0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
28 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan industri fast fashion dan pola konsumsinya, kemudian menjelaskan dampaknya terhadap lingkungan. Dokumen juga menjelaskan konsep thrifting atau slow fashion sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan menjadi tren saat ini. Terakhir, dokumen memperkirakan bisnis pakaian bekas akan lebih besar pada 2028 dibandingkan fast fashion karena konsumen lebih memilih produk berkelanjutan
Deskripsi Asli:
Judul Asli
Rubrik Serba-Serbi_Mengurangi konsep fast fashion dengan thrifting
Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan industri fast fashion dan pola konsumsinya, kemudian menjelaskan dampaknya terhadap lingkungan. Dokumen juga menjelaskan konsep thrifting atau slow fashion sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan menjadi tren saat ini. Terakhir, dokumen memperkirakan bisnis pakaian bekas akan lebih besar pada 2028 dibandingkan fast fashion karena konsumen lebih memilih produk berkelanjutan
Dokumen tersebut membahas sejarah perkembangan industri fast fashion dan pola konsumsinya, kemudian menjelaskan dampaknya terhadap lingkungan. Dokumen juga menjelaskan konsep thrifting atau slow fashion sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dan menjadi tren saat ini. Terakhir, dokumen memperkirakan bisnis pakaian bekas akan lebih besar pada 2028 dibandingkan fast fashion karena konsumen lebih memilih produk berkelanjutan
Setelah revolusi industri hingga saat ini, hampir segala lini bidang usaha berkembang pesat, tak terkecuali industri tekstil dengan produk utamanya, fashion. Perkembangan teknologi baru seperti AI design dan mesin jahit otomatis memungkinkan pakaian menjadi dapat diproduksi secara massal dengan biaya produksi rendah dan dijual dengan harga murah. Sejalan dengan harga yang makin murah, pola konsumsi produk pun ikut berubah. Budaya konsumtif mulai mengakar sebagai bentuk respon masyarakat akan cepat berubahnya trend busana yang ada. Jika di tarik ke belakang penyebab cepat berubahnya tren fashion bermula pada pertengahan abad ke 20. Pada masa itu industri fashion hanya ada empat musim selama setahun: musim gugur, musim dingin, musim semi, dan musim panas. Desainer punya cukup waktu untuk memikirkan dan memprediksi style fashion yang diinginkan oleh konsumen. Hal ini karena fashion pada masa itu merupakan produk yang banyak diminati kalangan kelas atas, dan ada beberapa aturan- aturan berbusana yang harus diikuti. 1960-an menjadi awal mula bangkitnya industri fast fashion. Fashion season yang semula hanya ada empat selama setahun berubah menjadi 12 season, yang artinya harus ada mode baru setiap bulannya. Imbas dari perubahan ini adalah industri fashion harus mempercepat laju produksi dan menurunkan harga produk. Selang beberapa dekade, tepatnya tahun 2014-an fast fashion mencapai titik puncak-nya, dari yang semula hanya 12 season, kini berubah menjadi 52 “micro season” dalam setahun atau secara gamblang satu set “koleksi fashion” setiap minggunya. (The Good Trade, 2018). Perubahan 52 “micro season” dimulai saat brand Zara mulai mendisrupsi industri fashion dengan merilis koleksi baru setiap minggu nya. Hal ini diikuti oleh produk fashion retail lain seperti H&M, Uniqlo dan TopShop yang juga menggenjot produksi untuk menciptakan “tren fashion” . Berdasarkan hal tersebut kita bisa mengetahui bagaimana cepatnya sebuah produk dapat diproduksi dan didistribusikan. Strategi marketing produk-produk fashion juga cukup agresif dengan adanya promo End Month Sale, Pay Day Sale, atau Back to School Sale , hal ini tentu secara tidak langsung dapat meningkatkan tingkat konsumsi dari konsumen. Ditambah lagi dengan adanya digitalisasi pada e-commerce yang setiap bulan mengadakan Harbolnas (hari belanja online nasional), kemudian ada pula fitur pay later yang semakin melicinkan pola konsumtif di masyarakat. Lahirnya thrifting atau slow fashion Berdasarkan data dari Bloomberg, rata-rata wanita di Amerika membeli 64 pakaian dalam setahun, setengah dari pakaian tersebut dapat dipakai selama tiga kali pemakaian atau kurang, sebelum pada akhirnya menjadi pakaian tidak terpakai yang tergantung rapi di lemari. Pola fashion semacam ini tentunya berdampak buruk bagi lingkungan alam dan sosial masyarakat. Limbah tekstil baik itu limbah pabrik maupun limbah pakaian menjadi membludak dan mencemari lingkungan. Pada tahun 2015, produksi tekstil dan fashion telah menghasilkan emisi gas rumah kaca yang melebihi emisi seluruh pesawat penerbangan internasional dan kapal kargo apabila digabungkan (The Guardian, 2018). Konsep fast fashion yang banyak memiliki dampak negatif secara sosial dan berdampak langsung pada alam pun menyadarkan kita akan pentingnya menjaga lingkungan. Konsep fashion lama mulai digaungkan dan mulai ramai diperbincangkan selama beberapa tahun kebelakang pun naik daun. slow fashion atau thrifting dinilai bisa menjadi solusi atas konsumerisme fashion. Secara bahasa, Thrift berasal dari kata thrive yang artinya maju atau berkembang. Namun sekarang pengertian ini bergeser menjadi kegiatan membeli barang second-hand atau barang bekas. Konsep thrifting sebenarnya sudah ada sejak revolusi industri. Pada awalnya thrifting atau slow fashion dipandang rendah dan memalukan. Barang second-hand hanya dipakai oleh golongan ekonomi kelas menengah ke bawah. Namun belakangan stigma tersebut memudar, thrifting menjadi populer dan disambut baik oleh banyak kalangan karena mendukung kampanye zero waste, selain itu dengan thrifting kita bisa mendapatkan produk fashion yang masih relatif bagus dengan harga murah. Tak jarang kita bisa menemukan harta karun fashion dari produk-produk fashion ternama. Jangkauan thrifting yang mulai meluas dan populer menjadikan bisnis barang bekas pun menjadi lahan emas di Indonesia, atensi yang besar ini memancing nilai impor untuk pakaian bekas hingga mencapai US$493.000 atau setara dengan Rp7,1 miliar (kurs Rp14.500). Barang kebanyakan didatangkan dari Singapura, Amerika Serikat, Belanda, dan Korea Selatan (Badan Pusat Statistik, 2020). Semakin meningkatnya jumlah konsumen yang peduli lingkungan dan tuntutan akan produk fashion yang etis ini juga terangkum dalam laporan True Luxury Global Consumer Insight yang dikeluarkan oleh BCG pada 2019. Laporan ini menempatkan produk secondhand dan produk sustainable sebagai tren nomor 2 dan 3 secara global, di bawah kolaborasi. Dalam laporan yang sama, diperkirakan pada tahun 2028, bisnis pakaian bekas ini akan menjadi lebih besar dibandingkan fast fashion karena konsumen memilih produk yang memiliki nilai berkelanjutan. Berdasarkan data tersebut, kita bisa mengetahui jika saat ini pola konsumen sudah mulai berubah dan memiliki preferensi yang lebih peduli lingkungan. Gelombang fashion thrifting ini bisa populer, salah satunya adalah karena pengaruh influencer social media. Tak bisa dipungkiri para influencer tersebut mempunyai daya tarik yang besar untuk menggerakan massa. Target market yang besar ini pun menjadi peluang bagi para pebisnis yang pintar mencari peluang. Orang-orang kini malah mulai berlomba-lomba mencari harta karun fashion dalam setumpuk bal baju bekas. Iming-iming barang langka dari produk ternama menjadikan harga thrift yang semula dibawah seratus ribuan menjadi melonjak berkali-kali lipat. Prinsip dasar ekonomi pun diterapkan dengan baik, semakin banyak peminat dan barang makin langka, maka harga naik. Dengan adanya fenomena ini, apakah thrifting bisa bertahan dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat? Tidak ada yang tahu. Karena dalam trend Fashion yang bergerak sangat cepat dan fluktuatif ini, tak ada yang pasti. Sejak awal bermulanya industri fashion, roda mode busana memang selalu berinovasi dan berubah tanpa henti.