Anda di halaman 1dari 22

PEWARISAN MENURUT B.

W
Oleh
ANANDYO SUSETYO SH,MH
PENGERTIAN HUKUM WARIS

Hukum waris diatur dalam buku kedua Bab XII pasal 830-1130
BW, adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan yang di
tinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-akibatnya
bagi ahli waris.
SYARAT PEWARISAN :
1. Ada pewaris yang meninggal dunia / diduga telah meninggal
dunia;
2. Ada harta warisan;
3. Ada ahli waris.
MENURUT B.W PENDUDUK INDONESIA TERBAGI
MENJADI 3 GOLONGAN

1. Warga negara Indonesia Asli (Bumiputera)


2. Warga negara Indonesia Timur Asing, yang terdiri dari :
a. Timur Asing keturunan Tionghoa.
b. Timur Asing bukan keturunan Tionghoa (Arab, India, dan lain-
lain)
3. Warga negara Indonesia keturunan Eropa.
HUKUM WARIS BW BERLAKU UNTUK 3 GOLONGAN
WARGA NEGARA

1. Bagi orang-orang Indonesia asli (Bumiputera) pada pokoknya berlaku


hukum adatnya yang berlaku di berbagai daerah yang disebabkan oleh
berbagai faktor, bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam
terdapat pengaruh nyata dari hukum islam.
2. Bagi golongan Timur Asing.
a. Timur Asing keturunan Tionghoa, berdasarkan Stb. 1917 – 129, berlaku
hukum waris BW (buku II titel 12 sampai dengan 18, pasal 830 sampai
dengan 1130).
b. Timur asing lainnya (India, Arab, dll) berlaku hukum waris adat mereka
masing-masing yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kecuali
untuk wasiat umum berdasar Stb. 1924 – 556 tunduk pada BW.
3. Bagi golongan Eropah yang tunduk pada hukum waris BW.
TERJADINYA PEWARISAN

Kapan terjadinya pewarisan (warisan terbuka) :


Pasal 830 B.W menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena
kematian. Jadi jelaslah bahwa kematian seseorang tersebut merupakan
syarat utama dari terjadinya pewarisan.
Dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta
kekayaannya beralih kepada ahli waris.
SYARAT – SYARAT AHLI WARIS
1. Mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena :
a. Hubungan darah (pasal 832 BW)
b. Karena wasiat (pasal 874 BW)
2. Harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (pasal 836
BW), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 BW, yang
menyatakan bahwa anak yang masih dalam kandungan di anggap telah lahir
jika kepentingan si anak itu menghendaki, jika dilahirkan mati maka di
anggap tidak pernah ada.
3. Ahli waris yang tidak dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang
yang menolak harta warisan.
Pasal 838 B.W menentukan : Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli
waris, dan dengan demikian tidak berhak mewaris, adalah :
1. Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh
orang yang meninggal itu;(KUHP 53, 338, 340.)
2. Dia yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang
lebih berat lagi; (KUHPerd. 1372 dst.; Sv. 7 dst., IR. 44; KUHP 311, 317.)
3. Dia yang telah menghalangi orang yang meninggal itu dengan kekerasan atau
perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; (KUHPerd.
875, 992 dst.)
4. Dia yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat orang
yang meninggal itu. (KUHPerd. 833, 839, 912.)
PENGGOLONGAN AHLI WARIS DAN
BAGIANNYA

Dalam hukum waris menurut Bergerlijk Wetboek, dibedakan menjadi


4 (empat) golongan ahli waris, yaitu :
1. Golongan I : Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya ke
bawah tanpa batas beserta janda/duda
2. Golongan II : Golongan II terdiri dari ayah dan/atau ibu si pewaris
beserta saudara dan keturunannya sampai derajad ke 6.
3. Golongan III : Golongan III terdiri dari keluarga sedarah menurut garis
lurus ke atas.
4. Golongan IV: Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah dalam garis ke
samping yang lebih jauh sampai derajad ke 6.
GOLONGAN I
PASAL 852 B.W MENENTUKAN, BAHWA :
Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain
Perkawinan sekalipun, mewarisi dari kedua orang tua , kakek, nenek atau semua
keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada
perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan
kelahiran lebih dahulu.
Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian
keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri
sendiri; mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau
sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti.
DALAM HAL HARTA CAMPUR

Dalam hal harta campur, maka pembagiannya adalah sebagai


berikut.
Seluruh harta campur (boedel) dicatat / di interventariseer, baik
yang berasal dari suami maupun dari istri, baik yang diperoleh selama
perkawinan ataupun selama belum perkawinan.
Dilunasi apa-apa yang menjadi beban boedel.
Sisanya dibagi dua, ½ (separoh) untuk suami/istri yang masih hidup,
sedangkan ½ (separohnya) lagi menjadi harta warisan.
Harta warisan ini dikurangi dengan ongkos-ongkos yang menjadi
beban warisan, barulah sisannya dibagikan kepada ahli waris.
DALAM HAL PERSATUAN UNTUNG-RUGI

Jika salah satu (suami/istri) meninggal dunia, maka cara pembagiannya adalah sebagai
berikut.
1. Harta pribadi kembali ke asal.
2. Hutang pribadi dilunasi dengan harta pribadi.
3. Hutang persatuan dilunasi dengan harta persatuan dan jika terjadi kerugian maka
ditanggung berdua.
4. Harta pribadi si mati di tambah dengan sisa harta persatuan menjadi harta warisan,
dan selanjutnya dibagi untuk para ahli waris.
DALAM HAL HARTA PERSATUAN HASIL DAN PENDAPATAN
Dalam hal ini maka prosesnya seperti pada proses pembagian B, hanya saja jika
terjadi kerugian ditanggung oleh Suami.
DALAM HAL HARTA TERPISAH SAMA SEKALI
Disini karena tidak ada harta persatuan maka harta pribadi kembali ke masing-
masing, dan selanjutnya harta pribadi si mati dikurangi dengan utang-utangnnya
menjadi harta warisan.
GOLONGAN II

Golongan II ini terdiri dari orang tua (ayah dan/atau ibu si meninggal dunia dan
saudara-saudara si meninggal dunia).
Ketentuannya adalah sebagai berikut :
Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih hidup
 Ayah dan ibu si meninggal masih hidup, kalau ada satu saudara masing-masing
menerima 1/3 bagian.
R meninggal dunia, maka pembagian harta
warisannya adalah sebagai berikut.
A dan B masing-masing 1/3, jadi berdua
(A dan B) = 2/3. C menerima 1 – 2/3 = 1/3.
GOLONGAN III

Seandainya ahli waris dari golongan I dan golongan II


tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah yang berasal
dari golongan III, yang mana ahli waris golongan III ini
terdiri dari keluarga sedarah adalah garis lurus ke atas
(kakek, nenek dan seterusnya ke atas).
Cara pembagian dari/untuk golongan III ini ialah mula-
mula harta warisan kita bagi dua (kloving), masing-masing
untuk garis keluarga sedarah lurus ke atas dari garis ayah ½
dan sisanya untuk garis keluarga sedarah lurus ke atas dari
garis ibu. Dalam tiap-tiap belahan, keluarga yang derajadnya
sama mendapat bagian yang sama, dan keluarga yang
derajadnya terdekat menutup yang jauh.
GOLONGAN III

Contoh :
½ bagian untuk garis ibu ½ bagian untuk
garis ayah, untuk garis ibu diterima oleh B
+ yaitu ½ bagian dan untuk garis ayah
B+ C D diterima oleh C dan D, masing-masing ¼
bagian.
+
E  
Dari skema tersebut, maka yang untuk garis
ayah di terima oleh E saja, yaitu ½ bagian
A+ dan yang untuk garis ibu diterima oleh C
dan D, dan masing-masing menerima ½ x
½ = ¼ bagian.
GOLONGAN IV

Ahli waris dari golongan IV, terdiri dari keluarga dalam garis ke samping sampai
derajad ke 6, yaitu :
• Paman dan bibi, baik dari pihak ayah maupun ibu.
• Keturunan paman dan bibi, sampai derajad ke 6 dihitung dari si meninggal dunia.

A B E FG 1+ I J
+ +
C D

+
+

P+
+ + + +
Dalam hal ini, harta warisan dibagi
dua (kloving), setengah bagian untuk
keluarga sedarah dari garis ayah yaitu
K, L dan M sehingga bagian dari K=L=
M = ½ x 1/3 yaitu 1/6.
+ + + Dan sisanya dibagi untuk keluarga
sedarah dalam garis ibu, yaitu R dan
S, dan mereka masing-masing
menerima ½ x ½ = ¼ bagian.
L KM

R S
P+
Perlu untuk diingat bahwa ahli waris
golongan III dan golongan IV dapat secara
bersama-sama mewaris, asal mereka
berlainan garis.
P meninggal dunia. Ahli waris dari garis
ayah adalah A dan B yang berasal dari orang
tua golongan III (P), sedangkan R, S dan T
dari garis ibu dan merupakan ahli waris
turunan golongan IV. Pembagiannya
adalah, mula-mula harta warisan kita bagi
dua, selanjutnya setengah bagian untuk
garis ayah, yang secara rata dibagi untuk A
dan B, sehingga masing-masing menerima
¼ bagian, dan sisanya untuk yang berasal
dari garis ibu yang secara rata dibagi untuk
R, S dan T sehingga mereka masing-masing
menerima ½ x 1/3 = 1/6 bagian.
PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN

BW (Burgerlijk Wetboek) memberikan kedudukan tersebut bagi anak luar kawin.


Dalam hal ini pengertian anak luar kawin ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Anak yang dilahirkan akibat dari hubungan antara laki-laki dengan
perempuan yang kedua-duanya diluar ikatan perkawinan, yang dsebut dengan
anak alami (natuurlijk kind), anak ini dapat diakui.
2. Anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita, yang salah satu atau kedua-duanya terikat dalam perkawinan dengan
orang lain. Anak ini disebut anak zina (overspelige kinderen) dan anak ini
tidak dapat diakui.
3. Anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan dimana satu sama lainnya menurut ketentuan undang-undang
dilarang kawin. Anak ini disebut dengan anak sumbang (in bloedschande
gateelde kinderen). Anak ini tidak dapat diakui, kecuali jika kedua orang tua
mereka mendapat dispensasi untuk kawin dari presiden.
CARA PEMBAGIAN HARTA WARISAN
JIKA ADA ANAK LUAR KAWIN

Untuk menyelesaikan pembagian harta warisan, jika terdapat anak luar kawin,
maka mula-mula bagian dari anak luar kawin diberikan terlebih dahulu,
kemudian sisanya baru dibagi kepada ahli waris yang lainnya menurut ketentuan
undang-undang.
Untuk anak zinah (overspelige kinderen) dan anak sumbang, menurut pasal
867 BW tidak berhak atas harta waris kecuali hanyalah berhak atas nafkah
(allimentatie).
ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI
SEPANJANG PERKAWINAN MEWARIS
BERDASAR PASAL 863

Pengakuan terhadap anak luar kawin hanyalah bersifat persoonlijk, artinya


bahwa dengan pengakuan tersebut timbul hubungan hukum antara anak
luar kawin dengan ayah/ibu yang mengakui saja.
Pengakuan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, yaitu
menurut pasal 281 BW di dalam akta kelahiran si anak, atau dalam akta
perkawinan bapak dan ibu di muka pegawai Catatan Sipil, atau dibuat akta
tersendiri di hadapan notaris atau akta Catatan Sipil.
Jikalau pengakuan tersebut dilakukan sepanjang perkawinan, maka
menurut ketentuan dari pasal 285 BW, harus tidak boleh merugikan istri
atau suami dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu.
Atau dengan kata lain, bahwa dalam memperhitungkan warisan suami
atau istri dan anak-anak mereka yang dilahirkan dalam perkawinan itu
maka anak luar kawin dianggap tidak ada.
Contoh 1 :

A+ B

E D
C

A meninggal dunia dengan meninggalkan B, istrinya. Dan 2 anak yaitu C dan D


serta E anak luar kawin yang diakui dalam perkawinan A dan B. Dalam kasus ini
maka menurut pasal 285 BW, E tidak mendapat apapun yang mewaris adalah C, D
dan B, kecuali E diakui sebelum perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai