Anda di halaman 1dari 146

HUKUM WARIS

NGABIDIN NURCAHYO, S.H., M.H.

Pendidikan :

• S1 Universitas 17 Agustus
1945 Samarinda
• S2 Universitas Merdeka
Malang
Profesi :

• Direktur FIRMA HUKUM


EAGLE WAY
• Dosen
• Wiraswasta

E-Mail : welbecka@gmail.com
Hp: 0811594482
WA: 081351303300

Jl. Pupuk Raya Perum PBS Blok F3


No. 4 RT. 50 Kel. Belimbing Kec.
Bontang Barat Kota Bontang
PENGERTIAN HUKUM WARIS
PENGERTIAN HUKUM WARIS :

Hukum waris diatur dalam buku kedua Bab XII pasal


830-1130 BW, adalah hukum yang mengatur
peralihan harta kekayaan yang di tinggalkan
seseorang yang meninggal dunia serta akibat-
akibatnya bagi ahli waris.

SYARAT PEWARISAN :

1. Ada pewaris yang meninggal dunia / diduga


telah meninggal dunia;
2. Ada harta warisan;
3. Ada ahli waris.
MENURUT B.W PENDUDUK INDONESIA TERBAGI
MENJADI 3 GOLONGAN

1. Warga negara Indonesia Asli


(Bumiputera)

2. Warga negara Indonesia Timur Asing,


yang terdiri dari :
o Timur Asing keturunan Tionghoa.
o Timur Asing bukan keturunan Tionghoa
(Arab, India, dan lain-lain)

3. Warga negara Indonesia keturunan Eropa.


HUKUM WARIS BW BERLAKU UNTUK 3 GOLONGAN WARGA
NEGARA

1. Bagi orang-orang Indonesia asli (Bumiputera) pada pokoknya


berlaku hukum adatnya yang berlaku di berbagai daerah yang
disebabkan oleh berbagai faktor, bagi warga negara Indonesia
asli yang beragama Islam terdapat pengaruh nyata dari hukum
islam.

2. Bagi golongan Timur Asing.

a. Timur Asing keturunan Tionghoa, berdasarkan Stb. 1917 – 129,


berlaku hukum waris BW (buku II titel 12 sampai dengan 18,
pasal 830 sampai dengan 1130).

b. Timur asing lainnya (India, Arab, dll) berlaku hukum waris


adat mereka masing-masing yang tumbuh dan berkembang
di Indonesia, kecuali untuk wasiat umum berdasar Stb. 1924
– 556 tunduk pada BW.

3. Bagi golongan Eropah yang tunduk pada hukum waris BW.


TERJADINYA PEWARISAN

Kapan terjadinya pewarisan (warisan


terbuka) :

Pasal 830 B.W menyatakan bahwa


pewarisan hanya terjadi karena kematian.
Jadi jelaslah bahwa kematian seseorang
tersebut merupakan syarat utama dari
terjadinya pewarisan.

Dengan meninggalnya seseorang tersebut


maka seluruh harta kekayaannya beralih
kepada ahli waris.
SYARAT – SYARAT AHLI WARIS
1. Mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris,
yang timbul karena :
a. Hubungan darah (pasal 832 BW)
b. Karena wasiat (pasal 874 BW)

2. Harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris


meninggal dunia (pasal 836 BW), dengan tetap
memperhatikan ketentuan dari pasal 2 BW, yang
menyatakan bahwa anak yang masih dalam
kandungan di anggap telah lahir jika kepentingan si
anak itu menghendaki, jika dilahirkan mati maka di
anggap tidak pernah ada.

3. Ahli waris yang tidak dinyatakan tidak patut


menerima warisan atau orang yang menolak harta
warisan.
Pasal 838 B.W menentukan : Orang yang dianggap tidak
pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak
berhak mewaris, adalah :

1. Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau


mencoba membunuh orang yang meninggal itu;(KUHP 53,
338, 340.)

2. Dia yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan


karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap
pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima
tahun atau hukuman yang lebih berat lagi; (KUHPerd. 1372
dst.; Sv. 7 dst., IR. 44; KUHP 311, 317.)

3. Dia yang telah menghalangi orang yang meninggal itu


dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat
atau menarik kembali wasiatnya; (KUHPerd. 875, 992 dst.)

4. Dia yang telah menggelapkan, memusnahkan atau


memalsukan wasiat orang yang meninggal itu. (KUHPerd.
833, 839, 912.)
PENGGOLONGAN AHLI WARIS
DAN BAGIANNYA
Dalam hukum waris menurut Bergerlijk Wetboek,
dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu
:

Golongan I :Golongan ini terdiri dari anak dan


keturunannya ke bawah
tanpa batas beserta janda/duda

Golongan II :Golongan II terdiri dari ayah dan/atau


ibu si pewaris beserta
saudara dan keturunannya sampai
derajad ke 6.

Golongan III :Golongan III terdiri dari keluarga


sedarah menurut garis lurus ke
atas.

Golongan IV :Golongan IV terdiri dari keluarga


sedarah dalam garis ke
samping yang lebih jauh sampai derajad
ke 6
GOLONGAN I
PASAL 852 B.W MENENTUKAN, BAHWA :

Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar


dilahirkan dari lain-lain Perkawinan sekalipun, mewarisi
dari kedua orang tua , kakek, nenek atau semua
keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus
ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki atau
perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran
lebih dahulu.

Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si


meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke
satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri
sendiri; mereka mewaris pancang demi pancang, jika
sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka
bertindak sebagai pengganti.
HARTA CAMPUR
Seorang laki-laki bernama A, kawin dengan seorang wanita
bernama B, dari perkawinan ini terdapat/menghasilkan dua
orang anak yaitu C dan D. Dalam perkawinan A membawa
harta sejumlah Rp. 100.000.000,00 , B memiliki harta
sejumlah 20.000.000,00 rupiah. Karena sakit, A meninggal
dunia. Jumlah seluruh harta menjadi Rp. 120.000.000,00
akan tetapi A memiliki hutang pada E sebesar Rp.
15.000.000,00 dan B memiliki hutang kepada F sebesar Rp.
2.000.000,00 Ongkos perawatan sebesar Rp. 3.000.000,00
dan ongkos pemakaman dan peti jenazah sebesar Rp.
5.000.000,00 bagaimana penyelesaiannya?
DALAM HAL HARTA CAMPUR
Dalam hal harta campur, maka pembagiannya adalah sebagai
berikut.

Seluruh harta campur (boedel) dicatat / di interventariseer, baik


yang berasal dari suami maupun dari istri, baik yang diperoleh
selama perkawinan ataupun selama belum perkawinan.

Dilunasi apa-apa yang menjadi beban boedel.

Sisanya dibagi dua, ½ (separoh) untuk suami/istri yang masih


hidup, sedangkan ½ (separohnya) lagi menjadi harta warisan.
Harta warisan ini dikurangi dengan ongkos-ongkos yang menjadi
beban warisan, barulah sisannya dibagikan kepada ahli waris.
DALAM HAL PERSATUAN UNTUNG-RUGI
Jika salah satu (suami/istri) meninggal dunia, maka cara
pembagiannya adalah sebagai berikut.

1. Harta pribadi kembali ke asal.

2. Hutang pribadi dilunasi dengan harta pribadi.

3. Hutang persatuan dilunasi dengan harta persatuan dan jika


terjadi kerugian maka ditanggung berdua.

4. Harta pribadi si mati di tambah dengan sisa harta persatuan


menjadi harta warisan, dan selanjutnya dibagi untuk para ahli
waris.
DALAM HAL HARTA PERSATUAN HASIL DAN
PENDAPATAN

Dalam hal ini maka prosesnya seperti pada proses


pembagian B, hanya saja jika terjadi kerugian
ditanggung oleh Suami.

DALAM HAL HARTA TERPISAH SAMA SEKALI

Disini karena tidak ada harta persatuan maka harta


pribadi kembali ke masing-masing, dan selanjutnya
harta pribadi si mati dikurangi dengan utang-
utangnnya menjadi harta warisan.
GOLONGAN II

Golongan II ini terdiri dari orang tua (ayah dan/atau


ibu si meninggal dunia dan saudara-saudara si
meninggal dunia).
Ketentuannya adalah sebagai berikut :
Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih
hidup
Ayah dan ibu si meninggal masih hidup, kalau ada
satu saudara masing-masing menerima 1/3 bagian.
R meninggal dunia, maka pembagian harta
warisannya adalah sebagai berikut.
A dan B masing-masing 1/3, jadi berdua (A dan B) =
2/3. C menerima 1 – 2/3 = 1/3.
GOLONGAN II

Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan ¼ jika


ada dua saudara atau lebih.
A B

P meninggal dunia, maka pembagiannya adalah


sebagai berikut :

A dan B masing-masing mendapat ¼, jadi 2 orang


mendapat ½, sisanya dibagi untuk C dan D, masing-
C D
masing ½X½ = ¼ P+
GOLONGAN II

Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih


hidup
A B
Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan ¼ jika
ada dua saudara atau lebih.

S meninggal dunia, maka pembagiannya adalah


sebagai berikut :
F
A dan B masing-masing ¼, jadi keduanya ½. sisanya
E
= 1- ½ = ½ dibagi 4, untuk C, D, E dan F,masing- C D
S+
masing menerima :
¼ x ½ = 1/8;Demikian seterusnya.
GOLONGAN II

Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih


hidup

A+ B
Jika ayah atau ibu saja yang ada bersama dengan
satu orang saudara, maka pembagiannya adalah
sebagai berikut :

Ayah/ Ibu masih hidup, mendapat ½ bagian,


kemudian sisanya yaitu 1 – ½ = ½ untuk saudara. C P+
GOLONGAN II

Akan tetapi jika ayah/ibu tersebut bersama-sama


dengan dua orang saudara atau lebih maka, ayah
atau ibu mendapat 1/4.
A B+

T meninggal dunia denga ahli warisnya yaitu ayah,


dan 5 orang saudaranya, yaitu C, D, E, F dan G. Maka
pembagiannya adalah :

G
Ayah = 1/4, sisa 1 – 1/4= 3/4. C T+ D E F

C = D = E = F = G = 1/5 x 3/4= 3/20.


GOLONGAN II

Dalam hal ayah dan ibu sudah meninggal


sedangkan ahli waris adalah sudara-saudaranya
saja, maka pembagiannya adalah dibagi rata.
A+ B+
Q meninggal dunia, ahli warisnya adalah R, S, T dan
U. Maka masing-masing mendapat bagian yang
sama, R = S = T = U yaitu ¼.

R Q+ T U
S
GOLONGAN II
Jika pewaris meninggalkan saudara-saudara yang
berasal dari perkawinan yang berbeda dan ayah serta
ibu masih hidup.
Ahli waris P : A dan B (ayah dan ibu), C (saudara
kandung), D (saudara seayah) A B
X L+
E (saudara seibu) Pembagiannya : +

A = B masing-masing ¼, jadi A dan B total ½ . sisanya


(1- ½ = ½), dibagi dua, masing-masing ½ X ½ = ¼
untuk saudara dari garisw ayah dan sisanya untuk
saudara dari garis ibu. Jadi untuk garis ibu dibagi
untuk C, E dan F = 1/3 X ¼ = 1/12 sedangkan untuk D P C E F+
+ `
garis ayah dibagi untuk : D dan C, masing-masing = ½
X ¼ = 1/8. A = B = ¼; D= 1/8; C = 1/12 + 1/8 = 2/24 +
3/24 = 5/24; E = F = 1/12.
GOLONGAN II

Jika ayah atau ibu saja yang masih hidup. Jika tinggal
ayah atau ibu saja yang masih hidup yang mewaris
bersama-sama saudara sekandung, seayah dan
seibu, maka pembagiannya adalah sebagai berikut :
P meninggal dunia, dengan ahli waris yang terdiri dari
+ L+
: A (ayah ); B (ibu);D ( saudara kandung );C ( saudara
seayah );E dan F (saudara seibu) Pembagiannya :
Sisanya 1 – ¼ = ¾ bagian, terlebih dahulu dibagi dua,
masing-masing untuk garis ayah dan garis ibu = ¾ X
½ = 3/8. Untuk garis ibu dibagi antara D, E, dan F yang C D P+ E F+
`
masing-masing menerima 1/3 X 3/8
Untuk garis ayah dibagi dua untuk D dan C, masing-
masing ½ X 3/8 = 3/16. Jadi : A,B menerima ¼; D
menerima 1/8 + 3/16 = 5/16; E = F = 1/8
GOLONGAN II
jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia,
sedang ahli waris terdiri dari saudara seayah,
saudara seibu dan saudara kandung.

Kasus :
P meninggal dunia, orang tuanya telah meninggal
dunia, ahli warisnya terdiri dari C (saudara seayah),
D (saudara kandung) dan E, F (saudara seibu).

Penyelesaiannya adalah, harta warisan dibagi dua, ½


untuk saudara/ dari garis ayah dan ½ nya lagi unhtuk
saudara / dari garis ibu. Untuk garis ayah, maka
harta dibagi untuk D dan C, jadi masing-masing
menerima ½ X ½ = ¼ . Untuk yang dari garis ibu dibagi
untuk D, E dan F, sehingga masing-masing menerima
1/3 X ½ = 1/6.
GOLONGAN III
Seandainya ahli waris dari golongan I dan golongan II tidak
ada, maka yang menjadi ahli waris adalah yang berasal
dari golongan III, yang mana ahli waris golongan III ini
terdiri dari keluarga sedarah adalah garis lurus ke atas
(kakek, nenek dan seterusnya ke atas).

Cara pembagian dari/untuk golongan III ini ialah mula-mula


harta warisan kita bagi dua (kloving), masing-masing untuk
garis keluarga sedarah lurus ke atas dari garis ayah ½ dan
sisanya untuk garis keluarga sedarah lurus ke atas dari
garis ibu. Dalam tiap-tiap belahan, keluarga yang
derajadnya sama mendapat bagian yang sama, dan
keluarga yang derajadnya terdekat menutup yang jauh.
GOLONGAN III

½ bagian untuk garis ibu ½ bagian untuk garis ayah,


untuk garis ibu diterima oleh B yaitu ½ bagian dan
untuk garis ayah diterima oleh C dan D, masing-
masing ¼ bagian. +

B+ C D
Dari skema tersebut, maka yang untuk garis ayah di +
E
terima oleh E saja, yaitu ½ bagian dan yang untuk
garis ibu diterima oleh C dan D, dan masing-masing
menerima ½ x ½ = ¼ bagian. A+
GOLONGAN IV
Ahli waris dari golongan IV, terdiri dari keluarga dalam garis
ke samping sampai derajad ke 6, yaitu :
Paman dan bibi, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Keturunan paman dan bibi, sampai derajad ke 6 dihitung dari
si meninggal dunia.
A B E F G 1+ I J
+ +
C D

+
+

P+
Perlu untuk diingat bahwa ahli waris golongan
III dan golongan IV dapat secara bersama-
sama mewaris, asal mereka berlainan garis.
P meninggal dunia. Ahli waris dari garis ayah
adalah A dan B yang berasal dari orang tua
golongan III (P), sedangkan R, S dan T dari
garis ibu dan merupakan ahli waris turunan
golongan IV. Pembagiannya adalah, mula-mula
harta warisan kita bagi dua, selanjutnya
setengah bagian untuk garis ayah, yang secara
rata dibagi untuk A dan B, sehingga masing-
masing menerima ¼ bagian, dan sisanya untuk
yang berasal dari garis ibu yang secara rata
dibagi untuk R, S dan T sehingga mereka
masing-masing menerima ½ x 1/3 = 1/6 bagian.
Perlu untuk diingat bahwa ahli waris golongan
III dan golongan IV dapat secara bersama-
sama mewaris, asal mereka berlainan garis.
P meninggal dunia. Ahli waris dari garis ayah
adalah A dan B yang berasal dari orang tua
golongan III (P), sedangkan R, S dan T dari
garis ibu dan merupakan ahli waris turunan
golongan IV. Pembagiannya adalah, mula-mula
harta warisan kita bagi dua, selanjutnya
setengah bagian untuk garis ayah, yang secara
rata dibagi untuk A dan B, sehingga masing-
masing menerima ¼ bagian, dan sisanya untuk
yang berasal dari garis ibu yang secara rata
dibagi untuk R, S dan T sehingga mereka
masing-masing menerima ½ x 1/3 = 1/6 bagian.
PEWARISAN KARENA KLOVING
A meninggal dunia ; tetapi sebelum itu ayah ibunya telah lebih
D E F G dahulu meninggal dunia.
Dari garis/pancer ayah (B) A meninggalkan ahli waris kakek dan

C nenek (D dan E).


B
+ Dari garis/pancer ibu (C), A meninggalkan ahli waris kakek dan
X
A nenek juga (F dan G)

X A meninggal harta warisan sebesar Rp. 4.000.000,-


Cara membagi harta warisan sebagai berikut :

Harta warisan Rp. 4.000.000,- itu dibagi dua terlebih dahulu.


½ bagian (yaitu ½ x Rp. 4.000.000,-) harus diberikan pada kakek dan nenek dari garis
ayah yaitu (D – E), dan setengah bagian yang lain yaitu ½ x Rp. 4.000.000,-) harus
diberikan pada kakek dan nenek dari garis ibu (yaitu F dan G).
Dari garis ayah:
Ahli waris yang ada D dan E ; karena keduanya mempunyai hak yang sama maka harta
warisan yang sebesar Rp. 2.000.000,- itu harus dibagi rata, sehingga:
D mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
E mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
Dari garis ibu:
Ahli waris yang ada F dan G ; karena keduanyapun mempunyai hak yang sama, maka
harta warisan yang sebesar Rp. 2.000.000,- itu harus dibagi rata sehingga :
F mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
G mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-.
Dalam hal ini, harta warisan dibagi dua (kloving), setengah
bagian untuk keluarga sedarah dari garis ayah yaitu K, L
dan M sehingga bagian dari K= L = M = ½ x 1/3 yaitu 1/6.

Dan sisanya dibagi untuk keluarga sedarah dalam garis


ibu, yaitu G dan H, dan mereka masing-masing menerima ½
x ½ = ¼ bagian.

Perlu untuk diingat bahwa ahli waris golongan III dan


golongan IV dapat secara bersama-sama mewaris, asal
mereka berlainan garis.
PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN
BW (Burgerlijk Wetboek) memberikan kedudukan tersebut bagi
anak luar kawin. Dalam hal ini pengertian anak luar kawin ada 3
(tiga) macam, yaitu :
1. Anak yang dilahirkan akibat dari hubungan antara laki-laki
dengan perempuan yang kedua-duanya diluar ikatan
perkawinan, yang dsebut dengan anak alami (natuurlijk kind),
anak ini dapat diakui.
2. Anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita, yang salah satu atau kedua-duanya
terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Anak ini disebut
anak zina (overspelige kinderen) dan anak ini tidak dapat
diakui.
3. Anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan dimana satu sama lainnya
menurut ketentuan undang-undang dilarang kawin. Anak ini
disebut dengan anak sumbang (in bloedschande gateelde
kinderen). Anak ini tidak dapat diakui, kecuali jika kedua orang
tua mereka mendapat dispensasi untuk kawin dari presiden.
CARA PEMBAGIAN HARTA
WARISAN JIKA ADA ANAK LUAR
KAWIN

Untuk menyelesaikan pembagian harta warisan, jika


terdapat anak luar kawin, maka mula-mula bagian dari
anak luar kawin diberikan terlebih dahulu, kemudian
sisanya baru dibagi kepada ahli waris yang lainnya
menurut ketentuan undang-undang.
Untuk anak zinah (overspelige kinderen) dan anak
sumbang, menurut pasal 867 BW tidak berhak atas harta
waris kecuali hanyalah berhak atas nafkah (allimentatie).
ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI
SEPANJANG PERKAWINAN
MEWARIS BERDASAR PASAL 863
Pengakuan terhadap anak luar kawin hanyalah bersifat
persoonlijk, artinya bahwa dengan pengakuan tersebut
timbul hubungan hukum antara anak luar kawin dengan
ayah/ibu yang mengakui saja.
Pengakuan tersebut harus dilakukan dengan cara-
cara tertentu, yaitu menurut pasal 281 BW di dalam akta
kelahiran si anak, atau dalam akta perkawinan bapak dan
ibu di muka pegawai Catatan Sipil, atau dibuat akta
tersendiri di hadapan notaris atau akta Catatan Sipil.
Jikalau pengakuan tersebut dilakukan sepanjang
perkawinan, maka menurut ketentuan dari pasal 285 BW,
harus tidak boleh merugikan istri atau suami dan anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan itu.
Atau dengan kata lain, bahwa dalam
memperhitungkan warisan suami atau istri dan anak-anak
mereka yang dilahirkan dalam perkawinan itu maka anak
luar kawin dianggap tidak ada.
Contoh 1 :

A+ B

E D
C

A meninggal dunia dengan meninggalkan B, istrinya. Dan 2 anak yaitu C dan D serta E anak luar
kawin yang diakui dalam perkawinan A dan B. Dalam kasus ini maka menurut pasal 285 BW, E
tidak mendapat apapun yang mewaris adalah C, D dan B, kecuali E diakui sebelum perkawinan.
Berapa bagian warisan dari anak luar kawin, adalah tergantung dari keadaan, dengan
siapa/bersama-sama dengan siapa anak luar kawin tersebut mewaris.
Contoh Golongan 1:
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan I, maka
bagiannya adalah 1/3 bagian dari yang diterima jia ia dilahirkan sebagai anak yang
S sah (pasal 863 BW) S meninggal
T dunia.
Ahli waris : T istrinya, V dan W, anak
kandungnya, serta E, seorang anak luar
kawin yang diakui sebelum perkawinan.
E V W
Penyelesaiannya :
Bagian dari E adalah 1/3 X seandainya ia anak yang sah, untuk memperhitungkan maka
mula-mula E dianggap anak yang sah, maka bagiannya adalah ¼.
Jadi bagian E adalah = 1/3 x seandainya ia anak yang sah, jadi
1/3 x ¼ = 1/12.
Sisa = 1 – 1/12 = 11/12.
Untuk T = V = W yaitu masing-masing menerima 1/3 x 11/12.
Contoh Golongan 2 :
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan golongan II dan III maka menurut
ketentuan pasal 863 ayat 2 : “Jika waris hanya meniggalkan keluarga dalam garis ke atas
dan saudara-saudar, maka anak luar kawin menerima ½ dari seluruh warisan. Jika ia
mewaris bersama-sama keluarga dalam garis menyimpang, maka ia menerima bagian ¾
dari seluruh warisan”.
P meninggal dunia, dengan meninggalkan
ayah dan ibunya (R dan S), satu saudara
R
S kandung (D) dan seorang anak luar kawin
yaitu E.
Pembagiannya :
E mendapatkan ½ dari seluruh harta
P+ D warisan sisanya (1/2), dibagi rata
antara R, S dan D, masing-masing
E menerima 1/3 x ½ = 1/6.
Contoh Golongan 3 :
F meninggal dunia dengan meninggalkan
K L + C kakek dan nenek dari pihak ayah (K dan
L), nenek dari pihak ibu (C) dan seorang
anak luar kawin (E).
Pembagiannya :
E mendapatkan ½ dari seluruh harta
warisan.
sisanya ( ½ ), dibagi dua, untuk
F+ garis ayah ½ x ½ = ¼

E
dan selanjutnya dibagi dua untuk K dan L, jadi mereka masing-masing menerima ½ x
¼ = 1/8. Dan yang ¼ berikutnya untuk garis dari ibu, yaitu C.
Contoh Golongan 4 :
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris dari golongan IV, maka
bagiannya adalah ¾ dari seluruh warisan (863 ayat 3 BW)G meninggal dunia, dengan
meninggalkan keponakan dalam derajad ke-6 2 orang yaitu C dan
D dan seorang anak luar kawin, yaitu E.

+ +

Pembagiannya adalah, untuk E ¾ dari


+ + +
+ seluruh harta.Sisanya = ¼ dibagi untuk C
dan D, jadi masing-masing menerima 1/8
+ bagian.
+ +
G
+
+

E
C D
Yang Berhak Mewaris Harta Anak
Luar Kawin

Jika seorang anak luar kawin meninggal dunia, dan ia


merupakan anak luar kawin yang diakui, maka yang berhak
mewaris hartanya adalah:
Keturunannya, istri / suami (866 BW),
Bapak dan/atau ibu yang mengakuinya serta saudara-
saudaranya beserta keturunannya (870 BW).
Oleh pasal 871 BW diatur tentang pewarisan terhadap
barang=barang yang ditinggalkan oleh orang tuanya dulu.
Dan jika barang tadi masih ujud semula, sedangkan anak
luar kawin tadi tidak meninggalkan istri/suami maka barang
tadi kembali kepada keturunan dari ayah/ibu yang mengakui.
CARA PEWARISAN BERDASARKAN UU
(AB INTESTATO)
a. Atas dasar kedudukan sendiri
Penggolongan ahli waria berdasarkan garis
keutamaan
• Golongan I Ps. 852-852a KUHPerdata
• Golongan II Ps. 855 KUHPerdata
• Golongan III Ps. 850 yo 858 KUHPerdata
kloving
• Golongan IV Ps. 858 s.d 861 KUHPerdata
b. Berdasarkan penggantian
Syarat penggantian → orang yang digantikan telah meninggal terlebih dahulu dari
pewaris
GOL I Suami / Istri berserta keturunannya

Pasal 852 BW

GOL II Orang tua dan saudara kandung

Pasal 854 s.d 857 BW


GOL III Kakek +Nenek ( ke atas)
Pasal 850 s.d 853 BW

Pada gol.III terjadi kloving → ½ harta untuk keluarga ibu dan ½ untuk
keluarga ayah, keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas → pasal
850 dan 853 KUHPerdata
GOL IV Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke-6 (pasal
858) → paman+bibi
MACAM MACAM PENGGANTIAN TEMPAT

Ø Dalam garis lencang kebawah tanpa batas → pasal


842 KUHPdt;
Ø Dalam garis menyamping; saudara digantikan anak-
anaknya pasal 844 KUHPerdata;
Ø Penggantian dalam garis samping dalam hal ini yang
tampil adalah anggota keluarga yang lebih jauh
tingkat hubungannya daripada saudara, misalnya
paman, bibi, atau keponakan;
SYARAT-SYARAT UNTUK
PENGGANTIAN TEMPAT
1. Penggantian tempat ini hanya berlangsung jika ahli
waris yang sah telah meninggal dunia. Pasal 847 BW
menyatakan bahwa, “tidak seorangpun diperbolehkan
bertindak untuk orang yang masih hidup sebagai
penggantinya”.
2. Orang yang bertindak sebagai pengganti haruslah
keturunan yang sah dari orang yang digantikan
tempatnya. Dengan demikian untuk anak luar kawin,
janda, duda tidak dapat menggantikan tempat.
3. Seorang pengganti haruslah memenuhi syarat
sebagaimana ahli waris lainnya, yaitu :
a. Harus sudah ada dan masih ada ketika pewaris
meninggal dunia.
b. Tidak menolak warisan.
c. Bukan orang yang dinyatakan tidak patut
menerima warisan.
MACAM PENGGANTIAN TEMPAT

1. Penggantian tempat menurut pasal 842 BW.


Penggantian tempat menurut pasal ini ialah penggantian tempat
dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung lurus tiada akhirnya.
Dalam segala hal, penggantian tempat seperti di atas selamanya
diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa orang anak si meninggal
mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal
terlebih dahulu maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama,
dimana satu sama lainnya bertalian dalam keluarga yang berbeda derajadnya.
Contoh I :

P+ 1962 + P meninggal dunia pada tahun 1962 dengan


meninggalkan seorang anak yang bernama F
dan dua orang cucu yaitu Ga dan Gb yang
merupakan anak dari G yang telah meninggal
dunia pada tahun 1959.

G F Penyelesaiannya :
Ahli waris P adalah F, Ga dan Gb sebagai
pengganti G. Maka Pembagiannya sebagai
berikut. F = Ga dan Gb = ½ jadi F = ½
Ga = Gb = ½ X ½ = ¼.
Ga Gb
Contoh II :
A+ A meninggal dunia dengan ahli waris :
Cucu Ra, anak dari R yang telah meninggal.
Cucu-cucu Ka dan Kb anak dari K yang
K+ telah meninggal terlebih dulu. Sa dan Sb
+
anak dari S yang telah meninggal, S anak
S+ R
+
A. Sca dan Scb, cicit A, anak Sc yang telah
meninggal terlebih dulu.
Pembagiannya :
Sc+ Sb Sa Ra Ka Kb Harta warisan dibagi dulu, untuk R = S,
masing-masing 1/3. Baru selanjutnya
dibagi per kepala. Ra menggantikan R =
1/3
Sca Scb Ka dan Kb menggantikan K, masing-masing
menerima : ½ x 1/3 = 1/6.
Sa = Sb = Sc = 1/3 x 1/3 = 1/9.
Sca = Scb menggantikan Sc masing-masing
menerima : ½ x 1/9 = 1/18.
Contoh III :

A+
1967

A meninggal dunia pada tahun 1967


dengan ahli : waris ½ Ba menggantikan B,
C+ B+ Ca dan Cb menggantikan C. E anak luar
kawin dari B tidak dapat menggantikan
tempat B.

Ca Cb E Ba
Contoh IV :

A+

Ahli waris A :
B. Ca, Cb menggantikan C yang telah
B C+ meninggal. Ea dan Eb menggantikan E
E+
anak luar kawin. Jadi kedudukan anak luar
kawin dapat digantikan oleh anaknya.

Ea Eb Ca Cb
Contoh IV :

+ 1960 Menurut pasal 848 BW dikatakan bahwa,


“seorang anak mengganti kedudukan orang tua
tadi, bahkan bolehlah terjadi seorang pengganti
orang lain yang telah menolak menerima
1950 warisan”.
C meninggal dunia pada tahun 1950 dengan
B C+ meninggalkan D, namun D menyatakan menolak
warisan dari C. Tahun 1960 A meninggal dunia,
ahli warisnya B, dan D menggantikan C.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa,
D
walaupun D menolak warisan dari C, namun D
masih dapat menerima warisan dari A karena
kedudukan D menggantikan C.
2. Penggantian tempat menurut pasal 844 BW
Penggantian tempat menurut pasal 844 BW ini adalah dalam garis
menyimpang penggantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak
dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal
terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau
bibi mereka walaupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si
meninggal lebih dahulu, harus dibagi antara sekalian keturunan mereka
yang mana satu dengan yang lainnya bertalian keluarga dalam golongan
yang tidak sama.
Contoh :

A meninggal pada tahun 1965, C meninggal


tahun 1963, maka ahli ahli warisnya adalah :
B saudara dari A Ca dan Cb menggantikan
kedudukan C.
C 1958
Dari ketentuan pasal 844 BW tersebut perlu
A+
diingat tentang adanya pasal 861 BW yang
B
1965 menyatakan bahwa keluarga sedarah yang
dengan si mati bertalian keluarga dalam garis
+ + menyimpang lebih dari derajad ke-6 tidak
berhak mewaris.
3. Penggantian tempat menurut pasal 845 BW
Menurut pasal ini, penggantian tempat dalam garis meyimpang
diperbolehkan juga bagi keponakan apabila di samping mereka yang
mempunyai pertalian darah terdekat masih ada keturunan dari saudara
daripada orang yang mempunyai pertalian darah terdekat tadi.
Contoh Kasus :

A meninggal dunia, ia meninggalkan ahli waris


dalam garis ke samping dalam derajad ke-6,
A+
1960 yaitu B, C dan D, sedangkan D telah meninggal
lebih dahulu daripada A dengan meninggalkan
Da, Db dan Dc. Dalam penggantian tempat
perlu untuk diperhatikan ketentuan dari pasal
858 BW, yang menyatakan bahwa bagi para
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas
D tidak ada penggantian tempat, karena
keluarga terdekat dalam tiap-tiap garis
B C mengesampingkan segala keluarga di dalam
Da Db Dc pertalian yang lebih jauh.
MEWARIS KARENA DIRI SENDIRI
(UIT EIGEN HOOFDE)
Mewaris karena diri sendiri (Uit Eigen Hoofde) seperti
yang diatur dalam pasal 480 BW, ialah bahwa anak dari
seseorang yang telah dinyatakan tidak patut menerima
warisan (onwaardig) ataupun anak dari orang yang
menolak warisan berhak untuk menerima warisan
karena dirinya sendiri.

Contoh I :

A+ A meninggal dunia. B
dinyatakan tidak patut
menerima warisan
B (onwaardig), maka C dan D
(onwaardig) menerima warisan karena
diri sendiri (uit eigen
C D hoofde).
Contoh II :
A meninggal dunia. B dan C
menolak warisan. D, E, F, G
menerima warisan karena
diri (Uit eigen hoofde).
A+

C
B

D E F G
MEWARIS KARENA TESTAMENTAIR
TESTAMENT

Pengertian Testament :
Pasal 875 KUHPerdata → suatu akta
yang memuat tentang apa yang
dikehendaki terhadap harta setelah ia
meninggal dunia dan dapat dicabut
kembali Pernyataan sepihak.
Unsur-unsur testament :
a. Akta
b.Pernyataan kehendak
c. Apa yang akan terjadi
setelah ia meninggal
terhadap harta
d.Dapat dicabut kembali
Syarat-syarat membuat testament :
1. Dewasa → 18 tahun (cakap
bertindak).
2. Akal sehat.
3. Tidak dapat pengampuan.
4. Tidak ada unsur paksaan,
kekhilafan, kekeliruan.
5. Isi harus jelas.
Isi dari testament adalah :
a. Erfstelling → pasal 954 KUHPerdata
Testamentair erfgenaam
b. Legaat (berhubungan dengan harta)
→ pasal 957 KUHPerdata
Legetaris
c. Codicil (tidak berhubungan dengan
harta)
Pencabutan suatu testament :
a. Secara tegas, jika dibuat surat
wasiat baru yang isinya mengenai
pencabutan surat wasiat
b. Secara diam-diam, dibuat testament
baru yang memuat pesan-pesan
yang bertentangan dengan
testament lama.
TIMBULNYA WARIS
TESTAMENTAIR
hukum waris testament timbul atas dasar
prinsip bahwa setiap orang berhak atau bebas
untuk berbuat apa saja terhadap harta
bendanya. Demikian juga orang tersebut bebas
untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa saja
yang diingini walaupun demikian masih juga
ada batas-batas yang diizinkan oleh undang-
undang.
DASAR HUKUM WARIS
TESTAMENTAIR

Dasar hukum dari waris testamentair adalah


pasal 874 BW yang menyatakan bahwa,
“Segala harta peningga lan seseorang yang
meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian
ahli waris menurut ketentuan undang-undang,
sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak
telah diambil suatu ketetapan yang sah”.
Dari ketentuan Pasal 874 BW dapatlah kita tarik suatu
kesimpulan bahwa :
1. Dengan surat wasiat si pewaris dapat mengangkat
seorang atau beberapa orang ahli waris, dan pewaris
dapat memberikan sesuatu kepada seseorang atau
kepada beberapa orang.
2. Terdapat suatu kemungkinan bahwa harta warisan
tersebut yang merupakan peninggalan seseorang
dibagi berdasar undang-undang (sebagian) dan
selebihnya berdasar surat wasiat.
3. Ahli waris yang berdasarkan terstamen lebih
diutamakan daripada ahli waris menurut undang-
undang.
PENGERTIAN WASIAT
Pengertian wasiat dapat diketahui dari pasal 875 BW, yang
menyatakan bahwa, “Surat wasiat ialah sesuatu yang memuat
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki atau terjadi
setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut
kembali”.

Dari pengertian ini maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa


ciri-ciri surat wasiat adalah :
1. Merupakan perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali.
2. Merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan
hukum setelah pewaris meninggal dunia.

Dengan melihat ciri pokok dari testamen/surat wasiat tersebut


maka terdapat suatu larangan untuk membuat wasiat yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama untuk
menguntungkan satu dengan yang lainnya maupun untuk
kepentingan pihak ketiga dalam suatu akta (930 BW).
JENIS-JENIS SURAT WASIAT

BW (Burgerlijk Wetboek) mengenal tiga macam/jenis


cara pembuatan surat wasiat, yaitu :
1. Surat wasiat yang ditulis sendiri (olografis)
2. Surat wasiat tak rahasia (openbaar)
3. Surat wasiat rahasia (geheim)

Ketiga jenis surat wasiat tersebut di atas memerlukan


campur tangan notaris dalam pembuatannya.
SURAT WASIAT OLOGRAFIS
Surat wasiat olografis, oleh Burgerlijk Wetboek di atur dalam pasal 931 dan
seterusnya.
Dalam ketentuannya, surat wasiat ini seluruhnya harus ditulis dan
ditanda tangani oleh si pewaris dan kemudian disimpan oleh Notaris, pada
waktu menyimpan haruslah dihadiri oleh dua orang saksi.
Sewaktu menyerahkan kepada Notaris tersebut, mungkin terjadi
bahwa surat wasiat tersebut sudah dimasukkan dalam sampul dan disegel. Jika
denikian maka pada sampul, si peninggal warisan dan saksi mencatat bahwa
itu merupakan surat wasiatnya dan harus ditanda tanganinya.
Oleh Notaris dibuatkan sebuah akta tersendiri dan ditandatangani
oleh si peninggal warisan, saksi dan juga Notaris. Namun apabila surat wasiat
tersebut diserahan kepada Notaris tidak dalam keadaan disegel/tidak ditutup
yang berarti terbuka, maka akta penerimaan (akta van bewaargeving) tadi oleh
Notaris ditulis pada surat wasiat itu sendiri di bawah tulisan si peninggal
warisan. Kemudian akta tersebut ditanda tangani oleh Notaris saksi-saksi dan si
peninggal warisan.
Sewaktu menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Notaris mungkin pula si
peninggal warisan tidak dapat mendatanginya sendiri, jika terjadi demikian
maka oleh Notaris harus mencatat sebabnya hal ini menurut ketentuan pasal
932 ayat 2 BW.
Kekuatan dari testamen olografis menurut pasal 933 BW adalah sama
dengan testamen/surat wasiat tak rahasia dan pembuatannya dianggap pada
tanggal sesuai dengan akta penerimaan Notaris, dengan demikian tanggal 1
yang ditulis oleh si peninggal warisan tidak dianggap tidak ada.
Oleh ayat 2 dari pasal 933 BW, dinyatakan bahwa terbuktinya hal
bahwa terstamen/surat wasiat tersebut sampai dibuktikan sebalik nya.
Sesuai dengan maksudnya, bahwa surat wasiat adalah merupakan kemauan
terakhir dari seseorang, maka dalam hal ini testamen/surat wasiat olografis
dapat diminta kembali, jika terjadi bahwa surat wasiat tersebut diminta kembali
maka oleh notaris dibuat suatu akta autentik yang menyatakan permintaannya
kembali. Dengan dimintanya kembali surat wasiat olografis, maka dianggap
bahwa surat wasiat tersebut ditarik kembali (herroepen).
Testamen/surat wasiat olografis yang diserahkan kepada Notaris
dalam keadaan disampul yang disegel, maka Notaris tidak berhak untuk
membukanya, jika si peninggal warisan itu meninggal duniamaka oleh Notaris
diserahkan kepada Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) untuk dibuka dan
diperlakukan sebagaimana surat wasiat, sehingga diperlukan suatu proses
verbal, setelah dibuka maka surat wasiat tersebut diserahkan kembali kepada
Notaris.
SURAT WASIAT TAK RAHASIA (Openbaar Testament)

Mengenai surat wasiat tak rahasia ini, diatur dalam pasal-pasal


938 dan seterusnya. Menurut pasal 938 menentukan bahwa surat
wasiat ini harus dibuat dihadapan Notaris dan dihadiri oleh dua
orang saksi. Setelah itu maka si peninggal warisan menyatakan
kehendaknya kepada Notaris, kemudian Notaris menulisnya
dengan kata-kata yang terang, setelah hal ini sesuai dengan
kehendak si peninggal warisan, maka oleh notaris dibuatkan akta
yang harus ditanda tangani oleh Notaris, si peninggal warisan,
maka oleh Notaris, si peninggal warisan dan saksi-saksi.
SURAT WASIAT RAHASIA (GEHEIM)

Syarat-syarat pembuatan SURAT WASIAT RAHASIA ini diatur dalam pasal


940 dan 941 BW. Pembuatan surat wasiat rahasia haruslah dibaut sendiri dan
ditanda tanganinya dan dimasukkan dalam sampul yang disegel untuk
selanjutnya diserahkan kepada Notaris dengan dihadiri oleh empat orang saksi.
Di muka Notaris, si peninggal warisan kemudian menerangkan di
hadapan Notaris bahwa yang ada di dalam sampul tersebut adalah surat
wasiatnya dan yang menulisnya adalah dia sendiri atau dituliskan oleh orang
lain.
Oleh Notaris kemudian dibuatkan akta superscriptie yang dapat
dituliskan pada sampul surat wasiat atau pada kertas tersendiri dan ditanda
tangani oleh peninggal warisan, Notaris dan saksi-saksi.
SURAT WASIAT RAHASIA (GEHEIM)

Penyimpanan SURAT WASIAT RAHASIA ini haruslah bersama- sama dengan


orisinil-orisinil akta lainnya, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 940 BW.
Pasal 941 BW, menunjukkan pada suatu kemungkinan apabila si
peninggal warisan tersebut adalah bisu, jika demikian maka tetaplah harus ia
yang menulis, dan di atas akta superscriptie haruslah ia menulis bahwa surat
wasiat yang ada di dalamnya adalah surat wasiatnya dan kemudian Notaris
membuat keterangan pada akta superscriptie bahwa keterangan tertulis dari si
pembuat surat wasiat tersebut adalah ditulis dihadapan Notaris dan para saksi.
Syarat-syarat Saksi Dalam Pembuatan Surat Wasiat
Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapatnya seseorang menjadi saksi
dalam pembuatan surat wasiat adalah dimuat dalam pasal 4 BW, yang antara lain
disebutkan :
Ø Sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin.
Ø Penduduk Indonesia.
Ø Mengerti bahasa yang dipergunakan oleh si peninggal warisan dan yang
dipergunakan untuk/dalam surat wasiat.
Kemudian oleh pasal 944 ayat 2 BW, dinyatakan bahwa syarat-syarat, bagi
para saksi dalam pembuatan surat wasiat tak rahasia, saksi tidak diperbolehkan :
Ø Para ahli waris, sanak famili atau orang yang dihibahi barang-barang atau sanak-
sanaknya sampai derajad 4.
Ø Anak-anak, cucu-cucu, menantu ataupun cucu menantu Notaris.
Ø Pelayan-pelayan Notaris.
Syarat-syarat Saksi Dalam Pembuatan Surat Wasiat
Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapatnya seseorang menjadi saksi
dalam pembuatan surat wasiat adalah dimuat dalam pasal 4 BW, yang antara lain
disebutkan :
Ø Sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin.
Ø Penduduk Indonesia.
Ø Mengerti bahasa yang dipergunakan oleh si peninggal warisan dan yang
dipergunakan untuk/dalam surat wasiat.
Kemudian oleh pasal 944 ayat 2 BW, dinyatakan bahwa syarat-syarat, bagi
para saksi dalam pembuatan surat wasiat tak rahasia, saksi tidak diperbolehkan :
Ø Para ahli waris, sanak famili atau orang yang dihibahi barang-barang atau sanak-
sanaknya sampai derajad 4.
Ø Anak-anak, cucu-cucu, menantu ataupun cucu menantu Notaris.
Ø Pelayan-pelayan Notaris.
SURAT WASIAT YANG DI BUAT DI LUAR NEGERI

Ketentuan dari pasal 945 BW menyatakan bahwa seorang warga negara Indonesia yang
tunduk pada hukum perdata barat (Burgerlijk Wetboek) dapat membuat SURAT
WASIAT DI LUAR NEGERI, namun dengan suatu akta autentik dan dengan
mengikuti acara-acara yang lazim dipergunakan di negara tersebut, dan konsul Indonesia
dapat melakukan tindakan-tindakan yang lazim dilakukan oleh Notaris Indonesia.
Pembuatan Surat Wasiat Dalam Keadaan Luar Biasa

Mengenai pembuatan SURAT WASIAT DALAM KEADAAN LUAR BIASA ini


diatur oleh pasal-pasal 946, 947 dan 948 BW.
Pasal 946 BW memberikan kemungkinan pada prajurit atau seseorang yang
ada dalam dinas ketentaraan, dalam keadaan perang dapat membuat surat wasiatnya
dihadapan seorang perwira perang yang berpangkat serendah-rendahnya letnan, atau jika
tidak ada perwira maka dapat dilakukan dihadapan seorang yang pangkatnya paling
tinggi dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 947 BW memberikan ketentuan untuk membuat surat wasiat di dalam
kapal laut yang sedang berlayar. Di sini surat wasiat dibuat dihadapan Kapten dan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Jika seseorang ada di daerah terpencil yang terputus hubungan dengan luar karena
pemberontakan wabah penyakit ataupun karena bencana alam, maka surat wasiat dapat
dibuat dihadapan seorang pegawai Pamong Praja dan dihadiri sekurang-kurangnya satu
orang saksi.
Jika pembuat surat wasiat tersebut itu seorang buta huruf maka hal ini harus
diterangkan dalam surat wasiat.
Pasal 950 BW memberikan keterangan bahwa surat wasiat yang dibuat dalam
keadaan luar biasa tersebut akan menjadi tidak mempunyai kekuatan lagi (krachteloos)
jika setelah berakhirnya masa luar biasa tersebut dengan tenggang waktu 6 bulan.
ERFSTELLING DAN LEGAAT
Antara ERFSTELLING DAN LEGAAT terdapat
suatu perbedaan, dimana erfstelling adalah merupakan
penentuan dalam surat wasiat, dimana seseorang
tertentu ditunjuk untuk menerima seluruh harta
warisan atau sebagian tertentu, misalnya ½ , ¼, ¾ dan
sebagainya, hal ini dapat kita lihat dari pasal 954 BW,
sedangkan legaat adalah dimana seorang peninggal
warisan menunjuk seseorang tertentu, misalnya rumah
tertentu, seluruh barang bergerak milik peninggal
warisan, atau hak memetik/memungut hasil atas
sebagian atau seluruh harta peninggalan dan
sebagainya, yang mana hal ini dapat kita lihat dalam
pasal 956 BW.
Demikian juga menurut pasal 955 dan pasal 958 BW
dapat disimpulkan mengenai perbedaan antara
ERFSTELLING DAN LEGAAT, dimana orang
yang mendapat erfstelling berkedudukan sebagai ahli
waris ab-intestato, dalam artian ini maka orang yang
menerima erfstelling tidak saja menerima barangnya
saja akan tetapi juga menanggung beban antara lain
membayar utang si peninggal warisan.
Berbeda dengan legaat yang berkedudukan
sebagai seorang crediteur dari si peninggal warisan,
sehingga ia tidak bertanggung jawab atas utang-utang
si meninggal dunia, bahkan ia dapat menuntut dari ahli
warisnya agar barang-barang tertentu diserahkan
kepadanya.
KEWAJIBAN (LAST)
Dalam suatu legaat dapat pula dibebankan
suatu kewajiban kepada penerimaan legaat
(legataris), dalam pasal 961 BW, membarikan
kewajiban bagi legataris untuk membayar
pajak, sedangkan menurut pasal berikutnya,
yaitu pasal 962 BW, menyatakan bahwa
apabila beberapa legataris dibebani
kewajiban oleh si peninggal warisan, maka
para legataris itu wajib untuk memenuhinya
seimbang dengan yang diterimanya.
UJUD LEGAAT
Dari ketentuan yang ada dalam pasal 968 BW, dapat kita lihat
bahwa Ujud Barang Legaat dapat berupa barang tertentu, dan
juga dapat pula berupa sekumpulan barang tertentu ataupun
sejumlah barang tertentu.
Penyerahan barang legaat, haruslah diserahkan pula
segala kelengkapan barang tersebut, jadi misalnya yang
diberukan tersebut sebuah pabrik, maka yang diserahkan
sebagai barang legaat adalah bangunan beserta mesin dan
kelengkapan pabrik tersebut (963 BW).
Kepada si legataris, jika yang diserahkan adalah
jenis barang tertentu maka tidaklah perlu yang diserahkan itu
merupakan barang yang terbaik, akan tetapi tidak boleh yang
diserahkan itu merupakan barang yang terjelek, hal ini adalah
sesuai dengan ketentuan dari pasal 969 BW.
Untuk yang diserahkan adlah berupa hasil dari barang
tertentu, tidak disebutkan kata-kata ‘memetik hasil’ atau
‘memakai’ (vrucht gebruik atau gebruik), maka hal ini berarti
bahwa barang tersebut masih ada ditangan ahli waris, dan
ahli waris ini berkewajiban untuk menyerahkan/memberi
hasil kepada legataris saja.

Namun akan lain apabila disebutkan hak memetik


hasil (recht van vrucht gebriuk) atau hak memakan (recht V.
Gebruik), maka di sini harus diartikan bahwa barangnnya
harus diserahkan kepada legataris.
UJUD LEGAAT
Dari ketentuan yang ada dalam pasal 968 BW, dapat kita lihat
bahwa Ujud Barang Legaat dapat berupa barang tertentu, dan
juga dapat pula berupa sekumpulan barang tertentu ataupun
sejumlah barang tertentu.
Penyerahan barang legaat, haruslah diserahkan pula
segala kelengkapan barang tersebut, jadi misalnya yang
diberukan tersebut sebuah pabrik, maka yang diserahkan
sebagai barang legaat adalah bangunan beserta mesin dan
kelengkapan pabrik tersebut (963 BW).
Kepada si legataris, jika yang diserahkan adalah
jenis barang tertentu maka tidaklah perlu yang diserahkan itu
merupakan barang yang terbaik, akan tetapi tidak boleh yang
diserahkan itu merupakan barang yang terjelek, hal ini adalah
sesuai dengan ketentuan dari pasal 969 BW.
FIDEI COMMIS
FIDIE COMMIS
Larangan terhadap adanya “Fideicommissaire
Substitutien” atau “Erfstelling Over de Hand”
dimuat dalam pasal 879 ayat 1 BW, sedangkan
pada ayat 2 dapat kita ketahui tentang maksud
dari ayat di atas, yakni, bahwa setiap penetapan
si meninggal/si peninggal warisan, bahwa si ahli
waris di berikan kewajiban untuk menyimpan
harta warisan atau barang tertentu dari harta
warisan yang selanjutnya harus diserahkan
kepada pihak ketiga.
FIDIE COMMIS DE RESIDUO
Fidei Commis De Residuo, yang diatur dalam pasal 989
sampai dengan 991 BW, adalah merupakan kekecualian
dari larangan adanya fidei commis. Tentang fidei commis
de residuo ini adalah berarti bahwa seorang ahli waris
diberi hak untuk memakai, menjual ataupun bahkan
menghabiskan barang warisan tersebut dengan beban
sisanya diserahkan kepada pihak lain.
Dari ketentuan pasal 990 BW, Fidei Commis De Residuo
ini masih diperlukan kewajiban untuk mengadakan
perincian barang-barang (boedelschriving).
PENARIKAN KEMBALI SURAT WASIAT
Surat wasiat, dimana didalamnya
mengandung suatu pengertian yang prinsip
yaitu merupakan keinginan terakhir dari si
peninggal warisan, oleh karena itu memang
diberi kemungkinan untuk diubah ataupun
ditarik kembali. Penarikan kembali ini dapat
dilakukan secara diam-diam (stizwijgend)
ataupun secara terang-terangan
(uitdrukkelijk).
PENARIKAN KEMBALI SECARA DIAM-DIAM
Dari yang kita tangkap, ketentuan-ketentuan pada BW tentang penarikan kembali surat wasiat
secara diam-diam ini ada tiga macam contoh, yaitu :
Jika seseorang peninggal warisan membuat surat wasiat lebih dari satu yang isinya berbeda satu
dengan yang lainnya saling bertentangan. Dalam hal ini, pasal 994 BW, menyatakan bahwa jika
ada dua surat wasiat yang berurutan berbeda dengan yang lainnya, maka dianggap penarikan
kembali dari ayat-ayatnya dikemukakan bahwa penarikan kembali secara diam-diam ini dianggap
tidak pernah ada jika surat wasiat yang kedua tidak memenuhi ketentuan acara-acara yang
ditentukan oleh BW.
Ketentuan dari pasal 996 BW, meyatakan bahwa jika terjadi suat barang yang dihibahkan, namun
oleh si peninggal warisan, sebelum meninggal dunia barang tersebut kemudian dijual atau
ditukarkan, maka hal inipun dianggap telah ada penarikan kembali.
Jika terjadi suatu surat wasiat olografis yang diminta kembali oleh si pembuat surat wasiat tersebut
dari Notaris, maka hal inipun dianggap telah terjadi penarikan kembali surat wasiat tersebut (934
BW).
PENARIKAN KEMBALI SECARA TEGAS
Tentang penarikan kembali surat wasiat secara tegas oleh BW
diatur dalam pasal 992 dan 993.

Menurut pasal 992 BW, penarikan kembali secara tegas


ini dapat dilakukan dengan:

1. Dalam suatu surat wasiat baru yang dibuat menurut pasal-


pasal BW, atau
2. Dalam suatu akta Notaris khusus (bijzondere notariele akta).

Tentang apa yang dimaksud dengan ‘khusus’ pada


ketentuan ini adalah suatu akta yang memang secara khusus
memuat tentang penarikan suatu surat wasiat.
PENAMBAHAN (Aanwas)
Jikalau terjadi, suatu harta warisan yang diberikan kepada ahli waris tidak
dapat dilaksanakan terhadap salah seorang dari mereka, maka bagiannya
yang tidak dapat diberikan tadi dibagi dan ditambahkan kepada yang lain.
Misalnya, harta warisan diberikan secara bersama-sama
diberikan kepada V, W dan X, kemudian untuk si W tak dapat
dilaksanakan, maka bagian W dibagi dan ditambahkan kepada V dan X,
namun pemberian bersama ini tidak ada/dianggap tidak ada jika telah
ditetapkan berapa bagiannya, misalnya ¾, ½ atau ¼ dan sebagainya.
Tentang Aanwas ini diatur dalam pasal 1002 BW, “dalam hal
bilamana dengan surat wasiat diangkat beberapa ahli waris atau
dihibahkan kepada beberapa orang bersama-sama dan terhadap
seseorang atau lebih di antara mereka itu tidak dapat dilaksanakan, maka
hal ini dapat mengakibatkan bertambahnya warisan atau hibah bagi
mereka masing-masing”.
PENAMBAHAN (Aanwas)
Jadi dapat kita simpulkan bahwa aanwas ini tidak akan terjadi kecuali
adanya perwarisan bersama-sama (gezamelijk). Tentang gezamelijk ini
aturannya dapat kita jumpai pada pasal 1002 ayat 2, “tiap pengangkatan
waris atau hibah dengan surat wasiat satu-satunya dan bagi mereka
(beberapa orang) tidak disebutkan bagiannya mereka masing-masing
yang tertentu harus dianggap ditetapkan bagi mereka bersama-sama”.

Seandainya salah satu dari mereka itu menolak warisan atau


dinyatakan tidak patut atau tidak cakap, maka hal ini berarti akan
menambah bagian dari kawan wasiatnya tadi.

Misalnya :
“saya berikan kepada Andi dan Yunus sebuah rumah, yang
terletak di Jl. Kol. Isdiman 12 Yogyakarta”. Namun ternyata Andi menolak
warisan, maka berarti bagian Yunus bertambah, terjadilah aanwas.
PENAMBAHAN (Aanwas)
Jadi dapat kita simpulkan bahwa aanwas ini tidak akan terjadi kecuali
adanya perwarisan bersama-sama (gezamelijk). Tentang gezamelijk ini
aturannya dapat kita jumpai pada pasal 1002 ayat 2, “tiap pengangkatan
waris atau hibah dengan surat wasiat satu-satunya dan bagi mereka
(beberapa orang) tidak disebutkan bagiannya mereka masing-masing
yang tertentu harus dianggap ditetapkan bagi mereka bersama-sama”.

Seandainya salah satu dari mereka itu menolak warisan atau


dinyatakan tidak patut atau tidak cakap, maka hal ini berarti akan
menambah bagian dari kawan wasiatnya tadi.

Misalnya :
“saya berikan kepada Andi dan Yunus sebuah rumah, yang
terletak di Jl. Kol. Isdiman 12 Yogyakarta”. Namun ternyata Andi menolak
warisan, maka berarti bagian Yunus bertambah, terjadilah aanwas.
OVERSPELL

Di antara orang yang melakukan perzinahan (overspel) yang mana hal itu
sudah dibuktikan dengan keputusan Hakim menurut pasal 909 BW tidak
diperbolehkan saling memberi hibah wasiat.
SIKAP AHLI WARIS

Harta warisan yang menurut BW adalah semuanya yang di dalamnya


termasuk pula utang-utang yang harus dibayar oleh si peninggal warisan,
sehingga dapatlah dimaklumi jika BW memberikan tiga macam sikap yang
harus dipilih salah satunya oleh ahli waris.

1. Menerima seluruh harta warisan, yang dalam pengertian ini berarti


juga meliputi utang-utang si peninggal warisan.

2. Menerima dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya


dengan pengertian bahwa utang-utangnya dapat di bayar sekedar
harta warisan mencukupi.

3. Menolak harta warisan dengan pengertian bahwa ia tidak tahu


menahu tentang pengurusan harta warisan tersebut.
Ahli waris yang menerima sikap pertama atau sikap kedua maka penerimaan harta warisannya
berlaku surat sampai waktu ke waktu meninggalnya si peninggal warisan.
Sikap manapun yang diambil oleh ahli waris akan mempunyai pengaruh terhadap harta
warisnya maupun terhadap dirinya, oleh karena itu oleh BW diberikan waktu dan hak untuk
berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil sikap (beraad).
Mengenai hak untuk berpikir (recht van beraad) ini diatur oleh 1023 sampai dengan pasal
1029 BW. Untuk berpikir ini maka ahli waris haruslah menyampaikan keterangan kepada Panitera
Pengadilan Negeri agar dimasukkan dalam daftar dan tenggang waktu untuk berpikir ini menurut
pasal 1024 BW ditetapkan selama 4 bulan dihitung sejak menyampaikan keterangannya kepada
Panitera Pengadilan Negeri.
Selama masa berpikir ini maka ahli waris diwajibkan untuk memelihara harta warisan
(als een goed huisvader) dan jika terdapat barang-barang yang tidak dapat disimpan lama ataupun
terdapat barang-barang yang dianggap tidak berguna maka ahli waris dapat melaporkan kepada
Ketua Pengadilan Negeri, agar diambil tindakan penyelamatan.
MENERIMA TANPA SYARAT

Ahli waris dapat mengambil sikap pertama, yaitu Menerima Tanpa Syarat.
Menurut pasal 1048 BW, menerima tanpa syarat ini dapat dilakukan
dengan dua macam cara, yaitu :

Menerima secara tegas, yaitu dengan membuat akta autentik ataupun


akta bawah tangan.
Menerima diam-diam, yaitu dengan cara sikap mencerminkan sikap
menerima tanpa syarat.
Tindakan ahli waris yang berhubungan dengan penguburan
mayat dan tindakan yang bertujuan untuk melindungi, menyimpan atau
mengawasi ataupun menyimpan sementara barang-barang tertentu
bagian dari harta warisan menurut pasal 1049 BW adalah bukan
merupakan sikap menerima warisan secara tanpa syarat.
MENERIMA DENGAN SYARAT

Dengan adanya sikap menerima dengan syarat ini ialah bahwa harta
pribadinya tidak bercampur dengan harta warisan, dengan demikian
utang-utang si peninggal warisan tidak akan dilunasi secara pribadi oleh
ahli waris tersebut.

Jika terjadi beberapa orang ahli waris menerima dengan syarat


dan seorang menerima tanpa syarat maka akan menjadikan keadaan
dimana semua ahli waris dianggap menerima dengan syarat, hal ini sesuai
dengan ketentuan pasal 1050 BW.

Syarat, yang dimaksud dengan syarat ini ialah bahwa harus ada
perincian barang-barang yang merupakan harta warisan. Cara untuk
memerinci ini tidak ditentukan oleh BW, ahli waris dapat melakukan
dengan akta bawah tangan atau juga dengan akta Notaris.
Pasal 1031 BW menyatakan bahwa seseorang kehilangan hak untuk
menerima tanpa syarat apabila :
Iktikad (te kwader trouw) ia tidak menyebutkan beberapa barang warisan
dalam inventaris.
Apabila ia menggelapkan dalam arti luas sebagaimana dimaksud dalam
KUHP barang warisan.
Jika seseorang kehilangan haknya untuk menyatakan sikap menerima
dengan syarat, maka ia dianggap menerima tanpa syarat.
Akibat dari sikap menerima dengan syarat ini ialah bahwa : hartanya tidak
bercampur dengan harta warisan hingga hal yang menyangkut dengan
utang-utang si peninggal warisan hanya dibayar sampai nilai harta
warisan.
KEPAILITAN HARTA WARISAN

Ketentuan pasal 197 Faillisementverordening memberikan


kemungkinan bagi para crediteur untuk meminta pailitnya harta warisan
menurut pasal 200 jika sudah lampau 3 bulan sejak harta warisan
diterima ahli waris dan 6 bulan setelah meninggalnya si peninggal
warisan, dengan alasan bahwa secara singkat crediteur dapat
membuktikan bahwa si peninggal warisan sudah beberapa saat berhenti
membayar utang-utangnya atau bahwa barang-barang warisan tidaklah
cukup untuk membayar utang-utangnya.
MENOLAK HARTA WARISAN
Sikap MENOLAK HARTA WARISAN ini menurut pasal 1057 BW
ditentukan ada dua macam cara, yaitu dengan cara tegas, yaitu dengan
cara membuat keterangan menbolak pada Panitera Pengadilan Negeri
di wilayah hukum mana harta warisan tersebut berada.
Akibat penolakan tersebut, menurut pasal 1059 BW adalah
berlaku surut dihitung sejak saat meninggalnya peninggal warisan
sehingga si penilak warisan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Dengan penolakan ahli waris tersebut untuk menerima
warisan, maka terdapat kemungkinan bahwa hal ini akan merugikan
crediteur yang mempunyai piutang kepada si meninggal, jika demikian
maka oleh pasal 1061 BW, diberi kemungkinan kepada crediteur
tersebut untuk meminta kepada hakim agar ia diberi kuasa untuk
mengganti menerima harta warisan atas nama.
LEGITIEME PORTIE
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa seseorang itu
berhak untuk memberikan hartanya kepada siapa saja.
Bebas. Walaupun orang yang diberi tersebut tidak
memiliki hubungan pertalian saudara, namun kebebasan
tersebut adalah terbatas oleh ketentuan undang-undang.
Pembatasan tersebut adalah merpakan upaya undang-
undang. Pembatasan tersebut adalah merupakan upaya
undang-undang untuk melindungi orang-orang yang
termasuk keluarga sedarah dari si peninggal warisan.
Bagi mereka ini undang-undang telah memberikan
bagian tertentu yang tidak boleh dikurangi dengan cara
apapun oleh si pewaris/peninggal harta warisan. Bagian
ini sering disebut dengan bagian mutlak atau legitieme
portie dan orang-orang yang mempunyai hak legitieme
portie ini sering disebut legitimaris.
Adapun Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang
tersebut memperoleh kedudukan sebagai legitimaris adalah :

1. Orang tersebut adalah keluarga sedarah dalam garis


lurus.
2. Orang tersebut adalah merupakan ahli waris menurut
ketentuan undang-undang pada saat si peninggal
warisan/ pewaris meninggal dunia.

Legitieme Portie ini harus dihitung apabila :

1. Salah satu atau beberapa ahli waris menuntut haknya.


2. Atau, salah satu/beberapa orang ahli waris/legitimaris
masih ada di bawah umur (minder jarig).
Contoh I :

P+ P meninggal dunia dengan


meninggalkan 2 orang anak,
yaitu C dan D. Legitimaris
adalah C dan D, sebab adalah
keluarga sedarah P dalam garis
C D lurus dan C dan D tersebut
adalah ahli waris ab-intestato.
Contoh II :
P meninggal dunia dengan
A
meninggalkan A (kakek), B dan
C (saudara). A bukan
legitimaris, karena pada waktu
meninggal nya P, A bukan ahli
waris. Dan C dan B juga bukan
C D karena tidak merupakan
P+ keluarga sedarah dalam garis
lurus.
Legitieme Portie Masing-masing Legitimaris

1. Legitieme Portie untuk anak keturunan yang sah adalah


sebagai berikut :
a. Satu orang anak LP-nya adalah ½ dari bagian menurut
undang-undang.
b. Dua orang anak LP-nya adalah 2/3 dari bagian menurut
undang-undang
c. Tiga orang anak LP-nya adalah ¾ dari bagian menurut
undang-undang.
2. Bagian mutlak/LP untuk keluarga sedarah dalam garis lurus ke
atas adalah ½ dari bagian menurut undang-undang.
3. Bagian mutlak/LP untuk anak luar kawin adalah ½ dari bagian
menurut undang-undang.
Jadi dengan adanya ketentuan tentang bagian mutlak atau
Legitieme Portie ini dapat kita simpulkan bahwa, seseorang
boleh saja mewasiatkan atau menghibahkan hartanya kepada
orang lain namun tidak boleh mengurangi bagian mutlak dari ahli
waris, jika terjadi pelanggaran terhadap hal ini maka dilakukan
pemotongan atau sering dengan istilah “Incorting”, dengan urut-
urutan sebagai berikut :

1. Yang harus dikurangi terlebih dahulu adalah wasiat.

2. Jika wasiat belum mencukupi maka diambilkan dari hibah.

3. Pengurangan terhadap beberapa wasiat harus dilakukan


dengan perbandingan (undha-usuk, jawa).
CARA MENGHITUNG LEGITIEME PORTIE

1. Harta peninggalan sewaktu peninggal warisan meninggal


dunia, dihitung dan diinventarisir untuk mengetahui berapa
nilai harganya.

2. Nilai harga dari barang-barang yang mungkin ketika si


peninggal warisan masih hidup diberikan ditambahkan dengan
di atas.

3. Jumlah di atas dikurangi dengan utang-utang yang pernah


dibuat oleh si peninggal warisan.

4. Sisa dari pengurangan tersebut menjadi dasar penghitungan


legitieme portie.
LEGITIEME PORTIE DAN PENGGANTIAN TEMPAT

Hak mutlak Legitieme Portie seseorang dapat digantikan


oleh ahli warisnya/keturunannya. Hal ini adalah sesuai
dengan pasal 914 BW pada ayat terakhir yang menyatakan
bahwa, jika ada anak yang telah meninggal terlebih dahulu,
kedudukan anak yang telah meninggal lebih dahulu dapat
digantikan oleh keturunannya
Contoh Kasus :
A meninggal dunia dengan
A+ 1945
meninggalkan 2 orang anak B dan C,
serta Ca dan Cb anak sah dari C. LP
untuk B dan C adalah dari bagian
menurut UU.
C+ 1941 B LP B = 2/3 x ½ = 1/3
LP C = 2/3 x ½ = 1/3
Jika C telah meninggal dulu dan
digantikan Ca dan Cb, maka LP Ca =
Ca Cb
Cb = ½ x 1/3 = 1/6.
DALAM HAL LEGITIMARIS MENOLAK ATAU TIDAK PATUT
MENERIMA

Besarnya Legitieme Portie adalah dikaitkan dengan besarnya warisan


menurut Undang-undang, sedangkan adanya Penolakan Harta Warisan
sangat mempengaruhi besarnya harta warisan, demikian juga adanya
seseorang yang Dianggap Tidak Patut Menerima juga mempengaruhi
besarnya harta warisan. Dengan demikian timbul pertanyaan, apakah
dengan adanya penolakan atau ketidak patutan ahli waris untuk
menerima mempengaruhi besar kecilnya legitieme portie?. Jawabnya
adalah : tidak, ada ataupun tidak penolakan harta warisan ataupun
adanya yang dianggap tidak patut tetap tidak mempengaruhi besarnya
LP.
Contoh Kasus :
Dalam keadaan biasa F, G dan H masing-masing menerima
P+
1/3 dari Legitieme Portie masing-masing adalah ¾ x 1/3 =
1/4 .
TIDAK PATUT/ Jika F dinyatakan tidak patut atau menyatakan menolak
MENOLAK
harta warisan, maka legitieme portie G dan H menjadi ½
ataukan tetap ¼?
Untuk menjawabnya, perlu kita ketahui bahwa BW
F
G H menganut sistem Romawi, dimana ditetapkan hak mutlak
dari tiap-tiap ahli waris secara individuil, maka untuk
menghitung dan menetapkan besarnya legitieme portie tetap
pula diperhitungkan ana-anak/ahli waris legitimaris yang
dinyatakan tidak patut menerima maupun yang menolak
warisan.
INCORTING

Seperti telah diutarakan dimuka bahwa jika


terjadi pelanggaran terhadap legitieme
portie sehingga hak mutlak tidak dapat
dicapai besarnya maka diadakan
pemotongan atau incorting terhadap
wasiat, dan jika masih belum mencukupi
diambilkan dari hibah.
Contoh Kasus I :
A Meninggal dunia dengan meninggalkan
wasiat X
A+ dua orang anak, yaitu B dan C, disamping
itu meninggalkan wasiat yang isinya
menerang kan X sebagai ahli waris
dengan bagian ¾ dari seluruh harta
warisan. Jumlah harta warisan A senilai
Rp. 120 juta. Para Legitimaris menurut
legitieme portie. Bagaimana
C penyelesaiannya ?
B
Penyelesaian Kasus I :
Harta peninggalan A senilai Rp. 120.000.000,-.
Pelaksanaan wasiat kepada X = ¾ x Rp. 120.000.000,- = Rp. 90.000.000,-.
Sisa = Rp. 120.000.000,-
Rp. 90.000.000,- –
Rp. 30.000.000,-
Pembagian menurut undang-undang :
B = C, masing-masing = ½ x Rp. 30.000.000,- = Rp. 15.000.000,-.
Perhitungan Legitieme Portie
LP B = LP C masing-masing = 2/3 x ½ x Rp. 120.000.000,- = Rp. 40.000.000,00.
Jadi B dan C tidak boleh menerima kurang dari Rp. 40 juta karena itu merupakan hak mutlaknya,
padahal mereka masing-masing baru menerima Rp. 15 juta, jadi masing kurang = Rp. 40 juta – Rp.
15 juta = Rp. 25 juta, atau total (B+C) kurang = Rp. 50 juta.
Kekurangan tersebut diambilkan dari wasiat.
Kesimpulan :
B menerima Rp. 40.000.000,-
C menerima Rp. 40.000.000,-
Terhadap X dilakukan pemotongan/incorting, yaitu :
Rp. 90.000.000 – Rp. 50.000.000 = Rp. 40.000.000,-
Jadi yang diterima X = Rp. 40.000.000,-
Contoh Kasus II :
Pada tahun 1986 R meninggal dunia dengan
HIBAH 1970
R+
C meninggalkan 2 orang anak yaitu A dan B. Sebelum
HIBAH 1974
meninggal dunia, pada tahun 1970 R memberi hibah
HIBAH 1979
D kepada C senilai harga Rp. 1.000.000,-. Pada tahun
1974 R memberi hibah kepada D senilai harga Rp.
2.000.000,- dan pada tahun 1979 juga memberi hibah
kepada E senilai harga Rp. 3.000.000,-. Harta
E
peninggalan R habis untuk membayar utang-utangnya.
Para legitimaris menuntut haknya.
A B
Hibah kepada :
C = Rp. 1.000.000,-
D = Rp.2.000.000,-
E = Rp. 3.000.000,- + Rp. 6.000.000,-
Penyelesaian Kasus II :
Penghitung LP

LP A = LP B = 2/3 x ½ x Rp. 6.000.000,00 = Rp.2.000.000,00

Atau untuk 2 orang sebesar Rp. 4.000.000,00.

Pemotongan/incorting untuk hibah yang dilakukan tidak dalam waktu yang sama
adalah yang dipotong terlebih dahulu adalah hibah terakhir, bila belum
mencukupi, dipotongkan lagi dari yang sebelumnya, terus ke belakang sampai
mencukupi.

Jadi :
A menerima = Rp. 2.000.000,00
B menerima = Rp. 2.000.000,00
C menerima = Rp. 1.000.000,00
D menerima = Rp. 2.000.000,00 - Rp. 1.000.000,00 = Rp.1.000.000,00.
E menerima = Rp. 3.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00 =Rp. 0.
INBRENG (PEMASUKAN)
Inbreng, adalah pemasukan kembali ke dalam harta peninggalan, hibah-
hibah/pemberian-pemberian si peniggal warisan ketika masih hidup, tentang apa
yang dimasukkan kembali (di-inbreng) di tentukan oleh pasal 1086 dan pasal 1096
BW, adalah sebagai berikut :
Semua hibah (schengkingen) oleh si pewaris (peninggal warisan ketika masih hidup).
Segala sesuatu yang telah diberikan kepada ahli waris.
1. Segala hal yang telah diberikan kepada ahli waris untuk memberikan kedudukan
dalam masyarakat atau satu jabatan atau pekerjaan kepada ahli waris.
2. Segala sesuatu yang dimasukkan untuk membayar utang-utang si ahli waris.
3. Segala sesuatu yang merupakan pesangon perkawinan.
Namun disamping itu ada beberapa hal yang merupakan
pemberian pewaris akan tetapi tidak perlu untuk dimasukkan
kembali, yang oleh pasal 1097 BW ditentukan antara lain :
1. Biaya nafkah dan biaya pendidikan ahli waris.
2. Biaya belajar guna perdagangan, kerajinan tangan,
kebudayaan dan perusahaan.
3. Biaya perkawinan dan pakaian yang perlu untuk hidup
setelah perkawinan.
4. Biaya untuk membayar upah kepada orang yang
menggantikan ahli waris untuk wajib militer.
YANG WAJIB MELAKUKAN INBRENG
Untuk yang diwajibkan melakukan Inbreng ini ialah harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Ahli waris dalam garis lurus ke bawah;
2. Ahli waris yang pernah menerima hibah pada saat si pewaris masih hidup.

Jadi pada prinsipnya orang yang melakukan inbreng adalah ahli waris dalam garis lurus
ke bawah yang pernah menerima hibah diwajibkan melakukan inbreng, kecuali dengan
tegas dibebaskan untuk tidak melakukan inbreng, baik itu pembebasan yang
dicantumkan dalam akta hibah, akta autentik lainnya atau dalam surat wasiat. Sehingga
dalam pengertian ini pula keluarga sedarah yang tidak dalam garis lurus ke bawah,
walaupun pernah menerima hibah tidak diwajibkan melakukan inbreng, kecuali secara
tegas diwajibkan oleh pewaris dalam suatu akta autentik atau dalam surat wasiat.
Contoh Kasus I :
A meninggal pada tahun 1959. Di tahun 1955 A

A+ menghibahkan kepada anaknya berupa


1959
sebidang sawah, yaitu kepada B. Apakah B
wajib melakukan inbreng ?
HIBAH

Penjelasan :
Dalam hal ini B wajib melakukan inbreng,
B C D karena :
B merupakan ahli waris dalam garis lurus ke
bawah, dan B pernah menerima hibah.
Contoh Kasus II:
P meninggal dunia pada tahun 1985, sebelum
meninggal ia pernah menghibahkan sebidang
tanah pekarangan kepada anaknya yaitu D, yang
A+
mana D ini telah memiliki 2 orang anak yaitu Da
1959
dan Db. Anak P ada tiga orang yaitu C, D dan E,
namun karena mereka mem bunuh P; oleh hakim
dijatuhi hukuman karena membunuh P. Oleh
TIDAK PATUT MEWARIS
karena itu mereka tidak patut mewaris, oleh
D C
E karena itu pula ahli
waris P adalah Da dan Db yang mewaris karena
Da Db dirinya sendiri (uit eigen hoofde). Apakah Da dan
Db wajib melakukan inbreng ?
Menurut pasal 1089 ayat 2 dinyatakan bahwa
seorang anak yang karena kedudukannya sendiri
memperoleh harta warisan tidak perlu
memasukkan/ inbreng pemberian kakek neneknya
kepada orang tuanya. Dengan demikian
sehubungan dengan kasus di atas maka Da dan Db
tdak perlu melakukan inbreng.
PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN
Burgerlijk Wetboek di Pasal 1066 dengan tegas menyatakan
bahwa :

1. Tidak seorang ahli warispun yang dapat dipaksa untuk


membiarkan harta peninggalan tidak terbagi-bagi.
2. Pembagian harta peninggalan dapat dilakukan
sewaktu-waktu, namun diberikan suatu kemungkinan
untuk menangguhkan pembagiannya, penangguhan ini
dapat dilakukan selama lima tahun dan dengan
persetujuan para ahli waris dapat diperpanjang 5 tahun
lagi.

Pembagian harta peninggalan ini dapat dituntut


pelaksanaannya oleh waris, orang yang membeli suatu
barang atas sebagian dari harta peninggalan, crediteur para
ahli-ahli waris. Namun legataris dan crediteur peninggal harta
peninggalan/pewaris tidak dapat menuntut. Bagi seorang
legataris hanya dapat menuntut penyerahan barang yang
diberikan secara legaat dan crediteur peninggal warisan
hanya dapat menagih pembayaran utangnya dan dapat pula
menyita barang warisan untuk dijual secara lelang.
Pembagian harta peninggalan tersebut menurut ketentuan
dari pasal 1071 ayat 2 BW, harus dilakukan dengan cara
seperti yang ditentukan oleh pasal 1072 BW :

1. Harus dihadiri oleh Weeskamer (Balai Harta


Peninggalan)

2. Dilakukan di depan Notaris, Notaris ini dipilih sendiri


oleh para ahli waris.

3. Harus ada perincian barang dari harta peninggalan


(boedel schrijving).

4. Jika terdapat barang-barang yang harus ditaksir


harganya, maka untuk saham maupun efek dilakukan
atas dasar catatan resmi, sedang untuk yang lainnya
harus ditaksir oleh 3 orang juru taksir yang disumpah
oleh pejabat Pamong Praja.
PELAKSANAAN TESTAMENT

Pelaksana testament (executeur testamentair) yang dapat ada


dapat pula ditiadakan. Untuk adanya pelaksana testamen dapat
dilakukan dengan menunjuk. Oleh pasal 1005 BW ditentukan
bahwa pelaksana testamen ini dapat ditunjuk dalam testamen,
dalam akta bawah tangan yang ditulis, diberi tanggal dan ditanda
tangani oleh peninggal warisan (codicil) atau dapat pula dalam
akta Notaris ‘istimewa’. Istimewa disini menunjuk pada sifat akta
tersebut yang isinya tentang ha;-hal yang harus dilakukan setelah
si peninggal harta warisan tersebut meninggal dunia.
Tentang siapa-siapa yang tidak dapat menjadi Pelaksana
Testament, oleh pasal 1006 BW ditentukan sebagai berikut :
• Wanita yang bersuami kecuali dengan bantuan suaminya.
• Orang yang belum dewasa.
• Orang yang ada di bawah pengampunan.
• Orang-orang yang menurut hukum dianggap tidak cakap
bertindak.
Perlu diingat bahwa pasal di atas tidak menyebutkan bahwa
mereka itu tidak dapat ditunjuk, pasal di atas hanya menyatakan
bahwa orang-orang tersebut tidak dapat menjadi pelaksana, jadi
orang tersebut dapat saja ditunjuk selaku pelaksana testament.
LINGKUP KERJA TESTAMENT

Dari istilah yang dipakai, yaitu pelaksana testament, maka dapatkah kita
simpulkan bahwa tugas dan kerjanya adalah melaksanakan testament. Hal
ini dapat kita simpulkan dari ketentuan pasal 1011 BW yang menyatakan
bahwa pelaksana testament harus berusaha agar testament dilaksanakan, dan
jika terjadi perselisihan, maka ia berkuasa untuk mempertahankan sahnya
perseleisihan dimuka Hakim.
Kekuasaan si pelaksana testament ini, jika tidak diikuti oleh
kekuasaan terhadap barang-barang dari harta peninggalan, maka ia hanya
berkuasa untuk memperingatkan para ahli waris untuk memenuhi
kewajibannya serta memperingatkan para legataris akan hak-haknya.
PENGURUS HARTA PENINGGALAN
Pengurus Harta Peninggalan (Bendvoeder), oleh BW diatur dalam pasal 1019
sampai dengan pasal 1022 BW.
Dimulai dari pasal 1019 BW yang menetapkan bahwa pewaris berhak
untuk menunjuk seorang pengurus harta peninggalan untuk selama waktu tertentu
atau selama hidupnya ahli waris. Si peninggal warisan ini dapat menunjuk
pengurus harta warisan hanya hak memetik hasil (vrucht gebruik) yang diberikan
kepada ahli waris yang di bawah umur atau yang ada di bawah pengampunan.
Selanjutnya jika pengurus harta peninggalan ini karena suatu hal
kemudian berhalangan untuk melakukan tugasnya dan oleh si pewaris tidak
ditentukan penggantinya maka Hakim harus menunjuk penggantinya setelah
mendengarkan pendapat dari Jaksa (1020 BW).
Cara penunjukkan pengurus harta peninggalan ini oleh pasal 1019 BW
ditentukan dalam testamen atau di dalam akta Notaris khusus dan tidak boleh
dalam akta bawah tangan.
Pembayaran Utang Peninggal Harta Peninggal

Tentang pembayaran utang-utang si peninggal harta peninggalan/pewaris ini,


diatur oleh pasal 1100 sampai dengan pasal 1111 BW, yang pada pasal 1100 nya
menyatakan bahwa :
Kewajiban membayar utang hanya dibebankan kepada ahli waris yang menerima
harta peninggalan tanpa syarat (aanvaarden).
Besar kecilnya beban membayar utang ini disesuaikan dengan yang mereka
terima.
Seorang ahli waris yang diberi bagian berupa barang tak bergerak,
sedangkan benda tak bergerak tersebut terdapat beban hipotek, maka ia wajib
membayar beban hipotek tersebut, namun jika yang dibayarkan tersebut melebihi
bagiannya maka ia berhak untuk meminta kekurangnnya pada ahli waris yang
lainnya.
PEMISAHAN KEKAYAAN
Pemisahan kekayaan (boedel-afscheiding), diatur dalam pasal-pasal 1107
sampai dengan pasal 1111 BW, dimana dalam pasal 1107 BW dinyatakan
bahwa crediteur pewaris berhak untuk memnuntut kepada ahli waris agar harta
warisan dipisahkan dengan harta kekayaan pribadinya. Dalam kedudukan ini
karena legaris juga sebagai crediteur, maka ia juga berhak untuk menuntut
demikian. Dengan demikian maka pertama-tama yang dipergunakan untuk
melunasi adalah harta warisan.
Jika harta warisan tidak mencukupi maka diambilkan dari harta
kekayaan pribadinya. Jika terjadi tuntutan untuk memisahkan harta tersebut,
maka dalam waktu enam bulan terhitung sejak meninggalnya pewaris maka
mereka dapat menyuruh dilakukan pencatatan di Kantor Pendaftaran Tanah
(Kadaster). Jika hal ini terjadi maka tanah tersebut oleh ahli waris tidak boleh
dibebani dengan hipotek apalagi dijual, ataupun tindakan lainnya yang
merugikan crediteur dan/atau legataris.
Hak untuk menuntut pemisahan ini akan menjadi hapus setelah tiga
tahun (LLLO BW). Pasal 1111 BW memberikan ketentuan bahwa crediteur dari
ahli waris tidak dapat menuntut pemisahan tersebut.
CARA PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN
Setelah selesainya perhitungan-perhitungan, maka selanjutnya dilakukan
pembagian harta peninggalan. Sisa dari perhitungan tersebut dibagi-bagi kepada
para ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing dengan persetujuan
semua ahli waris.
Dari ketentuan pasal 1079 ayat 2 ditentukan cara pembagiannya adalah :

1. Masing-masing ahli waris menerima barang-barang tertentu yang nilainya


sesuai dengan perhitungan untuk bagiannya ( ½, ¼, ¾, dsb).

2. Masing-masing ahli waris menerima barang-barang dari harta peninggalan


ada yang memiliki kelebihan nilai dan ada yang kurang dengan ketentuan
yang kelebihan harus memberikan secara tunai kepada yang kurang, hingga
bagiannya menjad sesuai dengan perhitungan.

Setelah selesai pembagian tersebut, maka berarti para ahli waris telah
dianggap pemilik barang-barang tersebut terhitung surut sejak meninggalnya
pewaris.
PEMBATALAN
Ketentuan dari pasal 1071 BW ayat 2 ditentukan bahwa pembagian harta
peninggalan tersebut dapat batal jika tidak memenuhi ketentual pasal 1072 BW,
sedangkan menurut pasal 1112 BW, pembagian tersebut dapat dibatalkan jika :

Dilakukan dengan paksaan.

Adanya penipuan.

Apabila salah seorang atau lebih ahli waris ada yang dirugikan hingga mencapai
¼ bagian yang diakibatkan oleh salah taksir.

Note :

Pembagian harta peninggalan tersebut dimungkinkan pula dilakukan


oleh si pewaris dalam suatu testamen atau dalam akta Notaris.
HARTA PENINGGALAN TAK TERURUS

Seseorang yang meninggal dunia, sedang ia meninggalkan


harta akan tetapi tidak ada ahli warisnya ataupun semua
ahli warisnya menolak atau dinyatakan tidak patut, maka
menurut pasal 1126 BW, Balai Harta Peninggalan
(Weeskamer)-lah yang berkewajiban untuk mengurusnya.

Tentang ada atau tidaknya harta peninggalan yang


tak terurus ini adalah menurut keputusan Hakim atas
permintaan jaksa Penuntut Umum atau atas permintaan
orang yang berkepentingan.
Ketentuan dari pasal 1128 BW adalah bila Balai Harta Peninggalan
mulai mengurus, maka BHP akam melakukan penyegelan barang
warisan dan kemudian menginventariseer dan selanjutnya harus
mengurusnya sebaik-baiknya.

BHP berkewajiban, pula untuk melakukan pemanggilan


terhadap para ahli waris. Dan jika terjadi gugatan terhadap harta
peninggalan yang diurusnya maka BHP berkewajiban untuk
menghadap Hakim.

Jika tidak ada ahli waris maka BHP harus membuat


pertangung-jawaban kepada Negara, dimana selanjutnya Negaralah
yang berhak atas harta peninggalan tak terurus tersebut.

Anda mungkin juga menyukai