Oleh
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa
Surat an-Nashr, dikenal juga dengan sebutan surat at-Taudi’ (perpisahan) [1].
Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama sebagai
madaniyyah. Maksudnya, turun setelah peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ke Madinah, dan termasuk surat yang terakhir diturunkan. [2]
Dalilnya yaitu:
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari al Qur`an yang
turun secara keseluruhan?” Ia menjawab: “Ya, idza ja`a nashrullahi wal fath”.
Beliau menjawab: “Engkau benar”.[3]
Secara pasti, terdapat silang pendapat di kalangan ulama tafsir. Ibnu Rajab
rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum Fathu Makkah.
Karena firman Allah :
PENJELASAN AYAT
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh ‘Abdur-Rahman as-
Sa’di rahimahullah berkata,”Dalam surat ini terdapat bisyarah dan perintah
kepada Rasul-Nya n pada saat kemunculannya. Kabar gembira ini berupa
pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa penaklukan kota Mekkah dan
masuknya orang-orang ke agama Allah lSubhanahu wa Ta’ala dengan
berbondong-bondong.”[7]
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni
penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Yang
dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah
pendapat yang sudah bulat.” [9]
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul
Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan
pendapat senada. [10]
ت َو ْق َع ُة
ْ ِق َفلَمَّا َكا َن
ٌ صاد َ ُ ت ْال َع َربُ َتلَ َّو ُم بِِإسْ اَل م ِِه ْم ْال َف ْت َح َف َيقُول
َ ٌّون ا ْت ُر ُكوهُ َو َق ْو َم ُه َفِإ َّن ُه ِإنْ َظ َه َر َعلَي ِْه ْم َفه َُو َن ِبي ْ َو َكا َن
دَر َأ ِبي َق ْومِي بِِإسْ اَل م ِِه ْم
َ َأهْ ِل ْال َف ْت ِح َبادَ َر ُك ُّل َق ْو ٍم بِِإسْ اَل م ِِه ْم َو َب
(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah)
untuk memeluk Islam. Mereka berkata: “Biarkanlah dia (Rasulullah) dan
kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi
yang jujur”. Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum
bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[11]
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga memberi
penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah, orang-orang memeluk
agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat dua tahun, Jazirah
Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada simbol di seluruh suku
Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal minnah”.[13]
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi
agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid
dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan
bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada masa
khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Begitu pula yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr al Jazairi: “Ayat ini
membawa tanda dekatnya ajal bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [21]
Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bersama orang-orang tua yang ikut serta
dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai
kehadiranku. Ada yang berkata: “Kenapa (anak) ini masuk bersama kita.
Padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?”
ت َيا َرسُو َل ُ ت َفقُ ْلْ َان هَّللا ِ َو ِب َح ْم ِد ِه َأسْ َت ْغفِ ُر هَّللا َ َوَأ ُتوبُ ِإلَ ْي ِه َقال
َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي ُْك ِث ُر مِنْ َق ْو ِل ُسب َْح
َ ِ ان َرسُو ُل هَّللا َ َك
ُأ
ان هَّللا ِ َو ِب َحمْ ِد ِه َأسْ َت ْغفِ ُر هَّللا َ َوَأ ُتوبُ ِإلَ ْي ِه َف َقا َل َخب ََّرنِي َربِّي َأ ِّني َسَأ َرى َعاَل َم ًة فِي َّمتِي َ اك ُت ْك ِث ُر مِنْ َق ْو ِل ُسب َْح َ هَّللا ِ َأ َر
ْ هَّللا َأ َأ هَّللا َأ
ان ِ َو ِب َح ْم ِد ِه سْ َت ْغفِ ُر َ َو ُتوبُ ِإلَ ْي ِه َف َق ْد َر ْي ُت َها ِإ َذا َجا َء َنصْ ُر ِ َوال َف ْت ُح َف ْت ُح َم َّك َة هَّللا َ ت مِنْ َق ْو ِل ُسب َْح ُ َْفِإ َذا َرَأ ْي ُت َها ْك َثر
َأ
…
اي َو َع ْمدِي َ اغفِرْ لِي َخ َطا َي ْ ت َأعْ لَ ُم ِب ِه ِم ِّني اللَّ ُه َّم
َ اغفِرْ لِي َخطِ يَئ تِي َو َج ْهلِي َوِإسْ َرافِي فِي َأمْ ِري ُكلِّ ِه َو َما َأ ْن
ْ َِّرب
ت ْ َأ ْ
َ ت ال ُم َق ِّد ُم َو ن ْ
َ ت نَأ ْ َ َأ
ُ ت َو َما عْ لن َأ
ُ ْت َو َما سْ َرر َّ َأ
ُ ْت َو َما خر ُ ْاغفِرْ لِي َما َقدَّم َّ ْ َ ُ ْ
ْ َو َج ْهلِي َو َهزلِي َوك ُّل ذل َِك عِ ندِي الل ُه َّم
َ َ ُ َ َ
ال ُمَؤ خ ُر َو نت َعلى ك ِّل شيْ ٍء قدِي ٌرْ َأ ِّ ْ
Selanjutnya, Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Semua itu ada pada diriku
begitu banyak. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (beliau)
terbebas darinya. Hanya saja, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganggap (amalan) pribadinya sedikit, lantaran begitu besarnya curahan
nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada beliau. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang “kekurangan” dalam menjalankan
hak kenikmatan tersebut (dengan beribadah) sebagai dosa-dosa. Sementara
dosa-dosaku, aku lakukan dengan penuh kesengajaan, tak acuh, dan
merupakan pelanggaran yang nyata. Semoga Allah l masih sudi membuka
pintu taubat dan menganugerahkan perlindungan dengan karunia, kemurahan
dan rahmat-Nya, tiada Rabb selain-Nya”. [28]
Al Imam al Qurthubi, selain mengemukakan alasan senada di atas, beliau
juga membawakan beberapa keterangan lain. Bahwa maksud permohonan
ampunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah: (1) Memintakan
ampunan bagi umatmu. (2) Istighfar merupakan ibadah yang harus
dikerjakan, bukan untuk memohon ampunan, akan tetapi untuk ta’abbud
(ibadah). (3) Untuk mengingatkan umat beliau, agar jangan merasa aman
(dari dosa) sehingga meninggalkan istighfar. [29]
Pertama : Taubat. Yaitu kembali kepada Allah dari keadaan yang tidak
disukai-Nya, baik zhahir maupun batin, menuju keadaan yang dicintai oleh-
Nya zhahir dan batin. Taubat ini akan menghapus dosa-dosa, besar kecil
sebelumnya.
صالِحً ا ُث َّم اهْ َتد َٰى َ َوِإ ِّني لَ َغ َّفا ٌر لِ َمنْ َت
َ اب َوآ َم َن َو َع ِم َل
Maraji`:
1. Aisar at-Tafasir li Kalamil-‘Aliyyil-Kabir, Abu Bakar Jabir al Jazairi, Cetakan
VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal- Hikam, al Madinah al
Munawwarah, KSA.
2. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al
Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M,
Dar al Kitab al ‘Arabi.
3. Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar.
4. Ikmalul-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, al Qadhi ‘Iyadh, Tahqiq Dr. Yahya Isma’il,
Darul Wafa, Cetakan I, Tahun 1419 H / 1998 M.
5. Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an), Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan I, Tahun 1423 H/2002
M, Dar Ibni Hazm.
6. Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali, Tahqiq ‘Abdullah
al ‘Ajmi.
7. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir (700-774
H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422 H/2002
M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
8. Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdur-Rahman bin
Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Cetakan I,
Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
9. Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, ‘Abdur-Rahman bin
Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
10. Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman bin ‘Ali (Ibnul Jauzi),
Tahqiq ‘Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001M, Darul
Kitabil ‘Arabi.
Read more https://almanhaj.or.id/3501-tafsir-surat-an-nashr.html