Anda di halaman 1dari 34

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISA KASUS KELALAIAN ETIK DAN HUKUM KEPERAWATAN DAN


MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
“Pasien Geriatri Dalam Kondisi Kritis Dibawa Pulang Oleh Keluarga”

MAKALAH
Disusun Sebagai Syarat Untuk Memenuhi Mata Kuliah Etik dan Hukum Keperawatan

Dosen Fasilitator Mata Kuliah: Dr. Etty Rekawati, S.Kp, MKM

Disusun Oleh:
Kelompok III

Eva Rista Machdalena 2106774364


Heri Setiawan 2106774474
Refi Yulita 2106774622
Sarita Saraswati 2106679482
Tiodora 2106774775
Yessy Puspasary 2106679614

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
DEPOK
2021

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan...............................................................................................1
1.3. Sistematika Penulisan........................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................2
2.1 Kelalaian Etik dan Hukum Terkait dengan Manajemen Pelayanan dan Asuhan
Keperawatan..................................................................................................................2
2.2 Teori Etik.................................................................................................................4
2.3 Prinsip-prinsip Etik..................................................................................................5
2.4 Prinsip Etik Petugas Kesehatan...............................................................................7
2.5 Prinsip Etik Keperawatan........................................................................................7
2.6 Hak dan Kewajiban Perawat...................................................................................7
2.7 Euthanasia.............................................................................................................10
2.8 Perlindungan Hukum.............................................................................................11
2.9 Etic of Empowerment dan Ethic of Sustainability................................................14
BAB 3 PEMBAHASAN.................................................................................................18
3.1 Pembahasan Kasus................................................................................................18
3.2 Permasalahan Pada Kasus.....................................................................................18
3.3 Kaitan Kasus dengan Teori Etik............................................................................19
BAB 4 PENUTUP ..........................................................................................................25
4.1 Kesimpulan............................................................................................................25
4.2 Saran......................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................1

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala kuasa dan
karunia yang diberikan sehingga Kelompok dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Analisis Kelalaian Etik dan Hukum Keperawatan dan Manajemen Pelayanan
Kesehatan: Pasien Geriatri yang Kritis Dibawa Pulang Oleh Keluarga”. Makalah ini
dibuat diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Etik dan Hukum pada
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu keperawatan Universitas Indonesia.
Dalam penyelesaian makalah ini tidak lepas dari bimbungan, doa dan bantuan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih
kepada:
1. Ibu Dr. Etty Rekawati, S.Kp, MKM selaku koordinator dan fasilitator dari kelas
KMB-Gerontik dalam mata kuliah Etik dan Hukum Keperawatan
2. Seluruh dosen dan staff Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Keperawatan Angkatan 2021
Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia, khususnya untuk peminatan
Gerontik, terima kasih atas semangatnya yang telah diberikan kepada penulis
4. Semua pihak yang terkait yang telah membanu penulis dalam menyelesaikan
mini proposal ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak memiliki
kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
perbaikan makalah ini.

Depok, Desember 2021

Kelompok 3

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara
sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku baik pada
masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas merupakan dimensi nilai dari
keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia. Bahasa moralitas termasuk kata-kata
seperti ’hak’, ’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’ dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau
’jahat’), ’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan ’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika
terutama adalah bagaimana mengetahuinya (knowing), sedangkan moralitas adalah
bagaimana melakukannya (doing). Hubungan keduanya adalah bahwa etika mencoba
memberikan kriteria rasional bagi orang untuk menentukan keputusan atau bertindak
dengan suatu cara diantara pilihan cara yang lain.
Lingkungan perawatan kesehatan sangat komplesitas dan kontemporer, sangat
penting bahwa perawat mampu mengenali dan mengatasi masalah etika yang muncul.
Meskipun dilema dan situasi yang menantang menciptakan risiko dramatis yang paling
jelas bagi pasien, tindakan keperawatan rutin juga memiliki implikasi bagi pasien.
Kesadaran etik melibatkan pengenalan implikasi etik dari semua tindakan keperawatan.
Mengembangkan kesadaran etis adalah salah satu cara untuk memberdayakan perawat
untuk bertindak sebagai agen moral untuk memberikan pasien dengan perawatan yang
aman dan etis.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Kelompok mampu menganalisa kasus kelalaian dalam manajemen kesehatan
dan asuhan keperawatan berdasarkan teori etik dan hukum keperawatan
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Kelompok mampu menjelaskan teori etik keperawatan
b. Kelompok mampu menjelaskan hukum etik keperawatan
c. Kelompok mampu memaparkan kasus yang termasuk dalam kelalaian etik dan
hukum dalam manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan

1
d. Kelompok mampu menganalisa kasus yang ditinjau dari teori etik dan hukum
keperawatan

1.3. Sistematika Penulisan


Penulisan makalah kelompok ini terdiri dari lima bab, yang terdiri dari:
a. Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, dan
sistematika penulisan
b. Bab II: Tinjauan Teoritis yang terdiri dari kelalaian etik dan hukum terkait
manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan, teori etik, prinsip-prinsip etik,
prinsip etik petugas kesehatan, prinsip etik keperawatan, hak dan kewajiban
perawat, euthanasia, perlindungan hukum, ethic of empowerment, dan ethic of
sustainability
c. Bab III: Pembahasan berdasarkan dari pembahasan kasus, permasalahan pada
kasus, kaitan kasus dengan teori etik
d. Bab IV: Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelalaian Etik dan Hukum Terkait dengan Manajemen Pelayanan dan Asuhan
Keperawatan
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk
dalam hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan
motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi
semua orang. Secara umum, etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi
yang berbeda dengan moral, etik dikaitkan dengan masalah atau dilema tertentu
sedangkan moral adalah perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan yang dilakukan.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga
etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku
profesional. Disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya
dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi ditemukan berbagai cara
untuk mempertahankan hidup seseorang, namun terlepas dari pada itu masih banyak
juga penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau belum ditemukan obatnya. Kematian
setiap orang dapat disebabkan oleh berbagai cara seperti terserang penyakit, ataupun
kecelakaan, dibunuh dan sebagainya. Saat menghadapi kematian, dalam berbagai kasus
ada orang yang harus mengalami sakit selama bertahun tahun, atau yang terburuknya
adalah mengalami koma yang dimana hidupnya bergantung pada alat yang digunakan,
dan bahkan orang tersebut tidak sadarkan diri. Kondisi ini sering memunculkan masalah
etik yang terkait dengan akhir kehidupan (end of life) dan sering menjadi perdebatan
dalam dunia medis, juga pada yang bekerja di ruang perawatan intensif.
Salah satu tenaga kesehatan yang merupakn bagian integral dari pelayanan
kesehatan adalah tenaga profesi perawat. Perawat merupakan tenaga professional yang
memiliki body of knowledge yang khusus dan spesifik dan dalam menjalankan praktek
profesinya memiliki tanggung jawab dan tanggung gugat, sehingga perawat sangant
terikat oleh aturan-aturan hukum yang mengatur praktik tenaga kesehatan (sudrajat,
2001). Keperawatan mengharuskan seorang perawat untuk memhami hukum dalam

2
keperawatan. Pengetahuan perawat yang memadai tentang aspek hukum praktik
keperawatan diharapkan tercapainya tujuan praktik keperawatan yang berkualitas
(Oyetunde, 2013). Aspek hukum praktik keperawatan merupakan perangkat hukum dan
aturan-aturan hukum yang secara khusus menentukan yang seharusnya dilakuakn atau
larangan perbuatan bagi profesi perawatan dalam menjalankan profesinya. Aspek
hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan diantaranya adalah Undang- undang
Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, Undang – undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang – undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik
Keperawatan, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor HK. 02. 02/MENKES/
148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, Kode Etik keperawatan,
Standar Pelayanan keperawatan, Standar Profesi Keperawatan, standar prosedur
Operasional (Sudrajat, 2014).
Hukum mempunyai bebrapa fungsi bagi keperawatan yang memberikan
kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum,
membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lainnya, membantu menentukan
batas-batas kewenangan Tindakan keperawatan mandiri, dan membantu dalam
mempertahankan standar praktek keperawatan dengan meletakkan posisi keperawatan
memiliki akuntablitas dibawah hukum (Kozier, Erb, 1990). Ada berbagai macam isu
tentang end of life dalam perawatan pasien dengan kondisi kritis (Arimany-Manso et al.,
2017). Situasi yang dijelaskan di atas ada suatu konsep yang dikenal yaitu euthanasia.
Euthanasia ini merupakan keadaan dimana saat pasien tidak memiliki harapan hidup,
maka hidupnya dapat diakhiri oleh dirinya sendiri ataupun tenaga medis dengan bantuan
medis.
Tindakan euthanasia banyak menjadi pilihan pada pasien terminal. Pasien
terminal merupakan pasien dalam keadaan menderita penyakit dengan stadium lanjut
yang penyakit utamanya tidak dapat diobati dan bersifat progresif (meningkat).
Pengobatan yang diberikan hanya bersifat menghilangkan gejala atau keluhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan pengobatan penunjang lainnya. Keaadaan pasien

3
terminal seringkali membuat keluarga pasien mulai untuk mempertimbangkan
perawatan- perawatan yang dilakukan terhadap pasien untuk dilanjutkan atau tidak.

2.2 Teori Etik


2.2.1. Utilitarianism.
Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat pada masyarakat
secara keseluruhan atau banyak orang, dan bukan pada satu atau dua orang saja. Kriteria
untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah, the greatest happiness of the
greatest number, yakni kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Jadi perbuatan
yang mengakibatkan orang banyak bahagia adalah perbuatan terbaik (Bertens, 2000).
Persoalan individu tidak dipentingkan dalam aliran ini, individu perlu berkorban untuk
kesenangan manusia terbanyak. Dapat dikatakan bahwa aliran utilitarianisme sangat
menekankan pentingnya dampak atau konsekwensi dari suatu perbuatan dalam menilai
baik dan buruknya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, dalam
arti memajukan kesejahteraan, kebahagiaan, serta kemakmuran bagi orang banyak maka
itu adalah perbuatan baik. Namun, jika sebaliknya yang terjadi maka itu adalah
perbuatan buruk.
2.2.2. Kantianism.
Dalam teori ini Prinsip Kewajiban (principle of duty) yang bermaksud tanggung jawab
perlu dilaksanakan semata-mata karena perbuatan tersebut adalah suatu tanggungjawab.
Suatu perbuatan adalah baik jika dilakukan atau harus dilakukan karena kewajiban.
Selanjutnya suatu perbuatan adalah baik jika dilakukan berdasarkan “imperatif
kategoris”. Imperatif kategoris mewajibkan kita begitu saja, tidak tergantung pada
syarat apapun. Sebagai contoh, kenapa kita harus berlaku jujur, adil, ikhlas, amanah,
tidak menyakiti orang lain, karena itu adalah kewajiban (Herschel & Miori, 2017)
2.2.3. Character Ethics.
Etika dikaitkan pada kepribadian, sifat, perangai atau ciri-ciri perwatakan. Teori ini juga
menjelaskan bahwa memiliki pribadi mulia bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah,
maksudnya manusia tidak dilahirkan dengan sifat baik atau jahat. Kepribadian yang ada
pada manusia itu perlu diasuh, dipelajari dan dipraktekkan, baik itu melalui latihan serta
pengamalan sehingga menjadi kebiasaan, tabiat, cara hidup dan menyenangkan diri
sendiri. (Bertens, 2005)

4
2.2.4. Liberal Individualism.
Dalam teori ini yang menjadi dasar baik dan buruknya suatu perilaku itu adalah
kewajiban. Suatu perbuatan itu baik, dan karena itu kita wajib melakukannya.
Sementara perbuatan itu buruk, maka dilarang bagi kita. Teori ini menegaskan baik atau
buruknya suatu perilaku itu tidak dinilai berdasarkan dampak yang ditimbulkannya,
tetapi kewajiban. Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan
hanya karena wajib dilakukan. Selalu menekankan bahwa perbuatan tidak dihalalkan
karena tujuannya. Meskipun suatu perbuatan itu tujuannya baik, namun cara yang
ditempuh salah maka tetap tidak bisa dianggap baik (Beauchamp, T. L., & Childress,
2013)
2.2.5. Communitarianism.
Teori ini menyatakan bahwa manusia itu hidup bermasyarakat, karena itu moralitas
sosial menjadi landasan dalam kehidupan. Teori moralitas sosial menekankan bahwa
segala peraturan, nilai, norma dan tatasusila yang diwujudkan dalam sebuah masyarakat
itu adalah sesuatu yang disetujui bersama. Sejauh kepentingan kelompok di tempatkan
dalam posisi yang tinggi, di atas kepentingan individu, maka tidak akan ada konflik di
antara individu yang tidak bisa diatasi. Jadi, teori ini menekankan pada kepatuhan pada
autoriti. Sesuatu tindakan itu dianggap baik atau buruk, patut atau tidak patut, bermoral
atau tidak bermoral jika selaras dengan nilai-nilai, norma-norma, dan undang-undang
dalam masyarakat tersebut. (Aida, 2005)

2.3 Prinsip-prinsip Etik (Dalami, 2010)


2.3.1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang
harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara
rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut

5
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai
hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2.3.2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan
kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
2.3.3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam
prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum,
standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
2.3.4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
2.3.5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk
meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi
akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan
materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun
demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran
seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya
hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab individu memiliki otonomi,
mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya.
Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
2.3.6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan
rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan

6
komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap
kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.
2.3.7. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh
informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang
klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
2.3.8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat
dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

2.4 Prinsip Etik Petugas Kesehatan


a. Veracity: Kebenaran dan kejujuran
b. Fidality: Kesetiaan dan ketepatan
c. Confidentiality: Kerahasiaan kondisi yang dialami pasien
d. Privacy: Bersifat pribadi (Misalnya: We are not taking a picture of patient)

2.5 Prinsip Etik Keperawatan


a. Respect to others
b. Compassion & empathy
c. Advocacy
d. Intimacy

2.6 Hak dan Kewajiban Perawat


Hak dan Kewajiban perawat sudah ada diatur dalam Undang-Undang dan
tersebut jelas mengenai hak dan kewajiban perawat (Undang-Undang Keperawatan,
2014) :
Perawat dalam melaksanakan Prkatik keperawatan mempunyai hak :

7
a. Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;

b. Memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya.
c. Menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan;
d. menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik,
standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan
Peraturan Perundang-undangan; dan
e. Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.

Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban:


a. Melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar
Pelayanan Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. Memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
c. Merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan
lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya;
d. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar;
e. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti
mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan
batas kewenangannya;
f. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang
sesuai dengan kompetensi Perawat; dan
g. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pelaksanaan UU No 38 tahun 2014 diatur oleh Peraturan Menteri dan dalam


PerMen ini juga menjelaskan tentang hak dan kewajiban perawat (PerMenKes No 26,
2019). Dalam melaksanakan Praktik Keperawatan, Perawat mempunyai hak sebagai
berikut:

8
a. Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan pekerjaannya sesuai
dengan Standar Profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional, dan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
b. Memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya.
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
d. Menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan dan Pelayanan Kesehatan
yang telah diberikan.
e. Menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik,
standar pelayanan, Standar Profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
f. Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
g. Memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai
agama.
h. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya.
i. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
j. Menerima imbalan jasa sebagaimana dimaksud
Dalam melaksanakan Praktik Keperawatan, Perawat mempunyai hak sebagai berikut:
a. Menjaga kerahasiaan kesehatan Klien.
b. Memperoleh persetujuan dari Klien atau keluarganya atas tindakan yang akan
diberikan.
c. Melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar
Pelayanan Keperawatan dan ketentuan peraturan perundang- undangan bagi
Perawat yang menjalankan praktik mandiri.
d. Memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan, Standar Profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
e. Merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan
lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya.
f. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar.

9
g. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti
mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan
batas kewenangannya.
h. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang
sesuai dengan kompetensi Perawat.
i. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
j. Senantiasa meningkatkan mutu pelayanan dengan mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang
tugasnya, yang diselenggarakan oleh Organisasi Profesi, Pemerintah Daerah, atau
Pemerintah.

2.7 Euthanasia
Masalah etik yang terkait dengan akhir kehidupan (end of life) sering menjadi
perdebatan dalam dunia medis, juga pada yang bekerja di ruang perawatan intensif. Ada
berbagai macam isu tentang end of life dalam perawatan pasien dengan kondisi kritis
(Arimany-Manso et al., 2017) diantaranya euthanasia, bunuh diri dibantu dokter
(Physician assisted suicide), mati bermartabat (death with dignity), pasien menentukan
nasib sendiri (patient self-determination), wasiat sebelum mati (advance directive),
pengobatan sia-sia (futile tratment) serta penundaan dan penghentian bantuan hidup atau
yang sering disebut withholding and withdrawing life support
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani euthanathos. eu yang berarti baik, tanpa

penderitaan, sedangkan thanatos yang berarti kematian (J., 2008). Euthanasia adalah
sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup (euthanasia aktif) atau tidak
melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup (euthanasia pasif) dan ini dilakukan

untuk kepentingan pasien itu sendiri (R.S., 2001). Bagi seorang dokter, euthanasia
masih menjadi dilemma karena menyangkut masalah hukum, agama dan etik
kedokteran yaitu untuk meneruskan atau tidak tindakan kedokteran yang
memperpanjang kehidupan (R.S., 2001).
Menurut Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI), dikenal 3 pengertian yang berkaitan dengan
euthanasia, yaitu: (1) berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa

10
penderitaan buat yang beriman dengan nama Allah di bibir; (2) ketika hidup berakhir,
diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang; dan (3) mengakhiri
derita dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
atau keluarganya (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, 2004)
Ditinjau dari permintaan euthanasia dibedakan atas: (1) Euthanasia voluntir atau
euthanasia sukarela (atas permintaan pasien) adalah euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang – ulang dan (2) Euthanasia
involuntir (tidak atas permintaan pasien) adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien
yang sudah tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta. (Hanafiah MJ.,
2009).

Euthanasia dibagi menjadi beberapa klasifikasi, diantaranya adalah (Joshua, 2014) :


a. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh tenaga medis untuk
memperpendek atau mengakhiri kehidupan pasien. Euthanasia aktif terbagi menjadi
dua macam yaitu euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak
langsung (indirect). Pada euthanasia aktif langsung tindakan euthanasia ini
dilakukan dengan terarah yang diperhitungkan untuk mengakhiri kehidupan atau
memperpendek kehidupan pasien atau yang dikenal dengan mercy killing.
Euthanasia aktif tidak langsung dilakukan dengan tujuan meringankan penderitaan
pasien, namun mengetahui resiko tindakan yang dilakukannya tersebut dapat
memperpendek atau mengakhiri kehidupan pasien.
b. Euthanasia pasif, dengan cara menghentikan atau mencabut segala pengobatan dan
sistem pendukung kehidupan buatan yang diperlukan untuk mempertahankan atau
memperpanjang hidup pasien.
c. Euthanasia voluntary, pasien telah membuat permintaan secara eksplisit untuk
dilakukan euthanasia.
d. EuthanasiaInvoluntary,keputusan permintaan euthanasia diambil oleh keluarga,
teman-teman atau bahkan dokter yang merawat.

2.8 Perlindungan Hukum


Undang-Undang yang terkait dengan Euthanasia:
1. Undang-Undang Dasar(UUD) 1945 melindungi hak untuk hidup.

11
Pasal 28A yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya” .
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 9 Tentang Hak Asasi Manusia “Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya”. Hak hidup merupakan hak kodrati yang tidak dapat dikurangi
ataupun dicabut.
3. Undang-Undang No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Bahwa kesehatan
sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai
pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah,
a. Pasal 58 ayat 1 berbunyi Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
b. Pasal 60 berbunyi Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: mengabdikan
diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki; meningkatkan Kompetensi;
bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi; mendahulukan
kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan
melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan.
c. Pasal 61 berbunyi Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang
memberikan pelayanan langsung kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus
melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan Penerima Pelayanan Kesehatan
dengan tidak menjanjikan hasil.
d. Pasal 68 ayat 1 berbunyi Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan
yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan.
e. Pasal 68 ayat 5 berbunyi Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung
risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
4. Undang-Undang No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, Keperawatan adalah
suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada

12
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Perawat
dalam memberikan pelayanan dengan memperhatikan hak dari klien.
a. Pasal 2 bebunyi Pratik Keperawatan berasaskan: perikemanusiaan; nilai ilmiah;
etika dan profesionalitas; manfaat; keadilan; pelindungan; dan kesehatan dan
keselamatan Klien.
b. Pasal 37 ayat b berbunyi Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan
berkewajiban: memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik,
standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional,
dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
c. Pasal 38 ayat c berbunyi Dalam Praktik Keperawatan, Klien berhak :
mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
5. Perlindungan hak hidup dalam UUD’45 juga didukung dengan pengaturan
dilarangnya menghilangkan nyawa orang lain dalam KUHP :
a. Pasal 338 KUHP berbunyi ”Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.”
b. Pasal 340 KUHP, berbunyi “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
c. Pasal 344 KUHP, berbunyi,“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
d. Pasal 345 KUHP“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh
diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk
itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu
jadi bunuh diri.”
e. Pasal 531 KUHP: “Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang
sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan
kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain,

13
jika orang itu kemudian meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
6. Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 2012 Pasal 11 “Setiap dokter wajib
senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup makhluk insani”.

2.9 Ethic of Empowerment dan Ethic of Sustainability


Pelayanan Kesehatan yang dilakukan oleh fasilitas Kesehatan melibatkan
berbagai profesi dan support system lainnya yang berfungsi berdasarkan wewenang,
tanggung jawab, dan tanggung gugat. Saat diperlukan koordinasi pada pelaksanaan
tugas dan pemahaman batas wewenang agar pelayanan yang diberikan harmonis dan
tidak menimbulkan masalah baik internal dan eksternal suatu organisasi.
Keperawatan dalam menjalankan praktek keperawatan harus berdasarkan kode
etik, standar pelayaan, standar profesi dan standar prosedur operasional (Kementerian
Kesehatan RI,2014). Kode etik menyediakan kerangka kerja dalam pengambilan
keputusan untuk profesi (Aiken,2004). Prinsip kunci dalam pengambilan keputusan etis
adalah sensitivitas etis. Sensitivitas etis membuat perawat menjadi sensitive tentang
maslah etika ditempat kerjanya dan memungkinkan perawat membuat keputusan etis
yang berhubungan dengan pasien. Sehingga kepercayaan pasien terhadap layanan
keperawatan yang mereka terima meningkat (Jamshidian, Shahriari, & adeyani,2018).
Pemberdayaan dan berkelanjutan dalam praktik keperawatan memberikan asuhan
keperawatan untuk memenuhi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan Kesehatan dan perawatan Kesehatan mereka ( Riedel, 2015).

2.9.1 Ethic of Empowerment


Empowerment timbul dari struktur sosial di tempat kerja dan memungkinkan
pekerja merasa nyaman dan lebih efektif dalam bekerja (Kanter,1993). Empowerment
terjadi saat pemimpin mengkomunikasikan visi lalu pekerja diberikan kesempatan untuk
mengambangkan bakat, belajar, berkreativitas dan didorong untuk bereksproarasi
(Marquis & Huston, 2000). Chandler, 1992 berpendapat empowerment timbul dari
hubungan dan bukan saja dari kontrol, otoritas dan pengaruh, dan dapat dilihat sebagai
proses atau suatu outcome (Gibson, 1991).

14
Model Mallak dan Kurstedt adalah salah satu metode pemberdayaan etis perawat
(Jamshidian et al., 2019). Mallak dan Kurstedt menganggap pemberdayaan sebagai
konsep yang luas dan mendefinisikannya sebagai jenis manajemen partisipatif.
Pentingnya pendidikan dan manajemen yang efektif dalam pemberdayaan karyawan dan
mencatat bahwa pemberdayaan adalah perilaku dengan motivasi perilaku intrinsik yang
membantu karyawan secara efektif melakukan tugas dan tanggung jawab mereka.
Model Mallak dan Kurstedt memiliki empat prinsip utama, yaitu otonomi, beneficence,
nonmaleficence, dan justice. Keempat prinsip ini adalah dasar untuk pengambilan
keputusan yang etis.
Ethic of Empowerment akan dapat dicapai dengan bertindak sesuai dengan
landasan etik dalam pekerjaan. Prinsip Etik Keperawatan : Respect to others,
Compassion & empathy, Advocacy, Intimacy jika dapat terpenuhi maka akan
memingkatkan pemberdayaan dari seorang perawat untuk dpat melakukan aktualisasi
diri. Rasa percaya diri perawat akan dapat dibangun dengan adanya rasa saling percaya,
kejujuran, kepedulian dan keterbukaan dari pemimpin organisasi. Pemimpin organisasi
yang berperilaku dengan integritas baik juga memperlakukan orang lain dengan adil
memiliki prinsip, dapat dipercaya, jujur, tidak pilih kasih, serta bertanggung jawab akan
mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif (Kramer et al., 2010).
Pemberdayaan perawat mempromosikan kepercayaan dan komitmen organisasi
mereka, kepuasan kerja, produktivitas, keterlibatan dalam pengambilan keputusan
klinis, self-efficacy, dan otonomi, memberi mereka kesempatan belajar yang lebih baik,
meningkatkan kualitas perawatan mereka, akuntabilitas profesional, dan efektivitas
organisasi, mengurangi mereka stres kerja dan rasa depersonalisasi, dan meningkatkan
kepuasan pasien. Oleh karena itu, pemberdayaan perawat saat ini dianggap sebagai
kebutuhan profesional dalam keperawatan (Bostani, 2015; Kramer et al., 2010).
Manfaat empowerment antara lain dapat mendorong staf berpikir kritis,
memecahkan masalah, dan menumbuhkan sikap kepemimpinan. Enpowerment
menumbuhkan kepemimpinan, colleagueship, self respect dan profesionalisme (Marquis
& Hudson, 2000). Empowerment membebaskan staf dari pemikiran mekanis dan
mendorong berpikir kritis dan mengaplikasikan pengetahuan untuk praktik.
Terdapat alasan kuat untuk memberdayakan perawat. Perawat yang tidak
berdaya adalah perawat yang tidak efektif. Perawat yang tidak berdaya kurang puasa

15
dengan pekerjaan mereka dan lebih rentan keluar dari pekerjaan mereka. Pemberdayaan
perawat dapat terdiri dari tiga komponen: 1) tempat kerja yang memiliki struktur yang
diperlukan mendorong pemberdayaan. 2) keyakinan psikologis pada kemampuan
seseorang untuk diberdayakan. 3) Adanya pengakuan bahwa ada kekuatan dalam
hubungan dan kepedulian yang disediakan perawat (Bradbury, Sambrook, & Irvine,
2008).
Menurut Lee dan Koh (2001), karyawan yang diberdayakan secara psikologis
membuat mereka akan merasakan kebermaknaan sautu kompetensi dan penentuan nasib
diri sendiri yang akan menyebabkan efektivitas organisasi meningkat. Karyawan akan
merasakan keberadaannya dihargai oleh perusahaan. Pemberdayaan dalam situasi
seperti ini, menjadi salah satu Teknik yang direkomendasikan untuk meningkatkan
kinerja organisasi diantara Teknik-teknik lainnya. Menurut Ugwu, et.al (2014)
pencapaian tujuan organisaasi menjadi tidak layak tanpa pemberdayaan (empowered)
karyawan secara psikologis.

2.9.2 Ethic of Sustainability


Konsep keberlanjutan merupakan suatu yang kompleks dan banyak digunakan
dalam banyak konteks yang berbeda. Prinsip keberlanjutan telah menjadi signifikan
bagi praktik profesional, baik dalam hal pengambilan keputusan maupun dalam praktik
pemanduan. Tidak sepenuhnya jelas signifikansi prinsip keberlanjutan dalam konteks
pertimbangan etis dalam menanggapi konflik mengenai distribusi sumber daya. Konsep
keberlanjutan tidak hanya berkaitan dengan kelangkaan itu sendiri, melainkan juga
berkaitan dengan penyebabnya. Oleh karena itu, keberlanjutan menuntut akuntabilitas
dan tanggung jawab dalam praktik, melihat ke depan dalam mengantisipasi konsekuensi
potensial dan memperluas perspekti tentang konsekuensi yang diharapkan di masa
depan (Riedel, 2016).
Keberlanjutan sebagai nilai dasar yang utama dan terus menerus, misalnya,
berpikir dalam kerangka pasien hari ini, melainkan untuk semua pasien masa depan;
bukan dalam hal pasien tertentu di unit di sini dan sekarang, tetapi untuk semua pasien
masa depan di rumah sakit; tidak hanya keperawatan dan perawat hari ini, melainkan
untuk keperawatan dan perawat masa depan. Keberlanjutan berarti menangani
kebutuhan dan persyaratan tanpa membahayakan pilihan masa depan untuk pemberian

16
layanan kesehatan. Dalam keberlanjutan konsep keadilan sangat menentukan: kita
berbicara tentang distribusi barang dan jasa kesehatan yang adil, atau lebih luas lagi,
distribusi di bawah kondisi sumber daya yang semakin langka. Persyaratan yang tak
terpisahkan dari keberlanjutan adalah berpikir jangka panjang. Tantangannya adalah
untuk membuat orang peka terhadap dimensi keputusan yang berkelanjutan dan untuk
menarik perhatian pada konsekuensi jangka panjang dari praktik dan keputusan yang
dilakukan saat ini.
Etika akan dipahami sebagai dasar untuk refleksi sesistematis untuk perilaku
moral. Nilai adalah bagian penting dari refleksi etis dan perilaku moral. Sebagai disiplin
normatif, etika memberikan kerangka kerja untuk apa yang harus dilakukan perawat
atau apa tanggung jawab profesional mereka (Permarupan et al., 2020).
Pada hakikatnya keberlanjutan adalah pedoman praktik serta prinsip etika/moral,
dan dikontekstualisasikan dalam kaitannya dengan refleksi etis dan pengambilan
keputusan. Prinsip keberlanjutan dan pengembangan berkelanjutan dalam praktik
keperawatan profesional dapat dilihat sebagai penggambaran prinsip keberlanjutan yang
kompleks tetapi juga menyediakan kerangka kerja untuk refleksi etis dan pengambilan
keputusan dalam keperawatan. Prinsip-prinsip dasar etika, aspek normatif, nilai-nilai
dan kewajiban moral yang relevan dengan praktik dan pengambilan keputusan yang
melekat dalam keberlanjutan, dan dapat membentuk dasar pengambilan keputusan.
Contohnya saat menmbuat leputusan mengenai pemanfaatan ketenagaan dalam
keputusan sehari-hari akanmelibatkan penggunaan sumber daya secara ekstensif.
Keberlanjutan dapat dikaitkan dengan norma dan nilai moral sebagai berikut: keadilan,
tanggung jawab dan kualitas hidup.

17
18
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan Kasus


Klien lansia masuk ke RS dengan kondisi kronik disease. Dalam masa
perawatan klien mengalami kegawat daruratan medis, harus dilakukan penanganan
segera. Keluarga setuju untuk dilakukan RJP terhadap klien. RJP berhasil dilakukan
kemudian diputuskan bahwa klien harus menggunakan alat bantu nafas yaitu Voltran.
Setelah dirawat dengan voltran selama 3 hari, keluarga melihat tidak ada
perbaikan dan keluarga memutuskan untuk Pulang Atas Permintaan Sendiri. Tim yang
merawat menjelaskan bahwa kondisi saat ini dengan penggunaan Voltran dan jika tidak
menggunakan Voltran. Setelah diberikan penjelasan termasuk bahaya yang dapat
terjadi. Keluarga tetap memutuskan utnuk pulang. Membawa klien pulang kerumah dan
menghentikan perawatan di rumah sakit. Saat pulang tentunya semua alat bantu harus
dilepas. Keluarga kembali diberikan penjelasan mengenai resiko yang akan terjadi
kepada pasien, keluarga sudah memahami dan setuju tidak merubah keputusan.
Keluarga bersedia menandatangani persetujuan.
Alat-alat bantu (selain alat bantu nafas) yang terpasang dilepaskan dari klien di
ruang rawat. Tim anatesi dan tim keperawatan akan melepaskan semua alat bantu
tersebut, tentunya Vlotran juga harus dilepas. Alat bantu Voltran dilepaskan di dalam
mobil yang akan membawa klien pulang ke rumah. Setelah alan bantu dilepas, perawat
akan melepas pasien dan memberikan edukasi juga penjelasan apa yang akan dilakukan
jika terjadi kondisi henti nafas. Penjelasan yang diberikan bahwa keluarga masih
dibolehkan datang ke IGD segera atau jika keluarga tetap ingin membawa pulang.
Keluarga membantu untuk membimbing kepergian dari klien.

3.2 Permasalahan Pada Kasus


Perawat merasa bersalah terhadap kondisi klien, karena belum waktunya untuk
klien ini lepas dari alat bantu pernafasan dan berharap kondisi klien perbaikan selama
masa perawatan.

18
3.3 Kaitan Kasus dengan Teori Etik
Kasus yang terjadi pada lansia diatas adalah Euthanasia Involunter (karena
didasarkan atas permintaan keluarga, bukan keinginan pasien) berdasarkan kondisi
klien  lansia (hak keluarga untuk memutuskan kondisi yang ada).
Euthanasia merupakan dilema etik dalam kegiatan asuhan keperawatan yang
terjadi sehari-hari. Di satu sisi ini mempunyai nilai negatif karena istilah ini mempunyai
arti sebagai ‘pembunuhan tanpa penderitaan’ terhadap pasien yang tidak mempunyai
harapan hidup lagi, namun ini juga dapat dianggap sebagai tindakan menghormati
kehidupan insani, karena ini juga dapat diartikan ‘mengakhiri dan tidak memperpanjang
penderitaan pasien’ yang secara medis tidak dapat disembuhkan. Pada kasus yang
terjadi adalah seorang lansia yang ditopang dengan alat bantu nafas, keluarga melihat
pada lansia itu bahwa tidak ingin memberikan penderitaan lebih lama sehingga keluarga
meminta untuk membawa pulang dan melepaskan alat bantu nafas.
Penghentian bantuan hidup merupakan euthanasia pasif. Euthanasia yang
dilakukan pada kondisi pasien tidak kompetendan belumberwasiat, keputusan yang
mewakili dari pihak ketiga yakni keluarga, teman ataupun kerabat dari pasien maka
euthanasia tersebut merupakan euthanasia involuntary. Perwakilan yang dilakukan oleh
pihak keluarga pasien atas segala keputusan perawatan medis pada pasien adalah bentuk
kontrak terapeutik dengan dokter. Apapun keputusan dari wali pasien adalah sah
dilakukan, termasuk dalam keputusan untuk dilakukan euthanasia pasif atau
penghentian bantuan hidup pada pasien.Kontrak terapeutik dibutuhkan untuk
menentukan kesepakatan perawatan medis antara pasien dengan dokter yang
merawatnya. Meskipun tujuan utama perawatan medis adalah harapan dapatsembuh dari
penyakit serta dapatmemperpanjang kehidupan pasien. Namun saat ini banyak pendapat
bahwa mengakhiri kehidupan juga dapat menjadi bagian dari perawatan medis, yakni
untuk membebaskan pasien dari penderitaan penyakit yang dialaminya.
Dengan dilihat pada kasus diatas dari 5 teori etik yang dikemukakan terdapat 4
teori etik yang terkait dengan kasus yaitu Utilitarianism, Liberal Individualism,
Kantianism, dan Character Ethics. Dalam kasus tersebut dilihat dari teori Utilitarianism
perbuatan adalah baik jika membawa manfaat pada masyarakat secara keseluruhan atau
banyak orang, dan bukan pada satu atau dua orang saja. sangat menekankan pentingnya
dampak atau konsekwensi dari suatu perbuatan dalam menilai baik dan buruknya.

19
Menjadi dilemma yang cukup berarti karena berbuat baik pada sesama dilanggar Jika
suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, dalam arti memajukan
kesejahteraan, kebahagiaan, serta kemakmuran bagi orang banyak maka itu adalah
perbuatan baik. Namun, jika sebaliknya yang terjadi maka itu adalah perbuatan buruk.
Dalam kasus diatas merupakan suatu perbuatan yang bertujuan baik tetapi dilakukan
dengan cara- cara yang tidak dapat dibenarkan secara moral. Dari teori Liberal
Individualism yang menjadi dasar baik dan buruknya suatu perilaku itu adalah
kewajiban. Suatu perbuatan itu baik, dan karena itu kita wajib melakukannya.
Sementara perbuatan itu buruk, maka dilarang bagi kita. Teori ini menegaskan baik atau
buruknya suatu perilaku itu tidak dinilai berdasarkan dampak yang ditimbulkannya,
tetapi kewajiban. Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan
hanya karena wajib dilakukan. Selalu menekankan bahwa perbuatan tidak dihalalkan
karena tujuannya. Meskipun suatu perbuatan itu tujuannya baik, namun cara yang
ditempuh salah maka tetap tidak bisa dianggap baik. Pada kasus tersebut menyuarakan
hak pasien menjadi terabaikan. Jika dipandang dari teori Kantianism Suatu perbuatan
adalah baik jika dilakukan atau harus dilakukan karena kewajiban. Selanjutnya suatu
perbuatan adalah baik jika dilakukan berdasarkan “imperatif kategoris”. Imperatif
kategoris mewajibkan kita begitu saja, tidak tergantung pada syarat apapun. Kegiataan
melepas alat bantu nafas pada lansia tersebut dianggap sebagai perbuatan baik yang
merugikan orang lain. Menurut teori Character Ethics kasus diata dikaitkan pada
kepribadian, sifat, perangai atau ciri-ciri perwatakan bahwa perawat tidak bisa
memberikan yang terbaik terhadap klien.. Didalam diri perawat memiliki pribadi mulia
bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, merasa bersalah tidak bisa memberikan yang
terbaik terhadap klien. Untuk memiliki watak yang mulia perlu diasuh, dipelajari dan
dipraktekkan, baik itu melalui latihan serta pengamalan sehingga menjadi kebiasaan,
tabiat, cara hidup dan menyenangkan diri sendiri.
Dari delapan prinsip etik terdapat tujuh prinsip etik yang dilanggar dan ada satu
prinsip etik yang telah dilakukan oleh perawat yaitu memberikan penjelasan resiko yang
dapat terjadi jika alat bantu nafas dilepaskan. Perawat secara jujur telah menyampaikan
akibat yang dapat terjadi. Prinsip etik yang terabaikan :Otonomi (Autonomy) pada
kasus ini semua keputusan ada pada keluarga dan perawat harus mengikuti apa yang
sudah diputuskan, Berbuat baik (Beneficience) melakukan hal yang baik untuk

20
mencegah kesalahan atau kehatan, Keadilan (Justice) terapi yang benar sesuai dengan
standar untuk meningkatkan kualitas Kesehatan, Tidak merugikan (Nonmaleficience),
perawat melakukan kegiatan yang sesuai dan tidak menimbulkan efek cedera / bahaya
terhadap klien, Menepati janji (Fidelity) melakuakn sesuai dengan sumpah perawat /
memberikan yang terbaik, Karahasiaan (Confidentiality) perawat tidak bisa menjaga
kerahasiaan dari klien karena keputusan ada pada keluarga dan perawat menjelaskan
seluruh kondisi klien yang seharusnya ini adalah rahasia medis dan tidak diungkapkan
kepada orang lain, Akuntabilitas (Accountability) yang dilakukan terhadap klien tidak
sesuai dengan standar, karena seharusnya perawatan yang diberikan sesuai dengan
standar perawatan dan terapi.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
pengertian dari hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum,
pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia (Undang-Undang No 39, 1999).
Hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dari keseluruhan hak asasi
manusia yang dimiliki oleh setiap individu untuk melakukan proses kehidupan.
Perlindungan atas hak ini diberikan dalam segala aspek yang berkaitan dengan usaha
manusia untuk membangun kehidupan, mempertahankan dan meningkatkan kualitas
kehidupan dilingkungan sekitarnya. Selain itu hak hidup dapat diartikan sebagai hak
untuk menjalani kehidupan tanpa gangguan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang, untuk menjalani kehidupan yang layak di manapun dan kapanpun. Pada
kasus permintaan euthanasia terjadi karena pasien yang dalam keadaan koma serta
belum mewasiatkan tentang euthanasia, hal ini sebagian besar banyak dilakukan dengan
alasan ekonomi. Keadaan Koma merupakan suatu keadaan di mana pasien dalam
keadaan tidur dalam dan tidak dapat dibangunkan secara adekuat dengan stimulus kuat
yang sesuai. Pasien kemungkinan masih dapat memberikan ekspresi dengan gerakan
pada wajah atau melakukan gerakan stereotipik, namun tidak dapat melakukan
lokalisasi nyeri dan gerakan defensif yang sesuai. Seiring dengan semakin dalamnya
koma, pada akhirnya pasien tidak merespons terhadap rangsangan sekuat apapun

21
Hak hidup memiliki jaminan penuh (Pasal 28A UUD, 1945) melindungi hak
untuk hidup ini dalam Pasal 28A yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selain itu Pasal 9
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Hak hidup
merupakan hak kodrati yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut. Perlindungan hak
hidup dalam UUD’45 juga didukung dengan pengaturan dilarangnya menghilangkan
nyawa orang lain dalam (KUHP, 1915). Larangan menghilangkan nyawa orang lain
terdapat pada KUHP Pasal 338, 340, 344, dan membantu, memfasilitasi dalam proses
bunuh diri pada Pasal 345, Pasal 531 mengabaikan orang lain yang membutuhkan
pertolongan sehingga menyebebkan kematian. Dalam (Kode Etik Kedokteran, 2012)
Pasal 11 “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi hidup
makhluk insani”. Hal ini dikarenakan euthanasia tidak sesuai dengan etika yang dianut
oleh bangsa dan melanggar hukum pidana.
Dalam (Undang-Undang No 36, 2014) tentang Tenaga Kesehatan, Bahwa
kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah. Sehubungan dengan kasus
diatas perawat sebagai tenaga kesehatan harus mematuhi aturan yang ada : Pasal 58 ayat
1, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 68 ayat 1 sampai 4
Undang-undang Keperawatan juga membarikan batasan hukum terhadap
perawat (Undang-Undang Keperawatan, 2014) tentang Keperawatan, Keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada
individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Perawat dalam
memberikan pelayanan dengan memperhatikan hak dari klien. Terdapat pasal yang
memberikan kejelasan bahwa perawat dalam memberikan pelayana harus profesional
dan tidak merugikan : Pasal 2, Pasal 37 ayat b, Pasal 38 ayat c.
Euthanasia yang dianggap untuk meringankan ‘penderitaan’ pasien tidak dapat
dilakukan begitu saja berdasarkan keputusan pihak lain terlebih jika pasien yang
bersangkutan masih memiliki harapan hidup secara medis. Meskipun euthanasia pasif
boleh dilakukan namun harus dipertimbangkan bahwa permintaan euthanasia bukanlah

22
berdasarkan alasan ekonomi, tetapi harus dipertimbangkan berdasarkan hak yang
melekat dan dimiliki oleh orang yang berasangkutan karena setiap orang berhak atas
kehidupan, kemerdekaan dan keselamatan.
Ethic of empowerment yang terdapat pada kasus diatas perawaat sudah memiliki
kemampuan dalam berpikir secara kritis. Hal ini disebabkan kerena rumah sakit sudah
memampu melakukan pemberdayaan karyawannya dalam meningkat kemampuan
berpikir yaitu dengan memberikan kesempatan bagi karyawannya utuk meningkatkan
Pendidikan dan memberikan kesempatan bagi perawat dalam mengikuti perkembangan
pengetahuan, yaitu dengan mengikuti seminar keperawatan terutama dalam menghadapi
klien dengan masalah kritis. Perawat pun memiliki rasa percaya diri. Rasa percaya diri
perawat akan dapat dibangun dengan adanya rasa saling percaya, kejujuran, kepedulian
dan keterbukaan dari pemimpin organisasi. Pemimpin organisasi yang berperilaku
dengan integritas baik juga memperlakukan orang lain dengan adil memiliki prinsip,
dapat dipercaya, jujur, tidak pilih kasih, serta bertanggung jawab akan mampu
menciptakan suasana kerja yang kondusif (Kramer et al., 2010). Perawat juga sudah
memiliki empat prinsip utama dari Model Mallak dan Kurstedt, yaitu otonomi,
beneficence, nonmaleficence, dan justice. Keempat prinsip ini adalah dasar perawat
untuk pengambilan keputusan yang etis.
Ethic of Empowerment yang didapt dalam tubuh perawat akan dapat dicapai
dengan bertindak sesuai dengan landasan etik dalam pekerjaan. Prinsip Etik
Keperawatan: Respect to others, Compassion & empathy, Advocacy, Intimacy jika
dapat terpenuhi maka akan memingkatkan pemberdayaan dari seorang perawat untuk
dpat melakukan aktualisasi diri. Salah satunya mengikuti pendidikan formal dan non
formal.
Ethic of Sustainability dari kasus diatas adalah semua orang memiliki hak untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Dan kita semua saing tergantung. Penerapan
berkelanjutan membutuhkan pemahaman yang lebih baik dari konsep etika yang
mendukungnya.etika berkenajutan sama seperti etika sosial lainnya, yang harus
menjawab pertanyaan hak dan kepentingan. Dalam ini perawat menanyakan Kembali
apakah perlunya klien untuk dibawa ke rumah dalam kondisi saat ini dimana klien
memerlukan alat batu nafas, dan kepentinggannya. Dimana keluarga merasa iba akibat
kondisi klien dengan terpasang alat bantu nafas yang mereka pikir akan menyakiti klien

23
dan memberikan rasa sakit yang berkelanjutan. Berkelanjutan adalah meta – konsep
yang telah diterapkan dalam penciptaan kerangka kerja, sebagai Langkah – Langkah
alami yang dirancang untuk diterapkam pada situasi nyata untuk memandu warga,
organisasi, pemerintah dan perusahaan ke jalur mana generasai masa depan dapat
memiliki potensi kualitas hidup yang baik. Salah satu contohnya kasus diatas
memberikan pelajaran bagi tenaga Kesehatan dalam pengambilan keputusan bila hal ini
terjadi di masa depan. Pertanggung jawaban dalam pengambilan keputusan saat ini
mempengaruhi masa depan kita sebagai akibatnya berkelanjutan memaksa kita
menghadapi konsekuensi dari perilaku dengan cara yang tidak seperti konsep lain. Dan
hasilnya, mengembangkan pemahaman tentang dasar – dasar etika berekelanjutan
sangat penting untuk menerapkan solusi untuk banyak masalah yang sedang dihadapi
atau yang akan dihadapi, oleh sekarang dan orang - orang dimasa depan (Thompson,
2007).

24
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Etika adalah suatu kajian ilmiah tentang perilaku manusia dalam masyarakat,
yakni suatu bidang yang mendefenisikan perilaku manusia sebagai benar atau salah,
baik atau buruk, patut atau tidak patut. Etika menegaskan prinsip-prinsip perilaku yang
perlu ditempuh individu agar bersesuaian dengan kebajikan yang diterima. Kesadaran
akan nilai-nilai tersebut perlu dipupuk secara terus menerus.
Pelaksanaan pelayanan Kesehatan rumah sakit membutuhkan support dalam
pelaksanaan kewewengan sesuai profesi sehingga melindungi penerima layanan dan
pemberi kayanan dari tuntutan hukum. Kompleksnya layanan sangat memungkinkan
timbulnya permasalahan dalam pelayanan yang diberikan sehingga diperlukan Komite
Etik dan Hukum Rumah Sakit untuk membuat kebijakan, penyelesaian masalah terkait
dengan perilaku dan hukum serta penanganan complain rumah sakit yang harus dicegah
agar tidak berkleanjutan ke ranah hukum.
Euthanasia merupakan suatu dilema etik dan moral karena dihadapkan dengan
pilihan sulit antara menuruti atau tidak menuruti permintaan dari pihak
pasien/keluarganya secara langsung dan tidak langsung. Euthanasia pasif secara etis
masih dapat diterima dengan beberapa pertimbangan, namun euthanasia aktif ditentang
untuk dilakukan atas dasar etika, moral maupun legal. Dilihat dari perundang- undangan
yang ada saat ini, belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus
dan lengkap tentang euthanasia, satu- satunya yang dapat dipakai sebagai landasan
hukum adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
itupun hanya menyangkut euthanasia aktif volunter.
Perawat dalam menjalankan praktek keperawatan harus berdasarkan kode etik,
standar pelayanan, standar profesi dan standar prosedur operasional. Praktek
keperawatan yang semakin kompleksa bergantung pada prosedur dan metode dan
sistematis yang membantu perawat dalam menghadapi situasi sehari-hari yang terjadi
berulang dan memerlukan pengambilan keputusan yang etis. Prinsip pemeberdayaan
dan berkelanjutan yang berkaitan dengan praktik keperawatan professional dapat

25
digambarkan sebagai prinsip etik/moral mengharuskan keputusan dibuat agar tidak
hanya berfokus pada tindakan saat itu tetapi juga mengantisipasi konsekuensi potensial
dan diharapkan. Pemeberdayaan dan kelanjutan sebagai prinsip etika/moral dalam
keperawatan profesioanl berkomitmen terhadap dimensi normative yang relevan
mengenai keadilan, tanggung jawab dan kualitas hidup.
Ethic of empowerment dalam rumah sakit dapat dilakukan oleh komite – komite
profesi seperti: Komite Medik, Komite Keperwatan, Komite Tenaga Kesehatan lainnya
untuk mengawal dan menyelesaikan masalah yang terjadi di profesi. Penenrapan ethic
of sustainability pad Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit dapat memandu ke jalur
pengembangan yang lebih baik di mas mendatang dan memberiakn dukungan dalam
pemberian pelayanan Kesehatan guna keselamatan pasien dan petugas Kesehatan.

4.2 Saran
Setiap fasilitas Kesehatan perlu menerapkan ethic of empowerment dan ethic of
suistainability guna mengoptimalkan peran dan wewenang tenaga Kesehatan sesuai
dengan prinsip – prinsip etik dan hukum, sehingga dalam meningkatkan kualitas
pelayanan yang diberikan. Dengan menerapkan ethic of empowerment dan ethic of
suistainability pada Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit sebagai organisasi
nonstruktural yang membantu kepala atau direktur rumah sakit untuk menerapkan etika
rumah sakit dan hukum perumah sakitan diharapkan dapat memperkuat fungsi dan tugas
dari Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit sehingga tujuan peningkatan keselamatan
pasien dan mutu pelayanam Rumah Sakit dapat tercapai. Mutu Rumah Sakit tercapai
apabila etik pemberdayanan dan etik keberlanjutan saling berjalan beriringan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aida, R. (2005). Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan


Komunitas. Demokrasi. IV(2), 95-105.
Arimany-Manso, J., Torralba, F., Gómez-Sancho, M., & Gómez-Durán, E. L. (2017).
Ethical, medico-legal and juridical issues regarding the end of life. Medicina
Clínica (English Edition), 149(5), 217–222.
https://doi.org/10.1016/j.medcle.2017.07.027
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Prinsiple of Biomedical Ethics (Seventh
Ed). Oxford University Press.
Bertens, K. (2000). Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens, K. (2005). Etika. Gramedia.
Bradbury-Jones, C., Sambrook, S.,& Irvene, F. (2008). Power and empowerment in
nursing: A fourth theoretical approach. Journal of Advanced Nursing, 62(2), 258
-266. Http: //doi.org/10.1111/j.1365-2648.2008.04598.x
Bostani, S. (2015). Strategies to promote professional ethics in nursing education
system. Development Strategies in Medical Education, 2(2), 13–22.
http://dsme.hums.ac.ir/article-1-96-en.html
Chandler, G.E.(1992) The Source and process of empowerment. Nursing administration
quarterly journal, 16(3), 65-71
Dalami, E. (2010). Etika Keperawatan. Jakarta: TIM.
Hanafiah MJ., A. A. (2009). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC.
Herschel, R., & Miori, V. M. (2017). Ethics & Big Data. Technology in Society, 49,
31–36. https://doi.org/10.1016/j.techsoc.2017.03.003
J., H. (2008). Euthanasia. Dalam Etika Kedokteran dan Ajaran Islam. Pustaka Bangsa
Press.
Jamshidian, F., Shahriari, M., & Aderyani, M. R. (2019). Effects of an ethical
empowerment program on critical care nurses’ ethical decision-making. Nursing
Ethics, 26(4), 1256–1264. https://doi.org/10.1177/0969733018759830
Joshua, S. A. (2014). Euthanasia: Socio-Medical and Legal Perspective. International
Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4.
Gibson, C.H. (1991). A concept analysis of empowerment. Journal of advanced nursing.

1
16(3), 354-361
Kode Etik Kedokteran. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Kramer, M., Schmalenberg, C., & Maguire, P. (2010). Nine structures and leadership
practices essential for a magnetic (healthy) work environment. Nursing
Administration Quarterly, 34(1), 4–17.
https://doi.org/10.1097/NAQ.0b013e3181c95ef4
KUHP. (1915). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia.
Kibert, C. J., Thiele, L., Peterson, A & Monroe , M. (2008). the ethic of sustaibility.
television week, 25(32), 17. Retrieved from Http://search
.ebscohost.com/login.aspx?direct=true%7B&%7Ddb=a9h%7B&
%7DAN=22416328%7B&7Dsite=ehost-live
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. (2004). Kode Etik Kedokteran Indonesia dan
Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia (pp. 1–83). IDI.
Pasal 28A UUD. (1945). Undang-Undang Dasar 1945.
Permarupan, Y. Y., Mamun, A. Al, Samy, N. K., Saufi, R. A., & Hayat, N. (2020).
Predicting nurses burnout through quality of work life and psychological
empowerment: A study towards sustainable healthcare services in Malaysia.
Sustainability (Switzerland), 12(1). https://doi.org/10.3390/su12010388
PerMenKes No 26. (2019). PerMenKes No 26 Tahun 2019 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Keperawatan.
R.S., S. (2001). Euthanasia. Dalam Etika Kedokteran Indonesia (Edisi 2). Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Riedel, A. (2016). Sustainability as an ethical principle: Ensuring its systematic place in
professional nursing practice. In Healthcare (Switzerland) (Vol. 4, Issue 1).
MDPI. https://doi.org/10.3390/healthcare4010002
Schoeter,K.(2006). sustaibility as an ethical prinsiple: ensuringits systematic place in
professional nursing practice . healthcare, 4(1), 2. http:
//doi.org/10.33990/healthcare4010002
Sudrajat, D. A.(2001). Diwa Agus Sudrajat abstract, 9-19.
Thompson, I.(2007). the ethic of sustainability. landscape and sustainability: second
edition, 16-36. http: //doi.org/10.4324/9780203962084
Undang-Undang Keperawatan. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia No 38

2
Tahun 2014 tentang Keperawatan.
Undang-Undang No 36. (2014). Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan.
Undang-Undang No 39. (1999). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.

Anda mungkin juga menyukai