Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

TB PARU DENGAN GIZI KURANG PADA ANAK

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
persyaratan menyelesaikan program internsip
di Rumah Sakit Umum Daerah Saparua

Oleh:
dr. Natalia J. Tetelepta

Pendamping:
dr. Novita E Nikijuluw

Wahana:
Rumah Sakit Umum Daerah Saparua

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD SAPARUA
SAPARUA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas Berkat

dan Penyertaan-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus

dengan judul “TB Paru dengan Gizi Kurang pada Anak” ini dengan baik. Laporan kasus ini

dibuat dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus persyaratan menyelesaikan program

internsip di Rumah Sakit Umum Daerah Saparua.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu

kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan dan semoga laporan kasus ini

dapat bermanfaat untuk kita semua.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah membantu

penulis dalam penyelesaian pembuatan laporan kasus ini.

Saparua, Oktober 2020

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan yang terpenting

di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir Indoneisa termasuk dalam 5 negara dengan jumlah

kasus TB terbanyak di dunia. Tuberkulosis pada anak merupakan komponen penitng dalam

pengendalian TB oleh karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari

jumlah seluruh populasi dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap

tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB anak di antara semua kasus TB yang ternotifikasi

dalam program TB hanya 9% dari yang diperkirakan 10-15% dan pada tingkat

kabupaten/kota menunjukan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu antara 1,2-17,3% di

tahun 2015. Strategi Nasional 2015-2019 terdapat 6 indikator utama dan 10 indikator

operasional. Program pengendalian TB, 2 diantaranya adalah cakupan penemuan kasus TB

anak sebesar 80% dan cakupan anak <5 tahun yang mendapat pengobatan pencegahan PP

INH sebesar 50% pada tahun 2019.1

Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan diagnosis. Sejak

tahun 2005 sistem skoring TB anak disosialisasikan dan direkomendasikan sebagai

pendekatan diagnosis. Permasalahannya, tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan

(fasyankes) di Indonesia mempunyai fasilitias uji tuberkulin dan pemeriksaan foto toraks

yang merupakan 2 parameter yang ada di sistem skoring. Akibatnya, di fasyankes dengan

askes dan fasilitas terbatas banyak dijumpai underdiagnosis TB anak.1

Permasalahan lain dalam program penanggulan TB anak adalah semakin

meningkatnya jumlah kasus TB resisteen obat (TB RO) pada dewasa, yang bisa merupakan

sumber penularan bagi anak. Jumlah pasti kasus TB RO pada anak di Indonesia saat ini

belum diketahui, tetapi semakin meningkat.1,2

1
BAB II

STATUS PASIEN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAPARUA


Dokter Internsip : dr. Natalia J. Tetelepta

Dokter Pembimbing : dr. Novita E. Nikijuluw

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. AGS Alamat : Siri-Sori Amalatu


Umur : 9 tahun Suku : Maluku
Pekerjaan : Siswa Tanggal Masuk : 29/08/2020
Status perkawinan : Belum Kawin Ruang : Ruang Anak
Agama : Kristen Protestan

B. IDENTITAS ORANG TUA

Ayah Ibu
Nama Tn. RS Ny. JL
Umur 47 tahun 45 tahun
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Petani IRT

C. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 29 Agustus 2020 di Unit


Gawat Darurat RSUD Saparua.

Keluhan utama : Sesak napas

Anamnesis Terpimpin : Pasien datang dibawa oleh ibunya ke UGD RSU Saparua dengan
keluhan sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit yang lalu, di sertai dengan batuk
berlendir hilang timbul sejak ± 1 bulan dan panas. Pasien merupakan pasien rujukan dari
puskesmas Jazirah Tenggara dan dalam pengobatan TB paru 5 bulan.

Riwayat penyakit dahulu : -

Riwayat Pengobatan dahulu :

2
Pengobatan yang diberikan di PKM Jazirah Tenggara :
- O2 2 – 3 L/menit.
- IVFD RL 15 tetes/menit.

Riwayat Penyakit Keluarga : -

Riwayat Tumbuh Kembang

Pertumbuhan dan perkembangan pasien normal seperti anak sebayanya. Perkembangan

anak sebagi berikut: gigi pertama muncul usia 9 bulan, berbicara pertama kali usia 1 tahun,

berjalan sendiri 1 tahun.

Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar:

- Imunisasi lengkap sampai usia 9 bulan

- Imunisasi ulangan: tidak pernah

- Imunisasi lainnya: tidak pernah

D. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status present
Kesan umum : Lemah
Nadi : 132 ×/menit kuat dan regular
Laju nafas : 45 ×/menit
Suhu aksila : 38.0°C
Saturasi O2 : 84% (O2 ruangan)
Kesadaran (GCS) : E4 V5 M6

b. Status Generalis
Kepala : Bentuk kepala normal simetris, rambut lurus hitam dipendek, tidak
mudah dicabut.

Wajah : Tidak tampak fasies sindrom tertentu, tidak ada udem, lipatan dahi
normal, tidak didapat wajah old man face.

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kedua pupil bulat isokor 3

3
mm dengan refleks cahaya kedua mata normal. Perdarahan
subkonjungtiva (-), bercak bitot (-). Tidak ada katarak, tidak ada
nistagmus ataupun strabismus. Tidak tampak mata cowong, tidak ada
udem palpebra, celah kelopak mata kanan-kiri simetris.

Telinga : Tidak didapatkan sekret, membran timpani intak.

Hidung : Ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum, tidak terdapat
sekret, tidak ada perdarahan, tidak ada hiperemi.

Mulut : Tidak ada sianosis ataupun pucat di sekitar mulut dan mukosa lidah,
mukosa bibir dan lidah basah, sudut mulut kanan-kiri simetris, refleks
menelan normal. Tidak tampak deviasi uvula dan lidah ke satu sisi.
Tidak ada drooling. Didapatkan karies gigi atas dan bawah, hipertropi
ginggival tidak didapatkan.

Tenggorok : Tidak ada pembesaran tonsil dan faring tidak hiperemia. Tidak terdapat
celah gusi dan palatum.

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, peningkatan jugular


venous pressure (JVP) tidak didapatkan.

Dada : Bentuk normal, gerakan simetris, iga gambang (-)

Jantung
Inspeksi : Iktus tidak tampak
Palpasi : Ukuran jantung kesan normal
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : Bunyi jantung I/II normal, bising jantung (-), irama derap (-). Suara
jantung menjauh (-)

Paru
Kanan Kiri

Depan

Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi Simetris, tidak ada retraksi

Palpasi : Simetris, tidak ada ketinggalan Simetris, tidak ada ketinggalan


gerak

4
gerak

Perkusi : Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikular, rhonki (+), wheezing Vesikular, rhonki (+), wheezing


(+) (+)

Kanan Kiri

Belakang

Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi Simetris, tidak ada retraksi

Palpasi : Simetris, tidak ada ketinggalan Simetris, tidak ada ketinggalan


gerak gerak

Perkusi : Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikular, rhonki (-), wheezing (-) Vesikular, rhonki (-), wheezing (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, pelebaran vena kolateral (-)
Auskultasi : Bising usus normal, bruit aorta (-)
Perkusi : Pekak hepar positif, suara timpani (+) dan meteorismus (-)
Palpasi : Undulasi (-), asites (-)
Hepar tidak teraba.
Limpa tidak teraba.
Nyeri tekan dan defans muskuler tidak didapatkan. Massa intraabdomen
tidak ditemukan.

Ekstremitas dan Genitalia

Genitalia eksterna : Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstremitas : Teraba hangat, perfusi perifer baik, pengisian kapiler kurang 2
detik. Edema pada tungkau bawah (+). Di lengan kanan regio
deltoid terdapat parut BCG diameter 6 mm.
Kulit : Kuku tidak tampak kelainan, tidak didapatkan jari tabuh dan tidak
tampak jamur berwarna kehitaman

5
Kelenjar : Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening.

Status Antropometri
Tanggal Pemeriksaan : 29-08-2020
Tanggal lahir : 31-12-2001
Umur kronologis : 9 tahun
Berat badan (BB) : 20 kg
Tinggi badan (TB) : 116 cm
Usia Tinggi : 20 bulan
Berat badan ideal (BBI): 29 kg
BB/TB (% median) : 69% (kriteria Waterlow)

Penilaian status gizi menggunakan kurva WHO, pasien diklasikan sebagai kriteria
severly underweight, severly stunted.

Skor TB

Kontak TB : tidak jelas : 0


Uji Tuberkulin : Positif : 3
Berat badan/Keadaan Gizi : BB/TB <70% :2
Demam yang tidak jelas : negatif : 0
Batuk kronik : >2minggu : 1
Pembesaran kelenjar limfe, aksila, inguinal : Negatif : 0
Pembengkakan tulang/sendi panggul/lutut : Negatif : 0
Foto thoraks : Gambaran mendukung TB : 1

Hasil: Skor 7 (Skor total > 6  diagnosis TB dan obati dengan OAT).

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 29/08/2020

Hematologi Hasil Nilai Kimi Hasil Nilai rujuk


rujuk a
klinik
WBC 182 103µL 4.0-10.0 GDS 83mg/dl <120mg/dl

6
PLT 295 103µL 100-300
HB 14,7 % 11.0-16.0
MCV 74.3% 80.0-99.0
MCHC 37.1% 32.0-36.0
HCT 39,6 fL 36.0-48.0

Serologi : RDT : Non Reaktif.

F. DIAGNOSIS

Utama : TB dalam pengobatan

Penyerta : Kurang gizi

G. PENATALAKSANAAN
- O2 3 liter/menit
- IVFD RL 12 tetes/menit
- Nebu Ventolin 1:1 (Ventolin 1cc : Nacl 0.9% 1cc)
- Inj. Ceftriaxon 2x500 mg/iv (Skin test)
- Salbutamol 2x2 mg tab/p.o
- Paracetamol drip 3x200 mg/iv (k/p)  bila demam berulang

H. PROGNOSIS
 Ad vitam: Bonam : Pasien saat ini dalam kondisi cukup lemah, namun tidak sampai

mengancam jiwa, tanda-tanda vital dalam batas normal, respon terapi masih baik.

 Ad Functionam: Dubia. Pasien saat ini belum mengalami komplikasi jangka

panjang dengan ketelibatan multiorgan. Parameter untuk status gizi: kurang

sehingga perlu pemantauan, karena berhubungan dengan respon imunologis, respon

terapi

 Ad Sanasionam : Bonam. Pasien saat ini sedang menjalani terapi untuk tuberkulosis

dan infeksi lain yang menyertai. Terapi TB diharapkan agar dapat mengeradikasi

kuman TB itu sendiri. Jika pemnatauan, kepatuhan, dukungan orang tua baik,

diharapkan dapat sembuh dan tidak meninggalkan gejala sisa.

I. Follow Up

7
SOA P Laboratorium
30/08/2029 (HP-1) - O2 2 lpm (k/p)
S: sesak napas (-), batuk - IVFD RL 12 tpm
lendir (+) - Inj. Ceftriaxon 2x500 mg/iv
O: KU sedang, kesadaran CM, - Salbutamol 2x2 mg/tab/p.o
TD :90/70, S: 36.7, RR: - Nebu venitoin : Nacl 0.9%
45x/menit, N : 132x/menit, 1:1
SpO2: 81%. - Paracetamol 200 mg/iv
Thorax : (k/p)
Pulmo : Rh+/+, Whee -/- - OAT lanjut.
Cor : BJ I & II murni regular,
gallop (-), murmur (-)
A: TB on therapy 5 bulan
31/08/2020(HP-2) - O2 2 lpm (k/p)
S: Batuk lendir (+) - IVFD RL 12 tpm
O: KU: sedang, kesadaran:
CM, TD : 100/80mmHg, S:
- Inj. Ceftriaxon 2x500 mg/iv
36, RR: 40x/menit, N: - Salbutamol 2x2 mg/tab/p.o
102x/menit, SpO2:97% tanpa - Nebu venitoin : Nacl 0.9%
O2 1:1
Thorax : - Paracetamol 200 mg/iv
Pulmo : Rh+/+, Whee -/- (k/p)
Cor : BJ I & II murni regular, - Ambroxol syrup 3x1 cth
gallop (-), murmur (-)
A:
- OAT
 TB on therapy 5 bulan
 Gizi kurang
01/09/2020 (HP-3) - IVFD RL 12 tpm
S: Batuk lendir (+) - Inj. Ceftriaxon 2x500 mg/iv
O: KU sedang, TD:
100/70mmHg, N: 104x/menit,
- Salbutamol 2x2 mg/tab/p.o
S: 36.6, R: 24x/menit - Ambroxol syrup 3x1
BB: 19 kg (normal 25-30 kg cth/p.o
 (CDC) - Curvit syrup 1x1 cth/p.o
Thorax : - OAT
Pulmo : Rh+/+, Whee -/- - Diet TKTP
Cor : BJ I & II murni regular,
gallop (-), murmur (-)
- Cek darah rutin ulang
besok pagi dan AFF infus
A:
 TB on therapy 5 bulan
 Gizi kurang
02/09/2020 (HP-4) - Ambroxol syrup 3x1 Hasil DR
S: tidak ada keluhan cth/p.o - WBC: 7.3 103µL
O: KU Baik, TTD: TD: - Curvit syrup 1x1 cth/p.o - PLT : 31.9 103µL
100/80mmHg, N: 109x/menit, - HB : 14,0 %
P: 24x/menit, S: 36,
- OAT
- Diet TKTP - HCT : 38,8 fL
SpO2:96% tanpa O2
Thorax : - BLPL
Pulmo : Rh+/+, Whee -/-
Cor : BJ I & II murni regular,
gallop (-), murmur (-)
A:
 TB on therapy 5 bulan
 Gizi kurang

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya.2

B. Faktor Risiko Tuberkulosis

Anak yang terpapar orang dewasa yang punya risiko tinggi, orang dari negara dengan

prevalensi TB yang tinggi, gelandangan, tenaga kesehatan yang mengurus pasien-pasien

dengan risiko tinggi, bayi dan anak < 10 tahun, remaja dan dewasa muda dan riwayat kontak

dengan pasien dengan pengobatan tuberkulosis, kontak dengan pasien riwayat resistensi obat

tuberkulosis. 1

C. Diagnosis Tuberkulosis

Berdasarkan anamnesis gejala umum dari penyakit TB anak khas: nafsu makan kurang,

berat badan (BB) sulit naik, menetap atau malah menurun (kemungkinan masalah gizi

sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tatalaksana adekuat selama minimal 1

bulan), demam subfebris berkepanjangan dengan etiologi demam kronik yang lain perlu

disingkirkan dahulu seperti infeksi saluran kemih (ISK), tifus atau malaria, pembesaran

kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal atau tempat lain, keluhan respiratorik

berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau nyeri dada, gejala gastrointestinal seperti diare

persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku atau perut membesar karena cairan

atau teraba massa dalam perut. Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis

yang khas: Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi

di daerah bawah atau di bawah P5, Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.2

9
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien dengan kecurigaan

tuberkulosis adalah: pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan sputum dilakukan terutama

pada anak berusia > 5 tahun, HIV (+), dan gambaran kelainan paru luas. Namun, karena

kesulitan Namum demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat

pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin

pada anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin meningkatnya kasus TB resisten obat

dan TB HIV, saat ini pemeriksaan yang seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan

kesehatan yang mempunyai fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologis.

Cara mendapatkan sputum pada anak: pengeluaran dahak jika pasien dapat keluarkan

sputum/dahak secara langsung, bilas lambung dengan NGT dapat dilakukan pada anak tidak

dapat keluarkan dahak dan dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut-turut

pada pagi hari, induksi sputum biasanya relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak

semua umur, hasil lebih baik dari aspirasi lambung, terutama bila menggunakan lebih dari 1

sampel. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis TB pada anak: (a) uji

tuberkulin: Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakan diagnosis TB pada anak,

khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberkulin tidak bisa

membedakan antara infeksi dan pasien TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukan adanya

infeksi dan tidak menunjukan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, hasil negatif uji tuberkulin

belum tentu menyingirkan diagnosis TB, (b) foto toraks: Foto toraks juga merupakan

pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto

toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier, (c) pemeriksaan histopatologi:

Menunjukan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijauan di tenganya dan dapat pula

ditemukan gambaran sel daria langhans dan atau kuman TB3.

10
D. Alur diagnosis TB anak2

Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:

1. Konfirmasi bakteriologis TB

2. Gejala klinis yang TB

3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien TB)

4. Gambaran foto toraks sugestif TB

Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan sputum:

1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCB, sesuai dengan fasilitas yang tersedia)

positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.

2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen tidak dapat

diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks:

a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan foto toraks:

- Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak dapat

didiagnosis TB dan diberikan OAT.

- Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis 2-4 minggu. Bila pada

follow up geala menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto

toraks.

b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor total

menggunakan sistem skoring:

1. Skor total > 6  diagnosis TB dan obati dengan OAT

2. Skor total <6, dengan uji tuiberkulin positif atau ada kontak erat  diagnosis

TB dan obati dengan OAT

3. Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif, atau tidak ada kontak erat 

observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang

11
kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang

lebih tinggi.

Gambar 1. Alur diagnosis dengan Skoring TB


[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]

12
Penjelasan:

1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau TCM) tetap merupakan pemeriksaan utama

untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk

memperoleh spesimen dahak, diantaranya induksi sputum. Pemeriksaan mikroskopis

dilakukan 2 kali dan dinyatakan positif jika satu spesimen diperiksa memberikan hasil

positif.

2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun tidak

ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak dirujuk

untuk pemeriksaan lebih lengkap.

3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak erat,

misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dsb.

4. Anak yang dievaluasi bulan kedua tidak menunjukan perbaikan klinis sebaiknya

diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan

diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resisten obat maupun masalah

kepatuhan berobat dari pasien.

13
Tabel 1. Skoring TB
[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]

E. Definisi dan Klasifikasi

1. Definisi

Terduga TB anak: Anak yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB.

Pasien TB anak:

a. Pasien TB anak terkonfirmasi bakteriologis: Anak yang terdiagnosis dengan hasil

pemeriksaan bakteriologis positif.

b. Pasien TB anak terdiagnosis secara klinis: Anak yang tidak memenuhi kriteria

terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB oleh dokter, dan

diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.

14
2. Klasifikasi

a. Klasifikasi pasien TB:

Selain pengelompokan pasien berdasarkan definisi tersebut di atas, pasien juga

diklasifikasikan menurut:

 Lokasi anatomi dari penyakit

 Riwayat pengobatan sebelumnya

 Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

 Status HIV

b. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

 Tuberkulosis paru

TB yang terjadi pada parenkim paru. TB milier dianggap sebagai TB paru

karena adanya lesi pada jaringan paru.

 Tuberkulosis ekstraparu

TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,

abdomen, saluran kemih, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

 Pasien baru TB: pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB

sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (<28

dosis)

 Pasien yang pernah diobati TB: pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT

selama 1 bulan atau lebih (>28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan

berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir yaitu:

o Pasien kambuh: pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan

15
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena

reinfeksi).

o Pasien yang diobati kembali setelah gagal: pasien TB yang pernah diobati

dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

o Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): pasien

yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.

o Lain-lain: pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan

sebelumnya tidak diketahui.

Pada pasien anak 9 tahun didefinisi dan diklasifikan dengan pasien TB anak yang

pernah diobati karena pasien sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih

(>28 dosis).

F. Tatalaksana Tuberkulosis pada anak

Pasien anak berusia 9 tahun dengan BB 9 kg mendapat pengobatan tuberkulosis fixed

drug therapy lanjutan karena pasien merupakan passien TB on theray yang sudah berjalan 5

bulan.

Tatalaksana TB anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis (pengobatan

pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan

pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB (profilaksis

primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).3

Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama

pemberian obat anti TB sebagai berikut: (1) menyembuhkan pasien TB, (2) mencegah

kematian akibat TB atau efek jangka panjangnnya, (3) mencegah TB relaps, (4) mencegah

terjadinya dan transmisi resistensi obat, (5) menurunkan transmisi TB, (6) mencapai seluruh

tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin, (7) mencegah reservasi sumber

sumber infeksi di masa yang akan datang.3

16
Beberapa hal penting dalam tata laksana TB anak adalah; (1) menyembuhkan pasien

TB, (2) mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya, (3) mencegah TB relaps,

(4) mencegah terjadinya dan transmisi resisten obat, (5) menurunkan transmisi TB, (6)

mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin, (7) mencegah

reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang.3

1. Obat yang digunakan pada TB anak

- Obat Anti tuberkulosis (OAT)

Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga

rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak

dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA

negatif menggunakan panduan INH, rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2

bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.3

Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping


(mg/kgBB/hr) (mg/hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersesitivitas
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 GI, Reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, ↑ enzim hati,
cairan tubuh warna orange
kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia, GI
Etambutol (E) 20 (15-25) - Neuriris optik, ketajaman
mata kurang, buta warna
merah hijau, hipersensitivitas,
GI
Tabel 2. Dosis OAT untuk Anak
[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]

Kategori Diagnostik Fase Intensif Fase lanjutan


TB klinis
TB Kelenjar 2HRZ 4HR
Efusi Pleura TB
TB Terkonfirmasi Bakteriologis

17
TB paru dengan kerusakan luas
TB ekstraparu (selain meningitis TB
dan TB tulang/sendi) 2HRZE 4HR
TB Tulang/Sendi
TB Milier 2HRZE 10HR
TB Meningitis

Tabel 3. Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak


[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]

- Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed drose combination (FDC)

Untuk mempermudah pemberian Oat dan meningkatan keteraturan minum obat,

panduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC. Paket KDT anak berisi

obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z)

150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.

Dosis yang dianjurkan:3

Berat badan (kg) Fase Intensif (2 bulan) Fase lanjutan (4 bulan)

RHZ (75/50/150) RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

>30 OAT dewasa

Tabel 4. Dosis OAT KDT pada TB anak


[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]

Keterangan:
- Bayi < 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak daam bentuk KDT

18
- Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan disesuaikan

dengan berat badan saat itu

- Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan BBI (berdasarkan umur)

- OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan digerus)

- Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable) atau

dimasukan air dalam sendok (dispersable)

- Obat diberikan pada saat perut kosong atau paling cepat 1 jam setelah makan

- Bila INH dikombinasi rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari

- Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh

digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid diberikan dalam kondisi:

a. TB meningitis

b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endotrakhial TB)

c. Perikarditis TB

d. TB milier dengan gangguan napas berat

e. Efusi pleura TB

f. TB abdomen dengan asites.

Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hr,

sampai 4 mg/kgBB/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hr

selama minggu. Tappering off dilakukan secara bertahap setelah 2 minggu

pemberian kecuali pada TB meningitis selama 4 minggu sebelum tappering off.

2. Pirirdoksin

19
Isoniazid dapat menyebakan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama

pada anak dengn malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan ART.

Suplementasi piridoksin (5-10 mg/kgBB/hari).3

- Nutrisi

Pada anak status gizi sangatlah penting, anak yang memiliki gizi baik tidak

mudah terkena infeksi karena tubuh memiliki kemampuan yang cukup untuk

mempertahankan diri (daya tahan tubuh meningkat) sedangkan bagi anak yang

memiliki gizi buruk akan sangat mudah terkena infeksi karena reaksi kekebalan

tubuh menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap

serangan infeksi menurun. Status gizi pada anak dengan TB akan mepengaruhi

keberhasilan terapi TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak

dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam

pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, LLA atau

pengamatan gejala dan tanda malnutrsi seperti edema atau muscle wasting.

Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak

memungkinkan, dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB

dapat diatasi.3,4

G. Pemantauan hasil evaluasi TB anak

- Pemantauan pengobatan pasien TB anak

Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setipa hari secara teratur oleh

PMO. Dan sebaiknya dipantau sealama 2 minggu fase intensif, dan sekali sebulan

pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon pengobatan, kepatuhan,

toleransi dan kemungkinan efek samping obat.3

20
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam

menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan BB meingkat. Pada

pasien anak dengan hasil BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan

pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir

bulan ke-2, ke-5, ke-6.3

Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga

tidak perlu dilakukan foto toraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada TB

milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2-4 minggu.

Demikian pemeriksaan uji tuberkulin karena yang positif akan tetap positif.3

Dosis OAT disesuaikan dengan BB. Pemberian OAT dihentikan stelah

pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan

penunjang lain seperti foto toraks (pada TB milier, TB dengan kavitas, efusi

pleura).3

H. Hasil akhir pengobatan pasien TB anak

Hasil pengobatan Definisi


Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobataan yang hasil pemeriksaan
bakteeiologis pada akhir pengobatan dan pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya menjadi negatif.
Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti
hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan atau kapan saja apabila selama demam

21
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatan terputus selama 2 bulan terus menerus atau
lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
Termasuk dalam kiteria ini adalah “pasien pindah” ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir
pengobatannyatidak diketahui oleh kabupaten/kota yang
ditinggalkan.

Tabel 5. Hasil akhir pengobatan


[Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.
Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak. Kemenkes RI, Jakarta: 2016.]

I. Tatalaksana Efek samping obat

Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Pemberian

etambutol untuk anak yang mengalami TB berat tidak banyak menimbulkan gejala efek

samping selama pemberiannya sesuai dengan rentang dosis yang direkomendasi.3

Efek sampimg paling sering adalah hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan oleh

isoniazid, rifampisin, atau pirazinamid. Pemeriksaan kadar enzim hati tidak perlu dilakukan

secara rutin pada anak yang akan memulai pengobatan TB. Pada keadaan peningkatan enzim

hati ringan tanpa gejala klinis (kurang dari 5 kali nilai normal) bukan merupakan indikasi

penghentian terapi obat anti TB.3,5

Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus harus segera dilakukan pengukuran kadar

enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB. Penapisan ke arah penyebab hepatitis lain

harus dilakukan.2,5

J. Pencegahan

Prioritas dalam melakukan kontrol dalam program tuberkulosis sendiri merujuk pada

temukan dan obati, dimana hal ini dapat menurunkan angka transmisi yang biasanya

ditularkan melalui droplet dan juga biasanya sangat berisiko terhadap orang-orang dekat

pasien terkontaminasi TB. Semua anak dan dewasa dengan gejala yang merujuk pada

tuberkulosis dan juga ada riwayat kontak dengan pasien TB harus dilakukan tes untuk

22
mencari infeksi tuberkulosis. Rata-rata 30-50% kontak serumah dengan pasien positif TB

juga turut tertular dan 1% memang sudah dengan penyakit TB. Program ini diharapkan dapat

berjalan dengan baik jika ada respon yang efektif dan adekuat dari masyarakat dan petugas

kesehatan layanan primer untuk pemberian edukasi. Anak, khusunya < 2 tahun harus lebih

diprioritaskan untuk dilakukan pengamatan lebih lanjut dikarenakan risiko infeksi lebih tinggi

dan lebih cepat berkembang menjadi bentuk tuberkulosis yang lebih parah.1

Pemberian vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) merupakan satu-satunya vaksin yang

dapat melawan TB. Vaksin BCG merupakan vaksin dari strain M.Bovis pemberian biasanya

intradermal diberikan mulai usia 0-2 bulan berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter

Anak Indonesia) tahun 2017.1,2

Pencegahan tuberkulosis perinatal juga dapat dilakukan dengan pemberian profilaksis

Izoniasid 10 mg/kgBB selama 6 bulan.1

BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien anak umur 9 tahun datang dibawa oleh ibunya ke UGD RS USaparua dengan

keluhan sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit yang, pasien merupakan pasein

rujukan dari PKM Kazirah Tenggara dan dalam pengobatan TB paru 5 bulan. Riwayat

demam ada, batuk berlendir kurang lebih 1 bulan. Riwayat kontak dengan orang sekitar yang

memiliki gejala yang sama tidak diketahui karena selama ini pasien tinggal bersama ibunya

dipulau seram dan baru diambil oleh ibunya sekitar 1 minggu lalu.

Anak yang terpapar orang dewasa yang punya risiko tinggi, orang dari negara dengan

prevalensi TB yang tinggi, gelandangan, tenaga kesehatan yang mengurus pasien-pasien

dengan risiko tinggi, bayi dan anak < 10 tahun, remaja dan dewasa muda dan riwayat kontak

23
dengan pasien dengan pengobatan tuberkulosis, kontak dengan pasien riwayat resistensi obat

tuberkulosis.

Pasien berusia 9 tahun di curigai menderita TB dalam pengobatan dengan gizi buruk

dilihat dari gejala klinis.

Berdasarkan anamnesis gejala umum dari penyakit TB anak khas: napsu makan kurang,

berat badan (BB) sulit naik, menetap atau malah menurun (kemungkinan masalah gizi

sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tatalaksana adekuat selama minimal 1

bulan), demam subfebris berkepanjangan dengan etiologi demam kronik yang lain perlu

disingkirkan dahulu seperti infeksi saluran kemih (ISK), tifus atau malaria, pembesaran

kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal atau tempat lain, keluhan respiratorik

berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau nyeri dada, gejala gastrointestinal seperti diare

persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku atau perut membesar karena cairan

atau teraba massa dalam perut.Pemerikasaan fisik pada pasien ini : didapatkan rhonki dan

whezzing pada kedua lapang paru, dan tidak ditemukannya pembesaran kelenjar getah bening

pada leher, axila, maupun inguinal. antropometri berdasarkan WHO, pasien diklasifikasikan

sebagai kriteria: gizi buruk, stunting. BB/U: <-3SD, TB/U: <-3SD BB/TB: 69% (Kriteria

Waterlow).

Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas: Antropometri:

gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi di daerah bawah atau di

bawah, Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.2

Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan darah

rutin dengan hasil WBC : 18.2, LYM : 10.1%, MCV: 74.3%, MCHC: 37.1%. dan

pemeriksaan darah kimi dengan hasil GDS : 83mg/dl.

Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien dengan kecurigaan

tuberkulosis adalah: pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan sputum dilakukan terutama

24
pada anak berusia > 5 tahun, HIV (+), dan gambaran kelainan paru luas. Namun, karena

kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan

bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB.

Dengan semakin meningkatnya kasus TB resisten obat dan TB HIV, saat ini pemeriksaan

yang seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai

fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologis. Cara mendapatkan sputum pada

anak: pengeluaran dahak jika pasien dapat keluarkan sputum/dahak secara langsung, bilas

lambung dengan NGT dapat dilakukan pada anak tidak dapat keluarkan dahak dan dianjurkan

spesimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut-turut pada pagi hari, induksi sputum biasanya

relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, hasil lebih baik dari aspirasi

lambung, terutama bila menggunakan lebih dari 1 sampel. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

untuk membantu diagnosis TB pada anak: (a) uji tuberkulin: Uji tuberkulin bermanfaat untuk

membantu menegakan diagnosis TB pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien

TB tidak jelas. Uji tuberkulin tidak bisa membedakan antara infeksi dan pasien TB. Hasil

positif uji tuberkulin menunjukan adanya infeksi dan tidak menunjukan ada tidaknya sakit

TB. Sebaliknya, hasil negatif uji tuberkulin belum tentu menyingirkan diagnosis TB, (b) foto

toraks: Foto toraks juga merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis TB

pada anak. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier, (c)

pemeriksaan histopatologi: Menunjukan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijauan di

tenganya dan dapat pula ditemukan gambaran sel daria langhans dan atau kuman TB3.

Pada pasien tersebut didefinisi dan diklasifikan dengan pasien TB anak yang pernah

diobati karena pasien sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (>28

dosis). Pasien dengan BB 9 kg mendapat pengobatan tuberkulosis fixed drug therapy lanjutan

karena pasien merupakan pasien TB on theray yang sudah berjalan 5 bulan. Untuk fase

intensif 2 bulan RHZ 2 tablet dan fase lanjutan 4 bulan RH 2 tablet juga.

25
Tatalaksana TB anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis (pengobatan

pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan

pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB (profilaksis

primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).3

Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama

pemberian obat anti TB sebagai berikut: (1) menyembuhkan pasien TB, (2) mencegah

kematian akibat TB atau efek jangka panjangnnya, (3) mencegah TB relaps, (4) mencegah

terjadinya dan transmisi resistensi obat, (5) menurunkan transmisi TB, (6) mencapai seluruh

tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin, (7) mencegah reservasi sumber

sumber infeksi di masa yang akan datang.3

Pada pasien ditemukan status gizinya buruk sesuai pemeriksaan antropometri

berdasarkan WHO, pasien diklasifikasikan sebagai kriteria: gizi buruk, stunting. BB/U: <-

3SD, TB/U: <-3SD BB/TB: 69% (Kriteria Waterlow) dan di berikan diet TKTP.

Status gizi pada anak dengan TB akan mepengaruhi keberhasilan terapi TB. Malnutrisi

berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi harus

dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur

berat, tinggi, LLA atau pengamatan gejala dan tanda malnutrsi seperti edema atau muscle

wasting.4

Semua anak dengan gejala yang merujuk pada tuberkulosis dan juga ada riwayat kontak

dengan pasien TB harus dilakukan tes untuk mencari infeksi tuberkulosis. Rata-rata 30-50%

kontak serumah dengan pasien positif TB juga turut tertular dan 1% memang sudah dengan

penyakit TB. Program ini diharapkan dapat berjalan dengan baik jika ada respon yang efektif

dan adekuat dari masyarakat dan petugas kesehatan layanan primer untuk pemberian edukasi.

Pemberian vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) merupakan satu-satunya vaksin yang

dapat melawan TB. Vaksin BCG merupakan vaksin dari strain M.Bovis pemberian biasanya

26
intradermal diberikan mulai usia 0-2 bulan berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter

Anak Indonesia) tahun 2017.2,5

Bagaimanapun, support dari keluarga terdekat dan kepatuhan minum obat merupakan

salah satu parameter berhasilnya pengobatan dan dapat menurunkan angka mortalitas dan

morbiditas dari penyakit TB ini sendiri.

BAB V

PPENUTUP

Kesimpulan

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya. Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan

gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak

terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa

secara klinik.karena itu perlu Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti untuk dapat

mencurigai ke arah TB.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana Tuberkulosis

Anak. Bakti Husada: 2016.

2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. Ed II. Jakarta: 2009.

3. Lindsay HA, Starke JR. Chap 215 Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis) in

Nelson Textbook of Pediatric. 20th edition. Vol 2. Canada: Elsevier; 2015.

4. Putra, Septia. Tuberkulosis Anak dan Gizi Buruk. Universitas Muhammadiyah

Semarang. 2017: 1-10.

5. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberculosis Anak. Depkes-

IDAI. 2016

28
29

Anda mungkin juga menyukai