Agama Dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter Di Sekolah
Agama Dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter Di Sekolah
KATA PENGANTAR
B
uku ini berasal dari disertasi yang saya ajukan sebagai salah satu
persyaratan untuk mendapatkan gelar Doktor dalam Ilmu
Pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta. Judul asli dari disertasi ini adalah “Kajian Konsep Pendidikan
Karakter Menurut K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara, Suatu Refleksi
Historis Kultural”. Saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya kepada
segenap pihak yang dengan keikhlasannya telah membantu ter-
selesaikannya penulisan buku ini. Secara khusus saya ucapkan pula
banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Sodiq A. Kuntoro, M.A., dan Prof.
Darmiyati Zuchdi, Ed.D., atas bimbingan, kritik, saran serta masukan yang
diberikan selama proses penelitian dan penulisan. Saya merasa sangat
beruntung dan berterima kasih mendapat kesempatan untuk berkarya di
bawah bimbingan beliau berdua.
Pendidikan karakter merupakan tema aktual yang banyak diangkat
saat ini, mengingat berbagai permasalahan yang muncul terkait per-
masalahan krisis moral di berbagai kalangan. Bagi bangsa Indonesia,
pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru. Sejak
awal abad XX ketika bangsa Indonesia masih dalam belenggu kolonialisme
telah muncul ide dan gagasan tentang pendidikan karakter dari kalangan
tokoh-tokoh pendidikan saat itu, seperti K.H.A. Dahlan dan Ki Hadjar
Dewantara. Melalui pendidikan karakter, keduanya mencoba membangun
vi Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
-oo0oo-
viii Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
BAB ..
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 KAJIAN HISTORIS PENDIDIKAN NASIONAL 13
2.1 Pengertian Pendidikan dan Tujuan Pendidikan Nasional 13
2.2 Pengertian dan Manfaat Kajian Historis Pendidikan 23
2.3 Pendidikan Nasional dalam Membangun Karakter Anak 29
BAB 3 PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS AGAMA 43
DAN BUDAYA
3.1 Kajian tentang Pendidikan Karakter 43
3.2 Pengertian Pendidikan Karakter 45
3.3 Pendidikan Karakter Berbasis Agama 54
3.4 Pendidikan Karakter Berbasis Budaya 60
BAB 4 LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H. AHMAD 67
DAHLAN DAN KI HADJAR DEWANTARA
4.1 K.H. Ahmad Dahlan 67
4.2 Ki Hadjar Dewantara 78
x Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
-oo0oo-
BAB 1
PENDAHULUAN
P
endidikan saat ini masih menyisakan banyak persoalan. Mulai
dari masalah kurikulum sampai dengan masalah-masalah lain
yang terkait dengan materi maupun target capaian dalam proses
pembelajaran. Kurikulum 2013 yang diterapkan di sekolah saat ini
menekankan pada dimensi pendidikan karakter yang terintegrasi pada
setiap mata pelajarannya. Dalam praktiknya masih perlu kajian lebih lanjut
tentang konsep pendidikan karakter yang sebaiknya diterapkan pada
setiap mata pelajaran sesuai tuntutan kurikulum 2013 tersebut.
Era globalisasi menuntut kita untuk bangun dan melihat kembali
realitas pendidikan yang ada saat ini. Kurikulum 2013 yang sarat dengan
muatan pendidikan karakter memberi harapan baru bahwa pendidikan
tidak sekedar mengejar ketercapaian dari sisi aspek kognitif saja melainkan
juga afektif bahkan psikomotor. Membekali anak dengan kecerdasan emosi
sangat penting pada masa ini mengingat banyaknya kasus terjadi, anak
cerdas di sekolah, nilainya selalu bagus tapi tidak bisa mengelola emosinya
dengan baik, seperti mudah marah, mudah putus asa atau angkuh dan
sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk
dirinya. Kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan
pada anak sejak usia dini sebagai dasar ketrampilan mereka di tengah
masyarakat ketika dewasa, sehingga akan membuat seluruh potensinya
dapat berkembang secara lebih optimal.
2 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
Sebagai salah satu contoh, sesuai dengan pendapat yang ada di Barat,
agama adalah hasil pemikiran manusia, nilai-nilai agama disejajarkan
dengan nilai-nilai ekonomi, politik, pengetahuan, susila, dan sebagainya.
Akibatnya nilai-nilai itu berkembang dalam kelompoknya masing-masing,
terlepas dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan pengertian di Timur,
nilai ekonomi, nilai politik, nilai sosial, nilai pengetahuan, nilai susila, dan
sebagainya tidak bisa dilepaskan dari agama dan budaya. Bahkan agama
dan budayalah yang menjadi dasar dari nilai-nilai dalam berbagai
kelompok itu.
Hubungannya dengan agama sebagai basis nilai, dalam Islam Al-
Quran mengandung ajaran-ajaran bukan hanya mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama
manusia, manusia dengan hewan dan makhluk-makhluk tak bernyawa.
Mengenai hubungan manusia dengan manusia, Al-Quran mengandung
ajaran-ajaran dasar tentang hidup kemasyarakatan manusia dalam aspek
sosial, hukum, ekonomi, politik, moral, dan sebagainya (Harun Nasution,
1998). Di atas ajaran-ajaran dasar itulah nilai-nilai dalam berbagai
kelompok berkembang. Yang berkembang dalam filsafat ini kemudian
bukanlah nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, pengetahuan, susila dan
sebagainya yang sekular, tetapi nilai-nilai sosial, politik, ekonomi,
pengetahuan, susila dan sebagainya yang agamis. Nilai-nilai sekular
seperti di Barat jelas tidak sesuai dengan jiwa kemasyarakatan Timur yang
agamis.
Selanjutnya mengenai konsep pendidikan, pengertian pendidikan
bagi kita di Timur, bertujuan bukan hanya mengisi yang dididik dengan
ilmu pengetahuan dan mengembangkan ketrampilannya saja, tetapi juga
mengembangkan aspek moral dan agamanya. Dari sini terlihat bahwa akar
pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sebuah wacana baru bagi dunia
pendidikan di Indonesia, namun telah ada dalam pendidikan kita sejak
dulu. Konsep ini sejalan dengan konsep manusia yang tersusun dari tubuh,
akal, dan hati nurani seperti diyakini oleh orang-orang Timur.
Konsep pendidikan seperti itu tentu saja menghendaki bukan hanya
pengintegrasian nilai-nilai kebudayaan nasional, tetapi juga pe-
12 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
-oo0oo-
BAB 2
2.1 Pengertian Pendidikan dan Tujuan Pendidikan
Nasional
P
endidikan menurut UU No.20 Tahun 2003 adalah sebagai usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
negara.
Berdasarkan UU tersebut jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan
nasional tidak untuk mencerdaskan anak secara intelektual, tetapi juga
mengembangkan kepribadian mereka secara utuh. Tantangan kehidupan
global sekarang ini, justru membutuhkan anak-anak, generasi muda dan
manusia yang memiliki kepribadian, kemandirian, kreativitas, dan
semangat (motivasi) untuk melakukan adaptasi dan perubahan kehidupan,
bukan sekedar generasi muda yang menguasai pengetahuan teknis, tetapi
lemah kepribadiannya. Hal penting bagi praktik pendidikan dalam
menghadapi tantangan kehidupan modern dan global tersebut adalah
dibutuhkannya landasan pradigma pendidikan yang bersifat
transformasional, pendidikan yang membangun perubahan pada diri anak,
14 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
2.2 Pengertian dan Manfaat Kajian Historis Pendidikan
Manusia tidak akan pernah terlepas atau bisa dikatakan juga menyatu
dengan sejarah hidupnya. Manusia menyejarah diartikan bahwa manusia
memiliki kemampuan merefleksi kejadian-kejadian masa lalu secara
subyektif, untuk berbuat di masa sekarang dalam rangka menuju masa
depan yang lebih baik. Manusia sebagai subyek menjadikan masa lalu,
masa sekarang, dan masa yang akan datang sebagai rangkaian karya yang
mengisi kehidupan yang berlangsung terus-menerus. Hal ini dikemukakan
pula oleh Freire (1977:73-74),
The difference between animals-who (because their activity does not constitute
limit-acts) cannot create products detached from themselves – and men – who
through their action upon the world create the realm of culture and history – is that
only the latter are beings of the praxis. Only men are praxis – the praxis which, as
the reflection and action which truly transform reality, is the source of knowledge
and creation. Animal activity, which occurs without a praxis, is not creative; man’s
transforming activity is.
…through their continuing praxis, men simultaneously create history and become
historical – social beings. Because – in contrast to animals – men can try
dimensionalize time into the past, the present, and the future, their history, in
function of their own creations, develops as a constant process of transformation
within which epochal units materialize. These epochal units are not closed periods of
time, static compartment within wich men are confined. Were this the case, a
fundamental condition of history – its continuity – would disappear. On the
contrary, epochal units interrelate in the dynamics of historical continuity.
dan lingkungan yang lebih mudah atau sesuai dibandingkan dengan masa-
masa yang telah lampau.
Keempat, studi tentang evolusi teori pendidikan. Dengan
memperhatikan perubahan yang meningkat dari teori-teori pendidikan
yang ada, orang dapat terpengaruh untuk memiliki tingkah laku yang baik
seperti kerendahan hati dan kesabaran. Kelima, studi mengenai aspirasi-
aspirasi pendidikan melewati sejarahnya, karena aspirasi adalah pikiran
tajam yang menghendaki terwujudnya sesuatu yang lebih baik yang
pernah ada, orang dapat menempuh jalan untuk menambah pengetahuan
mengenai sivilisasi.
Keenam, studi mengenai sejarah alam fikir pendidikan. ini
merupakan pendekatan dan pemahaman yang dapat memberikan arah
studi mengenai prinsip-prinsip pembaharuan sosial, kultural dan politis.
Dari keenam hal tersebut berarti Wilds menaruh perhatian besar terhadap
aspek-aspek teoritik. Nampak pula bahwa penuturan historis itu dimulai
dengan menentukan terlebih dahulu aspek-aspek pendidikannya secara
sistematis. Berdasarkan konsep ini, Wilds menafsirkan dan membuat
kejadian-kejadian pendidikan yang lampau sebagai ceritera sejarah
pendidikan.
Mempelajari sejarah pendidikan mempunyai banyak nilai penting.
Imam Barnadib mengemukakan lima manfaat yang dapat diperoleh dari
mempelajari sejarah pendidikan. Di antaranya dikemukakan bahwa studi
mengenai teori-teori pendidikan di masa lampau berarti mengantarkan
seseorang ke arah pemilikan kemampuan berpikir edukatif yang kreatif.
Manfaat lain dalam mempelajari sejarah pendidikan dikemukakan
oleh Djumhur (1976:2) bahwa dengan mempelajari sejarah pendidikan: (1)
memperoleh pengertian tentang fungsi pendidikan dalam keseluruhan
kebudayaan; (2) mengajari kita membedakan mana yang bernilai tinggi
dan mana yang tidak, sehingga menghindarkan kita dari tindakan-
tindakan yang salah dalam melaksanakan usaha-usaha pendidikan; (3)
memberi pegangan, sehingga kita tidak selalu menganggap rendah hal-hal
yang sudah lama dan menganggap tinggi hal-hal yang baru (up to date); (4)
Kajian Historis Pendidikan Nasional 29
2.3 Pendidikan Nasional dalam Membangun Karakter Anak
Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara (2008:26) adalah upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intelektual) dan jasmani anak-anak. Pendidikan menurutnya adalah untuk
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dalam pengertian
tersebut, pendidikan tidak hanya untuk intelektualitas saja tetapi juga
untuk membimbing perkembangan karakternya (budi pekerti).
Tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan moral,
pengembangan ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, secara bersama-sama.
Dari ketiga aspek tersebut, baik Ki Hadjar Dewantara maupun Pestalozzi
lebih menganggap pengembangan moral adalah yang paling penting.
30 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
menghargai potensi anak, memberi stimulus yang kaya untuk segala aspek
perkembangan anak, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik,
semuanya merupakan jawaban nyata bagi tumbuhnya generasi unggul di
masa yang akan datang.
Kondisi lingkungan yang kondusif tidak hanya diciptakan dalam
lingkungan keluarga saja, tapi juga dalam pendidikan di sekolah. Seorang
guru berperan penting dalam membangun karakter siswa. Dalam hal ini
guru mempunyai peran penting. Seperti disebutkan dalam falsafah Jawa,
bahwa seorang guru itu harus bisa “digugu lan ditiru” atau bisa diikuti kata-
katanya dan bisa dijadikan suri tauladan bagi para siswanya. Seorang guru
yang baik harus lebih memahami pengertian mengenai pendidikan itu
sendiri sesuai dengan makna yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Setelah memahami secara mendalam mengenai pengertian dan
makna dari pendidikan itu sendiri, seorang guru dalam mendidik perlu
juga memahami psikologi anak yang dididiknya. Guru atau pendidik
dalam tugasnya harus mem-perhatikan pembentukan karakter anak, sebab
karakter tidak sekedar tumbuh dari potensi-potensi yang dimiliki anak.
Karakter harus dibentuk melalui interaksi yang penuh dengan muatan
perasaan dan kedekatan dengan anak sehingga nilai-nilai moral dapat
diresapi dan dihayati, dan selanjutnya menjadi bagian dari sikap dirinya
yang dilakukan dalam tindakan kehidupan.
Disebutkan oleh Seto Mulyadi (2008), bahwa secara psikologis ada
beberapa hal mendasar dari anak-anak ini yang perlu dipahami oleh guru,
yaitu: pertama, anak bukan orang dewasa mini, mereka memiliki
keterbatasan-keterbatasan bila dibandingkan dengan orang dewasa.
Mereka memiliki dunia sendiri yang khas dan harus dilihat dengan
kacamata anak-anak. Dalam menghadapi mereka dibutuhkan adanya
Kajian Historis Pendidikan Nasional 33
sempit saja, atau sekedar melihat prestasi yang ditampilkan seorang anak
melalui ulangan maupun ujian di sekolah saja.
Teori Gardner tersebut kemudian dikembangkan dan semakin
dilengkapi oleh para ahli lain. Di antaranya adalah Daniel Goleman (1995)
melalui bukunya yang terkenal “Emotional Intelligence” atau Kecerdasan
Emosional. Dari ketujuh spectrum kecerdasan yang dikemukakan oleh
Gardner, Goleman mencoba memberi tekanan pada aspek kecerdasan
intra-personal atau antar pribadi. Inti dari kecerdasan ini mencakup
kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana
hati, temperamen, motivasi dan hasrat keinginan orang lain. Menurut
Gardner kecerdasan antar-pribadi ini lebih menekankan pada aspek
kognisi atau pemahaman. Sementara factor emosi atau perasaan kurang
diperhatikan. Padahal menurut Goleman, faktor emosi ini sangat penting
dan memberikan suatu warna yang kaya dalam kecerdasan antar-pribadi
ini.
Selanjutnya oleh tokoh-tokoh seperti Sternberg dan Salovey dalam
Goleman (1995), disebutkan adanya lima wilayah kecerdasan pribadi
dalam bentuk kecerdasan emosional. Lima wilayah tersebut adalah:
kemampuan mengenali emosi diri; kemampuan mengelola emosi;
kemampuan memotivasi diri; kemampuan mengenali emosi orang lain;
dan kemampuan membina hubungan.
Kecerdasan emosional tersebut penting untuk dikembangkan pada
diri anak. Karena banyaknya kita jumpai anak-anak yang begitu cerdas di
sekolah, tapi bila tidak dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah,
mudah putus asa atau angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak
akan banyak bermanfaat untuk dirinya. Kecerdasan emosional perlu lebih
dihargai dan dikembangkan pada anak sejak usia dini. Karena hal inilah
yang mendasari ketrampilan seseorang di tengah masyarakat kelak,
sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang secara
lebih optimal.
Hal senada juga diungkapkan oleh Robert Coles (1997), bahwa
disamping IQ, ada suatu jenis kecerdasan yang disebut sebagai kecerdasan
38 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
-oo0oo-
BAB 3
PENDIDIKAN KARAKTER
BERBASIS AGAMA DAN BUDAYA
3.1 Kajian tentang Pendidikan Karakter
P
endidikan tidak terlepas dari nilai-nilai yang ingin ditanamkan
terhadap siswa. Kneller (1964: 29) menyebutkan bahwa “ethics is
the study of values in the realm of human conduct.” Etika menurutnya
membahas tentang nilai-nilai dalam perilaku manusia. Lebih lanjut ia
menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan pertanyaan seperti:
bagaimana kehidupan yang baik bagi semua orang? Bagaimana
seharusnya kita bersikap? terkait dengan nilai-nilai yang "benar" nilai-nilai
sebagai dasar untuk tindakan yang "benar". Dalam beberapa hal,
menurutnya hal ini dapat dikaitkan dengan agama.
Kneller (1964: 29-30) mencontohkan di Amerika Serikat, telah lama
memisahkan gereja dan negara, dan konsekuensinya ajaran agama telah
dilarang di sekolah-sekolah umum di Amerika. Namun, kemudian disadari
bahwa pendidikan moral ternyata perlu, larangan ini pada gilirannya telah
mendorong keinginan selanjutnya untuk menggantikannya dengan
beberapa jenis pelatihan moral.
Lebih lanjut Kneller (1964: 30) membedakan ajaran moral tersebut
menjadi dua dengan sebutan intuitionism dan naturalism.
…intuitionists assert that moral values are apprehended by the individual directly.
We grasp the rightness or wrongness of something by means of an inborn moral
44 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
sense. The moral values we apprehended in this way are right in themselves. Their
rightness cannot be proved logically or tested empirically; it can only be intuited.
Intuitionism sebagai nilai-nilai moral yang ditangkap oleh individu
secara langsung. Memahami kebenaran atau kesalahan dari sesuatu
dengan rasa moral bawaan, biasanya berhubungan dengan agama atau
kepercayaan. Nilai-nilai moral yang kita tangkap dengan cara ini diterima
“benar” dalam diri kita. Dalam artian tidak dapat dan tidak harus
dibuktikan secara logis, secara empiris, melainkan hanya bisa direnungkan
atau melalui intuisi.
Sedangkan naturalists, ”naturalists maintain that moral values should be
determined by careful studies of the ascertainable consequences to which they give
rise.” Untuk saat ini, sistem nilai yang terdapat di dunia barat, walaupun
sebagian besar berasal dari ajaran agama, tapi biasanya kemudian
dibenarkan dengan alasan lain dan didasarkan pada bukti-bukti empirik.
Bahwa nilai-nilai moral harus ditentukan oleh penelitian yang cermat
terhadap konsekuensi yang ditimbulkannya. Misalnya, jika seseorang
percaya bahwa hubungan seks pranikah secara moral salah, kita harus
mengikutinya bukan karena penilaian etis yang telah dibuat pada subjek
tetapi karena telah ada penelitian ilmiah tentang efek dari hubungan
tersebut. Orang yang menerima penafsiran etika naturalistik memilih
pembenaran nilai moral sesuai dengan hasil penelitian ilmiah yang me-
ngungkapkan tentang “benar” dan “salah”. Secara singkat, naturalis
berpendapat bahwa nilai-nilai moral harus didasarkan pada penelitian
objektif terhadap konsekuensi praktis dari setiap tindakan perilaku
manusia.
Kecenderungan di negara kita menggunakan agama sebagai
pedoman moral dalam kehidupan tentu saja akan berbeda jika
dibandingkan dengan Amerika Serikat. Sehubungan dengan ini Sodiq A.
Kuntoro (2008: 12) mengemukakan bahwa dalam masyarakat yang agamis,
keyakinan dan nilai-nilai keagamaan adalah merupakan nilai inti yang
menjadi dasar bagi pengembangan aturan masyarakat. Walaupun dalam
kehidupan modern sumber nilai bergeser lebih ke arah penggunaan nilai
keilmuan yang lebih objektif seperti kemanusiaan dan demokrasi, tetapi
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 45
3.2 Pengertian Pendidikan Karakter
Selama berabad-abad, filsuf dan pendidik harus berjuang dengan berbagai
cara untuk membina perkembangan moral atau karakter pada siswa. Tidak
seperti mata pelajaran akademik yang lain (misalnya, sejarah, matematika,
bahasa) yang memiliki definisi umum, tidak ada definisi umum untuk
pendidikan karakter. Vessel dan Boyd dalam Pearson (2000: 244),
mendefinisikan pendidikan karakter “strategic instruction that promotes social
and personal responsibility and the development of the good character traits and
moral virtues that make this possible". Dari definisi tersebut, pendidikan
karakter didefinisikan sebagai pembelajaran strategis yang me-
ngembangkan tanggung jawab sosial dan pribadi yang diwujudkan
dengan pengembangan karakter yang baik dan kebajikan moral. Kaplan
dalam sumber yang sama menekankan pentingnya pengajaran kepada
siswa untuk dapat membuat keputusan yang baik sendiri daripada mem-
beritahu mereka apa yang harus dilakukan. Sedangkan menurut Lickona
dalam Pearson (2000: 244), pendidikan karakter secara luas meliputi aspek
kognitif, afektif, dan perilaku karakter yang baik terdiri dari moralitas.
Untuk mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan
yang baik, sekolah harus membantu anak-anak memahami nilai-nilai inti,
beradaptasi atau melakukan dan bertindak atas kemauan sendiri.
Pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting
dari pendidikan. Dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara (1964), bahwa
pendidikan dimaknai sebagai daya upaya untuk memajukan ber-
tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan
tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat
memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Dengan demikian
pendidikan harus mengembangkan seluruh aspek dalam diri anak.
46 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
…the present challenge is "not simply to make them smart and good. we must help
children acquire the skills, attitudes and dispositions that will help them live well
and that will enable the common good to flourish.
Menurut Pearson, tantangan saat ini bukan hanya untuk membuat
siswa cerdas dan baik saja, tapi kita juga harus membantu anak-anak
memperoleh keterampilan, sikap dan disposisi yang akan membantu
mereka hidup dengan baik dan memungkinkan kebaikan yang berlaku
secara umum berkembang. Kondisi tersebut dapat dilakukan dengan
mencoba menerapkan pendidikan karakter di sekolah, karena fungsi
pendidikan sebenarnya memang tidak hanya untuk membuat siswa cerdas
saja tapi juga membekali mereka dengan kepribadian dan karakter yang
baik sebagai modal dalam menghadapi masa depannya yang terus
menerus berubah.
Pendidikan karakter di sekolah merupakan kebutuhan vital agar
generasi penerus dapat dibekali dengan kemampuan-kemampuan dasar
yang tidak saja mampu menjadikannya life-long learners sebagai salah satu
karakter penting untuk hidup di era informasi yang bersifat global, tetapi
juga mampu berfungsi dengan peran serta yang positif baik sebagai
pribadi, sebagai anggota keluarga, sebagai warga negara, maupun sebagai
warga dunia. Untuk itu harus dilakukan upaya-upaya instrumental untuk
meningkatkan keefektifan proses pembelajarannya disertai pengembangan
kultur yang positif (Darmiyati Zuchdi, 2010).
Pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah harus terintegrasi
dengan seluruh aktivitas persekolahan yang sedang berjalan. Tentang hal
ini lebih lanjut dikatakan oleh Darmiyati Zuchdi (2010), bahwa pendidikan
karakter bukanlah pembelajaran sebuah bidang studi tapi menjadi bagian
yang terintegrasi dalam keutuhan semua proses pendidikan yang terwujud
dalam pembelajaran dan layanan lainnya. Pendidikan karakter juga bukan
hal baru dari sistem pendidikan nasional (sisdiknas), sebab dalam UU no.
20/2003 tentang sisdiknas sudah terkandung amanah pendidikan karakter.
Oleh karena itu yang perlu dibangun adalah iklim dan kultur pendidikan
dan pembelajaran yang mendukung pembentukan karakter sesuai dengan
jiwa undang-undang sisdiknas.
48 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat
kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.
Berdasarkan definisi tersebut, ada nilai-nilai yang perlu
dikembangkan dalam pendidikan karakter seperti kejujuran, belas kasih,
keberanian, kebaikan, pengendalian diri, kerjasama, ketekunan, dan kerja
keras, kesemuanya adalah jenis kualitas yang kita butuhkan untuk bisa
menjalani kehidupan yang baik, memuaskan dan untuk dapat hidup
bersama secara harmonis dan produktif. Kedelapan nilai tersebut memang
perlu ditanamkan dalam diri siswa, agar menjadi pribadi yang kuat dan
utuh dalam menghadapi masa depannya.
Pestalozzi dalam Heafford (1961) menyatakan bahwa pendidikan
moral atau karakter, yang berkembang di dalam keluarga dimulai dari
seorang ibu. Seorang ibu yang selalu memenuhi kebutuhan anaknya
dengan kasih sayang sejak dalam kandungan hingga lahir dan menjadi
dewasa. Kasih sayang ibu kepada anak inilah yang meletakkan dasar
pendidikan moral, melalui tindakan yang nyata pada anak.
Definisi secara umum tentang pendidikan karakter sering tidak bisa
diberikan. Namun demikian, Pearson (2000) menyatakan bahwa sangat
penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai apa saja yang terkait dengan
karakter yang baik. Beberapa ciri sering dikutip oleh beberapa penulis
yang berbeda, seperti dikutip oleh Pearson (2000) dari beberapa penulis
sebagai berikut:
…among the traits are responsibility (Bennett, 1993; Lickona, 1988; Tigner, 1993),
honesty (Bennett, 1993; Elam, Rose, & Gallup, 1993, 1994; Wynne, 1988), respect
(Lickona, 1993a; Moody & McKay, 1993), fairness (Edison Project, 1994; Lickona,
1988), trustworthiness (Lickona, 1988; Moody&McKay, 1993), caring (Brandt,
1989; Lickona, 1988), justice (Edison Project, 1994; Moody&McKay, 1993), civic
virtue (Lickona, 1993b; Moody&Mckay, 1993), kindness (Lickona, 1988; Wynne,
1988), emphathy (Brandt, 1989), self-respect (Edison Project, 1994), self-discipline
(Bennett, 1993), and courage (Bennett, 1993; Edison Project, 1994).
Terdapat beberapa nilai yang menurut beberapa penulis yang
dianggap penting dalam pendidikan karakter seperti dikutip dalam
pearson (2000), seperti: tanggung jawab, kejujuran, sikap menghormati,
keadilan, kepercayaan, kepedulian, keadilan, kebajikan sipil, kebaikan,
50 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
empati, harga diri, disiplin diri, dan keberanian. Ke-13 nilai tersebut yang
dianggap penting dalam pendidikan karakter. Jika dilihat dari ke-13 nilai
tersebut, nilai ke-Tuhanan yang menjadi basis dari nilai keagamaan tidak
termasuk dalam kategori nilai-nilai yang diperlukan dalam pendidikan
karakter.
Pestalozzi dalam Heafford (1961) lebih menekankan pada kasih
sayang anak kepada ibu sebagai dasar bagi pendidikan moral. Kasih
sayang tersebut mencerminkan nilai spiritual (ke-Tuhanan) yang
diwujudkan dengan nilai kemanusiaan ibu terhadap anaknya. Perhatian
dan kasih sayang seorang ibu inilah yang menjadi dasar pembentukan
karakter anak selanjutnya.
Pendidikan karakter tidak dapat terlepas dari konteks masyarakat di
mana pendidikan tersebut diterapkan. Indonesia misalnya, adalah negara
yang mengedepankan konsep ke-Tuhanan dalam kehidupan sehari-hari,
hal ini tercermin dari dasar negara Pancasila, di mana sila pertama adalah
berisi tentang ke-Tuhanan. Dengan demikian sudah selayaknya jika dalam
pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia juga menyesuaikan dengan
dasar tersebut.
Mengenai nilai-nilai yang perlu ada dalam pendidikan karakter,
Khoiruddin Bashori (2010) berpendapat bahwa dalam pendidikan karakter
penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian,
kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan
orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti
ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter
yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter
peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam
bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari,
mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, meng-
gunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan me-
ngapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.
Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap
standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 51
dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; (9) toleransi, cinta damai dan
persatuan. Hal ini berbeda dengan karakter dasar yang dikembangkan di
negara lain, serta karakter dasar yang dikembangkan oleh Ari Ginanjar
(2007) melalui ESQ-nya, yang meliputi: Jujur; tanggung jawab; disiplin;
visioner; adil; peduli; dan kerja sama.
Konsep pendidikan karakter seperti dikembangkan di dunia Barat
tersebut, sebenarnya telah lama dimiliki dan dikembangkan oleh tokoh
pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara. Berdasarkan
konteks zamannya, K.H. Ahmad Dahlan mengembangkan konsep
pendidikan berdasarkan konsep dalam agama Islam, yaitu amar ma’ruf nahi
munkar. Diutamakannya melakukan segala anjuran kebaikan, dan
meninggalkan segala kemunkaran/keburukan merupakan seruan yang
mendukung kepada pembentukan karakter yang baik, dan ini diangkat
sebagai basis pendidikan yang didirikannya yaitu Muhammadiyah. Dari
sini terlihat bahwa pemikiran pendidikan K.H. Ahmad Dahlan saat itu
(1912) tidak terlepas dari kesadaran beliau tentang pentingnya
pembentukan karakter yang baik pada anak.
Sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat meng-
hargai agama dan kebudayaan, maka pendidikan karakter yang dijalankan
Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan lebih mengambil sumber
dari ajaran agama dan kebudayaan. Dalam agama Islam, berbuat baik
(ikhsan) didasarkan pada ajaran (syariat) agama Islam dan lebih jauh
didasarkan pada kepercayaan (keimanan) pada Tuhan, bukan berdasar
pada nilai empirik yang ilmiah. Oleh karenanya, berbuat baik itu sangat
luas nilai dasarnya, yang berkaitan satu sama lain, misalnya: ibu yang
berbuat baik kepada anaknya.
Pendidikan karakter dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
tercermin dalam tujuan pendidikannya yaitu membangun budi pekerti
yang luhur dari siswa. Beliau sangat anti dengan pendidikan pemerintah
kolonial Belanda yang bersifat intelektualis tanpa memperdulikan aspek-
aspek yang lain dalam pendidikan. Dari sini terlihat bahwa Ki Hadjar
Dewantara juga memiliki konsep tersendiri dalam pendidikan karakter
bagi anak, bahwa pendidikan adalah membangun budi pekerti yang luhur
54 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
3.3 Pendidikan Karakter Berbasis Agama
Budaya, pendidikan, dan agama merupakan tiga bidang yang berkaitan
satu sama lain. Ketiga-tiganya berkaitan pada tingkat nilai-nilai yang
sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya
atau kebudayaan umumnya mencakup nilai-nilai luhur yang secara
tradisional menjadi panutan bagi masyarakat (Azyumardi Azra, 2010).
Lebih lanjut diungkapkan bahwa pendidikan, selain mencakup
proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan, juga merupakan proses
yang sangat strategis dalam menanamkan nilai dalam rangka
pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama juga mengandung
ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk
mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Tetapi, ketiga sumber
nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu tertentu dapat
tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan
masyarakat yang berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya,
pendidikan dan bahkan agama kadang mengalami disorientasi karena
terjadinya perubahan-perubahan cepat dan berdampak luas, misalnya,
industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi.
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 55
Dijelaskan pula bahwa di dalam ibadah haji, zakat, dan puasa dekat
hubungannya dengan pendidikan akhlak. Dalam melaksanakan ibadah
haji dilarang diucapkan kata-kata tidak sopan, cacian, dan pertengkaran.
Pelaksanaan zakat tidak hanya terbatas pada pengeluaran harta, tetapi
mencakup senyuman kepada sesama manusia, seruan kepada kebaikan
dan larangan dari kejahatan, menunjukkan jalan kepada orang yang
tersesat, menjauhkan duri dari jalan umum, dan menuntun orang yang
lemah penglihatannya. Disebutkan pula bahwa tidak akan diterima puasa
seseorang jika tidak dapat menahan diri dari berkata tidak sopan apalagi
berbohong.
Tujuan akhir dan utama dari pelaksanaan ibadah dalam Islam, baik
shalat, puasa, haji, dan zakat adalah pembinaan dan pendidikan akhlak
atau karakter mulia. Tujuan ibadah dalam Islam bukan semata-mata
menjauhkan diri dari neraka dan masuk surga, tetapi tujuan yang di
dalamnya terdapat dorongan bagi kepentingan dan pembinaan akhlak
yang menyangkut kepentingan masyarakat. Masyarakat yang baik dan
bahagia adalah masyarakat yang para anggotanya memiliki akhlak mulia
dan budi pekerti luhur.
Pandangan K.H. Ahmad Dahlan tentang agama, bahwa beragama itu
adalah beramal, artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan
tindakan sesuai dengan isi pedoman Al Quran dan Sunnah. Orang yang
beragama adalah orang yang menghadapkan jiwa dan hidupnya hanya
kepada Allah SWT, yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan
seperti rela berkorban baik harta benda maupun miliknya dan dirinya,
serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah (Kyai Suja’, 2009: 34).
Dengan demikian, mengajarkan agama berarti mengajarkan anak untuk
melakukan segala tindakan yang sesuai dengan yang dianjurkan, tidak
hanya mengajarkan pengetahuan saja. Sejauh ini agama relevan untuk
menanamkan karakter yang baik terhadap siswa, karena pada hakikatnya
karakter terbentuk dari tindakan yang dilakukan secara rutin dan terus
menerus.
K.H. Ahmad Dahlan menganggap perlu dilakukan upaya untuk
membangkitkan kesadaran baru agar masyarakat memiliki kepercayaan
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 57
diri untuk mengubah diri agar lebih baik. Bagi orang yang beragama
dilakukan dengan kembali pada ajaran Qur’an dan hadits yang diyakini
sebagai cara membangun kembali jati diri (self-identity) dan kepercayaan
diri, keberanian untuk berjuang melawan kemungkaran (penindasan) serta
mempunyai kemauan untuk membangun kebaikan (kemerdekaan). Di
kalangan Muhammadiyah dikenal dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar
(membangun kebaikan dan menghancurkan kejahatan), merupakan ajaran
Islam yang diutamakan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Berdasarkan prinsip
tersebut jelas terlihat bahwa agama mempunyai peran penting dalam
pendidikan karakter.
Sejalan dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan budi
pekerti yang dianjurkan Ki Hadjar Dewantara juga mengacu pada pangkal
kehidupan manusia yang ada dalam kesenian, peradaban, dan keagamaan.
Ketiganya tersimpan sebagai kekayaan batin dalam setiap diri bangsa kita.
Agama menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.
Di negara kita, pendidikan diharapkan dapat bersifat humanis-
religius, di mana dalam pengembangan kehidupan (ilmu pengetahuan)
tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan (Sodiq A.
Kuntoro, 2008:2). Masyarakat di negara ini menghargai nilai-nilai
keagamaan dan kebudayaan sebagai sumber membangun kehidupan yang
harmonis di antara bermacam-macam etnik, kelompok, sosial, dan daerah.
Lebih lanjut dikatakan bahwa nilai keagamaan bukan dipandang sebagai
nilai ritual yang sekedar digunakan untuk menjalankan upacara
keagamaan dan tradisi, tetapi diharapkan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kegiatan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan
kesejahteraan material, sosial, harga diri, intelektual, dan aktualisasi diri.
Sodiq A. Kuntoro (2008: 12) menyatakan bahwa pendidikan
keagamaan secara klasik cenderung memiliki tujuan untuk membangun
dalam diri manusia suatu kondisi moralitas yang baik atau karakter yang
mulia. Ungkapan-ungkapan dalam ajaran agama memberikan gambaran
akan hal itu, seperti ungkapan: “tidak Kami utus kamu Muhammad,
kecuali untuk memperbaiki akhlak.” Secara umum para nabi dilahirkan
dalam kondisi masyarakat yang jahiliyah, yaitu masyarakat yang
58 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
3.4 Pendidikan Karakter Berbasis Budaya
Segala hasil pemikiran dan tindakan manusia dapat dimasukkan dalam
kategori kebudayaan. Kebudayaan menurut pengertian Tylor (1974) adalah
keseluruhan yang kompleks yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Geertz (1973),
mendefinisikan kebudayaan sebagai pola pemaknaan yang terwujud
dalam simbol-simbol yang secara historis dialihkan, suatu sistem
pemahaman yang diwariskan dan yang terungkap dalam bentuk-bentuk
simbolik yang dipakai manusia berkomunikasi, melanggengkan dan me-
ngembangkan pengetahuannya tentang sikap-sikap terhadap kehidupan.
Kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara berarti buah budi
manusia, hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni
zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada
lahirnya bersifat tertib dan damai. Lebih lanjut Ki Hadjar Dewantara
menyatakan pula, bahwa kebudayaan, yang berarti buah budi manusia,
adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni
alam dan zaman. Dalam posisi Indonesia yang majemuk, “kesatuan dalam
keragaman” adalah sebuah keharusan dan tidak perlu diperdebatkan.
Semakin lama pergaulan antar sesama bangsa Indonesia, pasti akan
semakin memperbanyak unsur-unsur yang sama, atau menurutnya,
kesatuan kebudayaan Indonesia itu hanya soal waktu.
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya 61
-oo0oo-
2 Judul Buku
BAB 4
4.1 K.H. Ahmad Dahlan
1. Latar belakang keluarga
K
H. Ahmad Dahlan adalah salah seorang tokoh pendidikan yang
dimiliki bangsa Indonesia. Ia lahir di Kauman, Yogyakarta pada
1 Agustus 1869, dan meninggal pada bulan Februari tahun 1923
(Munir Mulkhan, 2010:5). Muhammad Darwis adalah nama beliau pada
masa kanak-kanak, barulah ketika ia naik haji namanya berganti menjadi
Ahmad Dahlan. Ibu K.H. Ahmad Dahlan bernama Siti Aminah. Ayahnya,
K.H. Abu Bakar adalah seorang pejabat agama Kraton Yogyakarta, yaitu
seorang imam dan khatib Masjid Besar. Ia adalah putra ke-empat dari
enam bersaudara.
Kauman adalah nama sebuah kampung di Yogyakarta yang
mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri khusus ini menurut Ahmad Adaby
Darban (2010:1) tampak dalam masyarakatnya, pergerakan, dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Masyarakat Kauman
merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah.
Masyarakat yang demikian ini terjadi dari keluarga-keluarga.
Antarkeluarga itu kemudian terjadi pertalian darah. Menurut Wolf yang
dikutip dalam Ahmad Adaby Darban (2010:1) hubungan pertalian darah
antar keluarga yang terkumpul pada suatu tempat tertentu, kemudian
68 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
tahun, yaitu pada tahun 1890, waktu yang ada dipergunakannya untuk
belajar pada Imam Syafi’i Sayyid Bakir Syantha selama sekitar 2 tahun.
Demikian pula ketika beliau sempat naik haji untuk kedua kalinya pada
tahun 1903 bersama putranya Siraj Dahlan, ia kemudian bermukim selama
1,5 tahun di Mekah untuk memperdalam ilmu fiqih dan ilmu hadits.
Sepulang menunaikan haji, beliau mendirikan pondok untuk menampung
para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta.
Keberangkatannya ke Mekah untuk pertama maupun kedua sebagian atau
seluruhnya disponsori pihak Kasultanan Yogyakarta, khususnya Sri Sultan
Hamengkubuwono ke VIII. Data ini menjawab hubungan K.H. Ahmad
Dahlan saat itu dengan pihak Kasultanan Yogyakarta. Ternyata hubungan
keduanya terjalin dengan baik sejak lama. Hal ini membuktikan tidak
adanya pertentangan antara gerakan Muhammadiyah yang dipimpin oleh
K.H. Ahmad Dahlan dengan kekuasaan Kerajaan Mataram Yogyakarta.
Di sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah (Heri Sucipto, 2010:51).
Sepulang dari Mekah, pada tahun 1889 M, saat itu ia berusia 24 tahun, ia
menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu
Haji Fadhil, yang kemudian dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan.
Lingkungan keluarga menjadi tempat belajar pertama bagi K.H.
Ahmad Dahlan tentang agama, yang selanjutnya membentuk
kepribadiannya. Latar belakang keluarga yang religius mempunyai andil
cukup besar, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat Kauman
tempatnya dibesarkan yang agamis, melatarbelakangi tumbuhnya seorang
K.H. Ahmad Dahlan menjadi seorang ahli agama. Semangat belajarnya
yang tinggi ditunjukkan dengan kegemarannya membaca, dan
semangatnya untuk belajar dan mendalami ilmu agama di Mekah, di
sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam.
70 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
mendalam, saat itu masjid didirikan dengan arah kiblat yang tidak tepat
karena pembangunannya bukan berdasar kepentingan agama, tetapi untuk
ketertiban pembangunan negara. Ia kembali mempelajari dan mendalami
ilmu-ilmu agama yang sudah ia dapatkan sebelumnya dan tercatat sebagai
murid dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang juga guru dari
pendiri Nadhatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asyari. Pada periode kedua
kehadirannya di Mekah ini K.H. Ahmad Dahlan juga mempelajari
pembaruan Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh tokoh-
tokoh pembaru seperti Jamaludin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad
Abduh, dan juga Muhammad Rasyid Ridha (pengarang tafsir Al-Manar).
Meskipun tidak pernah menempuh pendidikan formal, K.H. Ahmad
Dahlan mempelajari beragam ilmu dengan cara berguru kepada para
ulama dan para ahli. Beberapa guru tempatnya menuntut ilmu, mulai dari
ayahnya sendiri, kakak iparnya, sampai beberapa guru dari Saudi Arabia.
Dari beragam ilmu yang dipelajarinya, beliau mempunyai pandangan
hidup dan pemikiran yang jauh ke depan, mendahului generasi pada
zamannya. Cita-citanya tentang pendidikan anak pribumi mendasari gerak
perjuangannya dalam bidang pendidikan.
3. Pengalaman Organisasi
Selain aktif menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah K.H.
Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
sukses dengan berdagang batik. Sambil melakukan aktivitas perdagangan
ini, beliau selalu menyempatkan diri untuk bertabligh. Perjalanan dagang
sekaligus dakwahnya di kota-kota di Jawa Timur, seperti di Ponorogo,
Blitar, Sumberpucung, Kepanjen, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi.
Sebelum Muhammadiyah berdiri K.H. Ahmad Dahlan telah
melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Ia
diangkat menjadi khatib Masjid Besar dengan gelar Ketib Amin (Munir
Mulkhan, 2010:9). Satu tahun kemudian beliau memelopori Musyawarah
Alim Ulama, dalam rapat tersebut disampaikannya pendapat bahwa arah
72 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
kiblat Masjid Besar Yogyakarta kurang tepat. Sejak itulah arah kiblat
Masjid Besar digeser agak ke kanan oleh para muridnya. Kegiatan tersebut
memberi inspirasi tentang pentingnya persatuan ulama.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, terdorong oleh rasa
kebangsaan dan keinginan mempelajari tata organisasi, K.H. Ahmad
Dahlan memasuki perkumpulan Budi Utomo dan menjadi salah seorang
pengurusnya. Ia banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman sekaligus
mempunyai kesempatan untuk bicara masalah agama Islam dan akhlak
yang mulia di perkumpulan tersebut (Djarnawi Hadikoesoemo, 1973:64).
Di Budi Utomo pula, K.H. Ahmad Dahlan mempelajari persoalan politik.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa K.H. Ahmad Dahlan
bergabung dengan Budi Utomo pada tahun 1909, dengan tujuan di
samping sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar
aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya (Munir
Mulkhan, 2010:10). Selain di Budi Utomo, beliau juga sempat aktif di
organisasi Jami’iyatul Khair, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng
Nabi Muhammad saw. Keanggotaan K.H. Ahmad Dahlan dalam Budi
Utomo memberi kesempatan berdakwah kepada anggotanya dan mengajar
agama Islam kepada para siswa yang belajar di berbagai sekolah Belanda.
Sekolah-sekolah tersebut antara lain: kweekschool di Jetis setiap hari Sabtu
dan Ahad, OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren atau Sekolah
Pamong Praja) di Magelang. Kegiatan dakwah kepada anggota Budi
Utomo banyak dilakukan di rumahnya sendiri di Kauman.
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah pertamanya yaitu
Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) antara tahun 1908-1909 (Munir
Mulkhan, 2010:11). Sekolah ini diselenggarakan di ruang tamu rumahnya
yang berukuran 2,5 x 6 m. sekolah tersebut sudah mulai dikelola secara
modern dengan mempergunakan metode dan kurikulum modern.
Peralatan seperti papan tulis, meja atau kursi telah dipergunakan.
Pengajaran dilakukan dengan sistem klasikal. Saat pertama kali dibuka,
muridnya hanya enam orang, namun setengah tahun kemudian meningkat
menjadi 20 orang.
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 73
kreatif beliau yang pada masa itu seringkali mendapat reaksi keras dan
tuduhan sekuler hingga pengkafiran, dimaksudkan untuk membuktikan
kegunaan praktis dan pragmatis ajaran Islam bagi kehidupan manusia
(Abdul Munir Mulkhan, 2010:140). Begitu yakin beliau mengembangkan
aksi sosial dan kebudayaan karena didasari konsepnya tentang kebenaran
dan kebaikan yang berkesusaian antara teks dan konteks.
Gagasan dasar K.H. Ahmad Dahlan terletak pada konsepnya tentang
kesempurnaan budi yang lahir karena pengertian baik-buruk, benar-salah,
kebahagiaan-penderitaan, dan bertindak berdasar pengertian itu. Kondisi
ini dicapai jika akalnya sempurna, yakni akal kritis dan kreatif-bebas yang
diperoleh dari belajar.
Sistem pendidikan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah
pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan
menggunakan sistem klasikal. Saat itu sistem ini masih cukup langka
dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam. Ia menggabungkan sistem
pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional secara integral.
Pembaruan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam dunia
pendidikan adalah pemberian pengetahuan umum di samping
pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Pengetahuan umum merupakan hal yang penting bagi kemajuan
umat Islam. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, kunci persoalan peningkatan
kualitas hidup dan kemajuan umat Islam adalah pemahaman terhadap
berbagai ilmu pengetahuan yang sedang berkembang dalam tata
kehidupan masyarakat. K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan pesan kepada
para penerusnya, “menjadilah insinyur, guru, mester, dan kembalilah
berjuang dalam Muhammadiyah”.
K.H. Ahmad Dahlan menempatkan akal dan logika sebagai basis
pengetahuan. Apa yang disebutnya dengan Ilmu manthiq atau logika
merupakan langkah metodik untuk memperoleh pengetahuan tertinggi.
Hal itu merupakan warisan berharga yang perlu dikembangkan lebih jauh
(Abdul Munir Mulkhan, 1990:15).
76 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
4.2 KI HADJAR DEWANTARA
1. Latar Belakang Keluarga
Lingkungan keluarga mempunyai arti dan pengaruh yang besar bagi
pelaksanaan pendidikan seseorang. Ki Hadjar Dewantara terlahir dengan
nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat (selanjutnya ditulis R.M. Suwardi
Suryaningrat) pada 2 Mei 1889. Ia berasal dari keluarga bangsawan,
tepatnya Kadipaten Pura Pakualaman Yogyakarta. R.M. Suwardi
Suryaningrat adalah putera keempat dari Pangeran Surjaningrat, putera
sulung dari Paku Alam III, ibunya bernama Raden Ayu Sandiyah, yang
merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang, seorang keturunan Sunan
Latar Belakang Kehidupan K.H Ahmad Dahlan dan Ki Hadjar Dewantara 79
Hindu yang terserat dalam cerita wayang. Pelajaran tentang seni sastra,
gending, dan seni suara diberikan pula secara rutin.
kelak harus puas dengan gaji lebih kecil yang akan diterimanya, apabila
dibandingkan dengan jabatan-jabatan dalam pemerintahan lain, yang
diduduki oleh orang-orang yang lebih rendah pendidikannya. Selain itu
aturan tersebut juga dinilai sebagai tanda kedudukan yang lebih rendah di
mata orang Eropa. Di samping itu diberlakukan juga aturan yang dinilai
aneh, yaitu larangan merayakan Idul Fitri oleh pelajar-pelajar Stovia
(Abdurrachman Surjomihardjo, 1986:53).
R.M. Suwardi Suryaningrat masuk STOVIA dengan bantuan sang
kakak Surjopranoto. Ia bersekolah selama lima tahun, namun tidak sampai
lulus dan terpaksa keluar karena sakit selama empat bulan, akhirnya tidak
naik kelas dan beasiswanya dicabut. Sebenarnya ada alasan lain yang
sifatnya politis di balik kasus pencabutan beasiswa tersebut. Pencabutan
beasiswa dilakukan sesaat setelah R.M. Suwardi Suryaningrat
membacakan sebuah sajak dalam sebuah pertemuan. Sajak itu
menggambarkan keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, panglima
perang andalan Pangeran Diponegoro (Mohammad Tauchid, 1968:11).
Sajak itu kemudian digubah dalam bahasa Belanda oleh Multatuli. Pagi
hari setelah pembacaan sajak itu, Ia dipanggil dan dimarahi oleh direktur
STOVIA, karena dianggap telah membangkitkan semangat memberontak
terhadap pemerintah kolonial.
Pada sumber lain disebutkan bahwa alasan keluarnya R.M. Suwardi
Suryaningrat dari Stovia disebabkan karena biaya untuk meneruskan
pelajaran tidak mencukupi lagi. Selanjutnya ia bekerja sebagai analis pada
pabrik gula Bojong, Purbalingga, kemudian kembali lagi ke Yogyakarta
dan bekerja pada apotik Rathkamp. Dari lingkungan pekerjaan kimia dan
obat-obatan, mulailah ia tertarik kepada kewartawanan dan ia menjadi
pembantu di surat kabar Sedjatama, Midden Java, De Express dan Oetoesan
Hindia. Aktivitas menulisnya kemudian dimulai dari sana. Bermacam kritik
yang ditujukan kepada pemerintah kolonial Belanda dituangkannya lewat
tulisan, yang berakibat akhirnya ia sempat keluar masuk penjara. Terakhir
ia harus menerima hukuman pengasingan di negeri Belanda, atas
tulisannya yang mengkritik kebijakan kolonial yang dimuat harian De
Expres yang berjudul “Als ik een Nederlander was”.
82 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
3. Pengalaman Organisasi
Selama menempuh pendidikan di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara aktif
mengikuti perkumpulan Pirukunan Jawi yang dianggap seagai embrio dari
organisasi Budi Utomo. Setelah keluar dari STOVIA, ia bekerja sebagai
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De
Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaya Timoer, dan Poesara. Ia juga
menerbitkan surat kabar Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak (Suparto
Rahardjo, 2010:12).
Ki Hadjar Dewantara aktif berkiprah pula dalam organisasi sosial-
politik. Pada tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Budi Utomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara pada waktu itu. Kemudian bersama Douwes Dekker dan dr.
Cipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indische Partij pada 25 Desember
1912. Ini adalah partai pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia dan
bertujuan mencapai Indonesia merdeka (Mohammad Tauchid, 1968:10).
Ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai “Tiga Serangkai”.
Sebagai sebuah partai, Indische Partij ini gagal memperoleh status
badan hukum, karena perizinannya ditolak oleh Gubernur Jenderal
Idenburg pada 11 maret 1913. Alasan penolakan karena organisasi ini
dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakkan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda.
Menyusul ditolaknya Indische Partij, Ki Hadjar Dewantara ikut
membentuk Komite Bumiputera pada November 1913. Komite ini sebagai
tandingan dari komite perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa
Belanda (Suparto Rahardjo, 2010:13). Komite Bumiputera melancarkan
kritik terhadap pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus
tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik
uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
84 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
ala Barat bagi bangsa Indonesia, tetapi pendidikan tersebut harus tetap
berpijak kepada akar budaya tanah air.
Pada tahun 1919 Suwardi berhasil kembali ke Indonesia dan
mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan. Ia bersama rekan-rekan seperjuangannya
kemudian mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, yaitu
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa)
pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan
berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
-oo0oo-
92 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
BAB 5
K
H. Ahmad Dahlan adalah salah seorang tokoh pendidikan yang
dimiliki bangsa Indonesia. Ia lahir di Kauman, Yogyakarta pada
1 Agustus 1869, dan meninggal pada bulan Februari tahun 1923
(Munir Mulkhan, 2010:5). Muhammad Darwis adalah nama beliau pada
masa kanak-kanak, barulah ketika ia naik haji namanya berganti menjadi
Ahmad Dahlan. Ibu K.H. Ahmad Dahlan bernama Siti Aminah. Ayahnya,
K.H. Abu Bakar adalah seorang pejabat agama Kraton Yogyakarta, yaitu
seorang imam dan khatib Masjid Besar. Ia adalah putra ke-empat dari
enam bersaudara.
Kauman adalah nama sebuah kampung di Yogyakarta yang
mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri khusus ini menurut Ahmad Adaby
Darban (2010:1) tampak dalam masyarakatnya, pergerakan, dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Masyarakat Kauman
merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah.
Masyarakat yang demikian ini terjadi dari keluarga-keluarga.
Antarkeluarga itu kemudian terjadi pertalian darah. Menurut Wolf yang
dikutip dalam hubungan pertalian darah antar keluarga yang terkumpul
pada suatu tempat tertentu, kemudian membentuk masyarakat yang
94 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
tahun, yaitu pada tahun 1890, waktu yang ada dipergunakannya untuk
belajar pada Imam Syafi’i Sayyid Bakir Syantha selama sekitar 2 tahun.
Demikian pula ketika beliau sempat naik haji untuk kedua kalinya pada
tahun 1903 bersama putranya Siraj Dahlan, ia kemudian bermukim selama
1,5 tahun di Mekah untuk memperdalam ilmu fiqih dan ilmu hadits.
Sepulang menunaikan haji, beliau mendirikan pondok untuk menampung
para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta (Abdul Munir
Mulkhan, 1990:6). Keberangkatannya ke Mekah untuk pertama maupun
kedua sebagian atau seluruhnya disponsori pihak Kasultanan Yogyakarta,
khususnya Sri Sultan Hamengkubuwono ke VIII. Data ini menjawab
hubungan K.H. Ahmad Dahlan saat itu dengan pihak Kasultanan
Yogyakarta. Ternyata hubungan keduanya terjalin dengan baik sejak lama.
Hal ini membuktikan tidak adanya pertentangan antara gerakan
Muhammadiyah yang dipimpin oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan
kekuasaan Kerajaan Mataram Yogyakarta.
Di sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Sepulang dari Mekah, pada
tahun 1889 M, saat itu ia berusia 24 tahun, ia menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kemudian
dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan.
Lingkungan keluarga menjadi tempat belajar pertama bagi K.H.
Ahmad Dahlan tentang agama, yang selanjutnya membentuk
kepribadiannya. Latar belakang keluarga yang religius mempunyai andil
cukup besar, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat Kauman
tempatnya dibesarkan yang agamis, melatarbelakangi tumbuhnya seorang
K.H. Ahmad Dahlan menjadi seorang ahli agama. Semangat belajarnya
yang tinggi ditunjukkan dengan kegemarannya membaca, dan
semangatnya untuk belajar dan mendalami ilmu agama di Mekah, di
sanalah awal terjadinya pergolakan K.H. Ahmad Dahlan dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu Islam.
96 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
mendalam, saat itu masjid didirikan dengan arah kiblat yang tidak tepat
karena pembangunannya bukan berdasar kepentingan agama, tetapi untuk
ketertiban pembangunan negara. Ia kembali mempelajari dan mendalami
ilmu-ilmu agama yang sudah ia dapatkan sebelumnya dan tercatat sebagai
murid dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang juga guru dari
pendiri Nadhatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asyari. Pada periode kedua
kehadirannya di Mekah ini K.H. Ahmad Dahlan juga mempelajari
pembaruan Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh tokoh-
tokoh pembaru seperti Jamaludin Al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad
Abduh, dan juga Muhammad Rasyid Ridha (pengarang tafsir Al-Manar).
Meskipun tidak pernah menempuh pendidikan formal, K.H. Ahmad
Dahlan mempelajari beragam ilmu dengan cara berguru kepada para
ulama dan para ahli. Beberapa guru tempatnya menuntut ilmu, mulai dari
ayahnya sendiri, kakak iparnya, sampai beberapa guru dari Saudi Arabia.
Dari beragam ilmu yang dipelajarinya, beliau mempunyai pandangan
hidup dan pemikiran yang jauh ke depan, mendahului generasi pada
zamannya. Cita-citanya tentang pendidikan anak pribumi mendasari gerak
perjuangannya dalam bidang pendidikan.
3. Pengalaman Organisasi
Selain aktif menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah K.H.
Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
sukses dengan berdagang batik. Sambil melakukan aktivitas perdagangan
ini, beliau selalu menyempatkan diri untuk bertabligh. Perjalanan dagang
sekaligus dakwahnya di kota-kota di Jawa Timur, seperti di Ponorogo,
Blitar, Sumberpucung, Kepanjen, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi.
Sebelum Muhammadiyah berdiri K.H. Ahmad Dahlan telah
melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Ia
diangkat menjadi khatib Masjid Besar dengan gelar Ketib Amin (Munir
Mulkhan, 2010:9). Satu tahun kemudian beliau memelopori Musyawarah
Alim Ulama, dalam rapat tersebut disampaikannya pendapat bahwa arah
kiblat Masjid Besar Yogyakarta kurang tepat. Sejak itulah arah kiblat
98 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
Masjid Besar digeser agak ke kanan oleh para muridnya. Kegiatan tersebut
memberi inspirasi tentang pentingnya persatuan ulama.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, terdorong oleh rasa
kebangsaan dan keinginan mempelajari tata organisasi, K.H. Ahmad
Dahlan memasuki perkumpulan Budi Utomo dan menjadi salah seorang
pengurusnya. Ia banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman sekaligus
mempunyai kesempatan untuk bicara masalah agama Islam dan akhlak
yang mulia di perkumpulan tersebut. Di Budi Utomo pula, K.H. Ahmad
Dahlan mempelajari persoalan politik.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa K.H. Ahmad Dahlan
bergabung dengan Budi Utomo pada tahun 1909, dengan tujuan di
samping sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar
aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Selain di Budi
Utomo, beliau juga sempat aktif di organisasi Jami’iyatul Khair, Syarikat
Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Keanggotaan
K.H. Ahmad Dahlan dalam Budi Utomo memberi kesempatan berdakwah
kepada anggotanya dan mengajar agama Islam kepada para siswa yang
belajar di berbagai sekolah Belanda (Munir Mulkhan, 2010:11). Sekolah-
sekolah tersebut antara lain: kweekschool di Jetis setiap hari Sabtu dan Ahad,
OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsch Ambtenaren atau Sekolah Pamong
Praja) di Magelang. Kegiatan dakwah kepada anggota Budi Utomo banyak
dilakukan di rumahnya sendiri di Kauman.
K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah pertamanya yaitu
Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) antara tahun 1908-1909. Sekolah ini
diselenggarakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 m.
sekolah tersebut sudah mulai dikelola secara modern dengan
mempergunakan metode dan kurikulum modern. Peralatan seperti papan
tulis, meja atau kursi telah dipergunakan. Pengajaran dilakukan dengan
sistem klasikal. Saat pertama kali dibuka, muridnya hanya enam orang,
namun setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang.
Akhirnya pada tahun 1912 bersama temannya dari Kauman, seperti
Kyai Syuja, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji Syarkawi, dan
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 99
5.2 Muhammadiyah Sebagai Bagian dari Modernisme Islam
di Indonesia
Kegiatan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan, tidak terlepas dari gerak atau
proses langkah modernisasi Islam di Indonesia. Sebelum abad ke-20, Islam
di Indonesia dijelaskan dalam Alfian (2010:74) berada dalam kondisi
“kegelapan”, hal ini ditunjukkan dengan kemundurannya sebagai konsep
keyakinan serta keterbelakangan atau kemunduran intelektual para
penganutnya. Selanjutnya, dikatakan bahwa kemunduran tersebut
disebabkan oleh dua hal, yakni: (1) agama sangat dipengaruhi oleh sufisme
(tasawuf) dan tradisionalisme agama selama satu abad lamanya; (2)
ketertinggalan para penganutnya, secara historis disebabkan oleh sistem
pendidikan yang statis, tidak berkembang. Kedua sebab tersebut saling
berkaitan, dan kedua hal itulah yang kemudian berusaha diubah oleh K.H.
Ahmad Dahlan, melalui gerakan dakwah dan pendidikan yang
revolusioner.
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 105
nilai rasional dan sosial dan usaha mencapai tujuan-tujuan sekuler lainnya.
Ada keyakinan bahwa moralitas tidak dicapai melalui pendidikan agama,
akan tetapi melalui peraturan sekolah dan cerita-cerita yang mengandung
tema moral, agar murid memahami apa yang baik dan berbuat demikian
(Nasution, 2001:9-10). Alasan tersebut yang kemudian menyebabkan
penyelenggaraan pendidikan pemerintah kolonial Belanda meniadakan
pendidikan agama bagi siswanya.
Apabila perkembangan pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh
pemerintah kolonial Belanda tersebut dikaji dengan kaca mata pendidikan
Islam, maka tidak ubahnya ketika melihat kedatangan bangsa Barat
pertama kali ke bumi Nusantara ini. Kedatangan bangsa Barat, di satu
pihak memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi kemajuan
teknologi tersebut bukan untuk dinikmati oleh penduduk pribumi,
tujuannya hanyalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula
halnya di bidang pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan
metodologi baru, dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan
sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu
kepentingan kolonialisme, dengan imbalan yang murah sekali
dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.
Pendidikan Islam sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum
masuknya kolonialisme di Indonesia. Pada awal pendudukan Belanda,
pendidikan Islam tersebut memang tidak mengalami perkembangan yang
berarti. Pendidikan Islam yang coraknya masih termasuk tradisional, yang
berlangsung di pesantren, masjid, mushola, dianggap tidak membantu
pemerintah Belanda. Para santri pondok pesantren masih dianggap buta
huruf latin yang secara resmi dijadikan acuan pada waktu itu (Hasbullah,
2001:52). Namun, tidak berarti keberadaan pendidikan ini tidak
mendapatkan pengawasan dari pemerintah Belanda. Kekhawatiran akan
adanya gerakan-gerakan yang membahayakan dari keberadaan
pendidikan Islam ini, membuat pemerintah Belanda akhirnya beberapa
kali mengeluarkan peraturan dan kebijakan untuk mengatur pendidikan
Islam.
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Menghadapi Kolonialisme 113
Pada tahun 1882 tata tertib dan aturan bagi pelaksanaan pendidikan
Islam mulai disusun dengan mendirikan sebuah badan khusus yang
bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam,
yang mereka sebut priesterraden. Berdasarkan nasihat dari badan khusus
inilah, maka pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran
atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada
pemerintah Belanda. Aturan ini diperketat lagi pada tahun 1925, dengan
dikeluarkannya aturan bahwa tidak semua orang (kyai) boleh
membersihkan pelajaran mengaji kecuali telah mendapat semacam
rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda. Puncaknya, pada 1932
dikeluarkan lagi Ordonansi Sekolah Liar atau Wilde School Ordonantie,
berupa peraturan yang isinya adalah kewenangan untuk memberantas dan
menutup madrasah atau sekolah yang tidak ada izinnya, atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda.
Kegiatan dengan maksud untuk menekan dan mematikan kegiatan-
kegiatan pendidikan Islam dilakukan sejak awal kedatangan pemerintah
Belanda ke Indonesia. Salah satunya adalah dengan mempelajari secara
mendalam dan ilmiah di negeri Belanda, tentang segala hal tentang
pribumi dan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan indologi (Aqib
Suminto, 1985:2).
Secara khusus dipelajari secara mendalam sifat-sifat dan keadaan
umat Islam di Indonesia dengan segala aspeknya, oleh Prof. Snouck
Hurgronje yang memakai nama samaran Abdul Gaffar. Dia adalah seorang
sarjana sastra semit (Arab) yang telah lama belajar dan berpengalaman di
tanah Arab. Ia mempelajari Islam di Indonesia dengan mencari celah-celah
kelemahannya untuk selanjutnya dilaporkan sebagai hasil studi kepada
pemerintah Belanda, disertai saran-saran bagaimana seharusnya berbuat
dan menghadapi umat Islam di Indonesia. Saran-saran tersebut yang
menjadi pijakan atau dasar segala kebijakan pemerintah Belanda di
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kesadaran nasionalisme rupanya juga mempengaruhi para pendidik
Islam Indonesia awal abad XX. Para ulama saat itu menyadari bahwa
114 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
KESIMPULAN
K
.H. Ahmad Dahlan berjuang keras memasukkan pendidikan
agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengetahuan
umum di sekolah. Ide menggabungkan antara pengajaran agama
dengan pengetahuan umum diwujudkannya dengan mendirikan sekolah
Muhammadiyah yang mengajarkan agama dan pengetahuan umum secara
bersama-sama. K.H. Ahmad Dahlan menganggap pengajaran agama di
sekolah secara teratur mendesak untuk segera dilakukan, dalam rangka
memberikan pendidikan moral bagi para siswa. Pemikiran pendidikan
tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi pendidikan Barat yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial, yang berjalan sangat lambat
dan diskriminatif, serta kondisi pendidikan Islam yang memprihatinkan.
Sifat diskriminatif pendidikan pemerintah kolonial terletak pada
perbedaan pelaksanaan pendidikan bagi pribumi dan bagi orang-orang
keturunan Belanda sendiri. Politik gradualisme, sengaja dilakukan oleh
Pemerintah Belanda dalam penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan
pendidikan yang sengaja dibuat sangat lamban serta membiarkan
penduduk Indonesia dalam kondisi pendidikannya tidak mengalami
kemajuan. Pendidikan Barat hanya diperuntukkan bagi orang-orang
keturunan Eropa dan beberapa orang pribumi dengan berbagai kriteria.
Ki Hadjar Dewantara mewujudkan konsep pendidikannya dengan
mendirikan Perguruan Tamansiswa yang lebih banyak mengajarkan
244 Agama dan Budaya Sebagai Basis Pendidikan Karakter di Sekolah
-oo0oo-
BAB ..
DAFTAR PUSTAKA
-oo0oo-