Anda di halaman 1dari 7

Nama : Indah Sri Lestari

NIM : 1207050048

Kelas : Teknik Informatika C

Peristiwa Tahkim
Peristiwa Tahkim atau Arbitrase (bahasa Arab: ‫ )ال قرآن ت ح ك يم أو ال تح ك يم‬adalah
sebuah istilah untuk sebuah kejadian sejarah yang berhubungan dengan Perang Shiffin. Dalam
kejadian ini Abu Musa al-Asy'ari merupakan perwakilan dan juri bagi pasukan Kufah (pasukan
Imam Ali as) dan Amru bin 'Ash merupakan perwakilan dari pihak pasukan Syam (pasukan
Muawiyah). Kedua perwakilan ini melakukan perundingan untuk menyelesaikan perbedaan
antara kaum muslimin satu dengan lainnya dan kedua pihak sepakat untuk memberikan pendapat
sesuai dengan Alquran dan hadis. Usulan perundingan diajukan dengan tipu daya Amru bin 'Ash
dan Muawiyah dalam rangka menyelamatkan pasukan mereka dari pasukan Imam Ali as.
Sebenarnya Imam Ali as dari awal sudah menentang perundingan ini. Pasukan Syam ketika
melihat mereka mulai terdesak dan hampir mengalami kekalahan, mereka menancapkan Alquran
di ujung tombak dan meneriakkan syiar-syiar; bahwa hendaklah Alquran harus menjadi hakim
bagi kedua pihak. Mengingat Amru bin 'Ash perwakilan dari Syam berhasil dan mampu
mengelabui Abu Musa al-Asy'ari serta melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kesepakatan dengan memperkenalkan Muawiyah sebagai khalifah, maka perundingan pun tidak
memberikan hasil dan hanya bisa menyelamatkan pasukan Syam dari kekalahan.

Latar Belakang
Pasukan Muawiyah mendapatkan serangan hebat dari pasukan Malik Asytar, mereka merasakan
akan mendapat kekalahan. Untuk bisa keluar dari kondisi ini Muawiyah datang menemui Amru
bin 'Ash. Maka dengan usulan Amru bin 'Ash dan perintah Muawiyah, pasukan Syam
menancapkan Alquran ke tombak dan meneriakan yel-yel; "Wahai penduduk Irak! Hakim antara
kita adalah Tuhan. Bala tentara Syam juga datang dengan berteriak: "Wahai kelompok Arab!
Pikirkanlah anak-anak dan istri-istri kalian, jika kalian terbunuh, besok siapa yang akan
berperang melawan kaum Romawi, Turki dan Persia?!".

Kekacauan Kubu Pasukan Imam Ali as


Dengan tipu daya yang dilancarkan oleh Amru bin 'Ash dan Alquran ditancapkan di ujung
tombak, muncullah dua kelompok dalam pasukan Imam Ali as dimana sebagian dari mereka ada
yang menerima perdamaian yang diajukan oleh musuh dengan mengangkat Alquran dan kita
tidak memiliki hak untuk berperang. Imam Ali as dengan tegas menentang kelompok ini dan
mengumumkan bahwa perbuatan ini tidak lain kecuali hanya tipu daya. Akan tetapi dengan
terpaksa Imam Ali as menerima ajuan perdamaian Qurani ini dengan mengirimkan surat kepada
Muawiyah dengan catatan bahwa anda (sebenarnya) bukanlah ahli Quran. Penduduk Syam
memilih Amru bin 'Ash sebagai perwakilan mereka dalam perundingan, sementara terjadi
perselisihan dalam penentuan wakil di dalam kubu pasukan Irak dan pasukan Imam Ali as.
Asy'ats bin Qais al-Kindi dan sejumlah orang lainnya yang kemudian hari mereka menjadi
kelompok Mariqin mengajukan Abu Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan perundingan. Akan
tetapi Imam Ali as mengajukan Ibnu Abbas dan Malik Asytar sebagai perwakilan namum
Asy'ats dan para pengikutnya tidak menerima ajuan dari Imam Ali as dengan alasan bahwa
Malik Asytar lebih cenderung untuk memilih berperang dan Ibnu Abbas pun tidak bisa diterima
sebab karena Amru bin 'Ash adalah dari kabilah Mudhari, maka lawannya haruslah dari orang
Yaman.

Kedua perwakilan mengambil keputusan bahwa Amru bin 'Ash harus menurunkan Muawiyah
dan Abu Musa al-Asy'ari harus menurunkan Imam Ali as dari kursi kekhalifahan dan akan
dipilih oleh musyawarah. Amru bin 'Ash menyuruh Abu Musa al-Asy'ari untuk mengumumkan
hasil musyawarah dan Abu Musa al-Asy'ari yang pertama harus mengumumkan pengunduran
Imam Ali as. Akan tetapi ketika sampai giliran Amru bin 'Ash, bukannya mengumumkan
pengunduran Muawiyah ia malah menyetujui pengumuman Abu Musa al-Asy'ari dalam
pengunduran Imam Ali as dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah. Setelah itu terjadi
percekcokan antara keduanya sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak layak.

Menurut riwayat Ya'qubi, julukan Amirul Mukminin dilekatkan kepada Imam Ali as ketika
penulisan surat perjanjian damai antara para utusan kedua pasukan, terjadilah perdebatan,
dimana Asy'ats adalah termasuk salah seorang yang menginginkan julukan ini dihapus dalam
surat tersebut dan Malik Asytar mengajukan protes keras. Tanggal Arbitrase pun ditentukan
hingga akhir bulan Ramadhan. Dan kota Daumatu al-Jandal ditetapkan menjadi tempat arbitrase
tersebut.

Isi dan kandungan dari surat perjanjian damai tersebut adalah:

 Kedua pihak harus rela dengan apa yang diputuskan oleh Alquran dan merujuk
kepadanya pada masalah-masalah yang diperdebatkan.
 Imam Ali as dan pengikutnya harus memilih Abu Musa al-Asy'ari sebagai pengawas dan
hakim. Begitu juga Muawiyah harus memilih Amru bin 'Ash.
 Jika dalam Alquran tidak ditemukan penyelesaian dari perbedaan yang terjadi, hendaklah
merujuk kepada Sunah dan perbuatan Nabi saw.
 Tidak akan menyinggung hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan tidak mengikuti
hawa nafsu.
 Nyawa,harta dan harga diri kedua perwakilan harus terjaga selama tidak melewati
batasan haknya.
 Jika salah seorang dari kedua perwakilan meninggal dunia sebelum menjalankan
tugasnya, maka pemimpin dari kedua pihak hendaklah memilih salah seorang sebagai
penggantinya.
 Jika salah satu dari pemimpin kedua kelompok meninggal dunia, maka pengikut
kelompok tersebut memilih salah seorang untuk menjadi penggantinya.
 Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang menjadi sumpahnya, maka umat
berhak untuk tidak mengikutinya.
 Mulai dari dibuatnya surat perjanjian damai sampai masa waktunya berakhir, maka
nyawa, harta dan harga diri masyarakat tetap terjaga dan aman.
 Seluruh senjata harus disimpan (tidak digunakan) sampai masa akhir perjanjian dan
setiap jalan haruslah aman; dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara yang hadir
maupun yang tidak hadir di waktu perjanjian damai.
 Kedua perwakilan harus tinggal di tempat antara Irak dan Syam, selain orang-orang yang
diperkenankan oleh mereka, tidak seorangpun berhak hadir di sana.
 Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang ada pada Alquran dan Sunah Nabi
saw maka kaum muslimin akan melanjutkan peperangan mereka dan sama sekali tidak
ada kesepakatan antara mereka.

Tindakan dan Nasehat-Nasehat Imam Ali as


Imam Ali as mengutus empat ratus komandan yang dipimpin oleh Syuraih bin Hani untuk
menemani Abu Musa al-Asy'ari supaya melakukan perdamaian serta mengutus Abdullah bin
Abbas untuk menjadi imam salat berjamaah. Selain itu juga beliau memberikan nasehat dan
pengarahan kepada Abu Musa al-Asy'ari tentang keburukan Muawiyah.

Abu Musa al-Asy'ari membuahkan hasil perundingan damai dengan kedua pemimpin yaitu
Muawiyah dan Imam Ali as dan melepaskan kedudukan keduanya secara sama dan tidak lagi
menjadi pemimpin. Amru bin 'Ash juga (secara dhahir) menerima masalah ini, akan tetapi untuk
merealisasikan strateginya dia pertama menerima Abu Musa Asy'ari dan menjadikannya orang
pertama yang mengumumkan hasil perundingan. Ibnu Abbas banyak melakukan usahanya agar
Amru bin 'Ash yang pertama mengumumkan hasil perundingan, akan tetapi Abu Musa tidak
mengerti peringatan yang diberikan oleh Ibnu Abbas tentang tipu daya yang dilakukan oleh
Amru bin 'Ash, Abu Musa berkata: "Aku dan Amru bin 'Ash sudah sepakat". Abu Musa naik ke
atas mimbar dan berkata: "Wahai masyarakat! Supaya kaum muslimin merasakan ketenangan
dan pandangannya tidak bingung dan tidak menjadi dua kelompok, aku telah sepakat dengan
Amru bin 'Ash untuk menurunkan Muawiyah dan Ali dari kursi kepemimpinan sehingga kaum
muslimin dapat membentuk lembaga permusyawaratan dan memilih orang yang memiliki
kelayakan dan keahlian menjadi seorang khalifah. Maka aku (sebagai perwakilan masyarakat
Hijaz dan Irak) sebagaimana aku telah mengeluarkan cincin dari tanganku, aku juga akan
menurunkan Ali dari kursi kepemimpinan. Kemudian dia turun dari mimbar dan giliran Amru
bin 'Ash naik ke atas mimbar, dia mengumumkan: "Aku sudah mendengar apa yang telah
disampaikan oleh Abu Musa Asy'ari, ia hanya memiliki hak untuk menurunkan Ali dan aku
dalam masalah ini sepakat dengannya. Akan tetapi seperti halnya cincinku masih di tangan,
maka aku akan menyerahkan kursi kekhalifahan ini kepada Muawiyah. Karena selain dia
memiliki kelayakan dalam urusan ini, ia juga masih menjadi wali dan pengusut darah Utsman.
Abu Musa marah dengan tipu daya yang dilakukan oleh Amru bin 'Ash dan berkata kepadanya:
"Wahai tukang tipu daya yang fasik! Sesungguhnya perumpamaanmu adalah bagaikan anjing;
baik dipukul ataupun dilepaskan ia tetap menggonggong". Amru bin 'Ash menjawab: "Engkau
bagaikan keledai yang membawa buku (asfar)".

Dengan demikian, tanpa ada pembicaraan tentang Alquran dan Sunah Nabi saw, kejadian
perundingan damai pun menjadi sumber perpecahan lain antara masyarakat Syam dan Irak. Hasil
terpenting dari Arbitrasi ini bagi masyarakat Syam di kemudian hari adalah masyarakat Syam
menganggap Muawiyah sebagai Amirul Mukminin.

Sekelompok dari pengikut Imam Ali as sejak dari awal menentang perundingan damai tersebut
dan menganggap bahwa hal itu adalah langkah mundur dari agama dan keraguan dalam iman.
Sebagian juga dengan alasan dua ayat Alquran (Al-Maidah: 44 dan Hujurat: 9) menginginkan
berlanjutnya perang dengan Muawiyah dan menganggap kafir bagi siapa saja yang menerima
perundingan damai serta hendak segera bertaubat. Mereka menginginkan dari Imam Ali as untuk
bertobat dari kekufuran ini dan membatalkan semua syarat yang diajukan oleh Muawiyah. Akan
tetapi Imam Ali as tidak menerima untuk menolak perundingan damai. Setelah berakhirnya
perang dan kembalinya Imam Ali as ke Kufah dan Muawiyah ke Syam, para penentang
perundingan damai berpisah dari Imam Ali as dan pergi ke kawasan Harura' dekat dengan kota
Kufah.
Sejarah kemunculan aliran-aliran dalam Ilmu
Kalam
Kelahiran Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh topik-topik pembahasan seputar Ketuhanan seperti
jabr (doktrin yang menganggap bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya apa yang akan
terjadi, sehingga garis ketetapan itu tak dapat diubah. Dan mengenai kehendak bebas (ikhtiyar),
serta topic mengenai keadilan Ilahi berlangsung di kalangan Muslim pada paro pertama abad
kedua hijriah. Ada tokoh-tokoh yang senantiasa mendukung kehendak bebas (ikhtiyar) seperti
Ma’bad Al-Juhani paro abad kedua pertama (wafat tahun 80 H/699 M). Dan ada juga yang
menentang kehendak bebas dan lebih mendukung jabr. Kaum yang memiliki kehendak bebas
dinamakan Qodariah sedangkan lawannya adalah Jabariyah. Maka berangsur-angsur pokok-
pokok perselisihan antara kedua kelompok ini meluas ke bidang teologi dan masalah-masalah
lain yang berhubungan dengan manusia dan kebangkitan, diantaranya juga masalah jabr dan
ikhtiyar. Maka bermunculan aliran-alirab teologi dengan dasar ajaran dan keyakinannya masing-
masing.

Aliran Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar
Ahmad al_syahrastani, Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah
disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin maupun pada masa
tabi’in secara baik-baik.

Khawarij sebagai sebuah aliran teologi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali Ibn Abi
Thalib yang meninggalkan barisan, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Ibn Abi Thalib yang
menerima kesepakatan damai sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan
Mu’awyiyah Ibn Abi Sufyan.

Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya dipadang pasir
yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun cara
berpikir. Golongan-golongan Khawarij yangterbesar menurut al-Syahrastani ada delapan. Yaitu
al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyyah, al-Ajaridah, al-Sa’alibah, al-Ibadiah dan
al-Shufriyah.

a. Al-Muhakkimah.

Al-Muhakkirnah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa
tahkim. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al- A’war, Abdullah bin
Wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari
pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantara
‘Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai
orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir.

b. AI-Azariqah

Al-Azarigah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang
besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak di perbatasan Irak dan. Iran. Khalifah yang
pertama mereka pilih adalah Nafi’ sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al-
Mu’minin. Sub sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari Muakimah. Mereka mengubah
term kafir menjadi term musyrik.

c. Al-Najdat

Al-Najdat adalah golongan khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diabil dari nama
pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah. Mereka ini pada
mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencanan ini tidak terwujud, karena
terjadi perselisihan paham antara pengikut al-Azariqah dengan al-najdat. Para pengikut Nafi’
Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al_Tawil dan Atiah al-Hanafi dalam tidak
menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke
dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik.

Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam
neraka hanyalah orang Islam yang, tak sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya
jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan
kemudian akan masuk surga.

Aliran Murji’ ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya
kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan
oleh aliran Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman
seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di
hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa
orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat
yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan
kafir. Pada golongan Murji’ah yang moderat ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad Ibn
‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Au Yusuf dan beberapa ahli hadis.
Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau
kemampuan. Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai
untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia
dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang
mempunyai gudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada Tuhan. Aliran Qadariyah
sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya.
Qodariah dosebut juga dengan aliran Mu’tazilah.

Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Paham Jabariyah
disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia
ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam
paham ini tidak memilki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak
Tuhan. Aliran Jabariyah ini selanjutnya mengembangkan pahamnya sejalan dengan
perkembangan masyarakat pada masa itu. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa
Jabariyah ini mengajarkan paham bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya berada dalam
keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan.Dalam
sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah di kalangan
umat Islam adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Mad ini kemudian
disebarluaskan oleh para pengikutnya.

Anda mungkin juga menyukai