Disusun oleh :
Yuli Nurfitri
( 1903652 )
Slow fashion merupakan industri fashion yang lebih mengutamakan kualitas ketimbang
kuantitas, serta berkomitmen menciptakan praktik kerja yang sehat terhadap para pekerjanya.
Dalam industri slow fashion sangat mengedepankan daya tahan produk yang dapat di
pertanggung jawabkan. Selain itu sustainable fashion sering di asosiasikan dengan slow
fashion.
Istilah sustainability artinya kemampuan untuk meneruskan, untuk bertahan secara
berkelanjutan. Agenda sustainability modern biasanya merujuk pada pengembangan yang
sustainable, di mana pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup modern dapat dicapai sambil juga
mempertahankan keadaan bumi dan lingkungan hidup, dan hal tersebut sejalan dengan 10
prinsip slow fashion. Maka dari itu berikut ini beberapa penjelasan mengenai 10 pendekatan
slow fashion yang akan diterapkan dalam project “Tie Dye’s Gallery”.
1. Think (pertimbangan)
Dalam menciptakan konsep dari suatu industri ataupun project perlu adanya
pertimbangan dan pemikiran yang matang agar tidak ada pihak yang dirugikan ataupun
mencemari lingkungan sekitar.
Sehingga suatu industri ataupun project perlu memikirkan Ethical Fashion.
Ethical fashion mengacu pada pakaian yang mempertimbangkan dampak produksi dan
perdagangan terhadap lingkungan dan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan
pakaian yang orang kenakan (Haug dan Busch (2016). Ditekankan pula oleh Barnes dkk
(2006), “Ethical fashion is fashionable clothing that combines the principles of fair trade
with good workplace conditions, does not damage the environment, and seeks to use
organic materials that can be released naturally.” Yang artinya fashion etis adalah pakaian
modis yang menggabungkan prinsip-prinsip perdagangan yang adil dengan kondisi
tempat kerja yang baik, tidak merusak lingkungan, dan berupaya menggunakan bahan
organik yang dapat teruari secara alami.
Ethical fashion diidentifikaisi pada :
(1) masalah kerusakan lingkungan
(2) kondisi yang tidak adil bagi yang terlibat dalam proses produksi.
Masalah lingkungan seperti polusi air, konsumsi air yang berlebihan, banyak
limbah produksi yang dibuang, merupakan beberapa penyebab kerusakan lingkungan.
Sebagai fashion desainer harus berupaya untuk mengurangi limbah dalam proses
produksinya, atau memanfaatkan limbah produksi untuk barang lain. Kondisi pekerja juga
harus diperhatikan. Isu tentang sweatshop pada pabrik garmen yang memperkerjakan
pekerjanya di tempat yang kurang layak, dengan tuntutan tinggi dan upah yang dibawah
standar, telah mencoreng industri garmen, terutama industri fast fashion. Oleh karena itu
keadilan system upah dan kondisi tempat kerja menjadi salah satu prinsip ethical fashion.
Maka dari itu dalam project Tie Dye’s Gallery ini akan diupayakan agar mampu
meminimalisir energi yang digunakan serta limbah yang dihasilkan dengan menggunakan
bahan-bahan yang alami agar limbah mudah terurai ataupun diproses. Selain itu project
ini akan berupaya memperhatikan hak-hak para pengrajin seperti pemberian upah yang
sesuai dengan hasil barang yang di produksi, serta memberikan jam istirahat yang cukup
dan fasilitas umum yang memadai.
Maka dari itu pencantuman eco label pun perlu diperhatikan karena merupakan
salah satu cara mengidentifikasi sustainable fashion dengan menggunakan label ramah
lingkungan. Sehingga konsumen yang mencari pakain yang diproduksi secara ramah
lingkungan, mereka mudah menemukan melalui label tersebut. Pelabelan merupakan
salah satu strategi pemasaran produk (Haug dan Busch, 2016). Ada beberapa istilah yang
digunakan dalam label pakaian ramah lingkungan, antara lain: eco, green, natural, organic
dan sustainable. Tetapi beberapa masyarakat berpendapat pencantuman label tidak cukup
transparan, apakah industri garmen benar-benar menggunakan bahan ramah lingkungan
atau bebas sweatshop. Sehingga untuk lebih jauh diperlukan sertifikasi dari organisasi
yang terpercaya. Contohnya FAIRTRADE adalah independent sertifikasi yang digunakan
115 negara yang menyatakan bahwa produk telah sesuai dengan standar perdagangan
yang adil. ISO 14000 merupakan sertifikasi bahwa perusahaan telah memenuhi aspek
sustainability (Haug dan Busch, 2016). Contoh lain adalah SA8000, the WWF, the Soil
Association, the FSC, the EU flower, the Carbon Trust, and the Oeko-Tex 100
(Henninger, 2015).
2. Natural (alami)
Proses pembuatan bahan tekstil ataupun dalam proses pembuatan suatu produk
fashion pada umumnya menghasilkan banyak limbah, seperti limbah berupa kain
perca ataupun limbah cair. Karena sebelum menjadi kain yang dapat dibuat menjadi
pakaian, perlu dilakukan beberapa tahapan hingga akhirnya dapat menghasilkan kain.
Dan dari tahapan tersebut yang menghasilkan banyak limbah cair ialah berasal dari
tahap dyeing dan finishing.
Menurut Kadolph (2010), finishing adalah proses yang dilakukan pada fiber,
benang, atau kain baik sebelum atau sesudah produksi kain untuk mengubah
penampilannya. Dyeing adalah pemberian warna dalam produksi kain. Pada
umumnya pabrik tekstil membuang jutaan galon air limbah yang berbahaya, yang
mengandung warna dan bahan kimia dari proses dyeing serta finishing. Limbah ini
mengandung sulfur, naftol, dye yang tidak larut air, zat nitrat, asam asetat, sabun,
senyawa kromium, merkuri, nikel, kobalt, dan bahan bantu kimia lain, sehingga
membuat limbah ini bersifat sangat beracun. Bahan kimia berbahaya lainnya bisa
berupa zat dye fixing yang berbasis formaldehida, softener yang berbasis hidrokarbon,
dan zat kimia pewarna yang tidak biodegradable. Dan seringnya limbah ini memiliki
temperatur dan pH yang tinggi, sehingga bersifat merusak lingkungan perairan. (Kant,
2012) Menurut Kadolph (2010), material dengan BOD dan COD yang tinggi
membuat lingkungan yang tidak bersahabat untuk tanaman dan binatang perairan,
sehingga menyebabkan masalah dalam penggunaan air tersebut di masa depan.
Menurut Kant (2012), bahan koloid serta warna dan buih berminyak membuat air
limbah menjadi keruh dan berbau busuk. Selain itu, juga mencegah cahaya matahari,
yang diperlukan dalam fotosintesis, untuk tembus ke dalam perairan. Hal ini
mempengaruhi mekanisme pemindahan oksigen antara air dan udara. Kekurangan
jumlah oksigen yang terlarut dalam air ini adalah dampak limbah tekstil yang paling
serius, karena pentingnya oksigen dalam kehidupan bawah air. Selain itu, hal ini juga
mengganggu proses pemurnian diri dari air. Ditambah lagi jika air tercemar ini
mengalir ke tanah, kemudian menyumbat pori-pori tanah sehingga mengurangi
kesuburan tanah tersebut. Tekstur tanah menjadi keras dan akar tanaman tidak dapat
tembus ke dalam tanah. Air limbah yang mengalir di saluran pembuangan dapat
mengkorosi pipa selokan, dan jika dibiarkan mengalir ke sungai dapat memengaruhi
kualitas air minum sehingga membuatnya tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Air
tercemar juga bisa menjadi tempat berkembangnya bakteri dan virus. Air limbah juga
memiliki dampak yang signifikan dalam kerusakan lingkungan dan penyakit manusia.
Sekitar 40% dari pewarna yang digunakan secara global mengandung klorin yang
terikat secara organik, sebuah zat yang dikenal bersifat karsinogen (menyebabkan
kanker). Zat-zat kimia juga dapat menguap ke udara yang kita hirup, atau dapat
diserap melalui kulit dan menjadi reaksi alergi dan dapat membahayakan seorang
anak sebelum lahir.
Maka dari itu dalam project Tie Dye’s Gallery akan diupayakan penggunaan
pewarna berbahan alami dalam proses pewarnaannya. Yang akan digunakan pada
pewarnaan tie dye ialah pewarna indigofera yang berasal dari daun pohon nila.
Tanaman Indigofera dikenal dengan nama nila, tom jawa, tarum alus, tarum kayu
(Indonesia), indigo (Inggris), nila, tarum (Malaysia), tagung-tagun, taiom, taiung
(Filipina). Merupakan tumbuhan asli Afrika Timur dan Afrika bagian Selatan serta
telah diperkenalkan ke Laos, Vietnam, Filipina, dan Indonesia (Sumatera, Jawa,
Sumba, dan Flores). Pigmen warna yang ditimbulkannya dikelompokan ke dalam
pewarna lemak karena ditimbulkan kembali pada serat melalui proses redoks,
pewarna ini seringkali memperlihatkan kekekalan yang istimewa terhadap cahaya dan
pencucian. Tanaman nila (indigofera) dimanfaatkan secara luas sebagai sumber
pewarna biru (Adalina, dkk 2010).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Edia Rahayuningsih
menunjukkan bahwa marga indigofera bisa digunakan sebagai pengganti warna biru
pada pewarna non-alami. Zat warna pada indigofera yang berupa serbuk itu bisa
dihasilkan melalui teknik modern. Selain penggunaannya praktis, zat warna yang
dihasilkan tanaman indigofera lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan zat warna
yang diproduksi dengan cara-cara tradisional. warna biru dari serbuk yang dihasilkan
memiliki kadar hingga 40 persen, sementara warna biru dari proses biasa kadarnya
hanya 15 persen. Apabila untuk mendapatkan warna dengan kecerahan sama, pewarna
indigofera dari proses tradisional memerlukan 30 sampai 40 kali pencelupan, dengan
proses yang telah dikembangkan, hanya memerlukan 3 sampai 6 kali pencelupan.
Selain itu dalam penggunaan bahan tekstil untuk project ini adah kain rayon
viscose dikarenakan lebih ramah lingkungan dengan adanya metode regenerasi serat
selulosa. Regenerasi serat selulosa merupakan jenis serat semisintetik yang dibuat dari
hasil regenerasi selulosa yang menggunakan bahan baku terbarukan yaitu kayu dan
nonkayu yang diproses lebih lanjut menjadi dissolving pulp. Serat ini lebih ramah
lingkungan karena lebih mudah terdegradasi. Metode regenerasi serat selulosa lebih
berkelanjutan dibandingkan penggunaan bahan baku minyak bumi yang
ketersediannya terbatas.
Bahan baku pembuatan serat rayon viskosa adalah bubur kayu (pulp) yang
dimurnikan (dissolving pulp). Pulp tersebut diubah menjadi selulosa alkali oleh
natrium hidroksida. Karbon disulfida berperan mengubah selulosa alkali menjadi
natrium selulosa xantat, yang selanjutnya dilarutkan dalam larutan soda kaustik Bahan
baku pembuatan serat rayon viskosa adalah bubur kayu (pulp) yang dimurnikan
(dissolving pulp). Pulp tersebut diubah menjadi selulosa alkali oleh natrium
hidroksida. Karbon disulfida berperan mengubah selulosa alkali menjadi natrium
selulosa xantat, yang selanjutnya dilarutkan dalam larutan soda kaustik.
Serat viskosa merupakan salah satu jenis serat semisintetik yang dibuat dari
proses regenerasi selulosa. Sumber selulosa adalah hardwood, softwood, serta non-
wood. Selulosa pada bahan baku tersebut diproses menjadi pulp khusus yang
memiliki karakteristik tertentu, disebut dissolving pulp. Saat ini dissolving pulp yang
tersedia secara komersial berasal dari hardwood dan softwood. Dissolving pulp
merupakan pulp khusus yang memiliki kandungan selulosa alfa serta derajat cerah
yang tinggi sedangkan kandungan ekstraktif, hemiselulosa, dan abu rendah serta
memiliki ketahanan terhadap larutan alkali yang lebih baik (Purwita and Sugesty,
2018). Kandungan selulosa alfa pada dissolving pulp harus lebih tinggi dari 90%
(Sixta, 2006), rendah kandungan hemiselulosa (2-4%), rendah lignin, ekstraktif dan
mineral. Selain itu dissolving pulp memiliki keunggulan dibandingkan pulp kertas,
yaitu reaktivitas selulosa tinggi, dan distribusi berat molekul seragam (Köpcke, 2010;
Li, Sevastyanova and Ek, 2012). Sekitar 70% aplikasi dissolving pulp adalah untuk
membuat serat selulosa melalui proses viskosa (Sango et al., 2018). Spesifikasi
standar dissolving pulp sebagai bahan baku viskosa maupun produk lainnya
Di antara serat-serat selulosa regenerasi, kadar air serat rayon viskosa adalah
yang paling cocok untuk kulit manusia. Serat viskosa memiliki keunggulan proses
pemintalan yang baik, nyaman dipakai, tidak mudah menghasilkan listrik statis,
memiliki nuansa seperti sutera, serta lebih biodegradable daripada kapas. Serat
viskosa dapat dicampur dengan semua jenis serat, baik serat alami maupun sintetis.
Serat viskosa menjadi alternatif paling penting untuk kapas dan serat alami lainnya di
banyak negara. Karena sifatnya tersebut serat rayon viskosa memiliki aplikasi yang
luas dalam industri. Karena itulah dalam project Tie Dye’s Galery ini bahan tekstil
yang digunakan ialah kain rayon viscose.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan ialah packaging product yang mana
dalam konsep project Tie Dye’s Gallery diupayakan agar proses pembuatan
produknya meminimalisir limbah yang dihasilkan, maka dari itu diperlukan packaging
yang mendukung konsep tersebut dengan menggunakan bahan packaging yang dapat
diolah dan mudah diurai. Bahan packaging yang digunakan ialah box berbahan kardus
dan kertas minyak yang menutupi/melapisi produk di dalam box dan pada bagian luar
box di dekorasi dengan tali berbahan katun dan sticker agar menambah nilai dekoratif
packaging sehingga dapat terlihat menarik di mata konsumen.
3. Quality (kualitas produk)
Selain itu melalui industry slow fashion dapat mendukung para pengrajin
lokal, karena Local & Traditional Salah satu prinsip sustainability yang berguna untuk
mengurangi biaya dan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh transportasi. Oleh
karena itu penggunaan bahan-bahan lokal dan pemasaran lokal sangat dianjurkan,
maka dalam project Tie Dye’s Gallery akan menggunakan bahan baku pembuatan
dari dalam negri, serta mengerahkan jasa para pengrajin daerah pangandaran agar
mampu meningkatkan lapangan kerja di komunitas lokal.
5. Few (meminimalisir)
Makna few dalam prinsip ini ialah upaya meminimalisir energi yang
dipakai dalam proses pembuatan, serta upaya meminimalisir limbah yang
dihasilkan. Dalam proses pembuatan produk Tie dye perlu diterapkan konsep
Zero Waste guna mengurangi limbah yang dihasilkan dan dampak buruk bagi
lingkungan. Zero waste telah populer sebagai cara pembuatan produk yang
ramah lingkungan. Konsep zero waste berdasarkan gagasan untuk
meminimalkan limbah material dalam produksi pakaian (Todeschini dkk,
2017). Zero waste bertujuan untuk menghilangkan limbah kain dalam fase
pemotongan pola (Niinimäki, 2013). Metode zero waste merupakan proses
pembuatan pakaian tanpa limbah yang memberikan tantangan terutama pada
desainer, karena pada saat yang sama desainer harus memikirkan masalah
estetika dan fungsional pakaian secara bersamaan (Carrico dan Kim, 2013).
Maka dari itu dalam upaya penerapan konsep zero waste, Tie Dye’s
Gallery tidak hanya memproduksi produk berupa pakaian. Akan tetapi turut
mengolah kain perca yang tersisa menjadi produk bernilai ekonomi lainnya
seperti tas, schrunchie, dan masker kain. Sehingga dengan adanya pengolahan
kain perca tersebut dapat meminimalisir limbah yang dihasilkan.
6. Care (pemeliharaan)
Dalam pembuatan produk tie dye perlu adanya perhatian terhadap cara pemeliharaan
produk agar kualitasnya tetap terjaga. Untuk produk kain rayon motif tie dye sendiri
ada beberapa cara perawatan khusus agar kualitas produk dapat terjaga dan dipakai
dalam jangka waktu yang lama. Berikut beberapa cara merawat busana berbahan
rayon motif tie dye :
Cuci secara manual dengan tangan
Jangan mengucek atau memeras terlalu keras
Gunakan jari untuk menghilangkan bagian yang kotor
Bilas dengan air bersih, dan jemur di tempat yang teduh usahakan agar tidak
terkena sinar matahari secara langsung.
Setelah dijemur jangan langsung di setrika
Saat menyetrika produk jangan menggunakan temperature yang terlalu panas.
Dalam Proses pembuatan produk tie dye ataupun produk fashion lainnya tentu
berpotensi menghasilkan banyak limbah berupa kain perca. Selain itu fashion
merupakan salah satu industri terbesar di dunia dan pencemar kedua terhadap
lingkungan sekitar. Pembuatan busana secara massal menimbulkan banyak limbah
kain disetiap proses industrinya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, saat ini mulai banyak gerakan yang
mencoba untuk menanggulangi dan mengurangi limbah pada proses produksi pakaian.
Menurut Timo Rissanen, seorang desainer yang fokus dalam pengkajian konsep zero
waste memaparkan dalam disertasinya (Rissanen,2013:10) bahwa disetiap proses
produksi pakaian, akan menghasilkan 15% limbah dari total bahan yang dipergunakan
akan terbuang secara tidak bernilai. Limbah tersebut dapat menjadi salah satu faktor
yang dapat merusak lingkungan, hal ini dikarenakan waktu dekomposisi kain
membutuhkan waktu 20-50 tahun. Perlu adanya metode pembuatan busana yang bisa
mendukung pelestarian lingkungan dan mengurangi limbah kain salah satunya yaitu
metode zero waste. Maka dalam proses pembuatan ini dapat di desain dengan pola
zero waste yang tidak terlalu banyak proses menggunting kain di dalam proses
penjahitannya.
9. Adapt (menyesuaikan/membiasakan)
Pada project Tiye Dye’s gallery akan diadakan pembiasaan proses upcycling
pada limbah kain yang tersisa. Menurut Janigo dan DeLong upcycling adalah
mengubah pakaian dengan menerapkan perubahan estetika sehingga menjadi pakaian
yang baru dan menarik (Janigo dan DeLong, 2017). Sedangkan menurut salah satu
desainer asal US dengan menggunakan metode up cycling untuk mengoptimalkan
limbah yang tersisa dari hasil produksi busana dapat diolah kembali sebagai tambahan
detail pada busana.
Dan dengan adanya pembiasaan upcycling pada project Tie Dye’s Gallery
harapannya supaya mampu menginspirasi industry fashion yang lain agar dapat
membiasakan proses upcycling pada limbah hasil produksi.
Pada prinsip salvage yang mana merupakan upaya agar seluruh produk yang
diproduksi dapat habis terjual ataupun habis dikonsumsi oleh masyarakat. Dan dalam
prinsip salvage yang akan diterapkan pada project Tye Dye’s Gallery ini tebih tertuju
pada mendonasikan produk yang masih tersisa pada orang-orang yang layak
mendapatkannya, seperti orang-orang yang kurang mampu, ataupun orang-orang yang
membutuhkan. Maka dari itu apabila dalam proses pemasaran masih ada produk yang
tersisa maka dapat di antisipasi dengan memasang harga discount ataupun memasang
pembelian dua gratis satu. Namun jika masih ada sisa produk maka akan di donasikan
pada orang-orang yang membutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA