Anda di halaman 1dari 19

Laporan Kasus

Tatalaksana Mediastinitis Akut dan


Perawatan Luka dengan Madu

Muhammad Ali Syahputra


Wuryantoro

Divisi Bedah Toraks Kardiak & Vaskuler


Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta 2012

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan tulisan Laporan Kasus yang berjudul “Tatalaksana
Mediastinitis Akut dan Perawatan Luka dengan Madu”. Adapun maksud dan tujuan dari
penulisan ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan jabatan
fungsional Asisten Ahli di Fakulats Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Penulis menyadari bahwa tidak tertutup kemungkinan didalamnya terdapat kekurangan-


kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya.

Penulis

2
Tatalaksana Mediastinitis Akut dan Perawatan Luka dengan Madu
Ali Syahputra, Wuryantoro
Divisi Bedah Toraks Kardiovaskuler, Departemen Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

ABSTRAK Mediastinitis adalah penyakit yang jarang ditemukan dan cukup


sulit dalam penatalaksanaanya. Diagnosis dini sangatlah penting karena tingginya angka
mortalitas bila terlambat terdiagnosis serta tidak tepat dalam penatalaksanaannya.
Madu telah lama dikenal sebagai salah satu obat. Sudah banyak penelitian yang telah
membuktikan kegunaan madu dalam membantu penyembuhan luka. Madu dapat
membantu penyembuhan luka karena memiliki beberapa karakteristik khusus seperti dapat
mengurangi reaksi inflamasi, membantu proses debridemant, mengurangi bau, menjaga
kelembaban luka, membantu epitelisasi serta memiliki efek antibakterial. Madu memiliki
efek antibakterial karena adanya sifat fisik dan kimia madu seperti keasaman tinggi (pH
rendah), tekanan osmotik yang tinggi dan memproduksi hidrogen peroxida. Namun sampai
saat ini di Indonesia, belum ada tulisan yang membuktikan efek antibakterial ini pada
madu. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menunjukkan efektifitas penatalaksanaan
mediastinitis yang tepat dan madu yang memiliki efek antibakterial.

Kata kunci: mediastinitis akut. penatalaksnaan, madu

Pendahuluan
Mediastinitis jarang terjadi dan cukup sulit dalam mendiagnosisnya. Walaupun demikian
diagnosis dini sangatlah penting karena tingginya angka mortalitas bila terlambat
terdiagnosis. Terapi yang agresif merupakan pilihan utama dalam penanganannya,

3
perawatan terbuka luka operasi dengan menggunakan madu terbukti efektif dalam
penyembuhan luka. Diagnosis penyebab mediastinitis penting karena reinfeksi dapat
terjadi dan berakibat fatal. Dengan membandingkan kasus dan kepustakaan yang ada,
penanganan bedah terhadap mediastinitis sudah tepat dari segi waktu dan teknik
pembedahan yang dilakukan, hanya intervensi terhadap faktor penyebab yang terlambat
menyebabkan penanganan yang tidak optimal.

KASUS 1
Pasien laki – laki berumur 35 tahun
Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri dan bengkak pada leher sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit :
Satu minggu SMRS os mengeluh nyeri dan bengkak pada leher , awalnya berukuran
sebesar kelereng sekitar 1 cm, dalam 1 minggu benjolan membesar dan nyeri bertambah
hebat, kulit diatas benjolan lebih merah dibanding sekitarnya, perubahan suara -, sesak -,os
tidak merasa ada benjolan di tempat lain, nyeri tulang-, batuk yang tidak sembuh dengan
pengobatan biasa-, perut terasa penuh -, awalnya mengeluh sakit gigi kanan bawah diikuti
bengkak pada rahang bawah yang semakin membesar, demam +.
Riwayat oral hiegen buruk, menderita gigi berlubang tapi tidak mau mencabut gigi.
Riwayat Penyakit Dahulu : DM , Hipertensi ,Penyakit jantung,kolesterol disangkal
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan:
Os seorang pedagang , menikah

Pemeriksaan fisik

4
Kondisi umum sedang. Pada pemeriksaan gigi dan mulut terdapat gangren pulpa pada
graham belakang kanan. Pemriksaan leher terdapat benjolan dari bawah telinga kiri sampai
rahang kiri, kulit diatas benjolan kemerahan, nyeri tekan (+), fluktuasi (+). Pemeriksaan
toraks dan abdomen tidak ada kelainan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium ; didapatkan kelainan pada lekosit 20.400/mm3 , LED 115
mm/jam. lainnya tidak ada kelainan
Pemeriksaan radiologis :
Toraks PA :
tidak tampak kelainan

Cervikal lateral ;
udara bebas sebatas daerah submandibula
Diagnosa kerja ; abses submandibula
Diputuskan untuk insisi drainase, tracheostomi oleh TS bedah umum, dan ekstraksi gigi
Intraoperasi
Operasi I ( 08 Januari 2012) : dilakukan preanaestesi (induksi) pasien, saturasi turun hingga
30 % dicoba dilakukan intubasi gagal karena edema parafaring, diputuskan utuk
trakeostomi. pasca trakheostomi saturasi membaik. Operasi dilanjutkan, Inssi collar 2 jari
diatas sternal notch menembus kutis subkutis ,sampai fascia colli keluar pus 50 cc. Tampak
jaringan nekrotik disekitarnya dilakukan debridement kemudian diambil kultur jaringan.
Operasi dilanjutkan TS bedah mulut untuk ektraksi gigi yang karies sebanyak 5 buah
,3.7,4.7,2.6,1.5,1.4. - Dilakukan insisi drainage pada regio bucal kanan atas. Luka insisi
dibilas dengan nacl 0,9 % streril menggunakan spuit 50 cc. Luka operasi dibalut dengan
kassa lembab dan kassa kering, operasi selesai

5
Pasca operasi hari I :
Pada perawatan luka post operasi di ICU didapati pus yang masih banyak keluar dari luka,
terutama di daerah atas manubrium sterni. Pasien di konsulkan ke bedah thoraks dengan
kecurigaan abses di mediastinum. Dilakukan rontgent thoraks evaluasi, tidak tampak
pelebaran dari sternum. Di putuskan untuk darinase abses dan evaluasi daerah sternum
intraoperatif.

Operasi II ( 12 Januari 2012) :


Diagnosis Pra Bedah : Abses submandibula
Diagnosis Pasca Bedah : Abses submandibula dan abses mediastinum
Dilakukan : sternotomi dan debridement
Insisi lama diperluas latero kiri dan latero kanan, Trakheostomi dicabut ,dipasang ETT
Tampak pus mengalir berasal dari lateral kesan berasal intra oral. Tampak strap muscle
dan platisma nekrotik dilakukan debridement dan nekrotomi. Pada evaluasi selanjutnya
tampak pus meluas hingga thorax sisi anterior, insisi diperlebar menembus kutis,subkutis
hingga sebagian m pektoralis mayor nekrotik pus meluas hingga rongga mediastinum
diputuskan untuk sternotomi. Tampak pus pada rongga medaitinum, timus sebagian
nekrotik diakukan debridement dan nekrotomi. Sternum diaproksimasi dengan 3 buah
sternal wire. Kulit dijahit jarang luka daerah leher dirawat terbuka dengan madu.
Dipasang 1 buah drain diruang mediatinum dan 1 buah drain di colli dektra. Operasi selesai

Pasca operasi
Dilakukan perawatan pasien di ICU selama 17 hari. Perawatan luka terbuka dengan madu
Hasi kultur abses mediastinum; Enterobacter aerogenes sensitif amikasin,
cefoperzone/sulbactam, ertapenem, meropenem, imipenem, levofloxacin.

6
Karena kondisi membaik pasien dipindah ke ruang perawatan. Pasien direncanakan untuk
operasi tutup defek oleh bedah plastik.

Post op hr 1 post op hr 7 post op hr 30

KASUS 2
Pasien laki laki usia 32 tahun
Anamnesa
Keluhan utama : Bengkak pada leher sejak seminggu SMRS
Riwayat penyakit : Sejak seminggu SMRS, pasien mengeluh ada bengkak pada leher.
Bengkak awalnya berada di daerah rahang bawah sebelah kiri, kemudian meluas keseluruh
leher sebelah depan. Sebelumnya, 2 minggu SMRS pasien mengeluh nyeri pada gigi
rahang bawah kiri, rasa sakit dirasakan terus menerus, namun pasien hanya meminum obat
pereda rasa sakit dari warung. Pasien tidak pernah memeriksakan giginya ke dokter.
Demam + sejak seminggu. Sejak 4 hari SMRS pasien sulit makan dan minum karena
kesulitan membuka mulut. Sejak 3 hari pasien mulai timbul sesak nafas. Pasien adalah
seorang buruh bangunan yang berkerja di medan dan dalam perjalanan pulang ke jawa
tengah pasien singgah terlebih dahulu di tanggerang untuk berobat. 1 hari SMRS pasien
sampai ke RSUD tanggerang, namun karena keterbatasan tempat kemudian pasien dirujuk
ke RSCM
Riwayat penyakit dahulu:
DM (-), HT (-), penyakit jantung disangkal
Pemeriksaan fisik

7
Kondisi umum tampak sakit sedang. Pada pemeriksaan mulut hanya dapat membuka
selebar 2 jari, terdapat impaksi pada M3 kiri bawah, karang gigi (+) banyak kesan oral
higiene buruk. Pemeriksaan leher tampak edema +, hiperemis+ pada seluruh sisi anterior
leher. Terdapat benjolan fluktuasi (+), nyeri tekan (+). Pada pemriksaan thoraks tampak
edema dan hiperemis pada daerah manubrium sterni, hemithoraks kiri tertinggal. Palpasi
vocal fremitus kiri lebih lemah dibanding kanan, Perkusi hemithorak kiri bawah redup,
hemithoraks kanan sonor. Auskultasi suara nafas vesikuler, hemithoraks kiri berkurang
dibanding kanan r-/- wh-/-. Pemeriksaan abdomen tidak ada kelainan.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : terdapat peningkatan lekosit 25.000/mm3 .dan LED 90 mm/jam. lainnya
dalam batas normal.
Rontgent Cervical lateral:
terdapat gambaran udara bebas didaerah soft tissue leher

Rontgent thoraks PA :
tdp pelebaran mediastinum dan perselubungan paru kiri

Diagnosa kerja :
Abses Regio Coli, abses mediastinum, empyema kiri, Impaksi M3 kiri bawah terinfeksi
Diputuskan untuk sternotomi, debridement. Odontektomi M3 kiri bawah

8
Intraoperasi
Insisi collar menembus, kutis, subkutis, keluar pus 200 cc. kemudian ditelusuri ke arah
proksimal kesan sumber berasal dari daerah submandibula kiri. Juga pocket abses sudah
mencapai daerah submental dan submandibula kanan (belum mencapai dasar mulut).
kemudian ke arah distal pus sudah mencapai daerah substernal. Dilakukan debridement
didaerah leher, kemudian dilakukan sternotomi. Tampak pus sudah mencapai daerah
mediastinum. Dilakukan debridement pada daerah mediastinum. Identifikasi pocket absess
sudah berada di daerah mediastinum anterior sampai mediastinum posterior. Didapatkan
empiyema kiri dengan keadaan paru yang tidak mengembang dan banyak terdapat pleural
peal, kemudian dilakukan dekortikasi. luka di daerah leher dirawat terbuka dengan madu.
Luka didaerah sternum ditutup dengan sternal wire dan jahitan kulit satu satu dan jarang,
dengan meninggalkan 4 buah drain wsd pada kedua hemitorak.
Dilanjutkan pencabutan gigimolar 3 kiri bawah. operasi selesai
Pasca operasi
Pasien masih di rawat di ICU sampai tulisan ini dibuat. Dilakukan perawatan luka terbuka
dengan menggunakan madu,.untuk perawatan selanjutnya direncanakan untuk operasi
tutup defek oleh bedah plastik.

Post op hr 1 post op hr 7 post op hr 20

DISKUSI
Mediastinum adalah ruang ekstrapleura yang dibatasi sternum di sebelah depan,
kolumna vertebralis di sebelah belakang, pleura mediastinal di sebelah lateral kiri dan
kanan, di superior oleh “thoracic inlet” dan di inferior oleh diafragma. Mediastinum terdiri

9
dari tiga area : mediastinum anterosuperior, mediastinum tengah, mediastinum posterior.
Mediastinitis adalah peradangan di daerah mediastinum yang terdiri dari mediastinitis akut
dan kronik (fibrosing mediastinitis) 1,2.
Mediastinitis akut adalah penyakit yang jarang dan diagnosis dini penyakit ini amat
sukar2. Mediastinitis akut dapat dibagi menjadi supuratif (abses) dan nonsupuratif.
Mediastintis supuratif yang disebut juga dengan mediastinitis flegmonia, lebih sering
didapatkan, dapat terlokalisasi atau difus dengan atau tanpa pembentukan abses1.
Pada kasus pertama diagnosis menjadi masalah, karena pada awalnya pasien ini
didiagnosa sebagai abses submandibula, namun dalam perjalanannya setelah dilakukan
operasi pertama, kemudian dilakukan serangkaian pemeriksaan didapati kecurigaan abses
mediastinum, maka pasien dikonsulkan ke dokter bedah toraks. Diagnosa abses
mediastinum ditegakkan pada saat intraoperasi kedua. Mortalitas mediastinitis di Amerika
serikat bervariasi antara 19 – 47 % pada pasien – pasien dengan bukti infeksi mediastinum
yang nyata dan bila terdapat faktor ko – morbid maka dapat meningkat sampai 67%. Pasien
mediastinitis sering membutuhkan perawatan di ICU dan proses pemulihan yang lama 3.
Mediastinitis akut dapat berkembang menjadi fulminan dan tak berespon walau dengan
medikamentosa yang baik1,4. Mediastinitis dapat karena “Descending Necrotizing
Mediastinitis” (DNM) akibat infeksi orofaring yang menyebabkan sepsis di atas dari leher
yang menyebar ke mediastinum melalui ruang – ruang potensial di leher (gambar 1), pada
jenis ini mortalitas dapat diatas 50%. Ruang potensial yang terpenting adalah retrofaring
atau retroviseral dengan batas anterior lapisan tengah fasia leher dalam dan di posterior
oleh fasia alar (lapisan dalam fasia leher), terletak di belakang hipofarings dan esofagus
dari dasar tengkorak sampai dengan mediastinum superior. Ruang ini merupakan rute
utama penyebaran infeksi orofaring ke mediastinum 5. Dari kepustakaan dikatakan bahwa
gerakan pernafasan mempengaruhi penyebaran infeksi melalalui fasia tersebut. Fluktuasi
tekanan negatif introtoraks menarik udara, air liur, dan mikroorganisme ke mediastinum,
yang selanjutnya menyebabkan infeksi dan nekrosis. Tidak seluruh infeksi mengikuti
jalannya fasia leher dalam penyebarannya ke mediastinum 2,4.

Gambar 1. Fasia dan ruang di leher


1, Visceral fascia (surrounding thyroid 1, Anterior visceral space
gland, trachea, andesophagus) , 2, Retropharyngeal space

10
2, Posterior visceral space (or 3, Danger space.
retropharyngeal space)
3, Carotid sheath
4, Anterior visceral space
5, Danger space.

Penggunaan kombinasi antibiotik pada kasus mediastinis harus berdasarkan hasil


kultur darah dan swab dari berbagai fokus infeksi dan biasanya disebabkan oleh infeksi
campuran / polimikroba aerob dan anerob yang merefleksikan flora dari orofaringeal 3,6,7.
Pada kasus ini pemeriksaan kultur dari abses mediastinum ditemukan enterobacter
aerogeones, sehingga terapi antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur tersebut. Menurut
kepustakaan pada kasus mediastinitis yang ditemukan pada kultur dari abses adalah spesies
peptostreptokokus, klebsiela, lactobacillus dan bakteri anaerob berupa fusobacterium
2,5,7
nucleatum, bacteriodes, anaerobic streptokokus, serta staphylococcus . Khusus untuk
infeksi kandida / jamur lainnya jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi setelah operasi
jantung dengan frekwensi 0,3% kasus2,3 . Perbandingan pria dan wanita adalah 6:1 pada
usia dekade ke 3 dan 4 , usia termuda kasus mediastinitis adalah 2 bulan 3. Di RSUPNCM
kasus mediastinitis yang dibacakan pada tahun 1989 adalah berusia 11 tahun1.
Pada kasus ini dijumpai gejala klinis bengkak pada leher, serta riwayat penyakit
penyerta berupa infeksi gigi berlubang. pada pemeriksaan fisik didapati gejala bengkak
pada leher. Gejala klinis ini sesuai dengan kepustakaan dimana demam yang ditimbulkan
bersifat lowgrade dan dapat menjadi “hectic” bila kontaminasi terhadap mediastinum terus
berlangsung. Gejala lainnya dapat berupa, nyeri pada substernal, nyeri pada prekordial
dalam, punggung dan epigastrium yang dapat menyerupai gejala akut abdomen 1,2,3.

11
Riwayat penyakit sebelumnya diperkirakan dapat menjadi penyebab dari
mediastinitis seperti disebutkan dalam kepustakaan berupa1,2,3:
Perforasi esophagus (trauma, iatrogenik, Osteomielitis iga dan vertebra
spontan)
Infeksi luka operasi sternotomi mediana Trauma tumpul dan tajam
Infeksi kepala dan leher (faringitis, Infeksi metastasis dari tempat yang jauh
tonsillitis, sinusitis, otitis media, infeksi (retroperitoneum)
gigi, sialdenitis, abses retrofaring,
limfadenitis servikal supuratifa dll)
Infeksi paru dan pleura (pneumonia, abses Idiopatik
paru, empiyema)
Infeksi subfrenik

Dalam kasus ini faktor penyebab diperkirakan berasal dari orofaringitis yang berkembang
menjadi abses orofaring lalu menyebar melalui fasia leher ke mediastinum.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai panas tinggi, takikardi, edema dari leher dan
kepala, emfisema subkutan. Pada orang dewasa distress pernafasan dapat terjadi yang
mengindikasikan terjadinya pneumotorak atau efusi pleura sedangkan pada anak – anak
dapat terjadi pernafasan “staccato” akibat nyeri saat bernafas 2.
Dalam kasus ini pada pemeriksaan laboratorium terdapat lekositosis dan laju endap
darah yang meningkat sesuai dengan kepustakaan 1,2,3 Kadar gula darah diatas normal yang
sulit di kontrol sehingga membutuhkan terapi dengan insulin fenomena ini dapat
merupakan penyakit primer atau karena proses sekresi liposakarida dari bakteri dan sintesa
sitokin akibat infeksi yang memperburuk diabetes yang sudah ada sebelumnya dan akibat
dari kombinasi ini akan memperberat kerusakan jaringan7. Suatu keadaan patologis seperti
diabetes akan menyebabkan oksigenisasi jaringan yang menurun sehingga bakteri tertentu
seperti bacteriodes akan lebih agresif bila oksigenisasi jaringan menurun (< 15 – 60 mmHg)
dan menyebabkan penyebaran infeksi makin hebat 8. Pemeriksaan untuk tuberkulosis
hanya ditunjang oleh bilasan dari bronkoskopi dan diterapi dengan obat antituberkulosis.
Pemeriksaan penunjang pada kasus ini amat berperan diantaranya foto rontgen
toraks dan foto cervikal. Dari kepustakaan, kecurigaan mediastinitis dalam foto toraks

12
posteroanterior bila didapatkan pelebaran mediastinum / jaringan lunak paratrakeal, trakea
dapat terdorong, gambaran udara / benda asing dalam mediastinum, atau abses yang
menyebabkan perselubungan di daerah mediastinum. Pada foto rontgen toraks lateral
didapatkan penonjolan ke anterior dari dinding posterior trachea. Pada foto rontgen leher
anteroposterior dan lateral akan didapatkan pelebaran dari jaringan leher dan retrofaring
serta udara di jaringan lunak leher. CT scan dapat menunjukan abses dan pembengkakan
jaringan lunak sementara foto rontgen toraks masih normal, pengumpulan cairan / udara di
mediastinum, limfadenopati , “high attenuation streaks” di peristernal fat serta cairan di
pleura dan pericardial1,2,3,9. Sekarang diagnosis mediastinitis dapat dilakukan dengan
penggunaan transesofageal endosonografi ( Endoscopic ultrasound/ EUS ) dan biopsi
jarum halus invasive untuk mendeteksi mediastinitis dan pengambilan materi untuk
mengetahui etiologi. Penemuan abses mayoritas berupa daerah hipo sampai hiperekoik
sesuai dengan isinya berupa cairan / padat yang inhomogen dan berbatas tegas. Hasil dari
biopsi jarum halus yang dilakukan dalam keadaan steril dapat berupa pus / cairan sehingga
bakteri hasil kultur dapat dianggap sebagai etiologi tetapi hati – hati karena esofagus tidak
steril9.
Terapi pembedahan dengan kombinasi penggunaan antibiotik dalam kasus ini
sudah tepat yaitu untuk drainase abses sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan
drainase abses dapat dengan sternotomi, khususnya pada pasien yang sakit berat atau
melalui pendekatan cervicomediastinal dimana insisi pararel dengan M.
sternokleidomastoideus, lalu diretraksi ke lateral, maka terdapat akses ke sarung karotis
dan ruang pretrakeal serta retroviseral, cara ini dapat digunakan untuk drainase
mediastinum sampai ke level vertebra torakalis empat di posterior dan percabangan trakea
di anterior1,2,10. Aspek inferior mediastinum harus di drainase transpleura / ekstrapleura,
1,2
melalui bidang posterior dari iga yang bersangkutan . Walaupun saat ini telah
diperkenalkan berbagai cara pencucian mediastinum yaitu : pendekatan subxiphoid,
median sternotomy dan thorakoskopi. Trombolitik intrapleura dengan dosis urokinase
5400 IU/Kg/hari dapat digunakan untuk penanganan komplikasi mediastinitis misalnya
empiema sehingga cairan dapat lancar di drainase dengan WSD 11. Pencucian daerah
cervical dan mediastinum setiap hari diperlukan dan bila didapati abses yang persisten
maka diperlukan operasi yang kedua, drain WSD biasanya dipertahankan selama 3 minggu

13
sampai efusi benar – benar hilang8. Kepustakaan lainnya menyatakan bahwa dengan CT
scan serial akan menentukan pendekatan bedah berupa cervikotomi ,torakotomi atau
kombinasi dari tindakan bedah tersebut yang sesuai untuk eliminasi rute penyebaran infeksi
12
.
Pada dua kasus ini, perawatan terbuka dilakukan dengan menggunakan madu.
Perwatan luka dengan madu pada kasus ini terbukti efektif dengan menciptakan jaringan
granulasi yang cepat. Sejak dulu madu telah digunakan 6000 SM. Adapun catatan
penggunaan madu telah tercatat pada naskah kuno dan kitab suci.13 Pada tahun 50
Dioscorides menggambarkan bahwa madu baik digunakan pada ulkus yang busuk dan
berlubang.14 Madu telah digunakan untuk berbagai keadaan medis seperti kebotakan,
kontrasepsi dan perawatan luka.15 Umumnya madu dicampur dengan rempah – rempah,
kacang, ataupun tumbuhan lain di daerahnya. Penggunaan ini terus menerus dilakukan
sampai menjadi pengobatan jamu modern untuk keadaan batuk, penyakit mata, ulkus kaki
yang terinfeksi ataupun ulkus peptic lambung.15
Definisi madu menurut WHO adalah suatu zat pemanis natural yang dihasilkan oleh lebah
Apis mellifera dari sari tumbuhan atau dari sekresi tumbuhan hidup atau dari eksresi
serangga yang menyedot tumbuhan, yang oleh lebah dikumpulkan, diubah dan dicampur
dengan zat spesifik dari lebah, dideposit, didehidrasi, disimpan dan ditinggalkan di dalam
sarang lebah agar lebih matang.16 Komposisi nutrisi madu yang terbentuk dari larutan gula
pekat, dengan 17.1 % terbuat dari air. Fruktosa merupakan gula yang paling banyak (38.5
%) diikuti dengan Glukosa (31 %). Gula jenis disakarida, trisakarida dan oligosakarida
terdapat dalam jumlah yang kecil. Selain karbohidrat, madu juga mengandung protein,
vitamin dan mineral. Terdapat kira – kira 18 jenis asam amino esensial dan non esensial
yang bervariasi sesuai asal nectar madu. Adapun asam amino yang termasuk di dalamnya
antara lain Proline, Lysine, phenylalanine, tyrosine, asam glutamine dan asam asparka.15
Akhir – akhir ini penelitian telah berhasil mengidentifikasi beberapa phytochemicals pada
madu. Phytochemicals ini berasal dari tumbuhan dan diketahui memiliki efek positif pada
tubuh. Antioksidan adalah salah satu bentuk phytochemicals yang dapat mengurangi
cedera oksidatif jaringan. Madu diketahui kaya akan enzim anti oksidan seperti catalase,
asam askorbat, flavonoid dan alkaloid.15 Madu mengandung beberapa jenis enzim seperti
glucose oksidase, invertase, diastase, catalase dan phospatase asam.17 Glucose oksidase ini

14
akan membentuk glutamic acid dan hydrogen peroxide dari glukosa.17 Asam organik juga
membentuk sebagian kecil dari madu serta berperan dalam mebentuk rasa dan aktivitas
antimikrobanya. Sampai saat ini sudah banyak penelitian yang membahas kegunaan madu
dalam dunia medis Selain untuk merawat luka dan sebagai suplemen makanan, Madu telah
digunakan untuk mengobati luka, penyakit kulit, penyakit saluran nafas18, diabetes17, kaki
19
diabetik , ulkus lambung17, infeksi mata, serta terapi rehidrasi oral pada anak. 17 Di
Indonesia penggunaan madu dalam bidang kesehatan telah diterima secara luas oleh
masyarakat. Namun di Indonesia belum banyak penelitian yang membahas tentang
penggunaan madu secara medis. Hal ini dikarenakan medical grade honey belum tersedia
secara luas serta harganya yang masih relatif mahal. Sehingga medical grade honey ini
belum digunakan secara luas untuk merawat luka di Indonesia. Walaupun Indonesia telah
banyak memproduksi madu, namun belum ada madu yang memiliki standar untuk aman
digunakan secara medis.
Dalam penatalaksanaan luka, madu memiliki beberapa karakteristik penting yaitu (1)
aktivitas anti inflamasi, (2) aktivitas antimikroba, (3) membantu debridemant, (4)
mengurangi bau, (5) mempertahankan kelembaban pada luka dan (6) merangsang
penyembuhan luka.20.23 Madu memiliki efek antimikroba ini, disebabkan adanya
kombinasi sifat madu yang (1) rendah osmolaritasnya, (2) serta rendah tingkat keasaman
(pH). Madu juga menghasilkan (3) hidrogen peroksida yang juga memiliki sifat
antimikroba. Selain itu madu juga memiliki (4) komponen lain yang belum teridentifikasi.
Komponen ini juga memiliki sifat antimikroba.24
Adapun keuntungan dan kerugian penggunaan madu dalam perawatan luka yang
pernah dilaporkan sebagai berikut:25,26
Keuntungan Kerugian
- Menciptakan suasana lembab yang bebas - menjadi lebih encer pada suhu yang
bakteri lebih tinggi
- Sebagai barrier untuk infeksi silang - hanya pada bagian tubuh tertentu karena
bakteri risiko mencair
- Mengurangi bakteri infeksius secara - preparasi penutup yang antibocor sulit
cepat, termasuk bakteri yang resisten dan tidak steril
antibiotik

15
- Mengurangi bau - risiko kecil terhadap botulisme dari
- Bersifat anti inflamasi, mengurangi produk yang tidak steril
edema - terdapat rasa terbakar pada beberapa
- Debridement luka pasien.
- Mencegah parut dan hipertrofi
- membantu penyembuhan dengan
merangsang regenerasi jaringan
- efek samping pada jaringan yang sedang
dalam proses penyembuhan
- mengurangi kemungkinan tandur kulit
- tidak lengket pada luka

Penggunaan madu pada luka dapat membatasi bakteri yang infeksius, membantu
mengurangi durasi pengobatan dan perawatan luka.17 Madu dapat membantu dalam
membersihkan luka (debridement) secara kimia. Dengan cara membantu konversi
plasminogen menjadi plasmin. Plasmin ini ini berfungsi untuk memecahkan gumpalan –
gumpalan fibrin yang melekatkan jaringan nekrotik dan eskar pada dasar luka.22 Bahkan
madu dibuktikan lebih cepat dalam membersihkan luka terhadap mikroorganisme
dibandingkan dengan cairan antiseptic salvon.17 Melalui tekanan osmotik yang tinggi ini,
madu dapat menarik cairan limfe dari dalam luka, sehingga dapat menyediakan suasana
yang lembab pada luka secara terus menerus. Dan akhirnya akan membantu proses
penyembuhan luka.22

16
Daftar Pustaka
1. Marbun SM. Mediatinitis akut : laporan kasus. makalah bagian ilmu bedah FKUI.
2. Pat E, James D.H. The mediastinum. In : Arthur E. Baue . Glenn’s thoracic and
cardiovascular surgery 5th ed vol 1. Appleton & Lange Connecticut 1991; p584 - 86.
3. Martin J.C, Eric K, Francisco T, John H, Jay P.T. Mediastinitis. aviable at : www/
/emedicine. Com .mediastinitis.
4. Tada B.P, Maruf A.R, Linda M.R, DavidBUMC. Acute mediastinitis. BUMC (Baylor
university medical center) proceedings 2000; vol 13. p31-33.
5. Charles H, Michel A, Pierre A, Olivier S.C, Henri M. Descending necrotizing mediastinitis
: advantage of mediastinal drainage with thoracotomy. J thoracic and cardiovascular
surgery 1994; vol 107.
6. Bulut M, Balc V, Akkose S, Armagan. Fatal descending necrotizing mediastinitis. EMJ
2004; vol 21. p 122-23.
7. Hamza, Nashaat S, Farrel, John. Deep fascial space infection of the neck : a continuing
challenge. Southern medical journal 2003; vol 96. p928 -32
8. Makeieff, Marc, Gresillon, Nicolas, Berthet, Jean P, et al. Management of
Descending Necrotizing Mediastinitis. The American Laryngological,
Rhinological & Otological Society April 2004; vol 114(4). P 772 – 75.
9. Fritscher, Ravens, Annette, Schirrow, Werner, Swain et al. Critical care transesophageal
endosonography and guided fine – needle aspiration for diagnosis and management of
posterior mediastinitis. J critical care medicine 2003; vol 31. p126 - 32

17
10. Brunelli, Alessandro, Sabbatini, Armando,Catalini, Giovanbattista, et al.
Descending necrotizing mediastinitis : cervicotomy or thoracotomy ?. Journal of
thoracic & cardiovascular surgery February 1996. Vol 111 (2). P 485 - 86
11. Duenas, Joaquin,Garcia, Ignacio, Granados, Anton et al. Descending necrotizing
mediastinitis in early childhood: favorable outcome after aggressive treatment. J pediatric
critical care medicine 2003; vol 4. p476 – 479.
12. Moriwaki, Yoshihiro , Sugiyama, Mitsugi , Matsuda, Goro, et al . Approach for
Drainage of Descending Necrotizing Mediastinitis on the Basis of the Extending
Progression from Deep Neck Infection to Mediastinitis. Journal of trauma July
2002. Vol 53(1). P 112-16
13. Broughton II G, Janis JE, Attinger CE. A Brief History of Wound Care. Plast
Reconstr Surg. 2006;117(Suppl):6S - 11S.
14. Molan PC. Honey as a topical antibacterial agent for treatment of infected wounds.
2001 [updated 2001; cited]; Available from: http:
//www.worldwidewounds.com/2001/november /Molan/honey- as- topical-
agent.html.
15. National Honey Board. Honey – Health and Therapeutic Qualities. In press 2004.
16. Report of the seventh session of the codex committe on sugars: Codex alimentarius
commission,, 24th Sess. (2 - 7 July, 2001).
17. Jeffry AE, Echazarretta CM. Medical Uses of Honey. Rev Biomed. 1996;7:43 - 9.
18. Paul IM, Beiler J, McMonagle A, Shaffer ML, Duda L, Berlin Jr CM. Effect of
Honey, Dextromethorphan, and No Treatment on Nocturnal Cough and Sleep
Quality for Coughing Children and Their Parents. Arch Pediatr Adolesc Med.
2007;161(12):1140 - 6.
19. Hammouri SK. The Role of Honey in The Management of Diabetic Foot Ulcers.
JRMS. 2004;11(2):20 - 2.
20. Davies P, Murphy J. Mechanisms of Action of Honey in Relation to Wound
Healing – A Review. Journal [serial on the Internet]. 2007 Date [cited 2008 12th
July]: Available from: www.ramamedical.se/catalog.object.aspx?id=519.
21. Molan PC. The Evidence Supporting the Use of Honey as a Wound Dressing.
Lower Extremity Wounds. 2006;5(1):40 - 54.
22. Molan PC.Using Honey in Wound Care. Int.J.Clin Aromatherapy2006;3(2):21- 4.
23. White R. The benefits of honey in wound management. Nursing Standard.
2005;20(10):57 - 64.
24. Gomes S, Dias LG, Moreira LL, Rodrigues P, Estevinho L. Physicochemical,
microbiological and antimicrobial properties of commercial honeys from Portugal.
Food and Chemical Toxicology. 2009:1 - 5.

18
25. Molan PC. The Role of Honey in The Management of Wounds. J Wound Care.
1999;8(8):415 - 8.
26. Dunford C. The Role of Honey in The Management of Wounds. Nursing Standard.
2000;15(11):63 - 8.Paul IM, Beiler J, McMonagle A, Shaffer ML, Duda L, Berlin
Jr CM. Effect of Honey, Dextromethorphan, and No Treatment on Nocturnal
Cough and Sleep Quality for Coughing Children and Their Parents. Arch Pediatr
Adolesc Med. 2007;161(12):1140 - 6.

19

Anda mungkin juga menyukai