Anda di halaman 1dari 2

Puang Lakipadada yang Ingin Hidup Abadi

Takut mati, dia berkelana mencari jimat yang bisa membuatnya kekal selama-lamanya.
Apakah berhasil?

Sebut nama Lakipadada saat berlibur di Tana Toraja (Tator), Sulawesi Selatan. Semua orang
pasti tahu, meski tak pernah bertemu. Lakipadada dipercaya sebagai nenek moyang orang Tator.
Puang sendiri bukan nama, melainkan gelar tertinggi untuk para raja dan bangsawan yang sangat
dihormati di sana. Legenda Puang Lakipadada ini merupakan cerita rakyat Tator paling terkenal
sampai sekarang.

Jangan bayangkan sosok pahlawan hebat penguasa lima ilmu beladiri. Lakipadada hanya
manusia biasa, Superkids. Dia punya ayah, ibu, saudara, kakek, nenek, paman dan sebagainya
seperti kita. Hidup Lakipadada berubah saat satu per satu orang di sekelilingnya meninggal
dunia. Yup, semua, baik tua maupun muda. Lakipadada jadi sangat ketakutan. “Mati? Oh, jangan
sampai,” pikirnya ngeri.

Lakipadada pun menempuh perjalanan panjang seorang diri untuk mencari mustika tang mate
(keabadian). Ia berjalan ke arah timur, tempat yang ia yakini menyimpan apa yang ia cari. Di
tengah perjalanan, Lakipadada berpapasan dengan seekor tedong (kerbau) putih. Ia bertanya,
apakah kerbau putih itu bisa menolongnya menemukan keabadian. Kerbau menyanggupi.
“Dengan syarat, kau harus berjanji bahwa keturunanmu tidak akan memakan keturunanku,” kata
kerbau putih. Lakipadada berjanji.

Ia duduk di punggung kerbau yang mengantarnya jauh sampai ke tepi laut. Kerbau berhenti. Dia
tidak pandai berenang dan tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Padahal, mustika yang dicari
Lakipadada ada di pulau kecil di seberang. Tiba-tiba muncul seekor buaya. Dia menawarkan
kesepakatan pada Lakipadada. Dia siap menyeberangkan, asalkan Lakipadada memenuhi dua
permintaannya. Pertama, keturunan Lakipadada tidak boleh memakan buaya. Kedua, Lakipadada
memberikan ia seekor kerbau untuk dimakan. Lakipadada menjamin syarat pertama akan ia
turuti. Namun dia tidak sanggup melakukan syarat kedua. Kerbau putih tahu betapa Lakipadada
butuh pertolongan buaya untuk sampai ke seberang. Maka dia merelakan dirinya dikorbankan.

Buaya pun senang. Setelah kenyang, dia mengantar Lakipadada mengarungi Teluk Bone menuju
Pulau Maniang. Pulau itu hanya dihuni seorang kakek sakti berjenggot putih pemilik mustika
tang mate. Lakipadada tidak pandai berbasa-basi. Ia langsung menyampaikan tujuannya datang
ke sana. Tak disangka, kakek itu bersedia memberikan mustika kepadanya. Tapi ada tapinya.
Lakipadada harus dites dulu. Ujiannya cukup berat, yaitu puasa makan-minum dan tidak tidur
selama tujuh hari tujuh malam. Lakipadada harus menjalani waktu seminggu itu di dalam sebuah
gua. Meski berusaha menjalani, Lakipadada akhirnya gagal. Dia tidak mampu menahan kantuk
yang luar biasa.

Saat kakek sakti datang menemuinya di hari ke delapan, Lakipadada berdusta. Ia mengaku
berhasil menjalani syarat berpuasa dan begadang seminggu penuh. “Sekarang, mana parangmu?”
tanya kakek. Lakipadada segera mengambil senjata andalannya di tempat ia biasa menyimpan.
Ternyata parang itu patah dan tidak bisa digunakan. Kakek tertawa, Lakipadada terbukti telah
berdusta. Kakek sengaja datang mematahkannya saat ia jatuh tertidur, sebagai bukti Lakipada
pernah terpejam walau sejenak. Lakipadada pun mengakui kegagalannya. Dia juga menyadari
bahwa kematian tidak mungkin dihindari.

Ia meninggalkan Pulau Maniang dengan bergelantung di kaki burung garuda. Mereka tiba di
daerah Gowa, masih di kawasan Sulawesi Selatan yang sama. Lakipadada bertemu raja Gowa
dan membantu persalinan istrinya. Ia kemudian diangkat menjadi anak, dinikahkan dengan
seorang wanita bangsawan Gowa, dan akhirnya memimpin kerajaan besar ini. Lakipadada
memiliki tiga putra, yang masing-masing berjaya memimpin kerajaan lain di sekitarnya. Si
sulung Patta La Merang meneruskan kepemimpinannya di Gowa. Anak kedua Patta La Baritan
ditugaskan memimpin Sangalla, Toraja, sementara putra bungsu Patta La Bunga menjadi raja di
Luwu.

Sampai hari ini, warga Tator terus menepati janji Lakipadada pada kerbau putih yang berjasa
menolongnya. Mereka tidak memakan daging kerbau berkulit putih. Bahkan, kerbau berkulit
putih atau berbercak putih dihargai sangat mahal, hingga miliaran rupiah, untuk dikorbankan
dalam upacara pemakaman Rambu Solo.

Anda mungkin juga menyukai