Anda di halaman 1dari 2

Kepedulian Pada Lingkungan Alam dan Lingkungan Sosial

Sebagai Arah Baru Pelaksanaan Bisnis

Oleh : Monica Almasari

“Kepedulian akan lingkungan turut mengubah arah bisnis mode di masa mendatang. Konsumen
mulai banyak memanfaatkan kembali pakaian bekas pakai atau thrifting. Dari sisi produsen,
pelaku industri mode kian banyak mengadopsi bisnis mode sirkular atau mode berkelanjutan
yang mengarah pada perbaikan lingkungan”.
- Kompas, Tim Harian Kompas

Dalam lingkungan bisnis mengedepankan profit menjadi tujuan utama bagi sebagian bisnis.
Namun, nyatanya merealisasikan profit sebagai tujuan utama dari bisnis tidaklah cukup. Mereka
seharusnya beralih ke pemikiran komprehensif tentang aspek lain diluar keuntungan yaitu
lingkungan sekitarnya. Ketika memulai sebuah usaha, setiap bisnis mempunyai model bisnis.
Dalam konsep manajemen, model bisnis dapat digunakan sebagai alat atau konsep yang
membantu dalam menjelaskan bagaimana pengelolaan sebuah perusahaan dijalankan
(Osterwalder dan Pigneur, 2010)

Perkembangan model bisnis menuntut sebuah usaha mulai berpikir ke arah keberlanjutan usaha
mereka. keberlanjutan tidak hanya berorientasi pada keuntungan. Rata-rata ketika sebuah bisnis
hanya memikirkan keuntungan, tanpa disadari mereka lupa dan mengabaikan keadaan sekitar
atau lingkungannya. Menurut WWF (2012), aktivitas konsumsi dan aktivitas bisnis yang
dilakukan manusia telah tercatat menggunakan setidaknya 1.5 kali planet bumi kita. Hal inilah
yang mendasari semua bisnis harus mengedepankan dan mengupayakan tentang lingkungan
yang berkelanjutan, tidak terkecuali bagi industri mode

Pada dasarnya kita mengetahui bahwa pakaian menjadi kebutuhan bagi setiap masyarakat di
dunia. Karena menjadi sebuah kebutuhan, para industri mode akan memproduksi pakaian
tersebut untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian itu. Namun, faktanya industri mode menjadi
penyumbang polusi terbesar pada lingkungan. Dikutip dari  Hirschfeld dalam bbc.com (2020),
pakaian menyumbang 20% limbah air dan 10% dari emisi karbon dioksida di planet kita. Bahkan
berdasarkan data yang ditemukan Boston Consulting Group, pada 2015, industri pakaian
menghabiskan 79 miliar meter kubik air, melepaskan 1,715 juta ton CO2, dan memproduksi 92
juta ton sampah (Firdhaussi, 2020)

Tidak kita pungkuri bahwasanya pakaian yang menjadi kebutuhan kita sehari hari menghasilkan
begitu banyak polusi yang berakibat fatal bagi lingkungan. Apalagi semenjak terjadinya
modernisasi. Wilbert E Moore (seorang sosiolog Amerika yang terkenal) yang menyebutkan
modernisasi adalah suatu tranformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern
dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi
ciri negara barat yang stabil. Modernisasi sendiri mempengaruhi masyarakat terhadap persepsi
mengenai mode

Akibat modernisasi, sekarang pakaian bukan hanya sekedar kebutuhan melainkan menjadi ajang
eksistensial diri, baik untuk sekedar mengepresikan diri atau pun untuk menunjukan status sosial
dalam masyarakat. Shinta (2018: 65) menyatakan, tren mode berubah dengan cepat dan
menyebabkan masyarakat yang berlomba-lomba mencari barang mode terbaru dari berbagai
macam jenama. Akibatnya masyarakat tidak hanya mengkomsumsi pakaian sesuai dengan
kebutuhan, melainkan berpakain sesuai tren yang ada. Selain itu, menurut penelitian Asmita dan
Erianjoni (2019), beberapa pola konsumtif yang ditemui dalam lingkup mahasiswa untuk
mengikuti tren yang ada adalah; 1) fenomena berburu diskon di pusat perbelanjaan, 2) perubahan
gaya pakaian baik saat di kampus maupun di luar kampus, dan 3) meningkatnya intensitas
konsumsi pakaian.

Seperti yang kita ketahui, Perkembangan industri mode tidak pernah lepas dari tren yang
berganti dari waktu ke waktu. Perubahan tren yang terjadi begitu cepat menyebabkan munculnya
konsep ready to wear dalam industri fast fashion. Endrayana dan Tetnasari (2021)
mendefinisikan istilah fast fashion sebagai proses perkembangan mode busana yang sangat cepat
dan dijual dengan harga yang terjangkau. Fast fashion menggunakan tiruan yang menjadi tren,
produksi cepat, dan bahan berkualitas rendah untuk mempersembahkan gaya dengan harga
terjangkau kepada publik (Lararenjana, 2020). Konsep fast fashion sendiri adalah dapat
memproduksi berbagai macam bentuk mode dalam waktu yang singkat, mengutamakan
kuantitas daripada kualitas

Produksi yang begitu masif tersebut disebabkan karena kebutuhan dan tren di kalangan
masyarakat dunia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang semakin
hari semakin bertambah jumlahnya. Merujuk data yang dihimpun Bank Dunia, rata-rata
pertumbuhan penduduk dunia sekitar 1,6 persen per tahun selama hampir enam dekade terakhir.
Tahun 2019, jumlah penduduk dunia mencapai 7,67 miliar jiwa, atau lebih dari dua kali lipat
dibandingkan tahun 1960-an.

Ini mengungkapkan bahwa semakin banyak jumlah penduduk di dunia maka semakin banyak
yang membutuhkan pakaian. Hal ini akan berdampak pada produksi massal yang membuat harga
pakaian menjadi murah dan membuat pakaian yang tidak terpakai bertambah jumlahnya. Pakain
yang sudah tidak terpakai lagi akan menjadi sampah

Anda mungkin juga menyukai