Cerpen TAI
Cerpen TAI
Para pengunjung santun dan beretika. Meskipun semua menginginkan air sumur ajaib
itu segera memenuhi timba, tapi nyatanya tidak ada yang berebut. Mereka sudah terbiasa
berbaris panjang demi mendapatkan air itu secara bersahaja. Tidak ada caci maki, tidak ada
dialog-dialog yang mengarah pada pertanda ketidaksabaran. Mereka cenderung hanya diam
saja. berbicara seadanya, itu pun jika dirasa perlu. Selebihnya hanya berdiri tegak menunggu
giliran. Sesekali bagi kaum perempuan yang tidak sanggup menahan panasnya matahari,
menutup bagian wajah dan kepala dengan kain panjang yang membalut tubuh mereka. Sudah
dikatakan bukan? Mereka mengenakan baju lebih dari selapis. Apabila berlapis-lapis masih
dirasa tidak cukup, maka mereka akan menambahkan kain selendang panjang hingga mampu
menutupi kepala hingga bawah pinggang. Kain panjang ini paling sering digunakan oleh para
perempuan. Sedikit berbeda dengan kaum laki-laki yang lebih mempercayai jubah panjang
tebal untuk menutup seluruh tubuh mereka dari kepala hingga kaki. Seakan-akan sedikit saja
kulit yang tampak itu sudah menjadi hal yang teramat memalukan.
Air-air masih terus dituangkan ke timba sampai penuh bahkan kadang meluap. Tidak
ada yang protes atau khawatir akan kehabisan air apalagi orang-orang yang menunggu pada
urutan paling belakang. Mereka tetap tenang. Seakan-akan sudah tahu bahwa air di sumur itu
tiada mengenal kata habis. Ini sunyi. Betul-betul sunyi. Di hari yang semakin panas, angin
hanya datang sesekali. Orang-orang itu masih saja dengan santun dan sabarnya menunggu
giliran untuk seember air yang dianggap mujarab dan penangkal terhadap hal jahat. Antrian
tidak pernah putus, satu orang pulang, tiga orang kunjung datang. Tetap mereka tanpa kata
apapun sampai kemudian jubah salah seorang laki-laki, entah bagaimana ceritanya, jatuh
merolot hingga sebatas punggung. Dia mengerang kesakitan. Luka di punggungnya jelas
tampak. Borok berwarna merah kecoklatan itu seperti menguap dibakar sinar matahari.
Orang-orang lantas saja menutup hidung dan mulut. Para perempuan banyak yang muntah
meski sudah coba menahan sebisanya.
Laki-laki itu pulang. Tidak berlari tidak juga pelan. Langkahnya hanya dipecepat
sebisa mungkin. Di sepanjang jalan, jubahnya kembali coba dia naikkan, tapi terjatuh lagi
sampai batas yang sama. Akhirnya apalagi yang terjadi kalau bukan orang-orang yang
berlalu-lalang di jalan menatapnya dengan berbagai jenis tatapan. Ada muntah seketika, ada
yang mencoba menjauh. Tidak sedikit yang mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah
padahal jelas-jelas mereka jarang berbicara. Namun, seketika saja, ketika orang-orang itu
melihat luka di tubuh lelaki yang terus mempercepat langkahnya tanpa peduli pada apa pun,
mereka tidak bisa menahan mulut untuk bersuara. Mereka tidak bisa menjaga lagi kata-kata
agar bersemayam di dalam jiwa. Akhirnya orang-orang itu hilang kesabarannya, hilang
kewibawaannya.
Sepanjang jalan di mana laki-laki berpunggung luka itu lewat, orang-orang dengan
pakaian berlapis-lapis itu sontak jadi banyak bicara bahkan sampai memaki. Tapi laki-laki itu
masih seperti semula, mencoba menaikkan kembali jubahnya, berjalan dengan cepat tanpa
pernah mencoba untuk berlari. Sampai kemudian ada seorang wanita dengan kain selendang
yang cukup panjang menutup mulut setelah sebelumnya berteriak dan memekikkan kalimat,
“Ulat berjatuhan dari punggungnya!”
Telah lebih dari seminggu kejadian laki-laki berpunggung luka itu berlalu. Tapi,
orang-orang di kampung ini tetap memakai kain dengan jumlah yang semakin menebal dalam
keadaan mulut yang nyaris tidak pernah diam. Mereka masih saja membicarakan laki-laki
yang berpunggung luka itu dengan penuh rasa jijik. Bahkan garis lurus saat antrian
mengambil air di sumur ulama itu kini sudah bengkok. Beberapa mulai membentuk
lingkaran-lingkaran kecil demi kenyamanan dan kekompakan saat bercerita. Di antara
mereka ada yang membawa timba lebih dari satu dengan tujuan untuk berjaga-jaga. Sama
tujuannya dengan menambah jumlah kain yang mereka pakai agar tidak ikut tertular penyakit
laki-laki berpunggung luka itu. Beberapa orang yang sudah merasa lelah menunggu giliran
pada bagian belakang, mengeraskan suaranya sebagai tanda untuk setiap orang agar
gerakannya dipercepat. Bahkan ada diantara mereka yang memaki bila dianggap orang-orang
di barisan depan masih sangat lambat.