Anda di halaman 1dari 4

Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin

Albert Aguung Gozali/XIA3/4

Kemiskinan merupakan permasalahan yang krusial bagi Indonesia.


Menurut data BPS pada tahun 2010, Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010
mencapai 31,02 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada saat itu yaitu, 241,8
juta orang, dengan 19,93 juta orang miskin atau 64,23 persen dari total orang miskin berada di pedesaan
dan 11,10 juta orang berada di perkotaan.1
Angka kemiskinan ini tidaklah kecil dan selalu menjadi pertimbangan negara setiap tahunnya. Angka-
angka tersebut belum termasuk orang-orang yang tidak dianggap miskin tapi berada persis di atas batas
kemiskinan. Ini memperlihatkan bahwa situasi ekonomi rata-rata penduduk Indonesia adalah kritis.
Pembahasan kita pada kesempatan ini tidak terpaku dengan kemiskinannya, namun pada indikator
kemiskinan dan konsep miskin yang sering kurang dipahami oleh masyarakat. Masyarakat saat ini,
terutama di daerah perkotaan, sangat mudah menilai seseorang hanya dengan tampilan saja, seperti
mengatakan seseorang itu adalah orang miskin ataupun lainnya, tanpa memahami apa itu kemiskinan
yang sebenarnya.
Sebagian besar orang di perkotaan, termasuk kami, yang memiliki pandangan seperti itu.
Kemiskinan dalam KBBI adalah hal miskin; keadaan miskin;- absolut situasi penduduk atau sebagian
penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.2
Dari situ dapat disimpulkan bahwa orang miskin yang sebenarnya adalah orang tidak mampu memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Konsep ini tidak hanya digunakan di Indonesia, tapi juga di negara lain.
Dalam konsep ini, ada beberapa macam indikator yang digunakan untuk menentukan posisi situasi
ekonomi seseorang . Hal semacam ini kurang diketahui sebagian besar orang ketika mereka berkata
miskin karena mereka mengatakan hal tersebut secara spontan. Kata-kata tersebut sangat tidak enak
didengar ketika tanpa didasari data-data yang jelas. Menurut kami, buku yang kami baca ini sangat
memberikan wawasan tentang hal itu semua. Buku ini menjelaskan dengan baik mulai dari pengertian,
konsep, dan indikator-indikator yang bisa digunakan serta dijelaskan juga karakteristik sosial ekonomi
rumah tangga baik keluarga miskin dan yang tidak. Data yang dipaparkan juga membantu pemahaman
tentang apa yang sedang dibahas. Buku ini menginspirasi karena membuat kami sadar dengan kondisi
kami yang beruntung, mengetahui dengan jelas indikator apa yang bisa digunakan, serta dapat
memperkirakan dan mengetahui kondisi suatu keluarga.
Dalam alasan pertama yang kita beri mengapa buku ini dapat menginspirasi kita atau membuka
wawasan kita adalah "kita menjadi tahu seberapa beruntungnya kita". Kita di dalam kehidupan sehari-
hari biasanya hanya melihat ke atas, melihat apa yang orang lain punya dan apa yang tidak kita punya di
dalam kehidupan kita. Tetapi kita tidak pernah melihat ke bawah dan bersyukur dengan apa yang kita
punya. Padahal dari apa kata buku yang kita baca masih banyak yang orang yang kurang bisa memenuhi
1
Ali khomsan, Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta:Fakultas Ekologi Manusia
IPB, 2000), hlm. 32.
2
Ibid.

1
kebutuhan hidupnya seperti pedagang kaki lima, tukang sampah ,dll. Penghasilan yang mereka dapatkan
benar-benar jauh dibawah kita. Bayangkan saja, garis kemiskinan nasional adalah sekitar 500.000+
rupiah per kapita per bulan dan masih banyak orang yang memiliki penghasil dibawah itu. Itu membuat
kita harus bercermin pada diri sendiri dan mulai bersyukur atas apa yang kita punya. Padahal dengan
kita bersyukur kita bisa mendapatkan banyak manfaat yaitu: dapat membuat diri kita menjadi lebih
bahagia dan agar kita tidak mudah menyerah. Mengapa hidup bahagia dapat dilakukan dengan
bersyukur? Karena biasanya saat kita bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang dengan apa
adanya kita menjadi senang dan sebaliknya saat kita selalu iri dengan apa yang dimiliki oleh orang lain
selain dengan apa yang kita miliki kita hanya akan terbebani dengan pikiran seperti “kenapa ya saya
tidak dapat memiliki barang tersebut?”. Mungkin juga ada yang bertanya mengapa dengan bersyukur
kita menjadi pantang menyerah, biasanya saat kita sudah bersyukur maka kebiasaan memakai “kacamata
positif” akan muncul. Dengan demikian, meskipun kita mengalami banyak pengalaman negative dalam
satu hari kita tidak akan kehilangan harapan atau putus asa karena kita sendiri bisa menemukan
pelajaran yang termuat dari pengalaman negatif tersebut. Jadi kita harus bersyukur dengan apa yang kita
dapat sekarang.
Alasan kami yang kedua mengapa buku ini menginspirasi dan menambah wawasan kami adalah "kita
menjadi tahu apa indikator orang miskin yang bisa digunakan". Pada kehidupan sehari-hari, terkadang
seseorang seringkali menyebut seseorang yang memiliki penampilan yang kurang dengan kata miskin.
Itu merupakan hal yang kurang tepat karena belum tentu orang tersebut masuk pada golongan orang
miskin dan malah masuk golongan moderate/sedang yang berada di ambang garis kemiskinan. Oleh
sebab itu, indikator yang digunakan untuk menilai seorang yang miskin harus jelas serta sesuai tempat.
Pada umumnya, indikator kemiskinan selalu berhubungan dengan kemampuan untuk memenuhi
sandang, pangan, dan papan. Namun ada juga indikator lain seperti indikator yang berdasarkan
pendapatan per tahun untuk menentukan garis kemiskinan seperti Gold standard (2011), BPS (2006),
dll. Masing-masing indikator memiliki hasil masing-masing dan terkadang menghasilkan persentase
yang berbeda dan bisa melenceng jauh. Misalnya seperti indikator Sajogyo, yang memiliki garis
kemiskinan setara dengan 320 kg beras per tahun digunakan untuk mendata suatu daerah. Jumlah
keluarga miskin menurut indikator tersebut adalah 0 persen. “Namun ketika menggunakan indikator
Gold standard, jumlah keluarga miskin adalah 67,7 persen. Dari contoh tersebut, perbedaan dari 2
indikator sangatlah jauh.”3 “Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan ketika menggunakan suatu
indikator dan tidak boleh memakai sembarang indikator karena akan membuat bingung pengolah data.”4
Juga dibutuhkan banyak ahli ketika membuat suatu indikator universal agar indikator tersebut akurat.
“Penggunaan indikator yang salah akan menyebabkan misklasifikasi orang miskin.” 5 Hal itu memiliki
dampak yang besar terutama dalam pelaksanaan program-program yang dibuat pemerintah untuk
membantu orang miskin karena bantuan tersebut bisa saja tidak hanya diterima oleh orang yang benar-
benar miskin, namun juga orang yang berkecukupan bahkan yang di atas rata-rata. Kejadian inilah yang
sering terjadi di Indonesia. Dari semua ini, kita sekarang tidak hanya mengetahui tentang indikator saja,
3 3
Filbert Fuvian, “60 Persen Ibu Rumah Tangga Mengeluh Soal Uang Selama Pandemi”, (Kompas.com,
diakses pada tanggal 25 Desember 2020, pukul 19:58,
https://lifestyle.kompas.com/read/2020/11/12/083647220/60-persen-ibu-rumah-tangga-mengeluh-soal-uang-
selama-pandemi?page=all, September 2020), hlm. 1.
4 4
Khomsan, Op. Cit, hlm. 34
5
ibid. hlm. 35

2
namun juga tahu bagaimana memilih suatu indikator yang tepat dan tidak asal-asal agar ketika membuat
sebuah keputusan atau hasil pengamatan, hal tersebut dapat diterima. Menilai sesuatu tanpa dasar yang
jelas akan membuat kita salah paham dan menimbulkan suatu perdebatan.
Alasan ketiga mengapa buku ini menginspirasi adalah “kita menjadi tahu situasi suatu rumah tangga”
Rumah tangga yang dimaksud bisa rumah tangga miskin dan rumah tangga yang tidak miskin atau
diatas garis kemiskinan. Kedua jenis rumah tangga ini memiliki karakteristik masing-masing dan setiap
orang yang termasuk di dalam salah satu jenis memiliki beberapa persamaan. Itu memungkinkan kita
untuk membuat suatu perkiraan tentang situasi ekonomi atau pun sosial dari suatu keluarga tertentu
hanya dengan menggunakan beberapa indikator. Pengeluaran, pendapatan, dan kepemilikan merupakan
beberapa indikator yang bisa digunakan untuk melihat atau pun membandingkan situasi ekonomi rumah
tangga miskin dengan yang tidak dan untuk situasi sosial, indikator yang bisa digunakan adalah jumlah
anggota keluarga, tingkat pendidikan, dan pekerjaan kepala keluarga.6 Dari situ, kita juga bisa
mengetahui juga suatu permasalahan sosial ekonomi apa saja yang sedang terjadi.
Permasalahan yang terjadi biasanya berhubungan dengan kualitas hidup, contohnya
seperti kondisi hubungan dalam keluarga pemenuhan kebutuhan fisik, dsb. Permasalahan-
permasalahan itu pasti pernah atau masih dialami setiap keluarga, termasuk kami, di Indonesia,
baik yang miskin, tidak miskin, atau pun yang kaya.7
Permasalahan itu kadang terjadi akibat rasa tidak puas yang berlebih dari salah seorang anggota keluarga
atau pun keluarga itu sendiri dan tidak dapat terhindarkan sama sekali. Maka dari itu, kita harus bisa
merasa cukup dan puas serta bisa untuk merelakan sesuatu setelah mengerti situasi keluarga kita. Seperti
alasan pertama kami,”kita menjadi sadar seberapa beruntungnya kita”, kita harus berpikir secara realistis
dan jangan terlalu memaksa jika sudah berada pada batas karena kita hidup di dunia untuk bahagia.
Itulah yang kami terima setelah membaca buku ini. Berkat pembahasan yang sangat baik dan cukup
lengkap, bahasa yang cukup mudah dimengerti dan data-data yang variatif dan juga jelas, kami sangat
dipermudah dalam memahami dan mengambil kesimpulan ketika membaca.
Kami sangat terinspirasi dengan buku ini karena kami merasa hal ini harus diangkat karena kami merasa
masih banyak orang yang tidak bersyukur dengan apa yang dia miliki padahal di dalam hidupnya masih
terbilang cukup bahkan lebih dari itu untuk kehidupan sehari – hari, padahal masih banyak orang yang
masih kurang beruntung daripada kita dan banyak diantara mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk
bangkit dari keadaan tersebut. Kita juga terinspirasi karena buku ini memberitahu kami dengan apa itu
indikator kemiskinan yang bisa digunakan beserta contoh-contohnya sehingga kami tidak dengan mudah
mengatakan “miskin” kepada seseorang. Ada banyak hal yang harus dilihat dan dipertimbangkan ketika
ingin berkata “miskin”. Juga kita belum tentu berhak mengatakannya kepada orang tersebut. Kita juga
menjadi tahu bagaimana perkiraan situasi keluarga yang terjadi pada keluarga yang berada pada garis
kemiskinan dan yang tidak. Mengetahui hal ini akan sangat membantu kita untuk mengenali situasi
keluarga sendiri dan membuat kita bisa paham dengan lebih baik tentang apa yang sedang dihadapi
keluarga kita serta bagaimana untuk mengatasi itu, walaupun terkadang hal itu sangat sulit karena
membutuhkan bantuan seseorang untuk menyelesaikan dan belum tentu ada orang bisa atau pun mau
membantu baik secara langsung atau pun tidak langsung. Dengan memberikan semua informasi dari apa
6 6
Fuvian, Loc. Cit, hlm. 7
7
Ibid, hlm. 1.

3
yang kami baca dan simpulkan dari buku ini, kami berharap agar para pembaca menjadi mengerti
dengan baik apa itu kemiskinan, sadar diri, lebih bersyukur, menahan diri ketika ingin mengatakan
“miskin” walaupun hanya sebuah candaan, dan selalu positif dalam menghadapi masalah di kehidupan
sosial saat ini. Perjalanan hidup kita masih panjang, jalani hidup ini dengan senang dan positif. Dengan
berpikir positif, kita bisa terhindar dari banyak kemalangan.

Daftar Pustaka
Khomsan, Ali. 2015. Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin Jakarta:Fakultas Ekologi
Manusia IPB
Fuvian, Filbert. September 2020. “60 Persen Ibu Rumah Tangga Mengeluh Soal Uang Selama Pandemi”.
Kompas.com. diakses pada tanggal 25 Desember2020, pukul 19:58.
https://lifestyle.kompas.com/read/2020/11/12/083647220/60-persen-ibu-rumah-tangga-mengeluh-soal-
uang-selama-pandemi?page=all

Anda mungkin juga menyukai