Anda di halaman 1dari 9

PEMBAHASAN

A. Lembaga Keuangan Syariah

Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang mandiri dan


dibangun berdasarkan nilai-nilai etika dan moralitas keagaman yang bersumber
dari al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Selama berabad-abad, para pemikir muslim
melakukan pengkajian dan penelitian tentang prinsip-prinsip dasar sistem
ekonomi Islam dari sumbernya agar dapat dijabarkan dalam kehidupan. Seiring
digulirkan sistem perbankan syari’ah pada pertengahan tahun 1990-an, beberapa
Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) mempunyai kedudukan yang sangat penting
sebagai lembaga ekonomi Islam berbasis syari’ah di tengah proses pembangunan
nasional.

Berdirinya lembaga keuangan syari’ah (LKS) merupakan implementasi


dari pemahaman umat Islam terhadap prinsip-prinsip muamalah dalam hukum
ekonomi Islam yang selanjutnya dipresentasikan dalam bentuk pranata ekonomi
Islam sejenis lembaga keuangan syari’ah bank dan non bank. Lembaga keuangan
syari’ah merupakan instrumen penting dalam pembangunan ekonomi Islam,
dimana masyarakat atau negara tidak dapat mengabaikan kepentingan untuk
mendirikan lembaga-lembaganya. Terhitung sejak tahun 1991, keberadaan
lembaga-lembaga keuangan syari’ah Indonesia sejenis bank syari’ah (BMI dan
BPRS) sebagai lembaga perbankan alternatif yang bebas dari praktek
pembangunan uang. Praktek serupa diikuti pula oleh lembaga keuangan syari’ah
non bank syaria’ah sejenis BMT, Asuransi Takaful, Unit Simpan Pinjam Syari’ah
(USPS) dan koperasi Pondok Pesantren (Kopotren) dan lainnya. Dalam
perkembangan dewasa ini, dikenal dua jenis lembaga keuangan syari’ah bank
yaitu Bank Muamalah Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat Syari’at
(BPRS), sedangkan lembaga keuangan syari’ah non bank diwujudkan dalam
bentuk Asuransi Takaful (AT), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Unit Simpan
Pinjam Syari’ah dan Koperasi Pondok Pesentren (Kopotren) di berbagai wilayah
Indonesia.1

B. Lembaga Keuangan Syariah Bank

Kesempatan untuk mendirkan Bank Islam di Indonesia sebenarnya mulai


terbuka sejak Tahun 1988 dengan adanya pakto 1988 (oktober 1988), yaitu
dengan adanya ketentuan bahwa Bank boleh beroprasi dengan mengenakan bunga
sebesar 0%. Keberadaan Bank Islam ini lebih dikembangkan lagi dengan

1
Syamsuir, “Lembaga keuangan Islam Non Bank”, Jurnal Islamika Vol. 15 No.1, 2015,
hlm. 90.

1
diberlakukannya Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun
Undang-Undang tersebut memberi landasan hukum yang cukup kuat karna belum
secara tegas mencantumkan kata "Prinsip Syariah" dalam kegiatan usaha Bank.
Menanggapi kemungkinan pembentukan bank islam tersebut, Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan lokakarya bunga Bank dan Sistem
Perbankan pada tanggal 19 sampai 22 Agustus 1990 di Cisarua Bogor.2

Menurut sejarah keuangan syariah di Indonesia, berdirinya lembaga


keuangan berbasis syariah lebih banyak diusahakan oleh kelompok profesional
muslim yang lebih berorientasi pada praktik. Namun secara teori keuangan pada
umumnya belum terdapat kesepakatan dikalangan akademisi. Kelompok
profesional ini merasa tidak perlu menunggu perkembangan teori terlalu jauh.
Mereka cenderung mewujudkan fikih muamalat ke dalam praktik, tentu saja
setelah dilakukan konseptualisasi. Perkembangan selanjutnya dikawal oleh Dewan
Syariah yang dibentuk tingkat nasional maupun di setiap bank dan
lembagakeuangan syariah. Jika menilik dari fase perkembangan keuangan Islam
di Indonesia, maka kita akan menemui berbagai aturan yang muncul dari inisiatif
tokoh agama danprofesional muslim. Berikut fase kemunculan keuangan Islam
modern di Indonesia

1. 1983–1992: Rencana Terapkan “Sistem Bagi Hasil”

Pada tahun 1983, terdapat peristiwa besar dalam dunia perbankan


Indonesia. Bank Indonesia (BI) memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk
menetapkan suku bunga. Pemerintah melalui kebijakan deregulasi perbankan
memiliki tujuan menciptakan kondisi perbankan lebih efisien dan kuat dalam
menopang perekonomian. Selain itu, pemerintah Indonesia telah berencana
menerapkan “sistem bagi hasil” dalam perkreditan yang merupakan konsep dari
perbankan syariah.

Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja


untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Agustus 1990, MUI
menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Jawa Barat. Hasil
lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional
(MUNAS) ke-IV MUI di Jakarta tahun 1990. MUNAS tersebut menghasilkan
amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk
melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai
hasil kerja Tim Perbankan MUI adalah berdirilah bank syariah pertama di
Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Sesuai akte pendiriannya,
2
Rahmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), hlm. 445.

2
BMI berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991 dan beroperasi pada tanggal 1 Mei
1992. Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belum memperoleh
perhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional.

2. 1992–1998: Landasan Hukum Bank Syariah Pertama

Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu
hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang “bank dengan sistem bagi hasil”
pada Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1992, tanpa rincian landasan hukum
syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Pada tahun 1998, pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan penyempurnaan UU No. 7
tahun 1992 menjadi UU No. 10 Tahun 1998. UU tersebut secara tegas
menjelaskan bahwa terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air, yaitu sistem
perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah.3 Peluang ini disambut
hangat masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank
Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank
Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh, dan bank syariah
lainnya.

3. 1998–2010: Muncul Kebijakan Syariah diberbagai Sektor

Pengesahan beberapa produk perundangan telah memberikan kepastian


hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan islam. Dengan telah
diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit
tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional
semakin memiliki landasan hukum. Peraturan keuangan islam yang memadai akan
mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat secara signifikan. Perkembangan
perbankan syariah yang impresif hingga mencapai rata-rata pertumbuhan aset
lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir Tidak heran peran industri
perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin
signifikan. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah Bank
Umum Syariah (BUS). pada tahun 2009 hingga 2010, berawal dari 5 BUS
menjadi 11 BUS.

4. 2010–2015: Pemantapan Kebijakan Syariah

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia,


dalam dua dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak
pencapaian kemajuan, baik dari aspek lembagaan dan infrastruktur penunjang,
perangkat regulasi dan sistem pengawasan, maupun kewaspadaan dan literasi

3
UU No. 10 Tahun 1998.

3
masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah. Sistem keuangan syariah kita
menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara internasional.

Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan


berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka
pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK. Selaku
otoritas sektor jasa keuangan, OJK terus menyempurnakan visi dan strategi
kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah. OJK menyusun visi dan
startegi tersebut kedalam Roadmap Perbankan Syariah Indonesia (RPSI) 2015–
2019 yang dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014. OJK mengharapkan
RPSI menjadi panduan arah pengembangan sektor keuangan syariah. RPSI
berisikan inisiatif strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang
ditetapkan OJK. Hasil awal terlihat pada tahun 2015, industri perbankan syariah
terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh
Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total aset sebesar Rp. 273,494
Triliun dengan pangsa pasar 4,61%.

5. 2015–2017: Digitalisasi Keuangan Syariah

Seiring meningkatnya permintaan masyarakat terhadap sistem keuangan


transparan, praktis, dan akuntabel. OJK mendorong inovasi keuangan berbasis
teknologi yang tengah berkembang untuk memenuhi permintaan tersebut.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi menjadi usaha OJK
membangun legalitas untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Aturan
tersebut diperuntukkan bagi perusahaan keuangan konvensional berbasis
teknologi yang tengah berkembang. Saat ini perusahaan keuangan syariah
berbasis teknologi belum memiliki aturan tersendiri dan masih mengacu kepada
Peraturan OJK tersebut. Namun tidak menjadi penghalang perusahaan rintisan
atau startup mengembangkan aplikasi keuangan berbasis teknologi.4

C. Lembaga Keuangan Syariah Non Bank

Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik perbankan ataupun non


bank dalam menjalankan kegiatan operasionalnya harus sejalan dan sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa prinsip syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di

4
https://blog.syarq.com/kemajuan-perbankan-syariah-indonesia-898f492916e1 diakses
tanggal 13 Setember 2019 pukul 10.35 WIB.

4
bidang syariah. Penerapan prinsip-prinsip syariah juga harus mengacu pada etika
bisnis secara islami yaitu berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Tidak
hanya itu, etika bisnis dalam Islam juga mengacu pada tauhid, keseimbangan,
kehendak bebas, pertanggungjawaban dan ikhsan.

Untuk mendukung perkembangan LKS di Indonesia, maka diperlukan


perangkat hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
LKS. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi persengketaan ekonomi syariah
yang akan terjadi di masa mendatang. Akan tetapi, dalam kegiatannya LKS tidak
cukup hanya diatur oleh perundang-undangan saja, namun juga dibutuhkan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai otoritas di bidang keagamaan
sebagai bagian dari perangkat hukum LKS, agar kegiatan operasional yang
dilakukan LKS sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Atas dasar itu, MUI membuat lembaga khusus dalam menangani masalah-
masalah yang berhubungan dengan aktifitas LKS dan lembaga bisnis syariah yaitu
Dewan Syariah Nasional (DSN), yang termuat dalam Keputusan Dewan Pimpinan
MUI Nomor kep-754/MUI/II/1999. Fungsi utama DSN adalah mengawasi
produk-produk LKS agar sesuai dengan syariat Islam bukan hanya mengawasi
bank syariah saja tetapi juga LKS yang lain seperti asuransi, reksadana, modal
ventura, BMT dan sebagainya Fungsi lain dari DSN adalah dapat memberi
teguran kepada lembaga keuangan syariah apabila lembaga yang bersangkutan
menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan dan jika lembaga keuangan
tersebut tidak mengindahkan teguran tersebut, maka DSN dapat mengusulkan
kepada otoritas yang berwenang .

Untuk menjamin bahwa operasional LKS tidak keluar dari tuntutan


syariah, maka DSN-MUI membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk
mengawasi operasional LKS agar senantiasa sesuai tuntutan syariah. Kehadiran
DPS sangat diperlukan karena mereka merupakan wakil DSN di LKS. Menurut
Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 03 Tahun 2000
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah
Pada Lembaga Keuangan Syariah, kewajiban LKS terhadap DPS adalah
menyediakan ruang kerja serta fasilitas yang diperlukan dalam membantu
kelancaran tugas DPS dan tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha
LKS agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh
DSN.

Salah satu LKS non bank yang menjalankan kegiatan operasionalnya


menerapkan prinsip-prinsip syariah adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
BMT adalah baitul maal yang kegiatannya lebih mengarah pada usaha-usaha
pengumpulan dan penyaluran dana yang non-profit, seperti zakat, infaq, dan

5
shadaqah sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran
dana komersial . Peran umum BMT adalah melakukan pembinaan dan pendanaan
yang berdasarkan sistem syariah, sehingga peran ini menegaskan arti penting
prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan ekonomi masyarakat . Sebagai LKS yang
bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup ilmu
pengetahuan ataupun materi, maka BMT mempunyai tugas penting dalam
mengemban misi keislaman dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, BMT haruslah tetap menjaga prinsip-prinsip syariah dengan
menerapkan fatwa MUI yang telah ada agar masyarakat kecil tidak merasa
dirugikan dan di dzalimi. Masyarakat kecil sudah seharusnya dibina dan didanai
agar dapat melanjutkan keberlangsungan kehidupannya.5

Namun, dalam realisasinya masih banyak BMT yang belum menerapkan


sepenuhnya fatwa DSN-MUI dalam kegiatan operasionalnya. Sebagai contoh
pada akad murabahah (jual-beli), fatwa DSN-MUI menyatakan “bahwa bank
membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri dan pembelian
harus sah dan bebas riba” (Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah). Menurut Dr. Muhammad Arifin
Badri dalam Majalah Pengusaha Muslim (Edisi 25, 20 : 2012) menyatakan LKS
tidak benar-benar menerapkan ketentuan ini, karena di Indonesia bank/BMT
hanya berperan dalam sebagai badan intermediasi saja, artinya hanya berperan
dalam pembiayaan dan bukan membeli barang untuk kemudian dijual kembali
kepada nasabah. Sehingga diragukan barang yang diperjual-belikan benar-benar
telah dibeli oleh bank/BMT atas nama sendiri, karena jika memang benar bank
pernah memiliki barang tersebut maka akan tertulis pada laporan keuangan bahwa
bank/BMT pernah memiliki barang tersebut dan kemudian menjualnya kepada
nasabah.

Industri keuangan syariah di Indonesia memiliki potensi untuk terus


bertumbuh dan memiliki kemanfaatan yang besar bagi perekonomian. Industri
Keuangan Non-Bank (IKNB) yang berbasis syariah pun menjadi satu pilar
kekuatan di industri keuangan syariah, yang perkembangannya diharapkan bisa
ikut menumbuhkembangkan perekonomian syariah di Indonesia.

IKNB Syariah adalah bidang kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas di


industri asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya, yang dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syariah. Secara umum, kegiatannya memang tidak memiliki perbedaan dengan
IKNB konvensional. Namun terdapat beberapa karakteristik khusus, dengan

5
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2012),
hlm. 107-108.

6
produk dan mekanisme transaksi yang berdasarkan prinsip syariah. Di antaranya
yang dilakukan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berbasis Hukum Syariah yang
difatwakan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) adalah
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Pembiayaan Musyarakah, Pembiayaan Ijarah,
Wakalah, Akad Mudharabah Musytarakah, dan Akad Kafalah. OJK sebagai
lembaga pengatur dan pengawas di keuangan syariah juga memiliki fungsi dan
kewenangan untuk melakukan integrasi arah kebijakan, strategi, dan tahapan
pengembangan di industri keuangan syariah, termasuk di IKNB Syariah. Tentu
instrumen regulasi yang dikeluarkan juga sesuai dengan prinsip syariah, dengan
melibatkan DSN MUI.

KESIMPULAN

Lembaga keuangan syari’ah merupakan instrumen penting dalam


pembangunan ekonomi Islam, dimana masyarakat atau negara tidak dapat
mengabaikan kepentingan untuk mendirikan lembaga-lembaganya. Terhitung
sejak tahun 1991, keberadaan lembaga-lembaga keuangan syari’ah Indonesia
sejenis bank syari’ah (BMI dan BPRS) sebagai lembaga perbankan alternatif yang
bebas dari praktek pembangunan uang. Praktek serupa diikuti pula oleh lembaga
keuangan syari’ah non bank syaria’ah sejenis BMT, Asuransi Takaful, Unit
Simpan Pinjam Syari’ah (USPS) dan koperasi Pondok Pesantren (Kopotren) dan
lainnya.

Menurut sejarah keuangan syariah di Indonesia, berdirinya lembaga


keuangan berbasis syariah lebih banyak diusahakan oleh kelompok profesional
muslim yang lebih berorientasi pada praktik. Namun secara teori keuangan pada
umumnya belum terdapat kesepakatan dikalangan akademisi.

Setiap Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik perbankan ataupun non


bank dalam menjalankan kegiatan operasionalnya harus sejalan dan sesuai dengan

7
prinsip-prinsip syariah. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa prinsip syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Ali Zainuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.


https://blog.syarq.com/kemajuan-perbankan-syariah-indonesia-898f492916e1
diakses tanggal 13 Setember 2019 pukul 10.35 WIB.
Huda Nurul dkk. 2016. Baitul Mal wa Tamwil sebuah tinjauan teoitis. Jakarta:
Amzah.

Irawan Mui. “Politik Hukum Ekonomi Syariah dalam Perkembangan Lrmbaga


Keuangan Syariah di Indonesia" Jurnal Media Hukum Vol. 25 No. 1.
2018.
Syamsuir. “Lembaga keuangan Islam Non Bank”. Jurnal Islamika Vol. 15 No.1.
2015.
Usman Rahmadi. 2012. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika.
UU No. 10 Tahun 1998.
Soemitra Andri. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai