Anda di halaman 1dari 127

PEWARISAN MENURUT B.

W
Oleh
Dr. DYAH OCHTORINA SUSANTI, SH., MHUM
PENGERTIAN HUKUM WARIS

Hukum waris diatur dalam buku kedua Bab XII pasal 830-
1130 BW, adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan
yang di tinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-
akibatnya bagi ahli waris.
SYARAT PEWARISAN :
1. Ada pewaris yang meninggal dunia / diduga telah meninggal
dunia;
2. Ada harta warisan;
3. Ada ahli waris.
MENURUT B.W PENDUDUK INDONESIA TERBAGI
MENJADI 3 GOLONGAN

1. Warga negara Indonesia Asli (Bumiputera)


2. Warga negara Indonesia Timur Asing, yang terdiri dari :
a. Timur Asing keturunan Tionghoa.
b. Timur Asing bukan keturunan Tionghoa (Arab, India, dan lain-
lain)
3. Warga negara Indonesia keturunan Eropa.
HUKUM WARIS BW BERLAKU UNTUK 3 GOLONGAN
WARGA NEGARA

1. Bagi orang-orang Indonesia asli (Bumiputera) pada pokoknya berlaku


hukum adatnya yang berlaku di berbagai daerah yang disebabkan oleh
berbagai faktor, bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam
terdapat pengaruh nyata dari hukum islam.
2. Bagi golongan Timur Asing.
a. Timur Asing keturunan Tionghoa, berdasarkan Stb. 1917 – 129, berlaku
hukum waris BW (buku II titel 12 sampai dengan 18, pasal 830 sampai
dengan 1130).
b. Timur asing lainnya (India, Arab, dll) berlaku hukum waris adat mereka
masing-masing yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kecuali
untuk wasiat umum berdasar Stb. 1924 – 556 tunduk pada BW.
3. Bagi golongan Eropah yang tunduk pada hukum waris BW.
TERJADINYA PEWARISAN

Kapan terjadinya pewarisan (warisan terbuka) :


Pasal 830 B.W menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena
kematian. Jadi jelaslah bahwa kematian seseorang tersebut merupakan
syarat utama dari terjadinya pewarisan.
Dengan meninggalnya seseorang tersebut maka seluruh harta
kekayaannya beralih kepada ahli waris.
SYARAT – SYARAT AHLI WARIS
1. Mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena :
a. Hubungan darah (pasal 832 BW)
b. Karena wasiat (pasal 874 BW)
2. Harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (pasal 836
BW), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 BW, yang
menyatakan bahwa anak yang masih dalam kandungan di anggap telah lahir
jika kepentingan si anak itu menghendaki, jika dilahirkan mati maka di
anggap tidak pernah ada.
3. Ahli waris yang tidak dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang
yang menolak harta warisan.
Pasal 838 B.W menentukan : Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli
waris, dan dengan demikian tidak berhak mewaris, adalah :
1. Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh
orang yang meninggal itu;(KUHP 53, 338, 340.)
2. Dia yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang
lebih berat lagi; (KUHPerd. 1372 dst.; Sv. 7 dst., IR. 44; KUHP 311, 317.)
3. Dia yang telah menghalangi orang yang meninggal itu dengan kekerasan atau
perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; (KUHPerd.
875, 992 dst.)
4. Dia yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat orang
yang meninggal itu. (KUHPerd. 833, 839, 912.)
PENGGOLONGAN AHLI WARIS DAN
BAGIANNYA

Dalam hukum waris menurut Bergerlijk Wetboek, dibedakan


menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu :
1. Golongan I : Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya ke
bawah tanpa batas beserta janda/duda
2. Golongan II : Golongan II terdiri dari ayah dan/atau ibu si pewaris
beserta saudara dan keturunannya sampai
derajad ke 6.
3. Golongan III : Golongan III terdiri dari keluarga sedarah menurut
garis lurus ke atas.
4. Golongan IV : Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah dalam garis
ke samping yang lebih jauh sampai derajad ke 6.
GOLONGAN I
PASAL 852 B.W MENENTUKAN, BAHWA :
Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain
Perkawinan sekalipun, mewarisi dari kedua orang tua , kakek, nenek atau semua
keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada
perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan
kelahiran lebih dahulu.
Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian
keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri
sendiri; mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau
sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti.
HARTA CAMPUR

Seorang laki-laki bernama A, kawin dengan seorang wanita bernama B, dari


perkawinan ini terdapat/menghasilkan dua orang anak yaitu C dan D. Dalam
perkawinan A membawa harta sejumlah Rp. 100.000.000,00 , B memiliki harta
sejumlah 20.000.000,00 rupiah. Karena sakit, A meninggal dunia. Jumlah seluruh harta
menjadi Rp. 120.000.000,00 akan tetapi A memiliki hutang pada E sebesar Rp.
15.000.000,00 dan B memiliki hutang kepada F sebesar Rp. 2.000.000,00 Ongkos
perawatan sebesar Rp. 3.000.000,00 dan ongkos pemakaman dan peti jenazah sebesar
Rp. 5.000.000,00 bagaimana penyelesaiannya?
DALAM HAL HARTA CAMPUR

Dalam hal harta campur, maka pembagiannya adalah sebagai


berikut.
Seluruh harta campur (boedel) dicatat / di interventariseer,
baik yang berasal dari suami maupun dari istri, baik yang diperoleh
selama perkawinan ataupun selama belum perkawinan.
Dilunasi apa-apa yang menjadi beban boedel.
Sisanya dibagi dua, ½ (separoh) untuk suami/istri yang masih hidup,
sedangkan ½ (separohnya) lagi menjadi harta warisan.
Harta warisan ini dikurangi dengan ongkos-ongkos yang menjadi
beban warisan, barulah sisannya dibagikan kepada ahli waris.
DALAM HAL PERSATUAN UNTUNG-RUGI

Jika salah satu (suami/istri) meninggal dunia, maka cara pembagiannya adalah sebagai
berikut.
1. Harta pribadi kembali ke asal.
2. Hutang pribadi dilunasi dengan harta pribadi.
3. Hutang persatuan dilunasi dengan harta persatuan dan jika terjadi kerugian maka
ditanggung berdua.
4. Harta pribadi si mati di tambah dengan sisa harta persatuan menjadi harta warisan,
dan selanjutnya dibagi untuk para ahli waris.
DALAM HAL HARTA PERSATUAN HASIL DAN PENDAPATAN
Dalam hal ini maka prosesnya seperti pada proses pembagian B, hanya saja
jika terjadi kerugian ditanggung oleh Suami.
DALAM HAL HARTA TERPISAH SAMA SEKALI
Disini karena tidak ada harta persatuan maka harta pribadi kembali ke
masing-masing, dan selanjutnya harta pribadi si mati dikurangi dengan utang-
utangnnya menjadi harta warisan.
GOLONGAN II

Golongan II ini terdiri dari orang tua (ayah dan/atau ibu si meninggal dunia dan
saudara-saudara si meninggal dunia).
Ketentuannya adalah sebagai berikut :
Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih hidup
 Ayah dan ibu si meninggal masih hidup, kalau ada satu saudara masing-masing
menerima 1/3 bagian.
R meninggal dunia, maka pembagian harta
warisannya adalah sebagai
berikut.
A dan B masing-masing 1/3,
jadi berdua (A dan B) = 2/3.
C menerima 1 – 2/3 = 1/3.
GOLONGAN II

 Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan ¼ jika ada dua saudara atau lebih.
P meninggal dunia, maka pembagiannya
adalah sebagai berikut :
A B A dan B masing-masing mendapat ¼, jadi 2
orang mendapat ½, sisanya dibagi untuk C
dan D, masing-masing ½X½ = ¼

C D
P+
GOLONGAN II

Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih hidup


 Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan ¼ jika ada dua saudara atau lebih.
S meninggal dunia, maka pembagiannya
A B
adalah sebagai berikut :
A dan B masing-masing ¼, jadi keduanya ½.
sisanya = 1- ½ = ½ dibagi 4, untuk C, D, E
dan F,masing-masing menerima :
F
C D E ¼ x ½ = 1/8;Demikian seterusnya.
S+
GOLONGAN II

Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih hidup


 Jika ayah atau ibu saja yang ada bersama dengan satu orang saudara, maka

A+ pembagiannya adalah sebagai berikut :


B
Ayah/ Ibu masih hidup, mendapat ½ bagian,
kemudian sisanya yaitu 1 – ½ = ½ untuk
saudara.

C P+
GOLONGAN II

 Akan tetapi jika ayah/ibu tersebut bersama-sama dengan dua orang saudara
atau lebih maka, ayah atau ibu mendapat 1/4.
T+ meninggal dunia denga ahli warisnya yaitu
A B
ayah, dan 5 orang saudaranya, yaitu C, D,
E, F dan G. Maka pembagiannya adalah :
Ayah = 1/4, sisa 1 – 1/4= 3/4.
C T+ D E F G C = D = E = F = G = 1/5 x 3/4= 3/20.
GOLONGAN II

 Dalam hal ayah dan ibu sudah meninggal sedangkan ahli waris adalah sudara-
saudaranya saja, maka pembagiannya adalah dibagi rata.
Q meninggal dunia, ahli warisnya
A+
B+
adalah R, S, T dan U. Maka masing-
masing mendapat bagian yang sama,
R = S = T = U yaitu ¼.

R Q+ T U
S
GOLONGAN II

 Jika pewaris meninggalkan saudara-saudara yang berasal dari perkawinan yang


berbeda dan ayah serta ibu masih hidup.
A B
X +
L+

D P+ C E` F+
Ahli waris P : A dan B (ayah dan ibu), C (saudara kandung), D (saudara seayah)
E (saudara seibu) Pembagiannya :
A = B masing-masing ¼, jadi A dan B total ½ . sisanya (1- ½ = ½), dibagi dua,
masing-masing ½ X ½ = ¼ untuk saudara dari garisw ayah dan sisanya untuk
saudara dari garis ibu. Jadi untuk garis ibu dibagi untuk C, E dan F = 1/3 X ¼ =
1/12 sedangkan untuk garis ayah dibagi untuk : D dan C, masing-masing = ½ X
¼ = 1/8.
A = B = ¼; D= 1/8; C = 1/12 + 1/8 = 2/24 + 3/24 = 5/24; E = F = 1/12.
GOLONGAN II

 Jika ayah atau ibu saja yang masih hidup. Jika tinggal ayah atau ibu saja yang
masih hidup yang mewaris bersama-sama saudara sekandung, seayah dan
seibu, maka pembagiannya adalah sebagai berikut :
A B
+
L+

C D P+ E` F+
P meninggal dunia, dengan ahli waris yang terdiri dari :
A (ayah ); B (ibu);D ( saudara kandung );C ( saudara seayah );E dan F (saudara
seibu) Pembagiannya :
Sisanya 1 – ¼ = ¾ bagian, terlebih dahulu dibagi dua, masing-masing untuk garis
ayah dan garis ibu = ¾ X ½ = 3/8. Untuk garis ibu dibagi antara D, E, dan F yang
masing-masing menerima 1/3 X 3/8
Untuk garis ayah dibagi dua untuk D dan C, masing-masing ½ X 3/8 = 3/16.
Jadi : A,B menerima ¼; D menerima 1/8 + 3/16 = 5/16; E = F = 1/8
GOLONGAN II

 jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia, sedang ahli waris terdiri dari
saudara seayah, saudara seibu dan saudara kandung.
Kasus :
P meninggal dunia, orang tuanya telah meninggal dunia, ahli warisnya
terdiri dari C (saudara seayah), D (saudara kandung) dan E, F (saudara
seibu).
Penyelesaiannya adalah, harta warisan dibagi dua, ½ untuk saudara/ dari
garis ayah dan ½ nya lagi unhtuk saudara / dari garis ibu. Untuk garis ayah,
maka harta dibagi untuk D dan C, jadi masing-masing menerima ½ X ½ = ¼ .
Untuk yang dari garis ibu dibagi untuk D, E dan F, sehingga masing-masing
menerima 1/3 X ½ = 1/6.
GOLONGAN III

Seandainya ahli waris dari golongan I dan golongan II


tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah yang berasal
dari golongan III, yang mana ahli waris golongan III ini
terdiri dari keluarga sedarah adalah garis lurus ke atas
(kakek, nenek dan seterusnya ke atas).
Cara pembagian dari/untuk golongan III ini ialah
mula-mula harta warisan kita bagi dua (kloving), masing-
masing untuk garis keluarga sedarah lurus ke atas dari garis
ayah ½ dan sisanya untuk garis keluarga sedarah lurus ke
atas dari garis ibu. Dalam tiap-tiap belahan, keluarga yang
derajadnya sama mendapat bagian yang sama, dan keluarga
yang derajadnya terdekat menutup yang jauh.
GOLONGAN III

Contoh :
½ bagian untuk garis ibu ½ bagian untuk
garis ayah, untuk garis ibu diterima oleh B
+ yaitu ½ bagian dan untuk garis ayah
B+ C D diterima oleh C dan D, masing-masing ¼
bagian.
+
E
Dari skema tersebut, maka yang untuk garis
ayah di terima oleh E saja, yaitu ½ bagian
A+ dan yang untuk garis ibu diterima oleh C
dan D, dan masing-masing menerima ½ x
½ = ¼ bagian.
GOLONGAN IV

Ahli waris dari golongan IV, terdiri dari keluarga dalam garis ke samping
sampai derajad ke 6, yaitu :
• Paman dan bibi, baik dari pihak ayah maupun ibu.
• Keturunan paman dan bibi, sampai derajad ke 6 dihitung dari si meninggal dunia.

A B E FG 1+ I J
+ +
C D

+
+

P+
+ + + +
Dalam hal ini, harta warisan dibagi
dua (kloving), setengah bagian untuk
keluarga sedarah dari garis ayah yaitu
K, L dan M sehingga bagian dari K=L=
M = ½ x 1/3 yaitu 1/6.
+ + + Dan sisanya dibagi untuk keluarga
sedarah dalam garis ibu, yaitu R dan
S, dan mereka masing-masing
menerima ½ x ½ = ¼ bagian.
L KM

R S
P+
Perlu untuk diingat bahwa ahli waris
golongan III dan golongan IV dapat secara
bersama-sama mewaris, asal mereka
berlainan garis.
P meninggal dunia. Ahli waris dari garis
ayah adalah A dan B yang berasal dari orang
tua golongan III (P), sedangkan R, S dan T
dari garis ibu dan merupakan ahli waris
turunan golongan IV. Pembagiannya
adalah, mula-mula harta warisan kita bagi
dua, selanjutnya setengah bagian untuk
garis ayah, yang secara rata dibagi untuk A
dan B, sehingga masing-masing menerima
¼ bagian, dan sisanya untuk yang berasal
dari garis ibu yang secara rata dibagi untuk
R, S dan T sehingga mereka masing-masing
menerima ½ x 1/3 = 1/6 bagian.
PEWARISAN KARENA KLOVING
A meninggal dunia ; tetapi sebelum itu ayah ibunya telah
lebih dahulu meninggal dunia.
Dari garis/pancer ayah (B) A meninggalkan ahli waris
D E F G
kakek dan nenek (D dan E).
Dari garis/pancer ibu (C), A meninggalkan ahli waris
kakek dan nenek juga (F dan G)
A meninggal harta warisan sebesar Rp. 4.000.000,-
Cara membagi harta warisan sebagai berikut :
B+ CX
Harta warisan Rp. 4.000.000,- itu dibagi dua terlebih
dahulu.
½ bagian (yaitu ½ x Rp. 4.000.000,-) harus diberikan pada
AX kakek dan nenek dari garis ayah yaitu (D – E), dan
setengah bagian yang lain yaitu ½ x Rp. 4.000.000,-) harus
diberikan pada kakek dan nenek dari garis ibu (yaitu F
dan G).
Dari garis ayah:
Ahli waris yang ada D dan E ; karena keduanya
mempunyai hak yang sama maka harta warisan yang
sebesar Rp. 2.000.000,- itu harus dibagi rata, sehingga:
D mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
E mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
Dari garis ibu:
Ahli waris yang ada F dan G ; karena keduanyapun
mempunyai hak yang sama, maka harta warisan yang
sebesar Rp. 2.000.000,- itu harus dibagi rata sehingga :
F mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
Dalam hal ini, harta warisan dibagi dua (kloving), setengah bagian untuk
keluarga sedarah dari garis ayah yaitu K, L dan M sehingga bagian dari K= L = M =
½ x 1/3 yaitu 1/6.
Dan sisanya dibagi untuk keluarga sedarah dalam garis ibu, yaitu G dan H,
dan mereka masing-masing menerima ½ x ½ = ¼ bagian.
Perlu untuk diingat bahwa ahli waris golongan III dan golongan IV dapat
secara bersama-sama mewaris, asal mereka berlainan garis.
PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN

BW (Burgerlijk Wetboek) memberikan kedudukan tersebut bagi anak luar kawin.


Dalam hal ini pengertian anak luar kawin ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Anak yang dilahirkan akibat dari hubungan antara laki-laki dengan
perempuan yang kedua-duanya diluar ikatan perkawinan, yang dsebut dengan
anak alami (natuurlijk kind), anak ini dapat diakui.
2. Anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita, yang salah satu atau kedua-duanya terikat dalam perkawinan dengan
orang lain. Anak ini disebut anak zina (overspelige kinderen) dan anak ini
tidak dapat diakui.
3. Anak yang lahir akibat hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan dimana satu sama lainnya menurut ketentuan undang-undang
dilarang kawin. Anak ini disebut dengan anak sumbang (in bloedschande
gateelde kinderen). Anak ini tidak dapat diakui, kecuali jika kedua orang tua
mereka mendapat dispensasi untuk kawin dari presiden.
CARA PEMBAGIAN HARTA WARISAN
JIKA ADA ANAK LUAR KAWIN

Untuk menyelesaikan pembagian harta warisan, jika terdapat anak luar kawin,
maka mula-mula bagian dari anak luar kawin diberikan terlebih dahulu,
kemudian sisanya baru dibagi kepada ahli waris yang lainnya menurut ketentuan
undang-undang.
Untuk anak zinah (overspelige kinderen) dan anak sumbang, menurut
pasal 867 BW tidak berhak atas harta waris kecuali hanyalah berhak atas nafkah
(allimentatie).
ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI
SEPANJANG PERKAWINAN MEWARIS
BERDASAR PASAL 863

Pengakuan terhadap anak luar kawin hanyalah bersifat persoonlijk, artinya


bahwa dengan pengakuan tersebut timbul hubungan hukum antara anak
luar kawin dengan ayah/ibu yang mengakui saja.
Pengakuan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara tertentu,
yaitu menurut pasal 281 BW di dalam akta kelahiran si anak, atau dalam
akta perkawinan bapak dan ibu di muka pegawai Catatan Sipil, atau dibuat
akta tersendiri di hadapan notaris atau akta Catatan Sipil.
Jikalau pengakuan tersebut dilakukan sepanjang perkawinan,
maka menurut ketentuan dari pasal 285 BW, harus tidak boleh merugikan
istri atau suami dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu.
Atau dengan kata lain, bahwa dalam memperhitungkan warisan
suami atau istri dan anak-anak mereka yang dilahirkan dalam perkawinan
itu maka anak luar kawin dianggap tidak ada.
Contoh 1 :

A+ B

E D
C

A meninggal dunia dengan meninggalkan B, istrinya. Dan 2 anak yaitu C dan D


serta E anak luar kawin yang diakui dalam perkawinan A dan B. Dalam kasus ini
maka menurut pasal 285 BW, E tidak mendapat apapun yang mewaris adalah C, D
dan B, kecuali E diakui sebelum perkawinan.
Berapa bagian warisan dari anak luar kawin, adalah tergantung dari keadaan,
dengan siapa/bersama-sama dengan siapa anak luar kawin tersebut mewaris.
Contoh Golongan 1:
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan I, maka
bagiannya adalah 1/3 bagian dari yang diterima jia ia dilahirkan sebagai anak yang
sah (pasal 863 BW) S meninggal
dunia.
Ahli waris : T istrinya, V dan W,
S anak kandungnya, serta E, seorang
T anak luar kawin yang diakui
sebelum perkawinan.

Penyelesaiannya :
E V W Bagian dari E adalah 1/3 X
seandainya ia anak yang sah, untuk
memperhitungkan maka mula-
mula E dianggap anak yang sah,
maka bagiannya adalah ¼.
Jadi bagian E adalah = 1/3 x
seandainya ia anak yang sah, jadi
1/3 x ¼ = 1/12.
Sisa = 1 – 1/12 = 11/12.
Untuk T = V = W yaitu masing-
masing menerima 1/3 x 11/12.
Contoh Golongan 2 :
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan golongan II dan III maka
menurut ketentuan pasal 863 ayat 2 : “Jika waris hanya meniggalkan keluarga
dalam garis ke atas dan saudara-saudar, maka anak luar kawin menerima ½ dari
seluruh warisan. Jika ia mewaris bersama-sama keluarga dalam garis menyimpang,
maka ia menerima bagian ¾ dari seluruh warisan”.
P meninggal dunia, dengan
meninggalkan ayah dan ibunya (R
R S dan S), satu saudara kandung (D) dan
seorang anak luar kawin yaitu E.
Pembagiannya :
E mendapatkan ½ dari seluruh harta
P+ D warisan sisanya (1/2), dibagi
rata antara R, S dan D, masing-
masing menerima 1/3 x ½ = 1/6.
E
Contoh Golongan 3 :
F meninggal dunia dengan
meninggalkan kakek dan nenek dari
pihak ayah (K dan L), nenek dari
K L + C pihak ibu (C) dan seorang anak luar
kawin (E).
Pembagiannya :
E mendapatkan ½ dari seluruh harta
warisan.
sisanya ( ½ ), dibagi dua, untuk
garis ayah ½ x ½ = ¼
F+

E
dan selanjutnya dibagi dua untuk K
dan L, jadi mereka masing-masing
menerima ½ x ¼ = 1/8. Dan yang ¼
berikutnya untuk garis dari ibu, yaitu
C.
Contoh Golongan 4 :
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris dari golongan IV,
maka bagiannya adalah ¾ dari seluruh warisan (863 ayat 3 BW)G meninggal
dunia, dengan meninggalkan keponakan dalam derajad ke-6 2 orang yaitu C dan
D dan seorang anak luar kawin, yaitu E.

+ +
Pembagiannya adalah, untuk E ¾ dari
+ + + seluruh harta.Sisanya = ¼ dibagi
+ untuk C dan D, jadi masing-masing
+ +
menerima 1/8 bagian.
+
+ G
+
E
C D
Yang Berhak Mewaris Harta Anak
Luar Kawin

Jika seorang anak luar kawin meninggal dunia, dan ia merupakan anak
luar kawin yang diakui, maka yang berhak mewaris hartanya adalah:
Keturunannya, istri / suami (866 BW),
Bapak dan/atau ibu yang mengakuinya serta saudara-saudaranya beserta
keturunannya (870 BW).
Oleh pasal 871 BW diatur tentang pewarisan terhadap barang=barang yang
ditinggalkan oleh orang tuanya dulu. Dan jika barang tadi masih ujud semula,
sedangkan anak luar kawin tadi tidak meninggalkan istri/suami maka barang
tadi kembali kepada keturunan dari ayah/ibu yang mengakui.
CARA PEWARISAN BERDASARKAN UU
(AB INTESTATO)

a. Atas dasar kedudukan sendiri


Penggolongan ahli waria berdasarkan garis keutamaan
•Golongan I Ps. 852-852a KUHPerdata
•Golongan II Ps. 855 KUHPerdata
•Golongan III Ps. 850 yo 858 KUHPerdata
kloving
•Golongan IV Ps. 858 s.d 861 KUHPerdata
b. Berdasarkan penggantian
Syarat penggantian → orang yang digantikan telah meninggal
terlebih dahulu dari pewaris
GOL I Suami / Istri
berserta keturunannya

Pasal 852 BW

GOL II Orang tua


dan saudara kandung

Pasal 854 s.d 857 BW


GOL III Kakek +Nenek ( ke atas)
Pasal 850 s.d 853 BW

Pada gol.III terjadi kloving → ½ harta untuk keluarga ibu dan ½ untuk
keluarga ayah, keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas → pasal
850 dan 853 KUHPerdata
GOL IV Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke-6
(pasal 858) → paman+bibi
MACAM MACAM PENGGANTIAN TEMPAT

 Dalam garis lencang kebawah tanpa batas → pasal 842 KUHPdt;


 Dalam garis menyamping; saudara digantikan anak-anaknya pasal 844
KUHPerdata;
 Penggantian dalam garis samping dalam hal ini yang tampil adalah
anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada
saudara, misalnya paman, bibi, atau keponakan;
SYARAT-SYARAT UNTUK PENGGANTIAN
TEMPAT

1. Penggantian tempat ini hanya berlangsung jika ahli waris yang sah telah meninggal
dunia. Pasal 847 BW menyatakan bahwa, “tidak seorangpun diperbolehkan bertindak
untuk orang yang masih hidup sebagai penggantinya”.
2. Orang yang bertindak sebagai pengganti haruslah keturunan yang sah dari orang yang
digantikan tempatnya. Dengan demikian untuk anak luar kawin, janda, duda tidak dapat
menggantikan tempat.
3. Seorang pengganti haruslah memenuhi syarat sebagaimana ahli waris lainnya, yaitu :
a. Harus sudah ada dan masih ada ketika pewaris meninggal dunia.
b. Tidak menolak warisan.
c. Bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan.
MACAM PENGGANTIAN
TEMPAT

1. Penggantian tempat menurut pasal 842 BW.


Penggantian tempat menurut pasal ini ialah penggantian tempat dalam garis
lurus ke bawah yang sah, berlangsung lurus tiada akhirnya. Dalam segala hal,
penggantian tempat seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana
beberapa orang anak si meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang
anak yang telah meninggal terlebih dahulu maupun sekalian keturunan mereka mewaris
bersama-sama, dimana satu sama lainnya bertalian dalam keluarga yang berbeda
derajadnya.
Contoh I :

P+ 1962 +P meninggal dunia pada tahun 1962 dengan


meninggalkan seorang anak yang bernama F
dan dua orang cucu yaitu Ga dan Gb yang
merupakan anak dari G yang telah meninggal
dunia pada tahun 1959.

G F Penyelesaiannya :
Ahli waris P adalah F, Ga dan Gb sebagai pengganti
G. Maka Pembagiannya sebagai berikut. F = Ga
dan Gb = ½ jadi F = ½
Ga = Gb = ½ X ½ = ¼.
Ga Gb
Contoh II :
A meninggal dunia dengan ahli waris :
Cucu Ra, anak dari R yang telah
A+ meninggal. Cucu-cucu Ka dan Kb anak
dari K yang telah meninggal terlebih
dulu. Sa dan Sb anak dari S yang telah
K+ meninggal, S anak A. Sca dan Scb, cicit A,
+
anak Sc yang telah meninggal terlebih
S R
+
+
dulu.
Pembagiannya :
Harta warisan dibagi dulu, untuk R = S,
masing-masing 1/3. Baru selanjutnya
Sc+ Sb Sa Ra Ka Kb dibagi per kepala. Ra menggantikan R =
1/3
Ka dan Kb menggantikan K, masing-
masing menerima : ½ x 1/3 = 1/6.
Sca Scb Sa = Sb = Sc = 1/3 x 1/3 = 1/9.
Sca = Scb menggantikan Sc masing-
masing menerima : ½ x 1/9 = 1/18.
Contoh III :
A+
A meninggal dunia pada tahun 1967
1967 dengan ahli : waris ½ Ba menggantikan B,
Ca dan Cb menggantikan C. E anak luar
kawin dari B tidak dapat menggantikan
tempat B.
C+ B+

Ca Cb E Ba
Contoh IV :

A+
Ahli waris A :
B. Ca, Cb menggantikan C yang telah
meninggal. Ea dan Eb menggantikan E
B C+ anak luar kawin. Jadi kedudukan anak
E+ luar kawin dapat digantikan oleh
anaknya.

Ea Eb Ca Cb
Contoh V :
Menurut pasal 848 BW dikatakan bahwa,
1960 “seorang anak mengganti kedudukan orang tua
A+ tadi, bahkan bolehlah terjadi seorang pengganti
orang lain yang telah menolak menerima
warisan”.
C meninggal dunia pada tahun 1950 dengan
1950 meninggalkan D, namun D menyatakan menolak
warisan dari C. Tahun 1960 A meninggal dunia,
B C+ ahli warisnya B, dan D menggantikan C.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa,
walaupun D menolak warisan dari C, namun D
masih dapat menerima warisan dari A karena
D kedudukan D menggantikan C.
2. Penggantian tempat menurut pasal 844 BW
Penggantian tempat menurut pasal 844 BW ini adalah dalam garis menyimpang
penggantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki-
laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris
bersama-sama dengan paman atau bibi mereka walaupun warisan itu setelah
meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu, harus dibagi antara sekalian
keturunan mereka yang mana satu dengan yang lainnya bertalian keluarga dalam
golongan yang tidak sama.
Contoh :
A meninggal pada tahun 1965, C meninggal
tahun 1963, maka ahli ahli warisnya adalah :
B saudara dari A Ca dan Cb menggantikan
kedudukan C.
C 1958 Dari ketentuan pasal 844 BW tersebut perlu
A+
diingat tentang adanya pasal 861 BW yang
1965 B menyatakan bahwa keluarga sedarah yang
dengan si mati bertalian keluarga dalam
+ + garis menyimpang lebih dari derajad ke-6
tidak berhak mewaris.
3.Penggantian tempat menurut pasal 845 BW
Menurut pasal ini, penggantian tempat dalam garis meyimpang
diperbolehkan juga bagi keponakan apabila di samping mereka
yang mempunyai pertalian darah terdekat masih ada keturunan
dari saudara daripada orang yang mempunyai pertalian darah
terdekat tadi.
Contoh Kasus :

A meninggal dunia, ia meninggalkan ahli waris


dalam garis ke samping dalam derajad ke-6, yaitu
A+
1960 B, C dan D, sedangkan D telah meninggal lebih
dahulu daripada A dengan meninggalkan Da, Db
dan Dc. Dalam penggantian tempat perlu untuk
diperhatikan ketentuan dari pasal 858 BW, yang
menyatakan bahwa bagi para keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas tidak ada penggantian
tempat, karena keluarga terdekat dalam tiap-tiap
D garis mengesampingkan segala keluarga di dalam
pertalian yang lebih jauh.
B C
Da Db Dc
MEWARIS KARENA DIRI SENDIRI
(UIT EIGEN HOOFDE)

Mewaris karena diri sendiri (Uit Eigen Hoofde) seperti yang diatur dalam pasal
480 BW, ialah bahwa anak dari seseorang yang telah dinyatakan tidak patut
menerima warisan (onwaardig) ataupun anak dari orang yang menolak warisan
berhak untuk menerima warisan karena dirinya sendiri.
Contoh I :
A+ A meninggal dunia. B dinyatakan tidak patut
menerima warisan (onwaardig), maka C dan
D menerima warisan karena diri sendiri (uit
B eigen hoofde).
(onwaardig)

C D
Contoh II :
A+

A meninggal dunia. B dan C


C menolak warisan. D, E, F, G menerima
B warisan karena diri (Uit eigen hoofde).

D E F G
MEWARIS KARENA TESTAMENTAIR

Pengertian Testament :
Pasal 875 KUHPerdata → suatu akta yang memuat
tentang apa yang dikehendaki terhadap harta
setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut
kembali Pernyataan sepihak.
Unsur-unsur testament :
a. Akta
b.Pernyataan kehendak
c. Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal
terhadap harta
d.Dapat dicabut kembali
Syarat-syarat membuat testament :
1. Dewasa → 18 tahun (cakap bertindak).
2. Akal sehat.
3. Tidak dapat pengampuan.
4. Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan,
kekeliruan.
5. Isi harus jelas.
Isi dari testament adalah :
a. Erfstelling → pasal 954 KUHPerdata
Testamentair erfgenaam
b. Legaat (berhubungan dengan harta) → pasal 957
KUHPerdata
Legetaris
c. Codicil (tidak berhubungan dengan harta)
Pencabutan suatu testament :
a. Secara tegas, jika dibuat surat wasiat baru yang
isinya mengenai pencabutan surat wasiat
b. Secara diam-diam, dibuat testament baru yang
memuat pesan-pesan yang bertentangan dengan
testament lama.
TIMBULNYA WARIS TESTAMENTAIR

hukum waris testament timbul atas dasar prinsip bahwa setiap orang
berhak atau bebas untuk berbuat apa saja terhadap harta bendanya. Demikian juga
orang tersebut bebas untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa saja yang diingini
walaupun demikian masih juga ada batas-batas yang diizinkan oleh undang-
undang.
DASAR HUKUM WARIS
TESTAMENTAIR
Dasar hukum dari waris testamentair adalah pasal 874
BW yang menyatakan bahwa, “Segala harta peningga
lan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan
sekalian ahli waris menurut ketentuan undang-undang,
sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah
diambil suatu ketetapan yang sah”.
Dari ketentuan Pasal 874 BW dapatlah kita tarik suatu
kesimpulan bahwa :
1. Dengan surat wasiat si pewaris dapat mengangkat seorang atau beberapa
orang ahli waris, dan pewaris dapat memberikan sesuatu kepada
seseorang atau kepada beberapa orang.
2. Terdapat suatu kemungkinan bahwa harta warisan tersebut yang
merupakan peninggalan seseorang dibagi berdasar undang-undang
(sebagian) dan selebihnya berdasar surat wasiat.
3. Ahli waris yang berdasarkan terstamen lebih diutamakan daripada ahli
waris menurut undang-undang.
PENGERTIAN WASIAT

Pengertian wasiat dapat diketahui dari pasal 875 BW, yang menyatakan bahwa,
“Surat wasiat ialah sesuatu yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendaki atau terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut
kembali”.
Dari pengertian ini maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa ciri-ciri surat
wasiat adalah :
1. Merupakan perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali.
2. Merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan hukum setelah pewaris
meninggal dunia.

Dengan melihat ciri pokok dari testamen/surat wasiat tersebut maka terdapat
suatu larangan untuk membuat wasiat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama untuk menguntungkan satu dengan yang lainnya maupun untuk
kepentingan pihak ketiga dalam suatu akta (930 BW).
JENIS-JENIS SURAT
WASIAT

Burgerlijk Wetboek mengenal tiga macam/jenis cara


pembuatan surat wasiat, yaitu :
1. Surat wasiat yang ditulis sendiri (olografis)
2. Surat wasiat tak rahasia (openbaar)
3. Surat wasiat rahasia (geheim)
Ketiga jenis surat wasiat tersebut di atas memerlukan
campur tangan notaris dalam pembuatannya.

61
Dr. HENNY TANUWIDJAJA, S.H, Sp.N
SURAT WASIAT OLOGRAFIS

Surat wasiat olografis, oleh Burgerlijk Wetboek di atur dalam pasal 931
dan seterusnya.
Dalam ketentuannya, surat wasiat ini seluruhnya harus ditulis dan
ditanda tangani oleh si pewaris dan kemudian disimpan oleh Notaris, pada waktu
menyimpan haruslah dihadiri oleh dua orang saksi.
Sewaktu menyerahkan kepada Notaris tersebut, mungkin terjadi bahwa
surat wasiat tersebut sudah dimasukkan dalam sampul dan disegel. Jika denikian
maka pada sampul, si peninggal warisan dan saksi mencatat bahwa itu
merupakan surat wasiatnya dan harus ditanda tanganinya.
Oleh Notaris dibuatkan sebuah akta tersendiri dan ditandatangani oleh
si peninggal warisan, saksi dan juga Notaris. Namun apabila surat wasiat tersebut
diserahan kepada Notaris tidak dalam keadaan disegel/tidak ditutup yang berarti
terbuka, maka akta penerimaan (akta van bewaargeving) tadi oleh Notaris ditulis
pada surat wasiat itu sendiri di bawah tulisan si peninggal warisan. Kemudian
akta tersebut ditanda tangani oleh Notaris saksi-saksi dan si peninggal warisan.
Sewaktu menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Notaris mungkin
pula si peninggal warisan tidak dapat mendatanginya sendiri, jika terjadi
demikian maka oleh Notaris harus mencatat sebabnya hal ini menurut
ketentuan pasal 932 ayat 2 BW.
Kekuatan dari testamen olografis menurut pasal 933 BW adalah sama
dengan testamen/surat wasiat tak rahasia dan pembuatannya dianggap pada
tanggal sesuai dengan akta penerimaan Notaris, dengan demikian tanggal 1 yang
ditulis oleh si peninggal warisan tidak dianggap tidak ada.
Oleh ayat 2 dari pasal 933 BW, dinyatakan bahwa terbuktinya hal
bahwa terstamen/surat wasiat tersebut sampai dibuktikan sebalik nya.
Sesuai dengan maksudnya, bahwa surat wasiat adalah merupakan
kemauan terakhir dari seseorang, maka dalam hal ini testamen/surat wasiat
olografis dapat diminta kembali, jika terjadi bahwa surat wasiat tersebut diminta
kembali maka oleh notaris dibuat suatu akta autentik yang menyatakan
permintaannya kembali. Dengan dimintanya kembali surat wasiat olografis, maka
dianggap bahwa surat wasiat tersebut ditarik kembali (herroepen).
Testamen/surat wasiat olografis yang diserahkan kepada Notaris dalam
keadaan disampul yang disegel, maka Notaris tidak berhak untuk membukanya,
jika si peninggal warisan itu meninggal duniamaka oleh Notaris diserahkan
kepada Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) untuk dibuka dan diperlakukan
sebagaimana surat wasiat, sehingga diperlukan suatu proses verbal, setelah dibuka
maka surat wasiat tersebut diserahkan kembali kepada Notaris.
SURAT WASIAT TAK RAHASIA (Openbaar Testament)

Mengenai surat wasiat tak rahasia ini, diatur dalam pasal-pasal 938 dan
seterusnya. Menurut pasal 938 menentukan bahwa surat wasiat ini harus dibuat
dihadapan Notaris dan dihadiri oleh dua orang saksi. Setelah itu maka si
peninggal warisan menyatakan kehendaknya kepada Notaris, kemudian Notaris
menulisnya dengan kata-kata yang terang, setelah hal ini sesuai dengan kehendak
si peninggal warisan, maka oleh notaris dibuatkan akta yang harus ditanda
tangani oleh Notaris, si peninggal warisan, maka oleh Notaris, si peninggal
warisan dan saksi-saksi.
SURAT WASIAT RAHASIA
(GEHEIM)

Syarat-syarat pembuatan SURAT WASIAT RAHASIA ini diatur dalam


pasal 940 dan 941 BW. Pembuatan surat wasiat rahasia haruslah dibaut sendiri dan
ditanda tanganinya dan dimasukkan dalam sampul yang disegel untuk selanjutnya
diserahkan kepada Notaris dengan dihadiri oleh empat orang saksi.
Di muka Notaris, si peninggal warisan kemudian menerangkan di hadapan
Notaris bahwa yang ada di dalam sampul tersebut adalah surat wasiatnya dan yang
menulisnya adalah dia sendiri atau dituliskan oleh orang lain.
Oleh Notaris kemudian dibuatkan akta superscriptie yang dapat dituliskan
pada sampul surat wasiat atau pada kertas tersendiri dan ditanda tangani oleh
peninggal warisan, Notaris dan saksi-saksi.
Penyimpanan SURAT WASIAT RAHASIA ini haruslah bersama- sama
dengan orisinil-orisinil akta lainnya, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 940
BW.
Pasal 941 BW, menunjukkan pada suatu kemungkinan apabila si
peninggal warisan tersebut adalah bisu, jika demikian maka tetaplah harus ia
yang menulis, dan di atas akta superscriptie haruslah ia menulis bahwa surat
wasiat yang ada di dalamnya adalah surat wasiatnya dan kemudian Notaris
membuat keterangan pada akta superscriptie bahwa keterangan tertulis dari si
pembuat surat wasiat tersebut adalah ditulis dihadapan Notaris dan para saksi.
Syarat-syarat Saksi Dalam Pembuatan
Surat Wasiat

Mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapatnya seseorang


menjadi saksi dalam pembuatan surat wasiat adalah dimuat dalam pasal 4 BW, yang
antara lain disebutkan :
 Sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin.
 Penduduk Indonesia.
 Mengerti bahasa yang dipergunakan oleh si peninggal warisan dan yang
dipergunakan untuk/dalam surat wasiat.
Kemudian oleh pasal 944 ayat 2 BW, dinyatakan bahwa syarat-syarat, bagi
para saksi dalam pembuatan surat wasiat tak rahasia, saksi tidak diperbolehkan :
 Para ahli waris, sanak famili atau orang yang dihibahi barang-barang atau sanak-
sanaknya sampai derajad 4.
 Anak-anak, cucu-cucu, menantu ataupun cucu menantu Notaris.
 Pelayan-pelayan Notaris.
SURAT WASIAT YANG DI BUAT DI
LUAR NEGERI

Ketentuan dari pasal 945 BW menyatakan bahwa seorang warga


negara Indonesia yang tunduk pada hukum perdata barat (Burgerlijk Wetboek)
dapat membuat SURAT WASIAT DI LUAR NEGERI, namun dengan suatu
akta autentik dan dengan mengikuti acara-acara yang lazim dipergunakan di
negara tersebut, dan konsul Indonesia dapat melakukan tindakan-tindakan yang
lazim dilakukan oleh Notaris Indonesia.
Pembuatan Surat Wasiat Dalam
Keadaan Luar Biasa

Mengenai pembuatan SURAT WASIAT DALAM KEADAAN LUAR


BIASA ini diatur oleh pasal-pasal 946, 947 dan 948 BW.
Pasal 946 BW memberikan kemungkinan pada prajurit atau seseorang yang
ada dalam dinas ketentaraan, dalam keadaan perang dapat membuat surat wasiatnya
dihadapan seorang perwira perang yang berpangkat serendah-rendahnya letnan, atau
jika tidak ada perwira maka dapat dilakukan dihadapan seorang yang pangkatnya
paling tinggi dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 947 BW memberikan ketentuan untuk membuat surat wasiat di dalam
kapal laut yang sedang berlayar. Di sini surat wasiat dibuat dihadapan Kapten dan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Jika seseorang ada di daerah terpencil yang terputus hubungan dengan
luar karena pemberontakan wabah penyakit ataupun karena bencana alam,
maka surat wasiat dapat dibuat dihadapan seorang pegawai Pamong Praja dan
dihadiri sekurang-kurangnya satu orang saksi.
Jika pembuat surat wasiat tersebut itu seorang buta huruf maka hal ini
harus diterangkan dalam surat wasiat.
Pasal 950 BW memberikan keterangan bahwa surat wasiat yang
dibuat dalam keadaan luar biasa tersebut akan menjadi tidak mempunyai
kekuatan lagi (krachteloos) jika setelah berakhirnya masa luar biasa tersebut
dengan tenggang waktu 6 bulan.
ERFSTELLING DAN LEGAAT

Antara ERFSTELLING DAN LEGAAT terdapat suatu perbedaan, dimana


erfstelling adalah merupakan penentuan dalam surat wasiat, dimana seseorang tertentu
ditunjuk untuk menerima seluruh harta warisan atau sebagian tertentu, misalnya ½ , ¼, ¾
dan sebagainya, hal ini dapat kita lihat dari pasal 954 BW, sedangkan legaat adalah
dimana seorang peninggal warisan menunjuk seseorang tertentu, misalnya rumah tertentu,
seluruh barang bergerak milik peninggal warisan, atau hak memetik/memungut hasil atas
sebagian atau seluruh harta peninggalan dan sebagainya, yang mana hal ini dapat kita
lihat dalam pasal 956 BW.
Demikian juga menurut pasal 955 dan pasal 958 BW dapat
disimpulkan mengenai perbedaan antara ERFSTELLING DAN LEGAAT,
dimana orang yang mendapat erfstelling berkedudukan sebagai ahli waris ab-
intestato, dalam artian ini maka orang yang menerima erfstelling tidak saja
menerima barangnya saja akan tetapi juga menanggung beban antara lain
membayar utang si peninggal warisan.
Berbeda dengan legaat yang berkedudukan sebagai seorang crediteur
dari si peninggal warisan, sehingga ia tidak bertanggung jawab atas utang-
utang si meninggal dunia, bahkan ia dapat menuntut dari ahli warisnya agar
barang-barang tertentu diserahkan kepadanya.
KEWAJIBAN (LAST)

Dalam suatu legaat dapat pula dibebankan suatu kewajiban


kepada penerimaan legaat (legataris), dalam pasal 961 BW, membarikan
kewajiban bagi legataris untuk membayar pajak, sedangkan menurut
pasal berikutnya, yaitu pasal 962 BW, menyatakan bahwa apabila
beberapa legataris dibebani kewajiban oleh si peninggal warisan, maka
para legataris itu wajib untuk memenuhinya seimbang dengan yang
diterimanya.
UJUD LEGAAT

Dari ketentuan yang ada dalam pasal 968 BW, dapat kita lihat bahwa Ujud
Barang Legaat dapat berupa barang tertentu, dan juga dapat pula berupa sekumpulan
barang tertentu ataupun sejumlah barang tertentu.
Penyerahan barang legaat, haruslah diserahkan pula segala kelengkapan
barang tersebut, jadi misalnya yang diberukan tersebut sebuah pabrik, maka yang
diserahkan sebagai barang legaat adalah bangunan beserta mesin dan kelengkapan
pabrik tersebut (963 BW).
Kepada si legataris, jika yang diserahkan adalah jenis barang tertentu maka
tidaklah perlu yang diserahkan itu merupakan barang yang terbaik, akan tetapi tidak
boleh yang diserahkan itu merupakan barang yang terjelek, hal ini adalah sesuai
dengan ketentuan dari pasal 969 BW.
Untuk yang diserahkan adlah berupa hasil dari barang tertentu, tidak
disebutkan kata-kata ‘memetik hasil’ atau ‘memakai’ (vrucht gebruik atau gebruik),
maka hal ini berarti bahwa barang tersebut masih ada ditangan ahli waris, dan ahli waris
ini berkewajiban untuk menyerahkan/memberi hasil kepada legataris saja.
Namun akan lain apabila disebutkan hak memetik hasil (recht van vrucht
gebriuk) atau hak memakan (recht V. Gebruik), maka di sini harus diartikan bahwa
barangnnya harus diserahkan kepada legataris.
FIDEI COMMIS

Larangan terhadap adanya “Fideicommissaire Substitutien” atau “Erfstelling


Over de Hand” dimuat dalam pasal 879 ayat 1 BW, sedangkan pada ayat 2 dapat kita
ketahui tentang maksud dari ayat di atas, yakni, bahwa setiap penetapan si meninggal/si
peninggal warisan, bahwa si ahli waris di berikan kewajiban untuk menyimpan harta
warisan atau barang tertentu dari harta warisan yang selanjutnya harus diserahkan kepada
pihak ketiga.
FIDEI COMMIS DE RESIDUO

Fidei Commis De Residuo, yang diatur dalam pasal 989 sampai dengan 991
BW, adalah merupakan kekecualian dari larangan adanya fidei commis. Tentang fidei
commis de residuo ini adalah berarti bahwa seorang ahli waris diberi hak untuk memakai,
menjual ataupun bahkan menghabiskan barang warisan tersebut dengan beban sisanya
diserahkan kepada pihak lain.
Dari ketentuan pasal 990 BW, Fidei Commis De Residuo ini masih diperlukan
kewajiban untuk mengadakan perincian barang-barang (boedelschriving).
PENARIKAN KEMBALI SURAT WASIAT

Surat wasiat, dimana didalamnya mengandung suatu pengertian yang


prinsip yaitu merupakan keinginan terakhir dari si peninggal warisan, oleh karena
itu memang diberi kemungkinan untuk diubah ataupun ditarik kembali. Penarikan
kembali ini dapat dilakukan secara diam-diam (stizwijgend) ataupun secara terang-
terangan (uitdrukkelijk).
PENARIKAN KEMBALI SECARA DIAM-DIAM

Dari yang kita tangkap, ketentuan-ketentuan pada BW tentang penarikan


kembali surat wasiat secara diam-diam ini ada tiga macam contoh, yaitu :
1. Jika seseorang peninggal warisan membuat surat wasiat lebih dari satu yang isinya
berbeda satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Dalam hal ini, pasal 994
BW, menyatakan bahwa jika ada dua surat wasiat yang berurutan berbeda dengan
yang lainnya, maka dianggap penarikan kembali dari ayat-ayatnya dikemukakan
bahwa penarikan kembali secara diam-diam ini dianggap tidak pernah ada jika surat
wasiat yang kedua tidak memenuhi ketentuan acara-acara yang ditentukan oleh
BW.
2. Ketentuan dari pasal 996 BW, meyatakan bahwa jika terjadi suat barang yang
dihibahkan, namun oleh si peninggal warisan, sebelum meninggal dunia barang
tersebut kemudian dijual atau ditukarkan, maka hal inipun dianggap telah ada
penarikan kembali.
3. Jika terjadi suatu surat wasiat olografis yang diminta kembali oleh si pembuat surat
wasiat tersebut dari Notaris, maka hal inipun dianggap telah terjadi penarikan
kembali surat wasiat tersebut (934 BW).
PENARIKAN KEMBALI SECARA TEGAS
Tentang penarikan kembali surat wasiat secara tegas oleh BW
diatur dalam pasal 992 dan 993.
Menurut pasal 992 BW, penarikan kembali secara tegas ini dapat
dilakukan dengan:
1. Dalam suatu surat wasiat baru yang dibuat menurut pasal-pasal BW,
atau
2. Dalam suatu akta Notaris khusus (bijzondere notariele akta).
Tentang apa yang dimaksud dengan ‘khusus’ pada ketentuan ini
adalah suatu akta yang memang secara khusus memuat tentang penarikan
suatu surat wasiat.
PENAMBAHAN (Aanwas)

Jikalau terjadi, suatu harta warisan yang diberikan kepada ahli waris tidak
dapat dilaksanakan terhadap salah seorang dari mereka, maka bagiannya yang tidak
dapat diberikan tadi dibagi dan ditambahkan kepada yang lain.
Misalnya, harta warisan diberikan secara bersama-sama diberikan kepada
V, W dan X, kemudian untuk si W tak dapat dilaksanakan, maka bagian W dibagi
dan ditambahkan kepada V dan X, namun pemberian bersama ini tidak
ada/dianggap tidak ada jika telah ditetapkan berapa bagiannya, misalnya ¾, ½ atau
¼ dan sebagainya.
Tentang Aanwas ini diatur dalam pasal 1002 BW, “dalam hal bilamana
dengan surat wasiat diangkat beberapa ahli waris atau dihibahkan kepada beberapa
orang bersama-sama dan terhadap seseorang atau lebih di antara mereka itu tidak
dapat dilaksanakan, maka hal ini dapat mengakibatkan bertambahnya warisan atau
hibah bagi mereka masing-masing”.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa aanwas ini tidak akan terjadi kecuali
adanya perwarisan bersama-sama (gezamelijk). Tentang gezamelijk ini aturannya
dapat kita jumpai pada pasal 1002 ayat 2, “tiap pengangkatan waris atau hibah
dengan surat wasiat satu-satunya dan bagi mereka (beberapa orang) tidak disebutkan
bagiannya mereka masing-masing yang tertentu harus dianggap ditetapkan bagi
mereka bersama-sama”.
Seandainya salah satu dari mereka itu menolak warisan atau dinyatakan
tidak patut atau tidak cakap, maka hal ini berarti akan menambah bagian dari kawan
wasiatnya tadi.
Misalnya :
“saya berikan kepada Andi dan Yunus sebuah rumah, yang terletak di Jl.
Kol. Isdiman 12 Yogyakarta”. Namun ternyata Andi menolak warisan, maka berarti
bagian Yunus bertambah, terjadilah aanwas.
OVERSPELL
Di antara orang yang melakukan perzinahan (overspel) yang mana hal itu
sudah dibuktikan dengan keputusan Hakim menurut pasal 909 BW tidak
diperbolehkan saling memberi hibah wasiat.

SIKAP AHLI WARIS


Harta warisan yang menurut BW adalah semuanya yang di dalamnya termasuk
pula utang-utang yang harus dibayar oleh si peninggal warisan, sehingga dapatlah
dimaklumi jika BW memberikan tiga macam sikap yang harus dipilih salah satunya oleh
ahli waris.
1. Menerima seluruh harta warisan, yang dalam pengertian ini berarti juga meliputi
utang-utang si peninggal warisan.
2. Menerima dengan syarat bahwa harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian
bahwa utang-utangnya dapat di bayar sekedar harta warisan mencukupi.
3. Menolak harta warisan dengan pengertian bahwa ia tidak tahu menahu tentang
pengurusan harta warisan tersebut.
Ahli waris yang menerima sikap pertama atau sikap kedua maka penerimaan
harta warisannya berlaku surat sampai waktu ke waktu meninggalnya si peninggal
warisan.
Sikap manapun yang diambil oleh ahli waris akan mempunyai pengaruh
terhadap harta warisnya maupun terhadap dirinya, oleh karena itu oleh BW diberikan
waktu dan hak untuk berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil sikap (beraad).
Mengenai hak untuk berpikir (recht van beraad) ini diatur oleh 1023 sampai
dengan pasal 1029 BW. Untuk berpikir ini maka ahli waris haruslah menyampaikan
keterangan kepada Panitera Pengadilan Negeri agar dimasukkan dalam daftar dan
tenggang waktu untuk berpikir ini menurut pasal 1024 BW ditetapkan selama 4 bulan
dihitung sejak menyampaikan keterangannya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Selama masa berpikir ini maka ahli waris diwajibkan untuk memelihara harta
warisan (als een goed huisvader) dan jika terdapat barang-barang yang tidak dapat
disimpan lama ataupun terdapat barang-barang yang dianggap tidak berguna maka ahli
waris dapat melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, agar diambil tindakan
penyelamatan.
MENERIMA TANPA SYARAT
Ahli waris dapat mengambil sikap pertama, yaitu Menerima Tanpa Syarat.
Menurut pasal 1048 BW, menerima tanpa syarat ini dapat dilakukan dengan dua macam
cara, yaitu :
Menerima secara tegas, yaitu dengan membuat akta autentik ataupun akta bawah tangan.
Menerima diam-diam, yaitu dengan cara sikap mencerminkan sikap menerima tanpa
syarat.
Tindakan ahli waris yang berhubungan dengan penguburan mayat dan tindakan
yang bertujuan untuk melindungi, menyimpan atau mengawasi ataupun menyimpan
sementara barang-barang tertentu bagian dari harta warisan menurut pasal 1049 BW
adalah bukan merupakan sikap menerima warisan secara tanpa syarat.
MENERIMA DENGAN SYARAT

Dengan adanya sikap menerima dengan syarat ini ialah bahwa harta
pribadinya tidak bercampur dengan harta warisan, dengan demikian utang-utang si
peninggal warisan tidak akan dilunasi secara pribadi oleh ahli waris tersebut.
Jika terjadi beberapa orang ahli waris menerima dengan syarat dan seorang
menerima tanpa syarat maka akan menjadikan keadaan dimana semua ahli waris
dianggap menerima dengan syarat, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1050 BW.
Syarat, yang dimaksud dengan syarat ini ialah bahwa harus ada perincian
barang-barang yang merupakan harta warisan. Cara untuk memerinci ini tidak
ditentukan oleh BW, ahli waris dapat melakukan dengan akta bawah tangan atau
juga dengan akta Notaris.
Pasal 1031 BW menyatakan bahwa seseorang kehilangan hak untuk
menerima tanpa syarat apabila :
Iktikad (te kwader trouw) ia tidak menyebutkan beberapa barang warisan
dalam inventaris.
Apabila ia menggelapkan dalam arti luas sebagaimana dimaksud dalam
KUHP barang warisan.
Jika seseorang kehilangan haknya untuk menyatakan sikap menerima
dengan syarat, maka ia dianggap menerima tanpa syarat.
Akibat dari sikap menerima dengan syarat ini ialah bahwa : hartanya
tidak bercampur dengan harta warisan hingga hal yang menyangkut dengan
utang-utang si peninggal warisan hanya dibayar sampai nilai harta warisan.
KEPAILITAN HARTA WARISAN

Ketentuan pasal 197 Faillisementverordening memberikan kemungkinan bagi


para crediteur untuk meminta pailitnya harta warisan menurut pasal 200 jika sudah lampau
3 bulan sejak harta warisan diterima ahli waris dan 6 bulan setelah meninggalnya si
peninggal warisan, dengan alasan bahwa secara singkat crediteur dapat membuktikan
bahwa si peninggal warisan sudah beberapa saat berhenti membayar utang-utangnya atau
bahwa barang-barang warisan tidaklah cukup untuk membayar utang-utangnya.
MENOLAK HARTA WARISAN

Sikap MENOLAK HARTA WARISAN ini menurut pasal 1057 BW


ditentukan ada dua macam cara, yaitu dengan cara tegas, yaitu dengan cara membuat
keterangan menbolak pada Panitera Pengadilan Negeri di wilayah hukum mana harta
warisan tersebut berada.
Akibat penolakan tersebut, menurut pasal 1059 BW adalah berlaku surut
dihitung sejak saat meninggalnya peninggal warisan sehingga si penilak warisan
tersebut dianggap tidak pernah ada.
Dengan penolakan ahli waris tersebut untuk menerima warisan, maka
terdapat kemungkinan bahwa hal ini akan merugikan crediteur yang mempunyai
piutang kepada si meninggal, jika demikian maka oleh pasal 1061 BW, diberi
kemungkinan kepada crediteur tersebut untuk meminta kepada hakim agar ia diberi
kuasa untuk mengganti menerima harta warisan atas nama.
LEGITIEME PORTIE

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa seseorang itu berhak untuk


memberikan hartanya kepada siapa saja. Bebas. Walaupun orang yang diberi tersebut
tidak memiliki hubungan pertalian saudara, namun kebebasan tersebut adalah
terbatas oleh ketentuan undang-undang. Pembatasan tersebut adalah merpakan
upaya undang-undang. Pembatasan tersebut adalah merupakan upaya undang-
undang untuk melindungi orang-orang yang termasuk keluarga sedarah dari si
peninggal warisan.
Bagi mereka ini undang-undang telah memberikan bagian tertentu yang
tidak boleh dikurangi dengan cara apapun oleh si pewaris/peninggal harta warisan.
Bagian ini sering disebut dengan bagian mutlak atau legitieme portie dan orang-orang
yang mempunyai hak legitieme portie ini sering disebut legitimaris.
Adapun Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang tersebut
memperoleh kedudukan sebagai legitimaris adalah :
1. Orang tersebut adalah keluarga sedarah dalam garis lurus.
2. Orang tersebut adalah merupakan ahli waris menurut ketentuan undang-
undang pada saat si peninggal warisan/ pewaris meninggal dunia.
Legitieme Portie ini harus dihitung apabila :
3. Salah satu atau beberapa ahli waris menuntut haknya.
4. Atau, salah satu/beberapa orang ahli waris/legitimaris masih ada di bawah
umur (minder jarig).

92
Dr. HENNY TANUWIDJAJA, S.H, Sp.N
Contoh I :
P+ P meninggal dunia dengan
meninggalkan 2 orang anak, yaitu
C dan D. Legitimaris adalah C dan
D, sebab adalah keluarga sedarah P
dalam garis lurus dan C dan D
C D tersebut adalah ahli waris ab-
intestato.

Contoh II :
A P meninggal dunia dengan meninggalkan
A (kakek), B dan C (saudara). A bukan
legitimaris, karena pada waktu meninggal
nya P, A bukan ahli waris. Dan C dan B
juga bukan karena tidak merupakan
C D keluarga sedarah dalam garis lurus.
P +
Legitieme Portie Masing-masing Legitimaris

1. Legitieme Portie untuk anak keturunan yang sah adalah sebagai berikut :
a. Satu orang anak LP-nya adalah ½ dari bagian menurut undang-undang.
b. Dua orang anak LP-nya adalah 2/3 dari bagian menurut undang-
undang
c. Tiga orang anak LP-nya adalah ¾ dari bagian menurut undang-undang.
2. Bagian mutlak/LP untuk keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas adalah
½ dari bagian menurut undang-undang.
3. Bagian mutlak/LP untuk anak luar kawin adalah ½ dari bagian menurut
undang-undang.
Jadi dengan adanya ketentuan tentang bagian mutlak atau Legitieme Portie
ini dapat kita simpulkan bahwa, seseorang boleh saja mewasiatkan atau
menghibahkan hartanya kepada orang lain namun tidak boleh mengurangi
bagian mutlak dari ahli waris, jika terjadi pelanggaran terhadap hal ini
maka dilakukan pemotongan atau sering dengan istilah “Incorting”, dengan
urut-urutan sebagai berikut :
1. Yang harus dikurangi terlebih dahulu adalah wasiat.
2. Jika wasiat belum mencukupi maka diambilkan dari hibah.
3. Pengurangan terhadap beberapa wasiat harus dilakukan dengan
perbandingan (undha-usuk, jawa).
CARA MENGHITUNG LEGITIEME
PORTIE

1. Harta peninggalan sewaktu peninggal warisan meninggal dunia, dihitung


dan diinventarisir untuk mengetahui berapa nilai harganya.
2. Nilai harga dari barang-barang yang mungkin ketika si peninggal warisan
masih hidup diberikan ditambahkan dengan di atas.
3. Jumlah di atas dikurangi dengan utang-utang yang pernah dibuat oleh si
peninggal warisan.
4. Sisa dari pengurangan tersebut menjadi dasar penghitungan legitieme portie.
LEGITIEME PORTIE DAN PENGGANTIAN TEMPAT

Hak mutlak Legitieme Portie seseorang dapat digantikan oleh ahli


warisnya/keturunannya. Hal ini adalah sesuai dengan pasal 914 BW pada ayat
terakhir yang menyatakan bahwa, jika ada anak yang telah meninggal terlebih
dahulu, kedudukan anak yang telah meninggal lebih dahulu dapat digantikan
oleh keturunannya
CONTOH KASUS :

A+ 1945

A meninggal dunia dengan meninggalkan 2


orang anak B dan C, serta Ca dan Cb anak sah
dari C. LP untuk B dan C adalah dari bagian
menurut UU.
C + 1941 B LP B = 2/3 x ½ = 1/3
LP C = 2/3 x ½ = 1/3
Jika C telah meninggal dulu dan digantikan Ca
dan Cb, maka LP Ca = Cb = ½ x 1/3 = 1/6.

Ca Cb
DALAM HAL LEGITIMARIS MENOLAK
ATAU TIDAK PATUT MENERIMA

Besarnya Legitieme Portie adalah dikaitkan dengan besarnya


warisan menurut Undang-undang, sedangkan adanya Penolakan Harta
Warisan sangat mempengaruhi besarnya harta warisan, demikian juga adanya
seseorang yang Dianggap Tidak Patut Menerima juga mempengaruhi
besarnya harta warisan. Dengan demikian timbul pertanyaan, apakah dengan
adanya penolakan atau ketidak patutan ahli waris untuk menerima
mempengaruhi besar kecilnya legitieme portie?. Jawabnya adalah : tidak, ada
ataupun tidak penolakan harta warisan ataupun adanya yang dianggap tidak
patut tetap tidak mempengaruhi besarnya LP.
CONTOH KASUS :

Dalam keadaan biasa F, G dan H masing-masing


P+ menerima 1/3 dari Legitieme Portie masing-
masing adalah ¾ x 1/3 = 1/4 .
Jika F dinyatakan tidak patut atau menyatakan
menolak harta warisan, maka legitieme portie G
TIDAK PATUT/ dan H menjadi ½ ataukan tetap ¼?
MENOLAK Untuk menjawabnya, perlu kita ketahui bahwa
BW menganut sistem Romawi, dimana
ditetapkan hak mutlak dari tiap-tiap ahli waris
secara individuil, maka untuk menghitung dan
menetapkan besarnya legitieme portie tetap
F pula diperhitungkan ana-anak/ahli waris
G H legitimaris yang dinyatakan tidak patut
menerima maupun yang menolak warisan.
INCORTING

Seperti telah diutarakan dimuka bahwa jika terjadi pelanggaran


terhadap legitieme portie sehingga hak mutlak tidak dapat dicapai
besarnya maka diadakan pemotongan atau incorting terhadap wasiat, dan
jika masih belum mencukupi diambilkan dari hibah.
Contoh Kasus I

wasiat A Meninggal dunia dengan meninggalkan


A + X
dua orang anak, yaitu B dan C, disamping
itu meninggalkan wasiat yang isinya
menerang kan X sebagai ahli waris dengan
bagian ¾ dari seluruh harta warisan. Jumlah
harta warisan A senilai Rp. 120 juta. Para

C Legitimaris menurut legitieme portie.


B
Bagaimana penyelesaiannya ?
Penyelesaian :
Harta peninggalan A senilai Rp. 120.000.000,-.
Pelaksanaan wasiat kepada X = ¾ x Rp. 120.000.000,- = Rp. 90.000.000,-.
Sisa = Rp. 120.000.000,-
Rp. 90.000.000,- –
Rp. 30.000.000,-
Pembagian menurut undang-undang :
B = C, masing-masing = ½ x Rp. 30.000.000,- = Rp. 15.000.000,-.
Perhitungan Legitieme Portie
LP B = LP C masing-masing = 2/3 x ½ x Rp. 120.000.000,- = Rp. 40.000.000,00.
Jadi B dan C tidak boleh menerima kurang dari Rp. 40 juta karena itu merupakan
hak mutlaknya, padahal mereka masing-masing baru menerima Rp. 15 juta, jadi
masing kurang = Rp. 40 juta – Rp. 15 juta = Rp. 25 juta, atau total (B+C) kurang =
Rp. 50 juta.
Kekurangan tersebut diambilkan dari wasiat.
Kesimpulan :
B menerima Rp. 40.000.000,-
C menerima Rp. 40.000.000,-
Terhadap X dilakukan pemotongan/incorting, yaitu :
Rp. 90.000.000 – Rp. 50.000.000 = Rp. 40.000.000,-
Jadi yang diterima X = Rp. 40.000.000,-
Contoh Kasus II

Pada tahun 1986 R meninggal dunia dengan


HIBAH meninggalkan 2 orang anak yaitu A dan B.
R+ Sebelum meninggal dunia, pada tahun 1970 R
1970 C
HIBAH memberi hibah kepada C senilai harga Rp.
1974
1.000.000,-. Pada tahun 1974 R memberi hibah
HIBAH
1979 D kepada D senilai harga Rp. 2.000.000,- dan pada
tahun 1979 juga memberi hibah kepada E senilai
harga Rp. 3.000.000,-. Harta peninggalan R habis
untuk membayar utang-utangnya. Para
legitimaris menuntut haknya.
E Hibah kepada :
C = Rp. 1.000.000,-
D = Rp.2.000.000,-
A B E = Rp. 3.000.000,- +
Rp. 6.000.000,-
Penyelesaian :
Penghitung LP
LP A = LP B = 2/3 x ½ x Rp. 6.000.000,00 = Rp.2.000.000,00
Atau untuk 2 orang sebesar Rp. 4.000.000,00.
Pemotongan/incorting untuk hibah yang dilakukan tidak dalam waktu yang
sama adalah yang dipotong terlebih dahulu adalah hibah terakhir, bila belum
mencukupi, dipotongkan lagi dari yang sebelumnya, terus ke belakang
sampai mencukupi.
Jadi :
A menerima = Rp. 2.000.000,00
B menerima = Rp. 2.000.000,00
C menerima = Rp. 1.000.000,00
D menerima = Rp. 2.000.000,00 - Rp. 1.000.000,00 = Rp.1.000.000,00.
E menerima = Rp. 3.000.000,00 – Rp. 3.000.000,00 =Rp. 0.
INBRENG(PEMASUKAN)

Inbreng, adalah pemasukan kembali ke dalam harta peninggalan, hibah-


hibah/pemberian-pemberian si peniggal warisan ketika masih hidup, tentang apa yang
dimasukkan kembali (di-inbreng) di tentukan oleh pasal 1086 dan pasal 1096 BW,
adalah sebagai berikut :
1. Semua hibah (schengkingen) oleh si pewaris (peninggal warisan ketika masih
hidup).
2. Segala sesuatu yang telah diberikan kepada ahli waris.
3. Segala hal yang telah diberikan kepada ahli waris untuk memberikan kedudukan
dalam masyarakat atau satu jabatan atau pekerjaan kepada ahli waris.
4. Segala sesuatu yang dimasukkan untuk membayar utang-utang si ahli waris.
5. Segala sesuatu yang merupakan pesangon perkawinan.
Namun disamping itu ada beberapa hal yang merupakan pemberian
pewaris akan tetapi tidak perlu untuk dimasukkan kembali, yang oleh pasal 1097
BW ditentukan antara lain :
1. Biaya nafkah dan biaya pendidikan ahli waris.
2. Biaya belajar guna perdagangan, kerajinan tangan, kebudayaan dan perusahaan.
3. Biaya perkawinan dan pakaian yang perlu untuk hidup setelah perkawinan.
4. Biaya untuk membayar upah kepada orang yang menggantikan ahli waris untuk
wajib militer.
YANG WAJIB MELAKUKAN INBRENG

Untuk yang diwajibkan melakukan Inbreng ini ialah harus


memenuhi dua syarat, yaitu :
1. Ahli waris dalam garis lurus ke bawah;
2. Ahli waris yang pernah menerima hibah pada saat si pewaris masih hidup.
Jadi pada prinsipnya orang yang melakukan inbreng adalah ahli
waris dalam garis lurus ke bawah yang pernah menerima hibah diwajibkan
melakukan inbreng, kecuali dengan tegas dibebaskan untuk tidak melakukan
inbreng, baik itu pembebasan yang dicantumkan dalam akta hibah, akta
autentik lainnya atau dalam surat wasiat. Sehingga dalam pengertian ini pula
keluarga sedarah yang tidak dalam garis lurus ke bawah, walaupun pernah
menerima hibah tidak diwajibkan melakukan inbreng, kecuali secara tegas
diwajibkan oleh pewaris dalam suatu akta autentik atau dalam surat wasiat.
Contoh Kasus I

A+ A meninggal pada tahun 1959. Di tahun


1959 1955 A menghibahkan kepada anaknya
berupa sebidang sawah, yaitu kepada B.
Apakah B wajib melakukan inbreng ?
HIBAH Penjelasan :
Dalam hal ini B wajib melakukan
inbreng, karena :
- B merupakan ahli waris dalam garis
lurus ke bawah,
B - dan B pernah menerima hibah.
C D
Contoh Kasus II
P meninggal dunia pada tahun 1985, sebelum
meninggal ia pernah menghibahkan sebidang
A +
tanah pekarangan kepada anaknya yaitu D,
1959 yang mana D ini telah memiliki 2 orang anak
yaitu Da dan Db. Anak P ada tiga orang yaitu
C, D dan E, namun karena mereka mem
TIDAK PATUT MEWARIS bunuh P; oleh hakim dijatuhi hukuman
D
karena membunuh P. Oleh karena itu mereka
C
E tidak patut mewaris, oleh karena itu pula ahli
waris P adalah Da dan Db yang mewaris
Da Db karena dirinya sendiri (uit eigen hoofde).
Apakah Da dan Db wajib melakukan inbreng ?
Menurut pasal 1089 ayat 2 dinyatakan bahwa
seorang anak yang karena kedudukannya
sendiri memperoleh harta warisan tidak perlu
memasukkan/ inbreng pemberian kakek
neneknya kepada orang tuanya. Dengan
demikian sehubungan dengan kasus di atas
maka Da dan Db tdak perlu melakukan
inbreng.
PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN

Burgerlijk Wetboek di Pasal 1066 dengan tegas menyatakan bahwa :


1. Tidak seorang ahli warispun yang dapat dipaksa untuk membiarkan harta
peninggalan tidak terbagi-bagi.
2. Pembagian harta peninggalan dapat dilakukan sewaktu-waktu, namun
diberikan suatu kemungkinan untuk menangguhkan pembagiannya,
penangguhan ini dapat dilakukan selama lima tahun dan dengan
persetujuan para ahli waris dapat diperpanjang 5 tahun lagi.
Pembagian harta peninggalan ini dapat dituntut pelaksanaannya oleh
waris, orang yang membeli suatu barang atas sebagian dari harta peninggalan,
crediteur para ahli-ahli waris. Namun legataris dan crediteur peninggal harta
peninggalan/pewaris tidak dapat menuntut. Bagi seorang legataris hanya dapat
menuntut penyerahan barang yang diberikan secara legaat dan crediteur
peninggal warisan hanya dapat menagih pembayaran utangnya dan dapat pula
menyita barang warisan untuk dijual secara lelang.
Pembagian harta peninggalan tersebut menurut ketentuan dari pasal
1071 ayat 2 BW, harus dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan oleh
pasal 1072 BW :
1. Harus dihadiri oleh Weeskamer (Balai Harta Peninggalan)
2. Dilakukan di depan Notaris, Notaris ini dipilih sendiri oleh para ahli waris.
3. Harus ada perincian barang dari harta peninggalan (boedel schrijving).
4. Jika terdapat barang-barang yang harus ditaksir harganya, maka untuk
saham maupun efek dilakukan atas dasar catatan resmi, sedang untuk yang
lainnya harus ditaksir oleh 3 orang juru taksir yang disumpah oleh pejabat
Pamong Praja.
PELAKSANA TESTAMENT

Pelaksana testament (executeur testamentair) yang dapat ada dapat


pula ditiadakan. Untuk adanya pelaksana testamen dapat dilakukan dengan
menunjuk. Oleh pasal 1005 BW ditentukan bahwa pelaksana testamen ini
dapat ditunjuk dalam testamen, dalam akta bawah tangan yang ditulis, diberi
tanggal dan ditanda tangani oleh peninggal warisan (codicil) atau dapat pula
dalam akta Notaris ‘istimewa’. Istimewa disini menunjuk pada sifat akta
tersebut yang isinya tentang ha;-hal yang harus dilakukan setelah si
peninggal harta warisan tersebut meninggal dunia.
Tentang siapa-siapa yang tidak dapat menjadi Pelaksana
Testament, oleh pasal 1006 BW ditentukan sebagai berikut :
1. Wanita yang bersuami kecuali dengan bantuan suaminya.
2. Orang yang belum dewasa.
3. Orang yang ada di bawah pengampunan.
4. Orang-orang yang menurut hukum dianggap tidak cakap bertindak.
Perlu diingat bahwa pasal di atas tidak menyebutkan bahwa mereka
itu tidak dapat ditunjuk, pasal di atas hanya menyatakan bahwa orang-orang
tersebut tidak dapat menjadi pelaksana, jadi orang tersebut dapat saja
ditunjuk selaku pelaksana testament.
LINGKUP KERJA TESTAMENT

Dari istilah yang dipakai, yaitu pelaksana testament, maka dapatkah


kita simpulkan bahwa tugas dan kerjanya adalah melaksanakan testament. Hal
ini dapat kita simpulkan dari ketentuan pasal 1011 BW yang menyatakan
bahwa pelaksana testament harus berusaha agar testament dilaksanakan, dan
jika terjadi perselisihan, maka ia berkuasa untuk mempertahankan sahnya
perseleisihan dimuka Hakim.
Kekuasaan si pelaksana testament ini, jika tidak diikuti oleh
kekuasaan terhadap barang-barang dari harta peninggalan, maka ia hanya
berkuasa untuk memperingatkan para ahli waris untuk memenuhi
kewajibannya serta memperingatkan para legataris akan hak-haknya.
NGURUS HARTA PENINGGALAN

Pengurus Harta Peninggalan (Bendvoeder), oleh BW diatur dalam pasal


1019 sampai dengan pasal 1022 BW.
Dimulai dari pasal 1019 BW yang menetapkan bahwa pewaris berhak untuk
menunjuk seorang pengurus harta peninggalan untuk selama waktu tertentu atau
selama hidupnya ahli waris. Si peninggal warisan ini dapat menunjuk pengurus
harta warisan hanya hak memetik hasil (vrucht gebruik) yang diberikan kepada ahli
waris yang di bawah umur atau yang ada di bawah pengampunan.
Selanjutnya jika pengurus harta peninggalan ini karena suatu hal kemudian
berhalangan untuk melakukan tugasnya dan oleh si pewaris tidak ditentukan
penggantinya maka Hakim harus menunjuk penggantinya setelah mendengarkan
pendapat dari Jaksa (1020 BW).
Cara penunjukkan pengurus harta peninggalan ini oleh pasal 1019 BW
ditentukan dalam testamen atau di dalam akta Notaris khusus dan tidak boleh
dalam akta bawah tangan.
PEMBAYARAN UTANG PENINGGAL
HARTA PENINGGAL

Tentang pembayaran utang-utang si peninggal harta peninggalan/pewaris ini,


diatur oleh pasal 1100 sampai dengan pasal 1111 BW, yang pada pasal 1100 nya
menyatakan bahwa :
Kewajiban membayar utang hanya dibebankan kepada ahli waris yang menerima harta
peninggalan tanpa syarat (aanvaarden).
Besar kecilnya beban membayar utang ini disesuaikan dengan yang mereka terima.
Seorang ahli waris yang diberi bagian berupa barang tak bergerak, sedangkan
benda tak bergerak tersebut terdapat beban hipotek, maka ia wajib membayar beban
hipotek tersebut, namun jika yang dibayarkan tersebut melebihi bagiannya maka ia
berhak untuk meminta kekurangnnya pada ahli waris yang lainnya.
PEMISAHAN KEKAYAAN

Pemisahan kekayaan (boedel-afscheiding), diatur dalam pasal-pasal 1107


sampai dengan pasal 1111 BW, dimana dalam pasal 1107 BW dinyatakan bahwa
crediteur pewaris berhak untuk memnuntut kepada ahli waris agar harta warisan
dipisahkan dengan harta kekayaan pribadinya. Dalam kedudukan ini karena legaris juga
sebagai crediteur, maka ia juga berhak untuk menuntut demikian. Dengan demikian
maka pertama-tama yang dipergunakan untuk melunasi adalah harta warisan.
Jika harta warisan tidak mencukupi maka diambilkan dari harta kekayaan
pribadinya. Jika terjadi tuntutan untuk memisahkan harta tersebut, maka dalam waktu
enam bulan terhitung sejak meninggalnya pewaris maka mereka dapat menyuruh
dilakukan pencatatan di Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster). Jika hal ini terjadi
maka tanah tersebut oleh ahli waris tidak boleh dibebani dengan hipotek apalagi dijual,
ataupun tindakan lainnya yang merugikan crediteur dan/atau legataris.
Hak untuk menuntut pemisahan ini akan menjadi hapus setelah tiga tahun
(LLLO BW). Pasal 1111 BW memberikan ketentuan bahwa crediteur dari ahli waris
tidak dapat menuntut pemisahan tersebut.
CARA PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN

Setelah selesainya perhitungan-perhitungan, maka selanjutnya dilakukan pembagian


harta peninggalan. Sisa dari perhitungan tersebut dibagi-bagi kepada para ahli waris sesuai
dengan bagiannya masing-masing dengan persetujuan semua ahli waris.
Dari ketentuan pasal 1079 ayat 2 ditentukan cara pembagiannya adalah :
1. Masing-masing ahli waris menerima barang-barang tertentu yang nilainya sesuai dengan
perhitungan untuk bagiannya ( ½, ¼, ¾, dsb).
2. Masing-masing ahli waris menerima barang-barang dari harta peninggalan ada yang
memiliki kelebihan nilai dan ada yang kurang dengan ketentuan yang kelebihan harus
memberikan secara tunai kepada yang kurang, hingga bagiannya menjad sesuai dengan
perhitungan.
Setelah selesai pembagian tersebut, maka berarti para ahli waris telah dianggap
pemilik barang-barang tersebut terhitung surut sejak meninggalnya pewaris.
PEMBATALAN
Ketentuan dari pasal 1071 BW ayat 2 ditentukan bahwa pembagian
harta peninggalan tersebut dapat batal jika tidak memenuhi ketentual pasal
1072 BW, sedangkan menurut pasal 1112 BW, pembagian tersebut dapat
dibatalkan jika :
Dilakukan dengan paksaan.
Adanya penipuan.
Apabila salah seorang atau lebih ahli waris ada yang dirugikan hingga
mencapai ¼ bagian yang diakibatkan oleh salah taksir.
Note :
Pembagian harta peninggalan tersebut dimungkinkan pula dilakukan
oleh si pewaris dalam suatu testamen atau dalam akta Notaris.
HARTA PENINGGALAN TAK
TERURUS

Seseorang yang meninggal dunia, sedang ia meninggalkan harta akan tetapi


tidak ada ahli warisnya ataupun semua ahli warisnya menolak atau dinyatakan tidak
patut, maka menurut pasal 1126 BW, Balai Harta Peninggalan (Weeskamer)-lah yang
berkewajiban untuk mengurusnya.
Tentang ada atau tidaknya harta peninggalan yang tak terurus ini adalah
menurut keputusan Hakim atas permintaan jaksa Penuntut Umum atau atas permintaan
orang yang berkepentingan.
Ketentuan dari pasal 1128 BW adalah bila Balai Harta Peninggalan
mulai mengurus, maka BHP akam melakukan penyegelan barang warisan dan
kemudian menginventariseer dan selanjutnya harus mengurusnya sebaik-
baiknya.
BHP berkewajiban, pula untuk melakukan pemanggilan terhadap
para ahli waris. Dan jika terjadi gugatan terhadap harta peninggalan yang
diurusnya maka BHP berkewajiban untuk menghadap Hakim.
Jika tidak ada ahli waris maka BHP harus membuat pertangung-
jawaban kepada Negara, dimana selanjutnya Negaralah yang berhak atas
harta peninggalan tak terurus tersebut.
THANKS FOR YOUR ATTENTION

Anda mungkin juga menyukai