Anda di halaman 1dari 2

Kalender Jawa dan Akulturasinya Dengan Kalender Islam

Tahun Jawa disebut juga tahun Saka yang memberlakukan perhitungan berdasarkan
peredaran bulan sebagaimana kalender Hijriah. Dalam kalender Jawa ini terdapat perputaran
waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku. Kalender yang merupakan
perpaduan Jawa asli dan Hindu, dengan nama tahunnya Saka, dipakai oleh orang Jawa sampai
tahun 1633 M. Setelah Islam masuk, banyak istilah yang diubah menjadi istilah Islam. Nama hari
pada kalender umum di Indonesia dari Ahad sampai Sabtu juga istilah dari Islam.

Pada jaman Kerajaan Mataram, kalender Jawa Islam dibuat yang merupakan sebuah
kalender perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Budha Jawa dan bahkan juga sedikit
budaya Barat. Kalender ini dikenal pula dengan Kalender Jawa Sultan Agungan.

Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung menyebarluasakan agama Islam di pulau Jawa
dalam suatu wadah negara Mataram memprakarsai untuk mengubah penanggalan Saka. Sebuah
tesis menyatakan bahwa agar penyebaran agama Islam itu tidak memunculkan konflik, maka
lewat budayalah penyebaran itu dilakukan. Hal itu sudah dimulai oleh para wali sejak pemerintah
Kasultanan Demak pada beberapa dekade sebelumnya.

Pada saat Sultan Agung Hanyakrakusuma bertahta, raja Mataram yang terkenal patuh
beragama Islam itu mengubah kalender di Jawa secara revolusioner. Pada waktu itu kalender
Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu diteruskan dalam kalender
Sultan Agung dengan angka tahun 1955, padahal dasar perhitungannya sama sekali berlainan.
Kalender Saka mengikuti sistem syamsiyah, yaitu perhitungan perjalanan bumi mengitari
matahari. Sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem qomariyah, yakni perjalanan
bulan mengitari bumi seperti pada kalender Hijriah.
Perubahan kalender di Jawa itu dimulai hari Jum’at Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555
bertepatan dengan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633. Kebijakan
Sultan Agung itu dipuji sebagai tindakan seorang muslim dengan kemahirannya yang tinggi
dalam ilmu falak. Kalender Sultan Agung adalah suatu karya raksasa.

Tindakan Sultan Agung tidak hanya didorong oleh maksud memperluas pengaruh agama
Islam. Tetapi didorong pula oleh kepentingan politiknya. Dengan mengubah kalender Saka
menjadi kalender Jawa yang berdasarkan sistem qomariyah seperti kalender Hijriah, Sultan
Agung bermaksud memusatkan kekuasaan agama kepada dirinya. Di samping itu, tindakan
mengubah kalender pun mengandung maksud untuk memusatkan kekuasaan politik pada dirinya
dalam memimpin kerajaan.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, berdirilah kerajaan Demak dengan Raden Patah sebagai
raja yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Sang prabu yang beragama Islam itu dinobatkan
oleh Sunan Giri, seorang waliyullah yang tertua di Jawa. Bahkan dengan dalih pengamanan,
Sunan Giri mengawali kerajaan Demak dengan memegang tampuk pimpinan selama 40 hari.
Selanjutnya raja-raja di Jawa ditradisikan memperoleh restu Sunan Giri atau dinobatkan oleh
wali tertua ini. Gelar Sunan Giri itu turun temurun. Yang menobatkan Raden patah menjadi Raja
Demak adalah Sunan Giri I. Restu atau penobatan raja-raja Jawa seterusnya dilakukan oleh
Sunan Giri pula, keturunan langsung dari Sunan Giri I. Di jaman Sultan Agung, kewalian Giri
sudah sampai dengan yang keempat di bawah pimpinan Sunan Giri IV.

Kewalian Sunan Giri sebagai pemimpin Islam tertinggi di pulau Jawa diakui sepenuhnya
oleh masyarakat, bahkan pengaruhnya sampai di luar pulau Jawa. Pada tahun 1629 di jaman
Sultan Agung, masih ada utusan Sunan Giri yang datang di pulau Hitu untuk melestarikan
persahabatannya dengan rakyat di kepulauan Maluku itu.

Pengaruh Sunan Giri itu diketahui oleh Sultan Agung. Meski demikian, pada waktu
Sultan Agung naik tahta kerajaan Mataram, beliau tidak mohon restu kepada raja pendeta di Giri
itu seperti halnya sultan-sultan terdahulu.

Sultan Agung sejak bertahta selalu menghadapi pemberontakan-pemberontakan. Para


adipati dan bupati di Jawa Timur sampai Blambangan yang berkiblat pada Sunan Giri, tidak mau
tunduk kepada Sultan Agung. Dengan demikian, Sultan Agung adalah raja Jawa yang paling
banyak mendapat lawan dengan berperang, termasuk dalam usahanya menyerang VOC Belanda
di Jakarta pada tahun 1628 dan 1629.

Dalam memimpin kerajaan Mataram dan menghadapi pemberontakan-pemberontakan,


Sultan Agung bersiasat mengupayakan agar kepercayaan rakyat terpusat penuh kepada dirinya.
Usaha ini tidak saja dengan memenangkan perang dan menundukkan para pemberontak, tetapi
juga meliputi kekuasaan di dalam agama Islam yang amat dipatuhinya. Sultan Agung
menggalang kekuasaan mutlak agar kekuasaan keagamaan pun berpusat pada dirinya.

Siasat itu dilancarkan dengan memerangi kewalian Giri yang diakui seluruh negeri
sebagai pimpinan agama Islam tertinggi. Dengan bantuan Pangeran Pekik dari Surabaya dengan
istrinya Ratu Pandansari (adik Sultan Agung), tentara Giri dapat dikalahkan kemudian
keluarganya diboyong ke Mataram.

Tindak lanjut dari Sultan Agung dalam memusatkan kepercayaan rakyat kepada dirinya
adalah dengan mengubah kalender di Jawa, disesuaikan dengan kalender Hijriah. Ide raksasa itu
didukung oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya yang menguasai ilmu falak atau
perbintangan. Maka diciptakanlah kalender Jawa yang disebut juga kalender Sultan Agung
atau Anno Javanico.
Dari paparan singkat sejarah di atas, dapat dipahami bahwa di samping adanya motif
agama, motif politik juga menjadi motor utama yang memicu terjadinya akulturasi kalender
Islam dengan kalender Jawa. Hasil akulturasi dari dua jenis kalender ini masih digunakan dan
masih bisa dirasakan manfaatnya hingga saat ini.

Anda mungkin juga menyukai