Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas 2
Abses Leher Dalam Multipel Dengan Kesulitan Intubasi dan Komplikasi
Fistula Faringokutan Novialdi, Wahyu Triana Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RSUP Dr. M. Djamil Padang Abstrak Abses leher dalam merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan dibidang THT yang bila tidak ditatalaksana dengan baik dapat mengancam kehidupan. Abses leher dalam ini seringkali menimbulkan komplikasi dalam penanganannya. Satu kasus abses leher dalam multiple dengan komplikasi berupa kesulitan intubasi akibat perluasan abses dan fistula faringokutan akibat ruptur dari abses telah dilaporkan pada laki-laki berusia 50 tahun dan telah dilakukan trakeostomi lokal, insisi dan eksplorasi abses dalam narkose serta repair fistula faringokutan. Kata kunci : Abses leher dalam multiple, kesulitan intubasi, fistula faringokutan Abstract Multiple deep neck abscess is one of emergency case in otorhinolaryngology department which if not treated properly can be life threatening. Deep neck abscess often creates complications in management. One case of multiple deep neck abscess with the complications of difficulty intubation caused by extension of abscess and faringocutan fistula due to spontaneous rupture of the abscess has been reported in man aged 50 years old and has managed by local tracheostomy, incision and exploration of abscess in general anesthesia and repair of faringocutan fistula. Key words: Multiple deep neck abscess, difficulty intubation, faringocutan fistula PENDAHULUAN Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti infeksi pada daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjer liur, telinga tengah atau bisa juga akibat trauma pada saluran cerna, limfadenitis, serta penggunaan obat injeksi secara intravena dan subkutan. Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan angka kesakitan dan kematian kasus abses leher dalam menurun secara drastis. Walaupun demikian, abses leher dalam sampai saat ini masih menjadi salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang THT.1,2 Ruang leher dalam dapat dikelompokan menurut modifikasi dari Hollingshead berdasarkan penampang panjang leher yaitu ruang retrofaring, danger space, ruang prevertebral dan ruang viseral vaskular. Berdasarkan lokasinya di atas atau di bawah tulang hyoid. Ruangan yang berada di atas tulang Hyoid, dibagi menjadi ruang submandibula, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang parafaring dan ruang temporal. Sedangkan yang terdapat di bawah os hyoid terdiri dari ruang pretrakea dan ruang suprasternal. 2,3 Sebelum adanya antibiotik, 70% abses leher dalam disebabkan oleh infeksi pada tonsil dan faring. Sekarang infeksi pada tonsil dan faring ini, merupakan penyebab infeksi leher dalam yang tersering pada anak-anak, sedangkan pada dewasa umumnya disebabkan oleh infeksi gigi. Sekitar 20 50 % kasus abses leher dalam tidak diketahui penyebabnya. 2,4 Bakteri aerob gram positif merupakan bakteri yang paling sering diisolasi pada abses leher dalam ini, diikuti oleh bakteri anaerob, bakteri aerob gram negatif dan jamur. Infeksi leher dalam ini juga dapat disebabkan oleh polimikroba yaitu sekitar 62% kasus. 3 Diagnosis abses leher dalam ini dapat ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan radiologi. Pasien yang kita diagnosis dengan abses leher dalam dapat diberikan terapi antibiotik yang adekuat dan drainase abses. Umumnya pasien diberikan antibiotik intravena untuk kuman aerob dan anaerob. Drainase abses dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya.2,3,4 Abses leher dalam dapat mengancam kehidupan bila tidak ditatalaksana dengan adekuat. Infeksi dapat meluas ke ruang leher dalam lainnya sehingga dapat menimbulkan penyulit dalam penanganan infeksi. Penyulit yang sering timbul berupa obstruksi jalan nafas karena penekanan dari abses, mediastinitis akibat penjalaran abses ke inferior, komplikasi vaskuler ( thrombosis vena jugularis dan ruptur arteri karotis), sepsis, osteomielitis, defisit neurologis dan fistel akibat rupture dari abses. 2, 4 LAPORAN KASUS Seorang laki-laki berumur 50 tahun (MR 728775) datang ke IGD RSUP Dr. M Jamil Padang pada tanggal 17 Februari 2011 pukul 01.00 wib dini hari dengan keluhan utama bengkak di bawah dagu sejak 3 hari yang lalu. Lima hari sebelumnya pasien demam disertai nyeri dan sukar menelan, keluhan tersebut bertambah berat dalam 3 hari ini sehingga pasien hanya bisa makan bubur. Ditemukan juga keluhan sukar membuka mulut dan suara bergumam sejak 3 hari ini. Keluhan bertambah berat satu Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas 3 hari ini dan pasien merasa sulit bernafas terutama bila sedang tidur. Satu minggu sebelumnya pasien mengeluh sakit gigi geraham kanan dan kiri bawah, tapi pasien tidak pernah berobat ke dokter gigi. Pasien juga mempunyai kebiasaan mengorek gigi dengan tusuk gigi. Pasien dibawa ke rumah sakit swasta kemudian dirujuk ke RSUP M. Jamil Padang. Riwayat sakit gigi berulang ada, riwayat nyeri menelan berulang dan riwayat ketulangan disangkal. Tidak ada riwayat batuk lama, sakit gula dan hipertensi sebelumnya. Pemeriksaan fisik ketika pasien datang didapatkan keadaan umum lemah, komposmentis kooperatif, tidak ada retraksi dan stridor, tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 36,8 0C, nadi 98 x/menit dan nafas 21 x/menit. Pada pemeriksaan jantung, paru dan abdomen tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan THT, pada telinga dan hidung tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan rongga mulut, didapatkan trismus sekitar 2,5 cm, lidah terangkat dan tampak karies pada gigi molar satu kanan bawah, molar satu dan dua kanan atas serta kalkulus hampir di seluruh gigi. Tenggorok sukar dinilai. Pada daerah submandibula sisi kanan dan kiri serta submental terdapat pembengkakan, nyeri tekan, hiperemis dan sedikit fluktuatif. Angulus mandibula kanan dan kiri tidak teraba. Pada daerah sublingual juga tampak pembengkakan, fluktuatif, hiperemis dan nyeri tekan.(gambar 1) Gambar 1. Foto pasien ketika baru masuk rumah sakit Pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 15,1 g%, leukosit 37.100/mm 3, trombosit 119.000/mm3, ureum 45 mg%, kreatinin 1,3 mg%, natrium 135 mmol/L, kalium 4,0 mmol/L, klorida 99 mmol/L dan gula darah sewaktu 87 mg%. Kesan leukositosis. Pemeriksaan ronsen foto jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral tampak perselubungan pada daerah submandibula sedangkan daerah retrofaring normal. Foto thorak posteroanterior didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. Aspirasi pus pada daerah submental didapatkan pus 0,3 cc. Pasien didiagnosis dengan abses submandibula dengan suspek perluasan ke parafaring. Pasien dianjurkan untuk pemeriksaan tomografi komputer parafaring, tapi pasien menolak karena belum ada biaya. Pada pukul 03.00 wib dini hari dilakukan insisi dan eksplorasi abses submandibula dalam anestesi lokal. Pasien dipasang infus ringer laktat 4 jam/kolf dan diberi terapi seftriakson 2 x 2 gr intravena, metronidazol drip 3 x 500 mg, deksametason injeksi 3 x 1 ampul, Ranitidin injeksi 2 x 1 ampul, tramadol drip 1 ampul dalam 500cc RL dan diet makanan lunak serta dilakukan redressing abses 3 kali sehari. Insisi dilakukan pada daerah submental setelah sebelumnya kita lakukan aspirasi pada daerah yang paling fluktuatif kemudian dilanjutkan dengan insisi 2 jari dibawah batas inferior ramus mandibula secara horizontal sepanjang 1 cm dan insisi diperdalam lapis demi lapis dengan klem. pada saat tindakan dapat dieksplorasi pus sebanyak 10 cc, warna kuning kehijauan dan berbau busuk. Setelah tindakan pasien dianjurkan tidur dengan posisi trendelenburg. Pada pukul 10.00 wib, pasien mengeluhkan sulit bernafas terutama bila tidur terlentang. Dilakukan evaluasi orofaring dengan tongue spatel ditemukan adanya pembengkakan pada peritonsil kiri dan kanan dimana peritonsil kanan lebih bengkak dibanding peritonsil kiri, hiperemis dan uvula terdorong ke kiri serta adanya pendorongan dinding lateral faring kanan ke medial. Tonsil tampak hiperemis dan kripti melebar. Diagnosis pasien adalah abses submandibula dengan suspek perluasan ke parafaring dan abses peritonsil bilateral. Dilakukan aspirasi pada daerah peritonsil kanan dan didapatkan pus 1 cc. Pus yang berasal dari peritonsil dan submandibula tersebut dikirim ke labor mikrobiologi untuk pemeriksaan kultur dan tes sensitifitas obat. Terapi pasien ditambahkan gentamisin injeksi 2 x 80 mg intravena. Pasien direncanakan untuk insisi dan eksplorasi abses dalam anestesi umum di kamar operasi dan sebelumnya disarankan pemeriksaan tomografi komputer parafaring, Pasien menolak untuk dilakukan operasi dan setuju dilakukan tomografi komputer. Pada tanggal 18 Februari 2011, bengkak di bawah dagu kian membesar dan nyeri, suara bergumam, sulit ber nafas dan nyeri menelan masih ada. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan edema pada daerah peritonsil semakin membesar dan hiperemis serta pendorongan dinding lateral faring kanan ke medial juga bertambah besar. Pus masih keluar pada bekas insisi sebanyak 15 cc dan berbau. Hasil tomografi komputer tampak gambaran jaringan lunak dan udara di dalam daerah submandibula, meluas sampai ke regio anterior dari laring dan trakea (sampai regio manubrium sterni). Tidak tampak perluasan sampai ke kavum thorak, tampak juga perluasan abses sampai ke regio sublingual, rongga orofaring menyempit, tulang-tulang sekitar intak tak tampak destruksi. Kesan abses di regio submandibula dengan perluasan ke parafaring dan pretrakea. (gambar 2). Pada saat itu pasien belum setuju ditindak dalam anestesi umum. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas 4 Gambar 2.Tomografi komputer parafaring potongan axial Pada tanggal 19 Februari, pasien semakin sulit bernafas dan bengkak di leher bertambah besar. Pemeriksaan fisik ditemukan stridor, tapi retraksi tidak jelas karena edema di sekitar leher dan dada. Pasien dan keluarga telah setuju untuk dilakukan operasi. Pada pukul 19.00 wib dilakukan tindakan insisi dan eksplorasi abses dalam anestesi umum dan trakeostomi atas indikasi kesulitan intubasi. Trakeostomi dilakukan dalam anestesi lokal setelah sebelumnya dicoba intubasi oleh dokter anestesi, tapi tidak berhasil karena edema pada daerah peritonsil kiri dan kanan serta pendorongan dinding lateral faring. Sebelum melakukan insisi trakeostomi dilakukan dulu aspirasi pada daerah pretrakea dan didapatkan pus 0,5 cc. Kemudian dilakukan insisi pada 2 jari di atas suprasternal secara vertikal sepanjang kurang lebih 5 cm dan keluar pus berwarna kuning kehijauan bercampur darah 5 cc. Insisi diperdalam dengan klem sampai ditemukan trakea. Lakukan insisi pada trakea berbentuk huruf U, lalu masukan kanul trakeostomi no 7,5, tes pasase udara dan fiksasikan kanul. Lakukan anestesi umum melalui kanul trakeostomi, setelah pasien dalam narkose lakukan insisi dan eksplorasi abses pada daerah submandibula sisi kiri dan kanan sekitar 2 jari dibawah batas inferior ramus mandibula. Insisi pada daerah submandibula kanan setelah diperlebar dengan klem, ditelusuri ke dalam sampai teraba angulus mandibula sedangkan insisi pada submandibula kiri tidak keluar pus hanya darah dan perabaannya keras. Insisi pada daerah submental juga diperdalam dengan klem menembus m. milohioid sampai ke ruang sublingual. Berhasil dikeluarkan pus sebanyak 50 cc. Orofaring dievaluasi dengan menggunakan laringoskop. Tampak robekan di lateral pilar anterior kanan sepanjang 2 cm dan terlihat pus keluar dari bekas ruptur tersebut. Dinding posterior faring tidak terdapat pembengkakan. Kemudian dilakukan pencucian abses dengan povidone iodine dan H2O2 3% sampai bersih, kemudian dibilas dengan Nacl 0,9%. Tampak juga karies pada gigi molar satu kanan bawah yang telah goyah lalu gigi diekstraksi. Tampon kassa yang telah diberi povidone iodine dan H2O2 3% dimasukan pada tempat insisi di submandibula lalu tutup dengan kassa steril, pasang nasogastrik tube (NGT) dan operasi selesai. Setelah insisi dan eksplorasi, pasien ditatalaksana dengan infus RL 8 jam/kolf, diet makanan cair per NGT dan diberikan terapi ceftazidime 2 x 2 gr, gentamisin 2 x 80 mg, metronidazol drip 3 x 500 mg, dexamethason injeksi 3 x 1 ampul tapering off, ranitidin injeksi 2 x 1 ampul, tramadol drip 1 ampul dalam 500cc RL, povidone iodine kumur dicampur dengan H2O2 3% 3 x 1 cup dan sirup bromhexine Hcl 3 x 1 sendok teh. Pasien dianjurkan untuk tidur dalam posisi terlentang dan datar untuk mengurangi edema pada wajah. Perawatan abses dilakukan 3 kali sehari dengan mengganti salir dan verban. Pasien dikonsulkan ke bagian gigi dan mulut untuk mencari fokal infeksi yang lain. Pada tanggal 21 Februari 2011, pasien mengeluhkan sakit kepala dan nyeri di sekitar leher, pemeriksaan tekanan darah didapatkan hasil 160/90 mmHg. Kanul trakeostomi terpasang baik, aliran udara lancar dan pus keluar dari insisi trakeostomi. Hasil pemeriksaan laboratorium darah setelah operasi didapatkan kadar hemoglobin 13,8 g%, leukosit 15.200 /mm 3, hematokrit 43%, trombosit 280.000/mm3, ureum 46 mg/dl, kreatinin 0,5 mg/dl, natrium 126 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L, klorida 96 mmol/L. Kesan yang didapatkan hiponatremia dan leukositosis. Pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam. Hasil konsul didapatkan hipertensi stage I ec essensial dan hiponatremia ec low intake. Pasien diberikan koreksi Nacl 3% 12 jam/kolf sebanyak 1 kolf dan dilakukan pemeriksaan ulang elektrolit 6 jam setelah koreksi. Untuk hipertensinya diberikan amlodipine 1 x 5 mg dan HCT 1 x 12,5mg. Pada tanggal 22 Februari 2011, hasil kultur dan tes sensitifitas telah keluar. Pada pus yang berasal dari daerah submandibula, tidak ditemukan pertumbuhan kuman aerob sedangkan pada pus dari daerah peritonsil ditemukan adanya pertumbuhan kuman streptococcus hemoliticus. Kuman tersebut sensitif terhadap obat Ampicillin+Sulbactam,ChloramphenicoErithromycin,Cefota xime,Ciprofloxacin,Sulfamethoxazole + Trimethoprime Ceftriaxone, Ceftazidime, Netilmicin dan Cefoperazone sedangkan Gentamisin intermediet. Jawaban dari bagian gigi dan mulut, tidak ditemukan fokal infeksi dari bagian gigi dan terdapat gangren pulpa pada gigi molar 1 kanan atas. Pada tanggal 24 Februari 2011, dari hasil pemeriksaan elektrolit post koreksi didapatkan natrium 134 mmol/L, Kalium 4,5 mmol/L dan klorida 9,6 mmol/L. Kesannya sudah terdapat perbaikan elektrolit. Setelah 12 hari (3 Maret 2011) insisi dan eksplorasi abses, sukar buka mulut sudah berkurang, edema pada wajah tidak ada lagi dan pasien mengeluhkan sakit pada gigi geraham kiri bawah. Pada daerah submandibula dan submental, bengkak dan hiperemis sudah berkurang, nyeri tekan masih ada dan pus masih keluar dari bekas insisi 5 cc. Kanul trakeostomi masih Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas 5 terpasang dan pada bekas insisinya masih keluar pus. Hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan darah rutin normal, ureum 32 mg%, kreatinin 0,7 mg%, SGOT 12 U/L dan SGPT 17 U/L. Kesan dalam batas normal. Terapi dilanjutkan, ceftazidime diturunkan dosisnya menjadi 2 x 1gr. Pasien dikonsulkan ke bagian gigi dan mulut. Jawaban dari bagian gigi dan mulut, pasien dianjurkan untuk foto panoramik dan direncanakan ekstraksi gigi molar satu kanan atas di poli gigi bila keadaan pasien sudah memungkinkan. Dalam penatalaksanaan, dokter gigi menyarankan pemberian kloramphenikol 4 x 500 mg per oral. Kortikosteroid dihentikan secara tapering off. Pada tanggal 7 Maret 2011, pasien tidak mengeluhkan sakit gigi lagi,. Hasil foto panoramik, tampak impaksi pada molar ketiga kiri bawah dan gangren pulpa pada molar satu dan dua kanan atas. Pada tanggal 9 Maret 2011, dilakukan tes minum, terdapat perembesan air minum ke bekas insisi pada daerah submandibula kanan dan bekas insisi trakeostomi. Evaluasi orofaring, terdapat fistel pada faring sisi kanan di lateral pilar anterior, bentuk vertikal dengan panjang 1,5 cm, tidak tampak pus pada fistel. Pasien disarankan tetap makan melalui NGT sampai fistel menutup dan terapi konservatif dilanjutkan. Jawaban dari bagian gigi, direncanakan tindakan odontektomi gigi molar ketiga kiri bawah dalam narkose. Pada tanggal 12 Maret 2011, keluar air liur dari bekas insisi trakeostomi dan di submandibula kanan masih ada, pus pada bekas insisi sudah kering. Pemeriksaan tenggorok, masih terdapat fistel pada faring sisi kanan. Direncanakan repair fistel bersamaan dengan operasi odontektomi dalam narkose. Pasien belum setuju dilakukan operasi. Metronidazol dihentikan dan terapi lain dilanjutkan. Pada tanggal 14 Maret 2011, air ludah merembes dari bekas insisi masih ada. Pasien setuju dilakukan operasi penutupan fistel bersamaan dengan odontektomi dalam narkose dan dilakukan persiapkan operasi. Pada tanggal 22 Maret 2011 dilakukan operasi odontektomi gigi molar ketiga kiri bawah yang impaksi, ekstraksi gigi M1, M2 kanan atas dan repair fistula faringokutan. Laporan operasi, pasien tidur terlentang di atas meja operasi dalam posisi rose. Setelah dilakukan operasi odontektomi, mulut dibuka dengan memasang Davis gag. Tampak fistel pada dinding faring di lateral pilar anterior kanan,vertikal sepanjang 1,5 cm. Dilakukan pengukuran dalamnya fistel dengan selang suction no 8 dan panjang selang yang masuk sekitar 1,5 cm. Pinggir fistel dilukai dengan pisau dan bagian dalamnya dioles dengan AgNo3. Fistel dijahit 2 lapis, lapisan dalam disatukan dan lapisan luar dijahit dengan benang vicryl 4.0 sebanyak 5 jahitan. Evaluasi fistel, tidak tampak celah pada jahitan. Lakukan pemasangan NGT, Davis gag dibuka dan operasi selesai. Terapi ceftazidime 2 x 1 gr dilanjutkan, erithromisin tablet 4 x 500 mg, injeksi dexamethason 3 x 1 ampul dan drip tramadol 1 ampul dalam 500 cc RL. Tanggal 25 Maret 2011, selang NGT pasien tercabut, dilakukan tes minum pada pasien dan tidak terdapat perembesan air minum ke bekas insisi di kulit. Pasien diberikan diet makanan cair secara bertahap dan terapi dilanjutkan. Tanggal 30 Maret 2011, tidak terdapat perembesan air minum pada bekas insisi, tidak ada pembengkakan disekitar leher. Dilakukan dekanulasi kanul trakeostomi dan penutupan luka pasca insisi. Fistel dievaluasi, terdapat celah pada bagian bawah fistel 1 cm. NGT dipasang kembali dan pasien dipulangkan. Pasien diberikan obat erithromisin 4 x 500 mg. Tanggal 8 April 2011, pasien kontrol ke poli THT. Terdapat bengkak pada dagu sebelah kiri, sedikit hiperemis dan nyeri tekan. Pada daerah yang bengkak dibawah dagu dilakukan aspirasi di beberapa tempat, tidak ditemukan pus. Pasien dianjurkan untuk di rawat, tapi pasien menolak. Bekas insisi trakeostomi belum menutup sempuna. Fistel dievaluasi, masih tampak celah pada bagian bawah fistel 0,5 cm, tidak hiperemis. Pasien dianjurkan tetap menggunakan NGT dan diberikan terapi klindamisin 3 x 300 mg dan ciprofloxacin 2 x 500 mg. Tanggal 13 April 2011, pasien kontrol. Tidak tampak lagi pembengkakan di sekitar dagu. Fistel masih ada 0,5 cm. Bekas insisi trakeostomi sudah kering. Terapi tetap dilanjutkan. DISKUSI Telah dilaporkan satu kasus seorang laki-laki berusia 50 tahun yang didiagnosis abses leher dalam multiple dengan kesulitan intubasi dan komplikasi fistula faringokutan. Abses pada pasien ini telah mengenai beberapa ruang leher dalam yaitu ruang submandibula, submental, sublingual, peritonsil, parafaring dan paratrakea yang disebabkan oleh dua sumber infeksi yang berbeda yaitu berasal dari gigi dan tonsil. Menurut Quinn,3 usia rata-rata pasien dengan infeksi abses leher dalam antara 40-50 tahun dan umumnya berasal dari kelompok sosioekonomi rendah dimana pada kelompok tersebut kurang memperhatikan kebersihan mulut dan kurangnya pengetahuan tentang perawatan gigi. Nikakhlagh5 dkk mengatakan bahwa insiden abses leher dalam lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan, hal ini diduga karena perempuan lebih memperhatikan kebersihan dan kesehatan dibanding laki-laki. Lokasi tersering dari abses leher dalam ini menurut Parhiscar dkk adalah ruang parafaring (43%) diikuti oleh ruang submandibula (28%), angina ludwig (17%) dan ruang retrofaring (12%) sedangkan menurut Nikakhlag (2010), kasus tersering adalah angina ludwig (59%) diikuti oleh abses submandibula, abses parafaring dan abses maseter. Sumber infeksi pada pasien ini berasal dari gigi dan tonsil. Hal ini sesuai dengan Uluibau dkk 6 yang mengatakan bahwa penyebab abses tersering pada daerah kepala dan leher adalah infeksi odontogenik. Hal yang sama juga disampaikan oleh Parhiscar dkk 7 sumber infeksi dari abses leher dalam yang tersering adalah infeksi gigi (43%) diikuti oleh penggunaan obat intravena (12%), tonsilofaringitis (6,7%) dan fraktur mandibula (5,6%). Sekitar 76% infeksi gigi ini dapat menyebabkan angina Ludwig dan 61% menyebabkan infeksi pada ruang submandibula. Penjalaran infeksi leher dalam ini menurut Ungkanont dikutip dari Murray, infeksi odontogenik ini dapat menyebar secara langsung melalui komunikasi antara ruang-ruang pada leher dalam (perkontinuitatum), Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas 6 pembuluh darah (hematogen) dan pembuluh limfe (limfogen). Penyebaran yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang diantara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Disamping itu fasia leher dalam merupakan suatu barier yang efektif untuk berkembangnya infeksi. 4 Infeksi gigi pada pasien ini berasal dari gigi molar satu kanan bawah dan molar ketiga kiri bawah yang mengalami impaksi. Faktor yang menentukan apakah infeksi gigi tersebut mengenai ruang submandibula atau sublingual tergantung pada perlekatan akar gigi ke m. milohioid terhadap garis milohioid. Bila infeksi berkembang ke arah medial mandibula di atas garis milohioid, maka infeksi akan menyebar ke ruang sublingual. Biasanya ini berasal dari gigi premolar dan molar satu. sedangkan bila infeksi meluas ke arah medial mandibula dan di bawah garis milohioid, maka infeksi menyebar ke ruang submandibula. Gigi molar ketiga bawah merupakan sumber infeksi tersering dari ruang submandibula, sedangkan gigi molar kedua dapat meluas ke ruang sublingual atau submandibula bahkan dapat meluas kedua ruang tersebut tergantung dari panjang akarnya.1 Pada pasien ini juga terdapat abses peritonsil bilateral. Menurut Watanabe dkk 9, insiden abses peritonsil bilateral ini sekitar 6,5% dan banyak terdapat pada usia muda. Sepertiga kasus abses peritonsil bilateral ini mempunyai riwayat tonsillitis berulang sebelumnya. Tonsilitis akut dapat menyebabkan eritema dan edema pada peritonsil kemudian terbentuk mikroabses pada kripti tonsil dan meluas sampai ke kapsul tonsil sehingga dapat menyebar ke daerah peritonsil. Komplikasi tersering dari abses ini adalah ruptur spontan dan perluasan abses ke ruang leher dalam lainnya. Pada pasien ini dari hasil kultur tes sensitifitas pada daerah peritonsil dapat diisolasi kuman streptococcus hemoliticus sedangkan dari daerah submandibula tidak ditemukan pertumbuhan kuman aerob. Menurut Quinn FB dkk 3 mikroorganisme yang paling banyak diisolasi pada abses leher dalam adalah kuman aerob gram positif diikuti oleh kuman anaerob, kuman aerob gram negative dan jamur. Sekitar 62% infeksi disebabkan oleh polimikroba. Kuman aerob gram positif yang paling sering ditemukan yaitu streptococcus viridans (39%) diikuti oleh staphylococcus epidermidis (21%).7 Kuman anaerob diisolasi sekitar 35% kasus dimana jenis kuman terbanyak spesies bacteroides terutama Bacteroides melaninogenicus dan peptostreptococcus.2 sedangkan kuman aerob gram negatif yang banyak ditemukan adalah proteus, pseudomonas dan escherichia colli.7 Kebanyakan abses akibat infeksi odontogenik melibatkan kuman anaerob atau merupakan campuran kuman aerob dan anaerob.6 Diagnosis abses leher dalam dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, gejala klinik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini dari anamnesis mengeluhkan bengkak dibawah dagu, nyeri menelan dan sukar buka mulut. Menurut Quinn dkk 3, gejala yang ditimbulkan oleh abses leher dalam ini tergantung pada lokasi infeksi. Abshirini dkk10, mendapatkan pada penelitiannya gejala yang paling sering pada abses leher dalam adalah pembengkakan pada leher (87,1%), trismus (53,7%), disfagia (30,6%) dan odinofagia (29,3%). Selain gejala di atas, juga ditemukan adanya kesulitan bernafas, obstruksi jalan nafas atas serta pneumonia. 3 Pemeriksaan radiologi yang diperlukan berupa foto cervical lateral, foto mandibula, foto thorak dan tomografi komputer. Pemeriksaan tomografi computer dengan kontras merupakan standar baku emas dalam mengevaluasi infeksi pada leher dalam. Menurut Crespo dkk, 11 pemeriksaan klinis saja belum dapat memperkirakan perluasan infeksi leher dalam pada 70% pasien. Pemeriksaan tomografi computer dapat menentukan lokasi, batas serta hubungan infeksi dengan struktur disekitarnya. Pasien ini didiagnosis dengan abses submandibula dengan perluasan ke parafaring dan pretrakea. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan insisi dan ekplorasi abses pada daerah submental yang merupakan daerah paling fluktuatif pada abses tersebut. Pasien ini juga mengalami kesulitan bernafas karena lidah yang terangkat akibat terkumpulnya pus di ruang sublingual. Menurut Weed HG 12 dkk, bila terjadi infeksi pada daerah sublingual yang di tandai adanya eritema, fluktuatif, pembengkakan dan nyeri tekan, serta lidah yang terangkat maka selain insisi ekstraoral juga dilakukan insisi intraoral yang sejajar dengan duktus Whartons. Penatalaksanaan awal kasus abses leher dalam diutamakan pada mengatasi sumbatan jalan nafas kemudian dilakukan pemeriksaan kultur yang dapat berupa kultur pus atau darah, pemberian antibiotik intravena dan dilanjutkan dengan drainase abses. Kultur pus didapatkan dengan aspirasi baik ekstraoral maupun intraoral. Pemberian antibiotik dimulai dengan regimen empiris sampai didapatkan hasil kultur. Antibiotik intravena yang diberikan mencakup untuk kuman aerob gram positif, aerob gram negatif dan anaerob. Menurut Quinn dkk 3, regimen empiris yang efektif digunakan adalah gabungan antara penicillin, gentamisin dan metronidazol. Wei Yang dkk 13 mendapatkan dari penelitiannya bahwa pemberian kombinasi antibiotik ceftriakson dan klindamisin lebih efektif dibandingkan kombinasi antara penicillin dan gentamisin atau ceftriaxone dan metronidazol. Lamanya penyembuhan pada pasien ini disebabkan oleh banyaknya sumber infeksi, perluasan abses, higienis mulut yang jelek dan kurang responnya kuman terhadap antibiotik yang diberikan. Menurut Murray dkk 4 pasien dengan infeksi leher dalam akan sembh sempurna bila semua penyebab telah diobati dan lamanya penyembuhan menyebabkan banyaknya komplikasi yang terjadi. Pada pasien ini ditemukan adanya kesulitan intubasi sewaktu melakukan insisi dan eksplorasi abses dan timbulnya fistula pada dinding faring akibat ruptur spontan dari abses ke rongga mulut. Kesulitan intubasi pada pasien ini disebabkan oleh edema pada mukosa faring dan pendorongan dinding lateral faring ke medial. Menurut American Society of Anesthesiologists (ASA), kesulitan intubasi didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengintubasikan pipa endotrakeal selama lebih dari 10 menit dan atau lebih dari 3 kali intubasi yang dilakukan oleh ahli anestesi yang telah terlatih. Definisi ini tidak begitu memuaskan dan dibuat definisi kedua yaitu intubasi yang dilakukan di luar kondisi yang optimal. Insiden kesulitan intubasi berkisar antara 0,05% - 18% kasus. 14 Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas 7 Krobbuaban dkk 15 melaporkan kesulitan intubasi terdapat pada 1,5% - 13% kasus. Pada kasus infeksi leher dalam ditemukan sekitar 25% komplikasi kesulitan intubasi. Kesulitan intubasi ini dapat dinilai dengan menggunakan Intubation Difficulty Scale (IDS) yang dinilai dari 7 parameter yaitu jumlah tindakan laringoskopi, jumlah ahli anestesi, jumlah teknik alternatif yang digunakan, Cormack grade, tekanan yang dibutuhkan, manipulasi eksternal yang dibutuhkan dan posisi pita suara. Total skore IDS ini akan dijumlahkan. Selain IDS ini, untuk menilai kesulitan intubasi juga digunakan Airway Difficulty Score (ADS). Pada ADS dapat dinilai kesulitan mempertahankan patensi saluran nafas (menggunakan Mallampati skor dan jarak thyromental) dan kesulitan dalam meluruskan sumbu antara mulut, faring dan laring untuk mengevaluasi laring (dinilai dengan kemampuan buka mulut, kemampuan mobilisasi leher dan keadaan dari gigi seri atas). Skor dapat berkisar antara 5 - 15, dimana skore yang lebih dari 8 dianggap kesulitan intubasi. 14 Kesulitan intubasi ini dapat ditanggulangi dengan menggunakan intubasi fiber optik, memperkecil ukuran pipa endotrakeal, menggunakan stylet-guided teknik, laryngoskop McCoy, mengatur posisi pasien dan melakukan manuver penekanan tiroid. Penggunaan intubasi fiber optik merupakan standar baku emas dalam mengatasi kesulitan intubasi. 14,16 Efek samping dari kesulitan intubasi ini adalah terjadinya desaturasi oksigen (SpO2 < 85% - 90% lebih dari 3 menit), selain itu dapat menyebabkan kegagalan intubasi sehingga membutuhkan tindakan trakeostomi dalam anestesi lokal, cedera pada gigi dan gagal nafas yang membutuhkan penanganan lebih lanjut di intensive care unit (ICU).16 Fistula faringokutan dapat diidentifikasi pada pasien ini setelah hari ke-20 perawatan. Fistula terdapat pada bagian lateral pilar anterior kanan akibat ruptur spontan dari abses. Menurut Cade,17 fistula adalah saluran abnormal yang menghubungkan 2 buah rongga yang berada di dalam dan di luar tubuh. Menurut Valenza dkk 17 fistula faringokutan merupakan hubungan antara faring dan kulit leher disekitar luka insisi operasi atau stoma pada trakeostomi. Penyebab terbanyak dari fistula faringokutan adalah tindakan laringektomi (24,8%). Pemeriksaan fistula ini dapat dilakukan secara sederhana dengan pemberian zat warna methilen blue, atau dapat juga digunakan pemeriksaan yang lebih modern dengan video fluoroskopi. Pemeriksaan ini tidak hanya dapat menilai adanya fistula, tapi juga dapat menilai fungsi menelan seperti kontrol bolus makanan, adanya residu pada faring dan adanya aspirasi. 18 Gallagher dkk,19 mengklasifikasikan fistula menjadi 3 ukuran yaitu kecil , sedang dan besar. Pada fistula yang kecil dan sedang umumnya dapat hilang dengan pemberian terapi konservatif berupa antibiotik intravena dan perawatan lokal sedangkan pada fistula yang besar atau fistula sedang yang disertai komplikasi, membutuhkan tindakan penutupan dengan menggunakan flap. Menurut Saki 20 yang meneliti 19 pasien dengan fistula faringokutan dari tahun 1990-2005, penutupan spontan dari fistula terjadi pada 17 kasus (89%) dan hanya 2 kasus (10,5%) yang membutuhkan tindakan operasi. Penutupan spontan ini umumnya terjadi dalam 2 minggu atau bahkan bisa sampai 6 minggu. Saki juga mengatakan terapi konservatif fistula meliputi pemberian antibiotik intravena, drainase yang adekuat, kompresi leher dengan melakukan pembalutan pada daerah leher yang bertujuan untuk memberikan tekanan negatif secara terus-menerus dan dipertahankan selama 48 jam serta melakukan perawatan fistel sedangkan tindakan operasi pada fistula ini berupa rekonstruksi faring dengan melakukan penjahitan 2 lapis yaitu lapisan mukosa dan lapisan otot faring baik dengan atau tanpa menggunakan flap atau graft. Gallagher dkk 19 mengatakan penjahitan pada mukosa mulut dilakukan secara interrupted dengan menggunakan benang yang dapat diserap, kedap air dan tidak memberikan banyak manipulasi pada jahitan. 18,19 Liu21 dalam penelitiannya membandingkan material yang digunakan untuk penutupan fistel antara vicryl, polypropylene dan vicryl ditambah fibrin glue. Hasil yang paling memuaskan didapatkan pada polypropylene karena menghasilkan reaksi jaringan yang minimal sehingga dapat mempercepat penyembuhan sedangkan hasil yang kurang memuaskan didapatkan pada vicryl ditambah fibrin glue karena menghasilkan aktivitas fibroblas yang besar dan deposisi kolagen. Menurut Grau C dkk, 22 membandingkan antara vicryl dan catgut, didapatkan perbedaan yang bermakna dimana vicryl lebih baik karena lebih kuat dan inflamasi yang ditimbulkan minimal. Chen dkk23 mengatakan bahwa luka pada mukosa mulut lebih cepat penyembuhannya dan jaringan parut yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan jaringan kulit. Menurut Enoch dkk24 sedikitnya jaringan parut pada penyembuhan luka di mukosa mulut disebabkan karena rongga mulut memiliki lingkungan yang lembab dan adanya cytokines dan growth factor di dalam air liur. Pemberian diet pada pasien dengan fistula faringokutan dianjurkan melalui pipa nasogastrik (NGT). Setelah operasi penutupan fistula, pipa nasogastrik dibuka pada hari ke-8 post operasi dan dilanjutkan dengan pemberian makanan per oral secara bertahap. 19 DAFTAR PUSTAKA 1. Shumrick KA, Sheft SA. Deep Neck Infections. In : Paparella, Shumrick, Gluckman, Meyerhoff, editors. Otolaryngology, 3 rd ed. W.B. Saunders Company; 1991.P. 2545-63 2. Gadre AK. Infections of the deep spaces of the neck. In: Byron J,Bailey & Jonas T.Johnson,editors. Head & neck Surgery Otolaryngology. 4 th ed.Lippincott Williams & Wilkins; Philadelphia 2006. P.665-82 3. Quinn FB, Buyten J. Deep neck Space and Infection. PresentationUTMB, Dept. of Otolaryngology, 2005. 4. Murray AD. Deep Neck Infection. [Update Nov 18 2009: cited March 12,2011] available from http://emedicinemedscape.com/article/837048- overview 5. Nikakhlagh S, Rahim F,Khosravi A. Deep Neck Infection : A case study of 12-year. Asian Journal of Biological Sciences 2010;3:128-33 6. Uluibau IC, Jaunay T,Goss AN. Severe Odontogenic Infection. Aust Dent J 2005;50: 74-81 Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas kedokteran Universitas Andalas 8 7. Parhiscar A, Har-EL G. Deep neck Abscess: A Retrospective Review of 210 Cases.Ann Otol Rhinol Laryngol 2001;110:1051-4 8. Carlson ER, Hudson JW. Odontogenic Infection. In : Cummings : Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4 th ed.Elsevier mosby, Philadelphia 2005.p. 9. Watanabe T, Suzuki M. Bilateral Peritonsillar abscesses: Our Experience and Clinical Features. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology 2010;119:662-6 10. Abshirini H,Alavi SM, Rekabi H. Predisposing Factors for the complications of Deep neck Infection. The Iranian Journal of Otorhinolaryngology 2010; vol 22: no 60 11. Crespo AN,Chone CT, Fonseca AS. Clinical versus Computed tomography evaluation in the diagnosis and management of deep neck infection. Sao Paulo Med J 2004;130:201-7 12. Weed HG, Forest LA. Deep nack infection. In : Cummings : Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4 th ed.Elsevier mosby, Philadelphia 2005.p. 13. Wei Yang S, Lee MH, Huang SH. Deep Neck Abscess: an analysis of microbial etiology and the effectiveness of antibiotics. Infection and Drug Resistence 2008;1:1-8 14. Janssens M, Hartstein G. Management of difficulty intubation. European Journal of Anaesthesiology 2001;18:3-12 15. Krobbuaban B, Diregpoke S, Kumkeaw S. The Predictive Value of the Reight ratio and Thyromental Distance: Four Predictive Tests for difficult Laryngoscopy.Anesthesia & Analgesia 2005;101:1542- 5 16. PiriyapatsomA, Pranootnarabhal T, Uerpairojkit K et al. Difficult Intubation in the Adult Patients Undergoing Oripharyngolaryngeal, Neck and Maxillofacial Procedures: Thai Anesthesia Incident Monitoring study (Thai AIMS). J Med Assoc Thai 2010;93:1391-8 17. Cade J. Oral Cutaneous Fistula. [Update May 19 2009: cited March 12,2011] available from http://emedicinemedscape.com/article/1077808- overview 18. ValenzaV, Galli J, Parilla C et al. Pharyngocutaaneous Fistula onset After Total Laryngectomy: Scintigraphic analysis. Acta Otorhinolaryngol ital 2009;29: 242-4 19. Gallagher R, Levine PA.Fistulae in Head and Neck Surgery. In : Myles L Pensak. Controversies in Otolaryngology. 2001: p 308-10 20. Saki N, Nikakhlagh S, kazemi M. Pharyngocutaneous Fistula After Laryngectomy : Incidence, Predisposing factors and Outcome. Archives of Iranian Medicine 2008;11:314-7 21. Liu SA, Tung KC, Cheng CC. The Impact of different closure materials on pharyngeal wound healing: an experimental animal study.European Archieves of Oto- Rhino-Laryngology 2007;265:227-31 22. Grau C,Johansen LV, Hansen LV. Salvage Laryngectomy and pharingocutaneous Fistulae After Primary Radiotherapy for Head and Neck Cancer: A national Survey from DAHANCA 2003;25: 711-6 23. Chen L, Arbieva ZH, Guo S et al. Positional differences in the wound transcriptome of skin and oral mucosa. BMC Genomic 2010; 11: 471 24. Enoch S, Stephens P. Scarless healing: Oral mucosa as a scientific model. Wound healing Science See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/274193652
Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher
Dalam Conference Paper February 2013 CITATIONS 0 READS 3,879 1 author: Sukri Rahman Universitas Andalas 17 PUBLICATIONS 1 CITATION SEE PROFILE All content following this page was uploaded by Sukri Rahman on 29 March 2015. The user has requested enhancement of the downloaded file. i|EmergensidiBidangTelingaHidungdanTenggorok Naskah Lengkap Simposium dan Workshop Emergensi di Bidang Telinga Hidung dan Tenggorok Pangeran Beach Hotel Padang 9 Februari 2013 Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP. Dr. M. Djamil Padang & PERHATI-KL Cab. Sumbar Padang 2013 64 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam Dr. Sukri Rahman, Sp. THT-KL Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi ruang leher dalam masih merupakan tantangan. Kompleksitas anatomi daerah ini membuat diagnosis dan pengobatan infeksi cenderung sulit. Sampai saat ini infeksi ini tetap menjadi masalah kesehatan dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penggunaan antibiotik telah menurunan kematian akibat infeksi ruang leher dalam, namun infeksi leher dalam masih memiliki potensi untuk komplikasi yang serius dan bahkan dapat mengancam kehidupan. Apabila pada infeksi leher dalam telah terjadi pembentukan abses, operasi masih dianggap sebagai pengobatan utama, namun infeksi awal dapat diobati dengan antibiotik. Antibiotik telah memodifikasi gejala dan perjalanan penyakit, dan munculnya resistensi terhadap antibiotik adalah masalah yang sering terjadi dalam pengobatan pasien. Keterlambatan dalam diagnosis, atau lebih buruk lagi salah diagnosis, dapat mengakibatkan konsekuensi yang berbahaya, termasuk mediastinitis dan kematian. Bahkan di era antibiotik modern, tingkat kematian dilaporkan masih tinggi mencapai 40%. Sebagian besar komplikasi ini merupakan akibat penyebaran infeksi sepanjang lapisan fasia kepala dan leher. Artikel ini lebih banyak memnjelaskan klinis praktis diagnosis dan penatalaksanaan abses leher dalam yang sering ditemukan di praktek sehari-hari dan tidak akan menjelaskan antomi lengkap ruang leher dalam. Abses leher dalam merupakan abses yang terbentuk di ruang potensial leher dalam. Ruang potensial leher dalam adalah ruang yang terbentuk oleh sekat-sekat fasia leher dalam yang terdiri atas : - Lapisan Superficial dari Deep Cervical Fascia (Investing Layer) - Lapisan tengah dari Deep Cervical Fascia yang terdiri atas: - Lapisan Muscular - Lapisan Visceral - Lapisan dalam dari Deep Cervical Fascia yang terderi atas : - Alar fascia - Prevertebral fascia Ruang leher dalam dapat dikelompokan menjadi (modifikasi Hollingshead): - Ruang yang melibatkan sepanjang leher - Ruang retropharyngeal (posterior visceral, retroviseral, retroesophageal) - Danger space 65 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k - Ruang prevertebral - Ruang viseral vaskular - Ruang yang terbatas di atas tulang hioid - Ruang paraparing (faringomaxilla, lateral faring, perifaring) - Ruang Submandibula and submental - Ruang Parotis - Ruang Mastikator - Ruang Peritonsil - Ruang Temporal - Ruang yang terbatas di bawah tulang hioid - Ruang Pretrakea - Ruang Suprasternal Diantara ruang-ruang ini terdapat hubungan yang memungkinkan infeksi pada satu ruang dapat meluas ke ruang-ruang potesial lainnya. Gambar 1 . Ruang Leher Dalam (Gadre Ak, Gadre KC, Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition ) Abses Peritonsil. Abses Peritonsil atau quinsy, adalah infeksi leher dalam yang paling sering terjadi. Meskipun sebagian besar terjadi pada orang dewasa muda (decade kedua dan ketiga), peningkatan risiko juga terjadi pada keadaan imunokompromised dan pasien diabetes. Kebanyakan abses timbul sebagai komplikasi tonsilitis atau faringitis, tetapi juga dapat merupakan penyebaran odontogenik atau trauma mukosa lokal. Abses biasanya unilateral yang merupakan kumpulan abses/pus antara kapsul tonsil, otot konstriktor faring superior dan otot palatofaringeus. Abses ini diyakini muncul dari penyebaran infeksi dari tonsil atau dari kelenjar mukosa Weber, yang 66 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k terletak di bagian superior tonsil. Abses ini paling sering dimulai dari pole atas tonsil, namun, dapat juga menyebar dari pole tengah atau bawah. Patogen penyebab sama dengan kuman penyebab tonsilitis, terutama streptokokus, namun tidak jarang infeksi polimikroba dan melibatkan bakteri anaerob. Pasien dengan abses peritonsillar biasanya dating dengan nyeri tenggorok, odinofagi, demam ringan dan dengan berbagai derajat trismus. Trismus muncul sekunder akibat iritasi otot pterigoideus. Pasien mungkin juga mengeluhkan otalgia ipsilateral. Ketika abses meluas, pasien mungkin mengalami disfagia bahkan kesulitan menelan air liur. Pasien sering mengalami dehidrasi sekunder akibat asupan oral yang kurang. Perubahan suara sering terjadi (suara kentang panas/ hot potato voice) yang disebabkan oleh insufisiensi velopharyngeal sementara dan resonansi mulut yang tertahan. Napas berbau juga sering terjadi. Limfadenopati servikal anterior ipsilateral sering muncul. Apabila Demam lebih dari 39,4 C harus dicurigai adanya perluasan ke parafaring dan sepsis. Pemeriksaan orofaring mungkin sulit karena terdapat trismus. Pemeriksaan dilakukan pada posisi pasien duduk. Minta pasien untuk membuka mulut selebar mungkin, dan tekan lidah untuk mempermudah evaluasi orofaring. Gunakan lampu kepala atau sumber cahaya untuk memudahkan pemeriksaan. Palpasi digital untuk menentukan lokasi yang fluktuatif kadang dapat dilakukan, dan mungkin cara terbaik untuk membedakan abses dari selulitis/infiltrat. Teknik ini biasanya dapat ditoleransi pasien, tetapi pasien mungkin muntah atau menggigit jari pemeriksa secara refleks. Dengan gambaran klinis umumnya sudah dapat menegakkan disgnosis abses peritonsil, namun sekitar 20% kasus diagnosis masih diragukan sampai dilakukan aspirasi. Aspirasi negatif belum menyingkirkan diagnosis abses. Pada tahap awal akan tampak tonsil dan pilar anterior yang eritematosa, dan dapat bergeser ke medial. Kemudian, palatum mole dan uvula akan terdorong ke sisi kontralateral, terdapat fluktuasi di sepanjang pilar anterior dan peritonsil. Terdapat perdebatan para ahli dalam penatalaksanan abses peritonsil, mulai dari yang cukup hanya dilakukan aspirasi satu kali, aspirasi beberapa kali, insisi dan tonsilektomi, namun sebagian besar sepakat setiap kali terdapat abses harus dilakukan evakuasi disertai pemberian antibiotika dan analgetik. Pasien yang diobati dengan aspirasi saja memiliki tingkat keberhasilan berkisar 85-100%, kekambuhan paling jarang pada pasien yang dilakukan insisi dan drainase. Sebagian besar dapat ditatalaksana sebagai pasien rawat jalan dengan antibiotik oral setelah drainase dengan anesthesia lokal. Sedangkan pada pasien yang mengalami immunocompromised, dengan sumbatan jalan napas, tidak dapat mentoleransi pemberian antibiotik oral, pasien dehidrasi dan pasien anak perlu dilakukan rawat inap. Setelah aspirasi atau insisi dan drainase, antibiotik dianjurkan untuk membasmi kuman penyebab. Penisilin, klindamisin, atau sefalosporin adalah pilihan pertama yang rasional. Angka resisten penisilin berkisar 0-56% tetapi uji sensitivitas laboratorium tidak selalu mencerminkan respon klinis. Alternatif termasuk ampisilin/amoksisilin dengan sulbaktam/ asam klavulanat. Banyak dokter secara 67 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k empiris juga memberikan dosis parenteral tunggal deksametason (10 mg) yang secara klinis dapat memperbaiki gejala. Reevaluasi dari semua pasien yang diobati dengan aspirasi jarum harus dilakukan dalam 24 jam untuk menilai perlunya dilakukan aspirasi berulang atau insisi dan drainase. Pasien harus segera kembali apabila terdapat kembali muncul gejala, atau pendarahan terus-menerus dari luka insisi. Dalam penatalaksanaan abses peritonsil, pemahaman anatomi sangat diperlukan, terutama hubungan tonsil dan peritonsil terhadap struktur disekitarnya seperti arteri fasialis dan arteri karotis yang berjarak 2,5 cm postero-lateral dari tonsil. Gambar 2. Hubungan abses peritonsil terhadap struktur sekitarnya. (Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures) Pada saat melakukan tindakan harus sangat hati-hati jangan menembus terlalu dalam yang berakibat trauma terhadap arteri ini. Untuk tujuan ini dapat dilakukan dengan model penjaga jarum dengan memotong 1 cm distal dari penutup jarum plastik, kemudian tutup kembali pada jarum, pastikan bahwa jarum menonjol hanya 1 cm di luar penutup. Prosedur ini akan membatasi kedalaman penetrasi jarum dan mengurangi risiko memasuki struktur pembuluh darah besar. Jika nanah tidak diperoleh pada kedalaman 1 cm, penetrasi lebih dalam tidak dianjurkan. Harus diingat bahwa aspirasinya negatif TIDAK menyingkirkan abses peritonsillar. 68 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k Gambar 3. Penjaga jarum (Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures) Aspirasi jarum relatif sederhana, dapat dilakukan oleh dokter umum, tidak memerlukan peralatan khusus, dan relatif murah. Tingkat kekambuhan setelah aspirasi jarum adalah sekitar 10%, sekitar 4% sampai 10% dari pasien membutuhkan aspirasi ulang. Kekurangan aspirasi jarum kadang-kadang gagal mendeteksi adanya abses peritonsil dan oleh karena itu memungkinkan misdiagnosis sebagai peritonsillar selulitis. Trismus dan deviasi uvula jarang terjadi pada peritonsillar selulitis. Sebagian besar pasien abses peritonsillar berhasil dengan aman dan efektif dikelola dengan aspirasi jarum dan rawat jalan antibiotik. Gambar 4. Teknik aspirasi dengan penjaga jarum (Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures) Sementara itu insisi dan drainase biasanya dilakukan sebagai prosedur rawat jalan dengan anestesi lokal. Prosedur ini biasanya dilakukan setelah pus didapatkan dengan aspirasi jarum. Tampaknya yang paling logis adalah melakukan aspirasi sebagai upaya pertama dan insisi dan drainase merupakan tindakan lanjutan apabila dicurigai masih tersisa pus. Untuk menghindari kekambuhan sebagian ahli menganjurkan dilakukan tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase abses. Abses Retrofaring 69 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k Abses retropharyngeal adalah kumpulan nanah ruang retrofaring. Hal ini terjadi dalam dua bentuk yaitu abses retrofiring akut primer yang biasa terjadi pada bayi dan anak (usia kurang dari 5 tahun): dan abses retrofaring kronis yang umum terjadi pada dewasa. Kedua jenis abses ini berbeda dalam etiologi dan penatalaksanaannya. Abses dapat timbul mengikuti penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh anak seperti demam scarlet, campak dll, disamping itu infeksi tonsil, adenoid dan nasofaring juga dapat menyebabkan pembentukan abses retrofaring. Meskipun jarang benda asing seperti tulang ikan dan jarum serta trauma dinding posterior faring juga dapat menyebabkan abses retrofiring. Abses terbentuk akibat limfadenitis supuratif dari kelenjar retropharyngeal Henle, yang terletak di kedua sisi retrofiring. Kelenjar ini menerima limfatik dari rongga hidung , faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Kelenjar ini akan mengalami atrofi antara usia 3 dan 5 tahun, sehingga abses retrofaring akut jarang terjadi pada anak di atas usia 5 tahun. kelenjar Henle ketika terinfeksi awalnya akan mengalami adenitis, kemudian periadenitis dan pembentukan abses terjadi. Nanah biasanya satu sisi. Gejala dapat berupa nyeri menelan (odinofagia), pada bayi muda akan menyebabkan rewel, menolak makan, hipersalivasi, demam dan leher kaku (tortikolis). Abses ini juga dapat menyebabkan kesulitan bernafas akibat sumbatan jalan nafas. Pada pemeriksaan akan tampak tonjolan lunak pada bagian posterior faring pada satu sisi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan rontgen soft tissue cervical lateral yang akan menampakkan adanya pelebaran ruang retrofiring. Gambar 5. Rontgen soft tissue servikal lateral tampak pelebaran ruang retrofaring (http://www.consultantlive.com) Insisi dan drainase abses serta pemberian antibiotika dosis tinggi merupakan terapi pada abses retrofaring. Abses submandibula 70 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula. Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada di atas otot milohioid dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang pada anak umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi gigi. Gambar 6. Abses submandibular (http://www.aafp.org) Selain bersumber dari infeksi gigi abses sumbandibula dapat berasal dari infeksi di dasar mulut, infeksi kelenjar liur atau kelenjar getah bening submandibular, atau merupakan perluasan dari infeksi leher dalam lain. Pembengkanan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan keluahan yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular yang fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat. Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum. Gambar 7 . Penyebaran abses dari gigi ke ruang submandibular dan sublingual (http://ars.els-cdn.com) 71 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k Abses Parafaring Ruang ini berhubungan dengan setiap ruang leher dalam lainnya dan juga berhubungan dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal dari ruang mastikator, parotis, ruang submandibula, sublingual, ruang retrofaring dan peritonsil semua dapat menyebar ke ruang ini, dan karena itu, ketika pasien datang dengan abses parafaring, harus dilakukan pemeriksaan setiap ruang lain untuk memastikan bahwa tidak ada ruang lain yang terlibat. Sebagian besar infeksi berasal dari faring dan tonsil dan karenanya organisme yang terlibat adalah kuman penyebab tonsilitis. Namun di RSUP. Dr. M. Djamil , abses parafaring paling sering merupakan perluasan dari abses submandibula yang terjadi akibat infeksi gigi. oleh karena itu organisme dominan berbeda dengan yang telah dijelaskan sebelumnya. Ruang parafaraing terdiri atas kompartemen prestyloid disebut kompartemen otot dan mengandung sedikit struktur vital, tetapi terkait erat dengan fosa tonsil medial dan otot pterygoideus internal, dan akibatnya trismus sering menyertai kondisi ini. Sementara itu keterlibatan ruang retro-atau poststyloid, juga dikenal sebagai kompartemen neurovaskular, dapat mengakibatkan komplikasi serius yang mungkin terjadi jika tidak diobati secara optimal. Gejala dan tanda abses ini adalah trismus, pembengkakan sekitar angulus mandibula, demam dan adangan pembengkakan dinding lateral faring ipsilateral. Drainase abses dan pemberian antibiotika spectrum luas dosis tinggi merupakan pengobatan pada kasus ini. Drainase abses parafaring biasanya dilakukan dengan pendekatan eksternal menggunakan pendekatan submaksilla seperti yang dijelaskan oleh Mosher. Insisi horizontal dibuat dua jari dari batas bawah mandibula dilanjutkan dengan insisi vertikal di sepanjang perbatasan anterior dari otot sternokleidomastoid. Batas anterior dari otot sternokleidomastoid ditarik ke posterior, dan lapisan fasia servikal dalam (sub-lapisan superfisial) diinsisi. Diseksi tumpul dilakukan dengan jari, dan rongga abses dibuka. Dilakukan usaha untuk melakukan diseksi sampai ke ujung proses styloid, yang terletak di ruang parafaring. Daftar Pustaka 1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery Otolaryngology. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William &Wilkins;2006. p.665-84 2. Knoop KJ. Atlas of Emergency Medicine. 2nd edition.New York: McGraw-Hill Companies;2002 3. Riviello RJ. Otolaryngologic Procedures. In: Roberts JR, Hedges JR. Clinical Procedures in Emergency Medicine, 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004.p. 4. Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures. McGraw-Hill;2003 5. Fachruddin D. Abses Leher dalam. In: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5. Jakarta:Balai penerbit FKUI; 2003. P185-9 View publication stats