Anda di halaman 1dari 7

UNIVERSITAS INDONESIA

MENCAPAI KONSUMSI BERKELANJUTAN DARI FAST


FASHION MELALUI LOOP FASHION

PROPOSAL SEMINAR

ARDIANSYAH NUGRAHA
1606893065

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
DEPOK
OKTOBER 2019
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Proposal Seminar ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Ardiansyah Nugraha

NPM : 1606893065

Tanda Tangan :

Tanggal : 29 Oktober 2019

1
Universitas Indonesia
2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dunia sekarang adalah dunia yang serba bebas dalam berekspresi yang praktis,
sejak globalisasi setengah abad terakhir ini. Namun sejak adanya perkembangkan
informasi dalam internet, menyebabkan aliran informasi yang sangat deras bisa diterima
oleh seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakangnya. Terjadi peningkatan
kesadaran masyarakat dalam berekspresi melalui media pakaian, karena pakaian paling
mudah terlihat. Pakaian, sejak zaman dahulu merupakan simbol untuk berkomunikasi
secara tidak langsung. Jati diri dan kepribadian seseorang akan mudah terlihat dari
pakaian yang dipakai, dari konteks permukaan. Dulu, pakaian mewah hanya bisa
dikenakan oleh anggota kerajaan dan para aristokrat, berbeda dengan ksatria dan rakyat
jelata. Sekarang seiring adanya globalisasi masyarakat melihat pakaian tidak terikat pada
kasta. Sebaliknya, pakaian dapat membantu individu untuk naik kelas sosial (Barnard,
2002). Keinginan sebagian masyarakat dari golongan bawah dan menengah untuk bisa
berpakaian layaknya golongan atas, meningkatkan permintaan atas pakaian dalam pasar.
Industri pakaian mengalami transformasi besar-besaran dalam gaya pakaian dan skala
produksinya.

1.1.1. Fast Fashion sebagai Budaya Berpakaian


Muncul budaya baru dalam berpakaian, yakni fast fashion. Fast fashion merujuk
pada sekelompok pakaian murah yang diproduksi masal untuk bisa diakses banyak
kalangan berdasarkan tren atau waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang stabil di
Indonesia, menyebabkan ledakan penduduk kelas menengah. Kaum kelas menengah ini
memiliki pendapatan yang cukup, tidak hanya untuk kebutuhan saja, namun dalam
menjalani gaya hidup untuk memuaskan hasrat penampilan mereka. Mereka menjadi
melek fashion dan menjaga penampilan mereka tetap menarik, dengan menjadi
konsumen. Apalagi anak-anak muda, yang masih berusaha untuk mencari jati dirinya.
Menjamurnya fashion show, membuat dan memilah pakaian berdasarkan musim
(mengikuti budaya pakaian Barat) yang unik, menciptakan tren musiman dalam
berpakaian. Setelah itu, akan disebarkan melalui muncul aplikasi yang sering digunakan
anak muda seperti Instagram dan Pinterest dengan tagar outfit of the day atau OOTD, juga
disebarkan disebarkan oleh media massa seperti televisi dan ribuan artikel online,
menyebabkan ketertarikan konsumen yang menjadi-jadi terhadap tren pakaian.
Konsumen terhipnotis untuk mengikuti tren pakaian agar terlihat kekinian.
Industri pakaian memanfaatkan permintaan yang tinggi ini untuk menciptakan
desain yang sesuai dengan musim pakaian dan memproduksinya secara masal dalam
waktu sesingkat dua minggu, sejak pertama desain hingga sudah siap terpasang di rak
toko (McKinsey, 2016). Produksi masal menyebabkan produsen dapat menjualnya
dengan harga murah ke konsumen, yang senang hati dapat mengikuti tren pakaian tanpa

Universitas Indonesia
3

menguras dompet. Tentu koleksi ini tidak dapat bertahan lama, dan akan diganti ketika
masuk musim selanjutnya. Zara mempunyai 24 koleksi pakaian pertahun dan H&M
mempunyai 12-16 koleksi pakaian. Konsumen akan memburunya lagi, dan begitu
seterusnya. Konsumerisme dalam berpakaian, diwujudkan melalui fast fashion, menjadi
budaya yang diinginkan konsumen dan dipenuhi oleh pasar.
Fast fashion mempunyai potensi sangat besar didalam perilaku industri pakaian
jadi. Produksi fast fashion mencapai lebih dari satu miliar pakaian tiap tahunnya. Tahun
ini, produksi pakaian jadi di Indonesia tumbuh 29,19% year on year, dan pada tahun
2018, ekspor pakaian jadi Indonesia bernilai lebih dari USD 8,62 Miliar. Di dunia,
industri pakaian bernilai lebih dari USD 1.3 triliun per tahun (Euromonitor International,
2017). Nilainya lebih besar dari perekonomian Rusia atau setara dengan gabungan PDB
126 negara termiskin di dunia (World Bank, 2017). Merk fast fashion terkenal,
diantaranya H&M, Zara dan Uniqlo menyumbang lebih dari 8% total penjualan pakaian,
sekitar USD 105 miliar. Potensi yang besar ini tentu menggembirakan dari sisi industri
dan makroekonomi di banyak negara, tapi industri fast fashion bukan berarti tanpa
konsekuensi tersendiri. Dampak ini sangat dirasakan oleh lingkungan di sekitar kita, sadar
maupun tidak sadar.

1.1.2. Dampak Lingkungan dari Fast Fashion


Industri pakaian merupakan industri yang menyumbang kontribusi signifikan
pada kerusakan lingkungan dan perubahan iklim (Allwood et al., 2006). Bahkan industri
pakaian dan tekstil adalah polutan terbesar kedua dunia, setelah industri migas (Conca,
2015). Angkanya lebih besar dari gabungan emisi pelayaran dan penerbangan (Sax,
2018). Secara emisi udara, industri pakaian menyumbang lebih dari 10% emisi gas rumah
kaca akibat dari rantai suplai yang panjang dan produksinya memakan banyak energi
(United Nations, 2018).
Selain emisi dan polutan, Industri pakaian mengalami permasalahan yang
mendalam terkait dengan sampah tekstil yang berkembang cepat, karena produksi dan
konsumsi fast fashion yang cepat menyebebakan konsumen berpikir bahwa pakaian
adalah barang disposable (Allwood et al., 2006; Andersen, 2017). Padahal, dalam
pembuatannya, fast fashion memerlukan produksi yang energy intensive. Hampir 20%
pencemaran air dunia disebabkan oleh industri pakaian (United Nations, 2018). Bahan
baku utama, kapas dan katun, adalah sumber daya yang butuh usaha lebih untuk diolah.
Sejak ditanam, pertanian kapas telah menggunakan 24% insektisida dan 11% pestisida
dunia, padahal hanya menggunakan 3% lahan yang tersedia (United Nations, 2018). Di
tahap produksi, dibutuhkan 20.000-liter air untuk produksi satu kilogram katun, setara
dengan satu t-shirt dan sepasang celana jeans (WWF, 2019). Di Tiongkok, industri
pakaian terbesar dunia, membuang lebih dari 2.5 miliar air tiap tahunnya (Conca, 2015).
Selain itu, 63% pakaian yang ada, selain menggunakan katun, juga dicampur dengan
bahan sintesis kimia berbahaya seperti nylon, rayon dan polyester (Kianna, 2018).
Ditambah, sekitar 15% kain terbuang ketika sudah di tempat pembuatan pakaian sendiri.

Universitas Indonesia
4

Setelah melalui proses yang sangat tidak ramah lingkungan itu, pakaian mulai dijual di
toko-toko retailer.
Masalah belum selesai, karena tidak hanya produsen yang bersalah, cara sebagian
konsumen berpikir dan berperilaku dalam berpakaian salah. Menurut GlobalWearProject,
LSM yang peduli terhadap isu pakaian, rata-rata konsumen membuang sepatu dan
pakaian (dibanding didaur ulang) mencapai 32 kilogram per tahunnya. Di Hong Kong,
setiap harinya 253 ton tekstil dibuang kelandfill, menurut Redress, LSM di Hong Kong.
Padahal landfill sangat susah dicari dan mahal. Jika dihitung dari pakaian yang belum
sempat terpakai oleh konsumen dan hanya tersimpan di lemari, BusinessVibes meneliti
di Inggris Raya nilainya mencapai USD 46.7 miliar.

1.1.3. Dampak Lingkungan dari Fast Fashion


Solusi untuk mengurangi polusi pakaian saat produksi, sampah pakaian yang tidak
terpakai lagi dan untuk keberlanjutan industri pakaian fast fashion yang lebih ramah
lingkungan adalah dengan menerapkan konsep circular economy (CE). Konsep ekonomi
ini pertama kali dikenalkan oleh Ellen MacArthur Foundation. Menurut mereka, CE
didefinisikan sebagai “barang yang didesain secara sengaja untuk dapat direstorasi dan
diregenerasi, dan bertujuan untuk menjaga produk, komponen, dan bahan tetap berada di
nilai dan utilitas yang tinggi di setiap waktu” (Sandvik dan Stubbs, 2019). Beberapa
metode yang berbeda dapat digunakan oleh pelaku industri pakaian dalam penerapan
circular economy, seperti reuse, resell, remanufacture dan recycle (Kumar dan
Malegeant, 2006). Ide mengenai CE sekarang mulai dikembangkan selama satu decade
ke belakang ini, dalam rekomendasi kebijakan, advokasi, dan penelitian ilmiah tentang
sumberdaya alam (Reike et al., 2018). Manfaat CE diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dan mengoptimalkan pemakaian sumberdaya alam dan manusia (Missemer,
2018) dan meningkatkan efisiensi pengelolaan sumberdaya (Linder dan Williander,
2017). Namun dalam sudut pandang produsen pakaian dan konsumen, masih banyak yang
belum menyadari pentingnya penerapan CE dalam perilaku ekonomi mereka dan
pengambilan keputusan yang tepat dan ramah lingkungan (Sehnem, 2018). Penerapan CE
yang lebih efektif untuk dipahami baik untuk produsen dan pakaian adalah melalui
konsep yang penulis sebut loop fashion.
Istilah loop fashion terinspirasi dari The Relooping Fashion Initiative (TRFI),
sebuah gerakan penerapan CE yang diiniasi oleh Pemerintah Finlandia (Valtioneuvosto,
2017). Program unggulannya adalah Circular Economy of Textiles / Tekstiilien suljettu
kiertotalous (TEKI). Proyek ini dibuat sebagai pilot program dan percontohan dalam CE
di Finlandia. Sejauh ini TRFI telah bekerjasama dengan tujuh perusahaan fashion.
Penerapan CE di Finlandia ini telah menjadi sensasi sendiri khususnya di Eropa, dengan
meraih status sangat direkomendasikan oleh the Circulars 2016 dan masuk daftar di
Sustainia 100 2016. Mengingat atensi yang dimulai sudah berkembang pesat, loop
fashion menjadi harapan agar konsumen dan produsen akan familier dengan istilah ini
dan menjadi branding untuk tren fashion selanjutnya yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Maka dari itu penulis ingin mengetahui bagaimana konsep loop fashion akan

Universitas Indonesia
5

diperkenalkan ke masyarakat, untuk menjadikannya pola konsumsi fast fashion


selanjutnya.

1.2. Rumusan Permasalahan


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pemahaman konsumen mengenai loop fashion?
b. Bagaimana pola konsumsi konsumen dalam fast fashion?
c. Apakah konsumen bisa mengganti pola konsumsi fashion mereka menjadi loop
fashion?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui pemahaman konsumen mengenai loop fashion
b. Mengetahui pola konsumsi konsumen dalam fast fashion
c. Mengetahui kemungkinan penggantian pola konsumsi fashion mereka menjadi
loop fashion

1.4. Metodologi Penelitian


Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Data yang dipakai
adalah data primer, yang terdiri dari konsumen yang mengikuti pola konsumsi fast
fashion. Metode pengumpulan data menggunakan survei yang pilihan jawaban akan
dikuantifikasi dalam skala 1-5. Survei akan disebar secara langsung oleh penulis dan
secara tidak langsung melalui penyebaran di beberapa media sosial.

Universitas Indonesia
6

DAFTAR PUSTAKA

Allwood, J.M., Laursen, S.E., Rodriguez, C.M. and Bocken, N.M.P. (2006), Well Dressed?
The Present and Future Sustainability of Clothing and Textiles in the United Kingdom,
Cambridge University, Cambridge.
Conca, James (2015), Making Climate Change Fashionable - The Garment Industry Takes on
Global Warming. https://www.forbes.com/sites/jamesconca/2015/12/03/making-climate-
change-fashionable-the-garment-industry-takes-on-global-warming. Diakses 19 Oktober
2019
Gallagher, Kianna (2018), Fast Fashion Facts: What you need to know.
https://7billionfor7seas.com/fast-fashion-facts/. Diakses 20 Oktober 2019.
Heikkilä, P. (Ed.), Fontell, P., Kamppuri, T., Mensonen, A., Määttänen, M., Pitkänen, M.,
Harlin, A. (2018), The Relooping Fashion Initiative. VTT Technical Research Centre of
Finland. VTT Research Report, No. VTT-R-01703-18
Kumar, S. and Malegeant, P. (2006), “Strategic alliance in a closed-loop supply chain, a case
of manufacturer and eco-non-profit organization”, Technovation, Vol. 26 No. 10, pp. 1127-
1135.
Linder, M. and Williander, M. (2017), “Circular business model innovation: inherent
uncertainties”, Business Strategy and the Environment, Vol. 26 No. 2, pp. 182-196.
McKinsey Foundation (2017), The State of Fashion 2017.
https://www.mckinsey.com/industries/retail/our-insights/the-state-of-fashion. Diakses 20
Oktober 2019.
Missemer, A. (2018), “Natural Capital as an economic concept, history and contemporary
issues”, Ecological Economics, Vol. 143 No. C, pp. 90-96.
Reike, D., Vermeulen, W.J. and Witjes, S. (2018), “The circular economy: new or refurbished
as CE 3.0? Exploring controversies in the conceptualization of the circular economy through
a focus on history and resource value retention options”, Resources, Conservation &
Recycling, Vol. 135, No. 8, pp. 246-264.
Sandvik, Ida Marie and Wendy Stubbs (2019), “Circular fashion supply chain through textile-
to-textile recycling”, Journal of Fashion Marketing and Management, Vol. 23 No. 3, 2019,
pp. 366-381
Sax, Sarah. 2018. Fashion's crippling impact on the environment is only getting worse.
https://www.vice.com/en_us/article/437egg/why-fashion-is-the-worlds-most-polluting-
industry. Diakses 19 Oktober 2019
Sehnem, Simon, Diego Vazquez-Brust, Susana Carla Farias Pereira, and Lucila M.S. Campos.
(2018), “Circular economy: benefits, impacts and overlapping”, Supply Chain
Management: An International Journal, Vol. ahead-of-print No. ahead-of-print (Copyright
Emerald Publishing)
United Nations Framework Convention on Climate Change. 2018. https://unfccc.int/news/un-
helps-fashion-industry-shift-to-low-carbon. Diakses 21 Oktober 2019.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai