PDCA Cycle
(Plan, Do, Check, and Action).
Konsep PDCA cycle pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart pada tahun 1930
yang disebut dengan “Shewhart cycle“. Selanjutnya konsep ini dikembangkan oleh Dr.
Walter Edwards Deming yang kemudian dikenal dengan ” The Deming Wheel”. PDCA
cycle berguna sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem.
PLAN
DO
CHECK
ACTION
1. Standarisasi perubahan
a. Pertimbangkan area mana saja yang mungkin diterapkan
g. Dokumentasikan proyek
2. Memonitor perubahan
sumber.http://yayanakhyar.wordpress.com
Pendahuluan
diskripsi pekerjaan dan tugas yang akan dilaksanakan oleh orang yang menduduki
jabatan di unit organisasi tersebut. Wewenang dan Tanggungjawab ini perlu direkam
dalam bentuk dokumen, sehingga akan memudahkan dalam mengidentifikasi aktivitas-
aktivitas yang telah dilakukan. Wewenangan dan Tanggungjawab dari unit satu dengan
unit lain tidaklah sama, masing-masing sesuai dengan kekudukan dari unit tersebut. Oleh
karena itu untuk merumuskan wewenang dan tanggungjawab perlu dipertimbangkan
dengan baik. Artinya, wewenang dan tanggungjawab tersebut bukan sekedar kumpulan
semua aktivitas yang harus dijalankan tetapi beban aktivitas, dapat dijalankan, kelayakan
dan kecukupan dari wewenang dan tanggungjawab perlu diharominisasikan atau
diseimbangkan. Jangan sampai wewenang dan tanggungjawab ini terlalu berat untuk
dijalankan atau tidak dapat dijalankan karena tidak sesuai dengan unit fungsi
pelaksanaanya. Atau level wewenang dan tanggungjawabnya bukan pada unit fungsional,
tetapi pada level yang lebih tinggi, level perencana. Dengan mempertimbangkan hal-hal
teresebut, diharapkan rumusan wewenang dan tanggungjawab sesuai dengan unit-unit
yang menjalankan.
Dimensi PDCA
Dengan pendekatan PDCA ini perumusan wewenang dan tanggungjawab lebih mudah
dilakukan. Setiap level akan memiliki wewenang dan tanggungjawab yang sesuai dengan
kedudukan sehingga beban tanggungjawab benar-benar sesuai dengan tingkatan level
kedudukan unit organisasi.
Tentunya semakin tinggi level unit tersebut dalam organisasi maka komposisi dari Plan
dan Check akan lebih banyak dibandingkan level di bawah. Level Top Management,
fungsi Plan akan lebih besar dibandingkan fungsi lainnya. Level Midle Management,
fungsi Plan akan lebih sedikit dibandingkan dengan Top Management. Sebaliknya, level
Midle Management fungsi Do akan lebih banyak dibandingkan level Top Management.
Demikian pula di level Lower Management fungsi Do lebih besar dibandingkan dengan
kedua level diatasnya, dan seterusnya.
Perlu diperhatikan, ketika mendisain wewenang dan tanggungjawab itu perlu meletakan
dasar berpijak dari sebuah wewenang dan tanggungjawab secara jelas. Dasar pijakan dari
sebuah jabatan antara lain bahwa setiap kegiatan yang dilakukan memiliki
5
Bertolak dari dasar pijakan tersebut maka rumusan level atau tingkatan
pertanggungjawabanya menjadi sangat jelas. Karena peta dari wewenang dan
tanggungjawab antara jabatan strategis dan jabatan operasional jadi semakin gamblang.
Tentunnya jabatan level strategis dimensi plan akan lebih banyak daripada jabatan level
operasional. Sebaliknya jabatan level operasional dimensi teknis atau oeperasional lebih
banyak dibanding jabatan level strategis.
Konsep PDCA yang pada hakekatnya merupakan siklus, maka pada implementasinya
akan membangun budaya mutu yang continual improvement. Implementasi konsep
PDCA untuk desain wewenang dan tanggungjawab dijabarkan berikut ini.
Plan (perencanaan) yaitu apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya? Pada
tahapan perencanaan ini, rumusan desain WT-nya diarahkan pada mengembangkan
sasaran dan proses-proses yang diperlukan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan
kebijakan organisasi atau sesuai persyaratan pengguna.
Check (memeriksa), yaitu apakah hasil yang terjadi sesuai dengan yang
direncanakan? Pada tahapan memeriksa ini, rumusan desain WT-nya diarahkan pada
memantau, mengevaluasi, mengukur kesesuaian proses-proses yang telah dijalankan dan
produk yang telah dihasilkan dengan kebijakan organisasi, sasaran mutu dan persyaratan
produk yang telah ditetapkan. diperlukan untuk mencapai hasil yang sesuai dengan
kebijakan organisasi atau sesuai persyaratan pengguna.
Action (tindaklanjut), yaitu apakah tindaklanjut yang akan diambil dengan hasil yang
diperoleh dan upaya yang diperlukan untuk meningkatkan hasil yang diperoleh? Pada
tahapan tindaklanjut ini, rumusan desain WT-nya diarahkan pada upaya-upaya tindakan
untuk meningkatkan kinerja proses secara bekesinambungan.
Penjabaran dari konsep PDCA ini ke dalam kata-kata operasional adalah sebagai berikut:
Penutup
Current Article
Strategi Membangun Budaya Mutu di Perguruan Tinggi
By bambangkesit on Jan 15, 2009 in Budaya Mutu
Tulisan ini diilhami oleh sebuah cerita tentang pengembangan sistem manajemen mutu
yang terjadi diperusahaan-perusahaan di luar negeri khususnya, di Amerika. Langkah-
langkah yang dilakukan oleh Perusahaan tersebut dalam mengembangkan sistem
manajemen mutunya, mungkin dapat diterapkan bagi Perguruan Tinggi (PT) di
Indonesia. Bagi PT yang sedang mengembangkan sistem manajemen, dan tertarik ingin
menerapkan manajemen mutu atau ingin meningkatkan budaya mutu, maka salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan melalui pendekatan konsep TQM (Total Quality
Management), atau dikenal dengan konsep PDCA (Plan, Do, Check, Action) .
Salah satu, bentuk implementasi konsep TQM dalam sistem manajemen adalah Quality
Management System ISO 9000. International Standard Organization (ISO) ini merupakan
sistem manajemen yang mensyaratkan bahwa manajemen organisasi harus memiliki
standar (kausul) seperti yang disyaratkan oleh ISO ini.
Hal yang paling banyak jadi bahan sorotan dalam langkah awal penerapan sistem
manajemen mutu biasanya komitmen eksekutif organisasi. Sampai-sampai ada istilah,
eksekutif jangan hanya komat-kamit jika ingin menerapkan SMM. Hal ini memang
benar. Namun sebaliknya banyak eksekutif perusahaan yang ternyata begitu kecewa
karena komitmennya sudah begitu kuat, bukan cuma komat-kamit tapi pelaksanaannya di
lapangan ternyata masih juga tersendat. Bahkan banyak yang sama sekali gagal. Nah,
dimana sesungguhnya letak permasalahannya ?
Sedangkan untuk Perguruan Tinggi, misalnya berupa Pengendali sistem Mutu Fakultas
(di tingkat Fakultas) atau Satuan Pengendali Sistem Mutu Prodi (di tingkat program
studi). Kalau komitmen keterbukaan dari atas sudah dilakukan namun ternyata masih
tersendat dalam pelaksanaannya dilapangan, tentu patut dicari faktor penye-babnya.
Salah satu hambatan besar justru terletak di jajaran middle manager. Middle manager
yang paling potensial menghambat pengembangan SMM dan juga pengembangan
budaya mutu.
Pada awalnya hal ini disebabkan sikap eksekutif perusahaan sendiri, misalnya
menerapkan SMM yang hanya menggambil konsep TQM (Plan, Do, Check dan Action)
saja. Tidak berusaha memahami secara detail bentuk implementasi TQM dalam ISO
9000, sehingga pemahamannya sangat dangkal dan ketinggalan model. Sekalipun
komitmennya cukup kuat, namun karena sistem manajemen mutu yang hendak
diterapkan tidak ada sama sekali gambarannya seperti apa modelnya sehingga jadi
abstrak dan tidak jelas. Yang dilakukan merupakan skenario tipikal, dimana ada
eksekutif yang keranjingan dengan gagasan-gagasan besar yang katanya dapat
menyelamatkan perusahaan, seperti sistem TQM ini.
Saking keranjingannya, sang eksekutif kemudian “masuk jalan tol” dengan membentuk
komite atau taskforce untuk mengkaji hal itu. Biasanya juga dilakukan dengan menunjuk
konsultan untuk melakukan pelatihan-pelatihan dan menjual gagasan tersebut kepada
jajaran karyawan. Sasaran dari pelatihan-pelatihan pun diselenggarakan,
kecendrungannya untuk mencekoki pegawai dengan gagasan besar tentang peningkatan
mutu secara total. Bukan membangun pemahaman tentang manajemen mutu yang
dibarengi dengan membangun budaya mutunya. Al hasil para karyawan “saya disuruh
apa?” Bingung.
Melompati Kewenangan
Masalah kemudian muncul karena dalam upaya untuk meningkatkan mutu secara total
itu, pihak top management seringkali melompati kewenangan para manajer menengah
dalam kaitan mereka dengan karyawan sebagai bawahannya. Terdapat juga kecendrungan
lain dimana kalaupun para manajer menengah tersebut diikutsertakan dalam pelatihan
tentang hal ini, biasanya yang mereka terima hanya semacam basic skill yang sebetulnya
pernah mereka pelajari sebelumnya. Bukan terfokus kepada petunjuk konkrit,
utamanya tentang cara bagaimana dapat membangun kerjasama dengan karyawan
dalam mengimple-mentasikan perusahaan melalui TQM.
Hasil dari pendekatan “jalan tol” ini adalah kondisi yang saling salah menyalah-kan.
Eksekutif komplain karena manajer menengah dianggap tidak mengambil peran yang
cukup signifikan menyangkut kepemimpinan dalam upaya perubahan. Sementara para
manajer menengah sendiri jadi bingung, menyangkut sejauh mana peranan dan
kewenangannya dalam mengimplementasikan perubahan yang sesungguhnya itu.
tidak merasa dirinya sebagai leader. Padahal pengembangan budaya mutu dan TQM
menuntut setiap manajer untuk bertindak sebagai pemimpin yang andal dalam
meningkatkan kreatifitas staf atau bawahannya dan mampu melatih mereka, misalnya
menyangkut penerapan aspek continuous improvement.
Ini yang merupakan sisi negative dimana hambatan dari manajer menengah dalam
implementasi bu-daya mutu atau TQM semata-mata disebabkan cara pendekatan yang
kurang pas dari manajemen puncak.
Total Quality atau pengembangan budaya mutu menuntut jajaran manajer untuk merubah
gaya, cara kerja dan bahkan perilakunya agar sejauh mungkin dapat keluar dari struktur
organisasi yang tradisional, seperti menghilangkan berbagai pembatasan-pembatasan,
membangkitkan kemampuan untuk membangun kerja-sama dalam setiap pemecahan
masalah yang dihadapi, dan juga kemampuan untuk menyempurnakan secara terus
menerus dari proses kerja yang ditanganinya. Justru perubahan ini yang paling dirasakan
sebagai tekanan oleh jajaran middle manager karena mereka harus meninggalkan gaya
atau cara kerja tradisional yang selama ini dinikmatinya. Ini menjadi sisi negative
hambatan lainnya.
Kecuali apabila jajaran manajer menengah ini telah sangat yakin bahwa TQM adalah
dunia baru yang merupakan tempat yang lebih baik bagi mereka, maka sebelumnya
mereka cendrung bertahan pada sikap yang negatif. Sikap negatif terhadap perubahan ini
sering ditunjukkan dalam bentuk tindakan yang menyimpang dalam aktivitas pekerjaan
sehari-hari. Atau mereka menjadi terbelenggu oleh kegelisahan, apakah kalau
perusahaannya mengadopsi system TQM ini maka jabatan dan kewenangannya tidak
malahan akan tergerogoti atau berkurang.
Jadi, bagaimana pun juga, langkah perubahan dari cara dan gaya manajemen tradisional
kepada sistem manajemen yang lebih akomodatif untuk peningkatan budaya mutu secara
total mau tidak mau tentunya harus dilakukan oleh perusahaan, misalnya dengan
mengadopsi TQM. Namun dengan cara bagaimana menyingkirkan barir-barir dari jajaran
menejer menengah ini dengan berbagai sisi negatifnya itu ?
Salah satu cara yang harus dilakukan oleh eksekutif perusahaan atau senior manager agar
jajaran manajer menengah akomodatif dan terlibat dalam penerapan TQM dan
pengembangan budaya mutu, pertama-tama dengan lebih dahulu menetapkan suatu
kebijakan baru yang jelas tegas menempatkan jajaran manajer menengah sebagai partner
dalam proses peningkatan mutu secara total. Jika senior manajer menginginkan agar para
manajer menengah merangkul dan bahkan memimpin upaya peningkatan mutu secara
total, langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan memberi mereka kesempatan,
dengan cara bagaimana mereka dapat meningkatkan mutu secara total, pertama-tama
melalui cara dan gaya mereka sendiri.
Biarkanlah para manajer menengah lebih dahulu mencari dan menemukan cara atau
strategi yang mereka butuhkan untuk menggapai budaya mutu secara total, seperti
menyangkut upaya membangun partisipasi total (total participation) atau upaya
penyempurnaan secara terus menerus dari proses mutu kerja (continuous improvement)
dan sebagainya lagi.
Setelah itu barulah dilakukan langkah berikutnya dimana secara bersama-sama antara
senior dan middle manager dalam perusahaan dilakukan diskusi-diskusi untuk mencari
atau memperoleh solusi atau jalan pintas untuk memperoleh benefit dari peningkatan
mutu yang diantaranya patut didukung oleh jajaran manajer menengah. Jajaran
manajemen menengah ini harus diberi kesempatan agar mereka bersama staffnya dapat
menggali ketrampilan dalam hal peningkatan mutu dan budaya mutu, untuk kemudian
mengintegrasikannya dengan proses kerja mereka. Dalam upaya menerapkan TQM,
jajaran manajer menengah ini harus sungguh-sungguh dapat diyakinkan bahwa mereka
merupakan kunci dan juga partner yang vital bagi eksekutif.
Beberapa pakar manajemen mutu menganjurkan bahwa pendidikan atau pelatihan yang
perlu dilakukan oleh pihak perusahaan dalam rangka penerapan sistem ini tidak hanya
terbatas kepada konsep teknik TQM, namun juga harus menyangkut managing change
didahului dengan peningkatan wawasan dan pemahaman karyawan, kenapa
perusahaan harus menjaga dan meningkatkan mutu secara berkesinambungan.
Harus juga diyakini bahwa pendekatan tradisional terhadap mutu terbukti telah cacat
secara fatal. Demikian juga, upaya peningkatan mutu secara total bukanlah hanya sekedar
masalah grafik atau bagan-bagan. Bukan juga sekedar hanya dalam bentuk pertemuan
dan diskusi dan kemudian membuktikannya dalam ROI (Return on Invesment). Namun
upaya peningkatan mutu secara total seharusnya menjadi a way of working, setiap hari,
inilah makna budaya mutu. Dalam hal ini, tanpa kepemimpinan para manajer menengah,
tentunya upaya meningkatkan mutu secara total akan menemui ajalnya.
Jika eksekutif ingin sukses dalam penerapan SMM, lakukanlah pendekatan terhadap
terhadap jajaran manajer menengah dengan mengembangkan partner-ship yang lebih
kokoh untuk menciptakan strategi mencapai sasaran yang berdasarkan kebutuhan
pelanggan/konsumen. Manajer menengah harus lebih diperjelas tanggung jawabnya
dalam hal mutu, pelayanan terhadap pelanggan dan kepuasan pelanggan. Mereka juga
harus diberi kewenangan untuk mengambil inisiatif kepemimpinan mutu.
11
Biarkan mereka melakukan seleksi dan memilih strategi yang tepat untuk sasaran mutu.
Sudah barang tentu pendidikan dan pelatihan yang intensif juga harus diberikan,
khususnya dalam total quality dan team building. Sementara senior manajer harus
menjadi “jagoan” dalam menanamkan sistem nilai dan tema-tema agar karyawan
terangsang untuk belajar secara terus menerus.
Berilah juga dorongan keberanian kepada jajaran manajer menengah untuk memimpin
staff dan bawahannya didalam mencari terobosan-terobosan baru yang merupakan
tantangan, jangan hanya terbatas kepada pendekatan total quality control. Mereka juga
harus didorong agar mampu mengintegrasikan sasaran mutu dengan sasaran performance
management lainnya dengan penuh tanggung jawab berdasarkan reward system.
Pada akhirnya, senior manajer harus juga memberikan penghargaan kepada siapa pun
karyawan yang berhasil meningkatkan mutu, dan mampu dalam mengembangkan budaya
yang menun-jang peningkatan mutu, pelayanan dan inovasi. (BQST)
Current Article
Implementasi SMM UII(3): PDCA sebagai Konsep Dasar SPM-PT
Menurut ISO 9000, SMM didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen yang terdiri dari
struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur-prosedur, proses-proses dan sumber-sumber
daya yang digunakan untuk mencapai standar yang telah disyaratkan atau ditentukan oleh
organisasi itu sendiri guna memenuhi kepuasan pengguna. Secara singkat, SMM
mendefinisikan bagaimana organisasi menerapkan praktik-praktik manajemen mutu
secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pengguna dan pasar. Komitmen
manajemenlah kunci dari keberhasilan penerapan SMM. Komitmen ini harus dibangun
dalam bentuk perilaku manajemen, komitmen bukanlah sekedar dukungan saja tetapi
lebih berimplikasi pada letak tanggungjawab manajemen dalam menjamin keberhasilan
implementasi manajemen mutu.
Dalam konteks SMM UII, konsep siklus PDCA ini dapat dijabarkan kedalam setiap
proses-proses yang ada dalam unit kerja dan pada sistem secara keseluruhan dalam
lingkungan UII. Penerapannya bukan hanya terbatas pada proses-proses yang bersifat
strategis seperti perencanaan sistem manajemen mutu atau tinjauan manajemen; tetapi
juga untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat operasional seperti proses-proses pada bagian
pengajaran dan akademik, bagian administrasi dan umum, bagian keuangan dan bagian
rumah tangga dan perbekalan. Untuk unit kerja teknis atau operasional siklus PDCA
penjabarannya dapat diterapkan sebagai berikut:
Langkah awal, implementasi PDCA dalam SMM adalah dengan penjabaran konsep
tersebut dalam lingkungan kerja organisasi UII. Penjabaran konsep PDCA tersebut juga
13
Dalam SMM kegiatan dilaksanakan bukan berdasar bidang atau bagian tetapi berdasar
aliran proses. Kegiatan atau rangkaian kegiatan apapun bentuknya, merupakan
pemakaian sumberdaya untuk mengubah masukan menjadi keluaran. Perlu disadari,
banyak proses yang saling berkaitan dan berinteraksi, maka untuk dapat menjadi
organisasi yang berfungsi efektif, maka UII harus mampu mengetahui dan mengelola
proses-proses tersebut.
Acap kali, keluaran dari suatu proses akan langsung menjadi masukan ke proses
berikutnya. Penunjukan dan pengelolaan secara sistematis dari proses yang digunakian
dalam organisasi dan pada khususnya interaksi antara proses-proses seperti itu dikenal
dengan “pendekatan proses”. Pada implementasi konsep PDCA ini Pimpinan dapat
menjabarkan perencanaan dalam bentuk aktivitas-aktivitas berikut ini:
Proses-proses yang ada dalam sistem manajemen mutu mencakup 4+1 yakni:
Demikian sekelumit pendapat dan pengalaman, semoga dapat jadi inspirasi dan renungan
bagi para pembaca yang ingin mengimplementasikan sistem manajemen mutu di
lingkungan Perguruan Tinggi masing-masing. Bagi para pembaca yang ingin sharing dan
tukar pengalaman lebih detail melalui email bambangkesit@staff.uii.ac.id atau
bkesit@yahoo.com. Semoga bermanfaat.(BQST-5-2009).
15
Current Article
10 Langkah Menyusun Dokumen Sistem Manajemen Mutu
di Perguruan Tinggi
By bambangkesit on Jul 16, 2009 in Manajemen Mutu
Akibatnya keberlanjutan suatu kegiatan atau program menjadi sangat rendah. Hal ini
sebenarnya, menunjukkan bahwa pengelolaan perguruan tinggi itu bukan diarahkan oleh
visi institusi tetapi oleh visi masing-masing pimpinan. Wal hasil keberhasilan yang
dicapai hanya untuk diri sang pimpinan bukan keberhasilan secara organisasi. Dengan
sistem penjaminan mutu perguruan tinggi hal demikian tidak akan terjadi. Karena sistem
ini meletakkan arah organisasi ditentukan oleh visi organisasi itu sendiri bukan oleh visi
pimpinannya. Siapapun, pimpinannya jika beliau dapat mengawal dan menyelaraskan
semua visi anggota organisasi ke dalam visi organisasi Perguruan Tinggi maka Insya
Allah akan tetap berhasil membawa Perguruan Tinggi. Mengakomodasi visi organisasi
Perguruan Tinggi ke dalam visi pribadi inilah yang harus dimiliki oleh anggota organisasi
sehingga membentuk budaya organisasi dalam diri pelaku-pelakunya. Hal ini tentunya
membutuhkan waktu yang lama tidak hanya setahun dua tahun tetapi lebih lama mungkin
puluhan tahun. Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk mempercepat dan
mempersingkat waktu yang dibutuhkan yaitu dengan menggunakan sistem manajemen
mutu. Sistem manajemen mutu, organisasi digerakan dan diarahkan oleh visi organisasi
bukan visi pribadi pimpinan. Dengan menjadikan sistem manajemen mutu sebagai
landasan sistem manajemen Perguruan Tinggi maka Implementasi Sistem Penjaminan
Mutu akan mampu bertahan keberlangsungan dan berkelanjutannya.
tidak pernah sama, bergantung dari sisi kompleksitas, kerumitan dan kompetensi personil
yang ada di Perguruan Tinggi. Berikut ini langkah-langkah bagaimana mengidentifikasi
proses-proses yang ada di Perguruan Tinggi dan Menyusun kebutuhan Dokumen yang
diperlukan dalam Perguruan Tinggi tersebut.
Current Article
Manajemen SDM-Dosen dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan di Perguruan Tinggi
By bambangkesit on Mar 15, 2009 in Manajemen Mutu
Dalam klausul 6.1, IWA 2:2007- ISO 9001:2000, Pimpinan Perguruan Tinggi,
berkewajiban untuk mengelola sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk
mengimplementasi sistem manajemen mutu agar dapat efektif dan efisien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pimpinan perguruan tinggi bertanggungjawab
terhadap pengelolaannya karena dosen memiliki peran yang sangat strategis dan
penompang utama dalam meningkatkan mutu pendidikkan di perguruan tingginya.
Peran dosen dalam meningkatkan mutu pendidikan di Perguruan Tinggi, dimulai dari
keberdayaan mereka. Oleh karena itu pengelolaan atau manajemen sumberdaya manusia
di perguruan tinggi khususnya untuk dosen, perlu diarahkan pada pembedayaan dan
kewirausahaan dosen (baca budaya “wirausaha” dosen). Tentunya pemberdayaan dosen
dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan di lembaga pendidikan, tentu harus
dimulai dengan adanya suatu stigma berfikir sebagai landasan logis bagi tenaga pengajar
untuk dapat memberikan kontribusinya kepada lembaga pendidikan.
Paradigma tenaga pengajar (dosen) itu harus dimulai dengan melakukan orientasi
pendidikan, yaitu : pertama, dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat. Kedua, dari
belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, Ketiga, merubah citra
hubungan dosen - mahasiswa yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan,
Keempat merubah orientasi dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik
(akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, Kelima mengubah
orientasi dari pola konvensional menuju pola pendekatan teknologi informasi dan
budaya. Dan keenam, dari penampilan tenaga pengajar (dosen) yang terisolasi ke
penampilan dalam tim kerja (partnershif kepada institusi/ bukan subordinatif dengan
institusi pendidikan),
Mekanisme pengelolaan sumber daya dosen (tenaga pengajar) tersebut dapat dilihat
dalam konteks pertama, bagaimana sistem perekrutan (recruitment) tenaga pengajar.
Kedua. bagaimana membentuk pola persepsi antara kualitas kognitif tenaga pengajar
dengan kemampuan beradaptasi pengajar pada kultur dan sistem akademis yang
diterapkan lembaga. Sebab banyak kasus terjadi, institusi pendidikan memiliki sumber
daya dosen yang baik, namun dosen tersebut tidak cukup baik untuk “tunduk” pada
sistem dan aturan yang sudah di tetapkan secara baku oleh institusi pendidikan.
Hal tersebut kebanyakan di justifikasi bahwa seorang dosen (tenaga pengajar) memiliki
indepen-desinya dalam memberikan proses pendidikan dan pengajarannya kepada
mahasiswa. Oleh karenanya maka di harapkan dalam proses pengelolaan sumber daya
dosen dalam suatu institusi pendidikan, kesepahaman persepsi tentang idealisme yang
merujuk kepada budaya institusional haruslah senantiasa dipupuk dan terus dilestarikan
oleh institusi pendidikan dalam medium komunikasi di segala kesempatan.
Distorsi komunikasilah yang menyebabkan terjadinya prasangka dan asumsi yang keliru
terhadap orientasi pengelolaan sumber daya mahasiswa. Ketiga, bagaimana mekanisme
kontrol yang diterapkan oleh institusi pendidikan terhadap proses kegiatan belajar -
mengajar yang dilaksanakan oleh para dosen. Untuk mengukur sejauhmana konsepsi
pendidikan dan pengajaran berjalan efektif, maka eksistensi dosen dalam institusi
pendidikan juga mesti di awasi untuk memberikan keyakninan tentang bagaimana kinerja
dan produktivitas dosen tersebut. Keempat, bagaimana penghargaan (reward) yang
diberikan oleh institusi pendidikan terhadap para tenaga pengajar yang telah memberikan
konstruksi positif bagi eksistensi institusi lembaga pendidikan itu sendiri.
Demikian, sekelumit gambaran bagaimana peran strategis dosen dalam perguruan tinggi
sehingga dalam pengelolaannya pun tidak mudah. Tidak ada sistem manajemen yang
tepat yang dapat diterapkan di semua organisasi. Oleh karena itu, tulisan ini sekedar
berbagi dan semoga bisa memberi inspirasi dan dalam implementasinya tentunya
disesuaikan dengan kondisi dan situasi dari masing-masing perguruan tinggi. Semoga
bermanfaat.(BQST
19
Topik Bahasan :
1. KAIZEN DENGAN METODE PDCA
Seleksi Masalah sesuai prinsip : Low Cost, Low Effort, Low Risk, dan High
Impact
Teknik menganalisa masalah secara sederhana dan praktis
Latihan dan Studi Kasus