Anda di halaman 1dari 7

24

‫تكره مصافحة وتقبيل ومعانقة من بو داء اجلذام هبذا قال الشافعية‬

24
Lihat: Abu al-Qasim Ibn al-Syath al-Maliki, Idrar al-Syuruq ‘ala Anwa’ al-Furuq, Vol. 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
t.th), h. 400-401, Syihabuddin al-Qarafi, al-Furuq, vol. 4, (h. 4001, al-Manar: 5/222, al-Qulyubi wa
„Umairah, HÉsyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, vol. 11, (al-Qahirah: Dar al-Taufiqiyah li al-Turats, 2010), h. 123, dan
Wazarah al-Auqaf wa al-Syu‟un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, vol. 27, h. 188.
25
al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah: 15/132.
26

27

28

26
Sulaiman bin Umar al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, vol. 1, h. 208 dan vol. 2, h. 211, Ibn Hajar al-Haitami, al- Syarwani dan
al-Ubbadi, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-Ubbadi, vol. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h.
74-75, 346, 368, Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain, h. 151, Sulaiman al- Bujairimi, Hasyiyah al-
Bujairimi ‘ala al-Khatib, vol. 1, h. 296, Muhammad bin Ahmad al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, vo.
1, h. 267, Muhyiddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, vol. 5, (Beirut: Dar al- Kotob al-Ilmiyyah, 2011), h. 229, dan
Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib, vol. 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), h.
332.
27
Lihat: Sulaiman bin Umar al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, vol. 1, h. 208.
Fatwa MUI nomor 14 Tahun 2020, Buku Fiqih Pemulasaran Jenazah Pasien Covid-19 yang dikeluarkan oleh LBM-
28

PBNU, dan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 02/MLM/I.0/B/2020.


29

30

29
al-Termasi, Vol. 3, h. 212, Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Vol. 1, (Mesir: al-Maktabah al-Islamiyah,
t.th.), h. 350, Nawawi, Nihayah al-Zain…, vol. 1, h. 139, al-Subki, Fatawa al-Subki, vol. 1, h. 186, al- Inshaf, vol. 2, h.
280, al-Sail al-Jirar, vol. 1, h. 301, dan al-Talkhish al-Habir, vol. 2, h. 136.
30
Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan shalat jum‟at dan jamaah untuk mencegah
penularan wabah covid-19.
31

31
Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan shalat jum‟at dan jamaah untuk mencegah
penularan wabah covid-19.
32

Hukum Masker Ketika Sholat Dalam Kondisi Pandemi

Di masa pandemi Covid-19 ini, kita tentu tahu akronim 3M. Memakai
masker. Mencuci tangan. Menjaga jarak. Ini adalah protokol kesehatan
dan pencegahan Covid-19 yang merupakan hasil ijtihad dari para ahli
epidemiologis dan ahli medis lainnya. Akronim 3M dapat dikatakan
sebaga ijmâ’ (konsensus) para ahli. Hasil ijtihad sains semacam ini tentu
harus dihormati dan ditaati, sejalan dengan firman Allah SWT:

ِّ ‫َفاسْ َألُوا َأهْ َل‬


َ ‫الذ ْك ِر ِإنْ ُك ْن ُت ْم ال َتعْ لَم‬
. . . )43 :‫ُون (النحل‬

"Tanyalah pihak yang memiliki kompetensi (kapasitas) jika kalian tidak


mengetahui…" (QS An-Nahl: 43)

Juga firman Allah SWT:

)59 :‫ (النساء‬... ‫ِين آ َم ُنوا َأطِ يعُوا هَّللا َ َوَأطِ يعُوا الرَّ سُو َل َوُأولِي اَأْلمْ ِر ِم ْن ُك ْم‬
َ ‫َياَأ ُّي َها الَّذ‬

"Wahai orang-orang yang berikan taatilah Allah dan taatilah Rasul serta
pemangku kebijakan di antara kalian…" (QS An-Nisa`: 59)

Fokus pada “Memakai masker”, di luar sholat hukumnya sudah jelas


makruh tanzih, sebagaimana ulasan di atas. Lalu, bagaimana hukum
memakai masker ketika sholat?

Sekali lagi, mari kita tengok ijtihad para fuqaha, dalam hal ini adalah
fatwa Al-Azhar , institusi keislaman dan keulamaan yang tidak
diragukan kredibilitasnya. 

Di dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa:

1. Memakai masker ketika sholat pada saat pandemi seperti sekarang


ini hukumnya boleh, tanpa ada unsur kemakruhan sama sekali;
2. Jika seseorang merasa khawatir atau yakin bahwa ia bisa terpapar
virus jika tidak memakai masker (khususnya) ketika sholat, maka
hukumnya menjadi wajib.

Fatwa tersebut didasari oleh argumentasi bahwa Menjaga Jiwa (Hifzh


an-Nafs) dan menghindarkan jiwa dari segala hal yang membahayakan
jiwa adalah salah satu unsur dari lima tujuan utama pemberlakuan
syariat (maqâshid as-syarî’ah), demi tegaknya pelbagai kemaslahatan
agama dan dunia. Jika unsur ini diabaikan, maka kemaslahatan-
kemaslahatan tersebut tentu tidak akan berjalan dengan baik,
sebaliknya malah akan tercipta kerusakan, kekacauan dan kebinasaan
kehidupan duniawi, serta nasib celaka di kehidupan ukhrawi,
sebagaimana ditegaskan oleh Imam As-Syathibi. 

Hal di atas juga dipertegas melalui sebuah kisah historis berikut yang
terjadi pada diri seorang sahabat Nabi SAW, yaitu Amr ibn Ash RA., 
yang kemudian menjadi yurisprudensi di dalam fiqih Islam:

‫ احتلمت في ليلة باردة في غزوة ذات السالسل‬:‫ قال‬،‫ عن عمرو بن العاص‬،‫عن عبد الرحمن بن جبير‬
:‫ فقال‬،‫ فذكروا للنبي صلى هللا عليه وسلم‬،‫ ثم صليت بأصحابي الصبح‬،‫ فتيممت‬،‫فأشفقت إن اغتسلت أن أهلك‬
:‫ إني سمعت أن هللا يقول‬:‫يا عمرو صليت بأصحابك وأنت جنب؟ فأخبرته بالذي منعني من االغتسال وقلت‬
‫) فضحك رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ولم يقل شيئا‬29 :‫وال تقتلوا أنفسكم إن هللا كان بكم رحيما (النساء‬

Dari Abdirrahman ibn Jubair, dari Amr ibn Ash, ia berkata: Aku mimpi
basah (junub) di suatu malam yang dingin di Perang Dzatu as-Salasil.
Aku khawatir jika aku mandi (janabah) aku akan hancur (mati/sakit),
maka aku pun bertayammum. Lalu aku memimpin sholat Shubuh para
sahabatku. Kemudian mereka mengadukan hal tersebut kepada
Rasulullah SAW., beliau pun bersabda: Wahai Amr, apakah engkau
memimpin sholat para sahabatmu sedangkan engkau dalam keadaan
junub? Maka aku ceritakan alasan yang menghalangiku untuk mandi
(janabah). Aku pun berkata: Sesungguhnya aku mendengar Allah SWT.
berfirman: Janganlah kalian bunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya
Allah adalah Mahapenyayang kepada kalian (QS An-Nisa: 29). Lalu
Rasulullah SAW tertawa dan tidak mengatakan apa-apa.
Tidak dapat disangkal, ketakutan dan efek nyata yang ditimbulkan
penyebaran Covid-19 jauh lebih mencekam dan dahsyat dibanding apa
yang dialami oleh Amr ibn Ash RA di atas. Maka tentu min bâbil
awlâ (kategori lebih utama untuk diprioritaskan) membolehkan
memakai masker saat sholat ketika pandemi dibanding membolehkan
bertayammum saat cuaca dingin menusuk. Bahkan, bukan sekadar
membolehkan, bisa jadi level hukumnya naik menjadi mewajibkan,
tergantung perkembangan situasi.

Argumentasi di atas dapat diperteguh dengan berbagai kaidah fiqh (al-


qawâ’id al-fiqhiyyah), seperti:

1. ‫( ال ضرر وال ضرار‬Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang


lain)

2. ‫( الضرر يدفع بقدر اإلمكان‬Bahaya harus dicegah sedapat mungkin)

3. ‫( الضرر يزال‬Bahaya harus dihilangkan)

4. ‫( الدفع أقوى من الرفع‬Mencegah lebih baik dari menghilangkan/mengobati)

5. ‫( درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬Mencegah kerusakan didahulukan


dibanding menarik manfaat/kebaikan)

6. ‫( الضرورة تبيح المحظورات‬Situasi darurat dapat membolehkan apa yang


dilarang)

Dan kaidah lainnya yang berkorelasi dengan situasi pandemi saat ini.
Namun, karena kaidah-kaidah tersebut sudah masyhur, terlebih di
kalangan santri, rasanya kurang tepat untuk menjelaskan secara detail
tiap kaidah di atas, agar tidak semakin memperpanjang
kalam. Akhirnya, maskerku menjagamu, maskermu
menjagaku. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam

Anda mungkin juga menyukai