KATA PENGANTAR
-----------------
2
KATA PENGANTAR PENULIS
Puja dan puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas kehendak dan takdir-Nyalah kita semua
berpangkal dari-Nya dan kembali kehadirat-Nya. Shalawat dan salam sama-
sama kita bermohon kepada Allah SWT semoga tercurah kepada junjungan
alam, panutan umat, Uswatun Hasanah, Nabi Besar Muhammad SAW,
demikian juga kepada ahli keluarganya, sahabat-sahabatnya, pengikut-
pengikutnya dan umat manusia.
Tulisan yang terbentang dalam buku ini, merupakan suatu ikhtiar untuk
menelusuri dan menghubungkan kembali tali silaturahim (hubungan keluarga)
dalam jalur garis keturunan berdasarkan pertalian darah secara vertikal/ tegak
lurus keatas maupun kebawah serta menyamping melalui jalur pernikahan. Hal
ini penting untuk mengingatkan kembali asal-usul, silsilah keturanan dan
kekerabatan serta perjuangan orang-orang tua dahulu sehingga dapat diambil
ibrah, pelajaran dan suri tauladan bagi generasi selanjutnya dalam ikatan
sebuah keluarga besar di Sungai Ungar Kundur. Kadangkala, ini hampir
dilupakan atau bahkan sudah terlupakan sama sekali disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya:
3
kiranya masih ada seberkas sinar yang menerobos di antara celah-celah
dinding dalam kegelapan menerangi malam.
4. Pada sementara bersikap acuh, tanpa ingin tahu, atau masa bodoh, siapa
mereka sebenarnya bagaimana hubungan antara seorang dengan yang
lainnya. Mereka diantaranya cukup sekedar mengetahui bahwa mereka ada
berkubangan persaudaraan, atau ketakpedulian dengan tidak mengadakan
bahkan tidak tahu sama sekali dari pihak mana hubungan itu bermula.
5. Jarangnya bahkan tidak ada sama sekali saling kunjung mengunjungi
diantara satu sama lain kalaupun itu ada hanya sebatas dalam jarak yang
dapat dijangkau pada saat hari raya idul fitri atau idul adha. Ataupun pada
saat diantara mereka mengadakan pesta pernikahan anak mereka, namun
sangat terbatas.
6. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah tidak pernahnya diantara yang
tua (bapak, ibu, nenek) mau menceritakan kepada anak cucunya, dalam
waktu-waktu tertentu, mengenai silsilah atau garis keturunan mereka,
hubungan kekeluargaan/ kekerabatan. Disamping itu adalah tidak maunya
bertanya oleh anak-anak kepada orang tuanya, bahkan kemana jalan untuk
menelusurinya, laksana melewati sebatang pohon bambu untuk
menyebrangi sebuah sungai yang luas hingga sampai ketepian sebrang;
menyingkap kembali tabir bendera; mengangkat batang terendam.
Adalah cerita dari lidah yang keluar dari lubuk hati yang dalam oleh orang
tua yang bijaksana lagi arif, yaitu H.Usman yang meninggal tahun 1940
kepada putranya Ahmad (1901-1968) tentang asal usul (silsilah) H.Usman yang
datang ke Sungai Ungar melalui Singapura dari Yogyakarta. Dasar cerita inilah
usaha menghubungi keluarga dan kaum kerabat yang berada di Yogyakarta
mulai dirintis kembali dengan memperdalami cerita/ amanat Ahmad. Upaya itu
dimulai semenjak :
1. Tahun 1955 mas Alifurrahim (anak Mak Ngah Walijah/ Nyai Kepeh)
berangkat ke Jawa (Yogyakarta) berusaha mencari dan dapat menemukan
mereka yang di ceritakan itu, antara lain KH. Nawawi di Jejeran/ Imogiri,
KH.Sya’roni dari Giriloyo/ Imogiri, Benyamin dan Sa’idu (H. Ma’ruf) dan lain-
lain.
2. Dikemudian hari setelah itu berdatangan pula mereka dari Jawa ke Sungai
Ungar, diantaranya: Kirzen dan Azhari. Pada tanggal 5 Agustus 1963 aku
berangkat ke Pekanbaru dari Sungai Ungar dengan kapal laut, kemudian
berlanjut tanggal 17 Agustus 1963 aku meneruskan perjalanan berangkat ke
Jakarta melewati Bagansiapi-api dan tiba di Jakarta tanggal 25 Agustus
1963. Selanjutnya menyelesaikan surat menyurat di Departemen Agama
untuk tugas belajar di IAIN Yogyakarta sampai dengan tanggal 2 September
1963. Maka sejak tanggal 2 September 1963, aku sudah berada di
Yogyakarta pertama kali dan tinggal di Jagalan Ledoksari No. PA I/21.
4
Usaha-usaha untuk mendekatkan diri dengan kerabat di Giriloyo dan Imogiri
terus dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan serta mencocokkan berita/
informasi/ ataupun percakapan dari mereka yang datang, ataupun aku yang
berangkat langsung menemui mereka, seperti aku catatkan dibawah ini :
1. Tanggal 12-16 September 1963 aku ke Giriloyo dan Imogiri, dan bersama
mas R.Jamhari AR pada hari jumat dapat berziarah ke makam Sultan
Agung.
2. Tanggal 17 Nopember – 15 Desember 1963 aku menetap di Giriloyo
dirumah mbakyu Hidayah dan selalu bersama adiknya mas Suhani AR dan
mas M. Farid bermalam. Demikian upaya untuk menyambung kembali tali
hubungan kekerabatan berupa silsilah keluarga dalam sebuah ranji dan
tulisan telah dimulai bersama ayahnda Ahmad pada tanggal 3 Februari 1963
(sebelum menamatkan PGAN 6 tahun), dan aku kemudian berusaha untuk
menyesuaikan/ mencocokan informasi yang telah aku dapatkan dengan
mereka yang berada di Giriloyo, Imogiri dan Asroruddin, dimana pada tahun
1962 telah datang ke Sungai Ungar dan tinggal di rumah Mak Ngah Walijah
beberapa bulan lamanya.
3. Aku sendiri dalam upaya menyikapi untuk melanjutkan studi ke IAIN tahun
1963 dapat pergi ke Yogyakarta dan selanjutnya ke Imogiri dan Giriloyo,
yaitu antara tanggal 19 s.d 27 Mei 1963 dengan ditemani oleh Mas Kirzen
(yang sudah kembali ke Giriloyo dari Sungai Ungar), dapat menemui
keluarga, diantaranya: mas Sa’idu (Giriloyo), mbakyu Hidayah/ mas Abdul
Wahab (Giriloyo), mas R.Jamhari AR (Imogiri), kemudian kembali lagi ke
Sungai Ungar dari Yogyakarta mampir di Semarang, Bandung, Jakarta
(menyelesaikan urusan tugas belajar ke Yogyakarta dengan mas Rahmat
Suyud dan Hadis), sampai dengan tanggal 7 s/d 16 Juni 1963 di Jakarta.
Selanjutnya tanggal 16 Juni, aku berangkat menuju Tanjung Pinang untuk
menyelesaikan laporan akhir tugas belajar di PGAN 6 tahun Jalan Sei Jang
Tanjung Pinang, dan kembali ke Sungai Ungar tanggal 27 Juni 1963 s/d 5
Agustus 1963.
4. Tanggal 3 – 7 Juli 1987 aku kembali ke Sungai Ungar, menemui mereka
yang dapat memberikan cerita kembali mengenai keluarga H. Usman
seperti;
a. Walijah dan Abbas untuk disesuaikan/ dicocokkan kembali dengan
cerita terdahulu dari ayahanda Ahmad.
b. Sengari dan Selamat, untuk pihak ibu dari sebelah ayahnya, juga pihak
ibu dari sebelah ibunya.
c. H.M. Yusuf untuk pihak ayah secara menyambung dengan kanda Jais
bin Ahmad (5 Juli 1987) pergi ke Balak/Sei Sebesi menemui M.Tahir/
Pak Anjang Tahir anak dari Saad (adik dari Nek Halimah) dan Khatijah
kakak M.Tahir dari pihak nenek.
5
5. Sebelumnya, tanggal 26 – 30 Desember 1986 telah datang dari Singapura,
yaitu abang H.Arief bin H.Adam dan keluarga dari pihak Datuk sebelah ibu
untuk menghubungi kembali keluarga di Singapura dan Malaysia yang
sudah mulai kabur dan hampir kehilangan jejak oleh beberapa hal, antara
lain; kesibukan dalam studi tugas-tugas kedinasan sehari-hari yang banyak
menyita waktu dan 101 persoalan macam ragamnya.
6
salah satu referensi, rujukan, pengetahuan dan simpanan yang berharga bagi
semua.
Sekedar gayung bersambut kata berjawab untuk mewujudkan hasrat di hati
dan usul saran dari ananda Dr.Muhammad Faisal, M.Ag, ketika dia pulang dari
Padang ke Tanjung Pinang, singgah kerumah Jl. Dt. Laksamana No.16 Gobah,
Pekanbaru pada tanggal 13 Oktober 2018, supaya aku menulis tentang riwayat
hidupku. Dengan rasa berat di usia senja ini, dengan kondisi fisik terutama
tangan yang lemah, digunakanlah tangan kiri untuk menulis. Dengan mohon
Kehadhirat Ilahi Rabbi, dengan Taufiq dan InayahNya, aku dapat
menyelesaikan tulisan ini, dan sampai ke haribaan anak-anak dan cucu saya
sekalian. Pada hari ini, Selasa tanggal 21 Shafar 1440 H bersamaan dengan 30
Oktober 2018, Pukul 16:15 WIB. Riwayat hidup ini berjudul “MENITI BUIH
MENUJU KE PULAU HARAPAN” untuk jilid ke-1 dengan membaca:
Bismillahirrahmanirahim, tulisan ini aku mulai.
Penulis,
H.A.Aziz Ahmad
7
DAFTAR ISI – JILID 1
A. Tempat Kelahiranku……………….………………..………
B. Riwayat Asal-Usul dan Silsilah Datuk H.Usman bin KH.Hasan Khatabi…
C. Riwayat Asal-Usul dan Silsilah Nenek Halimah binti Pasang……………..
D. Kehidupan Awal Datuk H.Usman bin KH.Hasan Khatabi dan Nenek
Halimah binti Pasang di Sungai Ungar……………………………………...
E. Anak Cucu Keturunan Datuk H.Usman bin KH.Hasan Khatabi
dengan Nyai Sa’diah dan Nenek Halimah binti Pasang……………………
F. Kisah Ayah Tentang Datuk H.Usman bin KH.Hasan Khatabi…………….
G. Sekilas Asal-Usul dan Silsilah Keturunan Datuk H.Sulaiman……………..
H. Sekilas Asal-Usul dan Silsilah Keturunan Datuk H.Ikhsan………………..
I. Sungai Ungar………………………………………………….
1. Pemilihan Penghulu Pertama Sungai Ungar……………………………
2. Pendirian Masjid Besar Sungai Ungar…………………………………..
3. Penataan Kepenghuluan Sungai Ungar………………………………..
4. Pendirian Madrasah Khairiyah Islamiyah Sungai Ungar……………..
J. Hubungan Kekeluargaan Antara Datuk H.Usman, Datuk H.Sulaiman
dan Datuk H.Ikhsan……………………………………………………………
K. Mengenang Ayah H.Ahmad bin H.Usman dan Emak Hj.Asmah binti
H.Thayib…………………………………………………………………………
L. Rumah Kami di Grebek Belanda………………………………………….….
M. Silaturrahim ke Singapura………………….…………………………………
N. Mengenang Hari Raya Idul Fitri……………………………..………………..
O. Mengenang Adik Beradik Ayah H.Ahmad bin H.Usman……………………
P. Mengenang Saudara-Saudara Dekat ………………………………………..
Q. Mengenang Jiran/Tetangga Sebelah Menyebelah Ketika di Rumah Lama
8
A. TEMPAT KELAHIRANKU
9
Kata ayah, setelah beliau menikah dengan emakku Asmah, kami masih
tinggal serumah dengan Tok H.Usman dan Nek Halimah, serta kedua adik
ayah, yaitu Abbas (kami memanggilnya pakcik Abbas) dan Ruminah (kami
memanggilnya Mak Usu). Sedangkan adik perempuan ayah bernama Walijah
(kami memanggilnya Mak Ngah) sudah lebih dulu menikah dengan suaminya
bernama Dasuki. Mereka berumah sendiri dan tinggal di Parit Tegak, Sungai
Ungar.
Ayah adalah seorang petani, beliau berkebun kelapa membantu Tok
H.Usman, juga berladang padi, menanam jagung, sayuran dan lain-lain. Dulu,
tanah di tempat kami masih boleh ditanam padi di sela-sela pohon kelapa,
karena air laut belum naik dan juga masih banyak rawa-rawa serta belum ramai
orang lagi. Model padi yang ditanam adalah padi ladang sesuai dengan tanah
yang kami tempati. Tiap-tiap musim, apabila kelapa dan pinang yang ditanam
sudah berbuah dan sudah tua, siap diambil untuk dijual di kedai cina. Kadang
juga ayah bersama Tok H.Usman menjual kelapa muda dan kelapa yang sudah
dicongkel untuk dijadikan kopra. Demikian juga dengan padi dan jagung di
ladang, apabila sudah waktunya panen, sudah menguning siap untuk diambil
dan dijual di kedai cina. Begitulah pekerjaan ayah sehari-hari terus berjalan
sepanjang bulan, berganti tahun, laksana air mengalir. Sehingga kami semua
dalam satu keluarga, satu rumah semua saling membantu, apabila dapat hasil
maka itulah untuk kami makan sama-sama. Beliau juga membantu Tok
H.Usman beternak ayam, itik dan kambing di sekitar rumah. Tenggang waktu
padi, jagung di ladang menguning, kelapa dikebun siap dipetik. Begitulah terus
yang dilakukan ayah sampai pada masanya ayah mampu membeli sebidang
tanah dengan luas lebih kurang 1 hektar di Parit Laut (sekarang Jl. Mataram I),
utk dijadikan kebun kelapa dan pinang sepenuhnya.
Setahun setelah ayah dan emak menikah, emakku melahirkan seorang
anak laki-laki dalam keadaan sehat yang diberi nama Jais sekitar tahun 1930.
Abang Jais adalah abangku yang paling tua. Setelah abang Jais pandai
merangkak, demikian kisah ayah, ayah bekerja lagi membuka lahan baru untuk
kebun dengan cara membagi dua hasilnya dengan pemilik tanah bernama
Abdul Manaf di Parit Laut arah ke Serinanti (Sekarang Jl. Mataram I). Apa yang
dikerjakan ayah adalah menebang kayu, menebas semak belukar dan
menanam kelapa dan pinang untuk dijadikan kebun pak Manaf. Dikarenakan
tempat ayah bekerja jauh dari rumah tempat kami tinggal (sekarang Jl.
Mataram II), maka ayah berinisitif untuk mendirikan pondok di kebun yang ayah
beli untuk tempat tinggal sementara beliau bekerja. Hanya beratapkan rumbia
dan berdindingkan daun nipah. Ayah berpikir demikian karena untuk
menghemat waktu dan tenaga. Ketika itu jarak antara rumah tempat kami
tinggal dan tempat kerja ayah di kebun terasa jauh, hanya jalan setapak, kiri
kanan hanya hutan dan semak belukar, belum ada rumah dan kondisi sangat
gelap apabila malam hari tiba. Ayah pulang pergi kerja hanya jalan kaki saja
sambil menenteng cangkul, parang panjang dan perlengkapan kerja lainnya.
Beberapa hari sekali ayah pulang. Namun pondok yang ayah dirikan di
10
kebunnya dengan tempat kerja ayah tidak jauh. Oleh karena itu, sambil
menjelang pekerjaan membuka lahan kebun selesai, disela-sela waktu ayah
juga menanam kelapa dan pinang dikebunnya. Sehingga apabila waktu
mengait kelapa dan mencongkel pinang tiba serta didapat hasilnya, maka ayah
agak lama pulang ke rumah Parit Laut untuk bercengkrama bersama seisi
keluarga karena masa panen tiba. Demikian juga untuk mempersiapkan
perbekalan pulang ke pondok meneruskan kerja lagi. Itulah diantara usaha dan
kegiatan ayah dalam memenuhi keperluan hidup kami sekeluarga.
Kemudian pada masa berikutnya, Tok H.Usman menikahkan anak
perempuannya yang paling kecil yaitu Ruminah. Sedangkan seisi keluarga
lainnya memanggilnya dengan sebutan Yang (Sayang). Mak Usu Ruminah
menikah dengan seorang pemuda dari Moro bernama Muhammad Yusuf, anak
dari Muhammad Nur asal jawa (Demak). Setelah menikah, mereka juga tinggal
serumah dengan kami bersama Tok H.Usman, Nek Halimah, emak dan abang
Jais. Suami Mak Usu Ruminah berkebun getah (karet) di Parit Gantung.
Setelah Mak Usu Ruminah melahirkan anak pertamanya perempuan yang
diberi nama Jamilah, maka mereka pun pindah ke Parit Gantung agar dekat
dengan kebun tempat kerja Pak Usu Yusuf. Karena mereka pindah ke Parit
Gantung, maka ayah kembali ke rumah Tok H.Usman dan Nek Halimah dari
pondok di kebun, sekalian melihat dan menjaga mereka yang sudah tua.
Sementara itu, kebun kelapa dan pinang sudah sebagian ditanam, tinggal
meneruskan saja lagi.
11
Rumah Tok H.Usman sepi dari tangisan anak kecil setelah Mak Usu
Ruminah pindah ke Parit Gantung mengikut suaminya. Ketika abang Jais
sudah berumur 10 tahun, maka emak dan ayah mengangkat seorang anak laki-
laki berumur tujuh hari, diberi nama Abdul Rahman, waktu itu tahun 1940.
Hanya beberapa bulan sejak ayah dan emak mengangkat abang Rahman, Tok
H.Usman meninggal dunia tahun 1940. Kini ayahlah yang menjadi tulang
punggung keluarga, mengurus harta peninggalan Tok H.Usman atas nama Nek
Halimah, seperti kebun kelapa disamping kebun ayah sendiri.
Zaman pendudukan Jepang adalah zaman serba susah dan sulit dalam
segala segi bidang kehidupan, namun demikian ayah tidak berputus asa.
Sebagai tulang punggung keluarga, ayah terus berusaha bekerja apa saja yang
halal lagi baik dan mendatangkan hasil untuk mencukupi kehidupan keluarga,
seperti; menjadi nelayan dengan menangkap ikan dan menjaring udang;
menjadi pedagang dengan berlayar antar pulau menjual hasil bumi; menjadi
petani dengan membuat gula kelapa, disamping juga tetap berladang padi,
jagung, ubi, keladi, keledek, dan sebagainya. Dengan bermodalkan keyakinan
kepada Allah dan dukungan dari keluarga, ayah yakin semua pasti berhasil.
Di zaman pendudukan Jepang yang serba sulit itulah, pada tahun 1942, aku
dilahirkan. Ayah dan emak memberiku nama Abdul Aziz. Aku dibidani langsung
oleh Nek Halimah dan neneklah yang memotong tali pusatku.
Berawal dari kedua orang tuaku, banyak hal, peristiwa, riwayat, kisah dan
cerita yang akan aku tuturkan sebagai pangkal dari semuanya, baik bersumber
dari diriku sendiri maupun riwayat yang diceritakan oleh ayah, emak, abang,
12
nenek serta saudara dari ayah dan emak lainnya. Merekalah tempatku
mengenal agama, tempatku mengenal alam sekitar, tempatku bermanja,
tempatku bertanya dan belajar tentang siapakah aku, siapakah kita, mengapa
kita ada di Sungai Ungar ini dan semua hal-hal yang menjadi bagian dalam
sejarah hidupku. Aku sangat beruntung memiliki orang tua, nenek dan saudara
yang tak jemu-jemu selalu bercerita, berkisah dan menjawab setiap
pertanyaanku, walau aku tidak bertemu langsung dengan datukku H.Usman bin
KH.Hasan Khatabi, karena Tok H.Usman sudah meninggal dunia sebelum aku
lahir. Dari merekalah semua aku dapat tahu, ternyata datukku, Tok H.Usman
juga rajin bercerita tentang riwayat-riwayat kepada ayahku yang belum tentu
semua orang tahu. Apalagi beliau termasuk orang yang disegani, banyak orang
yang datang dari luar ke kampong kami pasti menemui beliau dulu. Sehingga
boleh dikatakan beliau adalah orang yang sangat tahu mengenai keadaan awal
kampungku. Beliau juga berinisitif untuk membentuk kepenghuluan Sungai
Ungar dengan mengajak dua orang tua lainnya yang disegani ketika itu, yaitu
Tok H. Sulaiman dan Tok H.Ikhsan. Oleh karena itu, kalau bicara tentang desa
Sungai Ungar, maka ada tiga tokoh/Datuk (kami memanggilnya Tok saja) yang
paling berperan, yaitu; Tok Haji Usman, Tok Haji Sulaiman dan Tok Haji Ikhsan.
Maka berpangkal dari merekalah riwayat tentang desaku, kampong halamanku
ini dapat ditelusuri.
Pada kesempatan pertama, aku akan menuliskan riwayat asal-usul dan
silsilah Tok H.Usman dan Nek Halimah, karena ini sangat berhubungan
langsung dengan riwayat kehidupanku dan anak cucunya hingga kini.
Kemudian aku juga menuliskan tentang riwayat ringkas asal-usul Tok
H.Sulaiman dan anak cucunya, serta sekilas riwayat dan asul-usul Tok
H.Ikhsan dan anak cucunya, dilanjutkan tentang ayah dan emakku, lingkungan
kampung halamanku Sungai Ungar dan perjalanan kehidupanku.
Tok H.Usman adalah orang tua kandung ayah. Menurut ayah, sebagaimana
diceritakan oleh Tok H.Usman sendiri kepadanya, nama beliau ketika muda
adalah Hamdi. Ayahnya bernama KH.Hasan Khatabi bin Ki Mintodirono
(Mertodirono/nama Jawa), beliau lahir di Desa Giriloyo, Imogiri, Bantul
Yogyakarta sekitar tahun 1865. Sejak kecil beliau dididik dengan ilmu agama,
belajar Al-Qur’an dan Hadis, mengaji kitab kuning serta ilmu bela diri jasmani
dan rohani langsung dari orang tuanya KH.Hasan Khatabi di Giriloyo Imogiri
Yogyakarta.
KH.Hasan Khatabi (kami dibahasakan dengan Tok Buyut KH.Khatabi),
berdasarkan apa yang dikatakan oleh Tok H.Usman kepada ayah, ketika itu
merupakan tokoh agama di daerah Imogiri Yogyakarta, dan pernah menjadi
salah seorang guru agama untuk kalangan keluarga Kesultanan Yogyakarta.
13
Dari cerita ayah tentang Tok H.Usman dan Tok Buyut KH. Khatabi yang berasal
dari Yogyakarta inilah yang membuatku ingin sekali sekolah disana sekaligus
menelusuri jejak nenek moyangku. Alhamdulillah, setelah aku diterima di PTIAN
Yogyakarta Tahun 1962 (IAIN- sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta),
maka pada tahun 1963 aku sempat ke Imogiri, bertemu langsung dengan
sepupuku Drs.Asroruddin, beliau adalah anak dari kakak kandung Tok
H.Usman. Informasi tentang Asroruddin ini aku dapatkan dari Alifurrahim
sepupuku, anak Mak Ngah Walijah karena beliau sudah berada di Jawa sekitar
tahun 1953. Demikian juga diperkuat oleh Basirun bin Dasuki, abang kandung
Alifurrahim yang juga sering berkunjung ke Jawa. Asroruddin lah yang banyak
memberikan keterangan tentang siapa itu Tok Buyut KH.Hasan Khatabi juga
ayahnya Ki Mentodirono, seorang pegawai istana Kesultanan Yogyakarta
ketika itu. Bahkan aku sempat ziarah pertama kali ke makam beliau, yang
berada di Pesanggrahan Giriloyo (komplek pemakaman) pembesar dan
keluarga istana Ngayogyakarto Hadiningrat di daerah sekitar Imogiri. Untuk
mendekatkan hubungan ini, aku bersama isteri dan semua anak-anakku sudah
bertemu beberapa kali secara langsung ke rumah beliau di Imogiri Yogyakarta,
dan juga berziarah ke makam Tok Buyut KH.Hasan Khatabi.
14
orang-orang tua di Imogiri ketika itu, bahwa KH.Hasan Khatabi itu orangnya
tidak terlalu tinggi, namun berparas/ berwajah Arab, hidungnya mancung,
pandangan matanya tajam, dan sering memakai blankon (semacam menutup
kepala bagi orang Jawa). Dari mana dan siapa sebenarnya KH.Hasan Khatabi
dan Ki Mentodirono, Asroruddin tidak mengetahuinya secara persis, yang jelas
katanya mereka sudah tinggal di Giriloyo Imogiri ini sejak masa Kesultanan
Yogyakarta dan sering mengikuti kegiatan-kegiatan di Kraton/ Istana.
KH.Hasan Khatabi memiliki 6 (enam) orang anak, dua laki-laki dan empat
perempuan. Untuk yang perempuan biasanya di Jawa apabila sudah menikah
dipanggil nama suaminya. Tok H.Usman sendiri adalah anak bungsu dari enam
bersaudara. Untuk gelar KH atau disebut Kyai Haji, biasanya adalah gelar yang
diberikan masyarakat karena mereka tokoh agama yang sudah menunaikan
ibadah haji, mengajar atau memiliki pondok pesantren. Kalau belum
menunaikan ibadah haji biasa disebut dengan Kyai saja. Sedangkan gelar Nyai
adalah gelar yang diberikan masyarakat karena yang bersangkutan adalah
istrinya Kyai Haji. Sedangkan gelar Ki biasanya mereka memiliki keahlian
tertentu yang bekerja ada hubungannya dengan istana Kesultanan. Adapun
gelar Ny maknanya adalah Nyonya atau yang telah menikah.
Namun perlu diketahui bahwa nama-nama yang disebut disini merupakan
hasil dari penuturan awal dari sepupuku Drs.Asrorudin dan beberapa orang
yang tinggal di Imogiri Yogyakarta ketika itu. Setelah aku mendapatkan
beberapa keterangan dari beliau, aku juga menelusuri beberapa nama yang
beliau katakan untuk mendapatkan kebenaran dan lanjutan silsilahnya. Apa
yang aku tulis disini merupakan ringkasan pendek dari silsilah panjang yang
menjadi catatanku tahun 1988 tersebut. Barangkali ada beberapa diantaranya
tersalah sebut atau hanya dikenal nama panggilannya saja atau belum tercatat.
Khusus silsilah Tok H.Usman dimulai dari Tok Buyut KH.Hasan Khatabi. Ini
dilakukan untuk mempermudah urutan symbol dan garis urutan saja, karena
anak cucu Tok H.Usman sudah sangat banyak sampai ke hari ini. Beberapa
symbol aku gunakan untuk mempermudah pemahaman saja, dan berlaku untuk
semua riwayat dan silsilah yang aku tulis di buku ini, seperti :
15
Untuk lebih lengkapnya semua ada dicatatanku tersebut dan masih aku
simpan baik-baik hingga saat ini. Berikut aku jelaskan garis keturunan masing-
masing anak KH.Hasan Khatabi bin Ki Mintodirono/ Ki Mertodirono :
16
ii). Ny. Jamroji
iii). Ny. Waridah
iv). Ny. Darodjah
d. H. Jailani (tingggal di Muar-Johor-Malaysia).
4. Ny. Kromopawiro
Keterangan tentang Ny.Kromoprawiro ini, aku dapatkan dari Arjan ketika
beliau berkunjung ke Tanjungpinang tanggal 17 September 1987. Arjan
adalah cucu dari anak beliau bernama Jumadi. Untuk urutan anak cucu
Ny.Kromopawiro, yaitu;
a. Imam Bakhri
b. Jumadi + Satiah
i). M. Ali + Sariah
aa). Selamat + Sumarni
- Suripto
bb). Saripah + Wan
cc). Suryati + Tugiran Ilham
17
ii). Umar + Rahimah
aa). Miswan
bb). Subari
cc). Saminah + Syawal Bahar
dd). Khaidir
ee). Khairi
iii). Arjan + Simah
aa). Arsin + Raminah
- Nuraini
- Pramapawiro
bb). Aryono
cc). Firahati + Amirman
- Solehan
dd). Yuniar + Suharsono
ee). Dirgahayu
ff). Joyokusumo
iv). Maria + Syafi’i
v). Warinah + Syafi’i
aa). Suwardi
bb). Setiawati
cc). Siti Ruhani
dd). Suryanto
vi). Jaminah + (I) Miswan/Bagong
+ (II) Asmani
c. H. Sholeh + Marsiyem
d. Dalinah + (?/belumdiceritakan)
i). M. Yakob (Giriloyo)
e. Zainah (dikhabarkan berada di Malaysia)
f. Zainab (dikhabarkan berada di Malaysia)
18
ii). KH. Abdul Muhith
iii). Ki Masruri
iv). Ny. Dimyati
v). Ny. Marzuki
vi). Ny. Syifa
vii). Ny. Dalalah Dimyati (istri dari KH. Dimyati di Banten)
Aku bertanya ke Alifurrahim/sepupuku anak dari Mak Ngah
Walijah, beliau ketika tinggal di Jawa tahun 1955, pernah mau
dijodohkan dengan Ny. Dalalah ini. Namun satu dan lain hal,
tidak jadi. Ny.Dalalah ini akhirnya menikah dengan KH. Dimyati
(KH terkenal di daerah Banten).
b. R. Pawiro
c. R. Sorno
d. R. Ahmad
e. Ibu Pandji
f. Ibu Merto
6. Hamdi (H.Usman).
Tok H.Usman adalah anak KH.Hasan Khatabi bin Ki Mintodirono
(Mertodirono) yang bungsu, beliau lahir di Desa Giriloyo, Wikirsari, Imogiri,
Bantul D.I.Yogyakarta. Untuk mendalami pelajaran agama, beliau diantar oleh
ibunya ke Termas Pacitan Jawa Timur untuk mondok. Namun jalur dan garis
19
hidup menentukan lain, manusia berencana, rencana Allah SWT lah yang
berlaku, manusia berjalan menurut rencana Allah, seperti air yang mengalir,
terhenti pada batas yang ditentukan oleh Allah SWT.
Setiap kali diantar ke pondok Termas, tidak lama disana selalu kembali
lagi pulang ke rumah orang tuanya. Agaknya kurang kerasan, pendidikan di
pesantren kandas ditengah jalan. Akhirnya beliau belajar mengaji Al-Quran,
pendidikan agama dan bela diri langsung dari orang tuanya sendiri.
Sebagaimana layaknya dikala itu, pemuda Hamdi oleh kedua orang
tuanya dinikahkan dengan seorang gadis desa Giriloyo bernama Sa’diah.
Dengan izin dari Allah SWT, beliau dapat berangkat untuk menunaikan ibadah
haji ke tanah suci mekah. Dalam perjalanannya menuju ke tanah suci,
sesampainya di Batavia (Jakarta), beliau dapat berita (telepon) dari Yogyakarta,
bahwa istrinya akan melahirkan anaknya yang pertama dan diharapkan beliau
kembali ke Yogyakarta. Niat untuk menunaikan ibadah haji dan panggilan ilahi
ke Baitullah lebih kuat dari pada panggilan istri yang akan melahirkan, maka
panggilan telepon tersebut beliau jawab “saya akan tetap berangkat
menunaikan ibadah haji, sama-sama berdoa agar semua selamat", ”selamat
yang ditinggalkan dan selamat yang pergi. Apabila anak itu lahir namakan saja
Selamat bila laki-laki, bila perempuan terserah kepadanya”. Allah SWT maha
pengasih penyayang kepada hamba yang bermohon kepadanya. Alhamdulillah
anak lahir dalam keadaan selamat demikian pula ibunya, sesuai dengan pesan,
maka anak laki-laki yang lahir itu diberi nama Selamat dan yang menjalankan
ibadah haji juga selamat dengan nama baru H.Usman.
Ayah melanjutkan ceritanya, dari tanah suci, Tok H.Usman tidak
langsung pulang ke tanah Jawa tetapi singgah lagi ke Singapura untuk bekerja.
Beberapa lama pula di Singapura, Tok H.Usman pulang ke Yogyakarta, dan
mengkhabarkan tentang nama barunya kepada ayahnya, ibunya dan
keluarganya yang lain. Kemudian beliau tinggal bersama istri dan anaknya
Selamat di rumah orang tuanya. Selama di Imogiri Yogyakarta inilah Nyai
Sa’diah melahirkan anak kedua dan ketiga laki-laki, yang diberi nama yaitu
Jawadi dan Dawami. Lanjut cerita ayah, Tok H.Usman juga pernah mengikuti
kegiatan-kegiatan di Kesultanan, seperti di prajurit Lombok Abang. Namun
bagaimana bentuk kegiatannya, pesan ayah sebagaimana dikatakan Tok
H.Usman kepadanya, cukup tahu saja.
20
Aku saat melihat defile Pasukan Lombok Abang Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada acara Sekaten tahun 1990
Nenek Halimah adalah emak kandung ayah, beliau adalah isteri kedua dari
Tok H.Usman. Menelusuri riwayat asal-usul dan silsilah Nek Halimah ini, aku
dapat cerita langsung dari ayahku Ahmad bin H.Usman ketika aku sekolah di
S.R (sekolah rakyat: sekarang tingkat sekolah dasar). Semua cerita ayah
tersebut masih ku ingat dan supaya ingatan tersebut tidak hilang, maka telah
kucatat di bukuku tanggal 14 Juli 1987. Untuk memperkuat informasi ini, aku
juga bertanya langsung ke pakcik Abbas dirumahnya (sekarang parit Mataram
II) pada tanggal 18 Oktober 1987 dan aku juga bertanya langsung ke Maznah
(Mak Andak) binti H.Sulaiman dirumahnya (sekarang Parit Mataram I). Apa
yang dikatakan mereka di dengar langsung oleh abang Jais dan Jamari bin
Aliman (anak kandung Mak Andak Maznah), pada tanggal 20 Oktober 1987
(rumah itu sudah tidak ada lagi).
Dikisahkan mereka, bahwa Nek Halimah ini adalah gadis Melayu berdarah
Bugis dari pihak ayah dan berdarah Bintan dari pihak ibu. Ayah dari Nek
Halimah ini bernama Pasang adalah orang Bugis (kami dibahasakan dengan
nama Tok Pasang). Kata Mak Andak Maznah, nama Pasang ini merupakan
21
panggilan dari logat Bugis, sepertinya namanya adalah Faisal/ Paisal/ Paisang
sehingga menjadi Pasang. Diceritakan bahwa pada awalnya pemuda Pasang
ini tinggal di Retih dan merantau ke Pulau Kijang, Indragiri Hilir Tembilahan dan
terus merantau sampai ke Tanjung Batu Kundur. Beliau menemukan jodohnya
dengan gadis Tanjung Batu, tapi tidak diketahui siapa namanya. Dari
perkawinannya ini, mereka mempunyai seorang anak perempuan bernama
Jemah. Dikalangan keluarga dikenal dengan panggilan Tok Unggal, karena
tidak mempunyai saudara kandung (seibu sebapak) lainnya. Nek Halimah
memanggilnya dengan panggilan Abang, walaupun dia sebenarnya
perempuan.
Setelah istri Tok Pasang ini meninggal - Nama nya tidak dijelaskan
kepadaku - Tok Pasang kemudian merantau ke Singapura untuk bekerja dan
menetap disana sampai beristri dengan gadis Singapura bernama Sa’diah
(kami dibahasakan dengan Nek Sa’diah). Menurut pakcik Abbas, dan aku juga
bertanya kepada Mak Andak Maznah (anak-anakku memanggilnya dengan
sebutan Iyut Jenah, anak Tok H.Sulaiman yang suka bercerita dan rajin
silaturrahim, bahkan anakku Faisal ketika kecil dan kalau berkunjung ke Sungai
Ungar, paling suka tidur dengan beliau mendengar cerita-cerita beliau), Nek
Sa’diah ini adalah keluarga orang Bintan yang tinggal di Singapura. Menurut
Mak Andak Maznah, keluarga Nek Sa’diah paling pantang kalau mendekati,
apalagi masuk Kota Tinggi Johor dan makan pisang Raja Udang, katanya ada
sumpah. Namun mereka tak mau banyak cerita tentang ini, apalagi silsilah
keluarganya.
Dari perkawinan antara Tok Pasang dan Nek Sa’diah ini memperoleh 9
anak. Kemudian diceritakan, Tok Pasang dan Nek Sa’diah ini bersama anaknya
pindah dari Singapura ke Alai, depan Tanjung Batu, agaknya Tok Pasang ingat
dengan Jemah anaknya dari perkawinannya yang pertama dan banyak
keluarganya di Alai dan Tanjung Batu. Beliau menetap di Tanjung Batu
bersama istrinya, sampai Tok Pasang meninggal dunia. Setelah Tok Pasang
meninggal dunia, Nek Sa’diah menikah lagi dengan H.Abdullah dan mendapat
seorang anak laki-laki bernama Muhammad, namun meninggal di waktu kecil.
Nek Sa’diah dengan anaknya dari perkawinannya dengan Tok Pasang tinggal
bersama-sama dengan suaminya yang baru H.Abdullah, sampai beliau
meninggal dunia dan dimakamkan di Padang Biram Alai.
Ketika Tok Pasang dan istrinya Nek Sa’diah pindah ke Tanjung Batu dari
Singapura, Nek Halimah dan adiknya Embin tidak ikut serta dan tinggal
bersama Normah (kami dibahasakan dengan panggilan Nek Kecik) istri Tok H.
Sulaiman. Nek Kecik Normah adalah sepupu dari Nek Halimah, karena ibunya
Nek Kecik Normah adalah kakak kandung Nek Sa’diah, jadi mereka bersaudara
kandung. Makanya Mak Andak Maznah banyak tahu, karena Nek Kecik
Normah adalah ibu kandungnya. Jadi Nek Sa’diah adalah emak saudaranya
Mak Andak Maznah. Namun Nek Kecik Normah tak mau cerita siapa nama
emaknya, katanya cukup tahu saja beliau orang Bintan, itu saja. Bahkan Nek
Sa’diah, menurut Mak Andak Maznah juga tak mau cerita siapa nama adik
22
kandungnya, ibu dari Nek Kecik Normah. Dari informasi yang ada ini, maka aku
kesulitan untuk menelusuri lebih jauh keluarga dan silsilah Nek Sa’diah dari
keluarga Bintan ke atas.
Kemudian keluarga Tok H.Sulaiman dan istrinya Nek Kecik Normah beserta
semua anak-anaknya dibawa pindah ke Sungai Ungar dan bertempat tinggal
disana, juga ikut bersamanya Nek Halimah dan adiknya Embin. Ketika itu,
daerah sungai Ungar masih masuk dalam wilayah Alai pulau Ungar. Orang-
orang dulu menyebutnya dengan sungai depan pulau Ungar, karena dilihat dari
laut. Namun Tok H.Sulaiman dan Nek Kecik Normah biasa menyebutnya
dengan Sungai Ungar saja, biar mudah diingat orang katanya. Sekarang posisi
tempat tinggal Tok H.Sulaiman adalah di daerah Parit Laut ketika itu (sekarang:
Parit Mataram I).
Beberapa lama Nek Halimah ikut Nek Kecik Normah di sungai Ungar,
kemudian kembali lagi ke Singapura, ikut kakak sepupunya yang lain,
saudaranya Nek Kecik Normah, yaitu Umi Kalsum istri dari H.Umar (orang
Yogyakarta, juga sepupu dari sebelah ibunya Tok H.Usman). Di Singapura
inilah Nek Halimah dijodohkan dan dinikahkan dengan seorang pemuda
keturunan India, namun Nek Halimah tidak menerima perjodohan ini dan
akhirnya pernikahan diakhiri dengan perceraian tidak berapa lama, namun
belum bercampur.
Setelah cerai dari suaminya yang pertama pemuda keturunan India - namun
tidak disebutkan siapa namanya – Nek Halimah kemudian menikah lagi dengan
Tok H.Usman di Singapura yang dikenalkan oleh H.Umar. Setelah menikah
dengan Tok H.Usman, maka merekapun tetap tinggal di Singapura untuk
beberapa waktu lamanya.
Berikut aku jelaskan garis keturunan masing-masing anak Tok Pasang, baik
dari isteri pertamanya (orang Tanjung Batu) maupun dengan isteri keduanya
(Nek Sa’diah) Apa yang aku tulis disini merupakan ringkasan pendek dari
silsilah panjang yang menjadi catatanku tahun 1988 tersebut. Barangkali ada
beberapa diantaranya tersalah sebut atau hanya dikenal nama panggilannya
saja atau belum tercatat :
23
Tok Pasang + (II/Nek Sa’diah/Singapura/asal dari Bintan)
1. Halimah/Nek Halimah + H.Usman/Tok H.Usman)
Untuk anak cucu Nek Halimah masuk ke silsilah Tok H.Usman
2. Aminah + Gompol (orang Belat)
a. Hasmah + Balil (orang Lebuh)
b. Syahren
c. M. Syah
d. Umar/Pak Hitam Keling + Jemah
3. M. Saad + (I/Musana/orang Belat)
a. M. Ali
b. Fatemah + Sanip (orang Lebuh)
c. Bakhri/ Pak Hitam Tong + (I. Tasmih/ Mak Nilam
(II. Lipan/ orang Alai)
M. Saad + )II/Cenana/ Janda Selamat bin Tok H.Usman
a. Mera + (I/R.Tijah)
II/Zaurah)
b. Hatijah + Abdul Samad
c. Juned + (I/Sariah binti Sulaiman)
(II/Yang Lempah)
(III/Maimunah)
g. M. Tahir + (Timah binti Andut)
i. Abdul Rasyid + Syamsinar
ii. Adam + Rafi’ah (orang Guntung)
iii. Syamsuddin + Ruhani (orang Daik)
iv. Samsuri + Rusminah
II. M. Tahir + Mariamah
h. Dare + Ahmad
i. Muar + M. Taha
j. Sapiah + (?/orang Alai)
4. Emben (menurut khabar di Bengkalis)
5. Garib
6. Syarif
7. Maznah
Berikut aku jelaskan garis keturunan silsilah Nek Halimah dari garis ibunya
yang menurut Mak Andak Maznah adalah dari garis keluarga Bintan. Apa yang
aku tulis disini merupakan ringkasan pendek dari silsilah panjang yang menjadi
catatanku tahun 1988 tersebut. Barangkali ada beberapa diantaranya tersalah
sebut atau hanya dikenal nama panggilannya saja atau belum tercatat :
24
Keluarga Bintan di Singapura
25
namun tidak diceritakan dirumah siapa mereka datang menumpang pertama
kali.
Di Teluk Radang, Nek Halimah melahirkan seorang anak perempuan yang
diberi nama Walijah, dikalangan keluarga dipanggil Mak Ngah. Sedangkan Tok
H.Usman dan Nek Halimah memanggilnya dengan sebutan “Kepeh”, karena
bayi Walijah lahir masih dalam keadaan terbungkus dan dililit oleh ari-ari.
Persalinannya dibantu oleh bidan kampung ketika itu (tidak disebutkan
namanya). Bayi Walijah yang masih terbungkus dan dililit ari-ari tadi,
dikeluarkan oleh Tok H.Usman. Bekas bayi yang terbungkus tadi selanjutnya
diambil Tok H.Usman dan disarungkan pada sebuah kelapa. Kemudian kelapa
yang terbungkus tersebut itu akhirnya tumbuh dan bertunas.
Ketika berada di Teluk Radang ini, datanglah dari Jawa (Yogyakarta) melalui
Singapura, anak H.Usman yang bernama Selamat dari istrinya pertama Nyai
Sa’diah, ketika itu usia Selamat sudah mencapai 15 tahun. Menetapnya Tok
H.Usman dan Nek Halimah di Teluk Radang ini jauh dari kaum kerabat dan
sanak family di Tanjung Batu dan sungai Ungar walaupun tinggal satu pulau
yaitu pulau Kundur. Di lain sisi, mereka melihat keadaan tanah di Teluk Radang
ketika itu sulit untuk dikembangkan sebagai tanah perkebunan atau pertanian.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke sungai Ungar. Mereka
berangkat disertai tiga orang anak yaitu, Selamat, Ahmad dan Walijah yang
baru berumur 8 bulan. Menurut pakcik Abbas, diperkirakan mereka pindah dari
Teluk Radang ke sungai Ungar tahun 1912.
Di sungai Ungar, Tok H.Usman dan keluarga menumpang sementara di
rumah Tok H.Sulaiman yang juga adalah keponakannya sendiri. Ketika itu
belum ada nama tempat, hanya disebut orang sebagai sungai Ungar saja,
sebagaimana dikatakan oleh Tok H.Sulaiman dan Nek Kecik Normah. Ini terjadi
karena ketika itu sungai Ungar belum ada lagi kampung di darat, belum ada
rumah lain selain keluarga Tok H.Sulaiman dan hanya ada satu dua rumah cina
dipinggir laut yang sekaligus dibuat sebagai kedai dan pelabuhan untuk tempat
nelayan menjual hasil tangkapan ikan dan singgah kapal. Jalan hanya setapak-
setapak saja, kiri kanan masih hutan, semak belukar, rawa-rawa, banyak pohon
nipah dan pohon bakau.
Sementara tinggal di rumah Tok H.Sulaiman, Tok H.Usman berupaya
mendirikan rumah pondok sendiri. Untuk mendirikan rumah ini entah berapa
kali Tok H.Usman tinggal disana untuk tirakatan, sholat sunat dan berdoa
kepada Allah SWT untuk keselamatan keluarga, penduduk serta kesuburan
tanah Sungai Ungar yang akan beliau tempati sehingga mendatangkan
keberkahan jiwa dan raga bagi anak cucu semua di kemudian hari. Rumah
pondok ini (rumah panggung kecil), kami menyebutnya rumah lama (posisi
sekarang di Jl.Parit Mataram II, depan rumah sdr. Senen/ sebelum pindah ke
rumah permanen sekarang) mulai digarap semak belukar untuk dijadikan
perkebunan kelapa. Setelah rumah pondok itu selesai, maka Tok H.Usman
sekeluarga pun pindah dari rumah Tok H.Sulaiman ke rumah yang baru
didirikannya. Kelapa yang dibungkus dengan ari-ari bayi Mak Ngah Walijah
26
yang dibawa dari Teluk Radang sudah tumbuh dengan baik sekali, lalu ditanam
Tok H. Usman disamping rumah pondok tadi.
Tok H.Usman dibantu oleh anaknya Selamat bekerja dengan giat, menanam
padi dan palawija disekitar rumah sambil terus menebas semak belukar
disamping rumah untuk dibuat kebun. Supaya air dari kebun tidak kering dan
tidak banjir oleh air hujan, juga untuk menjadi batas dengan sempadan, maka
Tok H.Usman dan dibantu oleh anaknya Selamat, membuat parit yang
tujuannya untuk aliran air menuju laut. Maka mulai saat itu, Tok H.Usman
menyebutnya dengan Parit Laut. Dengan adanya penyebutan ini, maka tempat
rumah kami tinggal disebut dengan Parit Laut.
Selanjutnya oleh Tok H.Usman dan anaknya Selamat, kebun yang sudah
ditebas tersebut ditanami dengan kelapa, disamping itu mereka berdua juga
mengumpulkan kayu dari hutan untuk persiapan membangun rumah.
Tok H.Usman sehari-hari bekerja di kebun menanam kelapa, bertani
menanam padi di ladang, menaman pisang, ubi serta sayur-mayur. Disamping
itu juga beliau berternak kambing dan ayam, sebagaimana hidup orang
dikampung. Tok H.Usman bersama anaknya Ahmad (ayahku) yang sudah
mulai dewasa meneruskan pekerjaan dengan menambah luaskan kebun,
seperti mambabat/menebas semak belukar yang bersempadan dengan kebun
yang ada. Setelah dibersihkan dengan cara membakar, lalu ditanami kelapa,
sementara kelapa belum tinggi (besar) ditanami padi dan palawija lainnya.
Karena daerah ini kondisinya tanah liat bukan tanah gambut atau tanah rawa,
jadi sangat subur sekali untuk bercocok tanam. Sedangkan hasil yang didapat
Tok H.Usman dan ayah kadang dijual di kedai cina dekat pelabuhan pinggir laut
Sungai Ungar, kadang beliau membawa sendiri hasil panen dengan berdayung
sampan/ menumpang perahu untuk dijual ke Singapura. Sehingga banyaklah
pedagang dari Tanjungbatu dan daerah terdekat dengan sampan atau perahu
singgah di pelabuhan tepi laut sungai Ungar untuk mengambil hasil panen dan
saling tukar menukar informasi tentang Sungai Ungar.
Informasi tentang baiknya tanah di Sungai Ungar untuk perkebunan dan
pertanian membuat ramai orang datang dan menetap disini. Ada yang berasal
27
dari Jawa, seperti; Kudus, Demak, Kendal, Pacitan, Banyumas, Boyan,
Salatiga, Yogyakarta, Semarang, dan lain-lain. Juga ada dari Muar, Johor,
Pontian, Batu Pahat, Klang (Malaysia) atau dari Singapura sendiri. Semua rata-
rata adalah bekerja sebagai petani. Namun dari ramainya orang yang datang,
menurut ayah, semua berjumpa Tok H.Usman dulu untuk minta tunjuk ajar dan
wejangan tinggal didaerah mana di Sungai Ungar ini. Maklumlah ketika itu
hanya ada hutan dan semak belukar saja, khawatir pulak masuk keluar hutan
ada apa-apanya. Semakin lama penduduk Sungai Ungar makin bertambah
ramai, ada yang datang, ada yang keluar, pindah ke daerah lain, kebun dan
rumah dijual kepada pendatang baru. Demikianlah keadaannya kampung baru
ini.
Disamping itu tanaman kelapa tumbuh subur, begitu pula tanaman lainnya,
seperti padi ladang, atau palawija. Penduduk makmur cukup sandang pangan,
walaupun jauh dari keramaian kota seperti Singapura dan Batavia ketika itu.
Singapura adalah kota terdekat dan ramai untuk berdagang karena harga yang
didapat dari hasil penjualan hasil pertanian disana lebih tinggi dari daerah lain.
Sedangkan Pulau Penyengat adalah Kota Kerajaan Riau ketika itu yang tidak
semua orang boleh masuk sembarangan, disamping itu kondisinya sedang
dilanda kecamuk akibat perlawanan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Tanjung Pinang ketika itu adalah kota dagang dan menjadi pusat pemerintahan
kolonial Belanda setingkat Residen. Penjualan hasil pertanian dan lainnya, dari
segi harga lebih bagus dan lebih mahal di Singapura, makanya kebanyakan
penduduk berdagang kesana. Hal itu juga yang dilakukan Tok. H.Usman dan
anaknya Ahmad (ayahku).
Setelah Tok H.Usman, Nek Halimah dan semua pindah di Parit Laut, maka
datanglah anak-anak Tok H.Usman dari Jawa (Yogyakarta) dari isteri
pertamanya Nyai Sa’diah yaitu Dawami dan Jawadi untuk menyusul.
Sebelumnya, anak Tok H.Usman dari Jawa yaitu Selamat sudah lebih dulu
datang. Mereka berkumpul serumah bersama anak-anak Tok H.Usman dari istri
keduanya, yaitu Ahmad dan Walijah. Selamat setelah beristri dengan Cenana
pindah rumah ke Balak Sungai Sebesi. Sedangkan Jawadi tinggal bersama
sepupunya H.Saleh, dan Dawami kemudian pindah ke Moro dan merantau ke
Singapura.
Dirumah Parit Laut ini, Nek Halimah melahirkan anak perempuan yang
diberi nama Kamsinah, namun umurnya tidak panjang, meninggal waktu bayi.
Setahun kemudian Nek Halimah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi
nama Abbas. Jadi pakcik Abbas ini adalah anak pertama yang lahir dan hidup
di parit laut. Seterusnya Nek Halimah melahirkan seorang anak perempuan
yang diberi nama Ruminah. Ada satu lagi anak Tok H.Usman yang lahir disini
yaitu seorang lagi laki-laki bernama Rusdi, namun umurnya tidak panjang dan
meninggal waktu berumur dua bulan.
Nek Halimah disamping dikenal sebagai bidan kampung, juga pandai
merawat orang melahirkan, pandai mengandam pengantin dan ahli dalam
masak-memasak, terutama lauk pauk, baik masakan Melayu, seperti; asam
28
pedas, gulai ikan, sotong masak hitam, ayam kaliye, pacri nanas, nasi minyak
dan lain-lain. Nek Halimah juga pandai masak masakan orang Keling/ India,
seperti: kari, kormak, bestik maupun dalca. Pokoknya pada masa itu, tak ada
duanya kalau bicara soal ngandam dan masak-memasak, Nek Halimah lah
orangnya. Maka itu, beliau sangat sering diundang keluar desa kalau ada
perhelatan acara nikah kawin, Nek Halimah lah pasti yang ngandam dan masak
tu, demikian cerita ayah kepadaku.
Soal jahit menjahit Nek Halimah sangat terampil, sangat rapi dan halus.
Pada masa itu kami belum mampu membeli mesin jahit. Begitu pula menyulam,
tekat-menekat atau membordir. Selain itu Nek Halimah juga beliau terampil
menganyam tikar dan membuat tudung saji dari daun pandan atau mengkuang.
Permaidani, karet atau tikar getah seperti sekarang ini belum lagi dijumpai pada
masa itu. Bahkan tikar dan tudung saji yang dibuatnya ada saja yang
memesannya untuk dibeli. Keterampilan anyam-menganyam ini beliau ajarkan
kepada kedua anak perempuannya yaitu Walijah (Mak Ngah) dan Ruminah
(Mak Usu), juga kepada menantunya Asmah (emakku). Untuk ilmu persalinan/
kebidanan dan ngandam pengantin, Nek Halimah mengajarkannya kepada
anaknya Walijah dan Ruminah, namun hanya Walijah yang meneruskan.
Sedangkan keterampilan masak-memasak Nek Halimah mengajarkan secara
khusus kepada anaknya Ruminah dan menantunya Asmah.
Usia Tok. H.Usman semakin senja, penuh dengan pengalaman pahit, getir,
suka dukanya hidup silih berganti dirasakan. Jauh rantau yang dilalui, luas
samudera yang diarungi meninggalkan tanah kelahirannya di Giriloyo Imogiri
Yogyakarta sejak 1890an. Beliau bekerja, berumah tangga, bertempat tinggal
dan membangun kampung sampai akhir hayatnya di tanah Melayu, Parit Laut
(Parit Mataram II) Sungai Ungar, Kundur. Beliau menutup matanya terakhir
pada tahun 1940 dalam usia sekitar 75 tahun, dan dikebumikan di perkuburan
tembok, Tanjung Batu, Kundur.
Hidup manusia sebagai air yang mengalir, suatu ketika akan terhenti, bak
kata bidal berlayar sampai kepulau, berjalan sampai ke batas ajal dan maut
akan datang bila masa saja, semuanya ini dalam ilmu Allah SWT, tiada suatu
makhlukpun yang tahu bila dia akan dijemput ajalnya. Demikianlah, akhirnya
Nek Halimah yang sangat kami sayangi, meninggal dunia pada tahun 1952
diusianya yang senja dalam keadaan tenang dihadapan keempat putra-putri
dirumahnya sendiri, demikian cerita ayah kepada saya.
Kabar meninggalnya Nek Halimah, disampaikan kepadaku ketika aku dan
murid-murid lain sedang berbaris untuk masuk ke kelas masing-masing pada
pagi hari. Aku diantar pulang dari sekolah ke rumah berboncengan sepeda
dengan Hartono (Kemat) murid kelas VI, ketika itu dikelas II tahun 1952. Seperti
lazimnya, jenazah Nek Halimah disempurnakan fardhu kifayahnya, mulai dari
dimandikan, dikafani, disholati di rumah kami lalu di bawa ke Tanjung Batu
untuk dikebumikan disamping makam suaminya Tok H.Usman di pemakaman
tembok Tanjung Batu, Kundur.
29
Ketika jenazah Nek Halimah dimasukkan ke liang lahat, aku berdiri tegak
disamping makamnya, melihat sampai selesai dikebumikan dan ditancapkan
dua buah nisan, sebuah di ujung kepala dan sebuah lagi diujung kaki, inilah
akhirnya sebuah kehidupan. Dalam Surah Al-Ankabut Ayat 57 Allah SWT
berfirman “Kullu Nafsin Dzaiqatul Maut Tsumma Ilainaa Turja’uun”. Dalam surat
Thaha Ayat 55 Allah berfirman “Minhaa Khalaqnaakum Wa Fiihaa Nu’iidukum
Wa Minhaa Nukhirijukum Taaratan Ukhraa”, Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’uun.
Setelah membaca doa (talqin) oleh pak imam, kami pun berangsur pulang
meninggalkan lokasi pemakaman ke rumah masing-masing. Pada malam
harinya diadakan pembacaan yasin dan tahlillan. Pada hari berikutnya selalu
saja ada tamu datang dari dekat dan jauh untuk berta’ziah ke rumah kami
karena mendengar kabar Nek Halimah meninggal dunia.
30
Dari perkawinan antara Tok H.Usman dengan Nyai Sa’diah, mereka
dikaruniakan tiga orang anak, yaitu; Selamat, Jawadi dan Dawami. Berikut aku
jelaskan garis keturunan silsilah Tok H.Usman dengan Nyai Sa’diah. Barangkali
ada beberapa diantaranya tersalah sebut atau hanya dikenal nama
panggilannya saja atau belum tercatat :
31
Dari perkawinan antara Tok H.Usman dengan Nek Halimah, mereka
dikaruniakan 7 orang anak, namun 3 orang meninggal dunia ketika masih bayi
dan 4 orang yang hidup melanjutkan keturunan sampai hari ini. Berikut aku
jelaskan garis keturunan silsilah Tok H.Usman dengan Nek Halimah. Barangkali
ada beberapa diantaranya tersalah sebut, atau hanya dikenal nama
panggilannya saja, atau belum tercatat :
32
ee). Sri Hidayati + Muhammad Fauzan Riad
- Muhammad Arif Fadillah
- Zahratus Suryani
- Siti Aisyah
- Abdul Rafiq Andafa
- Ahmad Azzamy Fauzan.
ff). Abdul Khalid + Vonna Azhari
- Abdul Fatah Anshari
c. Walijah + Dasuki
i. Zainab + (I/Husin bin M.Nur)
aa). Watinah + Tugiman bin Rebo
- Harwiyono + Ningsih
- Nur Harisdawati + M.Rasyid
- Samirahayu
- Maulina Utami
- Tumiraf
- Misrahayu
- Saptawati
Zainab + (II/Sulikan bin H. Ridwan)
aa). Sujanah + Suripto bin Asngari
- Sri Hendrayanti + Agusman
- Suhendra Surya Eddy/Eed + Sri Murdihaningsih
- Ria Rosanti + Erizonal
- Netty Herawati + H.Ikhsan
- M. Abduh Kusumo Wibowo
- Leni Marlina Wulan Sari.
bb). Roslaini + Amat bin Warsidi
- Sherly
cc). Herzanto + Saliah
- Dewo
dd). Hj.Ernaini + Huzrin Hood
- Nelly + Doli Boniara
- Reni Juniwa + Surya
- Muhammad Muniruzzaman
- Halimatus Sa’diah
ee). Erliana/Mong + M.Nur Syamsi
- Bambang Setiawan
- Niky Nurlianti
- Desi Nurdianti.
ff). Erminarsih/Nya + M. Tahir
- Nina
- Dina
- Dia
33
gg). Ermalia/Li + M. Rasyidin/Acep
- Tia
- M. Afel
- M. Fakhril
hh). Ermalinda/Wak + Zainal
- Panji Permana
- Ardila Puja Ningrum
- Delfia Ningrum
ii. Johar (#meninggal waktu kecil)
iii. Basirun + Supini
aa). DirgahayuNur + Mujarab bin Mustafa
- Munandar
- Munawir
- Munirsyah Alam
bb). Joko Yugoputro + Alawiyah
- Teguh Prima Alco
- Suci Adlin Ayu
cc). Nanang Joyosaputro + Erni Yusnita
- Romario
dd). Netiwidarti/Wiwik + Budhy Iryawan
- Laras W. Lestari
- Rahmi Windi Astari
ee). Wijoyokusumo + Marsuti
ff). Yayuk Sri Rahayu + Martin Lesmana
- Rahma Nurfahanum
iv. Alifurrahim + Jamaliah binti Jumadi
aa). Uswatun Hasanah + Said Farwis
- Syarifah Ulfana Ulfa
- Said Fahrizansyah
bb). Aljamhuriyah/An + Suhartono
- Siti Hanggiarti
- Muhammad Ardiansyah
cc). Isfahani/Ani + Muhammad Affan
- Afni Firdanti
- Muhammad Akmal Fatoni
dd). Untung Santoso (# )
ee). Untung Sartono/Uno
v. Fatimah + Yem bin Kusno
aa). Subandrio (#)
bb). Sukartini + Hakim
- Ica Indika Ratih
- Yundika Pradina
- Aldo Septama Putra
cc). Susilawati/Upik + Ruslan
34
- Rio Riansah
- Rendra Setiawan
- Selviani Resi Lestari
- Nidi Oktaviana
dd). Suhajar Diantoro + Nani Nofiar
- Muhammad Septian Putra Perdana
- Dwi Febranadian Putra
- Tri Diana Putri
- Muhammad Aufa Fansantara
- Muhammad Insan Annafis
ee). Sri Sutiana/Ana + Abu yazid Busthami
- Martina Fernandi
- Novita Indriani
ff). Suwandiwarno/Atan + Lisnawati
- Nanda Oktareza
- Aulia Safitri
gg). Sukmawidarti/Wiwik + Zainal
- Rakesa Cahyo Winalda Putra
- Wina Rahmatanti
hh). Basrah Handayani/Yani + Safarudin
- Reisa Odisti Salsabila
ii). Aries Fhariandi + Risma Rini
d. Kamsinah (#meninggal masih bayi)
e. Abbas + Zaleha
Beliau tidak mempunyai anak kandung, namun memiliki dua anak
yang didik dari anak abang Rahman, yaitu; Rosita dan Husin
f. Ruminah+ HM. Yusuf bin M. Nur
i. Jamilah + M. Yusuf
aa). (#)
bb). (##)
cc). (###)
dd). Isniawati + A.Kahar
ee). Hafzuzamri/Ogong + .?/
- Irma Suryani
- Nurul Fadhilah
ff). Erlina/Ina+ M. Yusuf
- Tukijal Salfi
- Muhammad Izhar Safawi
gg). Adlisirwan/Apok
hh). Alzumirzan/Akek + Rita Sahara
- Nurul Asyikin
ii). (####)
jj). Muhammad Farida Syahdu/Lepi + Yusnani
- Afrida Gita Wardana
35
- Muhammad Ilham Arfandu
kk). Rafiwajmal
ll). Ispawandi
mm). Izanhalili/Ican
36
F. KISAH AYAH TENTANG DATUK H.USMAN BIN KH.HASAN KHATABI
Aku suka bertanya kepada ayah perihal Tok. H.Usman. Maklumlah aku tidak
ketemu beliau karena beliau sudah meningggal sebelum aku lahir. Aku
bertanya sebab banyak orang kampong yang masih saja menyebut namanya
karena beliau termasuk tetua (orang yang dihormati dan disegani) di kampong
kami. Ketika aku berumur 10 tahun dan sedang duduk-duduk bersama ayah di
bangsal rumah, kembali aku bertanya tentang Tok H.Usman. Kemudian ayah
bercerita kepadaku, bahwa Tok. H.Usman memiliki ilmu kanuragaan (bela diri
tenaga dalam) untuk membentengi diri dari maksud jahat seseorang atau dari
ilmu sihir seseorang dan sejenisnya.
Ayah menceritakan, pada suatu malam rumah kami mendapat serangan
kiriman tuju-tuju (santet) dari luar (seseorang) dengan berupa lemparan bunyi
yang keras. Karena rumah hanya beratap dari daun meria (daun pohon sagu),
maka barang yang dikirim langsung bobol/tembus jatuh ke lantai tengah rumah.
Barang itu berupa sesuatu benda, sejurus kemudian, lesap menghilang.
Beberapa hari berikutnya datang lagi serangan/kiriman, dan juga setelah jatuh
dilantai rumah kemudian lesap menghilang. Pada kiriman ketiga selang tak
berapa lama juga jatuh ditempat yang sama, tetapi benda itu tidak menghilang
tetap ditempat. Oleh Tok H.Usman disuruhnya ayah menutup benda tersebut
dengan mangkuk cuci tangan, kemudian Tok H.Usman berdoa. Mangkuk cuci
tangan yang menutupi benda itu, disuruh oleh Tok H.Usman agar ayah
membukanya. Setelah mangkuk itu terbuka, benda yang tertutupi itu berubah
menjadi air. Kata Tok H.Usman, ”….inilah permainan sihir dari orang yang
musyrik……ini harus dilawan dan wajib diberantas..…tidak suai dengan
zamannya….”.
Dengan adanya gangguan itu Tok H.Usman tak tinggal diam. Keesokan
harinya beliau menyuruh ayah mencari ikan kekek (ikan bojoloro-bahasa Jawa)
ke pelabuhan laut sungai Ungar, disitu ada orang cina menjemur ikan hasil
tangkapan dari togok, berupa udang, lome dan ikan-ikan kecil lainnya seperti
bilis/teri, gonjing juga ikan kekek. Setelah didapat apa yang dicari, maka ayah
segera membawa pulang dan langsung memberikannya kepada Tok H. Usman.
Kemudian beliau menyuruh ayah lagi mencari sebuah kelapa muda yang jatuh
dilubangi tupai dan masih ada sisa air didalamnya. Kelapa ini pun mudah
didapat, karena kebun kelapa ada disekitar rumah. Setelah ramuan yang
diperlukan terkumpul semuanya, maka Tok H.Usman, kata ayah, sesudah
selesai shalat maghrib, turun ke bawah rumah (karena kami berumah
panggung) berdiri tegak dihalaman, kelapa yang didalamnya berisi ramuan
diantaranya seekor ikan kekek, beliau letakkan diatas tangan kiri dan tangan
kanannya diangkat sambil menunjuk ke sasaran yang dituju, mulut beliau
bergerak-gerak merapal do’a, lalu beliau menghembus/meniup kelapa yang
ada ditelapak tangannya, seketika pula kelapa itu melejit bagaikan meteor
berekor api, terbang menuju sasaran, sejenak kemudian hilang dari pandangan
37
mata. Setelah selesai semua, Tok H.Usman segera berwudhu dan naik ke
rumah untuk sholat sunat.
Pagi-pagi sekali selepas subuh, datang ke rumah kami seorang tamu. Tamu
ini sudah lama dikenal dan tak asing lagi bagi Tok H.Usman, lalu dipersilahkan
oleh beliau naik kerumah. Setelah duduk, Tok H. Usman bertanya, “…… ada
hajat dan keperluan apa datang pagi-pagi begini ketemu saya….?. Tok
H.Usman sebenarnya sudah tahu tujuan kedatangan tamu ini (namanya tidak
aku sebut dalam tulisan ini, cukup dalam ingatan saja, sebagaimana pesan
ayah kepadaku). Tanpa bicara dia langsung sungkem/ duduk bersimpuh sujud
mencium lutut Tok H.Usman yang duduk bersila seraya mengucapkan mohon
ampun dan maaf atas apa yang dia buat kepada Tok.H.Usman dan keluarga
dan berjanji tak akan melakukannya lagi. Tok H. Usman dengan tersenyum
kemudian mengatakan sudah memaafkannya semenjak dia melangkahkan kaki
ke rumah kami sebelum matahari terbit, karena kalau setelah terbit hanya
Allahlah yang tahu. Tamu tersebut terkejut, pucat pasi dan gemetar. Setelah
dinasehati Tok H.Usman, maka tak lama kemudian tamu tadi pamitan untuk
pulang.
Ayah kemudian melanjutkan ceritanya kepadaku, pada suatu hari ketika
ayah berusia remaja, Tok H.Usman memperlihatkan kepada ayah bagaimana
cara menunggang dan memacu kuda. Karena di kampong kami tak ada kuda,
maka Tok H.Usman membawa seekor kambing bandot (kambing jantan) di
kandang yang beliau pelihara. Beliau mengatakan coba lihat ini. Dilihat ayah,
mulai Tok H.Usman menunggang kambing sambil memegang bulu kuduk
kambing yang lebat dan kaki Tok H.Usman keduanya mengapit perut kambing,
sejurus kemudian terdengar bunyi punggung kambing dipukul beliau dengan
tangan, dan terdengar suara “…husy...” dari mulut beliau. Maka kambing itu
melejit lari dengan kencangnya seperti larinya kuda yang sedang dipacu,
sedangkan Tok H.Usman berada diatas punggung kambing itu. Kambing
tersebut lari melalui jalan ke arah jembatan/titian yang ada diatas parit besar
yang digali/dibuat beliau, lebih kurang 100 meter dari halaman depan rumah,
kemudian kembali lagi ketempat semula di tempat ayah berdiri. Setelah turun
dari atas punggung kambing, Tok H.Usman mengatakan “….yang engkau
tengok tu aku yang menunggang kambing ya…, tapi sebenarnya aku yang
bawa itu kambing berlari…..”. Mendengar perkataan Tok H.Usman, ayah hanya
tersengeh saja (senyum-senyum) sambil garuk-garuk kepala.
Pada kesempatan lain, ketika aku di meja makan bersama ayah, kembali
aku bertanya ke beliau tentang Tok H.Usman. Ayah kemudian bercerita
kepadaku, Tok H.Usman sangat lihai bermain sundang
(pedang/samurai/kelewang/parang panjang). Sundang dibuat Tok H. Usman
dari pelepah kelapa yang dibuat mirip pedang. Lalu Tok H. Usman membuka
langkah memulai silat dengan beberapa jurus sambil memainkan pedang dari
pelapah pisang kelapa tadi, memutar, menusuk, menangkis, memancung
sambil melompat, seketika itu sambil membabat pohon pisang yang tegak
tumbuh dengan suburnya dengan tiga kali babat dari bawah keatas, pohon
38
pisang itu tidak roboh/tumbang dan sejurus kemudian beliau menghentikan
silatnya. Kemudian dengan ujung pedang dari pelepah kelapa itu, didorong
beliau pohon pisang yang masih berdiri tegak satu persatu dari atas kebawah,
pohon pisang itu rebah tombang menjadi dua potong.
Pada kesempatan lain, ketika aku sedang bermain di halaman dan melihat
ayah sedang membersihkan halaman, kembali aku bertanya ke ayah tentang
Tok H.Usman. Sambil duduk ayah berkisah, dulu kebiasaan warga kampung
bila akan memasuki bulan ramadhan selalu bergotong royong membersihkan
jalan kampung, halaman sekitar mesjid terutama tanah perkuburan. Tok
H.Usman dan ayah juga turut bergotong royong bersama warga kampung.
Kembali ayah berkisah kepadaku. Ketika itu, ada seorang asal Jawa,
menunjukkan kebolehannya dapat mencabut sebatang pohon pinang setinggi
orang dewasa berdiri. Lalu dia sesumbar dengan menantang dan mengatakan
siapa diantara orang kampung yang ada ini bisa mencabut seperti dia, maka
dia akan mengakui kehebatannya. Mendengar tantangannya, Tok. H.Usman
langsung bersuara dengan mengatakan, “…untuk apa pokok pinang dicabut,
kan sayang itu ada hasil untuk makan…, ngape tak cabut pokok kecik ni kan
bagus….karena kalau pokok kecik ni besar, nanti buat semak jalan, payah
orang lewat…” Tok H.Usman pun menunjuk sebatang pokok senduduk kecil
tinggi sejengkal dari tanah. Mendengar perkataan Tok H.Usman, ketawalah
orang kampong. Ini membuat orang yang nantang tadi makin panas. Lalu
dengan geram dan tanpa pikir panjang, lalu dicabutnya pokok senduduk itu
dengan tangan satu. Orang kampong hanya ketawa saja. Tapi apa gerangan
pokok senduduk itu tak tercabut. Lalu dipegangnya dengan kedua tangannya,
juga tak tercabut pokok senduduk itu. Bahkan pokok senduduk itu ditendang-
tendang dan sebagainya tak juga tercabut. Akhirnya orang tersebut hanya
duduk saja di pokok senduduk itu sambil tarik napas. Melihat dia mulai penat
dan khawatir menjadi olok-olok orang kampong, maka segera Tok. H. Usman
berdiri lalu berseru kepada orang kampong, “… yok lah kita teruskan gotong
royong …hari pun dah mulai petang ni…”. Sambil berjalan, dengan tangan kiri
Tok H. Usman mencabut pokok senduduk itu lalu dilemparnya ke timbunan
sampah untuk dibakar tanpa melihat ke orang tadi. Melihat apa yang dibuat Tok
H.Usman, maka sejurus kemudian orang tersebut mengejar Tok H. Usman dan
minta maaf. Tok H.Usman hanya tersenyum dengan mengatakan, “…diatas
langit masih ada langit loh mas… sampeyan jangan takabur…”.
Pada kesempatan lain, ayah bercerita kepadaku. Pada suatu hari Tok
H.Usman kedatangan tamu seorang dari Jawa ingin menjual barang
kepadanya, barang itu adalah keris yang indah bentuknya dan satu lagi sebuah
payung kuning. Kata ayah, kejadian itu ketika abang Jais berumur sekitar 1
tahun (kalau dihitung dari kelahiran abang Jais tahun 1930, maka kejadian itu
sekitar tahun 1931). Setelah dilihat dan diteliti, Tok H.Usman segera mencabut
keris itu dari sarungnya, maka tahulah Tok H.Usman bahwa itu keris miliknya,
yang ia titipkan dulu kepada temannya di Semarang sewaktu dia akan
berangkat ke Singapura. Demikian juga payung kuning tersebut, Tok H.Usman
39
mengatakan bahwa itu payungnya dan ada tandanya, ditunjukkan langsung
Tok H.Usman kepada orang tadi. Orang tadi mendadak heran. Tok H.Usman
bertanya kenapa bisa sampai ke tangan dia. Orang dari Jawa tadi
menceritakan, bahwa barang tersebut dititipkan oleh seseorang kepadanya,
katanya orang yang menitipkan barang itu ke dia mau merantau ke Singapura.
Tapi sudah berapa lama ditunggu orang yang menitipkan itu tidak kunjung
datang, mungkin sudah lupa atau apa. Karena keris dan payung itu sudah
berada ditangannya, maka dibawanya kemana-mana dan ditawarkan ke orang-
orang mana saja dengan maksud untuk dijual. Tapi sampai sekarang (ketika
itu) tidak ada seorangpun yang mau beli. Akhirnya dia pun sampai ke sini
(sungai Ungar). Mendengar cerita dari orang Jawa tersebut, langsung saja Tok
H.Usman mengambil kembali keris dan payung tersebut dan memberikan
saguhati kepada orang dari Jawa tersebut sebagai ungkapan rasa terimakasih
karena sudah membawanya kembali ke pemiliknya. Setelah menerima
saguhati, orang dari Jawa itupun pamit pulang. Tok H.Usman hanya
mengatakan kepada ayah, bahwa barang ini sudah dititipkannya 40 tahun yang
lalu dan alhamdulillah kembali lagi. Memang suatu anugerah dan kuasa Allah
SWT, bahwa setelah berpuluh tahun, akhirnya keris dan payung (memiliki nama
tersendiri) tersebut kembali lagi ke Tok H.Usman. Alhamdulillah, sampai saat ini
keris tersebut masih terjaga dengan baik dirumah kami. Mengenai payung itu
tidak ada kabar beritanya lagi, mungkin sudah musnah dimakan oleh usia
karena lamanya.
40
G. SEKILAS RIWAYAT ASAL-USUL DAN SILSILAH ANAK KETURUNAN
DATUK H.SULAIMAN
Sebagaimana aku jelaskan diatas, bahwa Tok H.Sulaiman adalah anak adik
ibu Tok H.Usman, jadi maknanya beliau adalah keponakan Tok H.Usman.
Namun aku belum dapat keterangan tentang siapa nama ayah dan ibu dari Tok
H.Sulaiman. Dikatakan Tok H.Usman kepada ayah, bahwa ketika Tok H.Usman
merantau ke Singapura, beliau bertemu disana dengan abang ibunya bernama
H.Umar dan isterinya Kalsum dan anak dari adik ibunya/ keponakannya
bernama H.Sulaiman dan isterinya Nek Kecik Normah. Walaupun dari segi
umur Tok H.Sulaiman ini lebih tua dari Tok H.Usman. Menurut Mak Andak
Maznah, orang tuanya yaitu Tok H.Sulaiman dan Nek Kecik Normah tidak
menjelaskan asal-usulnya secara terinci. Beliau hanya diberi keterangan bahwa
Nek Kecik Normah adalah dari Bintan, sedangkan Tok H.Sulaiman dari Jawa,
mereka bertemu di Singapura. Keterangan ini mulai sedikit terungkap manakala
kedatangan dan pernikahan antara Tok H.Usman dan Nek Halimah di
Singapura. Hubungan antara isteri Tok H.Sulaiman bernama Nek Kecik
Normah dengan Nek Halimah isteri Tok H.Usman dan Sa’diah ibunya Nek
Halimah sudah aku jelaskan diatas.
Keluarga ibu dari Tok H.Usman asalnya dari Giriloyo-Imogiri-Yogyakarta.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Tok H.Sulaiman adalah orang yang
berasal dari Giriloyo-Imogiri-Yogyakarta. Beliau merantau, menetap dan
berkeluarga dengan gadis Melayu berdarah Bintan di Singapura, untuk
selanjutnya hijrah ke Sungai Ungar.
Berikut aku jelaskan garis keturunan silsilah Tok H.Sulaiman dan Nek Kecik
Normah berdasarkan apa yang disampaikan Mak Andak Maznah, Mubinah/Mak
Ngah, Mansur bin Aliman/WakLong/Cikgu Mansur, Juminah binti Aliman
(mertuaku), Jamari bin Aliman, Rumanah/Ru binti H.M.Nawawi, isteriku
Hj.Sutirah Ahmad dan beberapa orang anak keturunannya. Barangkali ada
beberapa diantaranya tersalah sebut atau hanya dikenal nama panggilannya
saja atau belum tercatat :
Keluarga Giriloyo-Imogiri-Yogyakarta
41
vi.Salamah + (I/Usman)
+ (II/M. Amin)
Abu Bakar + (II/Siti Hawa)
i. Bajuri
ii. Fatmah
iii. Muntiah
b. Kasim (#meninggal waktu kecil)
c. Muhammad (#meninggal waktu kecil)
d. Mubinah/Mak Ngah + H.Kasim
i. Raminah + Warsidi
ii. Abdul Hamid + Nuriah
iii. Sadinah + Selamat
iv. Jaminah +Usman
v. Jami’ah + Jalil Abu Bakar
vi. Basirah + Adnan
e. Abdul Rahim + Fatmah
i. Zainal + Tuminah
ii. Abdul Wahid + (I/Jaarah)
+ (II/Amah)
iii. Kamisah + Ramlan/ H.Masyuri
iv. Jaimah + Sengari H. Thayib
v. Syawal + Simah binti Siman
vi. Halijah + Arifin Khamsatun
42
- Isbandiar
- Yani
cc). Aminah + Mansur
- Subandi
- Thabrani
- Dian
dd) . Jumi’ah + (I/Thamrin)
+ (II/Yacob)
ee). M.Nasir
- Celi
ff). Maimunah/Encik + Hasan
- Umi Kalsum
- Nuraini
ff). Umi Kalsum/Encum
gg). M. Shaleh
hh). Nuraini
43
ix. Rehan + Sutirah
aa). Nizar
x. Jamian + Hj. Habibah
aa). Zulhidayat
bb). Karyadi
cc). Reni
dd). Susanto
xi. Jamari
g. M. Syarif + (I/Patung)
i. Hatijah (#)
ii. Jaarah + (I/Adlan Naim)
aa).Taslim
bb). Saudah
cc). Surman
dd). Nurjanah
Jaarah + (II/Ismail)
iii. Buang + Ramlah
aa).Azman
bb). Hasan
iv. Misnah + Bakhri
aa).Suhanah
M. Syarif + (II/Asmah)
i. M. Amin + Asiah Khamsatun
aa). Firdaus
bb). Yusri
cc). Nurbaiti
dd). Heling
ee). Nasir Effendi
ff). Hendri Novendri
ii. Bahrum + Marlina
iii. Aman + Rohani
iv. Mahmud + Nafisah
aa). Nurdiani
bb). M. Zukri Ferdian
v. Damnah + Syahkri
aa). Nelfi
h. Zainah/Eton + Sukirman
i. Sulifah
ii. Sufaat
iii. Suhadi
44
cucu dan keturunan beliau terus berkembang hingga ke hari ini. Ada beberapa
cerita dan kisah yang berhubungan dengan keluarga beliau ataupun
berhubungan dengan anak cucu beliau tentu saja tidak bisa semuanya
kutuliskan disini. Cukup ada dalam ingatan sebagai kenangan, kecuali keluarga
langsung yang menceritakan dan menuliskannya atau keluarganya bertanya
kepadaku. Ini sejalan dengan pesan Mak Andak Maznah kepadaku harus
saling menjaga hubungan silaturrahim sesama kita semua, dan itu juga pesan
yang sama aku dapatkan dari ayahku yang beliau dapatkan dari Tok H.Usman.
Apa yang aku tulis disini merupakan ringkasan pendek dari catatanku tahun
1988. Mungkin saja ada salah tulis nama ataupun ingin diteruskan silsilah ini
silahkan saja diperiksa atau dilanjutkan oleh anak cucu beliau. Ini hanya riwayat
awal mula saja sebagai pedoman untuk menulis dan mencari silsilah keturunan
selanjutnya. Tok H.Sulaiman dan Nek Kecik Normah menutup matanya terakhir
di Desa Sungai Ungar ini dan dimakamkan di perkuburan Sungai Ungar.
45
ketemu Tok H.Usman dulu. Alhamdulillah, baru sampai pelabuhan langsung
dapat ketemu karena kebetulan hari itu Tok H.Usman juga ke pelabuhan.
Dari percakapan yang akrab tadi, Tok H.Usman sangat senang
mendengarkannya, dan menyambut dengan baik maksud dan tujuan Tok
H.Ikhsan tersebut, dengan mengatakan besok pagi Tok H.Ikhsan dan anaknya
akan dibawa keliling kampong untuk melihat-lihat dan berkenalan dengan
beberapa orang kampong Sungai Ungar.
Keesokan harinya, Tok H.Usman dan ayahku mengajak Tok H. Ikhsan dan
anaknya H.Dahlan keluar pergi melihat suasana kampung Sungai Ungar,
berjumpa dengan Tok H. Sulaiman, mereka berbual-bual tentang segala hal.
Juga Tok H.Sulaiman memperkenalkan anaknya yaitu; Abu Bakar, A. Rahim,
M. Syarif dan menantunya H. Kasim.
Tok H.Ikhsan menginap di rumah kami selama beberapa hari sambil
menunggu kapal yang akan membawa mereka pulang ke Klang-Malaya.
Mereka diperkenalkan dengan orang-orang kampong yang pada umumnya
datang dari Jawa seperti Demak, Kudus, Pacitan, Kendal, Pati, Magetan,
Salatiga, Banyumas, Solo, Yogyakarta, Magelang, ada juga dari Singapura dan
Malaya. Mereka juga melihat-lihat pohon kelapa tumbuh dengan suburnya dan
padi di ladang sedang menguning, palawija tumbuh dengan suburnya ditanam
oleh masyarakat sepanjang jalan yang dilewatinya seperti pisang, ubi, keledek,
keladi, lada, dan lainnya.
Tok H. Usman pun menunjuk beberapa tempat yang sesuai untuk tempat
tinggal Tok H.Ikhsan sekeluarga nantinya karena ada beberapa kebun dan
bidang tanah yang mau dijual warga. Tempat tersebut berada di parit Mangkil.
Kata Tok H.Usman, kalau Tok H.Ikhsan bisa menetap disitu akan memberikan
perubahan bagi warga kampong. Mendengar perkataan Tok. H.Usman ini, Tok
H.Ikhsan sangat terkesan dan terus memeluk erat Tok. H.Usman, seraya
berkata insya Allah nanti dalam berapa bulan kedepan dia akan datang lagi
bersama keluarganya dari Klang-Malaya ke Sungai Ungar ini untuk menetap.
Demikian yang disampaikan ayah kepadaku.
Beberapa hari kemudian, Tok H.Ikhsan dan anaknya H.Dahlan berpamitan
pulang. Ayah dan Tok H.Usman mengantar mereka sampai ke pelabuhan
Sungai Ungar. Kata ayah, entah berapa kali Tok H.Ikhsan berpelukan erat
dengan Tok H.Usman seperti layaknya saudara kandung yang lama tak
bertemu. Tok H.Usman pula terus mengatakan jangan lupa datang segera
sambil melambaikan tangannya ke arah Tok H.Ikhsan yang sudah berangkat
dalam kapal. Ayah mengatakan ketika itu tak mengerti kenapa Tok H. Usman
berkata begitu, seolah-olah ada yang disimpan Tok H.Usman, karena berbeda
dengan yang lain. Namun seiring dengan berjalannya waktu, barulah ayah
mengerti apa yang dikatakan Tok H.Usman itu.
Beberapa bulan kemudian, Tok H.Ikhsan datang lagi bersama keluarga
besarnya, istrinya Siti Hawa dan anak-anaknya. Kata ayah mereka ini bedol
desa (keluar desa), pindah dan menetap di Sungai Ungar. Sebagaimana yang
pernah ditunjukkan Tok H.Usman, maka Tok H.Ikhsan pun membeli kebun dan
46
beberapa bidang tanah untuk tempat tinggal di parit Mangkil ketika itu. Mereka
berkebun, bertani layaknya orang-orang kampong Sungai Ungar. Kata ayah,
Tok H.Ikhsan ini orang kaya dari Klang, rata-rata semua keluarganya pergi haji
dan mampu membeli beberapa kebun dan bidang tanah, yang ketika itu tidak
ada yang mampu membeli sebanyak itu. Mungkin saja mereka membeli tanah
dan kebun di Sungai Ungar itu dari hasil penjualan tanah atau harta mereka di
Klang-Malaya, pikir ayah.
Namun demikian, keluarga mereka sangat baik dan ramah kepada keluarga
kami dan keluarga Tok H.Sulaiman serta masyarakat Sungai Ungar. Selalu
bertegur sapa dan bergaul dengan masyarakat kampong. Kalau ada sesuatu
dan lain hal, masalah kampong, masalah kebun, masalah orang meninggal,
masalah nikah kawin, Tok H.Usman selalu memanggil Tok H.Sulaiman dan Tok
H.Ikhsan untuk bermusyawarah. Maka mereka bertiga ini kata ayah dianggap
tetua kampong Sungai Ungar ketika itu.
Kata ayah dan pakcik Abbas, dan diperkuat dengan keterangan dari
Kamsinah binti H.Abdurrahman (cucu Tok H.Ikhsan) tanggal 22 Oktober 2003
di Pekanbaru, Tok H. Ikhsan ini memiliki 10 anak. Berikut aku jelaskan garis
keturunan silsilah Tok H.Ikhsan dari perkawinannya dengan Siti Hawa. Apa
yang aku tulis disini merupakan ringkasan pendek dari catatanku tahun 1988
ditambah dengan keterangan tahun 2003 dan tambahan keterangan lainnya
dari Huzrin Hood tahun 2019 di rumah anakku Faisal di Tanjung Pinang.
Barangkali ada beberapa diantaranya tersalah sebut atau hanya dikenal nama
panggilannya saja atau belum tercatat :
47
iv. Jasman
v. Jayadi + Sarifah
vi. Kamsinah + Husin
vii. Asiah + Aliman
viii. Jamil + Fatimah.
d. H. Dahlan/Pak Uda + Muntiah
i. Hood + Zainab binti Jemain
aa). H. Herizal Hood
bb). H. Huzrin Hood + Hj. Ernaini
(untuk anak keturunan Huzrin Hood dan Ernaini sudah aku tulis
di silsilah Tok H.Usman)
cc). H. Hardi Selamat Hood + Hj. Koestrini
dd). H. Husnizar Hood + Hj. Peppy Candra
ee). H. Herman Hood
ff). Hendri Kurniawan Hood
ii. Ismail + Ramlah
iii. Mukhsin + Faridah
iv. Rusnah (anak angkat cina).
e. H. Siradj/Pak Andak + Manisah
i. Subari + Turinah binti H. Daud
ii. Salmah + Samik
iii. Zaleha + Kamdan
iv. Adnan
v. Sa’ad + Emi
vi. Juniati + H.M. Said Subakir
vii. Sa’diah.
f. Salifah/Acik + Karto
i. Abu Khair + Khatijah
ii. Abdul Hamid
iii. Abdul Wahab + Zaharah
iv. Misirah + Suadi Sukirman
v. Zamzam + Listarfia
g. Fatimah + M. Nur
i. Ahmad + Jamilah
ii. Bakri + Parsih
iii. Ramlah + Ismail H. Dahlan
h. M. Ras. (Untuk ini, aku belum dapat keterangan).
i. Jais + Halimah
i. Roslaini
ii. Habibah
iii. Abdul Karim
iv. Arbainah
v. Lailati
vi. Abdul Malik
48
vii. Aida.
j. Jamilah + Jemain
i. Zainab + Hood Bin H. Dahlan
ii. Zahari + Maini Jalil
iii. M. Zain + Tina
iv. Zainuddin
v. Zuraida + Zulfikar
Demikianlah riwayat singkat keluarga Tok H. Ikhsan yang datang dari Klang-
Malaya dan menetap di Sungai Ungar. Anak cucu dan keturunan beliau terus
berkembang hingga ke hari ini. Ada beberapa cerita dan kisah yang
berhubungan dengan keluarga beliau tentu saja tidak semuanya bisa kutuliskan
disini. Cukup ada dalam ingatan sebagai kenangan, kecuali keluarga langsung
yang menceritakan dan menuliskannya atau keluarganya bertanya kepadaku.
Sebagaimana pesan ayah kepadaku harus saling menjaga hubungan
silaturrahim sesama kita semua, karena itulah pesan yang juga beliau dapatkan
dari Tok H.Usman. Mungkin saja ada salah tulis nama ataupun ingin diteruskan
silsilah ini silahkan saja diperiksa atau dilanjutkan oleh anak cucu beliau. Ini
hanya riwayat awal mula saja. Tok H.Ikhsan dan istrinya Siti Hawa, menutup
matanya terakhir di Desa Sungai Ungar ini dan dimakamkan di perkuburan
Sungai Ungar.
I. SUNGAI UNGAR
49
Aku masih berjumpa dengan Wak Naim dan anaknya bernama Jamari. Jamari
ini adalah temanku dan sama-sama belajar di PGAN 4 Tahun di Tanjung
Pinang, juga sama-sama ke Yogyakarta melanjutkan pelajaran pada jurusan
yang berbeda pada tahun 1963.
Menemukan sungai ini dari arah hulu atau dari darat sekarang memanglah
sulit, karena sudah tertimbun tanah dan sebagainya seperti yang aku katakan
diatas. Untuk mudahnya memang menemukannya dari arah hilir, dari muara
atau bibir laut. Dulu orang sering naik sampan dengan beciau (mendayung
sambil tegak) menyusuri tepi pantai yang ditumbuhi oleh pohon bakau ke arah
Tanjung Batu dari pelabuhan Sungai Ungar. Lebih kurang satu jam berciau,
akan bertemu muaranya yang tidak begitu lebar, cukup untuk dimasuki oleh
sampan dagang ukuran sedang. Kalau sampan itu masuk, maka keluarnya
harus mundur karena tidak bisa berbelok arah, apalagi ketika itu semua
sampan menggunakan dayung atau ciau, jadi tak masalah.
Dulu, kata Tok H. Usman kepada ayah, muara masuk sungai ungar itu ada
keramat Nek Siti (dikatakan keramat, menurut pandangan orang kampong
biasanya berbentuk kuburan yang nisannya dipasang kain kuning, diberi atap
kuning, letaknya menyendiri dan sering ada bau kemenyan disitu. Nama Nek
Siti pula hanya dari cerita-cerita orang). Mengenai adanya keramat disitu, aku
juga tahu semenjak aku kecil, aku sering ikut Nek Halimah kalau beliau mau
berkunjung ke rumah adiknya di kampung Balak Sungai Sebesi. Kami
sekeluarga beciau sampan, ayah yang dayung. Ketika sampan kami melewati
daerah itu, oleh Nek Halimah kami semua disuruh diam, jangan tertawa
ataupun bergurau. Nek Halimah mengatakan kepada kami, “….senyap
semua….kita mau lewat keramat Nek Siti….”. Namun perihal adanya keramat
ini, aku juga telah bertanya ke sdr. Rat yang jaga kebunku di Srinanti tahun
2019 lalu. Dia juga mengatakan hal yang sama, bahwa ada keramat dekat tepi
laut namanya keramat Nek Siti, tapi aku tidak memeriksanya.
Sungai itu tadi awalnya bermuara ke laut dan menghadap langsung ke
arah pulau Ungar (sekarang Kecamatan Ungar, Alai). Dulu jarak antara pulau
Kundur dan pulau Ungar tak seberapa lebar karena bibir lautnya belum erosi.
Nama Ungar sudah lebih dulu ada. Kata ayah, ”…..nama Ungar itu sudah ada
semenjak masa kerajaan Riau dulu lagi ….sama juga dengan nama Karimun,
Kundur, Buru, Moro, Sugilah…..”. Dari apa yang dikatakan ayah, akupun
mencoba menelusurinya dalam buku sejarah yang ditulis oleh Raja Ali Haji
yaitu Tuhfatun Nafis, ternyata memang nama Ungar itu sudah ada beliau tulis,
yang dikembangkan oleh Said Akil atas perintah Raja Ja’far (Raja Ali Haji:
Tuhfatun Nafis, 1991, hal. 552).
50
Pelabuhan Sungai Ungar, tahun 1980an
51
dari daerah lain dan berkeinginan menetap di Sungai Ungar, pasti bertanya
kepada beliau dulu minta wejangan dan nasehat. Bahkan kalau ada orang dari
luar datang ke kampong Sungai Ungar bertanya ke Tok H.Sulaiman, justeru
Tok H.Sulaiman mengarahkannya ke Tok. H.Usman. Mungkin karena Tok.
H.Sulaiman adalah keponakan (anak saudara) Tok H.Usman, jadi rasa segan,
ewuh-pakewuh (bahasa Jawa) dan rasa menghormati yang lebih tua dari segi
silsilah masih dipegangnya, walaupun dari segi usia Tok H.Sulaiman lebih tua
dari Tok H.Usman. Begitulah orang tua-tua dulu sangat memegang silsilah
keluarga.
Secara administrasi tertulis, sebenarnya istilah kepala kampong ketika itu
belum ada, apalagi dulu belum ramai penduduk. Ini hanya faktor situasional,
kondisional dan penyebutan orang-orang yang tinggal di Sungai Ungar saja
ketika itu. Tok H.Usman dikenal karena orang pertama yang menetap di Sungai
Ungar, memiliki ilmu agama yang mumpuni, memiliki kepandaian ilmu bela diri,
menjadi tempat bertanya dan meminta wejangan serta nasehat, dan yang tak
kalah penting adalah beliau dianggap mampu melindungi masyarakat Sungai
Ungar ketika itu.
Sejak saat itu Tok H.Usman dan Tok H.Sulaiman selalu bertukar pikiran
tentang bagaimana mengembangkan Sungai Ungar ini menjadi kampong
Sungai Ungar. Salah satu ide dari Tok H.Usman adalah membuat parit di setiap
sudut kampong Sungai Ungar. Awalnya ide ini alamiah dan biasa saja,
tujuannya adalah untuk mengalirkan air ke laut agar kebun tidak banjir, karena
posisi Sungai Ungar ini berada dekat dari laut dan kondisi tanahnya ketika itu
rawa-rawa. Apabila air pasang laut naik dan masuk musim hujan, maka pastilah
banjir, sehingga membuat orang-orang kampong nantinya kesulitan untuk
memetik hasil kelapa, mencongkel pinang, menoreh getah, dan panen hasil
bumi lainnya. Dengan adanya parit ini, tentu akan memudahkan dalam
berusaha dan menikmati hasil jerih payah pekerjaan dalam menghidupi
keluarga mereka. Namun ternyata ide sederhana dan alamiah inilah justeru
yang menjadi tanda dan ciri khas nama-nama tempat di Desa Sungai Ungar
sampai sekarang, yaitu parit.
Untuk membangun parit ini, tentulah tidak mereka berdua saja. Tok
H.Usman dan Tok H.Sulaiman mengajak orang-orang yang ketika itu sudah
mulai menetap di Sungai Ungar untuk bersama-sama bergotong-royong
membuat parit. Diantara nama-nama parit dan tempat yang ada di Desa Sungai
Ungar sekarang, yaitu :
52
II. Parit laut ini (sekarang: parit Mataram I dan II) dulunya menyatu yang
dihubungkan dengan jembatan yang jaraknya lebih kurang 100 meter dari
muka rumah lama kami, yang dikenal dengan nama Jembatan pakcik
Abbas. Jembatan ini sudah tidak ada lagi sekarang. Di waktu aku kecil, aku
dan ayah sering duduk diatas jembatan yang tinggi dari permukaan air untuk
mancing ikan atau udang galah, kalau air pasang. Jembatan Pakcik Abbas
ini terletak diatas Parit yang digali oleh Tok H.Usman dengan anaknya
Selamat. Dulunya belum diberi nama cuma jalan kecil saja. Penduduk
umumnya melalui jembatan pakcik Abbas ini kalau pergi atau pulang,
karena jalannya lebar dan bersih. Setelah kami pindah ke rumah baru dan
kami bertetangga dengan H.Abdul Rahman (Wak Bilal) menggunakan jalan
yang sama, maka jalan yang kecil tadinya dan dikerjakan secara gotong
royong dan sudah diperlebar dan penimbunan tanah merah sekarang sudah
bisa dilewati roda empat dan dekat ke mesjid. Waktu dulu masih tinggal
dirumah lama, kalau ke masjid memutar jalan melewati jembatan pakcik
Abbas, dan melalui jalan Parit Mataram I (sekarang), memutar ke utara baru
sampai ke mesjid. Demikianlah romantikannya hidup ini.
Melihat dari nama Parit Laut adalah diambil dari nama parit yang digali oleh
Tok H.Usman dan anaknya Selamat, untuk mengalirkan air dari kebunnya
ke laut supaya tidak kebanjiran kalau hari hujan, maka daerah itu dinamakan
Parit Laut. Dengan demikian Parit Laut melintasi di tengah Desa Sungai
Ungar sekarang ini yang telah melebar dan yang tumbuh rimbun kiri-
kanannya oleh pohon nipah. Penduduk yang datang pertama kali di Parit
Laut dan menetap disini yaitu, Tok H.Sulaiman, Tok H.Usman, H.Saleh,
H.Kasim, Sekak dan Warsidi. Sekak kembali pulang ke Yogyakarta lagi.
H.Saleh kemudian berkebun di Serinanti, meninggal dan dikebumikan disini
dan tidak meninggalkan keturunan. Tok H. Sulaiman, Tok H.Usman,
H.Kasim dan Warsidi mereka inilah yang anak cucunya tersebar kemana-
mana hingga saat ini. Mereka semua meninggal dan dikebumikan di Sungai
Ungar kecuali Tok H.Usman dikebumikan di Tanjung Batu. Parit laut
berganti nama menjadi parit Mataram setelah Basirun bin Dasuki (anak Mak
Ngah Walijah bin H.Usman) menjadi Penghulu Sungai Ungar sekitar tahun
1980an, setelah pulang dari berziarah ke makam Tok Buyut KH. Hasan
Khatabi di Imogiri Yogyakarta.
Sekarang dari Parit Mataram I jalan ke timur menuju ke pelabuhan (sudah
diaspal), dipertengahan jalan berbelok ke kanan (selatan) sepanjang, lebih
kurang 3 Km, bertemu atau tertumbuk dengan jalan Parit Serinanti atau
simpang tiga. Dari simpang tiga ini berbelok ke kiri atau ke timur, lebih
kurang sepanjang 600 Meter, bertemulah dibibir laut dan tidak jauh dari Parit
Serinanti sudah ada pelabuhan rakyat, seperti diujung Parit Mataram I. Dari
simpang tiga itu tadi kalau berbelok ke kanan atau ke barat, lebih kurang
sepanjang 1300 Meter mengikuti jalan Parit Serinanti bertemulah dengan
jalan besar beraspal yang menghubungkan Tanjung Batu dengan Urung
(sekarang: Tanjung Berlian).
53
Gambar Parit Mataram I dan II (dulu: Parit Laut), Tahun 2020
2. Parit Tegak
Parit ini digali ke arah barat lurus/tegak ke bukit. Biasa disebut orang
dengan darat. Penduduk disini umumnya berkebun getah (karet), kelapa,
nanas dan rambutan. Di tepi parit, dibuat jalan untuk memudahkan lalu lintas
penduduk keluar masuk kampung. Tok H.Usman menyebut parit yang akan
digali bersama orang kampong ketika ini bentuknya tegak ke darat, sebagai
lanjutan dari parit laut yang sudah lebih dulu beliau gali bersama anaknya.
Memang posisi parit tersebut menurut alurnya tegak lurus menuju ke bukit.
Dari perkataan ini, maka orang semua menyebutnya dengan nama Parit
Tegak.
3. Parit Gantung
Sama seperti parit Tegak, digali orang untuk mengalirkan air dari kebun-
kebun karet mereka, tetapi tidak langsung ke laut hanya sampai ke jalan
besar saja. Dari sini alur paritnya membelok ke utara mengikuti aliran parit
disisi jalan besar tadi bertemu dengan alur parit dari parit tegak, membelok
ke timur masuk ke parit dan terus ke laut. Karena posisi parit ini tidak
langsung menuju laut dan terhalang (orang kampong menyebutnya
tergantung) maka disebut orang dengan nama Parit Gantung. Parit Gantung
pada tahun 1950 pernah mendapat kunjungan Gubernur Sumatera Tengah
(waktu itu Provinsi Riau/Kepri, Jambi dan Sumatera Barat masih menyatu,
dengan nama Provinsi Sumatera Tengah, Ibu Kotanya berkedudukan di
Bukit Tinggi) dalam rangka peresmian komplek Pertanian. Bekas komplek
itu masih ada hingga sekarang terlihat ada dua buah rumah yang masih
ditempat. Saat ini di Parit Gantung sudah ada berdiri bangunan untuk
gedung SMA Negeri 3 Kundur. Bangunan ini bekas dari toko/kedai milik
orang cina bernama (biasa dipanggil) Cupak yang sudah dijual.
54
Gambar Parit Tegak dan Gantung, tahun 2020
4. Parit Bengkok.
Parit ini digali dari jembatan yang menghubungkan jalan besar (jalan raya)
dari arah Urung (sekarang namanya Tanjung Berlian) ke Tanjung Batu
mengikut jalan besar disebelah kirinya, membelok (orang kampong
menyebutnya dengan bengkok) terus ke arah sungai selangat. Dengan
membengkok atau membeloknya parit di tepi jalan besar itu, maka daerah
itu disebut dengan Parit Bengkok.
5. Parit Mangkil.
Parit ini digali dari jembatan (depan Masjid An-Nur sekarang) terus ke arah
Urung (sekarang namanya Tanjung Berlian) mengikut jalan besar disebelah
kanannya. Dinamakan mangkil berasal dari kata mangkir. Kata Tok
H.Usman kepada ayah, “….orang parit mangkil ni dulu paling banyak cakap
kalau nak kerja, semua nak dibuat… suka nunjuk orang… kadang datang
kadang tidak…”. Tapi menurut ayah, kehebatan orang parit Mangkil ini
pandai mendekati orang-orang pemerintah. Kata ayah lagi, “…makanya
kantor penghulu tu letaknya disini……”. Lama-kelamaan kata mangkir
berubah menjadi mangkil, dan daerah itu dinamakan parit Mangkil hingga
sekarang.
55
6. Parit Pacitan
Parit ini tidak jauh dari parit Gantung letaknya dan dekat dengan sungai
selangat ke arah Tanjung Batu, yang alurnya bermuara ke sungai selangat.
Seperti parit lainnya, ditepinya dibangun jalan membujur ke arah barat
sampai ke bukit dan dapat memembus ke parit Tegak. Penduduknya
kebanyakan pendatang dari Pacitan, Jawa Timur, dan merekalah yang
menggali parit itu. Orang menyebutnya dengan nama Parit Pacitan.
7. Parit Serinanti
Parit ini berada di parit Bengkok ke arah Tanjung Batu sesudah parit
Gantung, dan sebelah kiri jalan sebelum parit Pacitan. Dari situ arah ke
timur ada jalan masuk, disamping kanan jalan ada parit, tidak selebar dan
sedalam parit Gantung, tetapi parit ini memang digali sampai ke laut dan
ada pintu air. Panjang parit ini dari pinggir jalan masuk sampai ke bibir laut
ada lebih kurang 1900 meter. Nama asal Serinanti adalah Seri Menanti,
diambil dari Padi Menanti. Pertukaran nama dari Padi Menanti ke Seri
Menanti dan ke Serinanti adalah disebabkan perkataan Padi dalam bahasa
Jawa berarti Seri. Dewi Seri berarti Dewi Padi. Ini ada hubungannya dengan
H.Saleh, keponakan Tok H.Usman yang pertama kali bertani sawah di sana.
Sehingga sejak saat itu disebut dengan parit Serinanti saja.
Dulu daerah ini ditempati oleh H.Saleh dan istrinya Marsiyem. Ibu H.Saleh
yaitu Nyi Kromo Pawiro, adalah kakak kandung Tok H.Usman. Sehingga
H.Saleh adalah keponakan Tok H.Usman. Pada masa berikutnya, ketika
pembagian harta warisan setelah kedua suami istri ini (H.Saleh dan istrinya
Marsiyem) meninggal dunia dan tidak meninggalkan keturunan (anak), maka
oleh ahli waris yang berhak, yaitu ayah berinisitaif mengumpulkan semua
sanak keluarga terdekat H.Saleh dan isterinya untuk membagi-bagikan harta
warisan tersebut. Karena ahli waris tidak bermukim di satu tempat,
berjauhan ada yang menetap di Muar (Johor) dan Jawa, maka ahli waris
sepakat, kebun-kebun peninggalan almarhum H.Saleh dijual kepada siapa
yang berminat membelinya dan uang hasil penjualan itu dibagi-bagi kepada
ahli waris dan disedekahkan atas nama almarhum berdua. Diantara mereka
yang membelinya adalah ayah, karena kebun ini berdekatan dengan kebun
milik ayah yang di kerjakannya sendiri, disamping itu ada niat untuk
membantu kaum family.
Dulu kata ayah, ketika H.Saleh masih menetap di parit Serinanti ini, beliau
sangat rajin, semua tanah di kebunnya dibuatnya sawah untuk menanam
padi seperti di Jawa, yaitu sawah dengan system tadah hujan. Karena ketika
itu belum ada sistem pengairan (irigasi), tentunya akan menimbulkan
kesulitan pada musim kemarau untuk mendapatkan air, lain halnya dengan
padi ladang. Kemudian bersawah diganti dengan berkebun kelapa dan
pinang. Walaupun model pertanian sudah berganti dari sawah ke
perkebunan, tetapi tetap saja kalau ayah akan pergi kerja ke kebun ini, ayah
selalu mengatakan, “…aku nak ke kebun sawah dulu ya…”. Kamipun paham
56
bahwa yang ayah maksud adalah pergi ke kebun Serinanti. Istilah “ke kebun
sawah” hanya dikalangan keluarga kami saja.
Ketika aku kesana tanggal 24 Januari 2019, sedang dilakukan pengerjaan
pengerasan jalan setelah ditimbun dengan tanah merah, jalan dilebarkan 6
meter, dan panjang pengerasan 623 meter, melanjutkan pengerasan
sebelumnya dan diujung jalan ini sudah dibangun pelabuhan rakyat,
sebagaimana pelabuhan Sungai Ungar di ujung Parit Mataram I dibangun
sudah sejak lama, bahkan sebelum aku lahir silih berganti dan di rehab
hingga kini.
8. Sungai Selangat
Mendengar cerita dari ayah dan cerita ini dari mulut ke mulut oleh orang-
orang tua dahulu, ada sebuah legenda. Dikisahkan bahwa di hulu - sebelum
ada sungai ini - ada seekor ular besar yang berdiam diri disini, orang biasa
menyebutnya sebagai ular sedang bertapa. Setelah cukup masa
pertapaannya, ular ini meluncur keluar ke arah laut melintasi selat di depan
pulau Kundur memotong pulau di depannya pulau Ungar lantas ke laut
lepas. Pulau Ungar yang dilewati oleh ular ini terpotong atau terpisah
menjadi pulau Mandar. Bekas jalan yang dilewati oleh ular dari
pertapaannya ini menjadi sebatang sungai yang ada kita lihat sekarang ini.
Demikianlah zaman terus berlalu, musim silih berganti, tahun bertukar
tahun, penduduk kian hari semakin bertambah, ada yang sebagai petani
terutama dari jawa, dan ada sebagai pedagang dari Cina atau India.
Penduduk asli bekerja sebagai nelayan menangkap ikan, dan ada juga dari
cina berdiam di pinggir laut sebagai nelayan.
Bagi para nelayan yang pekerjaannya melaut menangkap ikan, dengan
bermacam-macam alat penangkapan ikan, seperti; jaring, rawai, dan
sebagainya. Mereka juga tahu nama-nama jenis ikan, tempat ikan berada
dan bermain, seperti tepi laut atau muara sungai. Mereka yang
menggunakan jala, mencari ikan menyusuri pantai dengan sampan,
menjumpai muara sungai yang belum tahu apa namanya sungai ini. Dari
hari ke hari nelayan yang menggunakan jala sering datang ke arah muara
57
sungai ini, karena banyak mendapatkan tangkapan ikan dari jalanya,
terutama jenis ikan selangat. Begitulah keadaan dan situasinya, sehingga
masyarakat khususnya kaum nelayan menyebut dan menamakan muara
sungai dan sekitarnya yang banyak ikan selangat itu mereka namakan
dengan sungai selangat. Perubahan nama selangat menjadi selamat,
dimungkinkan dari pendengaran orang-orang kampong antara bunyi Ngat
dengan Mat, antara huruf Ng dan huruf M saja. Sehingga sampai saat ini
ada disebut orang dengan nama Sungai Selamat.
Ada juga yang mengatakan nama sungai selamat ini diambil dari nama
Selamat, yaitu nama orang dari Jawa yang beristrikan Sadinah (nama
Sadinah ini masih ada, saat ini tinggal di parit Serinanti, ikut anaknya
Mas’ud). Selamat dan keluarganya ini bermukim di dekat sekitar ilir sungai
ini, tepatnya diujung Parit Mataram I, sedikit menyeberang dengan titian dari
papan diatas Parit Serinanti. Tak seberapa jauh perjalanan kaki sampailah
dirumah panggungnya, dari kayu berdinding papan, aku pernah bersama
ikut emak bersilaturahim kerumah mereka, dan menemui orang tua bernama
Nek Hj. Khatijah yang diasuh mereka karena sudah uzur dan tidak ada anak
atau sanak family setelah suaminya Wak Pariman meninggal dunia. Karena
bertetangga dekat, keluarga Selamat dan istrinya lah yang menjaganya
hingga Hj. Khatijah tutup usia (demikian cerita ayah kepada saya). Sadinah
ini adalah cucu Tok H. Sulaiman, anak dari Mubinah (Mak Ngah) dengan H.
Kasim, anaknya Abdul Wahid (alm), temanku semasa di Madrasah Khairiya
Sungai Ungar. Dengan demikian, dari kenyataan yang ada, tidaklah
mungkin sungai ini diberi nama dengan nama Selamat ini, karena
keberadaan sungai ini jauh lebih dahulu dari datangnya Selamat ke Desa
Sungai Ungar, atau ke Parit Mataram.
58
Menurut Tok H. Usman, sebagaimana diceritakan ayah kepadaku,
kebanyakan orang-orang yang datang ke Sungai Ungar ketika itu adalah dari
Jawa atau mereka asalnya jawa tetapi sudah lama berdiam di Malaya, dan
umumnya berlatar belakang sebagai petani. Mereka juga masih menggunakan
bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan dibeberapa tempat di
Sungai Ungar sampai sekarang masih terdengar diantara mereka masih
memakai bahasa Melayu-campuran Jawa dalam pergaulan sesama mereka,
seperti; parit Gantung, parit Tegak, parit Pacitan, parit Mangkil, parit Bengkok
dan lain-lain.
Namun berbeda dengan Tok H.Usman dan Tok H.Sulaiman. Walaupun
mereka juga kaum perantau dari Jawa, namun sudah lama menetap di negeri
Melayu, khususnya di Singapura. Mereka berdua pun beristri orang Melayu,
sehingga bahasa pergaulan sehari-hari mereka kepada anak cucu memakai
bahasa Melayu, walau kadang-kala kalau ketemu orang kampong juga masih
bercampur dengan bahasa Jawa. Demikian juga halnya dengan Tok H.Iksan
yang sudah lama menetap di Klang-Malaya. Tok H.Usman sendiri bersama
anaknya Ahmad (ayahku) dalam tulis baca hanya bisa memakai tulisan Arab-
Melayu (pegon). Walaupun Tok H.Usman juga pandai baca tulisan Jawa (Ho-
No-Cho-Ro-Ko) karena belajar dari ayahnya KH.Hasan Khatabi, namun beliau
tidak mau mengajarkan ke anak-anaknya, karena kata beliau, “…kita sekarang
sudah berada di negeri Melayu, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung….
bahasa menunjukkan bangsa… kita sekarang sudah jadi orang Melayu…”.
Sehingga kalau masuk Desa Sungai Ungar sekarang, ada ciri khas yang
lain, yaitu dari segi bahasa masih bercampur antara bahasa Melayu dengan
campuran bahasa Jawa, seperti; koe (engkau), ra genah (tidak jelas), mangan
(makan), ora (tidak), sikil (kaki), ketok e (kelihatannya), yo wes lah (ya
sudahlah) dan lain-lain. Demikian juga dengan panggilan kepada orang-orang
tua, masih ada campuran Melayu-Jawa sampai sekarang, seperti; pak
Long/mak Long, pak Ngah/mak Ngah, pak Cik/mak Cik, pak Usu/mak Usu, pak
Andak/mak Andak, Nenek, Atok, Wak, juga ada panggilan pak De/bu De, pak
Lek/bu Lek, Yai, Nyai, tole (panggilan untuk anak laki-laki kecil), bawuk
(panggilan untuk anak perempuan kecil), dan lain-lain.
Ada juga dengan nama dan istilah lainnya. Kata ayah, orang Sungai Ungar
ini paling suka menggelar orang (memberikan gelar) kepada orang. Kadang
gelar itu menjadi nama panggilannya karena tersebab sesuatu supaya mudah
diingat saja. Ayah mencontohkan, “….ayah ini dipanggil orang dengan pak
Anjang, emak engkau dipanggil orang dengan mak Anjang…”. Aku bertanya ke
ayah, “…apa sebab tu yah….”. Ayah menjawab, “….karena ayah ini tinggi…”.
Aku bertanya lagi, “… tapi emak tak tinggipun….”. Ayah menjawab,”….kalau
emak engkau ziz memanglah tak tinggi, tapi karena dia isteri ayah, maka apa
yang dipanggil orang ke ayah, emak juga ikut dipanggil macam itulah….”.
Ayah juga memberikan beberapa contoh panggilan yang menjadi ciri khas
orang-orang kampong Sungai Ungar. “…ada bilal di masjid kita tu ….namanya
59
Ali (ketika itu), dia bertugas pukul kentongan sebagai tanda masuk waktu
sembahyang bagi orang-orang kampong. Karena dia suka pukul kentong pada
setiap waktu sembahyang, orang sering bilang…. wah dah bunyi kentong tu….
Ali dah pukul kentong…. waktu dah masuk ni…. eh… lama-lama dipanggil
orang dia Ali Kentong….”. Mendengar kata ayah, akupun ketawa terpingkal-
pingkal.
Karena menurutku (maaf) lucu, maka aku terus bertanya lagi ke ayah.
Ayah kembali meneruskan ceritanya,“…engkau tahu ziz, di kampong kita ni
ada 2 orang namanya sama. Pertama ayah, Ahmad bin H.Usman dan kedua
Ahmad bin Usman. Nama sama cuma bedanya, Tok kita pakai haji, dia tidak.
Ayah tinggal di parit laut ni, kalau Ahmad satu lagi tinggal di parit tegak di darat
tu. Pada suatu hari Ahmad ni… yang tinggal di parit tegak tu naik basikal
(bicycle: dalam bahasa Inggris, artinya sepeda)… be-gohed lah dia (go a head:
dalam bahasa Inggris, artinya melanjutkan, namun orang kampong sering
mengartikan dengan berkayuh sepeda), ….dari parit tegak ke Sempang
(simpang 4 maksudnya, tempat titik bertemu orang kampong dari seluruh
penjuru Sungai Ungar) ….tapi entah tiba-tiba dia terjatuh tak sempat pulak
kawan ni break (break: bahasa Inggris, artinya rem) ….akhirnya dia pun jatuh.
Tengok dia ni jatuh, orang kampong pun datang dan langsung tanya,… kenapa
engkau ni Mad, kok jatuh tak pasal-pasal (jatuh tanpa sebab)….eh dia ni pulak
dengan badan masih ketimpa basikal menahan sakit, bukannya menjawab apa
yang ditanya orang kampong ….dengan muka selambe sambil garuk-garuk
kepala pulak tu …..dia malah tesengeh-sengeh sendiri (tersenyum
menyeringai)….. Nah lepas saja kejadian tu, si Ahmad ni pun terus dipanggil
orang dengan panggilan Ahmad Sengeh…”. Mendengar cerita ayah, kembali
aku ketawa terpingkal-pingkal lagi. Ada-ada saja lah orang-orang kampong ku
ini.
60
Kadang mengakibatkan sengketa dan tak jarang malah kelahi, semisal
sempadan tanah perkebunan ataupun hewan ternak merambat (masuk dan
menghancurkan) kebun orang. Belum lagi masalah perkawinan, warisan, harta
pusaka dan lainnya.
Menyadari banyaknya terjadi hal yang demikian, maka orang-orang
kampong ketika itu sering menyampaikan berbagai macam persoalan ini dan
menyerahkannya ke Tok H.Usman. Karena seringnya menyelesaikan masalah
orang-orang kampong ini, maka Tok H.Usman berpikir perlunya Sungai Ungar
ini ditata dalam bentuk kepenghuluan. Kenapa ketika itu tidak dibentuk Desa
Sungai Ungar sebagaimana lazimnya di Jawa, apalagi Tok H.Usman pernah
berada di Jawa. Kata ayah, Tok H.Usman berpikir karena ini adalah negeri
Melayu dan kita harus tahu asal mula dibentuknya negeri ini sebagai ingatan ke
anak cucu kelak. Kekuasaan Penghulu lebih luas dari kepala Desa katanya.
Disitu ada juga persoalan nikah kawin, warisan dan lain-lain. Itu semua yang
dihadapi masyarakat Sungai Ungar ketika itu. Maka Penghulu dimaksudkan
sebagai orang yang memegang peran mengatur hulu sungai Ungar, karena
awal jadinya kampong Sungai Ungar ini adalah dari hulu sungainya
(sebagaimana diceritakan diatas). Kepenghuluan (sekarang namanya Desa)
perlu dilembagakan sehingga didalamnya ada bagian-bagian yang mengatur
kehidupan masyarakat kampong. Ketua kepenghuluan disebut dengan
Penghulu. Jadi, Penghulu sama dengan kepala kampong. Perlunya segera
dibentuk Penghulu agar kampong Sungai Ungar ini maju dan semua masalah
ada bagian-bagian yang menyelesaikannya sehingga tidak menumpuk
penyelesaiannya ditangan satu dua orang saja. Apalagi setiap orang tentu ada
masalah sekaligus mereka juga punya kewajiban untuk menghidupi
keluarganya masing-masing. Atas dasar ini Tok H.Usman pun kemudian
menyampaikannya ke Amir di Tanjung Batu (perwakilan pemerintahan setingkat
Camat) apa yang terjadi di Sungai Ungar dan bagaimana hubungannya dengan
Kesultanan Riau.
Namun karena ketika itu masa-masa sulit peralihan pemerintahan dari
kesultanan Riau ke pemerintah kolonial Belanda akibat konflik, maka Amir
hanya mengatakan kondisi terakhir kesultanan Riau saat itu. Pemerintah
kolonial Belanda sudah memakzulkan Sultan Abdurrahman Muazam Syah II
dan Tengku Besar Omar tahun 1911, dan tahun 1913 katanya kesultanan Riau
dihapus. Tapi di beberapa tempat masih ada pergolakan antara patuh sama
Sultan ataupun patuh sama kolonial Belanda ketika itu. Pemegang kuasa
sekarang (saat itu) kolonial Belanda, semua yang menentang akan dihukum.
Jadi semua diserahkan sepenuhnya kepada Tok H.Usman, kalau dirasa bisa
memberikan kepastian dan keamanan untuk masyarakat laksanakan saja, nanti
kalau sudah selesai beritahu saja, yang penting tidak ada kerusuhan ataupun
pemberontakan. Tok H.Usman juga diminta bertanggungjawab kalau terjadi
apa-apa terhadap keamanan Sungai Ungar tersebut. Kondisi yang ditulis disini
sama dengan kondisi bertemunya Raja Kadar (salah seorang panglima
61
Kesultanan Riau untuk wilayah Karimun sekitarnya) dengan ayah tahun 1915 di
Sungai Ungar (nanti aku ceritakan seterusnya).
Mendengar hal tersebut, maka geram juga Tok H.Usman, karena beliau
paling tidak suka dengan kolonial Belanda, apalagi bekerja dibawah kendali
pemerintah kolonial Belanda. Karena ketika itu namanya Penghulu pasti
dibawah Amir, dan Amir pastilah dibawah kendali pemerintah kolonial Belanda.
Tapi beliau juga berpikir untuk keselamatan orang kampong Sungai Ungar dan
kemajuan anak cucu ke depan. Oleh karena itu, Tok H.Usman segera
memanggil Tok H.Sulaiman dan Tok H.Ikhsan untuk musyawarah tentang
bagaimana sebaiknya kampong Sungai Ungar ini ke depan, harus ada
pemilihan Penghulu yang bisa mengatur itu semua. Apalagi semua penduduk
kampong sudah menyerahkannya kepada mereka bertiga.
Kata ayah, musyawarahnya dilaksanakan di rumah Tok H.Usman di parit
laut ketika ayah berumur belasan ke umur 20 tahun. Kalau dibandingkan
dengan tahun kelahiran ayah 1901, maka umur belasan ke umur 20 tahun itu,
maknanya umur ayah ketika itu sekitar 19 tahun. Jadi musyawarah
dilaksanakan sekitar tahun 1920, sebagai masa-masa pemilihan penghulu
pertama Sungai Ungar. Hal ini dibenarkan juga oleh pakcik Abbas yang aku
tanyakan kepadanya ketika bercerita tentang Sungai Ungar di rumah parit Laut
tanggal 03 Februari 1961, katanya sekitar tahun 1920 itulah.
Diantara mereka bertiga, Tok H.Usman, Tok H.Sulaiman dan Tok H.Ikhsan
dalam pergaulan sehari-hari sudah terjalin hubungan yang erat. Mereka juga
sudah saling mengenal jati diri dan latar belakang masing-masing, sebab
musabab mengapa mereka hijrah meninggalkan tanah kelahiran mereka
masing-masing dan bertemu di Sungai Ungar. Karena pada hakekatnya mereka
semua adalah perantau namun memiliki tujuan yang sama untuk membangun
Sungai Ungar. Mereka bertiga juga sudah berjanji untuk saling menjaga satu
sama lain, saling membantu dan saling mendekatkan hubungan keluarga, baik
melalui hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan sampai ke anak
cucu dan keturunan dibawahnya kelak.
62
Gambar Kantor Desa Sungai Ungar, tahun 2020
63
dibenahi sama-sama, apalagi Sungai Ungar sudah layak menjadi kampong.
Masyarakat makin ramai, kita sudah buat parit-parit, ada batas kebun, tanahnya
subur, ada surau, orang ingin damai, tak kelahi sana kelahi sini, tak terbayang
masa lalu. Anak cucu bisa hidup tenang dan maju kelak. Namun Sungai Ungar
kedudukannya dibawah pemerintah saat ini (ketika itu kolonial Belanda tahun
1920), itu adalah kenyataannya. Tok H.Usman kemudian menarik napas
panjang, sambil melihat Tok H.Ikhsan, beliau kemudian mengatakan bahwa
yang cocok untuk menjadi Penghulu sekarang ini adalah Tok H.Ikhsan. Atas
pernyataan Tok H.Usman ini, Tok H.Sulaiman hanya mengangguk-angguk saja
karena beliau juga paham bagaimana sikap dan prinsip Tok H.Usman.
Mendengar pernyataan Tok H.Usman ini, Tok H.Ikhsan awal mulanya agak
keberatan menjadi Penghulu mengingat dia baru 3,5 tahun tinggal di Sungai
Ungar. Dia juga belum tahu banyak seluk beluk Sungai Ungar, khawatir nanti
jadi masalah di masyarakat. Kata ayah, dalam musyawarah itu Tok H.Usman
bersikukuh bahwa yang menjadi Penghulu harus Tok H.Ikhsan, yang penting
Tok H.Ikhsan menyetujuinya, karena Tok H.Usman tak mau yang lain, apalagi
Tok H.Sulaiman juga sudah menyatakan tak mau jadi Penghulu. Akhirnya Tok
H.Usman mengangkat jari telunjuknya ke atas, dengan mengatakan bahwa Tok
H.Ikhsan adalah Penghulu Sungai Ungar. Melihat Tok H.Usman sudah
mengangkat jari telunjuknya ke atas, segera saja Tok H.Sulaiman mengatakan
setuju Tok H.Ikhsan jadi Penghulu. Akhirnya Tok H.Ikhsan pun setuju jadi
Penghulu Sungai Ungar tapi tetap minta bimbingan dan nasehat dari Tok
H.Usman dan Tok H.Sulaiman. Tok H.Usman berjanji akan tetap menjaga Tok
H.Ikhsan selama jadi Penghulu, selama beliau masih hidup. Maka musyawarah
itu pun memutuskan Tok H.Ikhsan menjadi Penghulu Sungai Ungar.
Bagaimana cara mengumumkan ke masyarakat Sungai Ungar akan diatur Tok
H.Usman dan Tok H. Sulaiman bersama-sama.
64
Tok H.Sulaiman dan Tok H.Ikhsan. Oleh sebab itu Tok H.Ikhsan diminta Tok
H.Usman untuk menjadi imam pertama nanti yang akan disaksikan dan
dimakmumkan oleh semua penduduk Sungai Ungar.
Untuk seterusnya, maka perlu dipilih lokasi pembangunan masjid ini. Untuk
memudahkan orang datang berkumpul, dipilihlah Sempang yang menjadi hulu
sungai Ungar. Sempang ini adalah simpang empat antara Parit Laut (Parit
Mataram), Parit Tegak dan jalan arah ke Tanjung Batu (Selatan) dan Urung
(Utara). Tok H.Usman yang pertama mencacak tiang batang nibung untuk
pondasi tiang masjid. Batang nibung ini diambilnya dari belakang rumahnya.
Tok H.Usman juga menunjuk dan menentukan arah kiblat masjid besar sungai
ungar yang disetujui oleh Tok. H.Sulaiman dan Tok H.Ikhsan. Kemudian oleh
masyarakat lainnya dilanjutkan dengan lantai dan dinding papan, atap daun
rumbia. Maka dimulailah pembangunan masjid Sungai Ungar. Hanya selang
beberapa minggu saja, pembangunan masjid pun siap dengan sederhana dan
langsung diadakan shalat Jumat, sebelum itu tidak ada. Masjid ini awalnya
diberi nama oleh Tok H.Usman dengan nama : Mesjid Besar Sungai Ungar.
Sekarang mesjid ini bernama Mesjid Besar An-Nur Sungai Ungar dan ketika
H.Muhammad Sani bin Subakir bin H.Ridwan menjadi Bupati Karimun, beliau
sudah membangun ulang masjid ini dan mempercantiknya.
65
Tok H.Usman menjadi bilal untuk azan jum’at pertama sekaligus pertanda
masuk waktu shalat dan panggilan untuk orang berkumpul. Dengan suaranya
yang khas, semua penduduk Sungai Ungar yang laki-laki berbondong-bondong
ke masjid. Untuk imam jum’at pertama sesuai yang disepakati adalah Tok
H.Ikhsan, dan untuk khatib pertama Tok H.Usman meminta Sekak (kami
dibahasakan dengan Tok Sekak, karena umurnya hampir sebaya dengan Tok
H.Usman, orang Jogya juga). Selepas shalat jumat, Tok H.Usman, Tok
H.Sulaiman dan Tok H.Ikhsan berdiri di depan jamaah. Tok H.Sulaiman
mengumumkan ke semua penduduk tentang penunjukan Tok H. Ikhsan
sebagai Penghulu pertama Desa Sungai Ungar. Setelah itu, Tok H.Usman
langsung mengangkat tangan Tok H.Ikhsan dengan mengutip sepenggal ayat
Al-Qur’an: Athi’ullah, Athi’urrasul wa ulil amri minkum. Ta’atilah Allah, ta’atilah
Rasul-Nya dan Pemimpin diantara kamu, diakhiri dengan doa yang dibaca
langsung oleh Tok H.Usman dan diaminkan oleh semua jamaah jumat
penduduk kampong Sungai Ungar. Akhirnya Tok H.Ikhsan jadi Penghulu
pertama Desa Sungai Ungar tanpa ada kendala apapun. Semua orang
kampong pun mengucapkan selamat dan malamnya diadakan kenduri do’a
selamat di masjid. Demikian ayah mengakhiri kisahnya.
66
yaitu sungai selangat. Batas ini juga disetujui oleh Penghulu Sungai Sebesi
ketika itu yaitu, Tok Dendang (dipanggil Penghulu Dendang) dan berlaku
sampai hari ini.
Hal yang sangat penting adalah pengaturan tanah perkuburan umum, dari
tanah wakaf, sebagaimana yang ada sekarang ini di belakang S.R (SDN.1)
Sungai Ungar menembus ke arah Parit Laut (Parit Mataram I). Diantara mereka
yang dikubur disini adalah Tok H.Sulaiman dan anak-anaknya, Tok H.Ikhsan
dan anak-anaknya, Tok H.Thayib (mertuaku) dan Ahmad (ayahku). Setelah Tok
H.Ikhsan wafat, beliau digantikan oleh anaknya yang tua yaitu H.M.Amin bin
H.Ikhsan sebagai Penghulu (biasa dipanggil Penghulu Amin). Namun beliau
tidak lama menjabat Penghulu dan digantikan oleh adiknya H.Dahlan bin
H.Ikhsan.
67
Asun, Angau, Toa Pi (Ayah Apek Encong). Mereka yang berprofesi pedagang,
ditempatkan di darat, di jalan masuk Parit, berjualan sembako, membeli hasil
bumi penduduk, seperti getah (karet) dan pinang, diantaranya Gung Sai di Parit
Laut (Mataram I), Cok Yam (Krani) di parit Mangkil, bapaknya Kang Wi di parit
Tegak, Aseng (Bapaknya Yusong) dan Kiu Yu Fak (Atu atau Budisantoso S.H),
di depan parit Tegak, Cipau (datuknya Abun) di parit Bengkok, Cu Pak di parit
Gantong (SMAN 3 Kundur bekas kedai Cupak), Auliang didepan parit Pacitan,
dan di seberang Masjid berjajar, Gonjol (Bapaknya Pang Wi), Akiam (tukang
emas), M. Syarif dan A. Rahman (India) jualan rempa-rempah, Muhammad
jualan mie, jualan minuman teh, kopi, mie dan rujak (petokoan ini milik H. Abd.
Rahman menantu Tok H.Ikhsan).
68
Gambar Gedung Pepsu, Tahun 1963
Searah jarum jam : (lupa), Rehan bin Aliman, H.Abdul Aziz bin H.Ahmad,
Jami’an bin Aliman, Surip bin Warsidi, (lupa)
69
Sawang, Mata Air, Lubuk, Urung, Sei Sebesi, Alai. Bahkan ada tim dari
Tembilahan dan Jakarta pernah datang ke Sungai Ungar, seperti Rita Zahara
pemain sepak bola (kipper) dari salah satu klab di Jakarta. Biasanya kalau
latihan sepak bola ini, Mansur bin Aliman atau Warikun sering menjadi wasit.
Sedangkan untuk Badminton, yang dikenal ketika itu adalah Basirun dan Peng
Wi, dan mereka berdua sering menjadi utusan Pepsu di beberapa
pertandingan.
Untuk bidang kesenian, Penghulu H.Dahlan membentuk group kesenian
Pepsu, seperti: group pentas sandiwara bangsawan; group kesenian alat
musik, seperti: biola, trombone, terompet, akordion, serta bas. Untuk bidang
kesenian, pada masa Penghulu Jais H.Ikhsan membentuk group kesenian
Pepsu yang diberi nama “Mari Kangen”. Kesenian ini dalam bentuk klab Tonel
(sandiwara) dan klab kesenian bermain alat musik, seperti : biola, trombone,
terompet, akordion, drum, gitar, serta bas. Untuk melengkapi alat-alat kesenian,
para pemuda biasanya mereka Iuran. Diantara pemain klab kesenian alat
musik, yaitu; H.Khairi, Arjan, Sareh, Adnan, M.Yusuf, Jais bin Ahmad, Ahmad
Usman, Ramli dan lain-lain. Karena situasi zaman memasuki tahun 1960an
kelompok ini bubar, namun masih ada juga yang berusaha meneruskan, seperti
adik beradik Ahmad Hudari anak H.Khairi. Untuk tonel, aku juga pernah
membuat cerita seperti; musang berjanggut, awal dan nira, demikian juga
temanku Hadis. Tonel kami dipentaskan sempena hari Raya Idul Fitri, kadang-
kadang sampai 3 – 4 malam berturut-turut. Ketika itu Sungai Ungar memiliki
gedung rakyat di belakang kedai cina A seng (bapak Kyu Pak), walau hanya
berdinding papan dan beratapkan daun rumbia. Di gedung rakyat ini juga
kadangkala diputar sebagai bioskop yang didatangkan oleh Tauke dari Tanjung
Batu.
Gambar Klab kesenian Persatuan Pemuda Sungai Ungar/ Pepsu Tahun 1958
Searah jarum jam yang berdiri :
Adnan bin Abdullah, Said, M.Amin bin Aliman, Husin, -, Arjan, Ismail bin H.Dahlan,
Abdul Hamid, Ahmad bin Usman, Mukhtar
70
4. PENDIRIAN MADRASAH KHAIRIYAH ISLAMIYAH SUNGAI UNGAR
Penghulu setelah H.Dahlan bin H.Ikhsan adalah adiknya bernama Jais bin
H.Ikhsan (biasa dipanggil Penghulu Jais). Pada masa Penghulu Jais ini, mulai
bidang pendidikan agama di tata dengan baik.
Di bidang agama, Penghulu Jais H.Ikhsan meminta ayah untuk
membantunya dalam hal keagamaan khususnya bimbingan perkawinan bagi
pemuda Sungai Ungar. Penghulu Jais H.Ikhsan tahu betul bahwa ayah memiliki
ilmu tentang ini. Ayah memang memiliki kemampuan ilmu agama dalam bidang
fikih khususnya tentang N.T.C.R (nikah, talak, cerai dan ruju’) ini. Ayah belajar
dari Tok H.Usman dan Dawami (kami dibahasakan dengan Pak De
Dawami/saudara satu ayah/anak dari Tok H.Usman dari ibu Nyai Sa’diah
Yogyakarta). Dengan berbekal ilmu fikih ini, maka ayah banyak membantu para
pemuda Sungai Ungar untuk belajar, apalagi kalau akan menikah. Mereka
belajar khususnya hal-hal terkait dengan bimbingan pernikahan, seperti; Lafaz
Ijab Qabul sehingga lancar mengucapkannya dihadapan wali (imam) di majelis
pernikahan. Ayah juga memberikan bimbingan terkait do’a hubungan suami
isteri, do’a mandi wajib dan tata caranya, do’a selamat keluarga, tata cara
menjadi imam sholat jama’ah di keluarga, membaca Al-Qur’an, tentang hal-hal
apa harus dilakukan ketika ada kelahiran anak dan hal-hal menyangkut
kewajiban suami isteri.
Ayah mendapat ilmu ini sebagaimana dikatakan diatas adalah dari Tok
H.Usman dan Pak De Dawami yang datang dari Imogiri Yogyakarta. Pak De
Dawami belajar agama kepada KH.Nawawi dan menjadi pengasuh pondok
pesantren. KH.Nawawi belajar dari ayahnya bernama KH.Irsyad di pondok
pesantren miliknya. KH.Irsyad adalah abang kandung Tok H.Usman. Dengan
demikian, kata ayah kepadaku, ilmu yang didapat ayah ini sanadnya muttasil
dan tingkatannya shohih. Sebelumnya aku tidak begitu mengerti apa yang
dikatakan ayah ini. Namun setelah aku belajar di PGAPN 4 tahun Tanjung
Pinang, sekitar 5 tahun kemudian, barulah aku mengerti apa yang diucapkan
ayah. Bahwa yang disebut ayah dengan sanadnya muttasil dan tingkatannya
shohih, ini merupakan istilah dalam ilmu Hadis ketika meneliti tingkat kebenaran
suatu periwayatan Hadis Nabi. Istilah ini juga dipakai dalam silsilah keilmuan
Islam ketika mendapatkan suatu ilmu dan pengajaran. Sanad adalah urutan
orang yang meriwayatkan Hadis Nabi tersebut, sedangkan muttasil artinya
bersambung. Jadi istilah sanadnya muttasil, dimaksudkan ayah bahwa urutan
guru yang mengajarkan ilmu ke ayah jelas orangnya tanpa putus silsilah
ilmunya. Tingkatannya shohih, dimaksudkan ayah sebagai apa yang didapat
dari ilmu itu memiliki tingkat kebenaran yang tinggi, sehingga memiliki nilai
kemanfatan dan keberkahan kalau diajarkan ke orang lain.
Demikian pula dengan sekolah agama atau madrasah. Penghulu Jais
H.Ikhsan mulai menata madrasah dan kembali meminta ayah membantu
mewujudkannya di Sungai Ungar. Pada zaman Belanda, madrasah belum
71
dikenal, yang ada hanya sekolah desa, atau sekolah rakyat atau S.R, inipun
sampai jenjang kelas tiga saja. Pada masa pendudukan Jepang di tanah air
semua kegiatan dilarang, apalagi kegiatan agama atau berbau agama. Bahkan
penduduk pada pagi hari ketika matahari terbit di timur, diperintahkan keluar
dihalaman tegak lalu tunduk ke arah matahari, itulah Jepang. Setelah Indonesia
merdeka, kegiatan sekolah bergerak kembali, dan jenjang S.R (sekolah rakyat)
sampai kelas enam.
Ketika itu, pendidikan agama dalam bentuk madrasah belum ada di Sungai
Ungar. Untuk pengajaran agama, biasanya anak-anak, para remaja, pemuda
belajar agama seperti mengaji Al-Quran, Fekah atau Fikih, mendatangi guru
dirumahnya atau belajar dirumahnya sendiri. Sama seperti sistem privat saja.
Guru yang datang ke rumah-rumah. Hal yang sama juga seperti apa yang
dilakukan ayah, Mak Ngah Walijah, Pakcik Abbas, Pak Usu HM.Yusuf ketika
mengajarkan agama.
Ayah memberikan informasi ke Penghulu Jais H.Ikhsan, bahwa untuk
mendirikan madrasah ini, yang paling penting adalah gurunya. Kata ayah, ada
dua orang putra Sungai Ungar, yaitu Mansur bin Aliman (Muhdi/ kami biasa
memanggilnya dengan WakLong/ Cikgu Mansur/ anak Mak Andak Maznah),
yang lahir di Parit Tegak, Sungai Ungar, dan belajar di Madrasah Seri Medan
Batu Pahat Johor. Belajar bersamanya Ibrahim bin Usman (adik Ahmad
Sengeh). Seorang lagi bernama Asnawi (kami biasa memanggilnya dengan
Cikgu Awi), lahir di Singapura dan belajar di Madrasah Al-Juned. Ketiga orang
pemuda ini kembali ke Desa Sungai Ungar, setelah tamat belajar. Melihat
adanya ketiga pemuda terpelajar ini, maka mereka segera dipanggil ayah dan
membawanya berjumpa Penghulu Jais H.Ikhsan. Penghulu Jais H.Ikhsan pun
memberikan pandangannya kepada mereka terhadap perlunya segera didirikan
madrasah di Sungai Ungar ini dan meminta bantuan mereka sebagai gurunya.
Hal ini dilakukan karena pada waktu itu hanya ada S.R (Sekolah Rakyat) dan
sekolah ini tidak mengajarkan pendidikan agama. Apalagi pelajaran agama
hanya dilakukan di rumah-rumah saja.
Atas saran dari ayah untuk mewujudkan madrasah ini, maka penghulu Jais
H.Ikhsan mengundang para kepala parit yang ada di Desa Sungai Ungar,
orang-orang tua dan tidak ketinggalan ketiga orang pemuda tadi sebagai calon
guru, yaitu Mansur bin Aliman, Ibrahim bin Usman, dan Asnawi.
Hasil dari musyawarah, mereka sepakat mendirikan Sekolah Agama atau
Madrasah Diniyah, dengan nama Madrasah Khairiyah Islamiyah, dengan ketiga
orang pemuda itu sebagai guru. Untuk mendirikan bangunan madrasah,
Mansur bin Aliman mengizinkan tanah miliknya di Parit Mataram I untuk lokasi
madrasah, juga dekat dari rumahnya kalau mengajar. Bangunan madrasah ini
pun dikerjakan secara bergotong royong oleh masyarakat. Karena lokasi
madrasah ini terletak di Parit Laut (Parit Mataram), maka oleh penghulu Jais
H.Ikhsan meminta ayah selaku kepala parit sebagai pelaksana pembangunan
dan Penghulu sebagai pengawas pekerjaan.
72
Maka ayahpun segera membuat model bangunan madrasah (design) dan
perlengkapan lainnya yang perlu disiapkan orang kampong. Akhirnya
pembangunan madrasah berjalan lancar, dengan bangunan panggung,
bertiang empat persegi berjumlah 12 batang, berdinding dan berlantai papan,
beratapkan daun meria (sagu), terdiri dari 3 lokal, dilengkapi 2 buah tangga
naik, bangku murid, meja dan kursi guru, serta papan tulis.
Pendirian madrasah ini menurut cerita ayah kepadaku, diperkirakan pada
akhir tahun 1949 dan awal tahun 1950, bersempena dengan penyerahan
kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda kepada Proklamator Soekarno-
Hatta pada tanggal 27 Desember 1949 setelah agresi Militer Belanda II
berakhir. Sambutan masyarakat dengan berdirinya madrasah ini sungguh
menggembirakan sekali. Banyak para wali murid memasukkan putra-putrinya
ke madrasah ini.
Selama proses pembangunan madrasah, ayah selalu bertukar pikiran
dengan penghulu Jais H.Ikhsan tentang pengelola madrasah dan gaji atau
honor guru yang mengajar, juga tentang pelajaran apa saja yang akan
diajarkan di madrasah ini. Akhirnya diputuskan bahwa yang menjadi pengelola
madrasah adalah Mansur bin Aliman (biasa dipanggil Cikgu Mansur) dan
Asnawi (biasa dipanggil Cikgu Awi). Mereka masing-masing sebagai kepala
dan wakil sekaligus merangkap sebagai gurunya. Adapun Ibrahim bin Usman
tidak turut serta mengajar, karena kembali ke Batu Pahat Johor. Ayah menolak
untuk mengajar dan diserahkan kepada anak-anak muda saja, karena ayah
sudah banyak tugas lain di kampong Sungai Ungar ini, seperti; menjadi kepala
parit dan guru bimbingan pernikahan serta tugas kemasyarakatan lainnya,
seperti di masjid. Disamping itu juga ayah harus terus bertani, berkebun dan
menjala ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari kami sekeluarga. Ayah khawatir
banyaknya tugas dan tanggung jawab ayah nanti tidak fokus menjadi guru
madrasah, karena menurut ayah menjadi guru madrasah tidak boleh sambil-
sambilan. Oleh karena itu ayah menyerahkan semua urusan madrasah ke
anak-anak muda ini dengan tetap ayah bantu kalau ada masalah. Sedangkan
untuk honor guru madrasah ini dibantu oleh Penghulu Jais H.Ikhsan tiap bulan.
Karena jam belajar di madrasah ini hanya siang lepas zuhur sampai menjelang
ashar dan dilanjutkan lepas magrib sampai menjelang Isya saja, maka Cikgu
Mansur dan Cikgu Awi dapat melakukan kerja lain untuk menambah
penghasilan, seperti; menoreh (menyodok) getah, mengait kelapa, mencongkel
pinang dan lain-lain.
Ayah juga membantu mereka para guru madrasah dalam menyusun materi
pelajaran, yaitu; ibadah (Fikih), Aqidah/Tauhid, Tarikh, Akhlak, Tajwid/membaca
Al-Quran dan Tafsir. Semua kitab yang diajarkan menggunakan huruf Arab
Melayu dan sebagian berbahasa Arab. Sedangkan siapa yang akan mengajar
pelajaran apa, ayah serahkan ke mereka berdua saja.
Diantara kitab atau buku yang diajarkan di Madrasah Khairiyah Islamiyah
Sungai Ungar ini adalah :
73
1. Kitab Mathla’ul Badrain wa Majma’ul Bakhrain yang ditulis oleh Abdul Faqir
Al-Ghani Muhammad bin Ismail Daud Al-Fathani. Syeikh Daud Al-Fatani
merupakan ulama besar Melayu dari Patani dan termasuk penyebar
keilmuan Islam dalam jaringan ulama berpengaruh di Mekah-Nusantara
abad ke 17. Syeikh Daud al-Fatani merupakan murid dari ulama besar
Syeikh Muhammad Samman atau di tanah air kenal dengan Manaqib Syeikh
Samman. Kitab ini aku beli di Tanjung Batu Kundur pada Tanggal 13 Januari
1956 M/12 Sya’ban 1376 H. Kitab ini masih ada dan aku simpan sampai
detik ini bahkan ketika aku tulis kisah ini pada tanggal 21 Juli 2019 M atau
bertepatan dengan 18 Dzulkaidah 1440 H, kembali aku mengecek
keberadaan kitab ini diperpustakaan mini di rumahku Pekanbaru. Kitab ini
bertuliskan jawi, Melayu-Arab mengandung hukum-hukum fiqh mazhab
Syafi’i, yang berisi tentang : kelebihannya Ilmu, rukun Islam dan rukun Iman,
ilmu Tauhid, dan Ilmu Fiqih; shalat, puasa, zakat, wasiat, pernikahan dll.
2. Kitab Kifayatul Ghulam fi Bayani Arkanil Islam ditulis oleh Syeikh Ismail bin
Abdullah al-Khalidi al-Minangkabawi. Syeikh Ismail merupakan ulama
Melayu termasyhur dan termasuk penyebar ajaran tarekat Naqsabandi al-
Khalidi, pada masa Kesultanan Riau-Lingga di pulau Penyengat. Syeikh
Ismail pernah menjadi salah seorang guru terkemuka di Kesultanan Riau
Lingga. Bahkan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali bin Raja Ja’far
mengirimkan perahunya secara khusus untuk menjemput Syeikh Ismail ini
yang telah sampai dari Mekkah dan berada di Singapura, untuk mengajar
dan menetap di pulau Penyengat. Raja Ali dan Raja Abdullah diantara Yang
Dipertuan Muda Riau adalah murid Syeikh Ismail ini. Kitab ini sampai
sekarang masih aku simpan. Kitab ini bertuliskan jawi Arab-Melayu
mengandung pokok-pokok ajaran ilmu fiqh mazhab Syafi’i, yang berisi
tentang: macam-macam najis, bersuci, shalat dan rukunnya, zakat dan
segala perinciannya, puasa, zakat, haji, pernikahan.
3. KItab Perukunan Melayu Besar yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari. Syeikh Muhammad Arsyad merupakan ulama besar Melayu dari
Banjar juga murid dari Syeikh Muhammad Samman. Kitab ini ditulis jawi
Arab –Melayu berisi dua puluh dua pasal. Pada bagian awal kitab ini
membahas secara ringkas tentang rukun iman. Keimanan kepada Allah
melalui sifat tiga belas. Keimaman kepada Allah, Malaikat, Rasul semuanya
diuraikan secara ringkas dan padat. Adapun pembahasan tentang fikih
meliputi hukum air, najis, buang hajat dan istinja’, mandi, hadas kecil,
tatacara wudhu’, shalat, puasa, hukum jenazah, shalat jamak dan qashar.
Kitab ini juga berisi tentang amaliah zikir dan doa-doa yang sangat
berfaedah untuk diamalkan sehari-hari.
4. Kitab Sifat Dua Puluh yang ditulis oleh Habib Usman bin Abdullah bin Aqil
bin Yahya. Habib Usman merupakan salah seorang ulama Betawi. Kitab ini
berisi tentang Aqidah dan keimanan kepada Allah melalui pemahaman
terhadap sifat-sifatNya sesuai dengan ajaran dari Imam Abu Hasan al-
Asy’ari, seorang tokoh besar ajaran Ahlussunah wal Jamaah.
74
Cikgu Awi, memegang mata pelajaran Bahasa Arab, Tafsir Al-Quran, Tajwid
dan Takhsinul Khat (Khat) tulisan indah, seperti Tsuluts, Riq’ah, dan lain-lain,
dan Mansur Aliman mengajar selainnya. Patut disebut disini murid-murid yang
belajar diawal madrasah ini berdiri diantaranya adalah Alifurrahim Dasuki (Alif),
Muslim bin Idris dan adiknya Musman, Thawil bin Harjo, Syuhud, Tamsir bin H.
Shaleh, Hasyim, M.Syahid bin Siman dan lain-lain. Dari murid perempuan
adalah Rumanah binti H.Nawawi dan adiknya Aminah dan Jumiah, juga
Roslaini binti Jais Ikhsan dan adiknya Habibah.
75
Kitab Kifayatul Ghulam – Kitab Perukunan Melayu Besar – Kitab Sifat Dua Puluh
Diantara kitab wajib yang dipelajari di Madrasah Khairiyah Islamiyah Sungai Ungar
pada masa tahun 1950an
76
Usu M.Yusuf mengarungi sungai selangat yang ketika banjir sampai setinggi
dada orang dewasa dengan arusnya yang deras, untuk menemui calon guru
tersebut. Karena yang berada di pikiran ayah ketika itu adalah apapun kondisi
jalan yang dilewati, seberat apapun rintangan yang dihadapi dan apapun
cabaran yang ditemui, anak-anak Sungai Ungar harus mendapatkan pelajaran
agama dari guru yang ikhlas lagi berbakti. Karena ini sangat penting bagi
kemajuan generasi Sungai Ungar ke depan.
Sesampainya di Tanjung Batu, ayah langsung menuju ke toko tempat calon
guru tersebut bekerja dan menemui Penghulu H.Nawawi. Dari hasil
pembicaraan tersebut, tahulah ayah bahwa pemuda tadi datang dari Kendal
Jawa Tengah, belum lama tiba di Tanjung Batu. Beliau tinggal di rumah
Penghulu, membantunya dan atas bantuan Penghulu juga diminta bekerja di
toko cina. Nama pemuda ini adalah Soehaimi Ridwan, pernah belajar di
Pondok Pesantren Kaliwungu Cipiring dan belum beristri.
Setelah lama berbicara dan berkenalan satu sama lain, ayah menyampaikan
maksud kedatangannya menjumpai Soehaimi yaitu tentang kesediaannya
untuk mengajar di Madrasah Khairiyah Islamiyah Sungai Ungar. Ibarat kata
pepatah “orang mengantuk di sorong bantal”, Soehaimi bersedia dan sanggup
menjadi guru di Madrasah Sungai Ungar. Ayah mengatakan tak usah dipikir
masalah tempat tinggal, makan dan minum asal mau jadi guru agama, nanti
semuanya ayah yang siapkan. Untuk gaji nanti penghulu Jais H.Ikhsan yang
bantu. Akhirnya Soehaimi tinggal dirumah kami. Demikianlah ayahku, beliau
sangat antusias sekali kalau bekerja, berjuang dan membantu syiar agama
Islam, semua diikhlaskan beliau agar anak-anak Sungai Ungar paham akan
agama. Dengan demikian Madrasah berjalan kembali seperti biasa pada sore
hari.
Madrasah ini sampai kelas VI. Diantara mereka ada yang tamat sampai
kelas VI dan banyak juga yang putus ditengah jalan. Diantara mereka yang
tamat sampai kelas VI adalah isteriku Hj.Sutirah binti Ahmad, dan dia memiliki
surat keterangan tamat belajar yang ditandatangani Penghulu Jais H.Ikhsan
dan kepala madrasah saat itu Soehaimi Ridwan pada 28 Februari 1961, seperti
tertulis dibawah ini :
77
Surat tanda tamat belajar istriku Hj.Sutirah binti Ahmad
di Madrasah Khairiyah Islamiyah Sungai Ungar tahun 1961
78
Poto MIN Sungai Ungar kini yang sudah alih status menjadi Negeri
Awalnya bermula dari Madrasah Khairiyah Islamiyah Sungai Ungar
79
yang mereka rencanakan dan tanpa paksaan. Namun “bidal orang tua-tua” dan
“mulut masin mereka” memberikan semacam girah hidup sehingga memberikan
banyak aura positif bagi pertemuan dan kehidupan anak cucu mereka kelak.
Pada kesempatan ini aku akan menuliskan hubungan kekeluargaan seperti
perkawinan yang terjadi diantara anak cucu mereka bertiga sehingga semakin
memperkuat tali silaturrahim dan ukhuwah islamiyah. Dibawah ini aku tuliskan
hanya salah satu contoh saja dari sekian yang ada dan menjadi menguatnya
hubungan kekeluargaan tersebut diantara anak cucu mereka.
Untuk yang pertama adalah hubungan kekeluargaan antara anak cucu Tok
H. Sulaiman dan Tok H. Ikhsan :
Untuk yang kedua adalah hubungan kekeluargaan antara anak cucu Tok
H.Usman dan Tok H.Sulaiman :
Untuk yang ketiga adalah hubungan kekeluargaan antara anak cucu Tok
H.Usman dan Tok H.Ikhsan :
Ayahku bernama Ahmad bin H.Usman adalah anak tertua Tok H.Usman dari
istri Nek Halimah. Beliau dilahirkan di Singapura tahun 1901. Sejak kecil ayah
selalu mendampingi kemana Tok H.Usman pergi dan termasuk yang sangat
dekat dengan beliau. Beliau mendapat didikan agama langsung dari Tok.
H.Usman, sehingga ayah fasih membaca Al-Quran, berzanji dan tulis baca arab
melayu. Namun demikian, ayah tidak bisa menulis huruf latin. Ayah juga yang
mengajarkan mengaji Al-Quran kepada abang Jais dan abang Rahman. Ada
seorang dari pulau Manda bernama Abdul Haris dihantarkan oleh ayahnya
80
Abdul Kadir ke rumah kami untuk minta tolong ke ayah agar diajarkan
membaca dan menghafal Al-Quran. Abdul Haris tinggal di rumah kami,
alhamdulillah mereka bertiga dapat membaca dengan fasih dan
mengkhatamkan Al-Quran 30 Juz yang diajarkan oleh ayah.
Sedangkan emakku, bernama Asmah binti H.Thayib dilahirkan di Singapura
tahun 1915. Beliau adalah anak kandung Tok H.Thayib dengan Nek Rafi’ah.
Pakcik Sengari, adik emak satu ayah, menceritakan kepadaku pertama kali
ketika aku bersilaturahmi ke rumahnya Jl.Parit Mataram I Desa Sungai Ungar
tanggal 5 Juli 1987. Kedua kalinya pada tanggal 6 april 1993 bertepatan
dengan 2 Syawal 1412, aku datang bersama istri dan anak-anak. Tok H.Thayib
ketika muda bernama Ramlan Bin H.Syukur, setelah menunaikan ibadah haji ke
Mekkah, beliau berganti nama menjadi H.Thayib. Beliau berasal dari Desa
Butuhan Wonosobo, Magelang. Paman beliau bernama Rumanis, seorang
Lurah di Butuhan. Tok H.Thayib bekerja sebagai seorang pelaut, kapten kapal
dengan rute pelayaran Betawi/Batavia (Jakarta), Medan dan Singapura pulang
pergi. Setelah rute kapal hanya Medan-Singapura, maka beliau menetap di
Singapura pada tahun 1910. Setelah berhenti dari pekerjaan di laut, beliau
bekerja di perusahaan air Singapura. Tok H.Thayib pernah beristri dengan
gadis asal Medan, tetapi tidak punya anak. Setelah bercerai dari istrinya ini,
beliau beristri pula dengan gadis Singapura bernama Rafi’ah, dan dikaruniakan
putera dan puteri sebanyak 14 orang. Setelah Rafi’ah meninggal dunia, beliau
beristri lagi dengan seorang janda bernama Samirah (kami dibahasakan
dengan Nek Samirah/ beliau berasal Muar-Johor), janda dari H.Siddiq.
Setelah Tok H.Thayib pensiun dari pekerjaannya sebagai karyawan
perusahaan air di Singapura, beliau dengan istrinya Nek Samirah pindah ke
Sungai Ungar di Parit Laut. Kepindahan ini dengan membawa semua anak-
anaknya yang belum berkeluarga, baik anak-anaknya dengan istrinya Rafi’ah,
maupun anak bawaan dari istrinya Samirah (anak tiri). Sedangkan anaknya
yang sudah berkeluarga tinggal menetap di Singapura.
Anak Tok H.Thayib yang ikut ke Sungai Ungar dengan istri Nek Rafi’ah
adalah M.Yusuf. Namun setelah M.Yusuf ini bercerai dengan istrinya orang
Parit Laut, ia kembali lagi ke Singapura dan menetap hingga meninggal dunia
di sana. Sedangkan anak bawaan dari isterinya Nek Samirah adalah; Feqih,
Mariatun dan Kamariah. Dengan isterinya Nek Samirah, Tok H.Thayib
memperoleh tiga orang anak laki-laki, yaitu Sengari, Selamat dan seorang lagi
meninggal di waktu kecil.
Tok H.Thayib terus menetap di Parit Laut (sekarang Parit Mataram) hingga
akhir hayat beliau meninggal dunia pada tahun 1936 dalam usia 72 tahun
(1864-1936), dan dikebumikan di perkuburan Sungai Ungar belakang SDN 1.
Emak Asmah binti H.Thayib adalah anak keempat dari enam saudara
kandung se-ayah seibu. Emak juga memiliki saudara se-ayah dan saudara tiri.
Saudara kandung se-ayah dan se-ibu ada enam orang, yaitu; Hj.Safiah
(bersuami H.Adam), Aisyah (bersuami Subandi), Fatimah (bersuami Samadi),
M.Shaleh, Rajab (beristeri Umi Kalsum), Sapura (beristeri Mariatun) dan paling
81
kecil H.Usman. Saudara-saudara se-ibu dari emak yang lain meninggal diwaktu
bayi atau waktu kecil.
Sedangkan saudara emak se-bapak seibu, anak dari Tok H.Thayib dengan
istrinya Nek Samirah adalah Sengari (beristeri Djaimah binti Abd.Rahim bin
H.Sulaiman) dan Selamat (beristeri Paenah binti Sarpan bin Raswan/H.Daud).
Saudara-saudara ibu sekandung semuanya lahir di Singapura dan sebagian
menetap di Singapura yang lainnya ikut pindah ke Sungai Ungar bersama Tok
H.Thayib. Adapun saudara emak se-bapak semuanya lahir di Parit Laut (Parit
Mataram) Sungai Ungar. Saudara-saudara tiri emak dari anak-anak bawaan
dari Nek Samirah (dengan mantan suaminya H.Siddiq) atau anak tiri H.Thayib
adalah Sanan, Samuri (beristeri Masirah), Feqih (beristeri Rahmah), Fatemah
(bersuami Rahmat/asal Johor), Mariatun (bersuami Sapura bin H.Thayib) dan
Kamariah (bersuami Muhadi/Bambang).
82
meneruskan ceritanya, pada suatu hari ketika dalam perjalanan pulang ke
Sungai Ungar dari Singapura, diatas kapal beliau jatuh sakit, karena usianya
sudah tua, penyakitnya itu membawa beliau menemui ajalnya. Adapun buku
dari simpanan uangnya tercecer dan tidak diketemukan lagi hingga sekarang.
83
bb. Maisarah
iv. Abu Khairi
v. Sudirman
vi. Ratnasari
vi. Ely Hendrawati
84
Dari kiri - Hj.Safiah binti H.Thayib, M.Yusuf bin H.Thayib (Singapura, tahun 1982),
Umi Kalsum/ Nyai Sum (Istri Rajab bin H.Thayib/ Urung, tahun 2019
Gambar Kiri : Selamat bin H.Thayib bersama isterinya Paenah binti Sarpan bin Raswan
Gambar Kanan : Sengari bin H.Thayib bersama isterinya Djaimah binti Abdurrahim,
Tahun 1983
Dalam keluarga, ayah disamping yang tertua, juga menjadi tempat dalam
memutuskan semua persoalan keluarga. Empat puluh hari setelah
meninggalnya Nek Halimah, ayah Ahmad bin H.Usman sebagai anak tertua
mengundang dan mengumpulkan semua adik-adiknya dirumah pada siang hari.
Setelah semua hadir, yaitu; Walijah, Abbas, Ruminah dan suaminya M.Yusuf,
emak Asmah bin H.Thayib pun turut hadir. Demikian juga dengan semua cucu-
cucu Nek Halimah, tak ketinggalan aku juga ikut hadir mendengarkan.
Kemudian ayah menjelaskan maksud dan tujuan mengapa mereka
dikumpulkan, yaitu menjelaskan tentang harta peninggalan Tok H.Usman dan
Nek Halimah, serta menjelaskan wasiat dari Tok H.Usman mengenai kebun
kelapa kepada siapa anak-anaknya diberikan dan sebuah rumah tua ini. Ayah
juga menjelaskan beberapa hal sebelum harta dibagikan dan wasiat dibacakan.
Kata ayah, ketika Tok H.Usman meninggal dunia pada tahun 1940, beberapa
bidang kebun kelapa masih tetap di pegang oleh Nek Halimah belum dibagi-
bagikan kepada anak-anaknya, karena mereka sudah memiliki kebun sendiri,
seperti karet, pinang dan kelapa. Kalau masa memetik kelapa tiba, maka
85
mereka semua (anak-anak Nek Halimah) selalu bergotong royong membantu
memetik kelapa dan menjualnya ke tauke cina langganan. Uang hasil penjualan
kelapa itu diserahkan ke tangan Nek Halimah langsung. Kami semua (anak-
anaknya) selalu diberi uang sagu hati karena membantu memetik kelapa
tersebut. Setelah itu ayah menyampaikan wasiat Tok H.Usman bagian mereka
masing-masing dengan alasan mengapa mereka dapat bagian itu. Seterusnya
ayah melanjutkan wasiat Tok H.Usman tentang rumah tua ini diserahkan
kepada pakcik Abbas, dan wasiat Nek Halimah agar pakcik Abbas segera
beristri.
Setelah mendapatkan penjelasan tentang wasiat tersebut, kami sekeluarga
segera bersiap-siap akan pindah rumah. Namun karena ayah belum punya
rumah, maka ayah membuat rumah pondok sementara untuk kami tinggal
(posisi pondok tersebut di bangsal rumah yang sekarang di Jl. Parit Mataram
II), sambil pelan-pelan ayah menyiapkan rumah baru untuk kami. Ini ayah
lakukan karena ayah tak mau melanggar wasiat orang tua, walaupun pakcik
Abbas meminta kami tinggal bersamanya dulu sembari rumah siap.
Demikianlah ayah sangat patuh akan wasiat dari orangtuanya. Cucu beliau
Hamimah binti Selamat juga dapat bagian sebelah tanah rumah yang diberi
oleh Nek Halimah kepada Rumanah, demikian ayah mengakhiri wasiat Tok
H.Usman.
Dalam kehidupan bermasyarakat, ayah diangkat sebagai kepala Parit Laut
(Parit Mataram) oleh Penghulu Desa Sungai Ungar ketika itu H.Dahlan.
Kegiatan yang ayah lakukan sebagai kepala Parit Laut diantaranya :
1. Memimpin warga gotong royong apabila jalan semak atau becek oleh hujan,
menjaga parit agar airmudah mengalir ke parit besar.
2. Bersama-sama warga gotong royong membuka ladang padi, sekarang
sekitar tanah perkuburan yang masih luas, hasilnya dibagi rata.
3. Mengadakan kegiatan membaca berzanji/ syarakal bergiliran dari rumah ke
rumah pada setiap malam jumat.
4. Para pemuda remaja belajar main kompang dirumah M. Syarif (Pak Utih)
dengan memanggil guru Ramlan (H.Masyuri)
5. Surau yang didirikan oleh Selamat (suami Sadinah/anak Mubinah/Mak
Ngah), letaknya jauh dari warga, memang dekat dari rumah Selamat
sebagai imam surau, tetapi menimbulkan kesulitan bagi Selamat dan
keluarga kalau air pasang banjir, untuk jalan menyeberang melalui titian
diatas Parit Serinanti. Dengan musyawarah, warga sepakat bahwa surau
dipindahkan lokasinya.
86
Surau tetap Selamat yang menjadi imam dan Gharim oleh H.Shaleh yang
rumahnya berdekatan dengan surau atau langgar.
Kampung Parit Laut atau Parit Mataram letaknya memang berdekatan
dengan Pantai Laut dan didepannya ada Pulau Manda yang dibatasi dengan
selat yang setiap waktu dilintasi oleh kapal besar-kecil dari Tg. Batu ke
Singapura, Sambu, Tg. Balai dan sebaliknya. Dan air pasang dari utara
keselatan melintasi selat selat ini dan sebaliknya, apalagi kalau air pasang
keling atau pasang besar. Disamping mengikis pantai yang mengakibatkan
abrasi, air naik sampai kedarat kekebun warga oleh air laut atau air asin yang
menyebabkan pula tanaman palawija warga layu dan mati. Sebagai Kepala
Parit, ayah berinisiatif bermusyawarah dengan warga untuk mengatasi masalah
ini. Warga sepakat, karena tidak ada jalan selain bergotong royong membuat
beteng (benteng) sepanjang batas kebun warga menyusur pantai dengan
mencangkul tanah sehingga ketika air pasang besar air masin tidak masuk ke
kebun-kebun warga. Parit kecil yang dibuat (digali) oleh atok H.Usman dan
anaknya Selamat sudah melebar (membesar) menuju ke laut, lalu dibuat pintu
air. Pintu air tertutup kalau air pasang naik, dan ketika pasang surut pintu air
terbuka diterjang air yang turun kelaut. Demikianlah warga Parit Laut (Parit
Matram) bergotong royong dalam mengatasi hal-hal yang menyangkut untuk
kepentingan bersama.
Hidup manusia seperti air mengalir, berjalan terus seperti roda, berputar
sekali keatas sekali kebawah, sekali waktu berhenti. Mengalirnya air tertahan
tergenang di tempat yang rendah, datang teriknya mentari seketika kering
kerontang, datang angin menerpa berterbangan debu tiada berbekas, dibawa
angin entah kemana, bidal orang tua-tua, ingat sebelum kena, hemat pangkal
kaya, ikhtiar dan usaha itulah bekal di hari tua, tanpa meninggalkan ibadah
kepada Tuhan yang maha Esa, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada
berguna, nasi sudah menjadi bubur.
Masa-masa aku dilahirkan adalah masa dunia lagi berkecamuk. Perang di
Eropa berkecamuk sejak 1939. Jerman dan Itali merajalela merambah Eropa.
Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya tak tinggal diam membendung lajunya
tentara Jerman dan Itali di Eropa dan Afrika Utara. Gema turunnya Amerika ke
medan laga ini, mengunggah Jepang sadar dari tidurnya yang sudah lama
menunggu saat-saat ini tiba. Jepang sadar bahwa Amerika dan sekutunya
sedang konsentrasi menghadap Itali di Afrika Utara dan Jerman di Eropa Barat.
Dengan kekuatan penuh, Jepang menyerang dari laut dan udara pangkalan
angkatan laut Amerika di Fasifik, Pearl Harbour jatuh dan Jepang menyatakan
perang dengan Amerika, maka pecahlah “Perang Asia Timur Raya”. Jepang
membuat slogan “Asia untuk Bangsa Asia, Penjajah harus angkat kaki dari
Asia”. Dunia terbakar oleh api peperangan antara bangsa, entah berapa puluh
juta jiwa yang melayang selama peperangan berlangsung antara tahun 1939
hingga tahun 1945, yang dikenal dalam sejarah “Perang Dunia Ke II”.
Gelombang badai dari perang Asia Timur Raya melanda bumi nusantara
yang sedang dijajah oleh bangsa Belanda yang durjana. Jepang yang katanya
87
saudara tua datang akan menyelamatkan saudara mudanya, membuat janji-
janji manis ke seluruh pelosok Nusantara yang ternyata juga tidak ada bedanya
dengan umumnya penjajah. Kini bangsa Indonesia seperti kata pribahasa
“Lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya”.
Hidup rakyat sengsara, barang sembako menghilang dari toko-toko atau
kedai cina. Kalaupun ada, kata ayah itu harga semokel (istilah barang
selundupan). Menambah derita dan sengsaranya rakyat, hasil kebun seperti
getah (karet) dan pinang tidak laku karena tidak ada lagi tauke cina yang
membeli. Bertahan bagi mereka yang memiliki kebun kelapa atau kebun sagu.
Disinilah aku tahu mengapa di awal-awal lagi pindah ke Sungai Ungar ini, Tok
H.Usman segera menanam kelapa, sagu dan tanaman palawija lainnya. Kata
Tok H.Usman dan ayah, kelapa itu termasuk pohon seribu manfaat.
Setelah Tok H.Usman meninggal dunia tahun 1940, praktis ayah menjadi
penopang hidup keluarga kami. Ketika masa pendudukan Jepang tahun 1942
disaat aku lahir, kata ayah dan emak, semua barang makanan menghilang dari
pasar dan kedai-kedai. Pohon kelapa, sagu dan tanaman palawija, seperti;
padi, jagung, ubi jalar, keladi, ubi kayu inilah yang bisa menyambung hidup
kami sekeluarga. Itupun ditanam disela-sela semak agar tak kelihatan
kempeitai (petugas ronda) Jepang, demikian juga memanennya dengan diam-
diam agar tidak ketahuan. Hasil panen disembunyikan ayah dibawah kolong
rumah kami dan ditutup dengan tumpukan kayu bakar dan timbunan daun
kelapa dan daun pisang yang sudah layu, karena khawatir dirampas kempeitai
Jepang. Sehingga alhamdulillah, kami sekeluarga tidak kelaparan, walau tidak
punya uang dan hidup penuh keprihatinan kala itu.
Ayah dibantu abang Jais membuat nira kelapa yang disadap dan dimasak
sehingga menjadi gula kelapa. Lalu kelapa tua yang didapat, dapat dibuat
minyak kelapa untuk menggoreng ikan, menumis sayuran dan lain-lain. Dari isi
buah kelapanya pula dapat dibuat santan kelapa yang berguna untuk bumbu
masakan, membuat bumbu rendang dan sebagainya. Demikian pula dengan
pohon sagu. Ayah mengolahnya sedemikian rupa sehingga dapat menjadi sagu
rendang ataupun sagu lemak. Ini bisa menjadi makanan pokok, khususnya
etnis Melayu. Nek Halimah dan emak ahli membuat masakan Melayu. Kadang
mereka membuat masakan gulai ikan asam pedas yang ikannya ditangkap di
sekitar laut Sungai Ungar oleh ayah dan temannya bernama Andut (orang
pulau Pemping-Batam) dengan alat rawai. Teman ayah ini adalah orang laut
yang faham kapan musim ikan datang, kapan waktu air pasang atau air surut,
kapan waktunya merentang (melepaskan tali rawai ke laut). Sehingga kami
sekeluarga memakan gulai asam pedas tadi dengan sagu rendang. Kata emak
ini namanya nangkop. Dari sagu ini juga kadang Nek Halimah dan emak
membuat lempeng sagu, bubur sagu, kue bangkit, putu bambu, mie sagu, lakse
dan masakan Melayu lainnya. Sangat sedap sekali.
Hasil pertanian padi, jagung, ubi jalar, keladi, ubi kayu tidak lagi ditanam
masyarakat ketika itu yang sudah mengidolakan getah (karet) dan pinang
karena ketika itu harganya di pasaran Singapura melambung tinggi, apalagi
88
hitungan dollar. Namun ketika masa perang dunia II, harganya meluncur turun
bahkan tidak berharga sepeserpun. Kehidupan masyarakat kian terhimpit, apa
saja milik harta benda yang berharga di jual agar dapat membeli makanan
untuk pengisi perut dan keperluan keluarga. Tok H.Usman sebelum meninggal
dunia selalu mengingatkan kami dan orang kampong untuk jangan terlena
dengan tanaman getah (karet) dan pinang saja, walau ketika itu harganya
melambung tinggi, harus juga ada tanaman lainnya. Ketika masa-masa
pendudukan Jepang itulah banyak orang kampong yang teringat perkataan Tok
H.Usman tentang pentingnya menanam tanaman lainnya dan datang secara
diam-diam ke rumah kami untuk membeli bahan makanan dan minta petunjuk
ayah tentang pertanian. Ayah sangat paham bahwa kebanyakan orang
kampong ketika itu adalah orang dari Jawa, mereka tidak terbiasa memakan
sagu ataupun kelapa.
Menghadapi ekonomi yang serba sulit, lagi pula abang Rahman ketika itu
baru berusia sekitar 2 atau 3 tahun dan menyusu kaleng (susu lembu) yang
sudah menghilang dari pasar dan kedai-kedai cina. Maka dari menjual gula
kelapa dan makanan Melayu lainnya inilah kadang ayah bisa membeli susu
kaleng. Kata ayah, susu kalengnya harga semokel. Satu kaleng, harganya bisa
dua atau tiga kali lipat dari harga normal, itu pun membelinya diam-diam ke
kedai cina malam hari, jangan sampai ketahuan kempeitai Jepang.
Masa pendudukan Jepang, diberlakukan jam malam. Jadi lepas saja waktu
magrib masuk, maka tak boleh ada pelita dan lampu togok (lampu yang dikasi
minyak makan dan dipasang sumbu dalam botol) yang boleh dihidupkan di
rumah-rumah. Kalau ketahuan, maka rumah tersebut akan digedor dan isi
rumah di obrak-abrik. Penghuninya dihukum cambuk, kadang ditendang. Bagi
yang melawan maka akan ditembak ditempat. Begitulah zaman Jepang.
Makanya kata emak, kadang sampai kecil sekali lampu itu dihidupkan karena
harus mengambil dan melihat sesuatu di malam hari.
Dengan menjual makanan seperti inilah ayah mendapat hasil lumayan untuk
kebutuhan anak-anaknya, banyak orang datang membeli atau memesan untuk
dijualnya lagi. Emak dan abang Jais tak pula kurang sibuknya membantu ayah
membungkus gula yang sudah siap dicetak dengan daun kelapa, memenuhi
permintaan pesanan orang. Kadang kala emak memarut kelapa dijadikan
minyak. Lagi-lagi ada saja orang yang datang untuk membelinya sebotol atau
dua botol seukuran botol besar. Demikianlah yang dilakukan ayah dan emak
masa itu untuk berjuang menghidupi dan menjaga kami, nenek, adik-adik ayah
dan seisi keluarga. Kata ayah, dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Sesulit
apapun keadaan, pasang niat betul-betul, pasti Allah akan menolong dan
memberi jalan keluar kepada kita.
Pada zama dulu, cerita ayah, waktu ayah masih muda (bujang) ada
permainan, namanya semanca yaitu dua orang duduk bersila saling
berhadapan, dengan memasukkan jari tangan kita ke jari tangan teman
bermain, dan seorang teman lainnya sebagai juri pemberi aba-aba. Apabila
masing-masing sudah mengatakan siap, maka juri memberi aba-aba “Ya”, dan
89
pemain mulai memutar/melintir sambil meremas jari tangan lawan berlawanan
arah. Pemenang adalah siapa yang dapat menjatuhkan genggaman lawan ke
arah putarannya kekiri atau kekanan.
Permainan ini memerlukan tenaga yang ekstra kuat, terutama “meremas”
jari-jari tangan lawan, untuk itu diperlukan latihan dengan bermacam-macam
cara latihan atau amalan-amalan spritual doa. Ayah mengatakan bahwa ia
berlatih dengan meremas seruas tebu telur kuning sebesar lengan bayi,
sepanjang sejengkal orang dewasa. Dengan tekun dan percaya diri diiringi
dengan doa tertentu, akhirnya tebu seruas itu pecah dan hancur mengeluarkan
air tebu.
Cerita ayah meremas tebu ini dikisahkan pula oleh H.A Kahar Yus bin
M.Yusuf (sepupuku, anak dari Mak Usu Ruminah) kepadaku bahwa dia melihat
sendiri ayah meremas seruas tebu yang diambilnya sendiri dari kebun, lalu
ayah meremas tebu itu dan airnya ditampung kedalam gelas. Oleh H.A Kahar
Yus, hasil remasan air tebu itu diminumnya. Demikianlah cerita ayah mengenai
ilmu kanuragaan jasmani dan rohani, apabila salah niat bagi orang yang
memilikinya, maka timbul sifat-sifat sombong, angkuh, congkak, pamer,
bangga, dan akhirnya takabur, ingin mencelakakan orang lain.
Memang pada zamannyalah kata ayah orang pada mengandalkan otot,
siapa yang kuat dialah yang menang dan berkuasa, sebaliknya bagi yang
lemah mereka akan menjadi budak, diperhamba oleh yang kuat, demikianlah
seterusnya. Ayah mengatakan kepadaku; kata Tok H.Usman kepada ayah biar
disampaikan ke anak cucu, pada masanya zaman akan berubah, orang tidak
akan lagi berlomba-lomba mencari dan mengandalkan otot, seperti kata bidal
jawa “otot kawat walong wesi” (otot/urat kawat tulang besi). Nanti pada
zamannya orang akan berlomba-lomba mengisi otak dengan ilmu pengetahuan
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Tuntutlah ilmu walau sampai ke
negeri cina sekalipun”. Oleh sebab itu kata ayah, amanat Tok H.Usman ini
harus diperhatikan dan dilaksanakan, isilah otak dengan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat, berguna bagi diri pribadi dan masyarakat, tidak diperhamba
dan diperbudak orang. Isi otak dengan ilmu agama, untuk pedoman beribadat
kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, menjadi insan yang taqwa, selamat
dunia dan akhirat.
Diceritakan ayah kepadaku, bahwa pada suatu hari dirumah kami datang
seorang tamu pemuda, tamu ini dari Muar (Malaya/Malaysia) bernama Jailani
anak dari kakak perempuan Tok H.Usman, Nyi Wiryo Dikromo. Selanjutnya
cerita ayah bahwa kedatangan Jailani ke Tok H.Usman (bapak saudaranya)
bertujuan untuk berpamitan akan menunaikan ibadah haji ke tanah suci
Mekkah dan sepulangnya dari sana akan melangsungkan pernikahan dengan
anak gadis H.A.Manan (seorang penghulu di daerah Muar-Johor).
Selanjutnya ayah menceritakan tentang sosok pemuda Jailani ini. Jailani
meninggalkan Jawa/ Imogiri Yogyakarta dan merantau ke Muar-Johor Malaya
(sekarang Malaysia) mencari pekerjaan mengumpulkan uang dengan niat untuk
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah. Demikianlah pemuda Jailani
90
akhirnya mendapatkan pekerjaan di perkebunan karet milik H.A.Manan sebagai
pekerja. Para pekerja tinggal bersama dirumah/ bangsal yang disediakan dan
berdekatan/ perhampiran dengan rumah H.A.Manan, sekaligus sebagai
keamanan.
Ayah meneruskan ceritanya bahwa pada suatu malam rumah H.A.Manan
didatangi oleh sekawanan perampok yang akan menyatroni (membongkar)
rumah dengan suara riuh bergemuruh. Mendengar suara yang ribut itu, Jailani
terjaga dari tidurnya dan langsung bangun melihat keluar bangsal. Melihat
situasi yang hiruk pikuk itu, tahulah dia bahwa itu adalah segerombolan
Cempiang (julukan perampok yang ganas dan kejam ketika itu di daerah
Johor). Tanpa berfikir lama lagi, Jailani menyelinap pergi ke rumah H.A.Manan
langsung masuk ke kolong rumah (rumah panggung yang cukup tinggi dibuat
demi keamanan dan sekaligus untuk meletakkan kendaraan roda empat dan
peralatan lainnya), menuju ke bawah tangga. Disitu dia melihat ada sebuah AS
roda mobil bekas (besi yang menghubung roda mobil) dan Jailani duduk
diatasnya dengan santai. Ketika rombongan perampok sampai di muka tangga
dibawah pintu naik ke atas terlihat oleh perampok seorang yang duduk di AS
roda mobil tersebut dengan tenang saja tanpa reaksi apa-apa.
Ketika kepala perampok mendekati Jailani, dengan suara yang sengaja
dikeraskan agar terdengar oleh penghuni diatas rumah, Jailani berseru “aku
adalah kuli yang bekerja disini sebagai penyadap karet dan sudah lama ingin
merampok rumah ini tetapi tak ada kawan bekerjasama, untuk itu kita
bergabung dan aku tahu keadaan rumah ini dan nanti hasil rampokan kita
bagi”. Mendengar itu, kepala perampok agak sedikit mengancam, bahwa dia
setuju tapi jangan macam-macam kalau tidak akan dibunuh. Jailani pun setuju.
Selanjutnya Jailani berseru seperti tadi dengan suara lantang dan keras,
mengatakan bahwa kita masuk rumah melalui pintu dengan menaiki tangga ini,
tapi masalahnya adalah pintu rumah ini disamping dikunci yang kuat juga
ditambah dengan palang pintu yang menggunakan besi ini (sambil
menunjukkan AS roda mobil dari baja yang didudukinya) dan ini adalah
sisanya. Sekarang siapa diantara kita bisa membengkokkannya atau sekaligus
mematahkannya maka kita akan mudah menerobos pintu rumah ini. Untuk itu
silahkan siapa diantara kita yang bisa membengkokkan AS roda ini. Para
perampok saling berpandangan satu sama lain, tapi tak seorang pun yang maju
untuk melakukannya. Karena penasaran, kepala perampok maju dan
mengangkat AS roda mobil itu, ujung yang lain berada dibawah lalu dengan
kaki dipijaknya besi AS roda itu berkali-kali. Jangankan patah, bengkok pun
tidak roda AS tadi.
Para perampok yang tadinya ribut dan hiruk pikuk kini terdiam tidak
bersuara sepatahpun melihat pimpinannya tidak dapat membengkokkan atau
mematahkan AS roda mobil itu. Padahal mereka tahu pemimpin perampok itu
memiliki ilmu kanuragan. Melihat seperti ini, Jailani pergi menuju ke AS roda
mobil yang terletak ditanah didepan kepala perampok. Lalu sambil berdiri
diambilnya AS roda mobil itu, seperti sebuah batang tebu saja dipatahkannya
91
AS roda mobil itu dengan menghentakkan ke tulang kering betisnya dan patah
dua, kemudian dia keluar ke tengah halaman dengan membawa sebuah
potongan AS roda mobil sambil berseru dan memutarnya ligat seperti kincir
angin layaknya. Jailani mengatakan kepada para perampok ketahuilah bahwa
dia adalah penjaga rumah ini, barang siapa yang berkeinginan merampok
rumah ini, silahkan langkahi dulu mayatnya. Jailani berkata sambil terus
memutar besi itu berjalan menuju ke gerombolan perampok yang sedang
berdiri. Tak khayal lagi, semua perampok itupun mereka kabur lari tunggang
langgang terbirit-birit menyelamatkan diri dari sabetan putaran besi.
Setelah semua perampok itu kabur lari menyelamatkan diri masing-masing,
Jailani kembali ke bangsal /rumah untuk beristirahat. Ketika pagi hari,
sebagaimana biasa para pekerja penyadap karet bersiap-siap akan pergi
bekerja. Datanglah seorang anak laki-laki H.A.Manan menyampaikan pesan
bahwa ayahnya sedang menunggunya untuk bersama-sama sarapan pagi
dengan keluarga. Undangan ini tak dapat ditolak oleh Jailani.
Sesudah mengganti pakaian kerjanya, Jailani langsung datang ke rumah
H.A.Manan dan disambut oleh H.A .Manan dan istrinya dengan penuh
keramahan. Kemudian mengajak Jailani duduk untuk bersama-sama
menyantap hidangan yang sudah tersedia. Sejurus kemudian setelah selesai
makan, H.A.Manan mengemukakan hajat dan keperluan memanggil Jailani
untuk naik ke rumah sarapan bersamanya dan istri. H.A.Manan menyampaikan
permintaan maaf yang sebesar besarnya kepada Jailani kalau selamaini hanya
dianggap sebagai pekerja kasar saja dan mengucapkan ribuan terimakasih
atas pertolongan dan perlindungan Jailani terhadap diri, keluarga, rumah dan
harta bendanya dari perampokan yang sangat kejam tadi malam, selamat
dengan tidak kurang satu apapun. Jailani diam mendengarkan H.A.Manan
bicara sambil menundukkan kepala penuh hormat. H.A.Manan meneruskan
bicaranya, bahwa hari ini Jailani tak usah bekerja cukup beristirahat saja dan
mulai besok Jailani sebagai mandor mengawasi dan menjaga para pekerja
penyadap karet, menyediakan apa-apa keperluan mereka dan sebagai wakil
H.A.Manan.
Selanjutnya H.A.Manan mengatakan bahwa dia dan istrinya telah sepakat
akan menikahkan anak gadisnya dengan Jailani (ayah tidak mengatakan siapa
nama anak gadisnya) dengan harapan Jailani tidak menolak dan mau
menerimanya. Mendengar ini Jailani hanya terdiam saja dan menunduk penuh
hormat. Suasana hening beberapa saat, kemudia Jailani mengangkatkan
kepalanya dan berkata, bahwa dia mengucapkan ribuan terima kasih atas
perhatian H.A .Manan kepadanya dan berkenan menjodohkan anak gadisnya
kepadanya. Kemudian Jailani meneruskan bicaranya dengan penuh kehati-
hatian dan rendah hati, bahwa apakah anak bapak setuju dijodohkan
dengannya yang hanya seorang anak perantau penyadap karet. Selanjutnya
Jailani meneruskan bicaranya bahwa dia belum ingin beristri sebelum
menunaikan ibadah haji, dia bekerja tidak lain hanyalah mengumpulkan uang
untuk melaksanakan niatnya itu. Mendengar jawaban Jailani secara polos, jujur
92
dan rendah hati, H.A.Manan terharu dan semakin yakin dia bahwa pilihannya
tak salah untuk menjodohkan anaknya dengan pemuda Jailani ini.
Dan mengatakan bahwa dia dan istrinya sepakat untuk menjodohkan anak
gadisnya dengan Jailani dan anak gadisnya sudah ditanya tentang
perjodohannya ini dan diam saja, itu pertanda dia setuju dijodohkan. Adapun
biaya pernikahan, jangan difikirkan, kami yang akan menyediakan semuannya,
niat untuk naik haji tak usah dihiraukan, semua ongkos dan biaya keperluan
selama melaksanakan ibadah haji di tanah suci hingga pulang sudah
disediakan, dan sesudah kembali dari mengerjakan ibadah haji, acara
pernikahan segera kita laksanakan.
Selesai H.A.Manan menyampaikan maksud dan niatnya itu dengan penuh
haru dan hormat Jailani langsung sungkem mencium lutut dan tangan
H.A.Manan, juga kepada istrinya. Setelah bangkit dari sungkemnya itu dengan
rasa haru dan hormat, Jailani mohon diizinkan untuk berangkat ke Sungai
Ungar menemui pamannya Tok H.Usman menyampaikan kabar tentang
pernikahannya sekaligus pamitan untuk berangkat ketanah suci melaksanakan
ibadah haji. Begitulah kata ayah mengakhiri kisahnya tentang pemuda Jailani.
Hari berganti, bulan berlalu, tahun bertukar tahun, sudah lama berlalu,
banyak hal-hal peristiwa yang terjadi silih berganti dalam keluarga seperti
pernikahan putera atok (Ahmad dengan Asmah binti H. Thaiyib).
Kata ayah, pada suatu hari Tok H.Usman menerima sebuah telegram.
Telegram itu dari hospital (rumah sakit) kandang kerbau Singapura,
mengabarkan bahwa H.Jailani sedang dirawat mendapat musibah. Tok
H.Usman menerima berita ini, kata ayah beliau sangat gusar dan gelisah dan
ingin segera pergi ke Singapura melihat H.Jailani yang sedang dirawat itu. Tok
H.Usman bicara kepada Nek Halimah bahwa dia akan berangkat secepatnya,
lalu berkata kepada ayah apakah ada uang untuk dipakai dahulu. Lalu ayah
keluarkan uang 40 ringgit sisa dari biaya pernikahannya dengan emak, hasil
dari penjualan kebun kelapanya di Parit Lapis kepada adiknya Walijah dan
Dasuki. Tok H.Usman berangkat sendiri ke Singapura. Ternyata Tok H.Usman
ke Singapura tidak lama hanya beberapa hari saja dan terus kembali ke rumah.
Kemudian ayah menceritakan kepadaku, sekembalinya Tok H.Usman dari
Singapura, beliau berkisah kepada ayah perihal sebab musabab H.Jailani
sampai masuk kerumah sakit dan dirawat disana. Ayah meneruskan ceritanya
beberapa tahun sudah berlalu, perampok yang dahulu datang kerumah
H.A.Manan, menaruh dendam dan datang lagi meneruskan niatnya untuk
merampok. Mereka datang pada malam hari selepas maghrib dengan
rombongan yang ramai. H.Jailani selesai shalat mendengarkan suara ribut di
halaman, tahulah bahwa suara ribut itu adalah suara para perampok. Dengan
masih bergumbang kain H.Jailani turun tangga menuju halaman lalu mencabut
sebatang pohon karet sebesar pohon pinang, pohon karet yang masih ada
dahan, ranting dan daun yang rimbun disabetkan ke grombolan perampok yang
tidak sabar dan tidak menyangka demikian cepatnya datang bahaya kepada
mereka. Dapat dibayangkan, para perampok jatuh tunggang langgang dan
93
bangun lari menyelamatkan diri masing-masing. Dalam suasana hiruk pikuk,
H.Jailani terus mengejar mereka sambil mengibaskan pohon karet yang
dicabutnya tadi.
Seorang dari kawanan perampok itu tak sempat lari dan bertemu dengan
H.Jailani yang sedang mengejar kawan-kawannya, rupanya dia ini ketua
perampok. Tegak berdiri memegang sebilah, parang panjang, yang biasa
digunakan orang kampung untuk menebas lalang atau rumput dikebun,
H.Jailani hanya memegang sebatang kayu dari batang ubi yang diambilnya dari
permainan anak-anak waktu main kejar-kejaran sore tadi. Keduanya saling
berhadapan dan saling menantang siapa yang terlebih dahulu memukul.
Karena merasa ditantang dan lawannya hanya memegang batang kayu ubi
saja, tentu ketua perampok berprasangka dengan parang panjang ini sekali
babat saja pasti lawannya akan tombang dan tewas seketika. Dengan penuh
emosi ketua perampok menghunus parang panjangnya dan membabat ke
tanah tiga kali lalu dengan sekuat tenaga dibabatkannya parang itu ke arah
dada H.Jailani secara melintang badan. Karena kuatnya hantaman dari ketua
perampok, H.Jailani pun tumbang. Namun sesaat kemudian H.Jailani bangun
dari jatuhnya, tegak berdiri dengan memegang kayu batang ubi di tangan
kanannya sambil berujar kepada ketua perampok, kini giliran dia pula. Melihat
H.Jailani tidak apa-apa dengan babatannya tadi dan sudah mengangkat tangan
untuk menghantamnya, ketua perampok kabur lari untuk menyelamatkan diri.
Bekas sabetan parang dari ketua perampok merobekkan baju H. Jailani dan
meninggalkan luka goresan memanjang sedalam lintang padi. Besoknya
keluarga membawa H.Jailani ke Singapura untuk berobat.
Ketika Tok H.Usman tiba di rumah sakit, H.Jailani sudah sembuh dan
menunggu izin dokter untuk keluar dari rumah sakit. Kemudian ayah
mengatakan bahwa uang yang dibawa Tok H.Usman dari ayah waktu ke
Singapura dulu tidak jadi digunakannya. Ongkos pulang dikasi oleh H.Jailani
keponakannya. Menjelang sampai pelabuhan Singapura, Tok H.Usman
berjumpa dengan orang empunya kebun yang bersepadan dengan kebun Tok
H.Usman, sudah lama ke Singapura dan tidak pulang lagi. Orang tersebut (aku
lupa namanya yang disebut ayah) menawarkan kepada Tok H.Usman apakah
mau membeli kebun sepadan rumahnya seberapa saja, hanya ganti uang
tebas. Tok H.Usman hanya mengatakan ia sekarang mempunyai uang hanya
40 ringgit. Ternyata orang tersebut setuju dan berterima kasih kepada Tok
H.Usman.
Mengakhiri ceritanya, ayah mengatakan bahwa itulah berkah (barokah)
uang 40 ringgit sisa dari hasil penjualan kebun di Parit Lapis. Uang tersebut
dapat untuk biaya pernikahan dan dapat pula sebidang tanah pengganti kebun
kelapa yang di Parit Lapis. Lokasi tanah itu sekarang di Parit Mataram II Sungai
Ungar, dan oleh ayah tanah tersebut dibagi menjadi dua bidang tanah; satu
tanah perkebunan dan satunya lagi tanah tapak rumah. Sesuai wasiat ayah,
sebidang tanah perkebunan tersebut sekarang menjadi milik abang Jais
sebagai hasil pembagian harta pusaka peninggalan ayah kepada kami.
94
Sedangkan sebidang tanah tapak rumah disebelahnya dibangun sebuah rumah
panggung keluarga oleh ayah Ahmad bin H.Usman dan emak Asmah binti
H.Thayib ketika itu. Rumah itu sekarang masih ada kokoh berdiri dan menjadi
rumah pusaka milik kami berdua abang Jais dan Abdul Aziz. Kami
menamakannya sebagai rumah pusaka keluarga milik kami berdua. Abang
Jais dan aku telah bersepakat rumah ini menjadi rumah pusaka bagi anak cucu
ayah Ahmad bin H.Usman dan emak Asmah binti H.Thayib yang tinggal dan
datang darimana saja, sebagai tanda pengingat orang tua dan jati diri, tempat
berkumpul dan menjalin silaturahmi diantara mereka, menjadi kenangan indah
yang tak akan pernah terlupakan selamanya. Demikianlah kata-kata ini aku tulis
untuk anak cucu.
95
Gambar kiri : Aku ketika wujuf di Arafah, menunaikan ibadah haji pertama tahun 1980
Gambar kanan : Aku menunaikan ibadah haji dan acara pelepasan menjadi pimpinan
Kloter 3 Jamaah Haji Provinsi Riau tahun 1990 di Asrama Haji Medan, bersama Drs.
Muhamad Sani ketika itu menjadi ketua rombongan Kabupaten Kepulauan Riau
96
untuk berkuasa lagi di Indonesia sebanyak dua kali yaitu tahun 1947 dan tahun
1948.
Pada suatu malam rumah kami digrebek oleh Belanda, waktu itu aku
berumur lima tahun, kejadiannya sekitar tahun 1947. Masih ingat dibenakku,
malam itu serombongan tentara Belanda datang dari markasnya di Tanjung
Batu (sekarang di bukit samping Hotel Gembira). Mereka naik tangga rumah
kami dengan kasar sambil menghentakkan kaki lalu menggedor pintu masuk
dengan bersuara sangat keras dan lantang untuk dibukakan pintu. Di serambi
depan rumah kami, tidur abang Jais dan abang Amin Jono (keponakan pak Usu
Yusuf yang tinggal dirumahnya), kalau malam tidur di rumah kami. Mereka
terkejut dan berlari menuju pintu ke ruang tengah rumah, dimana tidur pakcik
Abbas dan abang Rahman di lantai dan Nek Halimah di atas katel (ranjang),
lalu dengan ketakutan bersama-sama mengetok pintu kamar ayah (aku masih
tidur dengan ayah dan emak). Mendengar suara ketukan dan diluar ada tentara
Belanda, ayah langsung membangunkan emak supaya menjaga kami, Nek
Halimah dan semua kalau terjadi apa-apa. Ayah segera keluar kamar sambil
mengambil keris menuju ruang tengah menemui Nek Halimah untuk minta izin.
Keris yang dipegang ayah kelihatan oleh Nek Halimah, dan beliaupun melarang
membawanya nanti disangka hendak melawan tentara Belanda, apalagi kami
semua tidak ada apa-apa. Melihat raut muka Nek Halimah yang sedih dan raut
muka kami semua yang ketakutan, ayahpun menyerahkan keris yang
dipegangnya ke nenek untuk disembunyikan dan ayah langsung ke serambi
depan untuk membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, tanpa komentar komandan Belanda dengan pistol yang
masih diacungkan ditangan diikuti dengan dua orang anak buahnya, lengkap
berpakaian tentara, bersepatu boot dengan senapan yang siap ditembakkan,
masuk ke dalam rumah kami. Dengan membentak, mereka langsung
mendorong ayah untuk keluar rumah. Kami ketakutan tidak bisa berbuat apa
karena mereka mengancam dalam bahasa Indonesia-Melayu agak pelat, akan
menembak ayah kalau ada perlawanan. Kami melihat dari atas pintu depan
rumah bagaimana ayah digiring dengan tangan diatas oleh beberapa orang
tentara Belanda dan terus dibawa ke jembatan penyeberangan, lebih kurang
100 meter dari depan rumah.
Ayah menceritakan, sesampainya di jembatan tampak dipinggir sungai
tertambat sebuah perahu penuh dengan muatan, sedangkan yang empunya
tidak kelihatan. Ayah terkejut melihat perahu penuh dengan muatan, ketika itu
diperkirakan jam 22.00 malam, bulan sedang terang, padahal sore tadi ketika
ayah pulang belanja dari Sempang (tempat yang menjadi titik temu bagi orang-
orang Sungai Ungar berbelanja di kedai) dan melewati jembatan ini, tidak ada
satu pun perahu bertambat disitu. Sejurus kemudian, kelihatan beberapa orang
digiring dengan tangan diatas oleh tentara Belanda keluar dari semak-semak,
rupanya mereka pemilik perahu itu. Ketika rombongan tentara Belanda ke
rumah kami, rombongan yang lain menyusuri jalan setapak di pinggir-pinggir
sungai, disitu ada bangsal (untuk meneduhkan perahu milik orang kampung),
97
maka tentara Belanda itu berjumpalah dengan pemilik perahu yang sedang
tertambat itu dan langsung menggiringnya keluar dari semak-semak dengan
tangan diatas.
Setelah tentara Belanda dan pemilik perahu yang digiring tersebut mendekat
di ujung jembatan, ayah membaca beberapa potong ayat Al-Qur’an dalam hati,
langsung saja ayah turunkan tangan dan bertanya dengan suara agak keras
dan menunjuk kepada pemilik perahu tanpa menghiraukan todongan senapan
tentara Belanda ke ayah. Ayah bertanya; “ Engkau ni siapa, datang daripada
mana, apa yang dibawa, kenapa pulak sampai masuk ke sungai ni…”.
Rombongan tentara Belanda terdiam tak sepatah kata pun berbunyi, yang
tadinya galak seperti anjing mau menerkam, terdiam mendengarkan
pembicaraan ayah dengan orang perahu itu. Mereka (salah seorang, mungkin
ketuanya) menjawab “…kami ni pedagang dari Indragiri (Tembilahan), kami
bawa beras, pulut, padi, gula merah (gula kelapa), minyak makan (minyak
kelapa), telur dan lain-lain bahan makanan. Kami masuk sungai ni karena
perahu kami macam bocor…. terus kami dengar dari laut suara beduk dan
kentong macam masuk waktu maghrib, jadi kami masuk sungai ini dan berpikir
tentu orang didarat tu banyak, jadi kami dapat jualan sambil baiki perahu ni.
Kami minta ampunlah kalau sampai sini dah buat datok susah, karena kami ni
bukan penjahat. Kalau mereka ini (Belanda) tak percaya silahkan tengok isinya
dan periksa…”.
Selesai mendengar jawaban mereka, ayah menatap langsung mata
komandan Belanda, ini membuat semua tentara Belanda menodongkan
senapannya ke ayah. Dengan tegas ayah mengatakan “…. ini mereka orang-
orang baik, hanya cari makan, berdagang bawa barang makanan…. tak ada
yang lain, kamu boleh periksa. Kenapa pulak aku dibawa kemari….”.
Mendengar perkataan ayah, komandan Belanda langsung memerintahkan anak
buahnya untuk memeriksa perahu dan berkata dalam bahasa Belanda campur
bahasa Indonesia-Melayu agak pelat, ayah mendengar komandan itu
mengatakan “…yey ketua kampong turun periksa itu barang….”. Ayah turun
bersama tentara Belanda menuju ke perahu untuk memeriksa. Goni-goni atau
karung yang berisikan beras dan padi di tikam-tikam pakai senjata bayonet
(sejenis senapan yang punya pisau didepannya) diobok-obok dengan
memasukkan tangan sampai ke paras siku. Ayah pun ikut apa yang diperbuat
tentara Belanda seperti itu, tetapi hanya sampai ke batas pergelangan tangan
dan membengkokkan lengan diatas beras/padi sehingga kelihatan berasnya.
Sudah puas memeriksa isi perahu maka semuanya naik keatas. Komandan
tentara Belanda tadi memerintahkan anak buahnya untuk membawa semua
orang yang ada disitu termasuk pemilik perahu menuju ke jalan besar untuk
naik ke truk yang sudah menunggu untuk membawa mereka ke bukit markas
Belanda di Tanjung Batu. Di belakang sekali komandan tentara Belanda
dengan seorang pengawal bersenjata, tanpa melihat ke ayah, terus jalan
mengikuti rombongan dan naik kendaraan truk langsung berangkat. Ayah
tinggal sendirian berdiri di ujung jembatan ditengah malam dan segera pulang
98
kerumah dengan selamat. Sesampainya ayah dirumah, kami semua langsung
memeluk ayah erat-erat sambil menangis yang kami kira sudah tidak ketemu
ayah lagi malam itu. Ayah dengan tegar hanya mengatakan kepada kami, kita
harus selalu bertawakkal kepada Allah, Dia-lah yang menentukan semua hidup
kita. Hidup mati semua atas kehendak Allah SWT.
M. SILATURRAHIM KE SINGAPURA
Ketika aku berusia enam tahun, sekitar tahun 1948, ayah dan emak
membawaku ke Singapura tempat kelahiran mereka, sambil bersilaturrahim
dengan kaum family yang masih ada. Emak mengatakan kepadaku bahwa dia
sejak gadis remaja meninggalkan Singapura mengikuti ayah dan ibu (tiri)
bersama-sama dengan saudara-saudara sekandung dan saudara-saudara tiri,
pindah ke Sungai Ungar (Parit Laut). Emak sampai bersuami tak pernah lagi
pulang ke Singapura tempat tanah kelahirannya sampai usia anaknya Jais 18
tahun. Lain halnya dengan ayah, dia sering ke Singapura berlayar membawa
hasil bumi kelapa dan getah (karet), karena harganya lebih bagus (mahal) dari
pada kalau dijual di kampung dan lagi mata uangnya pun sama-sama ringgit/
dollar.
Ke Singapura turut serta abang Jais, abang Rahman dan pakcik Abbas.
Aku masih ingat pulang pergi naik kapal See Hock dari Tanjung Batu. Kapal
dagang Cina ini pulang pergi ke Singapura juga menerima penumpang yang
mau pergi ke Moro dan Belakang Padang atau ke Sambu (Perusahaan
Minyak). Batam belum terkenal keluar negeri seperti sekarang ini. Batam
adalah sebuah Pulau yang dikenal dengan nama Kecamatan Batam dengan
ibu Kotanya Pulau Buluh, kemudian pindah ke Belakang Padang, pada waktu
itu lebih dikenal orang dengan nama Pulau Sambu dengan perusahaan
minyaknya, yaitu Shell milik perusahaan Belanda, dan sekarang dipegang
Pertamina Indonesia. Jadi rute pelayaran itulah yang kami lewati pulang pergi
dengan selamat.
Tiba di pelabuhan Jhonson S’pore, kapal tidak rapat atau sandar tetapi
berlabuh buang jangkar dimuka pelabuhan. Tak lama, petugas datang naik ke
kapal memeriksa penumpang, bagi penumpang yang tujuannya mengunjungi
family dan dengan menunjukan surat keterangan dan tak ada masalah
diizinkan naik ke darat. Rombongan kami yang menunjukkan surat itu adalah
pakcik Abbas. Petugas membaca dan memperhatikan kami satu persatu
kemudian surat itu dikembalikan lagi ke tangan pakcik Abbas dan kami
diizinkan turun ke perahu yang sudah siap menunggu membawa kami naik ke
darat.
Kami naik taksi menuju rumah kakak emak yang tertua. Kata emak
tinggalnya di Gelang Serai, kami jalan terus mendengarkan emak cerita masa
remajanya bermain-main di daerah itu bersama ayahnya, lalu emak
menunjukan kepadaku sebuah patung, kata emak itu patung kepala singa dari
99
mulutnya keluar air mancur, karena taksinya laju, hanya sepintas saja terlihat.
Kemudian emak menunjuk patung besar yang tegak berdiri, kata emak itu
patung Raffles orang Inggris yang mendirikan kota Singapura modern ini.
Kenangan masa kecil itu seolah teringat kembali, ketika tahun 1999 kami
rombongan Pengawas Pendidikan Agama Kanwil Departemen Agama Provinsi
Riau, tour ke Malaysia, melalui Dumai, Malaka, Kuala Lumpur (bermalam di
Petaling Jaya, Menara Kembar, silaturrahmi ke KBRI, dll) terus rombongan
dengan bus ke Johor dan menitipkan koper/bawaan lainnya di hotel.
Rombongan meneruskan perjalanan ke Singapura, karena waktu sangat
singkat, kami ke bukit itulah dengan menggunakan teropong itu dapat melihat
kota Singapura sekitarnya dan dapat melihat Batam, dari sini kami pergi melihat
patung Kepala Singa dari mulutnya yang terbuka mengeluarkan air mancur dan
juga kami pergi melihat patung Raffles tegak berdiri dengan kokohnya. Teringat
ketika aku melihat kedua patung ini waktu pertama kali datang ke Singapura
bersama Ayah dan emak, dan emak menunjukkan kedua patung ini. Tak terasa
kedua belah mataku berlinang dan meneteskan air mata mengalir di atas kedua
belah pipiku, teringat dan terkenang saat-saat manja dengan emak, kini masa-
masa itu telah berlalu, namun tetap tersimpan tepat di dalam hati, menjadi
ingatan dalam menjalani hidup di usia senja ini.
Taksi menuju sampai di depan rumah panggung dan berhenti. Kami
disambut oleh tuan rumah dan suaminya. Kami dibawa naik ke rumah. Emak
dan kakaknya saling berpelukan, bertangisan melepaskan kerinduan hati yang
sudah puluhan tahun tak pernah bertemu. Kami bermalam di rumah ini sampai
waktu pulang. Aku diberi tahu emak, bahwa itulah kakak emak yang tertua
namanya Safiah (kami panggil Wak Yah) dan suaminya bernama Adam (kami
panggil Wak Adam).
Malam hari atau pada siang hari, ibu selalu berbicara dengan Wak Yah,
entah apa yang dibicarakannya asik sekali, kadang-kadang bergurau terdengar
gelak tawa mereka berdua, sedang aku bermain bersama dengan anaknya
Jamilah yang sebaya umurnya denganku. Ayah dan pakcik Abbas siang hari
keluar ke lorong II Gelang Serai melihat bekas rumah tempat kelahirannya.
Abang Jais berjalan pula dengan abang Arif (anak Wak yang kedua) entah
kemana pula, kalau malam menonton wayang gambar (Bioskop). Abang
Rahman begitu pula halnya dengan abang Nurdin anak Wak yang lainnya. Wak
Adam pagi sudah berangkat kerja ke office/kantor surat kabar (Koran) Utusan
Melayu, sore baru pulang ke rumah, begitu kata pakcik Abbas. Anak Wak Yah
yang lain seperti Rugayah, Fatimah sudah bersuami, mengikuti suaminya
berumah sendiri, dan Ahmad ikut dengan kakaknya Rugayah, begitu kata Wak
Yah kepada emak. Pada malam hari setelah Wak Adam pulang kerja, makan
malam bersama, barulah mereka saling besembang (berbual) dengan sekali-
sekali bergurau.
Kami pergi diantar Wak Yah kerumah kakak perempuan emak seorang lagi,
yaitu Aisyah (kami panggil Wak Esah) dan Suaminya Subandi. Kata Wak Yah
kepada emak nama tempatnya Slitar. Wak Bandi (begitu kami memanggilnya)
100
kerja disini di lapangan terbang kata Ayah. Sekali lagi aku menyaksikan kedua
orang kakak beradik ini saling berpelukan dan saling bertangisan. Mereka
bertiga adik kakak ini begitu mesra sekali aku lihat, selanjutnya mereka asik
sekali besembang mesra dan aku pula asyik melihat pesawat udara terbang
melintas diatas rumah rendah sekali, bersama abang Rahman.
Sedang asik-asiknya melihat pesawat terdengar suara memanggil namaku,
aku pun masuk kedalam, kiranya Wak Bandi yang memanggil. Tanganku
dipegang dan ditarik kepangkuannya, aku menurut saja dan diberinya sebuah
pisang (ini selalu ku ingat), kepalaku diusap-usapnya sambil diciumnya, aku
diam saja sambil mengupas pisang dan memakannya. Pisang itu hijau besar
sekali, namanya pisang masak hijau atau pisang Ambon. Mereka yang ada
diruang tamu itu semuanya melihat ke arah kami berdua.
Setelah lama berada di rumah Wak Esah dan terutama emak sudah lepas
rasa rindu dengan kakaknya (Wak Esah), lalu Wak Yah (Safiah) mengatakan
bahwa kami tidak bermalam disini dan pamitan untuk pulang kerumah,
sekaligus emak, kami semua pamitan akan berangkat pulang ke Tanjung Batu.
Pada hari berikutnya kami berkunjung ke rumah family ayah (dari Nek
Halimah), dan sebagai penunjuk jalan (gaet) adalah pakcik Abbas, karena dia
tahu alamatnya dan pernah pergi kesana, kata beliau tinggalnya di kampung
Wak Tanjung. Ke rumah inilah yang akan kami tuju, namanya Mariatun (Katun),
suaminya bernama Jema’at. Ibunya bernama Rafeah (Kak Unggal), suaminya
bernama Tambi Cik. Rafe’ah ini ibunya bernama Kalsum, istri dari H.Umar.
Kalsum bersaudara dengan Normah (Nek Kecik), istri dari H.Sulaiman dan
H.Maruf, mereka bertiga ini saudara sepupu dari Nek Halimah.
Kendaraan tiba dan berhenti di muka rumah panggung, dan kelihatan ada
seorang perempuan keluar di anjungan rumah, melihat kami sudah berada di
halaman depan tangga, kedengaran dia berteriak ke dalam; “…ada tamu
jauh..!!”. Kiranya dia kenal siapa yang datang, dia mengenal pakcik Abbas yang
pincang (impalid) kakinya.
Kami dipersilahkan naik dan bersalam-salaman. Pakcik Abbas
memperkenalkan kami semua yang datang sambil menanyakan mana kak
Unggal (maksudnya Rafeah), dan dijawabnya bahwa mak ada didalam, lalu
mengajak kami, mari kita masuk ke dalam (ruang tengah). Kami pun bersalam-
salaman pula dengan Wak Rafeah. Kiranya yang menyambut kami tadi adalah
Mariatun (Katun) anaknya. Wak Rafiah ini dengan suaminya Tambi Cik pernah
berkebun di Parit Mangkil Sungai Ungar, kemudian kembali ke Singapura
menetap sampai sekarang. Wak Feah ini (begitu kami memanggilnya) sangat
ramah sekali. Dengan suara yang keras dan lantang memanggil anaknya yang
lain agar keluar menemui kami dengan mengatakan ke anak-anaknya;
“…jangan malu-malu, ini family kita semua yang datang jauh-jauh, mari sini
temui mereka… (dengan bahasa melayunya yang kental)”. Sejurus kemudian
keluar seorang gadis berkulit putih berhidung mancung cantik sekali, gadis
campuran Melayu dan Keling/ India.
101
Mereka terus besembang/berbualan menanyakan keadaan masing-masing,
sambil minum dan makan dari hidangan yang dibawa keluar oleh gadis tadi.
Aku dan abang Rahman disuruh oleh Wak Feah, pergi menjolok jambu batu di
halaman, yang kami lihat waktu datang tadi, pohon jambu air yang sedang
berbuah dengan lebatnya. Tak lama kemudian mereka keluar ke anjung depan,
rupanya ayah sudah berpamitan untuk pulang ke Gelang Serai rumah Wak
Yah. Pakcik Abbas menyetop/ menghentikan taksi dan minta diantarkan ke
Gelang Serai.
Di dalam taksi, Pakcik Abbas bercerita bahwa Rafeah dan suaminya Tambi
Cik pernah ke Sungai Ungar dan berkebun di Parit Mangkil Sei Ungar,
membawa anak yaitu Mariatun dan Sulaiman (meninggal waktu zaman jepang).
Mariatun tadi suaminya bernama Jema’at dan gadis yang keluar membawa
hidangan adalah anak kak Unggal adik Mariatun, namanya Aminah, sesudah
zaman Jepang mereka kembali ke Singapura sampai sekarang.
Pakcik Abbas bercerita lagi bahwa masih ada lagi family di kampung Wak
Tanjung ini. (Cerita ini aku tanya kembali kepada pakcik Abbas dan Maznah
anak dari Normah (Nek Kecik) istri dari H.Sulaiman, pada tanggal 20 Oktober
1987 di Sungai Ungar dirumahnya masing-masing) adalah H.Draman sepupu
dari H.Usman bersama-sama datang ke Singapura, beristrikan Mariah
(Maklong), kemudian ke Sungai Ungar, membawa anak Jamaliah (Jamal),
Rukiah, Rubiah, Ali dan H.Usman. Mereka berkebun di Parit Mataram I
(sekarang), dan dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Yatim. Beberapa
lama menetap di Sungai Ungar, mereka semua kembali lagi ke Singapura,
hingga sekarang. Jamaliah(Jamal) bersuamikan H.Hasan dan Rubiah
bersuamikan Ismail, dan Jamaliah (Jamal) inilah yang tinggal di kampung Wak
Tanjung, yang tidak sempat kami kunjungi.
Kami kembali ke Tanjung Batu, kata pakcik Abbas surat jalan dari kantor
penghulu sudah hampir habis izinnya, kalau sudah habis nanti malah jadi
urusan di imigresen Singapura (imigrasi) nanti, oleh karena itu kami harus
pulang. Setelah berpamitan kepada Wak Yah sekeluarga, kami menumpang
dengan kapal yang sama, dan selamat tak kurang suatu apapun tiba di Tanjung
Batu.
Semua kenangan itu terasa terulang kembali walau hanya sebentar, ketika
aku, istriku Hj.Sutirah binti Ahmad dan anakku Dian Utami Andayani bisa
silaturrahim kembali tahun 2010 ke Singapura bertemu dengan abang
sepupuku H.Arif bin H.Adam dengan isteri dan anak-anaknya, selepas
persalinan menantuku Nurhidayu yang melahirkan anak kedua bernama Nayla
Nurauliya, dan juga selepas pernikahan anakku Abdul Khalid di Batam.
102
Poto bersama keluarga abang H.Arif bin H.Adam di Singapura
bersama isteriku dan anakku Dian Utami Andayani tahun 2010
Hari demi hari berlalu, berganti minggu, minggu berganti minggu, bertemu
bulan dan berganti tahun, silih berganti sepanjang zaman. Saat tiba hari raya
puasa (Idul Fitri) atau hari raya haji (Idul Adha) kaum muslimin dan muslimat,
khususnya Idul Fitri saling kunjung mengunjungi ke rumah satu sama lain,
bersilaturahim saling berma’af-ma’afan, kaum kerabat sanak family, tetangga
jauh dan dekat handai taulan.
Rumah kami tak ketinggalan dalam suasana seperti itu. Apalagi Nek
Halimah, orang yang tertua dari keluarga, beliau biasa dipanggil Mak Long,
karena anak tertua. Ayah juga dipanggil Pak Long oleh keponakannya, anak
dari adik-adiknya. Demikian juga emak terikut panggilan suami, jadinya
Maklong. Kata ayah, suami nenek, Tok H.Usman biasa dipanggil Pak Haji
Usman/ Tok Haji Usman karena sudah pergi haji. Orang-orang kampung biasa
memanggil ayah dengan panggilan Pak Anjang karena ayah itu orangnya
tinggi, bahkan emak juga kadang dipanggil Mak Anjang, walaupun emak tidak
setinggi ayah. Adik-adik ayah ada yang dipanggil dengan Pak/Mak Ngah,
Pak/Makcik, Pak/Mak Usu, kemudian ada lagi dengan panggilan Pak/Mak Uda,
Pak/Mak Alang, Pak/Mak Utih, Pak/Mak Hitam. Panggilan-panggilan seperti ini
teringat aku satu ungkapan pepatah Melayu :
Pada suatu hari, datanglah rombongan tamu jauh dari Tanjung Batu, tamu
itu kiranya pak Hitam (Umar), beliau adalah anak adik nenek bernama Aminah.
Ia datang bersama istrinya Mak Hitam (Jemah) dan anak-anaknya, juga ada
yang lain yang tidak aku kenal. Setelah lama mereka bertamu, mereka pun
pamit pulang, setelah semua rombongan tamu-tamu tadi meninggalkan rumah
103
kami, aku bertanya kepada emak, siapa tamu tadi yang seperti laki-laki,
suaranya besar tetapi bersanggul, berbedak, begincu (lipstik) pakai baju
kurung, perempuan pula?. Emak jawab bahwa itu pondan (bencong) dan ayah
menyambung, itu seperti pondan, tapi aslinya laki-laki, bersunat (berkhitan)
entah bila pula dia bertingkah (berbuat) seperti itu, namanya Anim, begitu kata
orang. Ada-ada saja aku pikir.
104
kemudian digosok-gosokkan ke gigi sambil diputar-putar dan akhirnya hanya
diletakkan dibibir mulut) dan sekali-sekali beliau meludah sehingga tampak
merah giginya. Aku suka melihat kalau Mak Ngah Walijah ini memakai songel.
Mak Ngah Walijah juga diajarkan Nek Halimah kepandaian anyam-
menganyam dan mengandam pengantin. Disamping itu, beliau juga berkebun
getah (karet). Hampir setiap pagi dini hari beliau keluar rumah untuk menoreh
getah ini.
Mak Ngah ini adalah ibu dari Zainab (mertua Huzrin Hood, suami dari
Ernaini), Ibunya Basirun, Ibunya Alifurrahim (Alip) dan ibu dari Fatimah (ibunya
Suhajar Diantoro).
105
Walijah binti H.Usman dan Abbas bin H.Usman, Tahun 1983
106
Sebenarnya pekerjaan menjadi nelayan ini awalnya dilakukannya dengan
tetangga bernama Parso. Namun pakcik Abbas juga berpikir, sebenarnya
kehidupan nelayan ini sangat strategis untuk memajukan bangsa. Apalagi
pakcik Abbas memiliki darah anti kolonial Belanda yang sudah tertanam di
dadanya sejak kecil yang berasal dari Tok H.Usman yang memang dikenal
sangat membenci kolonial Belanda. Maka beliau menemui beberapa
Pejuang untuk membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Karena ketika itu diantara Pejuang tidak ada yang memiliki keahlian sebagai
penghubung/ spy/ pusat informasi, maka pakcik Abbas mengambil peran
tersebut dengan satu pikiran bahwa apapun dilakukan supaya Indonesia
segera lepas dari cengkeraman penjajah Belanda. Maka strategi yang
pakcik Abbas lakukan adalah memakai kode dayung dari pokok nibung.
Kalau berjumpa dengan tentara Belanda untuk pemeriksaan, dayung nibung
tersebut ditenggelamkan dan pakcik Abbas memakai dayung dari kayu
biasa yang ada di sampannya. Kalau berjumpa dengan para Pejuang
Republik Indonesia, dayung nibung tadi dikayuhnya tinggi-tinggi. Biasanya
pakcik Abbas bertemu dengan para Pejuang di tengah malam.
Atas jasa-jasanya, maka pakcik Abbas mendapat SK dari pemerintah
Republik Indonesia sebagai veteran. SK : No. 1442/MDLV/VI/1994, Pangkat/
Gol. Data C MPV: 4005079 yang ditandatangani oleh M.Masnur sebagai
ketua LVRI Riau ketika itu. Untuk SK nya, anakku Bambang yang
mengurusnya di markas LVRI Riau, dan dari keluarga yang dimasukkan
dalam kartu anggota adalah Iswandi, anak abang Jais. Pakcik Abbas
mengatakan sebelum beliau meninggal, ada 2 cucunya yaitu Iswandi masuk
dalam anggota keluarga LVRI dan Bambang dikasi sebidang kebun.
b. Bermain Biola
Pakcik Abbas sangat pandai bermain biola, terutama lagu-lagu melayu,
seperti; dendang sayang, serampang laut, serampang dua belas dan lain-
lain. Kepandaian bermain biola ini dipelajarinya dari pakcik Nuh dirumah.
c. Pandai bermain Gambus
Pakcik Abbas sangat pandai bermain gambus. Beliau sangat terampil
dalam memetik gambus. Kepandaian ini beliau pelajari dari orang Banjar
asal Tembilahan ketika datang berdagang, membawa hasil bumi, seperti;
ubi, keladi, pisang, jagung, keledek, dan lain-lain. Karena rumah kami dekat
dengan sungai, mereka menumpang bermalam dirumah, dan diantara
mereka ada yang pandai main Gambus. Kalau siang mereka berjualan dan
bila malam hari mereka beristirahat dirumah dan pada waktu itulah pakcik
Abbas belajar bermain Gambus. Sementara dagangannya habis dan
menunggu waktu pulang ke Tembilahan, orang Banjar itu memberikan
latihan dan pakcik Abbas dengan tekunnya berlatih sendiri. Karena minat
belajar gambus ini ada beberapa orang termasuk ayah, maka ketika guru
gambus ini pulang ke Tembilahan mengambil barang dagangannya, dan
datang kembali membawa sebuah gambus lagi dan beberapa buah marwas
untuk melengkapi main tarian zapin, yang diajarkan oleh guru gambus tadi.
107
d. Barzanji dan Sarakal
Barzanji adalah sebuah kitab Nazam yang disusun oleh Syekh Albarzanji,
berisikan tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW, dan silsilah
nasab keturunannya. Sarakal merupakan puji-pujian yang dilantunkan
dengan nada suara yang tinggi dan lagu tertentu, pujian dan sanjungan atas
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pakcik Abbas demikian terampilnya
membaca Barzanji dan melantunkan Sarakal ini, dan dia tak segan-segan
pergi berguru meninggalkan rumah untuk belajar Berzanji dan Sarakal,
sehingga dia disegani orang-orang kampung, demikian kata ayah kepada
saya. Berzanji dan Sarakal ini sama mengunakan bahasa Arab dan huruf
hijaiyah, sama dengan tulisan Al-Qur’an. Mereka yang sudah bisa membaca
Al-Qur’an apalagi khatam(tamat membaca Al-Qur’an 30 juz) dengan mudah
membaca Barzanji. Membaca Al-Qur’an harus dengan tartil menurut ilmu
Tajwid, demikian pula dengan membaca Barzanji harus dengan lagu dan
irama tersendiri. Kita bisa membedakan kalau mendengar apakah orang itu
sedang membaca Al-Qur’an atau membaca Barzanji. Sedangkan Sarakal
harus dilakukan dengan suara yang keras, tinggi dan saling bersahutan,
tentunya memiliki suara yang merdu, enak di dengar telinga, tidak parau.
Kegiatan membaca Barzanji dan melantunkan Sarakal ini di adakan pada
acara-acara :
e. Bermain Kompang
Permainan ini menggunakan alat namanya kompang, yang dibuat dari kayu
bentuknya bundar sedemikian rupa dan mukanya ditutupi dengan kulit
kambing yang sudah dibersihkan bulunya, dipukul atau ditabuh dengan
telapak tangan. Permainan kompang ini dinamakan secara beregu dengan
sambil duduk atau berdiri sehingga bergemuruh bunyinya. Dalam kegiatan
perkawinan, permainan kompang ini digunakan untuk mengarak mempelai
laki-laki ke rumah mempelai perempuan, atau menyambut kedatangan
mempelai laki-laki, permainan kompang seperti ini disebut kacang goreng.
108
Dan sambil memukul kompang dilantunkan salawat Nabi S.A.W, dengan
Lafaz-lafaz tertentu.
Ada jenis lain permainan kompang ini yaitu Hadrah, permainnya sama juga,
beregu dan sambil duduk, Hadrah ini di mainkan sambil membaca Gasik,
yaitu buku yang berisikan lagu-lagu dalam tulisan arab, yang maksudnya
puji-pujian kepada Allah S.W.T dan penghormatan kepada Nabi Muhammad
S.A.W. Memukul kompang masing-masing peserta diatur cara memukulnya
ada yang namanya melalu dan ada yang namanya meningkah. Pimpinan
regu atau penghatur permainan sambil melantunkan suara diikuti oleh
peserta yang lain. Perubahan pukulan dan irama menurut judul lagu yang
ada dalam Gasik.
Permainan lain yang sejenis namanya Berdah. Alatnya sama seperti
kompang, tetapi lebih besar, yang terbesar kalau ditegakkan ketika
memukulnya, separas dagu orang dewasa tingginya. Main Berdah ini
tujuannya adalah untuk menghormati dan memuliakan Nabi Muhammad
S.A.W, maka itu dimainkan pada waktu memperingati hari kelahiran pada
tanggal 12 Rabi’ul Awwal, atau di rumah pengantin perempuan, sesudah
acara akad nikah dilakukan sebagai hiburan. Awal permainan dimulai
dengan membaca Shalawat kepada Nabi dan pimpinan regu mengambil dan
menegakkan rebana (kompang) yang terbesar, diikuti peserta yang lain
langsung memukul/menabuhnya dengan irama pukulan sesuai dengan
nazam (bait) yang dilantunkan dalam Berzanji, demikian sampai berakhir
satu nazam. Setelah istirahat dilanjutkan seperti itu lagi, siapa yang menjadi
pimpinan dialah yang menegakkan rebana yang besar tadi.
Permainan lain lagi yang masih sejenis yaitu Terbangan dan ditambah
sebuah lagi alat namanya Jidur atau Tambur, dipukul dengan alat pemukul
menurut irama pukulan Kompang. Satu lagi permainan namanya
Kemplingan, bentuk alatnya seperti Kompang, tapi bulat panjang seukuran
besar bantal bulat orang dewasa sepanjang sehasta, ditambah sebuah
Gong dari Tembaga. Terbangan dan Kemplingan mainnya tetap beregu
sambil duduk dengan lantunan suara dan lagu yang sudah disusun. Kedua
permainan ini dilakukan oleh etnis Jawa, sedangkan Hadrah dan Berdah
oleh etnis Melayu dan kompang dilakukan secara umum. Kelima macam
permainan ini dipelajari oleh pakcik Abbas dan dikuasainya, khususnya
Kompang dan Hadrah.
f. Membuka kedai/ warung
Setelah zaman Jepang berlalu dan Indonesia merdeka, maka kita
mengalami zaman transisi, keadaan ekonomi serba sulit. Kepulauan Riau
termasuk wilayah R.I masih tetap menggunakan mata uang Dollar Strait ($)
seperti Singapura dan Malaya (sekarang Malaysia), perdagangan berjalan
lancar seperti sebelum merdeka. Tetapi pada zaman Jepang diperketat oleh
Jepang, terutama sagu, beras, kain dan baju. Sehingga kehidupan
masyarakat serba sulit, demikian kisah ayah kepada saya mengingat betapa
pahit getirnya hidup di zaman Jepang itu.
109
Pada masa itulah pakcik Abbas membuka kedai berjualan barang makanan
dan sebagainya dan membeli hasil perkebunan orang kampung, seperti;
kelapa dan pinang, diolahnya sendiri dengan menjemur dan menyalai,
hasilnya di jual ke Tauke Cina. Seorang tauke Cina tempat pakcik Abbas
berlangganan membeli barang-barang makanan di Tanjung Batu bernama
Su Eng. Aku masih ingat dibawa pakcik Abbas ke kedainya, pekerjaan
mengolah pinang dan kelapa, dia dibantu oleh pekerja lain untuk melayani
pembeli. Kedainya dibantu oleh abang Amin Jono dan abang Jais. Kadang-
kadang pada siang hari kalau Nek Halimah lapang tidak ada yang dikerjakan
dirumah, nenek datang ke kedai, menolong masak untuk makan siang, dan
aku tak ketinggalan ikut nenek dan turut makan bersama, karena masakan
nenek enak sekali.
Di tempat kedai pakcik Abbas, ada juga kedai orang Keling yang menjual
mie rebus dan kopi. Tempatnya sekarang kira-kira di sekitar bangunan
gedung Pemuda Pepsu. Usaha dagang dengan kegiatan seperti itu sangat
menguras tenaga dan fikiran. Hampir-hampir tiada beristirahat dan akhirnya
usaha ini berhenti dan kedai ini ditutup.
g. Nelayan
Setelah berhenti berkedai, pakcik Abbas bekerja sebagai nelayan dengan
tetangga bernama Parso. Pekerjaan ini mengasyikkan sekali baginya
sampai ia beristri dan berumah sendiri. Dengan alat rawai yang panjang
lebih dari 100 meter dan mata pancing yang tergantung dengan tali benang
sekitar 30 cm, lalu direntangkan sepanjang laut ditandai dengan pelampung
dan jangkar di jatuhkan ke laut sebagai penahan, sementara ujung yang lain
setelah semua mata pancing dilemparkan kelaut, tentunya sudah dikasi
umpan, dipegang atau diikat di perahu, setelah dua jam atau lebih barulah
ditarik (istilahnya dibongkar). Menjelang menunggu tali rawai ditarik, ketika
itulah waktu beristirahat.
h. Guru Ngaji
Menjadi guru ngaji ini dilakukan pakcik Abbas setelah berumah tangga
dengan Makcik Zaleha (orang pulau Buluh), muridnya; anak-anak Abdul
Hamid (sekarang pindah di Malaysia), Amat Hasan (anak angkat dari adik
Makcik Zaleha bernama Atan).
110
Mak Usu dikaruniai putra-putri (sudah aku sebutkan didalam silsilah Tok
H.Usman), pada masa selanjutnya, Jamilah bersuamikan dengan M. Yusuf
(sama dengan nama ayahnya), kemudian pindah berumah sendiri.
111
Dengan izin Allah S.W.T beliau dapat berangkat pergi menunaikan ibadah
haji. Berangkat dari pelabuhan Sungai Ungar ke Singapura diantar oleh Tok
H.Usman dan untuk sementara beliau ditipkan untuk tinggal bersama kenalan
Tok H.Usman bernama H.Ali sambil menunggu jadwal kapal laut ke Jeddah.
Setelah jadwal kapal tiba, maka dia kemudian berangkat menumpang kapal
laut ke Jeddah, selanjutnya ke Mekkah dan melaksanakan rukun-rukun haji
(Ikhram, Wukuf di Arafah, Tawaf mengelilingi Ka’bah, Sai, Tahallul) dan wajib
haji (bermalam di Mina dsb), mengunjungi Madinah untuk berziarah ke makam
Nabi Muhammad SAW.
Allah S.W.T berkehendak lain, informasi dari muassasah (yayasan/ agen
perjalanan ibadah haji) setelah beliau selesai menunaikan ibadah haji dan akan
kembali ke tanah air, beliau jatuh sakit di Jeddah dan akhirnya meninggal dan
dimakamkan di Jeddah.
112
belum lagi tercapai, Allah SWT telah memanggilnya menghadap kehadlirat-
Nya. Beliau menutupkan matanya terakhir di Singapura.
Dari kedua bersaudara inilah, Jawadi dan Dawami, adik-adiknya belajar
mengaji Al-Qur’an sampai khatam dan belajar ilmu agama lainnya. Sedangkan
Selamat sudah berkeluarga, tinggal dirumah lain di Balak Sungai Sebesi,
adapun adiknya yang lain Abbas dan Ruminah masih kecil. Dawami mengajar
adiknya Ahmad, dan Jawadi mengajar adiknya Walijah. Kegiatan ini dilakukan
sebelum Dawami pergi ke Moro dan sebelum Jawadi pindah ke rumah H.Saleh
untuk bekerja membantu H. Saleh, mencari biaya ke tanah suci.
113
Kiri: Poto aku bersama abang Jais, tahun 1989;
kanan : Poto Basirun bin Dasuki tahun 1963
Aku bersama abang Jais di rumah kami Parit Mataram II Sungai Ungar
sama-sama di usia senja tahun 2019
Cerita abang Jais bahwa dia belajar di sekolah rakyat (S.D) dan tamat
sampai dikelas tiga, memang ketika itu di Sungai Ungar S.R hanya sampai
kelas tiga saja. Diantara teman-teman abang Jais yang sama belajar
dengannya, yaitu; Ramli Naim, Wahadi, Subari, Kusen, Kasan, Bedol, Tarmadi.
Mereka ini masih saya temui, terutama Subari H.Siradj. Gurunya adalah
Yaumun orang Durai dan Sandim orang Jawa. Pak Sandim ini suami Kamirah,
anak H.A. Rahman (Wak Bilal) dengan Rajifah (Mak Alang) binti H. Ikhsan
tetangga kami, dan masih aku jumpai.
114
Sekolahnya terletak dibelakang rumah Khuzairi sekarang ini (posisi sebelah
jembatan Sempang), kemudian sekolah ini dibangun baru dipindahkan ke
depan sejajar dengan rumah Amat Khuzairi dan ditambah sebuah rumah
panggung untuk kepala sekolah sejajar dengan jalan raya yang menghadap ke
arah masuk jalan Mataram II ke arah rumah baru kami sekarang ini.
Basirun juga belajar disekolah yang sama dan tamat dikelas tiga, semasa
remaja dan pemuda berteman akrab dengan abang Jais, kemana pergi selalu
berdua seperti ke Tanjung Batu nonton bioskop, dengan masing-masing
bersepeda railigh (merek sepeda yang terkenal waktu itu). Basirun bekerja
ditoko yang menjual barang makanan dan membeli hasil perkebunan orang
kampung seperti, Pinang, Kelapa, Karet milik orang cina bernama Gonjol, Peng
We anaknya bersama-sama Basirun membantu orang tuanya. Basirun dan
Peng We hobi bermain badminton, mereka latihan pagi sebelum bekerja,
digedung disamping sungai. Pada perayaan 17 Agustu 1950an mereka
menjuarai partai double se-kecamatan Kundur.
Ketika musim panen pinang, Basirun dan abang Jais bekerja membantu
ayah menggait pinang, setelah selesai bekerja ditempat sendiri, mereka
mengambil upah di tempat lain. Basirun juga gemar bermain sepak bola, dan
dia sebagai penjaga gawang pada kesebelasan Pepsu (Persatuan Pemuda
Sungai Ungar). Kesebelasan Pepsu ini selalu menjadi juara pada perayaan 17
Agustus, dan aku selalu ikut ayah ke Tanjung Batu kalau kalau Pepsu bermain
bola.
Kalau abang Jais tidak suka main sepak bola atau badminton, tapi suka
main gasing, dan hobi memancing atau mengail ikan ke laut ikut ayah.
Basirun tetap kerja ditoko Gonjol kalau tidak musim pinang, dan abang Jais
tetap membantu ayah menggait kelapa tua dan menebas membersihkan kebun
atau menggali parit. Ketika harga arang mahal, mereka berdua membantu ayah
menebang beberapa kayu bakau yang dekat dengan rumah,
mengumpulkannya untuk dimuat kedalam perahu Pokcai, lalu diantar ke tauke
Cina Dapor Arang di pulau Manda.
Aku pernah ikut ketika ayah dan abang Jais kerja waktu istirahat kami
mencari lokan dan siput. Ayah menceritakan ketika sampai di tengah-tengah
hutan bakau, ada tanah lapang yang tidak ditumbuhi oleh pohon bakau atau
pohon kayu lainnya, hanya dikelilingi oleh rumput gajah yang lebar daunnya
tinggi keatas tanpa batang seperti pohon kayu pada biasanya. Kata ayah, disitu
adalah tanah kuburan, kadangkala orang mencari kayu berjumpa tempat ini
dan ada kuburannya dengan nisannya tertancap dua di ujung kaki dan diujung
kepala dari kayu. Tetapi ketika orang datang dengan niat dan tujuan hanya
mencari tempat ini, maka tidak pernah bertemu dan sampai sekarang tidak
diketahui kubur siapa itu, kata ayah. Apa yang dikatakan ayah juga ternyata
sampai tulisan ini dibuat juga tidak diketahui siapa dan dimana.
Pada akhir zaman penjajahan Belanda dan awal pendudukan Jepang,
abang Jais bila pulang sekolah, dia turut membantu ayah membuat gula kelapa
seperti mencari kayu api/kayu bakar untuk memasak gula, atau mencuci gelok,
115
tabung bekas nira kelapa. Waktu zaman sulitnya bahan pangan abang Jais
turut membantu ayah berladang padi, menanam jagung, keladi, serawak
(kimpul), ubi, keledek (ubi jalar)dan sayur-sayuran, pisang dan sebagainya.
116
Gambar dari kiri; H.Abdul Kahar bin HM.Yusuf, H.Abdul Aziz bin H.Ahmad,
Abdul Rahman bin Abdul Manaf (megang sepeda) Alai, Tahun 1963
5. Usman
Beliau adalah orang dari Jawa. Pekerjaanya disamping berkebun kelapa,
juga menanam padi, ubi kayu, keladi (talas) dan ubi jalar (keledek). Karena
117
tanaman keledek yang ditanamanya banyak dan bagus-bagus, oang-oang
kampong sering membeli darinya. Akhirnya orang kampong menaggilnya
dengan panggilan Usman Keledek. Isterinya kami panggil Mak Wok. Mereka
mempunyai anak, yaitu; Si Pon (nama panggilan) dan Tugiman. Si Pon
berteman dengan abang Jais dan mereka berdua sama-sama bersunat (khitan)
di rumah kami. Usman Keledek meninggalkan Sungai Unggar (Parit Mataram II)
ke Sambu (Batam) setelah zaman Jepang berakhir. Kebun-kebun yang
dimilikinya dijual kepada pakcik Abbas.
6. H.Abdul Rahman.
Beliau beristri Rajifah (Mak Alang), anak dari Penghulu H.Ikhsan. Kami
biasa memanggilnya dengan Wak Bilal (muazin) karena dia pernah menjadi
bilal di mesjid Sungai Ungar. Setelah masjid Sungai Ungar siap dan Tok
H.Usman yang mengazankan pertama kali, maka dengan berlalunya masa, Tok
H.Usman bersama Penghulu meminta anak-anak muda yang meneruskan
kepengurusan masjid tersebut. Maka terpilihlah beliau yang menjadi bilal, imam
tetap H.Ali dan Khatib H.Jabar. Waktu itu pengurus/ petugas mesjid dipilih
melalui musyawarah kampung.
Beliau berasal dari Klang-Malaya (Malaysia). Di Sungai Ungar awalnya
membeli kebun kelapa, baik yang sudah berbuah atau tanah kosong dibeli dari
orang-orang yang menjualnya, lalu ditanam kelapa. Sementara kelapa belum
tinggi atau berbuah, ditanamnya padi (berladang padi). Beliau juga
mempekerjakan beberapa orang membantunya, dengan membuat rumah salai
(langkau) untuk mengeringkan kelapa yang beribu-ribu buah banyaknya.
Setelah kering, dikeluarkan isinya dari tempurungnya dimasukan ke dalam goni/
karung, beliau bawa dengan perahu berlajar ke Singapura untuk di jual.
Di samping itu beliau memiliki rumah sewa yang disewa orang keling untuk
kedai kopi, jualan rempah-rempah (cengkeh/kulit manis/buah
pala/ketumbar/minyak sapi dan lain-lain). Ia juga mempunyai rumah sewa yang
disewa orang cina untuk jualan sembako, sayur-sayuran, kedai mas, jualan
kain, baju dan alat tulis. Rumah tempat tinggalnya dulu sangat dekat dengan
sekolah SR (SD). Semua lokasi tempat yang dimilikinya sejajar dengan rumah
sewanya, pertokoan dan sekolah SR, dekat Sempang.
7. Salamah
Salamah adalah anak angkat Nek Halimah, cucu dari Nek Kecik Normah.
Ayah Salamah adalah Abu Bakar, anak tertua dari Nek KEcik Normah dengan
suaminya H. Sulaiman. Kami memanggilnya Makcik Lamah, sedangkan Mak
Ngah Walijah dan pakcik Abbas dipanggilnya Kakak dan Abang. Tapi ayah
dipanggilnya Pak Long dan Ruminah adik ayah yang bungsu dipanggilnya Mak
Usu.
Makcik Lamah, tidak tinggal serumah dengan kami, dia tetap bersama
ayahnya, kadang-kadang datang bermalam dua atau tiga malam, atau sekedar
menemui nenek dan tidak bermalam, memang rumah kami tidak seberapa jauh
118
dari rumanya, bisa pulang pergi. Setelah menikah dia ikut suaminya Usman, ia
pindah ke Teluk Lekup, Tanjung Balai Karimun.
8. M. Nuh
Kami memanggilnya pakcik Nuh, dia adalah teman ayah, orang Bugis dari
Moro. Pada zaman pendudukan Jepang, anak-anaknya tinggal sementara di
rumah kami, diantara anaknya yang kuingat bernama kak Esah. Sementara itu
pakcik Nuh kerja di kapal sebagai juru mudi kapal. Pakcik Nuh pandai bermain
biola dan kalau dia pulang dari berlayar dia menemui anak istrinya, kesempatan
ini dipergunakan oleh pakcik Abbas untuk belajar bermain biola sampai pandai.
Setelah zaman Jepang berlalu dan keadaan sudah aman, pakcik Nuh, istri
dan anaknya pulang kembali ke Moro. Pakcik Nuh kembali kerja di kapal Hok
Soon, sebagai Juru Mudi (Kapten) dalam jalur pelayaran (rute) Tanjung Batu,
Moro, Belakang Padang, Singapura, pulang pergi.
Pada tahun 1960 setelah aku menamatkan PGAN 4 tahun, aku pergi ke
Moro, bersilaturahim dengan keluarga makcik Nuh dan berjumpa dengan kak
Esah (yang sudah bersuami) tetapi tidak berjumpa dengan Pakcik Nuh, karena
dia sedang keluar dari Moro, bekerja. Aku beberapa malam di Moro dan
kembali lagi ke Sungai Ungar.
9. Husin
Husin adalah adik kandung dari M.Yusuf bin M.Nur, adik ipar Mak Usu
Ruminah. Husin ini suami dari Zainab (anak dari Mak Ngah Walijah dengan
Dasuki). Husin bekerja membuat gula kelapa di kebun NekHalimah, dekat
dengan rumah kami. Ketika memanjat pohon kelapa untuk mengambil nira, dia
terjatuh dari atas pohon kelapa dan beberapa hari kemudian meninggal dunia,
dikebumikan di perkuburan Sungai Ungar (diarah belakang SDN 1). Husin
dengan Zainab memiliki seorang anak bernama Watinah (Tinah) dan seusia
dengan saya.
119
gedung Rusydiah Klab. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kekuasan
secara paksa oleh Belanda pada tahun 1913 tanpa ada perjanjian.
Dikatakannya, beliau adalah pendukung setia Sultan dan Tengku Besar,
sekarang sedang berusaha untuk menjalin kesetiaan diantara para pengikut di
daerah-daerah terhadap tindakan penjajahan Belanda, sebagaimana perintah
Sultan. Beliau juga mengatakan bahwa kondisi para pengikut sekarang (ketika
itu) banyak yang takut, ada yang cari selamat sendiri dan tak jarang ada yang
berkhianat, karena pasukan marsose Belanda (pasukan elite Belanda ketika
itu) sedang gencar-gencarnya memburu semua keluarga, pengikut Sultan dan
Tengku Besar untuk meredam perlawanan. Beliau banyak bercerita kepada Tok
H.Usman tentang tindakan kesewenang-wenangan Belanda. Karena
menimbang satu dan lain hal, Tok H.Usman tak mau menceritakan latar
belakang dan asal-usulnya kepada Raja Kadar, Tok H.Usman hanya
mendengarnya saja. Akan tetapi, Tok H.Usman tetap mendukung apa yang
dilakukan Raja Kadar, dan sewaktu-waktu diperlukan, siap untuk membantu
membela tanah air dari cengkeraman penjajah, dan berdoa semoga Belanda
segera keluar dari Riau ini. Bahkan Tok H.Usman menunjuk anaknya (ayahku
Ahmad) untuk membantu Raja Kadar berkeliling Sungai Ungar, Tanjung Batu
dan sekitarnya sekira-kira diperlukan. Apalagi ayah sudah pandai beciau
sampan.
Sejak saat itu, ayah sering diajak Raja Kadar berkeliling. Setelah lebih
kurang satu tahun kemudian (aku perkirakan tahun 1915) - sebagaimana
diceritakan ayah kepadaku - Pada suatu hari, Raja Kadar mengajak ayah ke
Tanjung Batu dengan beciau sampan. Ketika itu ayah berusia 14 tahun dan
ayah yang mendayung. Raja Kadar ingin berkunjung ke rumah Amir (setingkat
camat). Amir ini bergelar Raja juga. Sesampainya disana, Raja Kadar masuk ke
dalam rumah, mereka berdua berbincang dan ayah hanya duduk diluar saja,
tidak tahu apa yang mereka bincangkan berdua di dalam.
Seterusnya kata ayah, mereka berdua keluar dari dalam rumah menuju ke
halaman, masing-masing menunjukkan kebolehannya dalam ilmu silat dan
kanuragan. Aku tidak akan ceritakan dalam tulisan ini apa yang dilakukan
mereka berdua ini. Setelah selesai, Raja Kadar bersalaman dan berpamitan
kepada Amir untuk pulang. Ayah juga bersalaman dengan Amir, lalu berjalan
menuju ke pelabuhan tempat sampan yang tertambat. Setelah tali dilepaskan
dari ikatan, ayah mengayuh sampai bersama Raja Kadar yang berada
didalamnya, pulang menuju Sungai Ungar dan selamat sampai dirumah dengan
tidak sedikitpun rintangan atau halangan selama dalam perjalanan pulang
pergi.
Setelah peristiwa itu, Raja Kadar beserta seluruh keluarganya
meninggalkan Parit Laut (Parit Mataram I) pindah ke Pulau Buru (sekarang
Kecamatan Buru, Kabupaten Karimun). Raja Kadar dan keluarganya hanya
sekitar 1,5 tahun saja tinggal di Sungai Ungar. Ayah tak mau menceritakan
kisah lainnya tentang Raja Kadar, hanya satu cerita itulah yang mau diceritakan
ayah kepadaku. Kata ayah, Raja Kadar berpesan sebelum dia meninggalkan
120
Sungai Ungar, sebaiknya ayah nanti membina keluarga saja baik-baik dan
berkebun untuk anak cucu, karena keadaan sekeliling sekarang (ketika itu)
sudah berubah jauh. Ayah melihat raut muka kekecewaan Raja Kadar. Kebun
kelapanya digadai kepada tauke Cina bernama Toapi yang bekerja sebagai
nelayan bertempat tinggal disamping pelabuhan Sungai Ungar. Sampai
sekarang anak cucu Toapi masih menempati rumahnya. Ia mempunyai anak
laki-laki, diantaranya bernama Tan Encong (Apek Encong), sekarang sudah
lansia, pindah dari Parit Laut (Parit Mataram II) ke ujung Parit Pacitan (Bukit)
tidak jauh dari lapangan bola.
11. M. Nur
Menurut ayahku, M.Nur ini adalah orang jawa asal Demak yang menetap
di Moro. Aku ceritakan sedikit tentang silsilah anak cucu keturunannya karena
menurut ayah, banyak dari keluarga mereka ini memiliki hubungan kekerabatan
dan kekeluargaan dengan keluarga besar Tok H.Usman, Tok H.Sulaiman dan
Tok H.Ikhsan, sebagai tetua sungai ungar. Oleh karena itu, keluarga moro asal
Demak ini sudah menjadi bagian dari keluarga besar kami di sungai ungar.
1. Aisyah + H.Hasyim
2. Martinah + M.Nur
a. H.Ismail + (I?/belum diceritakan)
i. Rahmat + Nurinah
ii. Rahmah + Atan
iii. Yasir + Ilah
H.Ismail + (II/Maharum)
i. Hj.Asmah + Hasril
b. Ilyas + Sadiah
i. Hasyim
ii. Satimah + Kamim
c. Karsih + Djono
i. M. Zein + Sarinah
ii. M. Amin + Asiah
d. Munzir/ Wak Bojeh + (I/?/belum diceritakan)
Munzir/ Wak Bojeh + (II/Hamimah binti Selamat bin H.Usman)
Untuk anak keturunannya sudah aku masukkan ke dalam silsilah
anak keturunan Tok H.Usman bernama Selamat.
e. H.M.Yusuf + Ruminah binti H. Usman
Untuk anak keturunannya sudah aku dimasukkan dalam silsilah
anak keturunan Tok H. Usman bernama Ruminah.
e. Sinah + Fauzan
121
g. Husin + Zainab binti Dasuki
Untuk anak keturunannya sudah aku masukkan dalam silsilah
anak keturunan Tok H. Usman bernama Zainab.
h. Salmah + M. Akib
i. Aisyah
ii. Rusli
i. H.Ahmad Nur/ H.Ahmad Bajing + Marpuah
3. Fatimah + Abdul Fattah
a. Fatemah + Abdul Rahim bin H.Sulaiman
Untuk anak keturunannya sudah aku dimasukkan dalam silsilah
anak keturunan Tok H.Sulaiman bernama Abdul Rahim.
b. Kartini + Abbas
i. Fahmi
ii. Faisal
iii. Fauzi
iv. Fadhilah
v. Faridah
vi. Fauziah
c. Bejo
d. Kartinah + H.Hasyim
i. Syahril
ii. Hartati + H.H.Ahmad Asri
iii. Herkasih + H.Darkasi
iv. Buridah + Syamsudin
v. Mardiana + H.Syukur
vi. Yusuf
vii. Usman
e. RH.Ahmad + Rahyah
i. Hj. Rahaya + H.Hasymi
ii. Nurhayati + Jailani
f. Hadirah + H.Mukhtar
i. Yulisna
ii. Mukhlis
iii. Yohana
iv. Yustiningsih
v. Herlina
vi. Andri
vii. Heriyanto
4. Cik Yah + H.Yusuf
a. Aminah + H.Samin
i. M.Said
ii. Simah + Syawal bin Abdul Rahim
iii. H.Tamim
122
b. Kasim + Salmah
c. Katijah
123
cc. Eka Kartika Sari
dd. Ismail
v. Kamariah/Dayang + Jumino
aa. Zamri Nedwanto
bb. Lili Budianingsih
cc. Azzahri
11. H.Ridwan
Menurut ayahku, H.Ridwan adalah diantara orangtua-tua yang berdiam
di sungai ungar, tepatnya di parit mangkil, berasal dari Kudus. Sebelum
menetap di sungai ungar, H.Ridwan sempat beberapa masa menetap di
Muar-Johor (sekarang: Malaysia). Menurut mertuaku Juminah binti Aliman,
H.Ridwan ketika datang pertama kali dari Muar-Johor ke sungai ungar
bertemu dengan Aliman bin Sutowijoyo (kami dibahasakan dengan mbah
Ngaliman). Mbah Ngalimanlah yang membawa H.Ridwan untuk bertemu
Tok H.Usman, untuk kemudian sementara waktu tinggal di rumah mbah
Ngaliman sebelum akhirnya mereka berkebun dan membangun rumah di
parit mangkil. Mungkin sama-sama berasal dari Kudus, jadi ada hubungan
daerah asal yang sama.
Anak cucu H.Ridwan ini memiliki hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan dengan keluarga besar Tok H.Usman, Tok H.Sulaiman dan
Tok H.Ikhsan, sebagai tetua sungai ungar. Menurut ayahku, H.Ridwan ini
termasuk orang tua yang dekat dengan keluarga besar kami, sering saling
kunjung, tegur sapa dan berhasil mendidik anak-anak dan keturunannya
sehingga beberapa diantaranya pernah menduduki jabatan tinggi di
pemerintahan tingkat provinsi. Diantara cucu beliau, yaitu
Drs.H.Muhammad Sani, pernah menjadi Gubernur Kepulauan Riau,
adalah teman berkayuh sepeda abangku Jais bin Ahmad. Aku bersama
dengan Sani sudah cukup lama bergaul sejak masa kecil, ketika pertama
kali beliau menjadi camat di Duri-Riau tahun 1976 dan aku menjadi kepala
PGAN 6 Tahun di Pekanbaru. Aku sendiri bersama Drs.H.Muhammad
Sani pernah sama-sama mengabdi di pemerintahan, ketika beliau
menjabat sebagai Walikota administratif Tanjungpinang pada tahun
1985an dan aku menjadi Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten
Kepulauan Riau. Bahkan kami sempat naik haji bersama tahun 1990,
ketika itu aku sebagai ketua Kloter jamaah haji Provinsi Riau dan beliau
menjadi ketua jamaah dari Kabupaten Kepulauan Riau. Demikian juga
cucu beliau lainnya seperti Isdianto, S.Sos, MM yang berhasil menjadi
Gubernur Kepulauan Riau.
Disini aku sebutkan nama-nama anak keturunan H.Ridwan, mungkin
ada yang tersalah sebut atau hanya ditulis panggilannya saja, untuk itu
dipersilahkan anak keturunan beliau untuk meluruskannya lagi. Ini hanya
pembuka kata saja.
H. Ridwan memiliki beberapa orang anak, yaitu :
124
a. Sulikan + Zainab binti Dasuki (anak Mak Ngah Walijah binti H.Usman)
b. Surati + Suratin
c. Subakir + (?)
i. H.M. Said + Juniati binti H.Siradj bin H. Ikhsan
ii. H.M. Sani + Aisyah
iii. M. Sakib/Iweh
iv. Isdianto
v. Budi
d. Sukar
e. Supaat
f. Sukayah
g. Surifah
13. Usman
Menurut ayahku, diantara orang-orang tua yang menetap di parit tegak,
ada yang bernama Usman. Usman ini adalah orang dari jawa asal Kendal.
Sebelum menetap di parit tegak, beliau terlebih dahulu bermukim di Batu
Pahat-Johor (sekarang: Malaysia). Anak cucu Usman ini memiliki
hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dengan keluarga besar Tok
H.Usman, Tok H.Sulaiman dan Tok H.Ikhsan, sebagai tetua sungai ungar.
Diantaranya seperti anak Usman, yaitu Ahmad (dikenal dengan panggilan
Ahmad Sengeh), adalah suami dari Juminah binti Aliman (mertuaku) dan
ayah dari Hj.Sutirah binti Ahmad (istriku).
Disini aku sebutkan nama-nama anak keturunan Usman, mungkin ada
yang tersalah sebut atau hanya ditulis panggilannya saja, untuk itu
125
dipersilahkan anak keturunan beliau untuk meluruskannya lagi. Ini hanya
awal kata saja.
Usman memiliki beberapa orang anak, yaitu :
a. Salamah
i. Jayadi
b. Ahmad + Juminah binti Aliman bin Sutowijoyo
untuk anak keturunan Ahmad, sudah aku sebutkan di dalam riwayat
dan silsilah keturunan H.Sulaiman
c. Ibrahim + Sukeni
i. Jumadi
ii. Turiati + Bahar Thalib
iii. Idar
iv. M. Sahir + Yuraini
v. Mawar
vi. Trismariana
vii. Rose
14. H.Idris
Menurut ayahku, H.Idris adalah orang jawa asal Kudus, sebelum
menetap di sungai ungar, beliau terlebih dahulu menetap di Muar-Johor
(sekarang: Malaysia). Anak cucu H.Idris ini memiliki hubungan
kekerabatan dan kekeluargaan dengan keluarga besar Tok H.Usman, Tok
H.Sulaiman dan Tok H.Ikhsan, sebagai tetua sungai ungar. Diantara anak
keturunan H.Idris yang berhubungan langsung dengan keluarga besar
adalah Ramlan atau dikenal dengan H.Masyuri. Disini aku sebutkan nama-
nama anak keturunan H.Idris, mungkin ada yang tersalah sebut atau
hanya ditulis panggilannya saja, untuk itu dipersilahkan anak keturunan
beliau untuk meluruskannya lagi. Ini hanya pembuka saja.
H.Idris + Rakimah
a. Ramlan/ H.Masyuri + Kamisah binti A.Rahim bin H.Sulaiman
i. Rasilah
ii. Amat
iii. Atan
iv. Tarmidi
b.Hamisah + Sarimin
i. Hafsah
ii. Mukhsin
iii. Mastur
iv. Dapet
c. Masamah
d. Muslim
e. Musman + Jariah binti Satari
126
Demikianlah, kisah ini aku tulis untuk jilid yang pertama di rumahku, terletak
di Jalan Datuk Laksamana No.16 Gobah Pekanbaru, pada malam Kamis
tanggal 24 Juli 2019 M/ bersamaan dengan 22 Dzulqaidah 1440 H, pukul 20.30
WIB.
Wallahu A’lam Bishawab.
127
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PENDIDIKAN
PEKERJAAN
128
KURSUS – PELATIHAN
129
130