Anda di halaman 1dari 3

Mengurangi konsep fast fashion dengan thrifting

Sejarah dan pola fast fashion


Setelah revolusi industri hingga saat ini, hampir segala lini bidang usaha
berkembang pesat, tak terkecuali industri tekstil dengan produk utamanya,
fashion. Perkembangan teknologi baru seperti AI design dan mesin jahit
otomatis memungkinkan pakaian menjadi dapat diproduksi secara massal
dengan biaya produksi rendah dan dijual dengan harga murah.
Sejalan dengan harga yang makin murah, pola konsumsi produk pun ikut
berubah. Budaya konsumtif mulai mengakar sebagai bentuk respon
masyarakat akan cepat berubahnya trend busana yang ada. Jika di tarik ke
belakang penyebab cepat berubahnya tren fashion bermula pada
pertengahan abad ke 20.
Pada masa itu industri fashion hanya ada empat musim selama setahun:
musim gugur, musim dingin, musim semi, dan musim panas. Desainer
punya cukup waktu untuk memikirkan dan memprediksi style fashion yang
diinginkan oleh konsumen. Hal ini karena fashion pada masa itu merupakan
produk yang banyak diminati kalangan kelas atas, dan ada beberapa aturan-
aturan berbusana yang harus diikuti.
1960-an menjadi awal mula bangkitnya industri fast fashion. Fashion season
yang semula hanya ada empat selama setahun berubah menjadi 12 season,
yang artinya harus ada mode baru setiap bulannya. Imbas dari perubahan ini
adalah industri fashion harus mempercepat laju produksi dan menurunkan
harga produk.
Selang beberapa dekade, tepatnya tahun 2014-an fast fashion mencapai titik
puncak-nya, dari yang semula hanya 12 season, kini berubah menjadi 52
“micro season” dalam setahun atau secara gamblang satu set “koleksi
fashion” setiap minggunya. (The Good Trade, 2018).
Perubahan 52 “micro season” dimulai saat brand Zara mulai mendisrupsi
industri fashion dengan merilis koleksi baru setiap minggu nya. Hal ini diikuti
oleh produk fashion retail lain seperti H&M, Uniqlo dan TopShop yang juga
menggenjot produksi untuk menciptakan “tren fashion” . Berdasarkan hal
tersebut kita bisa mengetahui bagaimana cepatnya sebuah produk dapat
diproduksi dan didistribusikan. Strategi marketing produk-produk fashion
juga cukup agresif dengan adanya promo End Month Sale, Pay Day Sale,
atau Back to School Sale , hal ini tentu secara tidak langsung dapat
meningkatkan tingkat konsumsi dari konsumen. Ditambah lagi dengan
adanya digitalisasi pada e-commerce yang setiap bulan mengadakan
Harbolnas (hari belanja online nasional), kemudian ada pula fitur pay later
yang semakin melicinkan pola konsumtif di masyarakat.
Lahirnya thrifting atau slow fashion
Berdasarkan data dari Bloomberg, rata-rata wanita di Amerika membeli 64
pakaian dalam setahun, setengah dari pakaian tersebut dapat dipakai
selama tiga kali pemakaian atau kurang, sebelum pada akhirnya menjadi
pakaian tidak terpakai yang tergantung rapi di lemari. Pola fashion semacam
ini tentunya berdampak buruk bagi lingkungan alam dan sosial masyarakat.
Limbah tekstil baik itu limbah pabrik maupun limbah pakaian menjadi
membludak dan mencemari lingkungan.
Pada tahun 2015, produksi tekstil dan fashion telah menghasilkan emisi gas
rumah kaca yang melebihi emisi seluruh pesawat penerbangan internasional
dan kapal kargo apabila digabungkan (The Guardian, 2018). Konsep fast
fashion yang banyak memiliki dampak negatif secara sosial dan berdampak
langsung pada alam pun menyadarkan kita akan pentingnya menjaga
lingkungan. Konsep fashion lama mulai digaungkan dan mulai ramai
diperbincangkan selama beberapa tahun kebelakang pun naik daun. slow
fashion atau thrifting dinilai bisa menjadi solusi atas konsumerisme fashion.
Secara bahasa, Thrift berasal dari kata thrive yang artinya maju atau
berkembang. Namun sekarang pengertian ini bergeser menjadi kegiatan
membeli barang second-hand atau barang bekas. Konsep thrifting
sebenarnya sudah ada sejak revolusi industri. Pada awalnya thrifting atau
slow fashion dipandang rendah dan memalukan. Barang second-hand hanya
dipakai oleh golongan ekonomi kelas menengah ke bawah.
Namun belakangan stigma tersebut memudar, thrifting menjadi populer
dan disambut baik oleh banyak kalangan karena mendukung kampanye
zero waste, selain itu dengan thrifting kita bisa mendapatkan produk fashion
yang masih relatif bagus dengan harga murah. Tak jarang kita bisa
menemukan harta karun fashion dari produk-produk fashion ternama.
Jangkauan thrifting yang mulai meluas dan populer menjadikan bisnis
barang bekas pun menjadi lahan emas di Indonesia, atensi yang besar ini
memancing nilai impor untuk pakaian bekas hingga mencapai US$493.000
atau setara dengan Rp7,1 miliar (kurs Rp14.500). Barang kebanyakan
didatangkan dari Singapura, Amerika Serikat, Belanda, dan Korea Selatan
(Badan Pusat Statistik, 2020).
Semakin meningkatnya jumlah konsumen yang peduli lingkungan dan
tuntutan akan produk fashion yang etis ini juga terangkum dalam laporan
True Luxury Global Consumer Insight yang dikeluarkan oleh BCG pada 2019.
Laporan ini menempatkan produk secondhand dan produk sustainable
sebagai tren nomor 2 dan 3 secara global, di bawah kolaborasi.
Dalam laporan yang sama, diperkirakan pada tahun 2028, bisnis pakaian
bekas ini akan menjadi lebih besar dibandingkan fast fashion karena
konsumen memilih produk yang memiliki nilai berkelanjutan.
Berdasarkan data tersebut, kita bisa mengetahui jika saat ini pola konsumen
sudah mulai berubah dan memiliki preferensi yang lebih peduli lingkungan.
Gelombang fashion thrifting ini bisa populer, salah satunya adalah karena
pengaruh influencer social media. Tak bisa dipungkiri para influencer
tersebut mempunyai daya tarik yang besar untuk menggerakan massa.
Target market yang besar ini pun menjadi peluang bagi para pebisnis yang
pintar mencari peluang. Orang-orang kini malah mulai berlomba-lomba
mencari harta karun fashion dalam setumpuk bal baju bekas. Iming-iming
barang langka dari produk ternama menjadikan harga thrift yang semula
dibawah seratus ribuan menjadi melonjak berkali-kali lipat. Prinsip dasar
ekonomi pun diterapkan dengan baik, semakin banyak peminat dan barang
makin langka, maka harga naik.
Dengan adanya fenomena ini, apakah thrifting bisa bertahan dan menjadi
kebiasaan bagi masyarakat? Tidak ada yang tahu. Karena dalam trend
Fashion yang bergerak sangat cepat dan fluktuatif ini, tak ada yang pasti.
Sejak awal bermulanya industri fashion, roda mode busana memang selalu
berinovasi dan berubah tanpa henti.

Anda mungkin juga menyukai