W
Oleh
Dr. DYAH OCHTORINA SUSANTI, SH., MHUM
PENGERTIAN HUKUM WARIS
Hukum waris diatur dalam buku kedua Bab XII pasal 830-
1130 BW, adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan
yang di tinggalkan seseorang yang meninggal dunia serta akibat-
akibatnya bagi ahli waris.
SYARAT PEWARISAN :
1. Ada pewaris yang meninggal dunia / diduga telah meninggal
dunia;
2. Ada harta warisan;
3. Ada ahli waris.
MENURUT B.W PENDUDUK INDONESIA TERBAGI
MENJADI 3 GOLONGAN
Jika salah satu (suami/istri) meninggal dunia, maka cara pembagiannya adalah sebagai
berikut.
1. Harta pribadi kembali ke asal.
2. Hutang pribadi dilunasi dengan harta pribadi.
3. Hutang persatuan dilunasi dengan harta persatuan dan jika terjadi kerugian maka
ditanggung berdua.
4. Harta pribadi si mati di tambah dengan sisa harta persatuan menjadi harta warisan,
dan selanjutnya dibagi untuk para ahli waris.
DALAM HAL HARTA PERSATUAN HASIL DAN PENDAPATAN
Dalam hal ini maka prosesnya seperti pada proses pembagian B, hanya saja
jika terjadi kerugian ditanggung oleh Suami.
DALAM HAL HARTA TERPISAH SAMA SEKALI
Disini karena tidak ada harta persatuan maka harta pribadi kembali ke
masing-masing, dan selanjutnya harta pribadi si mati dikurangi dengan utang-
utangnnya menjadi harta warisan.
GOLONGAN II
Golongan II ini terdiri dari orang tua (ayah dan/atau ibu si meninggal dunia dan
saudara-saudara si meninggal dunia).
Ketentuannya adalah sebagai berikut :
Dalam hal orang tua (ayah/ibu) si meninggal masih hidup
Ayah dan ibu si meninggal masih hidup, kalau ada satu saudara masing-masing
menerima 1/3 bagian.
R meninggal dunia, maka pembagian harta
warisannya adalah sebagai
berikut.
A dan B masing-masing 1/3,
jadi berdua (A dan B) = 2/3.
C menerima 1 – 2/3 = 1/3.
GOLONGAN II
Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan ¼ jika ada dua saudara atau lebih.
P meninggal dunia, maka pembagiannya
adalah sebagai berikut :
A B A dan B masing-masing mendapat ¼, jadi 2
orang mendapat ½, sisanya dibagi untuk C
dan D, masing-masing ½X½ = ¼
C D
P+
GOLONGAN II
C P+
GOLONGAN II
Akan tetapi jika ayah/ibu tersebut bersama-sama dengan dua orang saudara
atau lebih maka, ayah atau ibu mendapat 1/4.
T+ meninggal dunia denga ahli warisnya yaitu
A B
ayah, dan 5 orang saudaranya, yaitu C, D,
E, F dan G. Maka pembagiannya adalah :
Ayah = 1/4, sisa 1 – 1/4= 3/4.
C T+ D E F G C = D = E = F = G = 1/5 x 3/4= 3/20.
GOLONGAN II
Dalam hal ayah dan ibu sudah meninggal sedangkan ahli waris adalah sudara-
saudaranya saja, maka pembagiannya adalah dibagi rata.
Q meninggal dunia, ahli warisnya
A+
B+
adalah R, S, T dan U. Maka masing-
masing mendapat bagian yang sama,
R = S = T = U yaitu ¼.
R Q+ T U
S
GOLONGAN II
D P+ C E` F+
Ahli waris P : A dan B (ayah dan ibu), C (saudara kandung), D (saudara seayah)
E (saudara seibu) Pembagiannya :
A = B masing-masing ¼, jadi A dan B total ½ . sisanya (1- ½ = ½), dibagi dua,
masing-masing ½ X ½ = ¼ untuk saudara dari garisw ayah dan sisanya untuk
saudara dari garis ibu. Jadi untuk garis ibu dibagi untuk C, E dan F = 1/3 X ¼ =
1/12 sedangkan untuk garis ayah dibagi untuk : D dan C, masing-masing = ½ X
¼ = 1/8.
A = B = ¼; D= 1/8; C = 1/12 + 1/8 = 2/24 + 3/24 = 5/24; E = F = 1/12.
GOLONGAN II
Jika ayah atau ibu saja yang masih hidup. Jika tinggal ayah atau ibu saja yang
masih hidup yang mewaris bersama-sama saudara sekandung, seayah dan
seibu, maka pembagiannya adalah sebagai berikut :
A B
+
L+
C D P+ E` F+
P meninggal dunia, dengan ahli waris yang terdiri dari :
A (ayah ); B (ibu);D ( saudara kandung );C ( saudara seayah );E dan F (saudara
seibu) Pembagiannya :
Sisanya 1 – ¼ = ¾ bagian, terlebih dahulu dibagi dua, masing-masing untuk garis
ayah dan garis ibu = ¾ X ½ = 3/8. Untuk garis ibu dibagi antara D, E, dan F yang
masing-masing menerima 1/3 X 3/8
Untuk garis ayah dibagi dua untuk D dan C, masing-masing ½ X 3/8 = 3/16.
Jadi : A,B menerima ¼; D menerima 1/8 + 3/16 = 5/16; E = F = 1/8
GOLONGAN II
jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia, sedang ahli waris terdiri dari
saudara seayah, saudara seibu dan saudara kandung.
Kasus :
P meninggal dunia, orang tuanya telah meninggal dunia, ahli warisnya
terdiri dari C (saudara seayah), D (saudara kandung) dan E, F (saudara
seibu).
Penyelesaiannya adalah, harta warisan dibagi dua, ½ untuk saudara/ dari
garis ayah dan ½ nya lagi unhtuk saudara / dari garis ibu. Untuk garis ayah,
maka harta dibagi untuk D dan C, jadi masing-masing menerima ½ X ½ = ¼ .
Untuk yang dari garis ibu dibagi untuk D, E dan F, sehingga masing-masing
menerima 1/3 X ½ = 1/6.
GOLONGAN III
Contoh :
½ bagian untuk garis ibu ½ bagian untuk
garis ayah, untuk garis ibu diterima oleh B
+ yaitu ½ bagian dan untuk garis ayah
B+ C D diterima oleh C dan D, masing-masing ¼
bagian.
+
E
Dari skema tersebut, maka yang untuk garis
ayah di terima oleh E saja, yaitu ½ bagian
A+ dan yang untuk garis ibu diterima oleh C
dan D, dan masing-masing menerima ½ x
½ = ¼ bagian.
GOLONGAN IV
Ahli waris dari golongan IV, terdiri dari keluarga dalam garis ke samping
sampai derajad ke 6, yaitu :
• Paman dan bibi, baik dari pihak ayah maupun ibu.
• Keturunan paman dan bibi, sampai derajad ke 6 dihitung dari si meninggal dunia.
A B E FG 1+ I J
+ +
C D
+
+
P+
+ + + +
Dalam hal ini, harta warisan dibagi
dua (kloving), setengah bagian untuk
keluarga sedarah dari garis ayah yaitu
K, L dan M sehingga bagian dari K=L=
M = ½ x 1/3 yaitu 1/6.
+ + + Dan sisanya dibagi untuk keluarga
sedarah dalam garis ibu, yaitu R dan
S, dan mereka masing-masing
menerima ½ x ½ = ¼ bagian.
L KM
R S
P+
Perlu untuk diingat bahwa ahli waris
golongan III dan golongan IV dapat secara
bersama-sama mewaris, asal mereka
berlainan garis.
P meninggal dunia. Ahli waris dari garis
ayah adalah A dan B yang berasal dari orang
tua golongan III (P), sedangkan R, S dan T
dari garis ibu dan merupakan ahli waris
turunan golongan IV. Pembagiannya
adalah, mula-mula harta warisan kita bagi
dua, selanjutnya setengah bagian untuk
garis ayah, yang secara rata dibagi untuk A
dan B, sehingga masing-masing menerima
¼ bagian, dan sisanya untuk yang berasal
dari garis ibu yang secara rata dibagi untuk
R, S dan T sehingga mereka masing-masing
menerima ½ x 1/3 = 1/6 bagian.
PEWARISAN KARENA KLOVING
A meninggal dunia ; tetapi sebelum itu ayah ibunya telah
lebih dahulu meninggal dunia.
Dari garis/pancer ayah (B) A meninggalkan ahli waris
D E F G
kakek dan nenek (D dan E).
Dari garis/pancer ibu (C), A meninggalkan ahli waris
kakek dan nenek juga (F dan G)
A meninggal harta warisan sebesar Rp. 4.000.000,-
Cara membagi harta warisan sebagai berikut :
B+ CX
Harta warisan Rp. 4.000.000,- itu dibagi dua terlebih
dahulu.
½ bagian (yaitu ½ x Rp. 4.000.000,-) harus diberikan pada
AX kakek dan nenek dari garis ayah yaitu (D – E), dan
setengah bagian yang lain yaitu ½ x Rp. 4.000.000,-) harus
diberikan pada kakek dan nenek dari garis ibu (yaitu F
dan G).
Dari garis ayah:
Ahli waris yang ada D dan E ; karena keduanya
mempunyai hak yang sama maka harta warisan yang
sebesar Rp. 2.000.000,- itu harus dibagi rata, sehingga:
D mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
E mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
Dari garis ibu:
Ahli waris yang ada F dan G ; karena keduanyapun
mempunyai hak yang sama, maka harta warisan yang
sebesar Rp. 2.000.000,- itu harus dibagi rata sehingga :
F mendapat : ½ x Rp. 2.000.000,- = Rp. 1.000.000,-
Dalam hal ini, harta warisan dibagi dua (kloving), setengah bagian untuk
keluarga sedarah dari garis ayah yaitu K, L dan M sehingga bagian dari K= L = M =
½ x 1/3 yaitu 1/6.
Dan sisanya dibagi untuk keluarga sedarah dalam garis ibu, yaitu G dan H,
dan mereka masing-masing menerima ½ x ½ = ¼ bagian.
Perlu untuk diingat bahwa ahli waris golongan III dan golongan IV dapat
secara bersama-sama mewaris, asal mereka berlainan garis.
PEWARISAN ANAK LUAR KAWIN
Untuk menyelesaikan pembagian harta warisan, jika terdapat anak luar kawin,
maka mula-mula bagian dari anak luar kawin diberikan terlebih dahulu,
kemudian sisanya baru dibagi kepada ahli waris yang lainnya menurut ketentuan
undang-undang.
Untuk anak zinah (overspelige kinderen) dan anak sumbang, menurut
pasal 867 BW tidak berhak atas harta waris kecuali hanyalah berhak atas nafkah
(allimentatie).
ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI
SEPANJANG PERKAWINAN MEWARIS
BERDASAR PASAL 863
A+ B
E D
C
Penyelesaiannya :
E V W Bagian dari E adalah 1/3 X
seandainya ia anak yang sah, untuk
memperhitungkan maka mula-
mula E dianggap anak yang sah,
maka bagiannya adalah ¼.
Jadi bagian E adalah = 1/3 x
seandainya ia anak yang sah, jadi
1/3 x ¼ = 1/12.
Sisa = 1 – 1/12 = 11/12.
Untuk T = V = W yaitu masing-
masing menerima 1/3 x 11/12.
Contoh Golongan 2 :
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan golongan II dan III maka
menurut ketentuan pasal 863 ayat 2 : “Jika waris hanya meniggalkan keluarga
dalam garis ke atas dan saudara-saudar, maka anak luar kawin menerima ½ dari
seluruh warisan. Jika ia mewaris bersama-sama keluarga dalam garis menyimpang,
maka ia menerima bagian ¾ dari seluruh warisan”.
P meninggal dunia, dengan
meninggalkan ayah dan ibunya (R
R S dan S), satu saudara kandung (D) dan
seorang anak luar kawin yaitu E.
Pembagiannya :
E mendapatkan ½ dari seluruh harta
P+ D warisan sisanya (1/2), dibagi
rata antara R, S dan D, masing-
masing menerima 1/3 x ½ = 1/6.
E
Contoh Golongan 3 :
F meninggal dunia dengan
meninggalkan kakek dan nenek dari
pihak ayah (K dan L), nenek dari
K L + C pihak ibu (C) dan seorang anak luar
kawin (E).
Pembagiannya :
E mendapatkan ½ dari seluruh harta
warisan.
sisanya ( ½ ), dibagi dua, untuk
garis ayah ½ x ½ = ¼
F+
E
dan selanjutnya dibagi dua untuk K
dan L, jadi mereka masing-masing
menerima ½ x ¼ = 1/8. Dan yang ¼
berikutnya untuk garis dari ibu, yaitu
C.
Contoh Golongan 4 :
Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris dari golongan IV,
maka bagiannya adalah ¾ dari seluruh warisan (863 ayat 3 BW)G meninggal
dunia, dengan meninggalkan keponakan dalam derajad ke-6 2 orang yaitu C dan
D dan seorang anak luar kawin, yaitu E.
+ +
Pembagiannya adalah, untuk E ¾ dari
+ + + seluruh harta.Sisanya = ¼ dibagi
+ untuk C dan D, jadi masing-masing
+ +
menerima 1/8 bagian.
+
+ G
+
E
C D
Yang Berhak Mewaris Harta Anak
Luar Kawin
Jika seorang anak luar kawin meninggal dunia, dan ia merupakan anak
luar kawin yang diakui, maka yang berhak mewaris hartanya adalah:
Keturunannya, istri / suami (866 BW),
Bapak dan/atau ibu yang mengakuinya serta saudara-saudaranya beserta
keturunannya (870 BW).
Oleh pasal 871 BW diatur tentang pewarisan terhadap barang=barang yang
ditinggalkan oleh orang tuanya dulu. Dan jika barang tadi masih ujud semula,
sedangkan anak luar kawin tadi tidak meninggalkan istri/suami maka barang
tadi kembali kepada keturunan dari ayah/ibu yang mengakui.
CARA PEWARISAN BERDASARKAN UU
(AB INTESTATO)
Pasal 852 BW
Pada gol.III terjadi kloving → ½ harta untuk keluarga ibu dan ½ untuk
keluarga ayah, keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas → pasal
850 dan 853 KUHPerdata
GOL IV Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke-6
(pasal 858) → paman+bibi
MACAM MACAM PENGGANTIAN TEMPAT
1. Penggantian tempat ini hanya berlangsung jika ahli waris yang sah telah meninggal
dunia. Pasal 847 BW menyatakan bahwa, “tidak seorangpun diperbolehkan bertindak
untuk orang yang masih hidup sebagai penggantinya”.
2. Orang yang bertindak sebagai pengganti haruslah keturunan yang sah dari orang yang
digantikan tempatnya. Dengan demikian untuk anak luar kawin, janda, duda tidak dapat
menggantikan tempat.
3. Seorang pengganti haruslah memenuhi syarat sebagaimana ahli waris lainnya, yaitu :
a. Harus sudah ada dan masih ada ketika pewaris meninggal dunia.
b. Tidak menolak warisan.
c. Bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan.
MACAM PENGGANTIAN
TEMPAT
G F Penyelesaiannya :
Ahli waris P adalah F, Ga dan Gb sebagai pengganti
G. Maka Pembagiannya sebagai berikut. F = Ga
dan Gb = ½ jadi F = ½
Ga = Gb = ½ X ½ = ¼.
Ga Gb
Contoh II :
A meninggal dunia dengan ahli waris :
Cucu Ra, anak dari R yang telah
A+ meninggal. Cucu-cucu Ka dan Kb anak
dari K yang telah meninggal terlebih
dulu. Sa dan Sb anak dari S yang telah
K+ meninggal, S anak A. Sca dan Scb, cicit A,
+
anak Sc yang telah meninggal terlebih
S R
+
+
dulu.
Pembagiannya :
Harta warisan dibagi dulu, untuk R = S,
masing-masing 1/3. Baru selanjutnya
Sc+ Sb Sa Ra Ka Kb dibagi per kepala. Ra menggantikan R =
1/3
Ka dan Kb menggantikan K, masing-
masing menerima : ½ x 1/3 = 1/6.
Sca Scb Sa = Sb = Sc = 1/3 x 1/3 = 1/9.
Sca = Scb menggantikan Sc masing-
masing menerima : ½ x 1/9 = 1/18.
Contoh III :
A+
A meninggal dunia pada tahun 1967
1967 dengan ahli : waris ½ Ba menggantikan B,
Ca dan Cb menggantikan C. E anak luar
kawin dari B tidak dapat menggantikan
tempat B.
C+ B+
Ca Cb E Ba
Contoh IV :
A+
Ahli waris A :
B. Ca, Cb menggantikan C yang telah
meninggal. Ea dan Eb menggantikan E
B C+ anak luar kawin. Jadi kedudukan anak
E+ luar kawin dapat digantikan oleh
anaknya.
Ea Eb Ca Cb
Contoh V :
Menurut pasal 848 BW dikatakan bahwa,
1960 “seorang anak mengganti kedudukan orang tua
A+ tadi, bahkan bolehlah terjadi seorang pengganti
orang lain yang telah menolak menerima
warisan”.
C meninggal dunia pada tahun 1950 dengan
1950 meninggalkan D, namun D menyatakan menolak
warisan dari C. Tahun 1960 A meninggal dunia,
B C+ ahli warisnya B, dan D menggantikan C.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa,
walaupun D menolak warisan dari C, namun D
masih dapat menerima warisan dari A karena
D kedudukan D menggantikan C.
2. Penggantian tempat menurut pasal 844 BW
Penggantian tempat menurut pasal 844 BW ini adalah dalam garis menyimpang
penggantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki-
laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris
bersama-sama dengan paman atau bibi mereka walaupun warisan itu setelah
meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu, harus dibagi antara sekalian
keturunan mereka yang mana satu dengan yang lainnya bertalian keluarga dalam
golongan yang tidak sama.
Contoh :
A meninggal pada tahun 1965, C meninggal
tahun 1963, maka ahli ahli warisnya adalah :
B saudara dari A Ca dan Cb menggantikan
kedudukan C.
C 1958 Dari ketentuan pasal 844 BW tersebut perlu
A+
diingat tentang adanya pasal 861 BW yang
1965 B menyatakan bahwa keluarga sedarah yang
dengan si mati bertalian keluarga dalam
+ + garis menyimpang lebih dari derajad ke-6
tidak berhak mewaris.
3.Penggantian tempat menurut pasal 845 BW
Menurut pasal ini, penggantian tempat dalam garis meyimpang
diperbolehkan juga bagi keponakan apabila di samping mereka
yang mempunyai pertalian darah terdekat masih ada keturunan
dari saudara daripada orang yang mempunyai pertalian darah
terdekat tadi.
Contoh Kasus :
Mewaris karena diri sendiri (Uit Eigen Hoofde) seperti yang diatur dalam pasal
480 BW, ialah bahwa anak dari seseorang yang telah dinyatakan tidak patut
menerima warisan (onwaardig) ataupun anak dari orang yang menolak warisan
berhak untuk menerima warisan karena dirinya sendiri.
Contoh I :
A+ A meninggal dunia. B dinyatakan tidak patut
menerima warisan (onwaardig), maka C dan
D menerima warisan karena diri sendiri (uit
B eigen hoofde).
(onwaardig)
C D
Contoh II :
A+
D E F G
MEWARIS KARENA TESTAMENTAIR
Pengertian Testament :
Pasal 875 KUHPerdata → suatu akta yang memuat
tentang apa yang dikehendaki terhadap harta
setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut
kembali Pernyataan sepihak.
Unsur-unsur testament :
a. Akta
b.Pernyataan kehendak
c. Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal
terhadap harta
d.Dapat dicabut kembali
Syarat-syarat membuat testament :
1. Dewasa → 18 tahun (cakap bertindak).
2. Akal sehat.
3. Tidak dapat pengampuan.
4. Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan,
kekeliruan.
5. Isi harus jelas.
Isi dari testament adalah :
a. Erfstelling → pasal 954 KUHPerdata
Testamentair erfgenaam
b. Legaat (berhubungan dengan harta) → pasal 957
KUHPerdata
Legetaris
c. Codicil (tidak berhubungan dengan harta)
Pencabutan suatu testament :
a. Secara tegas, jika dibuat surat wasiat baru yang
isinya mengenai pencabutan surat wasiat
b. Secara diam-diam, dibuat testament baru yang
memuat pesan-pesan yang bertentangan dengan
testament lama.
TIMBULNYA WARIS TESTAMENTAIR
hukum waris testament timbul atas dasar prinsip bahwa setiap orang
berhak atau bebas untuk berbuat apa saja terhadap harta bendanya. Demikian juga
orang tersebut bebas untuk mewasiatkan hartanya kepada siapa saja yang diingini
walaupun demikian masih juga ada batas-batas yang diizinkan oleh undang-
undang.
DASAR HUKUM WARIS
TESTAMENTAIR
Dasar hukum dari waris testamentair adalah pasal 874
BW yang menyatakan bahwa, “Segala harta peningga
lan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan
sekalian ahli waris menurut ketentuan undang-undang,
sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah
diambil suatu ketetapan yang sah”.
Dari ketentuan Pasal 874 BW dapatlah kita tarik suatu
kesimpulan bahwa :
1. Dengan surat wasiat si pewaris dapat mengangkat seorang atau beberapa
orang ahli waris, dan pewaris dapat memberikan sesuatu kepada
seseorang atau kepada beberapa orang.
2. Terdapat suatu kemungkinan bahwa harta warisan tersebut yang
merupakan peninggalan seseorang dibagi berdasar undang-undang
(sebagian) dan selebihnya berdasar surat wasiat.
3. Ahli waris yang berdasarkan terstamen lebih diutamakan daripada ahli
waris menurut undang-undang.
PENGERTIAN WASIAT
Pengertian wasiat dapat diketahui dari pasal 875 BW, yang menyatakan bahwa,
“Surat wasiat ialah sesuatu yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendaki atau terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut
kembali”.
Dari pengertian ini maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa ciri-ciri surat
wasiat adalah :
1. Merupakan perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali.
2. Merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan hukum setelah pewaris
meninggal dunia.
Dengan melihat ciri pokok dari testamen/surat wasiat tersebut maka terdapat
suatu larangan untuk membuat wasiat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama untuk menguntungkan satu dengan yang lainnya maupun untuk
kepentingan pihak ketiga dalam suatu akta (930 BW).
JENIS-JENIS SURAT
WASIAT
61
Dr. HENNY TANUWIDJAJA, S.H, Sp.N
SURAT WASIAT OLOGRAFIS
Surat wasiat olografis, oleh Burgerlijk Wetboek di atur dalam pasal 931
dan seterusnya.
Dalam ketentuannya, surat wasiat ini seluruhnya harus ditulis dan
ditanda tangani oleh si pewaris dan kemudian disimpan oleh Notaris, pada waktu
menyimpan haruslah dihadiri oleh dua orang saksi.
Sewaktu menyerahkan kepada Notaris tersebut, mungkin terjadi bahwa
surat wasiat tersebut sudah dimasukkan dalam sampul dan disegel. Jika denikian
maka pada sampul, si peninggal warisan dan saksi mencatat bahwa itu
merupakan surat wasiatnya dan harus ditanda tanganinya.
Oleh Notaris dibuatkan sebuah akta tersendiri dan ditandatangani oleh
si peninggal warisan, saksi dan juga Notaris. Namun apabila surat wasiat tersebut
diserahan kepada Notaris tidak dalam keadaan disegel/tidak ditutup yang berarti
terbuka, maka akta penerimaan (akta van bewaargeving) tadi oleh Notaris ditulis
pada surat wasiat itu sendiri di bawah tulisan si peninggal warisan. Kemudian
akta tersebut ditanda tangani oleh Notaris saksi-saksi dan si peninggal warisan.
Sewaktu menyerahkan surat wasiat tersebut kepada Notaris mungkin
pula si peninggal warisan tidak dapat mendatanginya sendiri, jika terjadi
demikian maka oleh Notaris harus mencatat sebabnya hal ini menurut
ketentuan pasal 932 ayat 2 BW.
Kekuatan dari testamen olografis menurut pasal 933 BW adalah sama
dengan testamen/surat wasiat tak rahasia dan pembuatannya dianggap pada
tanggal sesuai dengan akta penerimaan Notaris, dengan demikian tanggal 1 yang
ditulis oleh si peninggal warisan tidak dianggap tidak ada.
Oleh ayat 2 dari pasal 933 BW, dinyatakan bahwa terbuktinya hal
bahwa terstamen/surat wasiat tersebut sampai dibuktikan sebalik nya.
Sesuai dengan maksudnya, bahwa surat wasiat adalah merupakan
kemauan terakhir dari seseorang, maka dalam hal ini testamen/surat wasiat
olografis dapat diminta kembali, jika terjadi bahwa surat wasiat tersebut diminta
kembali maka oleh notaris dibuat suatu akta autentik yang menyatakan
permintaannya kembali. Dengan dimintanya kembali surat wasiat olografis, maka
dianggap bahwa surat wasiat tersebut ditarik kembali (herroepen).
Testamen/surat wasiat olografis yang diserahkan kepada Notaris dalam
keadaan disampul yang disegel, maka Notaris tidak berhak untuk membukanya,
jika si peninggal warisan itu meninggal duniamaka oleh Notaris diserahkan
kepada Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) untuk dibuka dan diperlakukan
sebagaimana surat wasiat, sehingga diperlukan suatu proses verbal, setelah dibuka
maka surat wasiat tersebut diserahkan kembali kepada Notaris.
SURAT WASIAT TAK RAHASIA (Openbaar Testament)
Mengenai surat wasiat tak rahasia ini, diatur dalam pasal-pasal 938 dan
seterusnya. Menurut pasal 938 menentukan bahwa surat wasiat ini harus dibuat
dihadapan Notaris dan dihadiri oleh dua orang saksi. Setelah itu maka si
peninggal warisan menyatakan kehendaknya kepada Notaris, kemudian Notaris
menulisnya dengan kata-kata yang terang, setelah hal ini sesuai dengan kehendak
si peninggal warisan, maka oleh notaris dibuatkan akta yang harus ditanda
tangani oleh Notaris, si peninggal warisan, maka oleh Notaris, si peninggal
warisan dan saksi-saksi.
SURAT WASIAT RAHASIA
(GEHEIM)
Dari ketentuan yang ada dalam pasal 968 BW, dapat kita lihat bahwa Ujud
Barang Legaat dapat berupa barang tertentu, dan juga dapat pula berupa sekumpulan
barang tertentu ataupun sejumlah barang tertentu.
Penyerahan barang legaat, haruslah diserahkan pula segala kelengkapan
barang tersebut, jadi misalnya yang diberukan tersebut sebuah pabrik, maka yang
diserahkan sebagai barang legaat adalah bangunan beserta mesin dan kelengkapan
pabrik tersebut (963 BW).
Kepada si legataris, jika yang diserahkan adalah jenis barang tertentu maka
tidaklah perlu yang diserahkan itu merupakan barang yang terbaik, akan tetapi tidak
boleh yang diserahkan itu merupakan barang yang terjelek, hal ini adalah sesuai
dengan ketentuan dari pasal 969 BW.
Untuk yang diserahkan adlah berupa hasil dari barang tertentu, tidak
disebutkan kata-kata ‘memetik hasil’ atau ‘memakai’ (vrucht gebruik atau gebruik),
maka hal ini berarti bahwa barang tersebut masih ada ditangan ahli waris, dan ahli waris
ini berkewajiban untuk menyerahkan/memberi hasil kepada legataris saja.
Namun akan lain apabila disebutkan hak memetik hasil (recht van vrucht
gebriuk) atau hak memakan (recht V. Gebruik), maka di sini harus diartikan bahwa
barangnnya harus diserahkan kepada legataris.
FIDEI COMMIS
Fidei Commis De Residuo, yang diatur dalam pasal 989 sampai dengan 991
BW, adalah merupakan kekecualian dari larangan adanya fidei commis. Tentang fidei
commis de residuo ini adalah berarti bahwa seorang ahli waris diberi hak untuk memakai,
menjual ataupun bahkan menghabiskan barang warisan tersebut dengan beban sisanya
diserahkan kepada pihak lain.
Dari ketentuan pasal 990 BW, Fidei Commis De Residuo ini masih diperlukan
kewajiban untuk mengadakan perincian barang-barang (boedelschriving).
PENARIKAN KEMBALI SURAT WASIAT
Jikalau terjadi, suatu harta warisan yang diberikan kepada ahli waris tidak
dapat dilaksanakan terhadap salah seorang dari mereka, maka bagiannya yang tidak
dapat diberikan tadi dibagi dan ditambahkan kepada yang lain.
Misalnya, harta warisan diberikan secara bersama-sama diberikan kepada
V, W dan X, kemudian untuk si W tak dapat dilaksanakan, maka bagian W dibagi
dan ditambahkan kepada V dan X, namun pemberian bersama ini tidak
ada/dianggap tidak ada jika telah ditetapkan berapa bagiannya, misalnya ¾, ½ atau
¼ dan sebagainya.
Tentang Aanwas ini diatur dalam pasal 1002 BW, “dalam hal bilamana
dengan surat wasiat diangkat beberapa ahli waris atau dihibahkan kepada beberapa
orang bersama-sama dan terhadap seseorang atau lebih di antara mereka itu tidak
dapat dilaksanakan, maka hal ini dapat mengakibatkan bertambahnya warisan atau
hibah bagi mereka masing-masing”.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa aanwas ini tidak akan terjadi kecuali
adanya perwarisan bersama-sama (gezamelijk). Tentang gezamelijk ini aturannya
dapat kita jumpai pada pasal 1002 ayat 2, “tiap pengangkatan waris atau hibah
dengan surat wasiat satu-satunya dan bagi mereka (beberapa orang) tidak disebutkan
bagiannya mereka masing-masing yang tertentu harus dianggap ditetapkan bagi
mereka bersama-sama”.
Seandainya salah satu dari mereka itu menolak warisan atau dinyatakan
tidak patut atau tidak cakap, maka hal ini berarti akan menambah bagian dari kawan
wasiatnya tadi.
Misalnya :
“saya berikan kepada Andi dan Yunus sebuah rumah, yang terletak di Jl.
Kol. Isdiman 12 Yogyakarta”. Namun ternyata Andi menolak warisan, maka berarti
bagian Yunus bertambah, terjadilah aanwas.
OVERSPELL
Di antara orang yang melakukan perzinahan (overspel) yang mana hal itu
sudah dibuktikan dengan keputusan Hakim menurut pasal 909 BW tidak
diperbolehkan saling memberi hibah wasiat.
Dengan adanya sikap menerima dengan syarat ini ialah bahwa harta
pribadinya tidak bercampur dengan harta warisan, dengan demikian utang-utang si
peninggal warisan tidak akan dilunasi secara pribadi oleh ahli waris tersebut.
Jika terjadi beberapa orang ahli waris menerima dengan syarat dan seorang
menerima tanpa syarat maka akan menjadikan keadaan dimana semua ahli waris
dianggap menerima dengan syarat, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1050 BW.
Syarat, yang dimaksud dengan syarat ini ialah bahwa harus ada perincian
barang-barang yang merupakan harta warisan. Cara untuk memerinci ini tidak
ditentukan oleh BW, ahli waris dapat melakukan dengan akta bawah tangan atau
juga dengan akta Notaris.
Pasal 1031 BW menyatakan bahwa seseorang kehilangan hak untuk
menerima tanpa syarat apabila :
Iktikad (te kwader trouw) ia tidak menyebutkan beberapa barang warisan
dalam inventaris.
Apabila ia menggelapkan dalam arti luas sebagaimana dimaksud dalam
KUHP barang warisan.
Jika seseorang kehilangan haknya untuk menyatakan sikap menerima
dengan syarat, maka ia dianggap menerima tanpa syarat.
Akibat dari sikap menerima dengan syarat ini ialah bahwa : hartanya
tidak bercampur dengan harta warisan hingga hal yang menyangkut dengan
utang-utang si peninggal warisan hanya dibayar sampai nilai harta warisan.
KEPAILITAN HARTA WARISAN
92
Dr. HENNY TANUWIDJAJA, S.H, Sp.N
Contoh I :
P+ P meninggal dunia dengan
meninggalkan 2 orang anak, yaitu
C dan D. Legitimaris adalah C dan
D, sebab adalah keluarga sedarah P
dalam garis lurus dan C dan D
C D tersebut adalah ahli waris ab-
intestato.
Contoh II :
A P meninggal dunia dengan meninggalkan
A (kakek), B dan C (saudara). A bukan
legitimaris, karena pada waktu meninggal
nya P, A bukan ahli waris. Dan C dan B
juga bukan karena tidak merupakan
C D keluarga sedarah dalam garis lurus.
P +
Legitieme Portie Masing-masing Legitimaris
1. Legitieme Portie untuk anak keturunan yang sah adalah sebagai berikut :
a. Satu orang anak LP-nya adalah ½ dari bagian menurut undang-undang.
b. Dua orang anak LP-nya adalah 2/3 dari bagian menurut undang-
undang
c. Tiga orang anak LP-nya adalah ¾ dari bagian menurut undang-undang.
2. Bagian mutlak/LP untuk keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas adalah
½ dari bagian menurut undang-undang.
3. Bagian mutlak/LP untuk anak luar kawin adalah ½ dari bagian menurut
undang-undang.
Jadi dengan adanya ketentuan tentang bagian mutlak atau Legitieme Portie
ini dapat kita simpulkan bahwa, seseorang boleh saja mewasiatkan atau
menghibahkan hartanya kepada orang lain namun tidak boleh mengurangi
bagian mutlak dari ahli waris, jika terjadi pelanggaran terhadap hal ini
maka dilakukan pemotongan atau sering dengan istilah “Incorting”, dengan
urut-urutan sebagai berikut :
1. Yang harus dikurangi terlebih dahulu adalah wasiat.
2. Jika wasiat belum mencukupi maka diambilkan dari hibah.
3. Pengurangan terhadap beberapa wasiat harus dilakukan dengan
perbandingan (undha-usuk, jawa).
CARA MENGHITUNG LEGITIEME
PORTIE
A+ 1945
Ca Cb
DALAM HAL LEGITIMARIS MENOLAK
ATAU TIDAK PATUT MENERIMA