Anda di halaman 1dari 110

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS

PEMBERANGKATAN TENAGA KERJA INDONESIA MELALUI


PERSEORANGAN
(Study Kasus di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten
Bangkalan)

SKRIPSI

Oleh:
HOMSATUN
NIM. 160711100019

PROGRAM STUDI HUKUM BISNIS SYARIAH


JURUSAN ILMU KEISLAMAN
FAKULTAS KEISLAMAN
UNUVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2020
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

NAMA : HOMSATUN
NIM : 160711100019
PROGRAM STUDI : S-1 (STRATA SATU) HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS : KEISLAMAN
JUDUL SKRIPSI : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS
PEMBERANGKATAN TENAGA KERJA INDONESIA
MELALUI PERSEORANGAN (Study Kasus di Desa Sepulu
Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan)

Skripsi ini telah disetujui untuk diujikan


Pada tanggal 23 Juni 2020

Dosen Pembimbing

Galuh Widitya Qomaro, S.H.I., M.H.I.


NIP. 198712182015042001

Mengetahui

Dekan Fakultas Keislaman Ketua Jurusan Ilmu Keislaman

Shofiun Nahidloh, S.Ag., M.H.I. Khoirun Nasik, S.H.I., M.H.I.


NIP. 197605162000032003 NIP. 197912292015041002

i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS PEMBERANGKATAN TENAGA


KERJA INDONESIA MELALUI PERSEORANGAN
(Study Kasus di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan)

Oleh:

HOMSATUN
NIM 160711100019

Skripsi ini telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Keislaman
Universitas Trunojoyo Madura, dan Diterima Sebagai Salah Satu Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana
Pada tanggal, 23 Juni 2020

DEWAN PENGUJI

Ketua penguji : Shofiyun Nahidloh, S.Ag., M.H.I. ………….


NIP. 197605162000032003

Anggota penguji I : Ahmad Musadad, S.H.I., M.S.I ………….


NIP. 198110062014401001

Anggota penguji II : Galuh Widitya Qomaro, S.H.I., M.H.I. …………


NIP. 198712182015042001

ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan dibawh inI:


Nama : Ana Rahmawati
NIM : 160711100022
Jenjang : Sarjana
Program Studi : Hukum Bisnis Syari’ah

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:


1. Skripsi yang berjudul “Analisis Terhadap Hasil Bahtsul Masail PW NU Jawa Timur
Tentang Mura<bah{ah Ala BMT”.
2. Sebagian atau seluruh bagian dalam skripsi ini tidak menjiplak atau plagiat hasil
karya ilmiah (laporan penelitian, skripsi, tesisi, artikel, disertasi atau yang
semisalnya) milik pihak lain.
3. Cuplikan sebagai dari karya ilmiah atau pendapat pihak lain dalam skripsi ini dituis
sesuai dengan kaidah penulisan karya tulis ilmiah yang berlaku.
4. Apabila pada suatu saat ada pihak lain yang melakukan klaim bahwa karya ilmiah ini
merupakan plagiat karya ilmiah pihak lain, dan memang terbukti, maka saya bersedia
menerima sanksi yang akan diberikan oleh Fakultas Keislaman Universitas
Trunojoyo Madura.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan kesadaran sendiri dan tidak atas tekanan
ataupun paksaan dari pihak maupun demi menegakkan integritas akademik di institusi ini.

Dibuat di : Bangkalan
Pada Tanggal : 6 Juni 2020
Yang membuat pernyataan
Materai 6000

Ana Rahmawati
NIM. 160711100022

iii
NOTA DINAS PEMBIMBING

Kepada Yth.,
Dekan Fakutas Keislaman
Universitas Trunojoyo

Assalamu’alaikum wr,wb.
Setelah melakukan bimbingan, arahan, dan koreksi terhadap penulisan Skripsi yang berjudul

ANALISIS TERHADAP HASIL BAHTSUL MASAIL PWNU JAWA TIMUR


TENTANG MURA<BAH{{AH ALA BMT

Yang ditulis oleh:


Nama : Ana Rahmawati
NIM : 160711100022
Jenjang : Sarjana
Program Studi : Hukum Bisnis Syari’ah

Saya berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah dapat diajukan pada Fakultas Keislaman
Universitas Trunojoyo Madura untuk diujikan dalam rangka memperoleh gelar Sarjana
Hukum Bisnis Syari’ah

Wassalamu’alaikum wr.wb

Bangkalan, 6 Juni 2020


Pembimbing

Ahmad Musadad., S.H.I.,M.S.I


NIP. 198110062014401001

iv
MOTTO

‫خير الناس انفعهم للناس‬

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk yang lainnya.

‫فاستبقوا الخيرات‬

Berlomba-lomba dalam kebaikan

v
ABSTRAK

Mura<bah{ah adalah akad jual beli yang digunakan diberbagai lembaga


Keuangan Syari’ah di seluruh Indonesia, termasuk lembaga keuangan non bank yaitu
BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Meskipun demikian dalam prakteknya akad
mura<bah{ah pada tahun 2011 masih jauh dari harapan, fenomena ini menjadi daya
tarik tersendiri bagi organisasi NU yang merupakan organisasi Islam terbesar di
Indoneia. NU menyikapi adanya hal tersebut tidak diperbolehkan karena terdapat
persyaratan yang belum terpenuhi.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yaitu dengan
mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ini. Adapun
sumber datanya adalah primer dan sekunder. Adapun teknik pengumpulan data yaitu
penulis menggunakan studi kepustakaan, selanjutnya data tersebut dianalisis dengan
menggunkan deskriptif analisis.
Berdasarkan analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
keputusan bahtsul masail dalam menetapkan hukum mura<bah{ah ala BMT pada
tahun 2011 adalah tidak diperbolehkan karena pada waktu itu terdapat beberapa
persyaratan yang belum terpenuhi dalam akad mura<bah{ah, yaitu menjual barang
yang belum menjadi milik muwakkil (BMT). Barang yang akan ditransaksikan secara
mura<bah{ah harus sudah menjadi milik BMT. Teknis yang bisa ditawarkan adalah,
nasabah telah membeli barang atas nama BMT harus diserahkan kepada BMT
terlebih dahulu, lalu melakukan transaksi mura<bah{ah, dengan menggunakan
metode istinbath bahtsul masa’il menggunakan metode ilhaqi yaitu metode dengan
cara menyamakan suatu hukum yang belum ada dalam kitab dengan hukum yang
sudah ada dalam kitab. Metode ini ditandai dengan adanya qaul-qaul dari para ulama
terdahulu yang terdapat dalam kitab-kitab muktabar dan dijadikan sebagai ulama.
Namun dalam qaul-qaul tersebut tidak langsung merujuk pada hukum tentang
muraba<h{ah melainkan hanya menggunakan isyarat tentang praktik dan persentase
pengambilan untung serta pembayarannya. Hal ini dikarenakan para muktamirin
dalam membahas masalah mura<bah{ah ala BMT memakai rujukan kitab-kitab dari
para imam madzhab atau aqwal ulama. Penggunaan metode ilhaqi dalam menetapkan
hukum mura<bah{ah ala BMT dilihat dalam perspektif ushul fiqih menurut penulis
adalah bahwa metode ilhaqi dilakukan dengan cara penalaran ta’li<li<.

Kata kunci : Bahtsul Masa’il, Mura<bah{ah, BMT, Nahdlatul Ulama

vi
ABSTRACT

Mura<bah{ah is a sale and purchase agreement that is used in various Shariah


Financial institutions throughout Indonesia, including non-bank financial institutions
namely BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Even so, in practice, the contract contract is
still far from expectations, this phenomenon has become a unique mark for the NU
organization which is the largest Islamic organization in Indonesia. NU responded
that this was not allowed because there were requirements that had not been met.
This research is a library research (library research) that is by taking
references to documents and documents relevant to this problem. The data sources are
primary and secondary. The data collection technique is the author uses a literature
study, then the data is analyzed by using descriptive analysis.
Based on the analysis conducted, it can be concluded that the decision of
bahtsul masail in establishing the law of mura<bah{ah ala BMT is not allowed
because there are some requirements that have not been fulfilled in the mura<bah{ah
contract, ie selling goods that do not yet belong to Muwakkil (BMT) . Goods that will
be traded cheaply must already belong to BMT. The technical that can be offered is,
the customer has bought goods in the name of the BMT must be submitted to the
BMT first, then make a transaction mura<bah{ah, using the istinbath method ilhaqi
method, namely the method by equating a law that does not yet exists in the book
with the law that already exists in the book. This method is characterized by the
existence of qaul-qaul from previous scholars contained in the books of muktabar and
made as scholars. But in the qaul-qaul it does not directly to the murabahah law but
only uses cues about the practice and the percentage of profit taking and payment.
This is because the muktamirin in discussing the problem of murabahah ama BMT
use reference books from the imams of madzhab or aqwal ulama. The use of the
ilhaqi method in setting the law of mura<bah{ah ala BMT seen in the perspective of
ushul fiqh according to the author is that the ilhaqi method is carried out by means of
middle-aged reasoning ta’li<li<.

Keywords: Bahtsul Masa'il, Mura<bah{ah, BMT, Nahdlatul Ulama

vii
PEDOMAN TRANSLITRASI ARAB-LATIN
DAFTAR TRANSLITERASI

Penulis skripsi ini mengunakan transliterasi arab – Indoesia yang ditetapkan

dalam pedoman teknik penulisan skripsi Fakultas Keislamna Universitas Trunojoyo

Madura sebagai berikut:

NO ARAB INDONESIA ARAB INDONESIA

1 ‫ا‬ ’ ‫ط‬ t{

2 ‫ب‬ b ‫ظ‬ z{

3 ‫ت‬ t ‫ع‬ ‘

4 ‫ث‬ th ‫غ‬ gh

5 ‫ج‬ j ‫ف‬ f

6 ‫ح‬ h{ ‫ق‬ q

7 ‫خ‬ kh ‫ك‬ k

8 ‫د‬ d ‫ل‬ l

9 ‫ذ‬ dh ‫م‬ m

10 ‫ر‬ r ‫ن‬ n

viii
11 ‫ز‬ z ‫و‬ w

12 ‫س‬ s ‫ه‬ h

13 ‫ش‬ sh ‫ء‬ ,

14 ‫ص‬ s{ ‫ي‬ y

15 ‫ض‬ d{

Untuk menunjukkan bunyi hidup anjang madd ditulis dengan coretan

horizontal (macron) diatas huruf a<, i< dan u<.

Bunyi hidup dobel (diftong) Arab ditranslitrasikan dengan menggabungkan

dua huruf ay dan aw. Bunyi hidup (vocaliza dan harakah) huruf konsonan akhir

sebuah kata tidak dinyatakan dalam translitrasi. Translitrasi hanya berlaku pada huruf

konsonan akhir tersebut.

A. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis rangkap

‫متعدة‬ Ditulis Muta’addah

‫عدة‬ Ditulis ‘iddah

B. Ta’ Marbutah di akhir kata

1. Bila dimatikan tulis

‫حكمة‬ Ditulis H{ikmah

‫جزية‬ Ditulis Jizyah

ix
(ketentuan ini tidak diperlukan pada kata-kata arab yang sudah terserap ke

dalam bahasa Indonesia, seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki

lafal aslinya) bila diikuti kata sandang“al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis

h.

‫كرا مة األولياء‬ Ditulis Karāmah al-auliyā’

2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah, dan dhammah

ditulis t

‫زكاةالفطر‬ Ditulis Zakāh al-fitri

C. Vokal Pendek

_______ Kasrah Ditulis I


_______ Fathah Ditulis A
_______ Dammah Ditulis U

D. Vokal Panjang

1 Fathah + alif Ditulis a


‫جاهلية‬ Ditulis jāhiliyyah

2 Fathah + ya’ mati Ditulis a


‫تنسى‬ Ditulis t ansā

3 Kasrah + ya’ mati Ditulis i


‫كرمي‬ Ditulis karīm

4 Dammah + wawumati Ditulis u


‫فروض‬ Ditulis furūd{

x
E. Vokal Rangkap

1 Fathah + ya’ mati Ditulis Ai


‫بينكم‬ Ditulis Bainakum

2 Fathah+wawumati Ditulis Au
‫قول‬ Ditulis Qaul

F. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

‫أأنتم‬ Ditulis a’antum

‫أعدت‬ Ditulis u’iddat

‫لئنشكرمت‬ Ditulis la’in syakartum

G. Kata sandang alif+lam

a. Bila diikuti huruf al-qamariyah

‫القرأن‬ Ditulis al-Qur’ân

‫القياس‬ Ditulis al-Qiyâs

b. Bila diikuti huruf al Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang
mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el) nya

‫السماء‬ Ditulis as-Sama<<>’

‫الشمس‬ Ditulis asy-Syams

H. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat

‫ذوى الفروض‬ Ditulis dhawi al- furūd{

‫اهل السنة‬ Ditulis ahl as-Sunnah

xi
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan teruntuk:

1. Ayah dan Ibu tercinta yang tidak pernah lupa medoakan dalam setiap langkah

ini.

2. Mbak-mbak ku dan adik-adikku, yang selalu mendukung aktivitas penulis.

3. Teman-temman Hukum Bisnis Syari’ah dan Ekonomi Syari’ah angkatan 2016

Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo Madura, Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah, dan teman-teman KKN yang telah banyak membantu dan

menghibur penulis.

xii
KATA PENGANTAR

Assalamualikum wr.wb

Segala Puji Bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, yang senantiasa menganugrahkan Karunia-Nya yang tidak terhingga

kepada penulis, sehingga skripsi yang Berjudul “Analisis Keputusan Bahtsul Masa’il

PWNU Jawa Timur Tentang Mura<bah{ah ala BMT” ini dapat terselesaikan dengan

tepat waktu.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi yang Agung,

Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya

sampai akhir zaman.

Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak maka tidaklah

mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan

banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing dan memotivasi

serta memberikan semangat kepada penulis, terutama kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Trunojoyo Madura

2. Ibu Shofiun Nahidloh, S.Ag., M. HI, Dekan Fakultas Keislaman Universitar

Truonojoyo Madura.

3. Bapak Khoirun Nasih, S.H.I., M.H.I, Ketua Jurusan Fakultas Keislaman

Universitas Trunojoyo Madura

4. Bapak Achmad Badarus, S.H.I., M.H.I, Sekertaris Jurusan Fakultas

Keislaman Universitas Trunojoyo Madura

xiii
5. Bapak Mohammad Hipni, S.H.I., M.H.I, Koordinator Prodi Hukum Bisnis

Syariah Fakultas Keislaman Universitar Trunojoyo Madura

6. Bapak Ahmad Musadad, S.H.I., M.SI, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

banyak membantu meluangkan waktunya, tenaganya, dan pikirannya disela-

sela kesibukan, serta memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan, dan

semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini yaitu skripsi.

7. Seluruh Dosen Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo Madura yang telah

membekali dnegan ilmu yang berharga, nasihat-nasihat, semangat, motivasi,

serta kesabaran dalam mendidik selama penulis melakukan studi.

8. Bagian administrasi dan tata usaha Fakultas Keislaman Universitas Trunojoyo

Madura yang yang turut membantu memberikan kelancaran kepada penulis

untuk melakukan proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan, serta

pemimpin dan segenap karyawan perpustakaan Universitas Trunojoyo

Madura, dan khususnya Perpustakaan Fakultas Keislaman (Islamic Corner)

yang berkenan untuk meminjamkan buku-buku penunjang hingga proses

penulisan skripsi ii bisa terselesaikan.

9. Orang Tua tercinta, Ayahanda Amanudin dan ibunda Masruroh, yang sangat

berperan dalam mengasuh, mendidik dan membeimbing penulis dengan penuh

kesabaran dan pengertian. Serta tiada henti memberikan doa yang paling

terbaik untuk penulis dan dukungan, baik secara moril maupun materil,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

xiv
10. Mbak-mbak ku dan adi-adik ku tercinta, Mbak Elis, Mbak Erma, Adek Dani,

Mia, Ara yang selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis.

11. Teman-teman Hukum Bisnis Syariah kelas A angkatan 2016 yang baik-baik,

yang telah mendukung dan memberikan semangat kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi. Dan semoga teman-teman diberikan jalan yang terbaik

oleh Allah SWT nantinya.

12. Adek tingkat, Mia Efita yang berbesar hati memberikan pinjaman laptop

kepada penulis mulai dari awal sampai skripsi ini selesai.

Tiada gading yang tak retak, ungkapan seperti itulah yang tepat untuk skrpsi ini,

penulis yakin jika penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu

saran dan kritik yang membangun selalu penulis nantikan.

Akhirnya penulis hanya bisa berharap dan berdo’a semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, dan semoga mereka memperoleh manfaat

dunia dan akhirat-Nya, Aamiin.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Bangkalan, 6 Juni 2020

penulis

Ana Rahmawati

xv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ -

PENGESAHAN DEKAN........................................................................................ i

DEWAN PENGUJI.................................................................................................. ii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN................................................................... iii

NOTA DINAS PEMBIMBING.............................................................................. iv

MOTTO.................................................................................................................... v

ABSTRAK................................................................................................................ vi

PEDOMAN TRANSLITERASI............................................................................. vii

PERSEMBAHAN.................................................................................................... xi

KATA PENGANTAR.............................................................................................. xii

DAFTAR ISI.............................................................................................................xv

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 6

C. Tujuan dan manfaat........................................................................................ 6

D. Kajian Pustaka............................................................................................... 7

E. Metode Penelitian.......................................................................................... 9

F. Sistematika Pembahasan................................................................................ 13

xvi
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG METODE ISTINBATH DAN

MURA<BAH{AH

A. Metode Istinbath............................................................................................ 16

a. Pengertian Istinbath Hukum.................................................................... 16

b. Pembagian Ijtihad.................................................................................... 19

c. Syarat Menjadi Seorang Mujtahid........................................................... 27

d. Tingkatan Mujtahid.................................................................................. 29

B. Mura<bah{ah................................................................................................ 33

a. Pengertian Mura<bah{ah........................................................................ 33

b. Dasar Hukum Mura<bah{ah................................................................... 36

c. Rukun Mura<bah{ah............................................................................... 38

d. Syarat Mura<bah{ah............................................................................... 40

e. Jenis-jenis Mura<bah{ah........................................................................ 41

BAB III: GAMBARAN UMUM TENTANG BAHTSUL MASA’IL PWNU

JAWA TIMUR TENTANG MURA<BAH{AH ALA BMT

A. Sejarah Singkat Nahdlatul Ulama’................................................................. 47

B. Sekilas tentang Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU)................................ 52

C. Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail NU............................................... 57

D. Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Tentang Mura<bah{ah ala

BMT.............................................................................................................. 60

xvii
BAB IV: ANALISIS TERHADAP HASIL KEPUTUSAN BAHTSUL MASA’IL

PWNU JAWA TIMUR TENTANG MURA<BAH{AH ALA BMT

A. Analisis Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Tetang

Mura<bah{ah Ala BMT................................................................................ 66

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur

Tentang Mura<bah{ah Ala BMT dilihat dari perspektif Ushul Fiqh........... 75

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................... 83

B. Saran.............................................................................................................. 83

C. Penutup.......................................................................................................... 84

DAFTAR PUSTAKA

xviii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia di ciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi.

Islam memandang bahwasannya bumi dan segala isinya merupakan amanah

yang Allah berikan kepada sang khalifah supaya dipergunakan dengan

sebaik-baiknya bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan

yang suci ini, Allah telah memberikan aturan hidup melalui Rasul-Nya,

Muhammad SAW. Petunjuk tersebut dinamakan ad-di<n al-Isla<m (Agama

Islam).1

Islam merupakan suatu sistem hidup yang praktis, yang mengajarkan

kepada hal baik dan bermanfaat bagi manusia, kapan dan dimanapun tahap-

tahap perkembangannya. Oleh karena itu ajaran agama Islam dapat

diterapkan kepada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Selain itu Islam

adalah agama yang fitrah yang sesuai dengan sifat dasar manusia. Islam juga

mempunyai hukum tersendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

tersebut, yaitu melalui akad-akad atau transaksi-transaksi, sebagai metode

pemenuhan kebutuhan permodalan dalam bisnis, dan transaksi-transaksi jual

1
Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Surakarta: Erlangga, 2012), 2.

1
beli untuk memenuhi kebutuhan hidup. Transaksi ini dapat diterapkan antar

individu atau individu dengan lembanga keuangan.2

Lembaga Keuangan menurut SK Menkeu RI No. 792 Tahun 1990,

adalah semua badan yang kegiatannya dalam bidang keuangan, yang mana

melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama

untuk membiayai investasi perusahaan. Menurut Dahlan Siamat, lembaga

keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya yang berupa bentuk aset

keuangan atau tagihan (claims). Lembaga keuangan memberikan pembiayaan

kepada nasabahnya dan menanamkan dananya berupa surat-surat berharga.3

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwasannya lembaga keuangan

adalah setiap perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan bidang

keuangan. Kegiatan usaha lembaga keuangan ini menghimpun dana,

menyalurkan dana, atau melakasanakan kegiatan menghimpun serta

menyalurkan dana sekaligus. Sesuai dengan sistem keuangan yang ada, maka

dalam operasionalnya lembaga keuangan dapat berbentuk lembaga keuangan

bank dan lembaga keuangan non bank. Lembaga keuangan bank dibagi

menjadi dua yaitu:

2
Ibid,.. 104.
3
Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2009), 27-28.

2
1. Lembaga keuangan konvensional (Bank Konvensional).

Bank konvensional adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya

adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

kepada masyarakat serta memberikan jasa kepada bank lainnya4.

2. Lembaga Keuangan Syari’ah (Bank Syari’ah)

Bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya yaitu

memberikan pembiayaan dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran juga

peredaran uang yang mana pengoperasiannya disesuaikan dengan

prinsip-prinsip syariah5, juga bertujuan untuk membantu mencapai tujuan

sosio ekonomi masyarakat Islam, dan menggunakan sistem bagi hasil.

Sedangkan untuk lembaga keuangan non bank adalah lembaga

keuangan yang lebih terfokus pada bidang penyaluran dana dan masing-

masing lembaga keuangan mempunyai ciri-ciri usahanya sendiri.6 Adapun

jenis lembaga keuangan non bank adalah seperti, pegadaian syari’ah, pasar

modal syari’ah, perusahaan asuransi, BMT (Baitul Mal wa Tamwil), dan lain-

lain.

BMT (Baitul Mal wa Tamwil) adalah suatu lembaga yang memiliki

dua istilah yaitu bait al-ma<l dan bait al-tamwi<l. Bait al-ma>l lebih

mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non

profit seperti: zakat, infaq, dan shadaqah. sedangkan bait al-tamwi<<<l

4
Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2015, 12.
5
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta:UPP KYPN), 2005, 1.
6
Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah....., 46.

3
adalah sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. BMT

juga sebagai fasilitator masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh

pelayanan bank Islam atau BPR Islam. BMT memiliki pangsa pasar

tersendiri, yaitu masyarakat kecil yang tidak terjangkau layanan perbankan

juga pelaku usaha kecil yang mengalami hambatan psikologis jika

berhubungan dengan pihak bank. BMT adalah lembaga keuangan mikro yang

beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Adapun produk-produk yang

ada di BMT (Baitul Mal wa Tamwil) adalah layanan jasa, simpanan, dan

pembiayaan. Akad-akad pembiayaan yang ada di BMT salah satuya adalah

akad mura<bah{ah.7

Akad mura<bah{ah secara bahasa adalah saling menguntungkan satu

sama yang lainnya, sedangkan menurut istilah akad mura<bah{ah adalah

pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh s{a<hibul ma<l

dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dengan harga jual terdapat

nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi s{a<hibul ma<l dan

pengembaliannya dilakukan secara tunai dan angsur.8

Kita ketahui bahwasannya akad mura<bah{ah sering diminati oleh

nasabah baik di Bank Syari’ah maupun di BMT (Baitul Mal wat Tamwil).

Dengan adanya pembiayaan akad mura<bah{ah di Bank Syari’ah maupun di

BMT sangat membantu para nasabah untuk mendapatkan barang yang

7
Nurul Huda dan Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), 363.
8
Mardani, Fiqih Ekonomi Syriah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), 136.

4
diinginkan dengan baik dan sesuai keinginannya, dengan pembayaran secara

tunai maupun angsuran. Namun kenyataannya pada tahun 2011 terdapat

praktek yang digunakan baik dalam Bank Syariah maupun BMT yang tidak

sesuai dengan teori, bahkan terdapat persyaratan-persyaratan yang belum

sesuai dengan teori yang semestinya, sebagaimana tidak terdapatnya pihak

ketiga dalam transaksi jual beli dengan menggunakan akad mura<bah{ah

atau dalam penyampaian persentase laba atau keuntungan dan lain-lain.

Melihat permasalahan tersebut, Nahdlatul Ulama yang merupakan

ormas Islam terbesar di Indonesia turut bertanggung jawab dalam merespon

semua problematika yang dihadapi oleh masyarakat dan mengupayakan

mencari jalan keluar dengan cara memberikan suatu keputusan melalui

Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Timur yang diadakan di PP ar-Rasyid Dander

Bojonegoro pada tanggal 31 Maret – 01 April 2011, waktu itu dalam kegiatan

rapat rutinan untuk membahas persoalan yang dihadapi oleh masyarkat.

Dalam rapat tersebut semua permasalahan dibahas dan dicari solusinya

seperti permasalahan akad mura<bah{ah ala BMT ini.

Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk meneliti metode

istinbath lembaga bahtsul masa’il dalam memutuskan hukum tersebut serta

dilihat dalam perspektif ushul fiqihnya, kedalam sebuah penulisan skripsi

dengan judul “Analisis Terhadap Hasil Bahtsul Masail PW NU Jawa Timur

Tentang Mura<bah{ah ala BMT”.

5
B. Rumusam Masalah

Identifikasi masalah untuk membatasi cakupan pembahasan yang akan

peneliti kaji dalam penelitian ini terfokus pada dua pembahasan yaitu:

1. Bagaimana Analisis Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail PWNU

Jawa Timur Dalam Memutuskan Hukum Mura<bah{ah Ala BMT?.

2. Bagaimana Analisis terhadap Penggunaan Metode Istinbath Hukum Hasil

Bahtsul Masa’il NU Tentang Mura<bah{ah ala BMT Ditinjau Dari Ilmu

Ushul Fiqih?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk Mengetahui Analisis Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail

PWNU Jawa Timur Dalam Memutuskan Hukum Mura<bah{ah Ala

BMT.

b. Untuk Mengetahui Analisis terhadap Penggunaan Metode Istinbath

Hukum Hasil Bahtsul Masa’il NU tentang Mura<bah{ah ala BMT

ditinjau dari Ilmu Ushul Fiqih.

2. Manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam

pengambilan hukum Islam.

b. Menambah wawasan ilmu pengetahuan pembaca dan penulis terkait

Nahdlatul Ulama.

6
c. Mengetahui cara pengambilan hukum NU terkait permasalahan yang

ada di masyarakat.

D. Kajian Pustaka

1. Skripsi Ahmad Hutbi yang berjudul “Analisis Fatwa Bahtsul Masail

Nahdlatul Ulama Tentang Advokat”, ditulis pada tahun 2016. Penelitian

ini membahas tentang keputusan dari bahtsul masail yang mengharamkan

kegiatan advokat yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya, yaitu

melakukan pembelaan terhadap kasus yang benar-benar terbukti bersalah

dengan tujuan untuk meringankan bahkan membebaskan kliennya dari

jerat hukum, dan haram hukumnya seorang advokat menerima honor dari

klien yang dibelanya9. Hal ini sangat berbeda dengan penelitian yang

akan dilakukan penulis. Perbedaan tersebut terletak pada objek penelitian.

Dalam skripsi yang ditulis Ahmad Hutbi objek penelitian yang digunakan

adalah tentang Advokat, sedangkan objek yang akan penulis teliti adalah

tentang mura<bah{ah ala BMT.

2. Skripsi Miftakhul Muslimin yang berjudul “Studi Komparasi Metode

Istinbat Hukum Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dan Majelis

Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Tentang Zakat Hasil Pertambakan”.

Dalam skripsi ini membahas tentang metode istinbath yang digunakan

oleh ulama NU dan metode istinbath yang digunakan oleh ajlis tarjih dan

9
Ahmad Hutbi, Analisi Fatwa Lembaga Bahtsul masail Nahdlatul Ulama Tentang Advokat,
Skripsi Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

7
tajdid Muhammadiyah untuk menetapkan suatu hukum tentang zakat

pertambakan dan metode istinbath yang digunakan oleh majlis tarjih dan

tajdid Muhammadiyah. Yaitu bahwa lembaga bahtsul masa’il

menetapkan hukumnya dengan menggunakan metode ilha<qi sedangkan

majlis tarjih dan tajdid menggunakan metode baya<ni<10. Hal ini sangat

berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan, perbedaan tersebut

terletak pada objek dan juga kajian yang penulis teliti, jika penulis

mengkaji tentang metode istinbath bahtsul masail tentang murabahah ala

BMT maka skripsi yang ditulis oleh miftakhul muslimin mengkaji

tentang perbedaan penggunaan metode hukum antara lembaga bahtsul

masa’il dan majlis tarjih dan tajdid dalam memutuskan hukum zakat

peternakan.

3. Skripsi Abdul Aziz yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Hasil

Keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tahun 2004 Tentang Gaji

Pegawai Yang Proses Pengangkatannya Melalui Risywah, ditulis pada

tahun 2008. Dalam penulisan skripsi ini Abdul Aziz menjelaskan bahwa

terdapat dua hukum yang dikeluarkan terhadap status gaji yang yang

diterima oleh seorang pegawai yang pengangkatannya dilakukan melalui

risywah (suap-menyuap) yaitu:

10
Miftakhul Muslimin, Studi Komparasi Metode Istinbat Hukum Lembaga Bahtsul Masail
Nahdlatul Ulama dan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Tentang Zakat Hasil Pertambakan,
(Skrips, Fakultas Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura, 2019).

8
a. Halal karena tidak ada keterkaitan antara risywah (suap) dengan gaji.

Sebagaimana halnya tidak ada keterkaitan antara haramnya mencuri

sajadah dan sahnya shalat diatas sajadah curian.

b. Haram, karena ada keterkaitan sebab dan akibat atara risywah (suap)

dan gaji. Bahwa gaji yang diterima tidak termasuk ijarah (upah),

melainkan izra>q, ih{sa>n, atau musa>mah{a (tunjangan/insentif)

sehingga gaji yang diterima tidak terkait dengan pekerjaan yang

dikaerjakannya, tetapi terkait dengan pengangkatannya dianggap tidak

sah atau bathil, sehingga gajinya juga tidak sah/bathil11. Perbedaan

antara skripsi yang ditulis oleh Abdul Aziz dengan penulis adalah

terletak pada objeknya yaitu pada skripsi Abdul Aziz objeknya adalah

tentang gaji seorang pegawai yang pengangkatannya karena risywah

(suap), sedangakan penulis objeknya adalah tentang mura<bah{ah di

BMT.

E. Metode Penelitian

Metode Penelitian adalah suatu ilmu tentang bagaimana cara

melakukan penelitian atau tata cara dalam meneliti. Dengan adanya metode

penelitian akan menghasilkan sebuah karya yang optimal dan kesimpulan

yang dapat dipertanggungjawabkan apabila penelitian tersebut dilakukan

11
Abdul Aziz, Study Analisis Terhadap Keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tahun
2004 Tentang Gaji Pegawai yang Proses Pengankatannya Karena Risywah, Skripsi Institut Agama
Islam Walisongo Semarang, 2008.

9
menggunakan metodologi yang benar atau lazim. Adapun metode yang

digunakan adalah sebagai berikut12:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang

termasuk penelitian pustaka (library research).13 Yaitu sebuah penelitian

yang menjadikan bahan kepustakaan sebagai sumber (data) utama, baik

data primer maupun data sekunder. Juga suatu riset kepustakaan dengan

menghimpun data dari berbagai literatur baik mengkaji buku-buku atau

juga dokumentasi, majalah, jurnal, dan lain-lain.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penulis berusaha untuk

mendeskripsikan keputusan dari Bahtsul Masail NU tentang

mura<bah{ah ala BMT. Kemudian penulis mencari tahu landasan

argumen bahtsul masail sebagai pijakannya. Disamping itu juga penulis

berupaya menelaah istinbath atau pengambilan hukum yang digunakan

untuk memutuskan sebuah persoalan mura<bah{ah ala BMT ini.

Penelitian kualitatif menghasilkan penelitian yang bersifat membangun

dan mengembangkan teori-teori yang ada14, kemudian analisis data adalah

analisis untuk memproses dan mengatur urutan data, lalu

12
Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta:UII Press Yogyakarta), 9.
13
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarata:UI Press, 1986), 102.
14
Munawaroh, Panduan Memahami Metodologi Penelitian, (Malang: Intimedia Anggota
Media IKAPI, 2013), 15.

10
mengorganisasikannya menjadi satu pola, kategori dan satu uraian dasar15.

Adapun analisis iru sendiri terdiri dari tahapan-tahapan yakni, reduksi

data, penyajian data dan penarikan kesimpulan16.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam memperoleh data adalah dengan

menggunakan pendekatan normatif, yaitu suatu usaha yang dilakukan

untuk menjelaskan hasil istinbath bahtsul masa’il dalam menentukan

hukum mura<<bah{ah ala BMT melalui literatur yang berhubungan

dengan penelitian ini.

4. Objek Penelitian

Adapun objek dari penelitian ini adalah metode pengambilan hukum

Bahtsul Masail NU Jawa Timur terkait mura<bah{ah ala BMT.

5. Sumber Data

a. Data Primer

Data Primer adalah termasuk sumber data asli yang

dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan terkait apa yang akan

diteliti17. Data primer juga merupakan sumber utama yang didapatkan

secara langsung berdasarkan keterangan yang telah didapatkan.

Adapun sumber data primer yang diambil dari penelitian ini yaitu
15
Lex j. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Badung: Remaja Rosdakarya, 2007),
280.
16
Mathew B. Milles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1992), 17.
17
Donald R. Cooper dan C.William Emory, Metode Penelitian Bisnis,( Jakarta: Erlangga,
1995), 256.

11
buku yang berjudul “NU Menjawab Problematika Umat Keputusan

Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Jilid II 2009-2014”.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah yang diambil dari buku-buku yang

dikarang oleh tokoh-tokoh lain yang dapat mendukung pendalaman

dan ketajaman dalam menganalsis penelitian ini, termasuk data yang

dijadikan untuk referensi penunjang atau tambahan dari data primer

yang terdiri dari buku-buku, jurnal, website yang berkaitan dengan

penelitian.

6. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ini adalah bagian yang menguraikan

langkah-langkah yang akan ditempuh dan teknik dalam mengumpulkan

atau mencari data18. Dalam hal ini penulis melakukan metode

pengumpulan data dengan cara mencari literatur yang ada kaitannya

dengan masalah yang akan diteliti dengan cara mengumpulkan data-data

melalui bahan bacaan yang bersumber dari buku-buku primer maupun

sekunder.

7. Metode Analisis Data

18
Bahdin Nur Tanjung dan Ardial, Penulisan Karya Ilmiyah, (Jakarta:Kencana Media Grup,
2005), 64.

12
Dalam penelitian kualitatif metode analisis data yang digunakan

adalah bersifat induktif, yakni analisis berdasarkan data yang didapatkan

lalu diperoses dan dikembangkan19. Dengan kata lain data yang

didapatkan dianalisis menggunakan teori yang kemudian menghasilkan

sebuah kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pokok-pokok

bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab

terdiri dari sub-sub sebagai perinciannya. Adapun sistematika

pembahasannya adalah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan yang berisi tentang Pertama: Latar Belakang,

yang memuat alasan-alasan pemunculan masalah yang akan diteliti. Kedua,

Rumusan Masalah, merupakan penegasan terhadap apa yang terkandung

dalam latar belakang. Ketiga, Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian, yaitu

berisi tentang tujuan yang akan dicapai dan manfaat yang diharapkan

tercapainya penelitian ini. Keempat, Kajian Pustaka, sebagai penelusuran

secara literatur yang telah ada sebelumnya dan kaitannya dengan objek

penelitian. Kelima, Metodologi Penelitian, merupakan penjelasan langkah-

langkah yang akan ditempuh dalam mengumpulkan dan menganalisis data.

19
Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Ekonomi Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2014), 220.

13
Keenam, Sistematika Penulisan sebagai upaya yang mensistematiskan

pengumpulan.

BAB II: Kerangka Teoritik yang berisi Gambaran Umum tentang

Metode Istinbath dan Mura<bah{ah. Hal ini diperlukan untuk memberikan

pengetahuan tentang metode Istinbath ushul fiqh dan konsep akad

mura<bah{ah. Bab ini terbagi beberapa sub bab tentang metode istinbath

ushul fiqih diantaranya: pengertian Istinbath, macam-macam metode

istinbath, syarat menjadi mujtahid, macam-macam ijtihad, dan tingkatan

mujtahid, juga terdapat beberapa sub bab tentang mura<bah{ah diantaranya

adalah: pengertian mura<bah{ah, dasar hukum mura<bah{ah, rukun

mura<bah{ah, syarat mura<bah{ah, jenis-jenis mura<bah{ah, dan

penerapan akad mura<bah{ah di Bank Syari’ah.

BAB III: dalam bab ini membahas tentang keputusan Bahtsul Masail

PWNU Jawa Timur tentang Mura<bah{ah ala BMT, yang mana dalam hal

ini berisi tentang Sejarah Nahdlatul Ulama, Sekilas tentang Bahtsul Masa’il,

Keputusan Bahtsul Masail PW NU Jawa Timur tentang Mura<bah{ah ala

BMT, dan Metode Istinbath Hukum Bahtsul Mas’il PW NU Jawa Timur

tentang Mura<bah{ah ala BMT.

BAB IV: Dalam bab ini memuat analisis hasil dari Bahtsul Masail

PWNU Jawa Timur tentang Mura<bah{ah ala BMT, yang berisi tentang

Analisis Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang

Mura<bah{ah ala BMT dan Analisis Metode Istinbath Hukum Bahtsul

14
Masail PWNU Jawa Timur tentang Mura<bah{ah ala BMT dilihat dari

Persektif Ushul Fiqih.

BAB V: Penutup, yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil

penelitian.

15
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG METODE ISTINBATH DAN

MURA<BAH{AH

A. Metode Istinbath Hukum

a. Pengertian Istinbath

Istinbath dari segi etimologi adalah berasal dari kata nabata-yanbutu-

nabtun yang artinya “air yang pertama kali muncul pada saat seseorang

menggali sumur”20. Kata kerja tersebut kemudian dijadikan ke dalam

transitif, sehingga menjadi anbata dan istinbata, yang artinya

“mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”. Jadi, kata istinbath

awalnya memiliki arti mengeluarkan air dari sumbernya, kemudian

digunakan sebagai istilah fiqih yang berarti mengeluarkan hukum dari

sumbernya, yaitu mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash dengan

ketajaman nalar dan kemampuan daya pikir yang optimal.

Metode istinbath hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai cara

untuk menetapkan, meneliti dan memahami aturan-aturan yang bersumber

dari nash-nash hukum untuk diaplikasikan kedalam kehidupan manusia,

baik dalam menyangkut individu ataupun masyarakat. Upaya pemahaman

dan penggalian hukum itu dapat dilakukan oleh mujtahid melalui

ijtihadnya21.

20
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), 1376.
21
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 79.

16
Ijtihad berasal dari kata Ijtahada yang berarti bersungguh-sungguh,

sedangkan jika diteliti kembali makna ja-ha-da artinya adalah

mencurahkan segala kemampuan, jadi dengan demikian ijtihad adalah

berupaya dengan bersungguh-sungguh, dan ijtihad menurut istilah ulama

ushul adalah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum

syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci 22. Di kalangan para ulama

kata ijtihad khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-

sungguh dari seorang ahli hukum dalam mencari hukum-hukum syariat.

Muhammad Abu Zahrah berpendapat ijtihad adalah mencurahkan

seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbathkan

hukum syara’, maupun dalam penerapannya. Oleh karena itu Abu Zahrah

membagi ijtihad menjadi dua macam yaitu yang pertama, ijtihad untuk

membentuk atau meng-istinbathkan hukum dari dalilnya, dan yang kedua

adalah ijtihad untuk menerapkannya.23

Ijtihad bentuk pertama khusus dilakukan oleh para ulama yang

menghususkan diri untuk meng-istinbathkan hukum dari dalilnya dan

untuk bentuk ijtihad yang kedua yaitu ijtihad dalam penerapan hukum

akan selalu ada di setiap masa, selama umat Islam mengamalkan ajaran

agama mereka. Karena tugas mujtahid adalah untuk menerapkan hukum

Islam termasuk hasil-hasil ijtihad para ulama terdahulu. Dalam penjelasan

22
Faishal Haq, Ushul Fiqih: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Isam, (Surabaya: Citra Media,
2007), 109.
23
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kaito: Dar al-FikrAl-Arabiy,tt), 301.

17
diatas yang dimaksud dengan Ijtihad adalah ijtihad dalam

mengistinbathkan hukum.

Dasar hukum yang digunakan dalam ijtihad adalah terletak pada Q.S

An-Nisa’ [4]: 59 yang berbunyi:24

‫فَاِ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف ْ َس ْي ٍء‬,‫الر ُس ْو َل َواُْويِل ْ ااْل َ ْم ِر ِمْن ُك ْم‬
َّ ‫ياَ اَيُّهاَ الَّ ِذيْ َن اََمُن ْوا اَ ِطْيعُ ْوا اللَّهَ َواَ ِطْيعُ ْوا‬
ِ ِ ِ‫و َن ب‬QQ Q‫و ِل ِإ ْن ُكْنتُم ُتْؤ ِمُن‬Q Q Q‫ر ُّدوه ِإىل اهلل والَّرس‬QQ Q‫َف‬
‫ ُن‬Q Q Q‫َأح َس‬
ْ ‫ر َو‬Qٌ Q Q‫لِك َخْي‬َ ‫ َذ‬,‫وم اآْل خِ ِر‬Qْ Q Q‫اهلل َوالَْي‬ ْ ْ ْ ُ َ َ َ ُْ ُ
.ً‫تَْأ ِويْال‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,


dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebik baik
akibatnya”. (Q.S An-Nisa: 59).

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa semua permasalahan yang

menjadi perdebatan seharusnya dikembalikan kepada sumber utama

hukum Islam yang pasti yaitu al-Quran dan Sunah Rasulullah saw.

Melakukan ijtihad dengan batasan-batasan tertentu serta menggunakan

kaidah-kaidah yang telah disimpulkan dari al-Quran dan Sunah seperti

melakukan qiya>s untuk menemukan sebuah hukum untuk masalah yang

baru ada.

b. Pembagian Ijtihad

24
Dearteman Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 87.

18
Ada beberapa sudut pandang yang telah digunakan oleh para ulama

dalam melihat pembagian ijtihad, diantaranya dapat dilihat melalui:25

1. Ditinjau dari segi cakupan bidang yang menjadi objeknya

a) Ijtihad Kulliy (menyeluruh), yaitu suatu kesatuan yang utuh dan

tidak dapat dibagi-bagi atau dipisah-pisah. Asy-syaukani (1172-

1250 H/1759-1834 M) cenderung memilih pendapat ini karena

seseorang yang tidak mampu dalam berijtihad pada sebagian

masalah, berarti dia juga tidak mampu dalam berijtihad di

sebagian yang lainnya. Sedangkan ilmu ijtihad itu berkaitan satu

sama lainnya juga saling memberi dan menerima.

b) Ijtihad Juz’iy (sebagian), yaitu bahwa ijtihad merupakan sesuatu

yang dapat dibagi. Al- Ghazali berpendapat bahwasanya seorang

alim itu boleh saja mencapai derajat di bidang sebagian hukum

tertentu. Maka barangsiapa yang mengetahui cara dalil dengan

menggunakan qiyas boleh baginya berfatwa dalam masalah-

maslah qiyas, walaupun ia kurang dalam memenuhi ilmu hadits.

Dalam pendapat yang dilontarkan oleh Imam al-Ghazali ini diikuti

oleh banyak ulama diantaranya adalah Safiy al-Hindi dan Ibn

Daqiq al-‘id, mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat

yang terbaik karena memungkinkan dapat memberikan perhatian

25
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Akksara, 2004), 104-
106.

19
pada suatu cabang di antara cabang-cabang fiqih, sehingga dapat

mengetahui sumber hukumnya sehingga memungkinkan untuk

dilakukannya ijtihad.

2. Dilihat dari segi orientasinya (perhatian dan kecenderungan)26

a) Ijtihad Tradisional, yaitu ijtihad yang dalam menetapkan sebuah

hukum lebih berorientasi pada ungkapan-ungkapan yang tersurat

dari al-Qur’an maupun as-Sunnah.

b) Ijtihad Rasional, yaitu ijtihad yang dalam pengkajian dan

penetapan hukumnya lebih berorientasi pada pendayagunaan

nalar. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa hukum syara’

merupakan sesuatu yang dapat ditelaah substansinya dengan

melihat aspek-aspek kemaslahatan.

3. Dilihat dari jumlah pelakunya

a) Ijtihad Fardiy (perorangan individualis), yaitu ijtihad yang

dilakukan secara mandiri oleh seorang Mujtahid, baik dalam

metode maupun prosedur penetapan hukum suatu masalah serta

dalam proses pengambilan keputusannya. Mujtahid yang seperti

ini sulit sekali ditemukan, karena dalam diri mujtahid fardiy harus

terdapat beberapa disiplin ilmu yang memadai sebagai persyaratan

sebagai modal untuk berijtihad.

26
Ibid.,

20
b) Ijtihad Jama’i (kelompok/ kolektif), yaitu ijtihad yang dilakukan

secara bersama-sama atau kelompok orang mujtahid dengan

potensi dan keahlian yang berbeda. Itihad yang seperti ini lebih

mungkin dan layak dilakukan saat ini guna untuk menutupi

kekurangan / kelemahan pada pribadi masing-masing mujtahid

(ahli), sekaligus menghimpun potensi untuk mendapatkan hasil

ijtihad yang memadahi.

4. Dilihat dalam segi metodenya

a) Metode Baya<ni<. Yaitu cara istinbath hukum yang bertumpuh

pada kaidah-kaidah lughawiyyah (kebahasaan) atau makna lafaz{.

Metode ini membicarakan cara pemahaman suatu nash, baik

dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Metode baya<ni< juga dapat

diartikan sebagai suatu metode analisis kebahasaan untuk

memberikan penjelasan-penjelasan terhadap makna teks yang ada

di al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam hal ini seorang mujtahid

berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan

sebagaian atas yang lainnya. Dalam hasanah ushul fiqih metode

tersebut sering disebut dengan al-qawa>’id al-us{u>liyyah al-

lughawiyyah atau dila>lah al-lafaz{.27

Para ulama membagi pembahasan tentang makna lafaz{ dari

segi cakupan maknannya, yaitu:


27
Rahmawati, Istinbath Hukum (Yogyakarta: Deepublish, 2015), 31-50.

21
1) Pembahasan lafaz{ dari segi cakupan maknannya

Secara sederhana dapat dijelaskan apabila ditinjau dari segi

cakupan maknanya, lafaz{ tersebut dapat dibagi menjadi

diantaranya adalah: pertama, lafaz{ al-a<mm yaitu

lafaz{ yang yang menunjukkan pengertian maknannya

secara umum, secara menyeluruh tanpa batas. Kedua,

lafaz{ al-khas (khusus) yaitu suatu lafaz{ yang

menunjukkan sebuah makna secara spesifik.28

2) Pembahasan lafaz{ dari segi penggunaannya

lafaz{ yang menggunakan arti dan maksud tertentu yang

dapat dipahami seseorang ketika mendengar lafaz{ yang

diucapkan, atau ketika membaca lafaz{ itu dalam tulisan,

dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu: pertama, hakikat

yaitu suatu lafaz{ yang digunakan untuk maksud tertentu.

Kedua, majaz yaitu lafaz{ yang tidak menujukkan arti yang

sebenarnya. Ketiga, s{arih{ setiap lafaz{ yang terbuka

makna dan maksudnya baik dalam bentuk hakikat ataupun

majaz. Keempat, kinayah yaitu lafaz{ yang bersifat tertutup

oleh dalil.
28
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016), 268-273.

22
3) Pembahasan lafaz{ dari segi kejelasan maknannya

lafaz{ dari segi kejelasan maknannya dapat dibagi menjadi

enam yaitu: pertama, nash yaitu lafaz{ yang menujukkan

artinya dan tidak ada kemungkinan untuk ditakwil. Kedua,

z{ahir yaitu lafaz{ yang mengandung dua kemungkinan

makna, namun salah satunya lebih jelas. Ketiga, mujmal

yaitu lafaz{ yang tidak diketahui maksudnya kecuali

dengan bantuan lafaz{ lain. Keempat, mubayyan yaitu

lafaz{ yang dapat dipahami maksudnya, baik dengan

makna aslinya atau dijelaskan dengan makna sebelumnya.

Kelima, mufassar suatu lafaz{ yang menunjukkan makna

dengan sendirinya secara terperinci. Keenam, muh{kam

yaitu lafaz{ yang menunjukkan atas maknanya yang tidak

mungkin meminta pembatalan atau pergantian.

4) Pembahasan lafaz{ dari segi dila<lah (petunjuk) atas

hukum

lafaz{ dari segi dila<lah dapat dibagi menjadi dua yaitu :

pertama, dila<lah lafz{iyah yaitu sebuah dalil yang

digunakan untuk menunjukkan memberikan petunjuk

kepada sesuatu dalam bentuk lafaz{. Kedua, dila<lah

ghairu lafz{iya<h dalil yang diguanakan bukan dalam

bentuk suara ataupun lafaz{ dan kata.

23
5) Pembahasan lafaz{ dari segi sighat taklif

Lafaz{ dari segi shighat dapat dibagi menjadi dua yaitu:

pertama, amar yaitu lafaz{ yang berbentuk perintah.

Kedua, nahi yaitu suatu lafaz{ yang berbentuk larangan.

b) Metode ta’li<li< (qiyasi), yaitu suatu metode untuk menetapkan

hukum-hukum yang tidak ada nash al-Qur’an maupun haditsnya,

dengan cara mengqiyaskannya kepada hukum-hukum syara’ yang

ada nashnya29. Metode ini merupakan metode yang berusaha

menemukan illat (alasan) dari pensyariatkan hukum, sehingga

berdasarkan pada anggapan bahwasannya ketentuan-ketentuan

yang diturunkan oleh Allah untuk mengatur perilaku manusia ada

alasan logis atau hikmah yang ingin dicapainya, sebab Allah tidak

menurunkan ketentuan dan aturan tersebut secara sia-sia atau

tanpa tujuan apa-apa. Secara umum tujuan tersebut adalah

kemaslahatan manusia di dunia dan juga di akhirat, akan tetapi

secara lebih khusus setiap perintah dan larangan mempunyai

alasan yang logis dan tujuannya masing-masing. Sebagaian dari

padanya disebutkan dalam al-Qur’an atau hadits, sebagiannya lagi

disyariatkan dan ada pula yang harus dipikirkan atau direnungkan

terlebih dahulu.

29
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh...., 384.

24
Jumhur ulama berpendapat bahwasannya alasan yang logis itu

selalu ada, tetapi ada yang tidak terjangkau oleh akal manusia

sampai pada saat ini sebagaimana alasan logis dalam berbagai

ketentuan di bidang ibadah. Alasan logis itulah yang biasanya

digunakan sebagai alat dalam metode ta’li<li<.

c) Metode istis{la<h{i<30, yaitu suatu cara istinbath hukum untuk

mengetahui masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang

bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak adanya dalil khusus

mengenai masalah tersebut dengan cara kemaslahatan sesuai

dengan maqa<s{id asy-syari<’ah (tujuh pokok syari’at dalam

Islam) yang mencakup tiga kategori yaitu:

1) Dharu<riyyah (pokok), yaitu sebuah kemaslahatan yang

keberadaannya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia,

jika tidak ada maka kehidupan manusia akan kacau balau.

2) Ha<jiyyah (penting) yaitu, segala sesuatu yang sangat

dibutuhkan oleh kehidupn manusia untuk menghilangkan

kesulitan dan menolak segala halangan, bahwasannya

ketiadaan aspek ha<jiyyah ini tidak sampai mengancam

eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, namun hanya

saja menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.

30
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU..., 115.

25
3) Tah{si<niyyah (penunjang) yaitu sebuah kemaslahatan yang

diperlukan agar kehidupan manusia dalam keadaan

kenyamanan dan kemudahan. Jadi jika tidak ada maka tidak

akan mengancam kehidupan manusia.

Selain itu terdapat beberapa metode yang dikategorikan sebagai

metode istis{la<h{i< yaitu, al-mas{a<lih al-mursalah (kemaslahatan

yang tidak terdapat acuan nashnya secara eksplisit), al-istish{a<b

(pada dasarnya segala sesuatu itu diperbolehkan), bara<’ah adh-

dhimmah , sadd adh-dhara>i’ (pada dasarnya sesuatu itu tidak

dibebani oleh hukum, yang populer dengan istilah asas praduga tak

bersalah) dan ‘urf (adat istiadat atau kebiasaan yang baik).

5. Dilihat dari kaitan materi atau objek yang menjadi sasaran kajian

a) Ijtihad intiqa’i, yaitu suatu cara pengambilan hukum yang dilakukan

oleh ulama dengan memilih satu pendapat dari beberapa pendapat

yang paling kuat yang terdapat pada warisan fiqih Islam, yang

penuh degan fatwa dan keputusan hukum31.

b) Ijtihad insya’i, yaitu suatu cara pengambilan hukum yang dilakukan

oleh para ulama dengan cara pengambilan kesimpulan hukum

mengenai peristiwa-peristiwa yang belum pernah diselesaikan oleh

ulama’ ahli fiqih terdahulu. Baik persoalan yang lama maupun

persoalan yang baru. Dengan cara seorang mujtahid kontemporer


31
Gibtiah, Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), 61.

26
memilih pendapat baru dalam masalah yang belum pernah didapati

oleh ulama-ulama terdahulu32.

c) Ijtihad tatbiqi, yaitu suatu cara pengambilan hukum yang dilakukan

oleh ulama dengan cara mengupayakan untuk meneliti suatu

masalah dimana hukum hendak diidentifikasikan dan diterapkan

dengan ide yang dikandung oleh nash.

c. Syarat Menjadi Seorang Mujtahid

Wahbah Zuhaili menyimpulkan bahwa terdapat delapan persyaratan

yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang mujtahid diantaranya yaitu:33

1. Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum

dalam Al-Quran baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat.

Tidak perlu untuk menghafalkan diluar kepala atau menghafalkan

seluruh ayat Al-Quran. Seorang Mujtahid cukup hanya mengetahui

dimana letak ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya

menemukan di waktu yang dibutuhkan.

2. Mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam

pemakaian syara’. Sebagaimana dijelaskan dalam poin pertama,

seperti halnya al Qur’an, seorang mujtahid tidak perlu untuk

menghafal seluruh hadits-hadits namun hanya cukup mengetahui

32
Ibid.
33
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2005), 251-
254.

27
dimana hadits-hadits hukum yang dapat dijangkau bila mana

diperlukan.

3. Mengetahui mana ayat atau hadits yang telah dimansukh (telah

dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah dan Rasul-Nya), dan mana

ayat atau hadits yang menasakh atau sebagai penggantinya.

4. Memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi

Ijma’ tetang hukum dan mengetahui dimana tempat-tempatnya.

5. Mengetahui tentang seluk beluk qiyas (menyamakan hukum yang

belum ada nashnya dengan hukum yang sudah ada nashnya).

6. Menguasai Bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan

denganya. Kemampuan ini sangat dibutuhkan mengingat al-qur’an dan

as-sunnah menggunakan bahasa arab.

7. Menguasai ilmu ushul fiqih, kemampuan ini sangat dibutuhkan karena

ushul fiqih merupakan suatu pedoman yang harus dipegang dalam

melakukan ijtihad.

8. Mampu menangkap tujuan syari’at dalam merumuskan suatu hukum.

Kemampuan ini dibutuhkan untuk memahami redaksi dan dalam

penerapannya kepada berbagai peristiwa dan ketepatan sangat

tergantung dalam pengetahuan tentang hal ini.

d. Tingkatan Mujtahid

Adapun tingkatan menjadi seorang mujtahid dibagi menjadi 2 yakni:

28
1. Ijtihad Muthlaq34

Ijtihad muthlaq adalah suatu kegiatan seorang mujtahid yang bersifat

mandiri dalam melalukan ijtihad menemukan illat-illat hukum dan

ketentuan hukumnya dari suatu nash al-Qur’an dan sunnah, dengan

menggunakan rumusan kaidah-kaidah serta tujuan-tujuan syara’, baik

rumusan tersebut bersifat hasil karya sendiri ataupun karena mengikuti

(ittiba’) metode mujtahid yang lainnya. Jadi, ijtihad muthlaq adalah

kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang bersifat persial

(furu’) dari dalil-dalilnya, dan kemampuan untuk menggunakan

perangkat ushul fiqih yang dijadikan sebagai landasannya. Orang yang

memiliki kemampuan tersebut dinamakan dengan mujtahid muthlaq.

Berdasarkan pengertian diatas, maka mujtahid itu sendiri, adalah orang

yang melakukan ijtihad muthlaq, dengan demikian dapat dibagi

menjadi dua macam, yaitu:

a) Mujtahid Muthlaq Mustaqil

Mujtahid muthlaq mustaqil adalah seorang mujtahid yang

secara mandiri merumuskan dan menyususn suatu kaidah ushul

fiqih madzhabnya, tanpa berqlid dan mengikuti (du<na at-taqli<d

wa al ittiba<’) kepada mujtahid lainnya. Selain itu, ia berijtihad

dengan menemukan hukum syara’ dengan cara menerapkan

sendiri ushul fiqih yang telah dirumuskannya. Terdapat beberapa


34
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, ... 354.

29
mujtahid yang tergolong sebagai mujtahid muthlaq diantaranya

adalah, imam madzhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam

Malik, Imam Hambali, Imam Syafi’i), Imam al-Laits bin Sa’ad,

al-Awza’i, dan Sufyan Ats-Tsauri.35

b) Mujtahid Muthlaq Muntasib36

Mujtahid muthlaq muntasib adalah mujtahid yang telah

melakukan ijtihad secara mandiri dalam melakukan dan

menemukan hukum-hukum syara’ yang bersifat parsial, tanpa

taqlid dan mengikuti mujtahid yang lainnya, akan tetapi tidak

merumuskan sendiri metode istinbath hukumnya, melainkan

mengikuti metode istinbath hukum yang lainnya yang telah

dirumuskan oleh mujtahid kelompok pertama (mujtahid muthlaq

mustaqil). Mujtahid yang termasuk dalam mujtahid kelompok

kedua ini adalah, dari Madzhab Hanafi: Abu Yusuf, Muhammad

bin al-Hasan as-Syaibani, dan Zufar. Dari madzhab Maliki:

Abdurrahman bin al-Qasim dan Abdullah bin Abdul Wahhab.

Dari madzhab Syafi’i: al-Buwaithi, az-Za’farani, dan al-Muzani.

2. Ijtihad fi al-Madzhab37

35
Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), 257.
36
Moh Mufid, Ushul Fiqih Ekonomui dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori ke Aplikasi,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), 201.
37
Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqih…, 355.

30
Ijtihad fi al-Madzhab adalah suatu kegiatan ijtihad yang

dilakukan oleh para ulama mengenai hukum syara’, dengan

menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh

mujtahid muthlaq mustaqil (imam madzhab), baik yang berkaitan

dengan masalah-masalah hukum syara’ yang tidak terdapat pada imam

madzhabnya, meneliti pendapat yang paling kuat yang terdapat dalam

madzhab, maupun untuk menfatwakan hukum yang diperlukan

masyarakat. Secara lebih sempit, ijtihad fi al-madzhab dikelompokkan

dengan tiga tingkatan yaitu:

a) Ijtihad at-Tahrij

Ijtihad at-tahrij adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh

seorang mujtahid dalam madzhab tertentu untuk melahirka hukum

syara’ yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam

madzhabnya, dengan berperang kepada kaidah-kaidah atau

rumusan-rumusan hukum imam madzhabnya. Pada tingkatan ini

kegiatan ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum

pernah difatwakan imam madzhabnya, atau yang belum pernah

difatwakan oleh muri-murid imam madzhab. Pelaku ijtihad pada

tingkatan ini disebut mujtahid at-tahrij.

b) Ijtihad at-Tarjih

31
Yang dimaksud dengan ijtihad at-tarjih adalah kegiatan ijtihad

yang dipandang lebih kuat diantara pendapat-pendapat imam

madzhabnya, atau antara pendapat imam dengan pendapat

muridnya. Jadi pada tingkatan ini kegiatan ulama hanya melakukan

pemilahan pendapat, dan tidak melakukan istinbath hukum syara’.

Orang yang melakukan ijtihad dalam tingkatan ini disebut dengan

mujtahid at-tarjih.

c) Ijtihad al-Futyah

Ijtihad al-futyah adalah kegiatan ijtihad yang dalam bentuk

mengetahui seluk beluk pendapat-pendapat hukum imam madzhab

dan ulama madzhab yang dianutnya, dan menfatwakan pendapat

tersebut kepada masyarakat. Kegiatan yang dilakukan para ulama

dalam tingkatan ketiga ini terbatas hanya pada menfatwakan

pendapat-pendapat hukum madzhab yang dianutnya, dan sama

sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak pula memilah

pendapat yang ada dalam madzhabnya. Orang yang termasuk

dalam tingkatan ini disebut dengan mujtahid al-futya.

B. Mura<bah{ah

a. Pengertian Mura<bah{ah

32
Salah satu skim yang banyak digunakan dan populer di perbankan

syari’ah adalah skim jual beli mura<bah{ah. Transaksi mura<bah{ah ini

juga pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Secara

sederhana, mura<bah{ah berarti suatu penjualan barang seharga barang

tersebut ditambah dengan keuntungan yang disepakati. 38

Menurut bahasa jual beli mura<bah{ah berasal dari ribh{ yang

memiliki arti tumbuh dan berkembang dalam perniagaan. Sedangkan

menurut Istilah jual beli mura<bah{ah adalah jual beli komoditas yang

mana penjual harus memberikan informasi terhadap pembeli terkait

dengan harga pokok dengan keuntungan yang diinginkan39.

Mura<bah{ah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar

biaya perolehan yang ditambah keuntungan atau margin yang disepakati

dan penjual harus mengungkapkan biaya-biaya perolehan barang tersebut

kepada pembeli. Definisi ini menunjukkan bahwa transaksi mura<bah{ah

tidak harus berbentuk pembayaran tangguh (kredit), melainkan dapat pula

berbentuk tunai setelah menerima barang, ditangguhkan dengan mencicil

setelah menerima barang, atau ditangguhkan dengan membayar sekaligus

dikemudian hari40.

38
Adiwarman A Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2013), 113.
39
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 103.
40
Kautsar Rizal Salman, Akuntansi Perbankan Syari’ah Berbasis Psak Syariah, (Jakarta:
Akademia Permata, 2012), 141.

33
Menurut Ulama Hanafiyah, mura<bah{ah adalah “Mengalihkan

kepemilikan yang disertai dengan tambahan sebagai keuntungan”.

Menurut Ulama Malikiyah yang dimasud dengan mura<bah{ah ialah

“jual beli barang yang disertai dengan besaran harga pembelian dengan

tambahan sebagai keuntungan yang sama diketahui oleh kedua belah

pihak yang berakad”41.

Dan menurut Imam Syafi’i, jika terdapat sesorang yang menunjukkan

barang kepada orang lain kemudian berkata: “ belikan barang yang seperti

ini untukku dan aku akan memberikanmu keuntungan sekian”. Kemudian

seseorang itu membelikannya, maka jual beli yang seperti ini termasuk

jual beli yang sah. Dan menurut Imam Syafi’i jual beli atau transaksi

seperti ini disebut dengan mura<bah{ah kepada pemesan pembelian

(KPP) atau istilah lainnya adalah Al-a<mir bi asy-syira> (‫بالشراء‬ ‫) االمر‬42.

Singkatnya mura<bah{ah adalah akad jual beli suatu barang dengan

menyebutkan harga perolehan dan juga keuntungan margin yang telah

disepakati oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Akad ini

termasuk bentuk natural certainty contacts, karena dalam akad

mura<bah{ah ini ditentukan keuntungan yang diingkan.

41
Ensiklopedia Fiqih online diakses pada www.fikihonline.com, diakses pada hari/tanggal,
Senin, 23 Desember 2019, pukul 13:00 WIB.
42
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani,
2001), 102.

34
Karena dalam definisinya disebutkan adanya “keuntungan yang

disepakati”, maka karakteristik mura<bah{ah adalah si penjual harus

memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan

besarnya jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.

Para ulama berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang bisa

dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Misalnya, Ulama Madzhab

Maliki yang memperbolehkan biaya-biaya yang tidak langsung terkait

dengan transaksi tersebut, namun dapat memberikan nilai tambah pada

barang itu.

Menurut Madzhab Imam Syafi’i membolehkan untuk membebankan

biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli

kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk

dalam keuntungannya.

Menurut Madzhab Imam Hanafi menyatakan bahwa membolehkan

membebankan biaya-biaya secara umum yang timbul dalam suatu

transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang

memang semestinya dikerjakan oleh si penjual.

Menurut Madzhab Imam Hanafi adalah semua biaya langsung maupun

tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya

tersebut harus di bayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai

barang yang dijual.

35
Secara singkatnya, dapat dikatakn bahwa keempat adzhab tersebut

memperbolehkan membebankan biaya langsung yang harus di bayarkan

kepada pihak ketiga, dan keempat madzhab tersebut bersepakat bahwa

tidak memperbolehkan membebankan biaya langsung yang berkaitan

dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun

biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Keempat

madzhab tersebut juga memperbolehan pembebanan biaya yang dilakukan

oleh pihak ke tiga selama pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihka ke

tiga43.

b. Dasar Hukum Mura<bah{ah

Mura<bah{ah adalah bagian terpenting dari jual beli dan prinsip ini

mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua

bank Islam dan lembaga keuangan syariah lainnya. Dalam Islam jual beli

sebagi sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang di ridhoi

oleh Allah SWT. Perniagaan dan perdagangan selalu dihubungkan dengan

nilai-nilai moral, sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan

dengan kebijakan tidaklah bersifat Islami.

1. Al-Qur’an

43
Adiwarman A Karim, Bank Islam …, 114.

36
a) QS. An-Nisa’ [4]: 2944

ِ ‫والَ ُك ْم َبْينَ ُك ْم بِالبَط‬Qَ Q‫ْأ ُكلُ ْوا َْأم‬Q َ‫وا آلَ ت‬Qْ Q‫ا الَّ ِذيْ َن ءَ َامُن‬QQ‫يَاَيُّ َه‬
‫ارةً َع ْن‬Qَ Q َ ‫و َن جِت‬Qْ Q‫ِل ِإالَّ َأ ْن تَ ُك‬
.‫ ِإ َّن اهللَ َكا َن بِ ُك ْم َر ِحْي ًما‬. ‫اض ِمْن ُك ْم َوالَ تَكُْتلُ ْوا َأْن ُف َس ُك ْم‬ ٍ ‫َتَر‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
maha penyayang kepadamu”.

b) Q.S Al-Baqarah [2]: 275.45

ِ ِ ِ َ‫ا‬
‫س‬ِّ ‫ْيطَا ُن م َن الْ َم‬Q‫هُ ال َّش‬Qُ‫و ُم الَّذ ْي َيتَ َخبَّط‬Qْ ‫ا َي ُق‬Q‫و َن ِإاَّل َك َم‬Qْ ‫ا اَل َي ُق ْو ُم‬Qَ‫الرب‬ ِّ ‫لذيْ َن يَْأ ُكلُ ْو َن‬
ٌ‫ة‬Qَ‫اءَهُ َم ْو ِعظ‬Q‫ج‬Qَ ‫ا فَ َم ْن‬QQَ‫الرب‬
ِّ ‫ر َم‬Qَّ ‫ح‬Qَ ‫ل اهللُ َو‬Q ِّ ‫ل‬Qُ Qْ‫ع ِمث‬Qُ Q‫ا الَْبْي‬QQَ‫الُْوا ِإمَّن‬QQَ‫لِك بَِأن َُّه ْم ق‬
َّ ‫ح‬Qَ َ‫ا َوا‬QQَ‫الرب‬ َ ‫َذ‬
‫اب النَّا ِر ُه ْم‬ َ ‫اد فَُأولَِئ‬Q ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ َح‬Q‫ص‬ْ َ‫ك ا‬ َ ‫رهُ اىَل اهلل َو َم ْن َع‬Qُ ‫ف َو َْأم‬ َ َ‫ل‬Q‫م ْن َربِّه فَا ْنَت َهى َفلَهُ َما َس‬
.‫فِْي َها َخالِ ُد ْو َن‬

“Orang-orang yang makan (bermuamalah) riba tidak dapat


berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Kedaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpndapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya. Lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maja baginya apa yang telah
diambilnya terlebih dahulu (sebelum datang larangan) dan
utusannya (terserah) kepada Allah. Oranf yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka, mereka kekal didalmnya”.

44
Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan, 83.
45
Ibid., 48.

37
2. Hadits

Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah

ُ‫ ة‬Q‫ث فِْي ِه َّن الَْبَر َك‬ َ Qَ‫لَّ ْم ق‬Q‫ه َو َس‬Qِ Q‫لَّى اهللُ َعلَْي‬Q‫ص‬
ٌ َ‫ ثَال‬: ‫ال‬Q َّ ُ‫ه‬QQ‫ي اهللُ َعْن‬Q‫ب َر ِض‬
َ ُّ ‫َأن النَّيِب‬ َ
ٍ ‫ َهْي‬Q‫ص‬
ُ ‫َع ْن‬
.(‫ت الَلِْلَبْي ِع )رواه ابن ماجه‬ ِ ‫ط الْبِّر بِالشَّعِ ِ اِل ْبي‬
َْ ‫رْي‬ ُ ُ ‫ضةُ َو ُخ ْل‬ َ ‫َأج ٍل َوالْ ُم َق َار‬ ‫ِإ‬
َ ‫الَْبْي ُع ىَل‬
“Dari Suaib ar-Rumi r.a Rasulullah saw bersabda, ”Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh,
muqorodhoh (mudharabah), dan campuran gamdum dengan tepung
untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”(H.R Ibnu Majah)46.

3. Ijma’

Para ulama’ telah bersepakat mengenai kehalalan jual beli

sebagai transaksi riil yang sangat dianjurkan dan merupakan sunnah

Raulullah47.

c. Rukun-rukun Mura<bah{ah

Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu

kegiata atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut

maka kegiatan tersebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebt tidak

eksis. Jadi, rukun jual beli mura<bah{ah adalah :48

1. Pelaku akad (penjual dan pembeli).

46
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Kairo: Dar al-Fikr, 2010, Nomor Hadits: 2289, 314.
47
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2000), 107.
48
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah¸ (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 70-72.

38
Dengan ini yang dimaksud dengan pelaku akad adalah orang

yang cakap hukum yang berakal dan mampu membedakan, sehingga

jual beli dengan orang gila dianggap tidak sah, dan jual beli dengan

anak kecil bisa dianggap sah apabila mendapatkan izin dari walinya.49

2. Objek Akad.

Objek akad adalah barang yang telah diperjual belikan yang memiliki

sifat:

a) Barangnya harus barang yang halal

b) Barang yang dapat diambil manfaatnya

c) Barang tersebut dimiliki oleh penjual

d) Barang tersebut harus diketahui secara spesifik

e) Barang tersebut dapat diketahui kuantitas dan kualitansya secara

jelas.

3. Shighat akad (ijab dan qabul).

Ijab qabul adalah pernyataan dan ekspresi saling ridha atau rela

diantara pihak-pihak pelaku akad, baik dilakukan secara tertulis atau

ucapan. Dilakukan dengan jelas, harga dan barang yang disebutkan

harus seimbang, dan tidak terbatas oleh waktu.

d. Syarat-syarat Mura<bah{ah
49
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), 179.

39
Syarat-syarat yang terdapat pada akad mura<bah{ah adalah:50

1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada Nasabah.

2. Kontrak pertama harus sah dan sesuai dengan rukun yang telah

ditetapkan.

3. Kontrak harus bebas dari riba.

4. Penjual harus memberi tahu pembeli jika barang yang dijual terdapat

kecacatan setelah pembelian.

5. Penjual harus menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan

pembelian, misalkan jika pembelian dilakukan secara hutang.

Secara prinsip jika syarat dalam urutan pertama, keempat dan kelima

tidak dipenuhi, maka pembeli memiliki pilihan diantaranya adalah:51

1. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.

2. Kembali kepada pejual dan mengatakan ketidak setujuan atas barang

yang diperjual belikan.

3. Membatalkan kontrak.

Jika digambarkan secara sederhana konsep transaksi mura<bah{ah

antar personal dalam bentuk skema, sebagai berikut:


50
Sri Sudiarti, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), 104.
51
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori dan Praktik.... 102.

40
2. penyerahan Barang Sekarang

Penjual Pembeli
(Ba’i) 1. Akad Mura<bah{ah (Musytarak)

3. Pebayaran secara tunai, tangguh atau dicicil.

e. Jenis-jenis akad Mura<bah{ah

Sesuai dengan jenisnya murabahah dikategorikan menjadi:

1. Dilihat dari proses pengadaan barang

Dari proses pengadaan barang, murabahah dapat dibagi menjadi:

a) Mura<bah{ah tanpa pesanan

Yang dimaksud dengan mura<bah{ah tanpa pesanan adalah

pihak bank menyediakan barang dagangannya meskipun ada yang

membeli atau tidak dan ada yang pesan atau tidak. Penyediaan

barang-barang mura<bah{ah ini tidak berpengaruh langsung

terhadap ada tidak nya pesanan atau pembeli. Pada mura<bah{ah

tanpa pesanan ini, pihak bank menyediakan barang atau persediaan

barang yang akan diperjual belikan yang dilakukan tanpa

memperhatikan ada tidaknya pemesan atau pembeli. Sehingga

proses pengadaan barang dilakukan sebelum adanya transaksi jual

beli dengan menggunakan akad mura<bah{ah dilakukan.

Pengadaan ini dapt dilakukan dengan beberapa cara oleh pihak

Bank Syariah diantaranya:

41
1) Membeli barang jadi kepada produsen (prinsip mura<bah{ah)

2) Memesan kepada pembuat barang dengan pembayaran

dilakukan secara keseluruhan setelah akad (prinsip sala<m).

3) Memesan kepada pembuat (produsen) dengan pembayaran

yang bisa dilakuakan didepan.

b) Mura<bah{ah dengan pesanan

Yang dimaksud dengan mura<bah{ah dengan pesanan adalah

suatu penjualan yana mana dua pihak atau lebih bernegosiasi dan

melakukan perjanjian satu sama lain untuk melaksanakan suatu

kesepakatan bersama, dimana pemesan (nasabah) meminta bank

untuk membeli barang yang kemudian dimiliki secara sah oleh

pihak kedua. Nasabah menjanjikan kepada bank untuk membeli

barang yang telah dibeli dan memberikan keuntungan atas pesanan

tersebut. kedua belah pihak akan mengakhiri penjualan setelah

kepemilikan barang tersebut berpindah tangan. Dan perjanjian

pemesanan dalam akad mura>bah{ah berdasarkan pesanan, bisa

bersifat mengikat dan bisa juga bersifat tidak mengikat.52

2. Menurut sifat pengadaan aset mura<bah{ah

a) Penjualan mura<bah{ah bersifat mengikat:53

52
Wiroso, Jual Beli Murabahah,(Yogyakarta:UII Press,2005), 37.
53
Wiroso, Produk Perbankan Syariah Dilengkapi UU Perbankan Syariah dan Kodifikasi
Produk Bank Indonesia, (Jakarta:LPFE Usaki, 2009) 176.

42
1) Apabila pembeli (BMT) menerima nasabah, maka BMT harus

membeli barang yang diakhiri/ditutup dengan penjualan yang

sah antara pihak BMT dan nasabah.

2) BMT menawarkan barang kepada nasabah berdasarkan

perjanjian yang mengikat diantara kedua belah pihak secara

hukum dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam

penjualan akad.

3) Dalam bentuk penjualan seperti ini, diperbolehkan untuk

membayar hamis gedyah ketika menandatangai akad aslinya,

akan tetapi sebelum pembeli membeli asset tersebut. Hamis

gedyah didefinisikan sebagai jumlah yang dibayarkan dari

pemesan pembelian karena adanya permintaan dan hal ini

dilakukan untuk meyakinkan bahwasannya nasabah serius

dalam permintaan barang tersebut. Tetapi apabila nasabah

menolak untuk membeli barang tersebut, maka kerugian yang

terjadi pada barang tersebut harus diganti dari hamis gedyah

yang telah dibayarkan tersebut.

4) BMT dapat menarik hamis gedyah tersebut sejumlah dengan

kerugian yang terjadi bila nasabah menolak membeli barang.

Jika jumlah hamis gedyah kurang dari jumlah kerusakan yang

telah dialami BMT, maka pembeli (BMT) dapat meminta

nasabah untuk mendapatkan kekurangannya (kerugiannya).

43
Sebagian Lembaga Keuangan Syari’ah telah menggunakan

‘urbun sebagai suatu alternatif hamis gedyah, dimana ‘urbun

dalam Fiqih Islam adalah jumlah uang yang dibayarkan dimuka

kepada penjual (BMT sebagai penjual). Apabila nasabah telah

memutuskan untuk melakukan transaksi dan menerima barang,

maka ‘urbun akan diperlakukan sebagai bagian dari harga yang

dibayar dimuka, jika tidak maka‘urbun akan ditahan oleh penjual.

b) Mura<bah{ah bersifat tidak mengikat

Salah satu pihak (nasabah) meminta pihak lain (BMT) untuk

melakukan pembelian suatu barang dan menjanjikan bahwa

apabila nasabah membeli barang tersebut maka nasabah akan

membelinya dari BMT sesuai dengan harganya (termasuk

keuntungan). Apaila BMT menerima permintaan tersebut, BMT

akan membeli barang untuk dirinya sendiri berdasarkan akad

penjualan yang sah antara dia (pembeli) dan penjual (vendor)

barang tersebut dan melakukan beberapa hal yaitu:54

1) BMT harus menawarkan lagi kepada nasabah menurut syarat-

syarat perjanjian yang pertama, setelah barang secara sah

dimiliki oleh BMT, hal tersebut dianggap sebagai suatu

penawaran dari BMT.

54
Ibid., 177.

44
2) Ketika barang ditawarkan kepada nasabah, nasabah harus

memiliki pilihan untuk mengakhiri suatu akad penjualan atau

menolak untuk membelinya, dengan kata lain pemesan tidak

wajib memenuhi janjinya. Jika dia memilih untuk melakukan

suatu akad, maka akan dianggap sebagai suatu penerimaan

tawaran tersebut. Kemudian suatu akad penjualan yang sah

harus dibuat antara nasabah dan juga BMT.

3) Apabila terjadi bahwa nasabah telah menolak membeli barang

tersebut, maka barang tersebut akan tetap menjadi milik BMT

yang berhak untuk menjualnya melalui cara-cara yang

diperolehkan.

4) Jika nasabah diharuskan untuk membayar cicilan pertama,

maka pembayaran tersebut harus dilakukan pada saat setelah

akad tersebut ditandatangani dan cicilan tersebut termasuk dari

harga penjualan barang tersebut.

3. Dilihat dari cara pembayarannya

Dilihat dari cara pembayaranya, akad mura<bah{ah dibagi

menjadi :55

a) Pembayaran tunai, yaitu pembayaran yang dilakukan secara tunai

saat barang telah diterima.

55
Ibid.

45
b) Pembayaran tangguh atau cicilan, yaitu suatu pembayaran yang

dilakukan kemudian setelah penyerahan barang baik secara

tangguh sekaligus dibelakang atau secara angsuran.

Praktek yang dijalankan oleh Bank Syari’ah, baik bank Umum

Syari’ah, Unit Usaha Syariah dari Bank Konvensional, maupun Bank

Perkreditan Rakat Syariah, saat ini banyak yang menjalankan mura<bah{ah

berdasarkan pesanan, sifatnya mengikat dan pembayarannya dilakukan secara

tangguh atau cicilan. Pada saat ini belum ada perbankan yang menjalankan

mura<bah{ah tanpa pesanan dengan pembayaran tunai atau tangguh seperti

supermarket. Mura<bah{ah tanpa pesanan banyak dilaksanakan oleh

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT) dan Koperasi Syariah, termasuk

pembayaran yang dilakukan secara tunai56.

56
Ibid., 178.

46
BAB III

GAMBARAN UMUM BAHTSUL MASA’IL PWNU JAWA TIMUR TETANG

MURA<BAH{AH ALA BMT

A. Sejarah Singkat Nahdlatul Ulama

Sejak runtuhnya Kerajaan Islam di Turki Usmani, Ulama Islam

sedunia ingin mengadakan Muktamar Khalifah di Kairo Mesir, menyikapi hal

itu ulama Indonesia menggelar Kongres Luar Biasa di Surabaya yang

dipelopori oleh Partai Serikat Islam pada hari rabu – jum’at, 24 – 26

Desember 1924 M. Dalam keputusan kongres tersebut menyepakati, H.

Fachroeddin dari Persyarikatan Muhammadiyah, Soerjopranoto dari

Komisaris Partai Sarikat Islam, dan Hadji Wahab Chasboellah dari Organisasi

Ulama Surabaya. Namun dalam Muktamar Khalifah di Kairo Mesir tidak jadi

dilaksanakan. Dapat dipahami, bahwa kegagalan tersebut dikarenakan adanya

upaya kerajaan protestan anglikan Inggris, alasannya kekhalifahan berarti

membangun kembali gerakan Islam. Dengan demikian kekhalifahan dapat

menghidupkan kembali pan Islamisme sebagai gerakan antiperialisme barat

sehingga eksistensi kerajaan anglikan protestan Inggris di timur tengah atau

imperialis barat lainnya di tanah jajahannya akan terancam.

Setelah Muktamar Khalifah di Kairo Mesir gagal, ulama Islam

Sedunia mencoba mengadakan Muktamar Islam Sedunia di Makkah pada 1

januari 1926. Untuk menjawab rencana Muktamar Al-Islam Sedunia, Al-Islam

Conggres mengubah status keorganisasiannya menjadi Muktamar Al-Islam

47
Sedunia cabang Hindia Timur atau Muktamar Al-Alam Al-Islam Faral Hind

Sjarqyah (MAIHS). Setelah itu, diputuskanlah utusan yang akan menghadiri

Muktamar Al-Islam Sedunia tersebut yaitu, Oemar Said Tjokroaminoto dari

Partai Serikar Islam dan Hadji Mas Mansoer dari Persyarikatan

Muhammadiyah. Namun keputusan ini tidak menyertakan Kiai Wahab

Chasboellah, seperti keputusan Kongres Khalifah di Kairo Mesir. Walaupun

demikian Muktamar Al-Islam Sedunia gagal juga, hal ini menjadi sebab

lahirnya Nahdlatul Ulama.

Dengan adanya perubahan raja di Saudi Arabia (Raja Ibnu Saud,

seorang penganut Wahabisme), maka para ulama dari penganut Ahlusunnah

Wal Jama’ah dari Indonesia merasa perlu mengirimkan utusannya ke Hijaz,

Saudi Arabia. Tujuannya adalah memohon agar Raja Ibnu Saud memberikan

perkenannya kepada umat Islam non-wahabi untuk menjalankan ajaran empat

madzhab di Makkah dan Madinah.57

Dari peristiwa pengiriman utusan Hijaz ini, lahirlah Nahdlatul Ulama

yang disingkat (NU), artinya kebangkitan ulama, sebuah organisasi yang

didirikan oleh K.H. Hasyim As’ary pada tanggal 31 Januari 1926 M di

Surabaya.58 Nama Nahdlatul Ulama merupakan nama kelanjutan dari nama

gerakan dan nama sekolah yang pernah didirikan Nahdlatul Wathan

(Kebangkitan Tanah Air, 1335 H/1916 M).

57
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: CV. Tria Pratama, 2015), 471.
58
Soelaiman Fadeli, M. Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah, (Surabaya:
Khalista, 2007), 1.

48
Latar belakang berdirinya NU sangat erat kaitannya dengan

perkembangan pemikiran keagamaan dan politik Dunia Islam pada waktu itu.

Menurut Ahlusunnah wal Jamaah Nahdlatul Ulama’ berkaidah Islam dan

dalam Fiqih Nahdlatul Ulama menganut salah satu dari empat madzhab yaitu

Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi59. Nahdlatul Ulama (NU) didirikan sebagai

Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyyah (Organisasi Keagamaan Kemasyarakatan).60

Keinginan ulama’ untuk mendirikan organisasi formal bukanlah tidak

ada, akan tetapi pertumbahannya sangat lambat. Dan sebelum organisasi itu

terbentuk terdapat beberapa faktor yang dapat melatar belakangi berdirinya

Nahdlatul Ulama. Diantaranya adalah penguasa baru Arab Saudi yang

memiliki faham wahabi telah berlebih-lebihan dalam menerapkan program

pemurnian ajaran Islam. Tidak hanya itu penguasa Arab Saudi berkeinginan

untuk menempatkan diri sebagai khilafah tunggal dunia Islam, penguasa Arab

Saudi mengundang negara jama’ah Islam diseluruh dunia (termasuk

Indonesia) untuk menghadiri Muktamar Khilafah di Arab Saudi. Dalam hal

ini membuat para Ulama Indonesia (Ulama’ Ahlusunnah wal Jama’ah)

menolak keras akan tindakan penguasa tersebut61.

NU didirikan oleh para ulama yang pada umumnya menjadi pengasuh

pondok pesanteren. Kelahiran NU merupakan muara dari rangkaian kegiatan

yang mempunyai mata rantai hubugan dengan berbagai keadaan, peristiwa


59
Ahmad Musadad, Muqaranah Madzahib, (Bojonegoro: Karya Bakti Makmur, 2018), 282.
60
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU)… 15.
61
Ibnu Assayuthi Ar-Rifa’i,Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan & NU, (Kudus:
Al-Haula Press, 2012), 33.

49
yang dialami bangsa Indonesia sebelumnya, dengan latar belakan tradisi

masalah sosial politik, dan kultural yang terjalin dalam suatu keterkaitan. Para

ulama pada umumnya telah memiliki jama’ah (komunitas warga yang menjadi

anggota kelompoknya) dengan ikatan hubungan yang akrab, yang terbentuk

dalam pola hubungan santri – kyai, terutama pada masyarakat dilingkungan

pesantrennya. Pola hubungan santri – kiai ini telah mampu mewarnai, bahkan

membentuk sub kultural tradisional Islam tersendiri di Indonesia.62

Berdirinya NU tidak bisa lepas dari sosok dua tokoh besar yaitu KH.

Hasyim Asy’ari, seorang kiai dari Jawa Timur yang sangat disegani saat itu,

dan KH. Abdul Wahab Hasbullah, seorang yang sangat dinamis yang pernah

belajar di Makkah dan telah aktif dalam Sarekat Islam (SI) disana, dan

mendirikan organisais Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) setelah

pulang ke Indonesia. Tokok-tokoh lain pada awal perintisan diantaranya: KH.

Bisri Samsuri (Jombang), KH. Abdul Halim Leuwi Munding (Cirebon), KH.

Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Ridwan Abdullah (Surabaya), KH. Maksum

dan KH. Kholil (Lasem, Rembang), dan teman-teman pemuda KH. Wahab,

yaitu Abdullah Ubaid (Kawatan, Surabaya), Thohir Bakri dan Abdul Halim,

Hasan dan Nawawi (Surabaya)63.

Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:

1. Meningkatkan hubungan antara ulama dari berbagai madzhab sunni.


62
Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah,
(Yogyakarta: Gama Media, 2001), 43.
63
LP Ma’arif NU, Materi Dasar Nahdlatul Ulama, edisi II, (Jawa Tengah: LP. Ma’arif NU,
2002), 1.

50
2. Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentuksan kesesuaian dengan

ajaran ahlusunnah wal jama’ah.

3. Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan

ajaran ahlusunnah waljama’ah.

4. Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat madzhab.

5. Mendirikan madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah, dan

pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin.

6. Membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan,

industri yang halal menurut hukum Islam.

Hasil Muktamar XXVII NU di Situbondo pada tahun 1984, melalui

sebuah keputusan yang disebut “Khittah Nahdlatul Ulama”, menegaskan

kembali usaha-usaha tersebut dalam empat butir diantaranya adalah:

1. Meningkatkan silaturrahmi antar ulama

2. Meningkatkan kegiatan dibidang keilmuan

3. Meningkatkan penyiaran Islam, degan cara membangun sarana-sarana

peribadatan dan pelayanan sosial

4. Meningkatkan taraf dan kualitas hidup masyarakat, dengan cara melalui

kegiatan-kegiatan yang terarah, dll.

Dengan demikian pengaruh ulama sangat besar dalam NU, dan telah

mendapat konfirmasi dari Khittah NU. Hal ini disebabkan karena dasarnya

NU adalah Jam’iyah Diniyah yang membawakan faham keagamaan, sehingga

menjadi mata rantai pembawa faham Ahlusunnah wal jamaah.

51
B. Sekilas tentang Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama’64

a. Sejarah singkat Bahtsul Masa’il NU

Lembaga Bahtsul Masa’il adalah salah satu lembaga NU yang

bertugas membahas dan memecahkan persoalan-persoalan baru ditengan

masyarakat yang memerlukan kepastian hukum dalam syari’at islam.

Latar belakang munculnya bahtsul masail yaitu karena adanya

kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis (‘amali<) bagi

kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini mendorong para ulama NU untuk

mencari solusinya dengan cara melakukan bahth al-masa<’il (pengkajian

masalah-masalah agama), jika ditelusuri lebih lanjut maka hasil-hasilnya

juga dapat diketahui, bahwasannya kegiatan bahth al masa<’il

dilaksanakan dalam lungkungan pesantren sejak sebelum Nahdlatul Ulama

didirikan pada tahun 1926. Budaya ini berkembang sebagai tradisi

keilmuan dengan cara mencari dalil-dalil dari kitab kuning atas suatu

persoalan atau masalah yang baru dalam masyarakat. Lalu, seiring

perkembangannya, budaya ini tetap melekat dalam Nahdlatul Ulama

sebagai salah satu metode penetapan hukum atas masalah-masalah

kontemporer, dalam setiap muktamar dan pada kondisi-kondidi tertentu

Nahdlatul Ulama selalu menggelar bahth al-masa<’il yang langsung

ditangani oleh dewan syuriah Nahdlatul Ulama.

64
Ahmad Zahro, Tradisi…….., 67-73.

52
Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama yang diadakan di Cipasung pada

tahun 1994 membuahkan sebuah pemikiran agar dibentuknya sebuah

wadah resmi untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan bahth al -

masa>il dengan nama Lajnah Bahtsul Masail. Namun rekomendasi

tersebut kurang efektif sehingga ide itu hilang bagaikan ditelan angin65.

Keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masa’il baik dalam melalui

Muktamar ataupun Kongres, Konferensi Besar, Rapat Dewan Partai

maupun Musyawarah Nasional dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)

yaitu:

1. Keputusan Non Fiqih

Yang dimaksud dengan keputusan non fiqih adalah keputusan

yang tidak ada kaitannya dengan masalah hukum praktis

(‘amaliyyah).

2. Keputusan Hukum Fiqih

Sedangkan keputusan hukum fiqih adalah yang berkaitan

dengan hukum-hukum praktis (‘amaliyyah). Dalam hal ini yang

dimaksud dengan hukum fiqih adalah hukum agama yang digali dan

ditemukan melalui penalaran dan argumentasi para mujtahid, baik

65
Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, Antologi NU: Sejarah-Istilah-AmaliahUswah, cet.
ke-2, (Surabaya: Khalista bekerja sama dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN NU) Jawa Timur,
2014), II: 71.

53
mujtahid mutlak, secara individual maupun secara kolektif, melalui

masalah yang bersifat praktis dan bersifat cabang yang didasarkan

dengan dalil-dalil yang terperinci.

Selain itu bahth al - masa>il Nahdlatul Ulama adalah forum yang

sangat dinamis, demokratis dan memiliki wawasan yang luas. Forum ini

dikatakan dinamis karena persoalan (masa>il) yang dibahas adalah hal yang

sedang berkembang atau tren dan menyesuaikan hukumya dengan keadaan

masyarakat dewasa ini. Dikatakan demokratis karena dalam forum ini tidak

membedakan antara kiai dan santri baik yang sudah tua maupun masih muda.

Siapapun yang memiliki pendapat paling kuat maka itulah yang diambil. Dan

dikatakan memiliki wawasan yang luas karena pembahasan masalah dalam

forum ini tidak memiliki pembatasan mazhab serta selalu sepakat dalam

khilafiah.66

Tugas dari Lajnah Bahtsul Masail adalah menghimpun, membahas,

dan memecahkan masalah-masalah berdasarkan kepastiah hukum.

Oleh sebab itu lembaga ini termasuk bagian terpenting dalam

organisasi NU, sebagai forum diskusi alim ulama (syuriah) dalam menetapkan

hukum suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi

66
MA. Sahal Mahfudh, “Bahth a l - Masa>il dan Istinba>th Hukum NU: Sebuah Catatan
Pendek”, dalam M. Imdadun Rahmat (ED.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bahtsul
Masail, cet. ke-1 (Jakarta: Lakpesdam, 2002), xii.

54
sebagai bimbingan warga NU dalam mengamalkan agama sesuai dengan

paham Ahlusunnah wal Jama’ah.

b. Masail Diniyah

1. Masail Diniyah Waqi<’iyyah

Masail Diniyah Waqi<’iyyah adalah suatu peristiwa kekinian

yang menyangkut hukum suatu peristiwa, seperti: bagaimana hukum

orang Islam meresmikan gereja?

2. Masa’il Diniyah Maud{u<’iyah

Yang dimasud dengan Masail Diniyah Maud{u<’iyah adalah

sebuah permasalahan yang menyangkut dengan pemikiran, contoh

Fikrah Nahdliyah, Globalisasi, dll.

3. Masail Diniyah Qanu<niyyah

Sedangkan yang dimaksud dengan Masail Diniyah

Qanu<niyyah adalah sebuah penyikapan terhadap rencana UU yang

diajukan pemerintah atau UU peralihan yang baru disahkan. Komisi

ini bertugas mengkaji RUU dan UU baru dari sisi agama, untuk

diajukan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan koreksi.

c. Contoh Bahtsul Masail

Menikah Melalui Media Internet atau Telekomunikasi67

67
PW NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat Jilid 1: 1979 - 2009, (Surabaya:
PWNU Jawa Timur, 2015), 446.

55
Jefri dan Reni adalah sepasang kekasih yang sama-sama bekerja di

Jepang. Setelah mengenal lebih jauh, mereka akhirnya memutuskan untuk

menikah. Namun, karena terkendala oleh kontrak kerja mereka tidak bisa

pulang ke Indonesia. Akhirnya keduanya memanfaatkan 3G untuk akad

nikah dengan kedua orang tuanya yang berada di Indonesia. Prakteknya

bahwasannya kedua mempelai masih berada di Jepang sedangkan wali

dan saksinya menyaksikan dan mendengarkan keduanya akad melalui

media Internet dan handpone 3G dari Indonesia. Apakah sah pernikahan

jefri dan reni tersebut? jawabnnya tidak sah, karena belum memenuhi

persyaratan yang ada, dan kemungkinan dalam internet terdapat gharar

(tipuan) sangat besar. Solusinya adalah suami mewakilkan qabul

nikahnya kepada orang yang bisa hadir di tempat akad.

Dasar hukum yang digunakan adalah:

a) Kifayah al-Akhyar, 482-483 [Dar al-Manhaj]

b) Al-Iqna’ dan Hasyiyah al-Bujairami ’ala al-Khatib, IV/122 [Dar

al-Kutub al-‘Ilmiyah]

c) Al-Iqna’dan Hasyiyah al-Bujairani ‘ala al-Khatib, IV/134-135

[Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah]

d) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, XVI/198.

C. Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Dalam penetapan sebuah hukum, ada 3 prosedur baku yang digunakan

dalam Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama. yaitu qauli<, ilha<qi, dan

56
manhaji<. Hal ini karena Nahdlatul Ulama sangat berhati-hati dalam

memahami Islam dan terkesan menghindari rujukan langsung kepada nas al

Quran dan Sunah untuk memecahkan suatu permasalahan keagamaan yang

dihadapi. Jadi hal yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama adalah menelusuri

mata rantai yang baik dan sah pada setiap generasi. 68 Dibawah ini adalah

penjelasan secara singkat tentang metode ijtihad yang digunakan oleh

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama:

a. Metode Qauli< atau Waqi<’iyyah

Metode ini disebut juga dengan taqri<r jama<’i, yaitu sebuah

pendapat yang menggunakan cara merujuk kepada kutub mu’tabarah dari

para imam madzhab. Dengan cara ini permasalahan yang dicarikan

jawaban dengan mengutip sumber fatwa dari kitab-kitab yang menjadi

rujukan. Cara taqri<r yang demikian hanya menetapkan saja apa yang

sudah ada. Hal ini dilatar belakangi oleh suatu pandangan yang diyakini

bahwasannya apa yang diputuskan oleh ulama qau<l al-faqi<h dipandang

selalu memiliki relevansi dengan konteks kehidupan masa kini.

Konsep ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa di hampir seluruh

keputusan yang dihasilkan oleh lajnah, pasti mencantumkan pendapat

seorang imam madzhab. Ahmad Zahro mencatat bahwa dari seluruh

68
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU…,115-116.

57
Keputusan Bahtsul Masail mulai dari 1926 hingga 1999, tercatat hanya 4

kali lajnah mencantumkan dalil dari Al-Qur’an secara langsung69.

b. Metode Ilh{a<qi atau Qanu<niyyah

Cara yang kedua ini adalah ilh{a<q al-masa<’il bi naz{ariha<.

Dalam istilah ini digunakan untuk menggantikan istilah qiyas yang

dipandang tidak patut untuk dilakukan. Pada ilh{a<q yang diperlukan

adalah menyamakan persoalan fikih yang belum ditemukan jawabannya

dalam suatu kitab secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada

jawabannya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar).

Meskipun demikian cara ilh{a<qi< memperlihatkan arah lebih maju,

akan tetapi secara substansinya tetap menghadapi persoalan yang sama

dengan cara yang pertama. Namun demikian secara resmi metode

ilh{a<qi< dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang menyatakan

bahwa untuk menyelesaikan suatu persoalan tidak ada qaul/wajh sama

sekali, maka dilakukan dengan menggunakan metode ilh{a<q al-

masa<’il bi naz{ariha< secara kolektif oleh para ahlinya.

c. Metode Manhaji< atau Maud{u<’iyyah

Dalam prosesnya metode istinbath atau manhaji< ini tidak dapat

dirujukkan kepada teks suatu kitab mu’tabar, juga tidak dapat

diilh{a<qkan kepada suatu hukum yang masalahnya mirip dan

69
Mulyono Jamal dan Muhammad Abdul Aziz, Metodologi Muhammadiyah dan NU (Kajian
Perbandingan Majlis Tarjih Dan Lajnah Bahtsul Masail), Vol 7 nomor 2, 192.

58
mendapatkan rujukan dari kitab mu’tabar maka digunakanlah metode

istinbath atau manhaji< dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al

Quran, setelah tidak ditemukan jawaban hukum dalam al-Qur’an lalu

penetapan hukum akan merujuk pada al hadits dan begitu seterusnya yang

akhirnya sampailah kepada jawaban dari kaidah fikih daf’al mafa<sid

muqaddam ‘ala< jalb al-masa<lih yang artinya menghindari kerusakan

lebih didahulukan daripada upayah memperoleh kemaslahatan.70

Meskipun pada awalnya mendapatkan tentangan terhadap penggunaan

metode ini, berkat usaha yang dilakukan seperti Halaqah Denanyar dan

diskusi yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Pesantren dan

Masyarakat akhirnya metode ini disetujui dan ditetapkan sebagai metode

istinbat hukum pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar

Lampung tahun 199271.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya dalam melakukan

istinbath Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama telah melakukan

pendekatan madzhab yang mana semua rujukan dalil dinisbatkan kepada

qau<l ulama madzhab yang dinilai lebih memiliki kompetensi dalam

melakukan ijtihad hukum. Pendekatan ini juga menjadikan sebuah

tuntutan bagi warga Nahdliyin agar senantiasa menggunakan madzhab

empat yang dianggap masih relevan hingga sekarang ini meskipun diluar

70
Ahmad Musadad, Muqaranah Madzahib…, 292
71
Mulyono Jamal & Muhammad Abdul Aziz,” Metodologi Istinbath Muhammadiyah Dan
NU...”, 195.

59
boleh menggunakan madzhab yang lainnya yang sudah termodifikasi agar

dapat dipastikan sanad keilmuan dan kualitas hukum yang dikeluarkan.

Namun pada operasionalnya pada masa ini, Lembaga Bahtsul Masail

lebih banyak menggunakan kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam

madzhab Syafi’i.

D. Pendapat Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur Tentang

Mura<bah}ah ala BMT.72

Pada saat pertemuan rutinan yang dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail

dalam memecahkan persoalan yang dialami oleh masyarakat, di PP Ar-Rasyid

Dander Bojonegoro yang bertepatan pada tanggal 31 Maret – 01 April tahun

2011, waktu itu terdapat persoalan mengenai praktik mura<baha}ah yang ada

di BMT. Bahwasanya praktik yang dilakukan oleh BMT waktu itu tidak

sesuai dengan yang seharusnya dilakukan atau tidak sesuai dengan teori.

Karena dalam praktik tersebut terdapat persyaratan yang belum terpenuhi

yaitu tidak terdapatnya wakil dalam melakukan transaksi tersebut dan barang

yang dibeli nasabah belum menjadi milik muwakil, sebagaimana contoh

praktik yang dilontarkan oleh masyarakat bahwa terdapat seorang pedagang

kain (nasabah) mengajukan pembiayaan modal sebesar Rp. 1.000.000,- utuk

membeli kain, maka pihak BMT memberikan uang Rp. 1.000.000,- kepada si

pedagang. Uang ini bukan sebagai pinjaman, akan tetapi uang tersebut

72
PW NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat Keputusan Bahtsul Masail PWNU
Jawa Timur Jilid 2, (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015), 250.

60
digunakan untuk dibelikan kain atas nama BMT dan sekaligus menjual

kepadanya dengan harga Rp. 1.150.000,-. Selanjutnya uang Rp. 1.150.000,-

inilah yang akan diangasur oleh pedagang kepada BMT.

Dari persoalan tersebut maka muncullah 2 pertanyaan masyarat kepada

Lembaga Bahtsul Masail untuk dicarikan solusi atas persoalan tersebut,

pertanyaannya adalah apakah transaksi mu’a<malah yang dilakukan BMT

dengan pedagang kain tersebut dapat dibenarkan? dan Jika tidak,

bagaimanakah yang seharusnya dilakukan oleh BMT?. Pertanyaan itupun

kemudian dijawab oleh Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatu Ulama bahwa

praktik yang dilaksanakn di BMT dengan menggunaan sistem seperti itu tidak

dibenarkan, karena terdapat syarat-syarat yang tidak dipenuhi dalam akad

mura<bah{ah, yaitu menjual barang yang belum menjadi milik muwakkil

(BMT) dan yang seharusnya dilakukan oleh BMT adalah ketika terdapat

nasabah yang membeli barang atas nama BMT harus terlebih dahulu

diserahkan kepada BMT, lalu melakukan transaksi mura<bah{ah.

Pendapat ini didasarkan pada rujukan kitab I’anah ath-Thalibin, III/12

yang menerangkan demikian:

ِ ‫ا مَل ي‬QQَ‫ وِإمَّن‬,‫ والَ ولِيَّا‬, ‫ والَ وكِياًل‬,‫ا‬Q‫ك‬Qً ِ‫و من لَيس مال‬QQ‫ويِل ُّ ه‬Q‫ض‬
‫ َّح‬Q‫ص‬ ِ
َْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ْ َ َ ُ ْ ُ ُ‫ع ف‬Qُ Q‫ ُّح َبْي‬Q‫ فَاَل يَس‬: ُ‫ه‬QQُ‫َق ْول‬
ِ ِ
.‫ك اه‬ ُ ‫ الََبْي َع ِإالَّ فْي َما مَيْل‬: ُ‫َبْيعُه‬

(Ungkapan Zainuddin al-Malibari:“Maka tidak sah penjualan fudluli’),


yaitu orang yang tidak memiliki, bukan wakil, dan bukan wali maka tidak

61
‫‪sah penjualannya; karena hadits: “Tidak ada penjualan kecuali dalam‬‬
‫‪barang yang dimiliki”.‬‬

‫‪Dari rujukan di atas dapat disimpulkan bahwa penjualan apapun apabila‬‬

‫‪tidak dimiliki oleh penjual maka itu tidak sah, karena sudah dijelaskan juga‬‬

‫‪dalam sebuah hadits tidak sah penjualan itu kecuali dalam barang yang‬‬

‫‪dimiliki nya.‬‬

‫‪Dan merujuk pada kitab Al-Iqna’ fi Hall Alfadz Abi Syuja’, I/468 yang‬‬

‫‪menjelaskan demikian:‬‬

‫اه ٍ‪Q‬ة َو ُه‪Qَ Q‬و َع ْ‪Q‬ق ٌد َبيْىَن الث ََّم َن فِْي‪Qِ Q‬ه َعلَى‬ ‫الْ ِق ْس ُم الثَّايِن ‪ :‬الْ ُمَراحَبَةُ َبْي َع الْ ُمَراحَبَ ِة َ‪Q‬ج‪Q‬أِئٌز ِم ْن َغرْيِ َكَر َ‪Q‬‬
‫ِ ِ‬ ‫مَثَ ِن الْمبِي‪ِ Q‬ع ااْل ََّو ِل م‪QQ‬ع ِزي ‪ٍ Q‬‬
‫مِب‬
‫‪Q‬ك َ‪Q‬ه َذا َ‪QQ‬ا ا ْش‪َQ‬تَر ْيتُهُ‬ ‫ي َش‪ْQ‬يَئا مِبِاَئٍة مُثَّ َي ُق‪Qْ Q‬و ُل لغَرْيِ ه بِ ْعتُ‪َ Q‬‬ ‫ِ‬
‫‪Q‬أدة بَِأ ْن يَ ْس‪Q‬رَت َ‬
‫ََ ََ‬ ‫َْ‬
‫ض‪َّ Q Q‬م اِىَل‬
‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ Q‬ر ٍة َوجَيُ ‪Qْ Q‬و ُز َأ ْن يَ ُ‬ ‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ Q‬ر ٍة َْأو يِف ُك‪ِّ Q‬‬
‫ِ‬
‫َو ِربْ ًح ِد ْر َه ٍم ِزيَ ‪Qَ Q‬اد ٍة اَْو بِ ِربْ ٍح ِد ْر َه ٍم ل ُك‪ِّ Q‬‬
‫‪Q‬ال َش ‪ْQ‬يَئا مُثَّ يَبِْيعُ‪QQ‬هُ ُمَراحَبَ ‪Q‬ةً ِمثْ‪Qُ Q‬ل اَ ْن يَ ُك‪Qْ Q‬و َل ا ْش ‪َQ‬تَرتُهُ مِبِاَئٍة َوقَ ‪ْ Q‬د بِ ْعتُ َك‪QQ‬هُ مِبِاَئَتنْي ِ َو َربْ ُح‬‫رْأ ِس الْم‪ِ Q‬‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ت مِبِاَئ َمنْي ِ َو ِع ْش‪ِ Q‬ريْ َن َو َك َم‪Q‬ا جَيُ ْ‪Q‬و ُز الَْبْي ُ‪Q‬ع ُمَراحَبَ‪Q‬ةً جَيُ ْو ُزحُمَاطَ‪Q‬ةٌ ِمثْ‪Qُ Q‬ل‬ ‫ِد ْر َه ٍم ِزيَ َادةٌ َو َكَأنَّهُ قَ‪َ Q‬‬
‫‪Q‬ال بِ ْع ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َأ ْن ي ُقو َل بِعت مِب َا ا ْشتريت بِِه وح‪ِ َّ Q‬‬
‫َأح ُ‪Q‬دمُهَا‬‫‪Q‬ط د ْر َه ٌم ِزيَ‪Qَ Q‬اد ًة َوىِف الْ َق‪ْ Q‬د ِر الْ ُم ْحطُ‪QْQ‬وط َو ْج َ‪Q‬ه‪Q‬ان َ‬ ‫ََ ْ ٌ َ ُ‬ ‫َْ ْ ُ‬
‫‪Q‬ط ِم ِن‬ ‫ٍ‬
‫ص‪ُّ Q‬ح ُه َمأ حَيُ‪ُّ Q‬‬ ‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ‬ر ِة َوا ِح د َوَأ َ‬ ‫‪Q‬ل َع ْش ‪َQ‬ر ِة َوا ِح ٌد َك َ‪Q‬م‪Q‬ا ِزيْ‪Qَ Q‬د يِف الْ ُمَراحَبَ‪Qِ Q‬ة َعلَى ُك‪ِّ Q‬‬ ‫ِم ِن ُك‪ِّ Q‬‬
‫‪Q‬ط َولَْيس يِف‬ ‫َأح ِ‪Q‬د َع ْش‪Q‬ر فَ َك‪َ Q‬ذا احْلُ‪ُّ Q‬‬ ‫َأِلن ال‪Qَّ Q‬ربْ َح يِف الْ َمَراحَبَ‪Qِ Q‬ة ُ‪Q‬ج ْ‪Q‬زءٌ ِم ْن َ‪Q‬‬
‫َأح َ‪Q‬د َع ْش‪َQ‬ر َوا ِح ٌد َّ‬ ‫‪Q‬ل َ‪Q‬‬‫ُ‪Q‬ك ِّ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫اح ٌد ِم ْن َع ْشَر ِة ِر َعايَةً لِلنِّ ْس‪Q‬بَ ِة فَ‪ِQ‬إ َذا َك‪Q‬ا َن قَ ِ‪Q‬د ا ْش‪َQ‬تَرى مِبِاَئٍة فَ‪Q‬الث ََّم ُن َعلَى الْ َو ْج ِ‪Q‬ه َّ‬
‫اَأْلو ِل‬ ‫طوِ‬
‫ُح ٍّ َ‬
‫َأح َ‪Q‬د َع َش‪َQ‬ر َ‪Q‬ج ْ‪Q‬زءًا ِم ْن ِد ْر َه ٍم َولَ‪ِ Q‬و ا ْش‪َQ‬تَرى‬ ‫َأج َ‪Q‬ز ٍاء ِم ْن َ‪Q‬‬‫تِ ْس‪Q‬عُ ْو َن َو َعلَى الثَّايِن تِ ْس‪Q‬عُ ْو َن َو َع ْش‪َQ‬رةُ ْ‪Q‬‬
‫اَأْلو ِل تِ ْس‪َ Q‬عةٌ َوتِ ْس‪Q‬عُ ْو َن َو َعلَى الثَّايِن ِماَئةٌ َوطَ‪QَQ‬ر َد َكثِْ‪Q‬ي ٌ‪Q‬ر ِم َن‬ ‫مِبِاَئٍة َو َع ْشَر َة فَ‪Q‬الث ََّم ُن َعلَى الْ َو ْ‪Q‬ج ِ‪Q‬ه َّ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫‪Q‬ال‬
‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ‬ر َة قَ َ‬ ‫‪Q‬ط ِد ْر َه ٍم ِم ْن ُك ِّ‬ ‫ت حِب َ ٍّ‬ ‫ت َ‪Q‬ا ل ْش‪َQ‬تَريْ ُ‬
‫‪Q‬ال بِع مِب‬
‫الْعَراقِّينْي َ َو َغرْيِ ه ُم الْ َو ْج َهنِي ِ فَ َم ْن قَ َ ْ ُ‬
‫ٍ‬ ‫ط فَِإ َّن يِف ه ِذ ِه ِّ ِ‬
‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ‬ر ٍة فَاَل َو ْ‪Q‬ج‪Q‬هَ‬ ‫‪Q‬ط َوا ِح د ِم ْن ُك‪ِّ Q‬‬ ‫ص‪ِ Q‬رحْيًا حِب َ‪ٍّ Q‬‬
‫الصْيغَة تَ ْ‬ ‫َْ‬ ‫ِإ َم ُام احْلََر َمنْي ِ َه َذا َغلَ ٌ‬
‫‪Q‬ط ِد ْر َه ٍم‬ ‫‪Q‬ال حِب َ ٍّ‬ ‫ي َو َغْ‪Q‬ي ُ‪Q‬رهُ َأنَّهُ ِإذَا قَ َ‬ ‫‪Q‬او ْر ِد ُّ‬ ‫ِ‬ ‫َّ ِ‬ ‫ِ ِ ِ ِِ‬
‫ل ْلخالَف فْيه َو َه َذا الذ ْي قَالَهُ اِإْل َمام َبنِّي ٌ َوذَ َكَر الْ َ‪Q‬م َ‬

‫‪62‬‬
ِ
ِّ Q ‫ك‬Qُ ‫ط ِد ْر َه ٍم ل‬Q
‫َر ٍة‬Q Q ‫ل َع ْش‬Q ِّ Q Qَ ‫ال حِب‬Q ِّ Q‫ك‬Qَ ‫الْ َم ْحطُْو ُط ِد ْر َه ٌم ِم ْن‬QQ Qَ‫َر ٍة ف‬Q Q ‫ل َع ْش‬Q
َ Q Qَ‫َر ٍة َوِإ ْن ق‬Q Q ‫ل َع ْش‬Q ِّ Q ‫ك‬Qُ ‫ِم ْن‬
‫َأح َد َع َشَر اه‬ ِ ِ
َ ‫فَالْ َم ْحطُْو ُط َواح ٌد م ْن‬

Bagian kedua: Mura<bah{ah; penjualan secara mura<bah{ah itu


diperbolehkan tanpa makruh. Yaitu akad yang menetapkan tsaman pada
tsaman barang dagangan yang pertama serta ada tambahan gambarannya
seseorang membeli berharga seratus, kemudian ia berkata pada orang
lain:”Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga aku
membelinya,”dan keuntungan dirham itu sebagai tambahan atau dengan
keuntungan dirham bagi setiap atau sepuluh atau disetiap sepuluh. Boleh
mengumpulkan sesuai pada modal kemudian menjualnya secara
mura<bah{ah, seperti seseorang berkata: “Saya membelinya seharga
seratus dan sungguh aku menjualnya padamu seharga dua ratus dua
puluh”. Sebagaimana boleh menjual secara mura<bah{ah, boleh pula
muhatthah; seperti seorang berkata: “Saya menjual saya membelinya”,
dan dirham itu didepositkan sebagai tambahan. Terkait kadar depositi
terdapat dua wajah; pertama: setiap sepuluh ada satu deposit, seperti
ditambahkan dalam mura<bahah, bahwa setiap sepuluh ada satu.menurut
qaul ashah deposit setiap sebelas adalah satu karena keuntungan dalam
mura<bah{ah itu bagian dari sebelas; begitu juga deposito. Dalam
deposit, satu tidak dari sepuluh, karena menjaga penisbatan. Apabila
sesorang sungguh membeli serangga seratus maka tsaman pada wajah
pertama adalh sembilan puluh, dan pada wajah kedua sembilan puluh dan
sepuluh bagian dari sebelas bagian dirham. Jika seseorang membeli
seharga seratus sepuluh, maka tsaman pada wajah pertama adalah
sembilan puluh Sembilan dan pada wajah kedua dalah seratus. Ulama
irak dan selainnya sering memberlakukan dua wajah, maka orang yang
berkata: “Saya menjual seharga saya membeli dengan deposit dirham
dari setiap sepuluh”. Imam Haramain berkata:”Ini merupaka
kesalahan”;karena sungguh dalam shighat ini ada penjelasan deposit
satu dari setiap sepuluh. Sehingga tidak ada wajah karena terdapat khilaf.
Ini adalah pendapat yang diungkapkan oleh al-Imam secara jelas. Al-
Mawardi dan ulama lain menyebutkan: “Sungguh apabila seorang
berkata dengan deposit dirham dari setiap sepuluh, maka yang
didepositkan adalah dirham dari setiap sepuluh dan jika seseorang
berkata dengan deposit dirham untuk setiap sepuluh maka yang
didepositkan adalah satu dari sebelas”.

63
Dalam konteks akad mura<bah}ah terdapat kesepakatan yang

dilakukan oleh penjual bahwa dia membeli barang sesuai dengan harga

yang dia beli, kemudian menjual barang tersebut dengan mengambil

keuntungan. Proses pembayaran yang dilakukan oleh pembeli kepada

penjual sesuai dengan kesepakatan.

Dan juga merujuk dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, V/

3767 yang menerangkan:

ِ Q Q‫و َن رْأس الْم‬QQ Q‫بِالربِ ِح َِأن ي ُك‬


‫ال‬Q َ َ َ ْ َ َّ ‫اَأْلو ُل ْلبعِْل ٍم بِالث ََّم ِن الثَّايِن ْ الْعِْل ُم‬َّ ‫ة‬Qِ Q Q َ‫ ِع الْ ُمَراحَب‬Q Q ‫ُر ْو ُط َبْي‬Q Q ‫ُش‬
‫بَ ِة لِلث ََّم ِن‬Q ‫ا بِالنِّ ْس‬QQَ‫الرب‬
ِّ ‫و ِد‬Qْ Q‫ا َو ُو ُج‬QQَ‫الرب‬
ِّ ‫و ِال‬Qَ ‫َأم‬Qْ ْ ‫ة يٍف‬Qِ Qَ‫َّب َعلَى الْ ُمَراحَب‬
َ ‫رت‬Qَ Q‫ابِع َأ ْن الَ َيَت‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫ات‬Q ِ Q‫الْمَثلّي‬
َ ُ
َّ ‫ة‬Qِ َ‫ع الْ ُمَراحَب‬Qُ Q‫ز َبْي‬Qْ ً‫ ًدا مَلْ جَي‬Q‫ا َن فَا ِس‬Q‫ِإ ْن َك‬Qَ‫ ِحْي ًحا ف‬Q‫ص‬
‫َأِلن‬ َّ ‫د‬Qُ ‫ق‬Qْ ‫و َن الْ َع‬Qْ Q‫س َأ ْن يَ ُك‬
َ ‫اَأْلو ُل‬
ِ ِ َّ
ُ ‫اَأْلول اخْلَام‬
‫ك فِْي ِه بِِقْي َم ِة الْ َمبِْيعِ َْأو‬َ ‫ت الْ ِم ْل‬ ِ ِ
ُ ِ‫اَأْلول َم َع ِزيَ َادة َربْ ِح َوالَْبْي ُع الْ َفاس ُد يُثْب‬
ِ َّ ‫الْمراحَب ةَ بيع بِالثَّم ِن‬
َ ُ َْ َ َ ُ
.‫َّس ِميَ ِة اه‬ِ ‫مِبِثْلِ ِه الً بِلثَّم ِن لَِفس ِاد الت‬
َ َ

Syarat-syarat penjualan Mura<bahah; Pertama: mengetahui tsaman.


Kedua: mengetahui bahwa keuntungan adalah modal yang dijumlah
maksismum. Keempat: pada Mura<bahah, tidak berkonsekuensi harta-
harta riba dan wujud riba dengan penisbatan pada tsaman pertama.
Kelima: akad pertama itu sah, maka jika akad itu rusak maka tidak boleh
menjual secara mura<bahah; karena mura<bahah adalah penjualan
dengan tsaman pertama serta tambahn keuntungan. Sedangkan penjualan
yang rusak tersebut menetapkan kepemilikan dengan qimah barang
dagangan atau sesamanya; tidak dengan tsaman, karena rusaknya
penamaan.

64
BAB IV

ANALISIS TERHADAP HASIL KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL PW NU

JAWA TIMUR TENTANG MURA<BAH{AH ALA BMT

A. Analisis Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur

Dalam Memutuskan Hukum Mura<bah{ah Ala BMT.

Metode istinbath hukum dalam hal ini adalah cara yang digunakan ulama NU

untuk menggali dan menetapkan keputusan hukum dalam bahtsul masail. Dalam

bab III sudah dijelaskan bahwa metode penetapan hukum NU dilakukan dengan

cara mentatbiqkan (mencocokkan) secara dinamis nash-nash yang dielaborasi

fuqoha kepada persoalan yang dicari hukumnya. Berdasarkan hasil temuan yang

dipaparkan pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang sejarah dari bahtsul

masa’il yang merupakan salah satu forum diskusi keagamaan dalam organisasi

Nahdlatul Ulama (NU) untuk merespon dan memberikan sebuah solusi terhadap

problematika aktual yang terjadi pada masyarakat.

Terhadap berbagai problematika ditengah-tengah masyarakat Al-Qur’an tidak

banyak memberikan suatu solusi yang rinci. Aturan dan juga hukum yang

terkandung dalam al-Qur’an dirasa masih global. Sehingga para fuqaha masih

merasa perlu untuk melakukan perincian dari hal-hal yang masih global tersebut

ke dalam bentuk ra’yu atau ijtihad mereka, dengan harapan hukum-hukum

tersebut dapat lebih mudah untuk dimengerti dan diterapkan dalam kehidupan

sehari-sehari.

65
Namun demikian, sebagai masyarakat ilmiah tentu tidak mudah untuk

menerima begitu saja sebuah pendapat yang dilontarkan secara dogmatis, tetapi

perlu menganalisis pendapat yang sudah ada atau fatwa-fatwa yang sudah

diputuskan dalam sebuah forum lembaga pembuatan fatwa sebagaimana hasil

keputusan bahtsul masail PWNU jawa timur tetang mura<bah{ah ala BMT yang

dilaksanakan di PP Ar-Rasyid Dander Bojonegoro tanggal 31 Maret – 01 April

2011 yang pada waktu itu sebagai rapat rutinan bahtsul masa’il.

Adapun mekanisme pemecahan masalah yang ditempuh oleh lembaga bahtsul

masa’il sebagian besar adalah langsung merujuk pada kitab-kitab mu’tabarah dari

kalangan empat madzhab, terutama Imam Syafi’i. Hal ini berbeda dengan kaum

pembaharu yang lebih banyak merujuk langsung kepada al-Qur’an dan sunnah.

Kaum pembaharu dalam memperoleh hasil dengan penggunaan nalar rasional,

sedangkan ulama terdahulu masih dimungkinkan cenderung kepada penerapan

harfiyah (secara tekstual) hukum-hukum fiqih yang telah ditetapkan ulama besar

pada masa lalu. Rifyal Ka’bah menjelaskan bahwa hal ini karena Nahdlatul

Ulama gigih dalam mempertahankan tradisionalisme Islam dan memberikan

perhatian lebih kepada warisan pengkajian Islam yang berupa peninggalan

pemikiran salaf73.

Metode penetapan hukum dikalangan NU dapat dipahami bahwa prosedur

penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagaimana berikut:

73
Ahmad Muhtadi Anshor, Bath al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika Pemikiran
Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012), 80-82.

66
a. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarah kitab dan di sana

terdapat hanya satu qau<l/wajh, maka dipakailah qau<l/wajh sebagaimana

diterangkan dalam ibarah kitab.

b. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana

terdapat lebih dari satu qau<l/wajh maka dilakukan taqri<r jama’i untuk

mengusahakan kompromi pendapat (al-jam’u) jika mengkompromikan

pendapat itu tidak bisa dilaksanakan maka mengambil satu qau<l/wajh yang

wujuh.

c. Dalam kasus dimana tidak ada satu qau<l/wajh sama sekali yang

memberikan penyelesaian maka dilakukan prosedur ilha<q al-masa<’il

binadza<riha secara jama’i yaitu mengaitkan masalah baru yang belum ada

ketentuan hukumnya dengan masalah yang lama yang mirip dan telah ada

ketetapan hukumnya, walaupun ketetapan hukumnya itu hanya bersarkan

teks suatu kitab yang dianggap mu’tabar.

d. Dalam kasus tidak ada satu qau<l/wajh sama sekali dan tidak dimungkinkan

dilakukan ilha<q maka bisa dilakukan penetapan hukum jama’i dengan

prosedur bermadzab secara manhaji< yang ditempuh oleh madzab empat

(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)74.

Keempat prosedur itulah yang menjadi faktor bagaimana NU tidak bisa

terpisahkan dengan kitab-kitab kuning. Kitab madzhab menjadi urutan teratas

74
Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).
31-32.

67
sebagai referensi dalam penentuan suatu hukum. NU juga memandang bahwa

madzhab Syafi’i lebih diunggulkan dari pada madzhab lainnya. Kefanatikan NU

kepada salah satu madzhab inilah sebagai bentuk adaptasi terhahadap masyarakat

muslim di Indonesia yang mayoritasnya adalah bermadzhab kepada Imam Syafi’i

dan menjadi kebiasaan bagi masyarakat.

Dalam bab II dijelaskan tentang teori mura<bah{ah bahwasannya praktek

dalam melakukan akad mura<bah{ah adalah jual beli barang dengan

menyebutkan harga perolehan dan juga margin yang telah disepakati oleh kedua

belah pihak, dan akad tersebut akan sah jika didalamnya terdapat penjual,

pembeli, barang yang akan diperjual belikan, dan shighat (ijab dan qobul) nya,

memenuhi syarat-syaratnya, serta dilakukan dengan menggunakan satu akad.

Sedangkan permasalahan yang terjadi di masyarakat pada tahun 2011 tersebut

prakteknya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam teori, hal tersebut ternyata

membuat resah masyarakat sehingga perlu adanya sebuah keputusan yang

menaggapi tentang permasalahan tersebut.

Sebagaimana dalam keputusan bahtsul masa’il yang dilakukan di PP Ar-

Rasyid Dander Bojonegoro pada tanggal 31 Maret – 01 April 2011 menyatakan

bahwa hukum mura<bah{ah ala BMT pada tahun 2011 itu tidak di benarkan

artinya dalam keputusan tersebut praktek mura<bah{ah yang dilakukan di BMT

tidak diperbolehkan karena terdapat beberapa persyaratan yang belum terpenuhi

68
‫‪dalam akad mura<bah{ah, yaitu menjual barang yang belum menjadi milik‬‬

‫‪muwakkil (BMT). Pendapat ini didasarkan pada:75‬‬

‫‪a. I’anah ath-Thalibin, III/12:‬‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َقولُه ‪ :‬فَاَل ي ِس ُّح بيع فُضويِل ُّ هو من لَي ِ‬


‫س َمال ًكا‪َ ,‬والَ َوكْياًل ‪َ ,‬والَ َوليَّا‪َ ,‬وِإمَّنَا مَلْ يَص َّح َبْيعُ‪QQ‬هُ‬
‫َ َْ ُ ُ ْ ُ َ َ ْ ْ َ‬ ‫ُْ‬
‫ِ ِ‬
‫ك اه‪.‬‬‫‪ :‬الََبْي َع ِإالَّ فْي َما مَيْل ُ‬
‫‪(Ungkapan Zainuddin al-Malibari: “Maka tidak sah penjualan fudluli’),‬‬
‫‪yaitu orang yang tidak memiliki, bukan wakil, dan bukan wali akan tetapi‬‬
‫‪tidak sah penjualannya; karena hadits: “Tidak ada penjualan kecuali dalam‬‬
‫‪barang yang dimiliki”.‬‬

‫‪b. Al-Iqna’ fi Hall Alfadz Abi Syuja’, I/468:‬‬

‫اه ٍ‪Q‬ة َو ُه‪Qَ Q‬و َع ْ‪Q‬ق ٌد َبيْىَن الث ََّم َن فِْي‪Qِ Q‬ه َعلَى مَثَ ِن‬ ‫الْ ِق ْس ُم الثَّايِن ‪ :‬الْ ُمَراحَبَةُ َبْي َع الْ ُمَراحَبَ ِة َ‪Q‬ج‪Q‬أِئٌز ِم ْن َغرْيِ َكَر َ‪Q‬‬
‫ِ ِ‬ ‫الْمبِي ‪ِ Q‬ع ااْل ََّو ِل م‪QQ‬ع ِزي ‪ٍ Q‬‬
‫‪Q‬ك َه‪َ Q‬ذا مِب َ‪QQ‬ا ا ْش ‪َQ‬تَر ْيتُهُ َو ِربْ ًح‬ ‫ي َش ‪ْQ‬يَئا مِبِاَئٍة مُثَّ َي ُق‪Qْ Q‬و ُل لغَرْيِ ه بِ ْعتُ‪َ Q‬‬ ‫ِ‬
‫‪Q‬أدة بَِأ ْن يَ ْس ‪Q‬رَت َ‬ ‫ََ ََ‬ ‫َْ‬
‫‪Q‬ال‬‫ض ‪َّ Q‬م اِىَل رْأ ِس الْ ‪Q‬م ِ‬ ‫‪Q‬ل َع ْش ‪َQ‬ر ٍة َوجَيُ‪Qْ Q‬و ُز َأ ْن يَ ُ‬ ‫‪Q‬ل َع ْش ‪َQ‬ر ٍة َْأو يِف ُك‪ِّ Q‬‬
‫ِ‬
‫ِد ْر َه ٍم ِزيَ‪Qَ Q‬اد ٍة اَْو بِ ِربْ ٍح ِد ْر َه ٍم ل ُ‪Q‬ك ِّ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ِ‬ ‫مِب‬ ‫مِبِ ٍ‬ ‫ِ‬
‫َشْيَئا مُثَّ يَبِْيعُهُ ُمَراحَبَةً مثْ ُل اَ ْن يَ ُك ْو َل ا ْشَتَرتُهُ اَئة َوقَ ْد بِ ْعتُ َ‪Q‬ك‪Q‬هُ ِاَئَتنْي ِ َو َربْ ُح د ْر َه ٍم ِزيَ‪Qَ Q‬ادةٌ َو َكَأنَّهُ‬
‫ت مِب َ ‪QQ‬ا‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪Q‬ال بِع مِب‬
‫ت ِاَئ َمنْي ِ َوع ْش‪ِ Q Q‬ريْ َن َو َك َم‪QQ‬ا جَيُ ‪Qْ Q‬و ُز الَْبْي ‪Qُ Q‬ع ُمَراحَبَ‪Q Q‬ةً جَيُ ْو ُزحُمَاطَ‪Q Q‬ةٌ مثْ ‪Qُ Q‬ل َأ ْن َي ُق ‪Qْ Q‬و َل بِ ْع ُ‬ ‫قَ ‪ُ ْ َ Q‬‬
‫ا ْشتريت بِِه وح‪ِ َّ Q‬‬
‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ‬ر ِة َوا ِح ٌد‬ ‫َأح ُ‪Q‬دمُهَا ِم ِن ُك ِّ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫‪Q‬ط د ْر َه ٌم ِزيَ َ‪Q‬ادةً َوىِف الْ َق‪ْ Q‬د ِر الْ ُم ْحطُ ْ‪Q‬وط َو ْج َه‪Q‬ان َ‬ ‫ََ ْ ٌ َ ُ‬
‫ٍ‬
‫َأح َ‪Q‬د َع ْش‪َQ‬ر َوا ِح ٌد َّ‬
‫َأِلن‬ ‫‪Q‬ل َ‪Q‬‬ ‫‪Q‬ط ِم ِن ُ‪Q‬ك ِّ‬ ‫ص‪ُّ Q‬ح ُه َمأ حَيُ‪ُّ Q‬‬‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ‬ر ِة َوا ِح د َوَأ َ‬ ‫َك َ‪Q‬م‪Q‬ا ِزيْ‪Qَ Q‬د يِف الْ ُمَراحَبَ‪Qِ Q‬ة َعلَى ُك‪ِّ Q‬‬
‫‪Q‬ط َوا ِح ٌد ِم ْن َع ْش ‪َQ‬ر ِة ِر َعايَ ‪Q‬ةً‬ ‫‪Q‬ط َولَْيس يِف ُح‪ٍّ Q‬‬ ‫َأح‪Qِ Q‬د َع ْش ‪Q‬ر فَ َك‪َ Q‬ذا احْلُ‪ُّ Q‬‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ال‪Qَّ Q‬ربْ َح يِف الْ َمَراحَبَ‪QQ‬ة ُج‪Qْ Q‬زءٌ م ْن َ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫اَأْلو ِل تِ ْس‪Q Q‬عُ ْو َن َو َعلَى الثَّايِن تِ ْس‪Q Q‬عُ ْو َن‬ ‫لِلنِّ ْس‪Q Q‬بَ ِة فَ‪ِQ Q‬إ َذا َك‪QQ‬ا َن قَ ‪Qِ Q‬د ا ْش‪َQ Q‬تَرى مِبِاَئٍة فَ ‪QQ‬الث ََّم ُن َعلَى الْ َو ْج‪Qِ Q‬ه َّ‬
‫َأح َ‪Q‬د َع َش‪َQ‬ر َ‪Q‬ج ْ‪Q‬زءًا ِم ْن ِد ْر َه ٍم َولَ‪ِ Q‬و ا ْش‪َQ‬تَرى مِبِاَئٍة َو َع ْش‪َQ‬ر َة فَ‪QQ‬الث ََّم ُن َعلَى الْ َو ْ‪Q‬ج ِ‪Q‬ه‬ ‫َأج َ‪Q‬ز ٍاء ِم ْن َ‪Q‬‬ ‫َو َع ْش‪َQ‬رةُ ْ‪Q‬‬
‫‪Q‬ال‬‫اَأْلو ِل تِ ْس َعةٌ َوتِ ْسعُ ْو َن َو َعلَى الثَّايِن ِماَئةٌ َوطََر َد َكثِْيٌر ِم َن الْعَِراقِِّينْي َ َو َغرْيِ ِه ُم الْ‪Qَ Q‬و ْج َهنِي ِ فَ َم ْن قَ َ‬ ‫َّ‬
‫ط فَ ‪ِQ‬إ َّن يِف ْ َه‪Qِ Q‬ذ ِه‬ ‫‪Q‬ام احْلَ ‪Qَ Q‬ر َمنْي ِ َ‪Q‬ه‪َ Q‬ذا َغلَ‪ٌ Q Q‬‬‫‪Q‬ال ِإ َم‪ُ Q‬‬
‫‪Q‬ل َع ْش‪َQ Q‬ر َة قَ ‪َ Q‬‬ ‫‪Q‬ط ِد ْر َه ٍم ِم ْن ُك‪ِّ Q‬‬ ‫ت حِب َ ‪ٍّ Q‬‬ ‫بِع مِب‬
‫ت َ ‪QQ‬ا ل ْش‪َQ Q‬تَريْ ُ‬ ‫ْ ُ‬
‫‪75‬‬
‫‪PW NU Jawa Timur, NU Menjawab…, 250.‬‬

‫‪69‬‬
ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍّ ‫الصيغَ ِة تَص ِرحْي ا حِب‬
ٌ ‫ام َبنِّي‬Qِ Q‫هُ اِإْل َم‬QQَ‫ط َواحد م ْن ُك ِّل َع ْشَر ٍة فَاَل َو ْجهَ ل ْلخالَف فْيه َو َه َذا الَّذ ْي قَال‬ َ ً ْ ْ ِّ
ِّ ‫ك‬Qَ ‫الْ َم ْحطُْو ُط ِد ْر َه ٌم ِم ْن‬QQَ‫َر ٍة ف‬Q‫ل َع ْش‬Q
‫ل‬Q ِّ Q‫ط ِد ْر َه ٍم ِم ْن ُك‬Q
ٍّ Qَ ‫ال حِب‬Q
َ Qَ‫رهُ َأنَّهُ ِإذَا ق‬Qُ ‫ي‬Qْ‫ي َو َغ‬ُّ ‫او ْر ِد‬Q
َ ‫م‬Qَ ْ‫ر ال‬Qَ ‫ك‬Qَ َ‫َوذ‬
ِ ِ ِ ِ ِّ ‫ع ْشر ٍة وِإ ْن قَ َال حِب‬
َ ‫ط د ْر َه ٍم ل ُك ِّل َع ْشَر ٍة فَالْ َم ْحطُْو ُط َواح ٌد م ْن‬
‫َأح َد َع َشَر اه‬ َ َ َ َ

Bagian kedua: mura<bah{ah; penjualan secara mura<bah{ah itu


diperbolehkan tanpa makruh. Yaitu akad yang menetapkan tsaman pada
tsaman barang dagangan yang pertama serta ada tambahan gambarannya
seseorang membeli berharga seratus, kemudian ia berkata pada orang
lain:”Aku menjual barang ini kepadamu dengan harga aku
membelinya,”dan keuntungan dirham itu sebagai tambahan atau dengan
keuntungan dirham bagi setiap atau sepuluh atau disetiap sepuluh. Boleh
mengumpulkan sesuai pada modal kemudian menjualnya secara
mura<bah{ah, seperti seseorang berkata: “Saya membelinya seharga
seratus dan sungguh aku menjualnya padamu seharga dua ratus dua
puluh”. Sebagaimana boleh menjual secara mura<bah{ah, boleh pula
muhatthah; seperti seorang berkata: “Saya menjual saya membelinya”, dan
dirham itu didepositkan sebagai tambahan. Terkait kadar depositi terdapat
dua wajah; pertama: setiap sepuluh ada satu deposit, seperti ditambahkan
dalam mura<bah{ah, bahwa setiap sepuluh ada satu menurut qaul as{ah
deposit setiap sebelas adalah satu karena keuntungan dalam mura<bah{ah
itu bagian dari sebelas, begitu juga deposito. Dalam deposit, satu tidak dari
sepuluh, karena menjaga penisbatan. Apabila seseorang sungguh membeli
serangga seratus maka tsaman pada wajah pertama adalah sembilan puluh,
dan pada wajah kedua sembilan puluh dan sepuluh bagian dari sebelas
bagian dirham. Jika seseorang membeli seharga seratus sepuluh, maka
tsaman pada wajah pertama adalah sembilan puluh sembilan dan pada wajah
kedua dalah seratus. Ulama irak dan selainnya sering memberlakukan dua
wajah, maka orang yang berkata: “Saya menjual seharga saya membeli
dengan deposit dirham dari stiap sepuluh”. Imam Haramain berkata:”Ini
merupaka kesalahan”;karena sungguh dalam shighat ini ada penjelasan
deposit satu dari setiap sepuluh. Sehingga tidak ada wajah karena terdapat
khilaf. Ini adalah pendapat yang diungkapkan oleh al-Imam secara jelas. Al-
Mawardi dan ulama lain menyebutkan : “Sungguh apabila seorang berkata
dengan deposit dirham dari setiap sepuluh, maka yang didepositkan adalah
dirham dari setiap sepuluh dan jika seseorang berkata dengan deposit
dirham untuk setiap sepuluh maka yang didepositkan adalah satu dari
sebelas”.

c. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, V/ 3767:

70
ِ Q‫ال الْمَثلّي‬Q ِ ِ ِ َّ ‫اَأْلو ُل لبعِْل ٍم بِالثَّم ِن الثَّايِن الْعِْلم ب‬ ِ
‫ات‬Q َ ُ ‫س الْ َم‬ َ ‫و َن َرْأ‬Qْ Q‫ِالرب ِح َأن يَ ُك‬ ُ ْ َ ْ َّ ‫ة‬Qَ‫ ِع الْ ُمَراحَب‬Q‫ُشُر ْو ُط َبْي‬
ِ ِ َّ ‫ب ِة لِلثَّم ِن‬Q‫ا بِالنِّس‬Q ‫الرب‬ ِ ِّ ‫و ِال‬Qَ ‫َأم‬Qْ ْ ‫ة يٍف‬Qِ َ‫َّب َعلَى الْ ُمَراحَب‬
‫س‬ُ ‫ام‬QQَ‫اَأْلول اخْل‬ َ َ ْ َ ِّ ‫ود‬Qْ Q‫ا َو ُو ُج‬Qَ‫الرب‬ َ ‫رت‬Qَ Q‫ِع َأ ْن الَ َيَت‬ ُ ‫الراب‬
َّ
َّ ‫ة‬Qِ Q َ‫ع الْ ُمَراحَب‬Qُ Q ‫ز َبْي‬Qْ Q ً‫ ًدا مَلْ جَي‬Q Q ‫ا َن فَا ِس‬QQ‫ِإ ْن َك‬Q Q َ‫ ِحْي ًحا ف‬Q Q‫ص‬
‫ع‬Qُ Q ‫ةَ َبْي‬Q Qَ‫َأِلن الْ ُمَراحَب‬ َّ ‫د‬Qُ Q‫ق‬Qْ ‫و َن الْ َع‬Qْ Q ‫ك‬Qُ َ‫َأ ْن ي‬
َ ‫اَأْلو ُل‬
‫لِه الً بِلث ََّم ِن‬ ِ ْ‫ة الْمبِيعَِأو مِبِث‬Qِ ‫م‬Q ‫ه بِِقي‬Qِ Q‫ك فِي‬Q ِ ِ‫ ُد يثْب‬Q ‫ع الْ َفا ِس‬QQ‫اد ِة رب ِح والْبي‬QQ ‫ع ِزي‬QQ‫اَأْلو ِل م‬
ْ ْ َ َ ْ ْ َ Q‫ت الْم ْل‬ ُ ُ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َّ ‫بِالث ََّم ِن‬
ِ ‫لَِفس ِاد الت‬
.‫َّس ِميَ ِة اه‬ َ

Syarat-syarat penjualan Mura<bah{ah; Pertama: mengetahui tsaman.


Kedua: mengetahui bahwa keuntungan adalah modal yang dijumlah
maksismum. Keempat: pada mura<bah{ah, tidak berkonsekuensi harta-harta
riba dan wujud riba dengan penisbatan pada tsaman pertama. Kelima: akad
pertama itu sah, maka jika akad itu rusak maka tidak boleh menjual secara
mura<bah{ah; karena mura<bah{ah adalah penjualan dengan tsaman
pertama serta tambahn keuntungan. Sedangkan penjualan yang rusak
tersebut menetapkan kepemilikan dengan qimah barang dagangan atau
sesamanya; tidak dengan tsaman, karena rusaknya penamaan.

Pada bab III telah dijelaskan tentang metode istinbath hukum bahtsul masail

nahdlatul ulama, bahwasannya penetapan hukum (metode istinbath) yang

dilgunakan oleh bahtsul masa’il ada tiga prosedur:

a. Metode Qauli<,

Pada metode ini bisa juga disebut dengan taqri<r jama<’i, yaitu sebuah

pendapat yang merujuk langsung pada kutub mu’tabarah dari para imam

madzhab. Dalam metode ini permasalahan yang akan dicarikan

jawabannya dengan mengutip sumber fatwa dari kitab-kitab yang menjadi

rujukan dan cara tersebut hanya menetapkan saja apa yang sudah ada.

b. Metode Ilh{a<qi¸

71
Dalam metode ini bisa disebut dengan ilh{aq al-masa<’il bi naz{ariha

pada istilah tersebut sebagai pengganti istilah qiyas, yaitu menyamakan

persoalan fiqih yang belum ditemukan jawabannya dalam suatu kitab

secara tekstual dengan persoalan yang sudah ada jawabannya dalam kitab.

c. Metode Manhaji<

Pada metode ini tidak dapat dirujukkan secara langsung pada teks suatu

kitab mu’tabar, juga tidak dapat diilh{a<qkan kepada suatu hukum yang

masalahnya mirip dan mendapatkan rujukan dari kutub mu’tabar, tetapi

metode manhaji< ini mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur’an

lalu penetapan hukum akan merujuk pada al-Hadits dan begitu seterusnya

sampai pada jawaban dari kaidah fiqih daf’al mafa<sid muqaddam ‘ala<

jalb al-masa<lih yang artinya menghindari kerusakan lebih didahulukan

daripada upayah memperoleh kemaslahatan.

Menanggapi keputusan bahstsul masa’il sebagaimana di atas dan metode

hukum yang digunakan oleh lembag bahtsul masa’il, penulis berpendapat bahwa

berdasarkan yang dijadikan rujukan oleh para muktamirin adalah metode ilh{a<qi

sebagai cara penetapan hukumnya. Hal ini ditandai dengan adanya qau<l-qau<l

dari para ulama terdahulu yang terdapat dalam kitab-kitab muktabar dan dijadikan

sebagai ulama. Namun dalam qau<l-qau<l tersebut tidak langsung merujuk pada

hukum tentang mura<baha}h melainkan hanya menggunakan isyarat tentang

praktik dan persentase pengambilan untung serta pembayarannya. Penggunaan

72
metode ini merupakan sebuah konsekuensi atas terafiliasinya Lembaga Bahtsul

Masa’il dengan beberapa madzhab, sehingga dalam Lembaga Batsul Masail

menggunkana pendekatan madzhab.

Adapun prosedur melakukan ilh{a<q adalah:

1. Memahami secara benar tentang suatu kasus yang dimulhaqkan

(mulh{aq).

2. Mencari padanannya yang ada di dalam kitab yang akan diilhaqi (mulh{aq

bih) atas pertanyaan diantara keduanya.

3. Menetapkan hukum mulh{aq seperti hukum mulh{aq bih76.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, qau<l yang digunakan oleh Lembaga

Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama tidak menjelaskan tentang mura<bah{ah secara

rinci baik pengertiannya, pengambilan keuntungan dari setiap pembelian, dan

lain-lain. Maka disinilah permainan nalar dari para ulama penulis kitab yang

dijadikan rujukan mulai digunakan untuk mencari illat antara pendapat dan juga

kasus yang sedang dicari ketentuan hukumnya.

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, penulis berpendapat bahwa

metode yang digunakan oleh Lembaga Bahtsul Masail tersebut masih berpegang

pada prinsip pendekatan keabsahan, prinsip pendekatan analogi, dan prinsip

pendekatan yang berporos kepada kemaslahatan umat, sehingga mampu untuk

tetap menjaga kemurnian ajaran agama Islam.

76
Munawir Abdul Fattah, Hasil-hasil Misyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama
27-30 Juli 2004, Jakarta: Sekjen PBNU, tt., 95.

73
B. Analisis terhadap Penggunaan Metode Istinbath Hukum Hasil Bahtsul

Masa’il NU tentang Mura<bah{ah ala BMT ditinjau dari Ilmu Ushul Fiqih.

Ushul fiqh adalah seperangkat metode untuk melakukan pembacaan terhadap

dialektika antara teks dengan realita empiris masyarakat. Berdasarkan hal tersebut

agenda terbesar ushul fiqh adalah analisis teks dan analisis maqa<sid asy-

syari<’ah. Analisis teks diarahkan untuk memahami al-Qur’an dan juga al-Hadits

secara benar, sedangkan analisis maqa<sid asy-syari<’ah ditunjukkan untuk

mempersambungkan makna teks terhadap realitas empiris dan kebutuhan riil

masyarakat. Analisis teks dan analisis maqa<sid asy-syari<’ah harus dijalankan

secara padu ketika seseorang hendak mengijtihadi problematika kemanusiaan77.

Objek kajian ushul fiqih adalah mengenai metodologi penetapan hukum-

hukum fiqih dengan meninjau dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi

argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dalil tersebut.

Dalam ilmu ushul fiqih tujuan yang hendak dicapai adalah untuk menerapkan

kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh

dalil-dalil itu, dengan kaidah ushul yang bahasannya dapat di pahami nash-nash

syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya78.

Ilmu ushul fiqih sangat penting bagi umat Islam, karena di satu pihak

pertumbuhan nash telah terhenti sejak meninggalnya nabi, sementara menurut

pihak lain, akibat sains dan teknologi, permasalahan yang mereka hadapi kian hari

77
https://elmisbah.wordpress.com/membumikan-fiqih-dengan-bermadzhab-secara-manhaji/ ,
diakses pada tanggal 24 Desember 2019.
78
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), 49.

74
kian bertambah. Kehadiran sains dan teknologi tidak hanya dapat membantu dan

membuat kehidupan manusia menjadi bertambah, tetapi juga membawa masalah-

masalah baru yang memerlukan penanganan serius oleh para ahli dengan berbagai

bidangnya. Penggunaan teknologi maju itu lah mengakibatkan pergeseran nilai-

nilai sosial sehingga terjadi modernisasi, secara langsung atau tidak langsung

telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap praktik-praktik keagamaan

(Islam).79

Berdasarkan ilmu ushul fiqih penetapan hukum suatu masalah dinamakan

dengan ijtihad yaitu mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum

syara’ dari dalil-dalil syara’ yang terperinci, dari kalangan ulama’ ushul yang

dimaksud dengan ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli

hukum dalam mencari hukum-hukum syari’at dan orang yang berijtihad atau

orang yang ahli dalam mencari hukum tersebut dinamakan mujtahid.

Metode berijtihad yang digunakan mujtahid dalam menetapkan suatu hukum

ada tiga macam yakni:80

a. Metode Baya<ni<, yaitu cara pengambilan hukum dengan bertumpu pada

kaidah-kaidah lughawiyyah (kebahasaan), hal ini dilakukan dengan cara

pemahaman suatu nash baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah.

79
Mardani, Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Press, 2103), 366.
80
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh…, 268-273.

75
b. Metode Ta’li<li<, yaitu metode untuk menetapkan hukum-hukum yang

tidak ada dalam nash (al-Qur’an) maupun hadits dengan cara

mengqiyaskan kepada hukum-hukum yang sudah ada nash nya.

c. Metode Istisla<h{i<, yaitu cara mujtahid dalam menentukan hukum

dengan cara mengetahui masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang

bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak ada dalil khusus mengenai

masalah tersebut dengan cara kemaslahatan sesuai dengan maqa<sid asy-

syari<’ah (tujuh pokok syari’at dalam Islam).

Dalam penetapan hukum mura<bah{ah ala BMT ulama NU menggunakan

metode ilha<qi sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya tentang

analisis bahtsul masa’il terhadap keputusan mura<bah{aha ala BMT,

bahwasanya penggunaan metode ilha<qi oleh bahtsul masa’il dalam menetapkan

suatu hukum mura<bah{ah ala BMT dapat dilihat dalam perspektif ilmu ushul

fiqh, menurut penulis metode ilha<qi ini digunakan dengan cara penalaran

ta’li<li< yaitu metode dengan cara menetapkan hukum-hukum yang tidak ada

nashnya dengan cara menqiyaskannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada

nashnya. Dalam hal ini seorang mujtahid berijtihad untuk menetapkan hukum-

hukum dan menyamakan kepada hukum yang sudah ada nashnya. Penalaran yang

digunakan ini yaitu seorang mujtahid berusaha untuk menemukan illat atau

sebuah alasan dari pensyariatan hukum, dengan tujuan bahwa untuk kemaslahatan

manusia di dunia dan juga di akhirat. Pada setiap mujtahid pasti memiliki alasan

tersendiri secara logis dalam menentukan penalaran untuk pengambilan sebuah

76
hukum, yaitu sebagian ada yang sudah disebutkan dalam al-qur’an dan al-hadits,

dan sebagian lainnya disyariatkan atau bisa juga dengan cara dipikirkan dan

direnungkan terlebih dahulu.

Dalam bab II dijelaskan tentang pembagian ijtihad yang dapat dilihat dari segi

orientasinya, dalam hal ini terdapat dua kategori yakni:81

a. Ijtihad Tradisional, yaitu seorang mujtahid dalam menetapkan hukum

(berijtihad) lebih berorientasi kepada ungkapan-ungkapan yang ada dalam

al-Qur’an maupun Hadits.

b. Ijtihad Rasional, yaitu seorang mujtahid dalam berijtihad lebih

berorientasi kepada pendayagunaan nalar, dalam hal ini dapat didasarkan

pada pemahaman bahwa hukum syara’ merupakan sesuatu yang dapat

ditelaah subtansinya dengan melihat aspek-aspek kemaslahatan

masyarakat.

Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa penggunaan penalaran

ta’li<li< pada metode ilha<qi yang digunakan oleh Lembaga Bahtsul Masa’il

adalah dengan cara rasional, karena keputusan yang digunakan oleh Lembaga

Bahtsul Masail didasarkan pada kutub mu’tabar sehingga ulama’ bahtsul masa’il

(NU) menyamakan sesuatu yang belum ada dalam kitab dengan sesuatu yang

sudah ada dalam kitab, juga pada penalaran yang dilakukan secara rasional ini

dapat ditelaah substansinya dengan melihat aspek-aspek kemaslahatan

81
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual…, 104-106.

77
masyarakat, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Dari alasan-alasan logis

yang digunakan oleh para mujtahid itulah yang biasanya digunakan sebagai alat

untuk dijadikan sebagai metode ini.

Selain dapat dilihat dari segi orientasinya pembagian ijtihad juga dapat di lihat

dari segi jumlah pelakunya (kuantitasnya), dalam hal ini terdapat dua kategori

yaitu:82

a. Ijtihad Fardiy, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid secara mandiri,

baik dalam metode maupun prosedur penetapan sebuah hukum atau dalam

proses pengambilan keputusan, ijtihad yang seperti ini sulit ditemukan

pada masa kini, karena dalam diri mujtahid fardiy harus terdapat beberapa

ilmu yang memadahi sebagai persyaratan modal dalam berijtihad.

b. Ijtihad Jama’i, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid secara

kelompok dengan potensi dan keahlian yang berbeda-beda, hal ini

membuat ijtihad yang seperti ini lebih mungkin dan layak untuk dilakukan

oleh mujtahid, karena dapat menghimpun potensi untuk mendapatkan

hasil ijtihad yang memadahi.

Dilihat dari teori di atas menurut penulis penggunaan penalaran ta’li<li< dari

metode ilha<qi yang digunakan oleh lembaga bahtsul masa’il bahwasanya

mujtahid dalam mentapkan hukum mura<bah{ah ini menggunakan ijtihad secara

jama’i, karena dalam Lembaga Bahtsul Masail ulama NU mencari jawaban dari

sebuah permaslahan yang ada di masyarakat dilakukan secara berkelompok.


82
Ibid.,

78
Seorang ahli hukum (mujtahid) dalam melakukan ijtihadnya tentu memiliki

cara yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga

dapat dikategorikan dalam tingkatan mujtahid, sebagaimana yang dijelaskan pada

bab sebelumnya bahwa tingkatan mujtahid itu terdapat dua bagian yaitu:

a. Ijtihad Muthlaq, yaitu kegiatan berijtihad yang dilakukan oleh mujtahid

yang bersifat mandiri. Dan orang yang memiliki kemampuat tersebut

dinamakan mujtahid muthkaq.

1) Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu kegiatan berijtihad yang dilakukan

oleh mujtahid dengan cara mnerapkan sendiri ushul fiqih yang

dirumuskannya.

2) Mujtahid Muthlaq Muntasib, yaitu mujtahid yang melakukan

ijtihadnya secara mandiri tanpa bertaqlid dan mujtahid lainnya, tetapi

mengikuti metode istinbath hukum yang lainnya yang dirumuskan

oleh kelompok mujtahid yang pertama (Mujtahid Muthlaq Mustaqil).

b. Ijtihad fi al-madzhab, yaitu kegiatan mujtahid dalam berijtihad yang

dilakukan oleh para ulama mengenai hukum syara’ dengan menggunakan

metode istinbath yang dirumuskan oleh mujtahid muthlaq mustaqil (imam

madzhab). Dalam ijtihad ini terdapat 3 kategori yaitu:

1) Ijtihad al-Tahrij, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh mujtahid dalma

madzhab tetrentu untuk melahuirkan hukum syara’ yang tidak terdapat

dalam kumpulan hasil imam madzhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan

ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalh yang belum pernah

79
difatwakan imam madzhabnya atau murid-murid dari imama

madzhabnya. Pelaku ijtihad disini dimanakan mujtahid at-Tahrij.

2) Ijtihad at-Tarjih, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid

hanya melakukan penilaian pendapat dan tidak melakukan istinbath

hukum syara’. Pelaku tersebut dinamakan mujtahid at-tarjih.

3) Ijtihad al-Futyah, yaitu kegiatan ijtihad dengan mengetahui seluk

beluk pendapat-pendapat hukum imam madzhab dan ulama madzhab

yang dianutnya, dan menfatwakan pendapat tersebut kepada

masyarakat. Pelaku ijtihad tersebut dinamakan mujtahid al-futyah

Dari berbagai macam tingkatan mujtahid sebagaimana yang dijelaskan di atas,

maka penulis berpendapat bahwa Lembaga Bahtsul Masa’il termasuk dalam

tingkatan mujtahid al-futyah, karena pada pengambilan hukum yang dilakukan

oleh ulama’ NU tersebut dilakukan secara berhati-hati, dengan mekanisme

pemecahan yang dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail yang sebagian bessar

langsung merujuk pada kitab-kitab mu’tabar dari kalangan empat madzhab,

terutama pada madzhab Imam Syafi’i, kemudian dari hasil keputusan yang

dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail tersebut akan difatwakan kepada

masyarakat.

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka penulis berpendapat bahwa

jika ada persoalan-persoalan yang muncul di kehidupan masyarakat baik dari segi

ekonomi, sosial, maupun budaya, perlu adanya sebuah pendapat atau keputusan

untuk dicarikan jawabannya. Oleh karena itu ulama NU ingin membantu

80
memberikan jawaban dan mencari solusi terhadap permasalahan tersebut dalam

Lembaga Bahtsul Masa’il. Pendapat-pendapat ulama dalam kitab kuning sangat

mungkin untuk menjangkau persoalan pada masa kini, pada pendapat tersebut ada

yang relevan dan ada juga tidak relevan namun, banyak pendapat para ulama yang

belum menjangkau persoalan-persoalan pada masa kini dikarenakan belum terjadi

pada masa hidup para ulama. Hal inilah yang menjadi pentingnya kaidah

ushuliyyah dan juga kaidah fiqhiyyah dalam merespon persoalan-persoalan

tersebut.

81
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dengan pembahasan yang telah penulis uraikan mengenai

analisis terhadap keputusan Bahtsul Masa’il NU tentang mura<bah{ah ala BMT,

maka penulis dapat menyimpulkannya diantaranya adalah:

1. Keputusan yang ditetapkan oleh bahtsul masa’il tentang mura<bah{ah ala

BMT pada tahun 2011 adalah tidak diperbolehkan, artinya dalam keputusan

tersebut praktek mura<bah{ah yang dilakukan di BMT pada waktu itu tidak

diperbolehkan karena terdapat beberapa persyaratan yang belum terpenuhi

dalam akad mura<bah{ah, yaitu menjual barang yang belum menjadi milik

muwakkil (BMT). Barang yang akan ditransaksikan secara mura<bah{ah

harus sudah menjadi milik BMT. Teknis yang bisa ditawarkan adalah,

nasabah telah membeli barang atas nama BMT harus diserahkan kepada BMT

terlebih dahulu, lalu melakukan transaksi mura<bah{ah.

2. Metode yang digunakan dalam penetapan suatu hukum bahtsul masa’il NU

tentang mura<bah{ah ala BMT adalah menggunakan metode ilhaqi yang

mengacu pada pendapat ulama terdahulu sebagai jalan untuk merumuskan

status hukum pada mura<bah{ah ala BMT, dan dalam perspektif ilmu ushul

fiqh, bahawasannya metode ilhaqi ini digunakan dengan cara penalaran

ta’li<li< yaitu metode dengan menganalisis suatu permasalan dengan cara

82
mengqiyaskan sesuatu yang belum ada dalam kitab dengan sesuatu yang

sudah ada dalam kitab-kitab terdahulu.

B. Saran

1. Bagi para dosen untuk senantiasa memberikan latihan terhadap mahasiswa

dalam menggali sebuah hukum yang status hukumnya masih terdapat

perdebatan diantara para ulama dengan harapan mahasiswa dapat melakukan

penelaahan sendiri terhadap kasus-kasus kontemporer secara tekstual maupun

kontekstual.

2. Bagi para mahasiswa telebih Hukum Bisnis Syariah untuk senantiasa

memperdalami metode istinbath baik yang bersifat klasik maupun

kontemporer karena di era modern ini banyak sekali permasalahan-

permasalahn baru yang status hukumnya belum jelas.

3. Bagi seluruh umat Muslim di seluruh Indonesia untuk selalu melaksanakan

kajian hukum Islam agar tidak terjadi kejumudan dan untuk saling memahami

perbedaan-perbedaan dalam produk fikih agar tidak terjadi kesalah fahaman

untuk kedepannya.

C. Penutup

Demikianlah sedikit kajian tentang hukum mura<bah{ah ala BMT yang

merupakan sebagian kecil dari polemik-polemik yang menarik dari permasalahan-

permasalahan yang berkembang di masyarakat. Penulis panjatkan syukur

kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi

83
ini masih terdapat banyak sekali kesalahan. Berdasarkan hal tersebut, penulis

mengharapkan saran dan juga kritik konstruktif demi perbaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya pada pembaca pada

umunya.

84
DAFTAR PUSTAKA
AL- QUR’AN

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan,

HADITS

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Kairo: Dar al-Fikr, 2010, Nomor Hadits: 2289.

BUKU

A Karim, Adiwarman, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2013).

Abdul Fattah, Munawir, Hasil-hasil Misyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul


Ulama 27-30 Juli 2004, Jakarta: Sekjen PBNU, tt.,

------------------------------, Tradisi Orang-Orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,


2006).

Abdullah, Boedi dan Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Ekonomi Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2014).

Anshor, Ahmad Muhtadi, Bath al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika


Pemikiran Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012).

Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syari’ah di Indonesia, ( Yogyakarta: Gajah Mada


University Press, 2000).

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani, 2001).

Ar-Rifa’I, Ibnu Assayuthi, Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan & NU,
(Kudus: Al-Haula Press, 2012).

Cooper, Donald R, dan C.William Emory, Metode Penelitian Bisnis,( Jakarta:


Erlangga, 1995).

Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016).

Daman, Rozikin, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah,


(Yogyakarta: Gama Media, 2001).
Djuwaini, Dimyauddin, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar).

Effendi, Satria dan M.Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group,
2005).

Fadeli, Soelaiman dan M.Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah,
(Surabaya:Khalista, 2007).

Gibtiah, Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016).

Hakim, Lukman, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Surakarta: Erlangga, 2012).

Haq, Faishal, Ushul Fiqih: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Isam, (Surabaya: Citra
Media, 2007).

Harits, Ahmad Busyairi, Islam NU Pengawal Tradisi Sunnii Indonesia, (Surabaya:


Khalista, 2010).

Huda, Nurul dan Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis
dan Praktis, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010).

Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,


2008).

Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015).

LP Ma’arif NU, Materi Dasar Nahdlatul Ulama, edisi II, (Jawa Tengah: LP. Ma’arif
NU, 2002).

Mardani, Fiqih Ekonomi Syriah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012).


Mardani, Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Press, 2103).

Mathew B. Milles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta:


Universitas Indonesia, 1992).

Meleong, Lex j, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Badung: Remaja Rosdakarya,


2007).

Moqsith, Abd, Reorientasi Istinbath NU dan Operasionalisasi Ijtihad Jama’i, dalam


Imdadun Rahmat, Kritik Nalar Fiqih NU, (Jakarta: LAKPESDAM NU, 2002).

Mufid, Moh, Ushul Fiqih Ekonomui dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori ke
Aplikasi, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2016).
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta:UPP KYPN,
2005).

Mujahidin, Akhmad, Hukum Perbankan Syari’ah, (Depok: Rajawali Perss, 2017).

Mukhtar, Kamal, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1995).

Munawaroh, Panduan Memahami Metodologi Penelitian, (Malang: Intimedia


Anggota Media IKAPI, 2013).

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:


Pustaka Progresif, 1997).

Musadad, Ahmad, Muqaranah Madzahib, (Bojonegoro: Karya Bakti Makmur, 2018).

Nur Tanjung, Bahdin dan Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah, (Jakarta:
Kencana Media Grup, 2005).

Nurhayati, Sri, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014).

Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No: U-596/MUI/X/1997 Pasal 2


(2) dalam Himpunana Fatwa MUI , (Jakarta : Departemen Agama, 2003).

PW NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat Jilid 1: 1979 - 2009,


(Surabaya: PWNU Jawa Timur, 2015),

PW NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat Keputusan Bahtsul Masail


PWNU Jawa Timur Jilid 2, (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015).

Rahmawati, Istinbath Hukum (Yogyakarta:Deepublish, 2015).

Razak, Nasruddin, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984).

Sahal Mahfudh, MA,“Bahth a l- Masa>il dan Istinba>th Hukum NU: Sebuah


Catatan Pendek”, dalam M. Imdadun Rahmat (ED.) , Kritik Nalar Fiqih NU:
Transformasi Paradigma Bahtsul Masail, cet. ke-1 (Jakarta: Lakpesdam,
2002), xii.

Salman, Kautsar Rizal, Akuntansi Perbankan Syari’ah Berbasis Psak Syariah,


(Jakarta: Akademia Permata, 2012).

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarata:UI Press, 1986).


Soemitra, Andri, Bank & Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2009).

Sudiarti, Sri, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018).

Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah¸(Jakarta: Rajawali Press, 2010).

Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: UII Press


Yogyakarta).

Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, (Bandung: Tria Pratama, 2015).

Team FKI 2003, Esensi Pemikiran Mujtahid: Dekontruksi dan Rekonstruksi Khasanah Islam,
(Kediri: PP. Lirboyo, 2003).

Wiroso, Jual Beli Murabahah,(Yogyakarta:UII Press,2005).

Wiroso, Produk Perbankan Syariah Dilengkapi UU Perbankan Syariah dan


Kodifikasi Produk Bank Indonesia, (Jakarta: LPFE Usaki, 2009).

Zahro, Ahmad, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Akksara, 2004).

Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf).

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 1996).

JURNAL

Anshori, Isa , Perbedaan Metode Ijtihad Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah


dalam Corak Fikih di Indonesia, Nizam, Vol 4, No. 01, Januari – Juni 2014.

Hadapi, Ahmad Rizal dan Anwar Chalid, Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama
(NU): (Studi Pada Proses Penemuan Hukum), Diktat Mata Kuliah Lembaga
dan Pranata Hukum Islam di Indonesia Pasca Sarjana Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta.

Jamal, Mulyono dan Muhammad Abdul Aziz, Metodologi Muhammadiyah dan NU


(Kajian Perbandingan Majlis Tarjih Dan Lajnah Bahtsul Masail), Vol 7
nomor 2.
Ma’mur Asmani, Kepemimpinana Perempuan: pergulatan wacana di Nahdlatul
Ulama, Addin, Vol. 9 No. 01, Februari 2015.

Rokhmadi, Ijtihad dan Taqlid Pada Masa Kemunduran Islam, dalam Buletin Al-
Ahkam, Fak. Syari’ah, Semarang: IAIN WS.

Solek, Muhammad, Pembaharuan Hukum Islam, dalam Al-Ahkam, Fak. Syari’ah


IAIN Walisongo Semarang, Vol. XIII, Eds. 11 Nop 2002.
SKRIPSI

Aziz, Abdul, Study Analisis Terhadap Keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama
Tahun 2004 Tentang Gaji Pegawai yang Proses Pengankatannya Karena
Risywah, (Skripsi Institut Agama Islam Walisongo Semarang, 2008).
.
Hutbi, Ahmad, Analisi Fatwa Lembaga Bahtsul masail Nahdlatul Ulama Tentang
Advokat, (Skripsi Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).

Muslimin, Miftakhul, Studi Komparasi Metode Istinbat Hukum Lembaga Bahtsul


Masail Nahdlatul Ulama dan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Tentang Zakat Hasil Pertambakan, (Skrips, Fakultas Keislaman, Universitas
Trunojoyo Madura, 2019),

Ruf’ah, I’tirofur ,Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pembiayaan Murabahah Di BMT


Syirkah Muawanah mwc nu Suradai Kabupaten Tegal, (Skripsi Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016).

WEB

Ensiklopedia Fiqih online diakses pada www.fikihonline.com, hari/tanggal, Senin, 23


Desember 2019, pukul 13:00 WIB.

https://elmisbah.wordpress.com/membumikan-fiqih-dengan-bermadzhab-secara-
manhaji/, diakses pada tanggal 24 Desember 2019.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : Ana Rahmawati
Tempat, Tanggal, Lahir : Gresik, 12 November 1997
NIM : 160711100022
Alamat Rumah : Ds. Sembunganyar Dsn.Gopa’an, Kec. Dukun,
Kab. Gresik
Nama Ayah : Amanudin
Nama Ibu : Masruroh

B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
SD/MI : MI YKUI Pon.Pes Maskumambang, 2010
SMP/MTs, Tahun Lulus : MTs. YKUI Pon.Pes Maskumambang, 2013
SMA, MA, Tahun Lulus : MA. YKUI Pon Pes Maskumambang, 2016
Perguruan Tinggi : Universitas Trunojoyo Madura,2016- sekarang

C. Pengalaman organisasi
1. Bendahara Umum IPRI (Ikatan Pelajar Putri) Maskumambang
2. Anggota dept. Kewirausahaan HIMAHISYA
3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bangkalan

D. Karya ilmiyah
Penelitian Skripsi tentang Analisis Terhadap Hasil Bahtsul Masa’il PWNU
Jawa Timur Tentang Murabahah ala BMT.

Anda mungkin juga menyukai