Anda di halaman 1dari 4

Peristiwa Tahkim

Peristiwa Tahkim atau Arbitrase (bahasa Arab: ‫ )التحكيم أو تحكيم القرآن‬adalah sebuah istilah untuk


sebuah kejadian sejarah yang berhubungan dengan Perang Shiffin. Dalam kejadian ini Abu Musa al-
Asy'ari merupakan perwakilan dan juri bagi pasukan Kufah (pasukan Imam Ali as) dan Amru bin
'Ash merupakan perwakilan dari pihak pasukan Syam (pasukan Muawiyah). Kedua perwakilan ini
melakukan perundingan untuk menyelesaikan perbedaan antara kaum muslimin satu dengan
lainnya dan kedua pihak sepakat untuk memberikan pendapat sesuai dengan Alquran dan hadis.
Usulan perundingan diajukan dengan tipu daya Amru bin 'Ash dan Muawiyah dalam rangka
menyelamatkan pasukan mereka dari pasukan Imam Ali as. Sebenarnya Imam Ali as dari awal
sudah menentang perundingan ini. Pasukan Syam ketika melihat mereka mulai terdesak dan hampir
mengalami kekalahan, mereka menancapkan Alquran di ujung tombak dan meneriakkan syiar-syiar;
bahwa hendaklah Alquran harus menjadi hakim bagi kedua pihak. Mengingat Amru bin 'Ash
perwakilan dari Syam berhasil dan mampu mengelabui Abu Musa al-Asy'ari serta melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kesepakatan dengan memperkenalkan Muawiyah sebagai
khalifah, maka perundingan pun tidak memberikan hasil dan hanya bisa menyelamatkan pasukan
Syam dari kekalahan.

Daftar isi
 [sembunyikan] 

 1Latar Belakang
 2Kekacauan Kubu Pasukan Imam Ali as
o 2.1Penunjukkan Wakil
 3Kerangka Peristiwa Arbitrase
 4Tindakan dan Nasehat-nasehat Imam Ali as
 5Hasil Arbitrasi Abu Musa
 6Munculnya Khawarij
 7Catatan Kaki
 8Daftar Pustaka

Latar Belakang
Artikel utama: Perang Shiffin
Pasukan Muawiyah mendapatkan serangan hebat dari pasukan Malik Asytar, mereka merasakan
akan mendapat kekalahan. Untuk bisa keluar dari kondisi ini Muawiyah datang menemui Amru bin
'Ash.[1] Maka dengan usulan Amru bin 'Ash dan perintah Muawiyah, pasukan Syam menancapkan
tombak ke Alquran dan meneriakan yel-yel; wahai penduduk Irak! Hakim antara kita adalah Tuhan.
Bala tentara Syam juga datang dengan berteriak: "Wahai kelompok Arab! Pikirkanlah anak-anak dan
istri-istri kalian, jika kalian terbunuh, besok siapa yang akan berperang melawan kaum Romawi,
Turki dan Persia?!" [2]

Kekacauan Kubu Pasukan Imam Ali as


Dengan tipu daya yang dilancarkan oleh Amru bin 'Ash dan Alquran ditancapkan di ujung tombak,
muncullah dua kelompok dalam pasukan Imam Ali as dimana sebagian dari mereka ada yang
menerima perdamaian yang diajukan oleh musuh dengan mengangkat Alquran dan kita tidak
memiliki hak untuk berperang. Imam Ali as dengan tegas menentang kelompok ini dan
mengumumkan bahwa perbuatan ini tidak lain kecuali hanya tipu daya. Akan tetapi dengan terpaksa
Imam Ali as menerima ajuan perdamaian Qurani ini dengan mengirimkan surat kepada Muawiyah
dengan catatan bahwa anda (sebenarnya) bukanlah ahli Quran.[3]
Penunjukkan Wakil
Penduduk Syam memilih Amru bin 'Ash sebagai perwakilan mereka dalam perundingan, sementara
terjadi perselisihan dalam penentuan wakil di dalam kubu pasukan Irak dan pasukan Imam Ali
as. Asy'ats bin Qais al-Kindi dan sejumlah orang lainnya yang kemudian hari mereka menjadi
kelompok Mariqin mengajukan Abu Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan perundingan. Akan tetapi
Imam Ali as mengajukan Ibnu Abbas dan Malik Asytar sebagai perwakilan namum Asy'ats dan para
pengikutnya tidak menerima ajuan dari Imam Ali as dengan alasan bahwa Malik Asytar lebih
cenderung untuk memilih berperang dan Ibnu Abbas pun tidak bisa diterima sebab karena Amru bin
'Ash adalah dari kabilah Mudhari, maka lawannya haruslah dari orang Yaman. [4]

Kerangka Peristiwa Arbitrase


Kedua perwakilan mengambil keputusan bahwa Amru bin 'Ash harus menurunkan Muawiyah dan
Abu Musa al-Asy'ari harus menurunkan Imam Ali as dari kursi kekhalifahan dan akan dipilih oleh
musyawarah. Amru bin 'Ash menyuruh Abu Musa al-Asy'ari untuk mengumumkan hasil musyawarah
dan Abu Musa al-Asy'ari yang pertama harus mengumumkan pengunduran Imam Ali as. Akan tetapi
ketika sampai giliran Amru bin 'Ash, bukannya mengumumkan pengunduran Muawiyah ia malah
menyetujui pengumuman Abu Musa al-Asy'ari dalam pengunduran Imam Ali as dan mengangkat
Muawiyah menjadi khalifah. Setelah itu terjadi percekcokan antara keduanya sehingga
mengeluarkan kata-kata yang tidak layak. [5] [6]
Menurut riwayat Ya'qubi, julukan Amirul Mukminin di lekatkan kepada Imam Ali as ketika penulisan
surat perjanjian damai antara para utusan kedua pasukan, terjadilah perdebatan dimana Asy'ats
adalah termasuk salah seorang yang menginginkan julukan ini dihapus dalam surat tersebut dan
Malik Asytar mengajukan protes keras.[7]Tanggal Arbitrase pun ditentukan hingga akhir
bulan Ramadhan. [8] dan kota Daumatu al-Jandal ditetapkan menjadi tempat arbitrase tersebut. [9] Isi
dan kandungan dari surat perjanjian damai tersebut adalah:

 Kedua pihak harus rela dengan apa yang diputuskan oleh Alquran dan merujuk kepadaNya
pada masalah-masalah yang diperdebatkan.
 Imam Ali as dan pengikutnya harus memilih Abu Musa al-Asy'ari sebagai pengawas dan hakim.
Begitu juga Muawiyah harus memilih Amru bin 'Ash.
 Jika dalam Alquran tidak ditemukan penyelesaian dari perbedaan yang terjadi, hendaklah
merujuk kepada Sunah dan perbuatan Nabi saw.
 Tidak akan menyinggung hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan tidak mengikuti hawa
nafsu.
 Nyawa,harta dan harga diri kedua perwakilan harus terjaga selama tidak melewati batasan
haknya.
 Jika salah seorang dari kedua perwakilan meninggal dunia sebelum menjalankan tugasnya,
maka pemimpin dari kedua pihak hendaklah memilih salah seorang sebagai penggantinya.
 Jika salah satu dari pemimpin kedua kelompok meninggal dunia, maka pengikut kelompok
tersebut memilih salah seorang untuk menjadi penggantinya.
 Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang menjadi sumpahnya, maka umat berhak
untuk tidak mengikutinya.
 Mulai dari dibuatnya surat perjanjian damai sampai masa waktunya berakhir, maka nyawa, harta
dan harga diri masyarakat tetap terjaga dan aman.
 Seluruh senjata harus disimpan (tidak digunakan) sampai masa akhir perjanjian dan setiap jalan
haruslah aman; dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara yang hadir maupun yang tidak
hadir diwaktu perjanjian perdamaian.
 Kedua perwakilan harus tinggal di tempat antara Irak dan Syam, selain orang-orang yang
diperkenankan oleh mereka, tidak seorangpun berhak hadir disana.
 Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang ada pada Alquran dan Sunah Nabi saw,
maka kaum muslimin akan melanjutkan peperangan mereka dan sama sekali tidak ada
kesepakatan antara mereka. [10]

Tindakan dan Nasehat-nasehat Imam Ali as


Imam Ali as mengutus empat ratus komandan yang dipimpin oleh Syarih bin Hani untuk
menemani Abu Musa al-Asy'ari untuk melakukan perdamaian serta mengutus Abdullah bin
Abbas untuk menjadi Imam salat berjamaah. Selain itu juga beliau memberikan nasehat dan
pengarahan kepada Abu Musa al-Asy'ari tentang keburukan Muawiyah.[11]

Hasil Arbitrasi Abu Musa


Abu Musa al-Asy'ari membuahkan hasil perundingan damai dengan kedua pemimpin yaitu
Muawiyah dan Imam Ali as melepaskan kedudukannya dan kedua-duanya sama-sama tidak lagi
menjadi pemimpin. Amru bin 'Ash juga (secara dhahir) menerima masalah ini, akan tetapi untuk
merealisasikan strateginya dia pertama menerima Abu Musa Asy'ari dan menjadikannya orang
pertama yang mengumumkan hasil perundingan. Ibnu Abbas banyak melakukan usahanya agar
Amru bin 'Ash yang pertama mengumumkan hasil perundingan, akan tetapi Abu Musa tidak
mengerti peringatan yang diberikan oleh Ibnu Abbas tentang tipu daya yang dilakukan oleh Amru bin
'Ash, Abu Musa berkata: "Aku dan Amru bin 'Ash sudah sepakat".[12] Abu Musa naik ke atas mimbar
dan berkata: "Wahai masyarakat! Supaya kaum muslimin merasakan ketenangan dan
pandangannya tidak bingung dan tidak menjadi dua kelompok, aku telah sepakat dengan Amru bin
'Ash untuk menurunkan Muawiyah dan Ali dari kursi kepemimpinan sehingga kaum muslimin dapat
membentuk lembaga permusyawaratan dan memilih orang yang memiliki kelayakan dan keahlian
menjadi seorang khalifah. Maka aku (sebagai perwakilan masyarakat Hijaz dan Irak) sebagaimana
aku telah mengeluarkan cincin dari tanganku, aku juga akan menurunkan Ali dari kursi
kepemimpinan.[13] Kemudian dia turun dari mimbar dan giliran Amru bin 'Ash naik ke atas mimbar,
dia mengumumkan: "Aku sudah mendengar apa yang telah disampaikan oleh Abu Musa Asy'ari, ia
hanya memiliki hak untuk menurunkan Ali dan aku dalam masalah ini sepakat dengannya. Akan
tetapi seperti halnya cincinku masih di tangan, maka aku akan menyerahkan kursi kekhalifahan ini
kepada Muawiyah. Karena selain dia memiliki kelayakan dalam urusan ini, ia juga masih menjadi
wali dan pengusut darah Utsman. Abu Musa marah dengan tipu daya yang dilakukan oleh Amru bin
'Ash dan berkata kepadanya: "Wahai tukang tipu daya yang fasik! Sesungguhnya perumpamaanmu
adalah bagaikan anjing; baik dipukul ataupun dilepaskan ia tetap menggonggong"[14] . Amru bin 'Ash
menjawab: "Engkau bagaikan keledai yang membawa buku (asfar)". [15] [16].

Munculnya Khawarij
Artikel utama: Khawarij
Dengan demikian, tanpa ada pembicaraan tentang Alquran dan Sunah Nabi saw, kejadian
perundingan damai pun menjadi sumber perpecahan lain antara masyarakat Syam dan Irak.[17] Hasil
terpenting dari Arbitrasi ini bagi masyarakat Syam dikemudian hari adalah masyarakat Syam
menganggap Muawiyah sebagai Amirul Mukminin. [18]
Sekelompok dari pengikut Imam Ali as dari awal penentangan dengan perundingan damai dan
menganggap bahwa hal itu langkah mundur dari agama dan keraguan dalam iman. [19] Sebagian
juga dengan alasan dua ayat Alquran (Al-Maidah: 44 dan Hujurat: 9) menginginkan berlanjutnya
perang dengan Muawiyah dan menganggap kafir bagi siapa saja yang menerima perundingan
damai serta hendak segera bertaubat. Mereka menginginkan dari Imam Ali as untuk bertobat dari
kekufuran ini dan membatalkan semua syarat yang diajukan oleh Muawiyah. Akan tetapi Imam Ali
as tidak menerima untuk menolak perundingan damai. Setelah berakhirnya perang dan kembalinya
Imam Ali as ke Kufah dan Muawiyah ke Syam, para penentang perundingan damai berpisah dari
Imam Ali as dan pergi ke kawasan Harura' dekat dengan kota Kufah. [20]

Catatan Kaki
1. Jump up↑ Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 210.
2. Jump up↑ Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 478.
3. Jump up↑ Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 490.
4. Jump up↑ Ibnu A'tsam, Kitab al-Futuh, jld. 3, hlm. 163.
5. Jump up↑ Ibnu Muzahim, hal. 545.
6. Jump up↑ Abi Abu Sa'ad, jilid 1, hal. 421.
7. Jump up↑ Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jilid 2, hal. 189.
8. Jump up↑ Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 504.
9. Jump up↑ Syahidi, Tarikh-e Tahlili-ye Islam, hlm. 142.
10. Jump up↑ Thabari, Tarikh Thabari, jld. 3, hlm. 103-104.
11. Jump up↑ Abi Abu Sa'ad, Min Natsri al-Dur, jld. 1, hlm. 421.
12. Jump up↑ lihat: Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 255.
13. Jump up↑ Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 256.
14. Jump up↑ QS. Al-A'raf; 176.
15. Jump up↑ QS. Al-Jumu'ah; 5.
16. Jump up↑ Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 256
17. Jump up↑ Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 545; begitu juga Syahidi, Tarikh-e Tahlili-ye Islam, hlm. 143;
Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 256.
18. Jump up↑ Baladzuri, jilid 2, hal. 342.
19. Jump up↑ Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 484; Baladzuri, Jumal min Ansab Al-Asyraf, jilid 3, hal. 111-112.
20. Jump up↑ Ibnu Muzahim, Waqi'ah Shiffin, 1382 H.Q., hal. 513-514; Baladzuri, Jumal min Ansab Al-Asyraf, jld. 3,
hlm. 114-122; Thabari, Tarikh Thabari, jld 5, hlm. 63, 72 dan 78.

Daftar Pustaka
 Abi Abu Sa'ad, Min Natsr Al-Dar, Wizarah Al-Tsaqafah Suriah, Damaskus.
 Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Insāb Al-Asyrāf, tahqiq Muhammad Baqir Mahmudi, Yayasan A'la, Berut.
 Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Jumal min Ansāb Al-Asyrāf, cetakan Suhail Zakkar dan Riyadh Zarikli, Berut
1417/1997.
 Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balāghah, tahqiq Muhammad Abdul Fadh Ibrahimi, Dar Ihya Al-Kutub
Al-‘Arabiyah, 1378 H.S. – 1959 M. (arsif ada di CD Maktabah Ahlul Bayt, arsif 20)
 Ibnu Aitsam, Al-Futuh, Dar Al-Nadwah, Berut.
 Ibnu Muzahim, Nashr, Waqi'ah Siffin, Kairo, cetakan Abdussalam Muhammad Harun, 1382 H. cetakan
Offset, Qom 1404 H.
 Ibnu Muzahim, Waqi'ah Shiffin, penerbit Bashirati, Qom.
 Mas'udi, Muruj Al-Dzahab, Beirut.
 Muthahar bin Thahir, Afarinesh wa Tārikh, terjemah Muhammad Ridho Syafi'i Kadkani, Tehran, Aghah, jilid
1, 1374 S.
 Syahidi, Sayyid Ja'far, Tarikh Tahlil Islami, sampai akhir masa bani Umayah, Markaz Nasyr Daneshgahi,
(cetakan 46), Tehran, 1390 S.
 Thabari, Tārikh Thabari, yayasan A'la, Beirut.
 Ya'qubi, Ahmad, Tārikh Ya'qubi, Beirut, Dar Shadir.

Anda mungkin juga menyukai