Anda di halaman 1dari 21

KAJIAN SUSTAINABLE FASHION DI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

Proposal Skripsi

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Jurusan Ekonomi Pembangunan Transfer

Dosen Pembimbing
Yogi Pasca Pratama S.E.,M.E

Diajukan oleh
Nadya Hanifah
F1118044

Kepada
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Fashion merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penampilan

dan gaya sehari- hari. Fashion kini tidak hanya dipandang sebagai alat untuk

menutup tubuh, namun juga digunakan sebagai alat komunikasi untuk

menyampaikan identitas pribadi seseorang. (Hendariningrum, 2014). Sebagai

akibat dari modernitas, pemasaran fashion dan penciptaan image fashionable

membuat banyak orang kemudian menjadi terikat dalam mengikuti perkembangan

fashion dunia atau biasa disebut trend Fashion. Seseorang dapat dikatakan sebagi

orang yang fashionable dan dapat mengikuti trend apabila mereka membeli

barang keluaran terbaru dengan berbagai macam merk dan harga. ( Shinta, 2018).

Pergerakan hal ini yang menimbulkan istilah fast Fashion. Fast fashion

adalah konsep yang digunakan oleh industri tekstil yang menghadirkan

pakaian ready-to-wear dengan konsep pergantian mode yang cepat dalam kurun

waktu tertentu. Misalnya, ketika musim panas trend mode akan menyesuaikan

menjadi mode musim panas, kemudian akan berganti lagi dan seterusnya.

Bahkan, sesuai dengan namanya “fast” , mode ini tidak hanya berganti sesuai

musim tapi setiap bulan. (Firdhaussi, 2018). Peningkatan fast fashion disebabkan

oleh peningkatan volume konsumsi pakaian, khususnya di negara berkembang.


perubahan trend dalam dunia fashion ini menyebabkan kelebihan konsumsi atau

overconsumption atas barang yang tidak sustainable. Perubahan model fashion

yang cepat juga dapat merusak pertumbuhan ekonomi dengan pendapatan rumah

tangga yang rendah. (Sunhilde 2014). Ketika siklus mode menjadi semakin cepat,

beberapa sektor industri mode telah mengadopsi teknik produksi yang semakin

tidak berkelanjutan atau tidak sustainable untuk memenuhi permintaan dan

meningkatkan margin keuntungan. (McNeill, 2015).

Industri fashion dan industri tekstil merupakan salah satu dari sektor

industri terbesar yang menggunakan banyak sumber daya dan menyebabkan

banyak permasalahan lingkungan. Pada sistem linier, sektor industri ini

menggunakan lebih banyak sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Dalam

hal ini low cost garment dapat berdampak lebih besar tehadap lingkungan sekitar

dimana perusahaan tersebut berdiri. perusahaan produksi tekstil dapat

menyebabkan banyak permasalahan dalam lingkungan ketika bahan kimia dan

beracun yang digunakan serta limbah yang dibuang tidak ditangani dengan baik

dan benar. Penelitian di Finlandia menunjukkan bahwa sekitar 30% pembelian

garmen didasari atas keinginan atau dorongan untuk berbelanja. Garis besarnya

adalah, pakaian- pakaian tidak dibuat untuk jangka waktu yang lama dan

kebanyakan produk pakaian didesain hanya untuk dapat dicuci sebanyak 10 kali.

(Ninnimaki, 2018).
Beberapa dekade belakangan ini konsumen mulai sadar akan dampak

buruk yang diakibatkan oleh produksi pakaian fast fashion terhadap lingkungan.

Beberapa orang mulai menjawab dampak fast fashion dengan menggunakan

gerakan slow fashion. Menurut Henninger (2016) low fashion sering digambarkan

sebagai kebalikan dari fast fashion. Slow fashion didasarkan pada cita-cita

filosofis yang berpusat pada nilai-nilai keberlanjutan dan upaya mengurangi

kerusakan lingkungan. Sustainable fashion adalah salah satu bagian dari gerakan

slow fashion. Terdapat banyak hal yang dapat dilakukan sebagai implementasi

dari sustainable fashion. Salah satunya adalah dengan memperpanjang usia

penggunaan pakaian, penggunaan kembali pakaian yang sudah ada dan mendaur

ulang pakaian.

2. Rumusan Masalah

Perubahan trend dalam dunia fashion ini menyebabkan kelebihan

konsumsi atau overconsumption atas barang yang tidak sustainable. Perubahan

model fashion yang cepat juga dapat merusak pertumbuhan ekonomi dengan

pendapatan rumah tangga yang rendah. (Sunhilde 2014). Ketika siklus mode

menjadi semakin cepat, beberapa sektor industri mode telah mengadopsi teknik

produksi yang semakin tidak berkelanjutan atau tidak sustainable untuk

memenuhi permintaan dan meningkatkan margin keuntungan. (McNeill, 2015).


Industri fashion dan industri tekstil merupakan salah satu dari sektor

industri terbesar yang menggunakan banyak sumber daya dan menyebabkan

banyak permasalahan lingkungan. pada sistem linier, sektor industri ini

menggunakan lebih banyak sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. dalam hal

ini low cost garment dapat berdampak lebih besar tehadap lingkungan sekitar

dimana perusahaan tersebut berdiri. perusahaan produksi tekstil dapat

menyebabkan banyak permasalahan dalam lingkungan ketika bahan kimia dan

beracun yang digunakan serta limbah yang dibuang tidak ditangani dengan baik

dan benar.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa pergerakan fashion modern

memiliki banyak dampak yang tidak baik bagi lingkungan. Sustainable fashion

perlahan hadir sebagai upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang

ditimbulkan oleh fast fashion. Didasari latar belakang tersebut, penulis ingin

mengkaji implementasi dari praktek sustainable fashion yang dilakukan di

Yogyakarta. Ruang lingkup yang diambil oleh peneliti adalah ornag- orang yang

memiliki andil dalam melakukan sustainable fashion, seperti orang- orang yang

menjual pakaian- pakaian bekas dan melakukan praktek- praktek sustainable

fashion.
3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan kajian berupa deskripsi tentang

implementasi atau praktek- praktek sustainable fashion yang dilakukan di

Yogyakarta.

4. Manfaat Penelitian

a. Manfaat untuk Penulis dan Pembaca

Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan tambahan wawasan

terkait sustainable fashion di Yogyakarta dan bagaimana hal tersebut

diimplementasikan.

b. Manfaat untuk Pembuat Kebijakan

Hasil penelitian diharapkan mampu menjadi rujukan untuk pembuatan

kebijakan yang berkaitan dengan sustainable fashion sehingga dapat

membuat kebijakan yang mengarah pada penguatan dan dukungan

terhadap gerakan sustainable fashion.

c. Manfaat untuk Pembuat Kebijakan


Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi

penelitian selanjutnya serta dapat memperkaya literatur dan penelitian lain

di bidang ekonomi kreatif khususnya fashion.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Fashion
i. Pengertian Fashion

Kata fashion menurut Oxford English Dictionary (OED)

berasal dari bahasa latin factio yang berarti politis, politis disini

memiliki arti membuat atau melakukan dan facere yang berarti

melakukan. Fashion merupakan sesuatu yang dilakukan oleh

seseorang. Namun saat ini seringkali fashion dimaknai sebagai

segala sesuatu yang dipakai1. Fashion sebetulnya mengacu pada

idetentang fetish atau objek fetish, facere juga merupakan akar kata

fetish2.

Menurut Troxell dan Stone (dalam Savitri, 2008) fashion

didefinisikan sebagai gaya yang diterima dan digunakan oleh

mayoritas anggota sebuah kelompok dalan satu waktu tertentu.

Fashion sangat erat kaitannya dengan banyak hal seperti

kepribadian,
1
Malcolm Barnard, Fashion sebagai Komunikasi (Yogyakarta : Jalasutra, 2011), 11
2
Fetish adalah faham atau keyakinan, kepercayaan bahwa terdapat daya pesona pada
sesuatu yang berkaitang dengan pemujaan. (Trismaya, 2015)

gaya yang disenangi oleh suatu kelompok dan rentang waktunya.

Savitrie (2008) mengklasifikasikan fashion menjadi 2 kelompok

tergantung dimana mereka terlihat. 2 kelompok tersebut yaitu High

Fashion dan Mass Fashion.

High Fashion merupakan kelompok yang mengacu pada

gaya dan desain yang digunakan dan diterima oleh kelompok

Fashion leaders. Fashion leaders merupakan sekelompok orang

yang melakukan konsumsi terhadap produk fashion elit yang

diproduksi dalam jumlah yang sangat terbatas. Anggota fashion

leaders biasanya berasal dari kalangan artis, selebriti, sosialita dan

Fashion innovators.

Mass Fashion atau dapat dikenal dengan istilah volume

fashion atau apparel fashion merupakan jenis gaya berpakaian yang

digunakan dan diterima publik lebih luas. Berkebalikan dengan

high faashion, mass fashion biasanya memproduksi barang dengan

jumlah lebih banyak sehingga dapat digunakan dan dibeli oleh

siapapun dari kalangan manapun.


Mass fashion pada awalnya mulai berkembang pada abad

ke-18 bersamaan dengan berkembangnya revolusi industri di

Britania. Industrialisasi dan pekerja upahan di Britania pada saat itu

berperan sebagai katalis atau penggerak dari peningkatan

permintaan di industri pakaian jadi (apparel industry) karena

masyarakat tidak lagi memiliki waktu untuk membuat pakaian

mereka sendiri. Pada waktu itu jika ingin membuat suatu pakaian

seseorang harus mencari sendiri bahan- bahan yang akan digunakan

untuk membuat pakaian seberti wol atau kulit. Kemudian mereka

harus menenunnya sendiri hingga menjadi pakaian siap pakai.

Sementara itu Amerika Selatan mulai mengkapitalisasi

pasar katun melalui perbudakan untuk dapat menyuplai Britania

dengan katun mentah. Ekspor katun yang dilakukan oleh Amerika

menjadi lebih mudah untuk proses produksi perusahaan- perusahaan

di Eropa karena sejalan dengan dikembangkannya teknologi baru

pada saat itu. Meningkatnya suplai katun menyebabkan turunnya

harga kain, sehingga masyarakat dengan ekonomi menengah

kebawah dapat membeli kain dengan harga yang lebih terjangkau.

Meningkatnya suplai katun dari Amerika menyebabkan

industri domestik menjadi sangat mahal sehingga perusahaan mulai


melakukan outsourcing ke negara- negara dengan upah pekerja

yang lebih rendah. Outsourcing yang dilakukan

ii.Fashion sebagai Identitas Modern

Menurut Kellner (dalam Lubis, 2016) fashion menjadi

faktor penting dalam menentukan identitas seseorang, yang

menentukan seseorang dikenal dan diterima dalam kebudayaan

modern. Fashion digambarkan sebagai sebuah perlambangan dari

modernitas yang diasumsikan sebagai kode. Fashion berkaitan

dengan pilihan pakaian, gaya dan citra yang dengan hal- hal

tersebut seseorang menciptakan identitasnya.

Fashion dam modernitas berkerja sama menciptakan

kepribadian moderen yang mencari identitas mereka sendiri melalui

pakaian, perilaku dan gaya yang selalu baru dan modis.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

B. Pendekatan Penelitian

2. Penelitian Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1997) penelitian

kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan

perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

dianggap lebih mampu untuk menangkap makna ganda, mengungkap

hubungan yang wajar antara peneliti dan objek penelitian, serta bersifat

sensitif dan adaptif terhadap peran dari berbagai pengaruh timbal-balik.

Peneliti menilai objek penelitian sebagai sesuatu yang indeterminan, lalu

secara bersamaan keduanya membangun data penelitian (Muhadjir dalam

Riandini, 2015).

Penelitian kualitatif bertitik tolak pada paradigma yang

obyektifitasnya dibangun atas rumusan tengntang situasi tertentu


sebagaimana yang dihayati oleh individu atau kelompok sosial tertentu,

dan relevaan dengan tujuan penelitian tersebut. Penelitian kualitatif

menggunakan analisis data secara induktif. Analisis ini digunakan karena

analisis induktif dapat menemukan kenyataan- kenyataan ganda, dapat

menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan- keputusan

tentang dapat atau tidaknya pengalihan kepada suatu latar. Dengan

digunakannya analisis ini maka pencarian data dilakukan bukan untuk

menguji hipotesis ,elainkan untukpembentukan abstraksi berdasarkan

bagian yang telah dikumpulkan dan kemudian dikelompokkan untuk dapat

melakukan penyusunan teori dari bawah ke atas.

Penelitian kualitatif terdiri dari serangkaian praktik penafsiran

material yang membuat dunia menjadi terlihat. Peneliti merepresentasikan

yang mencangkup berbagai catatan lapangan, wawancara, percakapan,

foto, rekaman dan catatan pribadi. Peneliti kualitatif melibatkan

pendekatan penafsiran yang naturaistik1 terhadap dunia, yang berarti

peneliti mempelajari benda- benda di lingkungan alamiahnya, berusaha

untuk memaknai atau menafsirkan fenomena dalam sudut pandang makna-

makna yang diberikanoleh masyarakat (Denzin dan Lincoln dalam

Creswell, 2013).
1
Diartikan sebagai sebuah kondisi alamiah atau sewajarnya. Konteks alamiah atau
sewajarnya diletakkan pada tingkat kegiatan penelitiannya atau inquiry. (Suparlan, 1997)

1. Penelitian Kualitatif Pendekatan Etnografi

Etnografi merupakan sebuah studi tentang bagaimana individu

menciptakan dan memahami kehidupannya sehari- hari. Subjek etnografi

adalah orang- orang dalam berbagai macam situasi dalam masyarakat.

Spradley dalam bukunya yang berjudul Metode Etnografi (2006)

berpendapat bahwa :

Etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari

kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu banguanan

pengetahuanyang meliputi teknik penelitian, teknik etnografis

dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi

bermakna untuk membangu suatu pengertian yang sistemik

mengenai semua kebudayaan manusia dari prespektif orang

yang telah mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan

pada asumsi bahwa pengetahuan dari semua kebudayaan

sangatlah tinggi nilainya.


Tujuan utama dari penelitian etnografi menurut Malinowski ( dalam

Spradley, 2006) adalah mendeskripsikan dan membangun struktur sosial

budaya suatu masyarakat. Pada masa ini budaya didefinisikan sebagai the

way of life suatu masyarakat. Etnografi sendiri dapat melakukan fungsi

korektif terhadap teori- teori yang muncul. Hal ini dapat dijelaskan dari

upaya etnografi dalam mendokumentasikan berbagai realitas alternatif dan

mendiskripsikan realita tersebut dalam batasan realitas itu sendiri. Metode

ini menawarkan salah satu cara terbaik untuk memahami gambaran

kehidupan modern yang kompleks. Etnografi dapat menunjaukkan

berbagai perbedaan budaya dan bagaimana orang dengan prespektif yang

berbeda berinteraksi.

2. Penelit
ian Kualitatif Pendekatan Etnografi
i. Etnografi Realis

Menurut Creswell (2013) etnografi realis adalah pendekatan

tradisional yang digunakan oleh para antropolog kebudayaan. Etnografi

realis merefleksikan suatu pendirian tertentu yang diambil oleh peneliti

terhadap para individu yang sedang diteliti. Etnogafi realis adalah suatu

bentuk laporan objektif tentang situasiyang ditulis dalam sudut pandang

orang ketigs dan melaporkannya secara obyektif berdasarkan informasi

yang dipelajari dari partisipan di suatu tempat.


ii. Etnografi Kritis

Etnografi Kritis merupakan salah satu jenis riset etnografis dimana

para penulisnya memperjuangkan emansipasi bagi kelompok masyarakat

yang terpinggirkan (Thomas dalam Creswell, 2013). Para peneliti

etnografi kritis biasanya merupakan individu yang berfikiran politis yang

berusaha untuk menentang ketidaksetaraan dan dominasi yang dilakukan

melalui riset (Carspecken & Apple dalam Creswell, 2013). Komponen

utama dalam etnografi kritis adalah orientasi bermuatan nilai,

memberdayakan masyarakat dengan memberi mereka otoritas, menentang

ststus quo dan mengemukakan persoalan tentang kekuasaan dan kontrol.

3. Postmoderen sebagai Kerangka Penafsiran

Lubis dalam bukunya yang berjudul Postmodern : Teori dan

Metode (2016) berpendapat bahwa postmodern adalah perubahan budaya

mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir yang terjadi sebgai

akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.

konsekuaensi perubahan yang luar biasa itu salah satunya adalah,

paradigma modern tidak cukup relevan atau memadai lagi untuk

memahami dan menjelaskan kebudayaan yang tengah tumbuh. karena itu

berbagai kritik terhadap aspek- aspek kebudayaan dan paradigma modern


bermunculan dan menggunakan pemikiran baru yang disebut dengan

postmodernisme.

Dalam pandangan Butler (dalam Riyadi, 2004), postmodernisme

menunjuk pada kritik-kritik filosofis terhadap fenomena yang ada di

dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sementara

“postmodernitas” menunjuk pada situasi dan tata sosial produk teknologi

informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang

berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara

bangsa dan membangun kembali dimensi historis melalui mencari kembali

inspirasi-inspirasi tradisi lama yang sudah terkubur (Ryadi, 2004: 91).

Kehadiran aliran ini memiliki tujuan untuk menjawab dan mengkritisi

pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya dalam hal mencari

solusi atas beragam permasalahan yang dihadapi manusia hari ini serta

krisis sosial dan kultural yang tak kunjung selesai.

C. Ruang Lingkup Penelitian : Unit Analisis dan Penentuan Informan

1. Unit
Analisis

Etnografi merupakan suatu desain kualitatif yang penelitinya

mendeskripsikan dan menfasirkan pola yang sama dari nilai, perilaku,

keyakinandan bahasa dari suatu kelompok yang berkebudayaan sama


(Haris dalam Creswell, 2013). Sebagai suatu proses sekaligus hasil riset,

etnografi merupakan suatu cara untuk mempelajari sebuah kelompok

berkebudayaan sama sekaligus produk akhir tertulis dari riset tersebut.

Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatn yang luas terhadap

kelompok tersebut, sering kali melalui pengamatan partisipan yang

penelitiannya menenggelamkan diri dalam kehidupan sehari- hari.

Dalam penelitian ini penulis mengunakan pendekatan penelitian

kualitatif dengan pendekatan etnografi. Sedangkan kerangka penafsiran

yang digunakan adalah postmodern.

2. Penent
uan Informan

Etnografi merupakan sebuah studi tentang bagaimana individu

menciptakan dan memahami kehidupannya sehari- hari. Dalam

menentukan informan yang akan digunakan sebagai sumber data maka

penulis akan menggunakan ataumencari informan yang menjadi anggota

dari kelompok yang berkebudayaan sama atau individu yang mewakili

kelompok tersebut.

3. Teknik
Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan intrumen utama

dalam sebuah penelitian. Peneliti juga diposisikan sebagai perenana yang

menentukan siapa saja yang menjadi informan, mengumpulkan dan

menganalisi data dan membuat hasil kesimpulan di lapangan.

i. Wawancara Etnografi

Wawancara merupakan sebuah percakapan dengan maksud

tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak atau lebih, yaitu

pewawancara atau interviewer yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai atau interviewee yang memberikan jawaban atas

pertanyaan yang ditanyakan oleh penanya. Wawancara merupakan

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan

informan atau orang yang di wawancarai (Bungin, 2008: 108).

Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara

terstruktur dan tidak terstruktur.


Wawancara terstruktur menurut Moleong (1988) adalah

wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan

pertanyaan- pertanyaan yang akan diajukan. Jenis ini dilakukan pada

situasi jika sejumlah sample yang representatif ditanyai dengan

pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali. Dalam wawancara ini

semua subyek dipandang memiliki kesempatan yang sama untuk

menjawab pertanyaan yang diajukan.

Wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara yang

oertanyaannya tidak disusun terlebih dahulu dan disesuaikan dengan

keadaan respondennya. Wawancara jenis ini memiliki irama yang

bebas. Selain itu, responden biasanya terdiri atas mereka yang terpilih

saja karena sifat- sifatnya yang khas.

Daftar Pustaka

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta. Kencana
Cuc, Sunhilde dan Simona Tripa. 2014. Fast Fashion and Secondhand clothes :
Between Ecological concern and Global Business. University of Oradea.

Creswell, John W. 2009. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan


Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Creswell, John W. 2013. Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih diantara
lima pendekatan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Firdhaussi. 2018. Memahami Fast Fashion dan Sustainable Fashion. Setali


Indonesia

Hendariningrum, Rini dan M. Edy Susilo. 2008. Fashion Dan Gaya Hidup :
Identitas Dan Komunikasi. Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran”
Yogyakarta”

Henninger, Claudia W.Panayiota J. Alevizou and Caroline J. Oates. 2016. What is


sustainable Fashion?. Fashion Marketing and Management: An
International Journal, Vol. 20 Iss 4 pp.

Ilham, Iromi, 2018, PARADIGMA POSTMODERNISME; SOLUSI UNTUK


KEHIDUPAN SOSIAL? Sebuah Pandangan Teoritis Dan Analitis Terhadap
Paradigma Postmodernisme. Lhokseumawe : Universitas Malikussaleh.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2016. Postmodernisme : teori dan Metode. Jakarta : PT


Rajagrafindo Persada.

McNeill, Lisa dan Rebecca Moore. 2015. Sustainable Fashion Consumption And
The Fast Fashion Conundrum: Fashionable Consumers And Attitudes To
Sustainability In Clothing Choice. Department of marketing, University of
Otago. New Zeland

Moleong, Lexy J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit PT


Remaja Rosdakarya

Ninnimaki, Kirsi. 2018. Sustainable Fashion in a Circular Economy. Aalto


University : School of Arts, Design and Architecture.

Ryadi, Agustinus. 2004. Postmodernisme versus Modernisme. Malang : STFT


Widaya Sasana
Shinta, Fairus. 2018. Kajian Fast Fashion dalam Percepatan Budaya
Konsumerisme. Institut Teknologi Bandung

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana

Trismaya, Nita. 2015. Tubuh Wanita Dalam Ranah Mode Sebuah Tinjauan Fetish
Seksual dan Komoditi. Jakarta Selatan : Sekolah Tinggi Desain InterStudi

Anda mungkin juga menyukai