karakter yang diselenggarakan oleh K.H. Ahmad Dahlan
terlihat dari praktik pengajaran agama yang diberikannya, yaitu
pendidikan akhlak yang berbasis pada ajaran agama Islam. Agama tidak
sekedar dipelajari dan dimengerti saja, akan tetapi juga diamalkan menjadi
acuan penting dalam pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan. Iman,
ilmu, dan amal menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konsep
pendidikannya. Saat mengajarkan agama, K.H. Ahmad Dahlan
menekankan pentingnya mengamalkan setiap ajaran agama; pengamalan
agama menjadi kunci terpenting dalam proses pendidikan. Setiap ayat
yang diajarkan tidak hanya untuk dihafalkan dan diketahui maknanya,
yang lebih penting adalah untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-
hari. Beliau membagi pelajaran atas dua bagian, yaitu: (1) belajar ilmu
(pengetahuan/teori); dan (2) belajar amal (mengerjakan/memraktikkan).
Pengetahuan teori dan kegiatan mengamalkan (praktik) tidak boleh
dipisahkan. Agama bukan sekedar sebagai pengetahuan saja, tetapi harus
sampai pada diamalkan. Selain itu beliau juga memberikan teladan dan
mengedepankan dialog sebagai proses penyadaran.
Pendidikan karakter dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
adalah pendidikan budi pekerti yang mengedepankan kecintaan kepada
budaya lokal untuk memupuk rasa kebangsaan dan nasionalisme. Dalam
usahanya melawan pendidikan Barat yang intelektualis, maka Ki Hadjar
Dewantara pun melakukan gerakan pembaharuan dalam pendidikannya.
Kesimpulan 245

Pendidikan menurutnya, harus memperhatikan keseimbangan antara


tumbuhnya budi pekerti, intelektual, serta tubuh atau jasmani anak, demi
sempurnanya tumbuh kembang anak. Ki Hadjar Dewantara menolak
konsep pendidikan kolonial yang hanya mengedepankan intelektual
semata, seperti yang saat itu dilaksanakan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Ki Hadjar Dewantara memadukan antara ilmu pendidikan yang
mengedepankan kecerdasan budi, yang berasal dari Montessori dan
Tagore dengan sistem among yang sudah sejak lama dikenal dalam
masyarakat kita. Dengan konsep “tringa” yaitu ngerti (mengetahui), ngroso
(menginsyafi), nglakoni (melakukan) yang dipadukan dengan sistem
among, dengan tahapan pengajaran budi pekerti yang diambil dari agama
Islam yang terdiri dari syari’at, hakikat, tarikat dan ma’rifat, pendidikan
diterjemahkan sebagai upaya mengembangkan kehidupan lahir dan batin
anak, sesuai dengan kodrat alamnya. Hal-hal yang lain, seperti
pengetahuan, kepandaian bukan menjadi tujuan utama, namun hanya
sebagai syarat saja. Buah atau hasil dari pendidikan adalah masaknya jiwa
yang tercermin dari kehidupan yang selamat dan bahagia, untuk diri
sendiri maupun orang lain.
Dengan latar belakang yang hampir sama, K.H. Ahmad Dahlan dan
Ki Hadjar Dewantara menyelenggarakan pendidikan yang tidak hanya
mencerdaskan secara intelektual, akan tetapi juga membangun integritas
dan kepribadian siswanya. Memadukan konsep pendidikan akhlak seperti
ajaran K.H. Ahmad Dahlan dan pendidikan budi pekerti dari Ki Hadjar
Dewantara menjadi sebuah alternatif untuk menemukan sebuah konsep
pendidikan karakter yang paling ideal bagi masyarakat Indonesia.
Keduanya sama-sama menginginkan terwujudnya masyarakat Indonesia
yang berjiwa merdeka, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur.
Pendidikan karakter keduanya ditanamkan dalam proses pendidikan yang
bersifat kekeluargaan, dialogis, dan bersifat menyeluruh. Konsep
keteladanan serta proses dialog untuk menemukan akar masalah dan
menyelesaikan masalah dilakukan sebagai sebuah upaya penyadaran.
Usaha mengoptimalkan internalisasi nilai-nilai yang ingin
ditanamkan diusahakan secara lebih intensif dalam sistem pondok atau
246 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

asrama, dan dikelola dengan prinsip kekeluargaan. Sistem asrama,


menurut Ki Hadjar Dewantara, dapat mengurangi pembiayaan, dan
mengajarkan prinsip hidup sederhana, baik untuk siswa maupun bagi
guru. Selain itu, melalui sistem pondok, kebersamaan guru dan murid
setiap harinya, siang dan malam, bahkan waktu makan mereka dapat
bersama, bermain, bergaul, secara tidak langsung anak terdidik dengan
sempurna, tidak hanya menurut buku-buku pelajaran, tetapi berdasarkan
pengalaman hidup yang sehari-hari mereka alami. Pendidikan dilakukan
menurut cara hidup yang nyata dan baik. Sistem yang demikian membuat
anak merasa dekat dengan orang tua, secara lahir maupun batin, karena
sosok guru sekaligus sebagai orangtua di dalam sistem pondok.
Pendidikan karakter dalam pendidikan akhlak menurut K.H. Ahmad
Dahlan, dan pendidikan budi pekerti dalam pandangan Ki Hadjar
Dewantara memiliki landasan konseptual yang hampir sama. Keduanya
bisa diibaratkan sebagai sebuah gerakan kembar, sama-sama berjuang
membangun semangat kemerdekaan di antara masyarakat pribumi,
walaupun dengan landasan yang berbeda, yaitu agama dan budaya. Latar
belakang keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang terjajah,
menjadikan keduanya mempunyai konsep pendidikan yang pada
hakikatnya mempunyai kesamaan prinsip. Keduanya, mengedepankan
pendidikan untuk pembinaan karakter dalam diri siswa. Kesederhanaan,
kedisiplinan, berjiwa bebas atau merdeka, serta akhlak yang mulia,
menjadi tujuan utama dalam konsep pendidikan keduanya. Proses
pembelajaran menurut kedua tokoh tersebut juga mempunyai kesamaan,
bahwa keduanya sangat mementingkan prinsip keteladanan serta proses
penyadaran melalui dialog. Guru memegang kunci utama dalam membina
karakter siswanya di sekolah, ia wajib memberi suri tauladan kepada para
muridnya, dalam segala prinsip pengetahuan yang diajarkan, selain harus
pula menginspirasi murid-muridnya melalui proses pembelajaran yang
dialogis.
Satu-satunya hal yang membedakan konsep pendidikan antara K.H.
Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara adalah terletak pada prinsip
pengajaran agama. Meskipun tidak secara tegas menolak, namun Ki Hadjar
Kesimpulan 247

Dewantara menganggap bahwa pendidikan agama tidak harus


disampaikan sebagai mata pelajaran di sekolah. Menurutnya, agama bisa
dimasukkan sebagai etik (pengajaran budi pekerti), sebagai perkecualian
untuk daerah-daerah yang penduduknya hidup secara adat Islam,
dibolehkan memberi pengajaran agama di dalam jam pelajaran, tetapi
tidak boleh dengan paksaan.
Jika dibandingkan dengan teori-teori pendidikan karakter yang
aktual sekarang ini, K.H. Ahmad Dahlan maupun Ki Hadjar Dewantara
memang belum menteorikannya secara jelas. Namun demikian, keduanya
telah memberikan gambaran secara lengkap bagaimana menerapkan
konsep karakter terhadap para siswanya. Seorang guru harus bisa
mengajar dengan hati, tidak hanya sekedar mengajarkan pengetahuan,
tetapi justru lebih terfokus pada membangun kepribadian siswanya.
Kesiapan seorang guru untuk mengajarkan karakter menjadi faktor utama,
seorang guru harus menjadi figur yang dapat diteladani oleh para
siswanya serta berperan sebagai orangtua di sekolah. Selain itu, guru juga
harus menjadi pribadi yang komunikatif, yang dapat membantu
memecahkan permasalahan siswa melalui proses dialog. Meskipun begitu
pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggungjawab guru di sekolah.
Ki Hadjar Dewantara telah mengajarkan adanya tri pusat pendidikan,
yaitu keluarga, masyarakat, dan sekolah. Ketiganya harus secara bersama-
sama dan konsisten membudayakan karakter yang baik.
Konsep pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara
tersebut, telah berhasil pada zamannya, dalam menandingi sistem
pendidikan Barat yang intelektualis serta melawan arus westernisasi yang
dibawa oleh pemerintah kolonial. Memadukan kedua konsep pendidikan
karakter tersebut, akan menghasilkan konsep pendidikan karakter yang
sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Sila
Ketuhanan dan sila kebangsaan menjadi unsur penting yang wajib ada
dalam pembinaan karakter bangsa. Masyarakat Indonesia yang merupakan
bagian dari masyarakat Timur yang mendasarkan hidupnya pada
religiusitas, berpandangan bahwa nilai-ekonomi, politik, sosial,
pengetahuan, susila, dan sebagainya tidak bisa dilepaskan dari agama.
248 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Agama menjadi sumber dari nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat.


Dengan demikian, nilai-nilai kebudayaan nasional yang ada adalah nilai-
nilai kebudayaan nasional yang bernafaskan agama pula.
K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara sama-sama
memperjuangkan kemerdekaan dengan mempertahankan agama dan
budaya bangsa. Dua hal tersebut, baik agama maupun budaya sangat
dihormati oleh bangsa kita. Nilai-nilai budaya lokal yang membangun
budaya nasional menjadi bagian penting dalam pengembangan
pendidikan karakter, mengingat tantangan yang semakin berat di dunia
global saat ini. Dunia pendidikan dihadapkan pada nilai-nilai
materialisme, nilai-nilai pengetahuan yang terpisah dengan agama dan
budaya. Nilai-nilai tersebut dapat menghancurkan agama dan budaya
bangsa, sehingga dibutuhkan pengembangan karakter yang menggunakan
nilai-nilai dasar agama dan budaya di samping nilai-nilai kemanusiaan
yang lain.

-oo0oo-
BAB ..

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Syukri Zarkasyi. (2010). “Membangun Kepribadian dan Karakter


Bangsa Melalui Pendidikan”. Makalah. Disampaikan dalam seminar
nasional FISE UNY 12 Mei 2010.
Abdul Munir Mulkhan. (1990). Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah, dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi
Aksara.
_______. (2010). Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan, dalam Hikmah
Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Abdul Mu’ti. (2008). ”Pluralisme Keagamaan dalam Pendidikan
Muhammadiyah: Studi Kasus di Ende, Serui, dan Putussibau”. Disertasi.
Jakarta: UIN Sjarif Hidayatullah.
Abdurrachman Surjomihardjo. (1986). Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa
dalam Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Adi Nugraha. (2009). K.H. Ahmad Dahlan, Biografi Singkat 1869-1923.
Yogyakarta: Garasi.
Ahmad Adaby Darban. (2010). Sejarah Kauman, Menguak Identitas Kampung
Kauman. Yogyakarta: Surya Sarana Grafika.
250 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Ahmad Dahlan. (1985). “Tali Pengikat Hidup Manusia”, dalam buku


Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, Menyambut
muktamar ke-41. Yogyakarta: PT Dua Dimensi.
Ahmad Tafsir. (1987). “Konsep pendidikan formal dalam Muhammadiyah”.
Disertasi. Jakarta: UIN Sjarif Hidayatullah.
Alfian. (2010). Politik Kaum Modernis, Perlawanan Muhammadiyah terhadap
Kolonialisme Belanda. Jakarta: Al Wasath.
Alwi Shihab. (1998). Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah
terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Jakarta: Mizan.
Agus purnomo. (1988). Implementasi Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang
Jiwa Merdeka Sebagai Pencerminan Eksistensi Manusia. Yogyakarta: UST
Aqib Suminto. (1985). Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Azyumardi Azra. (2010). Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa.
http://icmijabar.or.id/?p=226, diakses pada tanggal 11 April 2011.
Bobbie De Porter & Mike Hernacki. (2003). Quantum Learning. Jakarta:
Berk, Laura E. (2007). Development Through The Lifespan. Boston: Allyn and
Bacon.
Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: Gramedia.
Bogdan & Steven Jean Taylor. (1975). Introduction to Qualitative Research
Methods. New York: John Wiley & Sons.
Bogdan & Robert C. (1982). Qualitative Research for Education: An
Introduction to Theory and Methods. Boston London Sydney Toronto:
Allyn and Bacon
Bourdieu, Piere & Jean-Claude Passeron. (1996). Reproduction in Education,
Society and Culture. London: Sage.
Carney, T.F. (1972). Content Analysis Technique for Systematic Inference from
Communication. London: B.T. Batsford.
Coles, Robert. (1997). The Moral Intelligence of Children. New York: Random
Huse, Inc.
Daftar Pustaka 251

Darmiyati Zuchdi. (2010). “Pengembangan model pendidikan karakter


terintegrasi dalam pembelajaran bidang studi di SD”. Cakrawala
Pendidikan edisi Khusus Dies Natalis UNY, Mei 2010 Th. XXIX.
_______. (2010). Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
_______. (2011). “Bahasa dan Sastra Indonesia Sebagai Wahana Pendidikan
Karakter”. dalam buku Pendidikan karakter, dalam perspektif teori dan
praktik. (Darmiyati Zuchdi, editor). Yogyakarta: UNY Press.
Daris Tamim. (1990). “Muhammadiyah di Mata Rantai Perjalanan Bangsa”.
Dalam buku Muhammadiyah, Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usahanya.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Deliar Noer. (1985). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES.
Depdiknas. (2002). Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Ditjen
Dikdasmen.
Dilthey&Wilhelm. (1962). Pattern and Meaning in History. New York:
Harper&Row.
Djarnawi Hadikusuma. (1973). Aliran Pembaharuan Islam, dari Jamaluddin Al-
Afghani sampai K.H.A. Dahlan. Yogyakarta: Penerbit Persatuan.
Djumhur, I. (1974). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu.
Doni Koesoema, A (2010). Pendidikan Karakter Integral. http://edukasi.
kompas.com. Diakses pada Kamis, 11 Februari 2010.
Fachruddin, A.R. (1984). Menuju Muhammadiyah. Yogyakarta: Majlis
Tabligh.
Fudyartanto. (1987). Tinjauan Filosofis terhadap Sistem Among dan
Penerapannya dalam Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa.
Firdaus M. Yunus. (2007). Pendidikan Berbasis Realitas Sosial: YB
Mangunwijaya- Paulo Freire. Yogyakarta: Logung Pustaka.
252 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Freire, Paulo. (1999). Pendidikan Membebaskan, Pendidikan yang


Memanusiakan dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif
Liberal Anarkis. Terj. Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______. (1977). Paedagogy of The Oppressed. Auckland: Penguin Book Ltd.
_______. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. (terj. Tim redaksi LP3ES,
penyunting: Imam Ahmad.
Fudyartanto. (1987). Tinjauan Filosofis terhadap Sistem Among dan
Penerapannya dalam Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa.
Fullan, Michael. (ed.). (1997). The Challenge of School Change: A Collection
Article. Illinois: Skylight Training and Publisher Inc.
Gardner, Howard. (1993). Multiple Intelligences. New York: Basic Books
Harper Collins Publ., Inc.
Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New
York.
Gettinger, M. (2001). “Development and Implementation of a Performance
Monitoring System for Early Childhood Education”. Early Childhood
Education Journal, 29.
Goodlad, John. (1994). Educational Renewal: Better Teachers Better Schools. San
Fransisco: Jossey Bass Publishers.
Goleman, Daniel. (1995). Emotional Intelligences. New York: Bantam Books
Gottschalk, Louis. (1986). “Understanding History: a Primer of Historical
Method”. a.b. Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI
Press
Hadjid, K.R.H. (2008). Pelajaran KHA Dahlan, 7 Falsafah & 17 Keompok Ayat
Al Quran. Yogyakarta: LPI PP Muhammadiyah.
Harry J. Benda. (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada
Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Daftar Pustaka 253

Hasbullah. (2001). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah


Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: LSIK.
Harun Nasution. (1998). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr.
Harun Nasution. Jakarta: Penerbit Mizan.
Heafford, M.R. (1961). “Pestalozzi”. The Library of Educational Thought.
London: Methuen & Co LTD.
Heri Sucipto. (2010). K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri
Muhammadiyah. Jakarta: Best Media Utama.
Imam Barnadib. (1982). Arti dan Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:
Yayasan penerbit FIP IKIP Yogyakarta.
Ismu Tri Parmi. (2009). “Refleksi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
yang Berwawasan Nasional Menuju Integrasi Nasional:Sebuah
Pendekatan Historis Kultural”. Disertasi. Yogyakarta: PPs UNY.
Junus Salam. (1968). K.H.A. Dahlan, Amal dan Perdjoeangannja. Djakarta:
Depot Pengadjaran Muhammadijah.
Kahin, Goerge Mc. Turnan. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
(Terj. Nin Bakdi Soemanto). Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Kaelan. (2005). Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter.
Jakarta: Kemendiknas.
Khoiruddin Bashori. (2010). Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa.
http://mediaindonesia.com. Diakses pada tanggal 15 Maret 2010.
Ki Hadjar Dewantara. (1964). Kenang-kenangan Promosi Doktor Honoris
Causa. Yogyakarta: Majelis Luhur Tam-sis.
_______. (1977a). Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan.
Yogyakarta Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
254 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

_______. (1977b). Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Kedua: Kebudayaan.


Yogyakarta Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
_______. (2008). “Kebangkitan Pendidikan Nasional, Menggali Butir-butir
Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara untuk Memaknai
Kebangkitan Nasional.” Kumpulan Tulisan. Yogyakarta: Perpustakaan
Puro Pakualaman.
_______. (1951a). Hal Pendidikan; Diktat K.H.D. Pusara. Djilid XIII No.3, 59-
64..
_______. (1951b). Sifat dan Maksud Pendidikan I. Pusara. Djilid XIII No.4,
65-68.
_______. (1951c). Sifat dan Maksud Pendidikan II. Pusara. Djilid XIII No.5.
_______. (1954). “Pengadjaran Budi Pekerti”. Pusara. Djilid XVNo.11, 172-
174.
_______. (1955). “Pangkal-pangkal Roch Tamansiswa”. Dalam buku
Peringatan Tamansiswa 30 Tahun 1922-1952. Yogyakarta: Majelis Luhur
Tamansiswa.
_______. (1964). Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa. Jogjakarta: Madjelis
Luhur Tamansiswa.
Ki Gunawan. (1989). “Aktualisasi Konsepsi Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia di Gerbang
Abad XXI. Dalam Buku Ki Hadjar Dewantara, dalam Pandangan Para
Cantrik dan Mentriknya. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.
Ki Iman Sudijat. (1989). “Pamong yang Berwatak Satria Pinandhita dan
Pandhita Sinatria”. Dalam buku Ki Hadjar Dewantara, dalam
Pandangan Para Cantrik dan Mentriknya. Yogyakarta: Majelis Luhur
Tamansiswa.
Killpatrick, W., (1992). Why Johny Can’t Tell Right from Wrong. New York:
Simon & Schuster, Inc.
Daftar Pustaka 255

Kirschenbaum, Howard. (2000). “From Values Clarification to Character


Education: a Personal Journey. Journal of Humanistic Counseling,
Education, and Development. Vol. 39, no. 1, p. 4.
Kneller, George F. (1964). Introduction to The Philosophy of Education. New
York: Chichester, Brisbane, Toronto.
Krippendorff, Klaus. (1980). Content Analysis: Introduction Its Theory and
Metodology. University of Pennsylvania.
Kuntowidjojo. (1985). “Muslim kelas menengah Indonesia dalam mencari
identitas, 1910-1950”. Prisma 11, hlm. 35-51.
Kupperminc, G.P., Leadbeater, B.J., and Blatt, S.J., (2001). “School Social
Climate and Individual Differences in Vulnerability to
Psychopathology Among Middle School Students”. Journal of
Psychology, vol. 39, no 2, pp. 141-159.
Kyai Syuja. (2010). Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan
dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Al Wasath.
Lexy J. Moleong. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Lofland & Lofland. (1984). Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative
Observation and Analysis. Belmont Cal.: Wadsworth Publishing
Company.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
_______. (2000). “Thomas Lickona., Talks About Character Education”.
ProQuest Education Journals. Vol. 14, no.7, pp. 48-49.
Martianto, Dwi Hastuti. (2002). “Pendidikan Karakter: Paradigma Baru
dalam Pembentukan Manusia Berkualitas”. Makalah. PPS S3 ITB
Bandung. Diunduh dari http://tumoutou.net/70205123/dwi_
hastuti.htm, tanggal 24 April 2010.
256 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

Marzuki. (2011). “Prinsip Dasar Pendidikan Karakter Perspektif Islam”.


Dalam buku Pendidikan Karakter, dalam Perspektif Teori dan Praktik.
Yogyakarta: UNY Press.
Miles, M.B. and Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A
Sourcebook of New Methods. Beverly Hills CA: Sage Publications.
Mitsuo Nakamura. (1983). The Crescent Arises Over the Banyan Tree.
Yogyakarta: percetakan Universitas Gadjah Mada.
Mohammad Djazman. (1990). “Pondok Muhammdiyah Sebagai Sistem
Pendidikan untuk Menyiapkan Kader-kader Muhammadiyah”.
Dalam buku Muhammadiyah, Sejarah dan Amal Usahanya, hal 188-191.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mohammad Tauchid. (1968). Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor
Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Tamansiswa.
Nasution, S. (2001). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution. (1992). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Noeng Muhadjir. (2000). Ilmu Pendidikan dan perubahan Sosial, Teori
Pendidikan Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Pearson, Quinn M., Nicholson, Janice I. (2000). “Comprehensive character
education in the elementary school: strategies for administrators,
teachers, and counselors”. Journal of Humanistic Counselors, Education
and Development. vol. 38, no. 4. pp. 243-251.
Poespoprodjo, Wasito. (1987). Interpretasi. Bandung: CV. Remaja Karya
Ratna Megawangi. (2007). Semua Berakar pada Karakter. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE-UI.
Ricoeur, Paul. (1988). The Conflict of Interpretation. Evanston: Western
University Press.
Ridjaluddin. (2001). Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan,
Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa. Jakarta: LPP Uhamka Jakarta.
Daftar Pustaka 257

Sodiq A. Kuntoro. (2006). “Menapak Jejak Pendidikan Nasional Indonesia”,


dalam buku Kearifan Sang Profesor, Bersuku-Bangsa untuk Saling
Mengenal. Yogyakarta: UNY Press.
_______. (2008). “Sketsa Pendidikan Humanis Religius.” Makalah.
Disampaikan sebagai bahan diskusi dosen di FIP, 5 April 2008.
_______. (2011). “Pendidikan dalam Kehidupan dan untuk Perbaikan
Kehidupan”. Makalah. Disampaikan pada seminar nasional Prodi
Ilmu Pendidikan Program Doktor PPs UNY 18 Oktober 2011.
Spradley, J.P., (1979). The Ethnographic Interview. New York: Rinehart and
Winston, Inc.
Sudiarja, A. SJ. Dkk. (2006). Karya Lengkap Driyarkara, Esai-esai Filsafat
Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Indonesia.
Suparto Rahardjo. (2010). Ki Hadjar Dewantara, Biografi Singkat 1889-1959.
Yogyakarta: Garasi.
Seto Mulyadi. (2008). Tinjauan berbagai Aspek, Character Building, Bagaimana
Mendidik Anak Berkarakter?. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sugiyono. (2011). Metode penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suyata. (2010). “Pemberdayaan Sekolah”. Makalah. Disampaikan pada
Workshop Strategi Pengembangan Mutu Sekolah bagi Kepala
Sekolah dan Pengawas Sekolah Tanggal 7 Agustus 2010 di PPs UNY.
Tylor, Edward. B. (1974). Primitive Culture: Researches Into The Development
of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom. New York: Gordon
Press.
Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: P.T.
Rineka Cipta.
_______, H.A.R. (2006). Standardisasi Pendidikan Nasional: Suatu tinjauan
Kritis. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
258 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah

_______, (2002). Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tim Pendidikan Karakter. (2008). Grand Design Pendidikan Karakter. Jakarta:
Kementerian Pendidikan Nasional.
Wellek, Rene and Austin Warren. (1962). Theory of Literature: A Harvest Book
Harcourt. New York: Brace and World, Inc.
Whitney, F.I. (1960). The Elements of Research. Osaka: Overseas Book Co.
Zamroni (2006). “Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi”, dalam Buku
Kearifan Sang Profesor, Bersuku-Bangsa untuk Saling Mengenal.
Yogyakarta: UNY Press.
_______. (2002). “Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional dalam
Mewujudkan Peradaban Bangsa”. Dalam Buku Pendidikan untuk
Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: Grassindo.
_______. (2011). “Kebijakan Pendidikan Mempersiapkan Pendidikan
Menuju Abad 21”. Makalah. Disampaikan pada seminar nasional
Prodi Ilmu Pendidikan Program Doktor PPs UNY 18 Oktober 2011.

-oo0oo-

Anda mungkin juga menyukai