Anda di halaman 1dari 3

PUNGGUNG

Orang-orang yang menggunakan baju berlapis-lapis itu berlalu-lalang di jalan


membawa timba berukuran sedang. Ukuran sebatas sanggup diangkut tangan. Timba-timba
itu semula kosong,  kemudian akan diisi air dari sumur tua peninggalan ulama ternama yang
berbibir sempit dan dalamnya tak sanggup ditangkap mata. Air sumur itu dipercaya
mempunyai kekuatan magis yang mampu menyembuhkan segala penyakit bagi yang
berpenyakit, dan mampu menangkal segala kemungkinan terburuk bagi yang masih sehat-
sehat saja. Karena alasan itulah, orang-orang datang entah dari mana saja.

Para pengunjung santun dan beretika. Meskipun semua menginginkan air sumur ajaib
itu segera memenuhi timba, tapi nyatanya tidak ada yang berebut. Mereka sudah terbiasa
berbaris panjang demi mendapatkan air itu secara bersahaja. Tidak ada caci maki, tidak ada
dialog-dialog yang mengarah pada pertanda ketidaksabaran. Mereka cenderung hanya diam
saja. berbicara seadanya, itu pun jika dirasa perlu. Selebihnya hanya berdiri tegak menunggu
giliran. Sesekali bagi kaum perempuan yang tidak sanggup menahan panasnya matahari,
menutup bagian wajah dan kepala dengan kain panjang yang membalut tubuh mereka. Sudah
dikatakan bukan? Mereka mengenakan baju lebih dari selapis. Apabila berlapis-lapis masih
dirasa tidak cukup, maka mereka akan menambahkan kain selendang panjang hingga mampu
menutupi kepala hingga bawah pinggang. Kain panjang ini paling sering digunakan oleh para
perempuan. Sedikit berbeda dengan kaum laki-laki yang lebih mempercayai jubah panjang
tebal untuk menutup seluruh tubuh mereka dari kepala hingga kaki. Seakan-akan sedikit saja
kulit yang tampak itu sudah menjadi hal yang teramat memalukan.

Air-air masih terus dituangkan ke timba sampai penuh bahkan kadang meluap. Tidak
ada yang protes atau khawatir akan kehabisan air apalagi orang-orang yang menunggu pada
urutan paling belakang. Mereka tetap tenang. Seakan-akan sudah tahu bahwa air di sumur itu
tiada mengenal kata habis. Ini sunyi. Betul-betul sunyi. Di hari yang semakin panas, angin
hanya datang sesekali. Orang-orang itu masih saja dengan santun dan sabarnya menunggu
giliran untuk seember air yang dianggap mujarab dan penangkal terhadap hal jahat. Antrian
tidak pernah putus, satu orang pulang, tiga orang kunjung datang. Tetap mereka tanpa kata
apapun sampai kemudian jubah salah seorang laki-laki, entah bagaimana ceritanya, jatuh
merolot hingga sebatas punggung. Dia mengerang kesakitan. Luka di punggungnya jelas
tampak. Borok berwarna merah kecoklatan itu seperti menguap dibakar sinar matahari.
Orang-orang lantas saja menutup hidung dan mulut. Para perempuan banyak yang muntah
meski sudah coba menahan sebisanya.

Laki-laki itu pulang. Tidak berlari tidak juga pelan. Langkahnya hanya dipecepat
sebisa mungkin. Di sepanjang jalan, jubahnya kembali coba dia naikkan, tapi terjatuh lagi
sampai batas yang sama. Akhirnya apalagi yang terjadi kalau bukan orang-orang yang
berlalu-lalang di jalan menatapnya dengan berbagai jenis tatapan. Ada muntah seketika, ada
yang mencoba menjauh. Tidak sedikit yang mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah
padahal jelas-jelas mereka jarang berbicara. Namun, seketika saja, ketika orang-orang itu
melihat luka di tubuh lelaki yang terus mempercepat langkahnya tanpa peduli pada apa pun,
mereka tidak bisa menahan mulut untuk bersuara. Mereka tidak bisa menjaga lagi  kata-kata
agar bersemayam di dalam jiwa. Akhirnya orang-orang itu hilang kesabarannya, hilang
kewibawaannya.

Sepanjang jalan di mana laki-laki berpunggung luka itu lewat, orang-orang dengan
pakaian berlapis-lapis itu sontak jadi banyak bicara bahkan sampai memaki. Tapi laki-laki itu
masih seperti semula, mencoba menaikkan kembali jubahnya, berjalan dengan cepat tanpa
pernah mencoba untuk berlari. Sampai kemudian ada seorang wanita dengan kain selendang
yang cukup panjang menutup mulut setelah sebelumnya berteriak dan memekikkan kalimat,
“Ulat berjatuhan dari punggungnya!”

Suara-suara semakin ramai. Orang-orang dengan kecepatan kilat mengambil kain


yang kadang entah dari mana untuk menambah jumlah lapisan kain pada tubuhnya. Kini
tubuh-tubuh mereka mirip tumpukan kain yang berjalan. Seluruh tubuh mereka tutupi dengan
berhelai-helai kain. Hanya dua bagian yang diperlihatkan yaitu mata dan mulut mereka. Jika
dulunya mereka hanya cenderung memperlihatkan mata saja untuk mengawasi jalan, kini
sejak lelaki berpunggung terluka itu lewat, mereka mulai memperlihatkan mulut lebar itu.
Dulu mulut itu sering diam sehingga terlihat berwibawa dan sabar dalam segala hal, kini
diam adalah hal yang langka.

Telah lebih dari seminggu kejadian laki-laki berpunggung luka itu berlalu. Tapi,
orang-orang di kampung ini tetap memakai kain dengan jumlah yang semakin menebal dalam
keadaan mulut yang nyaris tidak pernah diam. Mereka masih saja membicarakan laki-laki
yang berpunggung luka itu dengan penuh rasa jijik. Bahkan garis lurus saat antrian
mengambil air di sumur ulama itu kini sudah bengkok. Beberapa mulai membentuk
lingkaran-lingkaran kecil demi kenyamanan dan kekompakan saat bercerita. Di antara
mereka ada yang membawa timba lebih dari satu dengan tujuan untuk berjaga-jaga. Sama
tujuannya dengan menambah jumlah kain yang mereka pakai agar tidak ikut tertular penyakit
laki-laki berpunggung luka itu. Beberapa orang yang sudah merasa lelah menunggu giliran
pada bagian belakang, mengeraskan suaranya sebagai tanda untuk setiap orang agar
gerakannya dipercepat. Bahkan ada diantara mereka yang memaki bila dianggap orang-orang
di barisan depan masih sangat lambat.

Orang-orang duduk bertumpuk-tumpuk di sudut-sudut desa. Mereka seakan sudah


punya lapak sendiri untuk berbicara dengan sesama. Masih dengan kain yang berlapis-lapis di
badan, mulut dan matanya terbuka sempurna. Mereka masih saja membicarakan lelaki yang
berpunggung luka itu. Beberapa di antara mereka mencoba mencari tahu keberadaan lelaki
tersebut. Sebab, sejak kejadian sebulan lalu itu, lelaki berpunggung terluka tidak pernah
muncul lagi. Hal inilah yang membuat semua warga bertanya-tanya. Ditambah lagi dari mana
asal luka itu. Kenapa bisa ada luka seperti itu. Apa itu kutukan? Sebab bagaimana ceritanya
luka bisa sampai bernanah, merah, hingga membusuk kecoklatan dan berulat begitu?

Orang-orang masih terus membicarakannya. Meskipun peristiwa itu telah berlalu


lama. Orang-orang masih terus saja membicarakannya diawali dengan rasa jijik, tapi lama-
lama jadi asyik. Orang-orang terus membicarakannya yang semula rasanya ingin jauh-jauh,
tapi kemudian ingin dekat sebab penasaran. Orang-orang terus membicarakannya dari semula
mulut mereka yang diam tapi kini bahkan tidak sempat diam.

Di tengah-tengah pembicaraan yang begitu hangat. Pembicaraan yang sudah mampu


mengubah tradisi. Pembicaraan yang sudah mampu mengubah pola pikir itu, tiba-tiba muncul
angin yang begitu kencang dari langit. Angin itu seperti gasing yang punca talinya tidak
terlihat. Anehnya, angin itu tidak menghancurkan apa-apa. Rumah-rumah warga masih
berdiri kokoh. Pohon-pohon masih tegak tanpa ada satu daun pun yang jatuh. Angin itu hanya
menghempaskan kain-kain berlapis dari tubuh setiap orang. Hingga akhirnya tidak ada kain
yang tersisa di tubuh mereka. Mereka saling heran dan saling tatap. Belum lagi sempat untuk
berpikir bahwa mereka harus segera menutup tubuh mereka terutama beberapa bagian
penting, mereka sudah muntah duluan. Luka yang tidak pernah dibayangkan sudah lebih dulu
menutup seluruh tubuh mereka tanpa jeda.

Anda mungkin juga menyukai