Anda di halaman 1dari 5

KASUS ANSIETAS PADA PASIEN HIPERTENSI

Aspek Etik dalam Keperawatan Jiwa


Etika berasal dari Bahasa Yunani ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan,
atau adat kebiasaan yang etika tersebut berhubungan erat dengan konsep individu atau
kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah
dilakukan. Penerapan aspek etik dalam keperawatan jiwa sangat terkait dengan
pemberian diagnosis, perlakuan atau cara merawat, hak pasien, stigma masyarakat,
serta peraturan atau hukum yang berlaku.

Pemberian Diagnosis
Seseorang yang telah didiagnosis gangguan jiwa, misal skizofrenia, maka dia
akan dianggap sebagai orang yang mengalami pecah kepribadian (schizo =
kepribadian, phren = pecah). Beberapa kriteria diagnosis menyebutkan gangguan jiwa
adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengadakan relasi dan pembatasan
terhadap orang lain dan lingkungan. Dengan demikian, seseorang yang telah
didiagnosis gangguan jiwa, berarti dia sudah tidak mampu lagi menjalin hubungan
dengan lingkungan. Apabila mampu, dia tidak bisa membatasi apa yang harus atau
tidak untuk dilakukan. Ia telah mengalami gangguan perilaku, peran, dan fungsi
dalam melakukan aktivitas rutin harian. Dari kriteria diagnosis ini akan menimbulkan
stigma di masyarakat bahwa gangguan jiwa adalah orang gila. Padahal, setelah
dipelajari ternyata gangguan jiwa sangat luas spektrumnya.
Inti adalah ada gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa
ringan merupakan adanya masalah pada aspek psikososial (cemas dan gangguan
respons kehilangan atau berduka). Setiap orang mengalami masalah psikososial
karena merupakan tantangan dalam kehidupan agar manusia lebih maju dan
berkembang. Gangguan jiwa berat memang merupakan gangguan perilaku kronis,
yang sebenarnya merupakan gangguan perilaku yang telah lama diabaikan. Di sinilah
pelanggaran etika terjadi, bergantung pada diagnosis yang dialami pasien. Olah
karenanya, untuk mendiagnosis gangguan jiwa berat (skizofrenia) harus
menggunakan kriteria waktu bahwa gangguan yang dialami pasien telah terjadi dalam
waktu yang lama (seperti pada PPDGJ).
Cara merawat pasien gangguan jiwa juga sangat erat dengan pelanggaran etika.
Beberapa keluarga pasien malah melakukan “pasung” terhadap pasien. Jika di rumah
sakit, diikat harus menggunakan seragam khusus dengan berbagai ketentuan khusus.
Keadaan ini membuat pasien diperlakukan berbeda dengan pasien fisik umumnya.
Secara teoretis dan filosofis, perawatan pasien gangguan jiwa harus tetap
memperhatikan aspek etika sesuai diagnosis yang muncul dan falsafah dalam
keperawatan kesehatan jiwa.

Hak Pasien
Beberapa aturan di Indonesia sering mendiskreditkan pasien gangguan jiwa, yaitu
seseorang yang mengalami gangguan jiwa tanda tangannya tidak sah. Dengan
demikian, semua dokumen (KTP, SIM, paspor, surat nikah, surat wasiat, atau
dokumen apapun) tidak sah jika ditandatangani pasien gangguan jiwa. Haruskah
demikian? Bagaimana dengan hak pasien sebagai warga negara umumnya? Proses
rawat inap dapat menimbulkan trauma atau dukungan, yang bergantung pada institusi,
sikap keluarga dan teman, respons staf, serta jenis penerimaan atau cara masuk rumah
sakit. Ada tiga jenis proses penerimaan pasien yang masuk ke rumah sakit jiwa, yaitu
masuk secara informal, sukarela, atau masuk dengan paksaan.
Beberapa ketentuan di atas mungkin tidak berlaku di Indonesia, tetapi perlu
diperhatikan hak pasien sebagai warga negara setelah pasien menjalani perawatan di
rumah sakit jiwa. Hak pasien sangat bergantung pada peraturan perundangan.
Menurut UndangUndang Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang
dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Beberapa hak pasien yang
telah diadopsi oleh banyak Negara Bagian di Amerika antara lain sebagai berikut.

1. Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.


Pasien bebas untuk mengunjungi dan berbicara melalui telepon secara leluasa
dan mengirim surat tertutup kepada siapapun yang dipilihnya.
2. Hak terhadap barang pribadi.
Pasien berhak untuk membawa sejumlah terbatas barang pribadi bersamanya.
Namun, bukan menjadi tanggung jawab rumah sakit untuk keamanan dan tidak
membebaskan staf rumah sakit tentang jaminan keamanan pasien.
3. Hak menjalankan keinginan.
Kemampuan seseorang untuk menyatakan keinginannya yang dikenal sebagai
“surat wasiat”. Pasien dapat membuat wasiat yang apsah jika ia (1) mengetahui
bahwa ia membuat surat wasiat, (2) mengetahui sifat dan besar miliknya, dan
(3) mengetahui siapa teman dan keluarganya serta hubungannya dengan
mereka. Tiap kriteria ini harus dipenuhi dan didokumentasikan agar surat
wasiat tersebut dapat dianggap apsah.
4. Hak terhadap “Habeas Corpus”.
Semua pasien mempunyai hak, yang memperkenankan pengadilan hukum,
untuk mensyaratkan pelepasan secepatnya bagi tiap individu yang dapat
menunjukkan bahwa ia sedang kehilangan kebebasannya dan ditahan secara
tidak legal.
5. Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri.
Pasien boleh menuntut suatu pemeriksaan psikiatri oleh dokter yang dipilihnya
sendiri. Jika dokter tersebut menentukan bahwa pasien tidak menderita
gangguan jiwa, maka pasien harus dilepaskan.
6. Hak terhadap keleluasaan pribadi.
Individu boleh merahasiakan beberapa informasi tentang dirinya dari orang
lain. “Kerahasiaan” membolehkan pemberian informasi tertentu kepada orang
lain, tetapi sangat terbatas pada orang yang diberi kewenangan saja.
“Komunikasi dengan hak istimewa” merupakan suatu pernyataan legal yang
hanya dapat digunakan dalam proses yang berkaitan dengan pengadilan. Ini
berarti bahwa pendengar tidak dapat memberikan informasi yang diperoleh dari
seseorang kecuali pembicara memberikan izin. Komunikasi dengan hak
istimewa tidak termasuk menggunakan catatan rumah sakit, serta sebagian
besar negara tidak memberikan hak istimewa komunikasi antara perawat dan
pasien. Selain itu, terapis bertanggung jawab terhadap pelanggaran kerahasiaan
hubungan untuk memperingatkan individu yang potensial menjadi korban
tindak kekerasan yang disebabkan oleh pasien.
7. Hak persetujuan tindakan (informed consent).
Dokter harus menjelaskan tentang pengobatan kepada pasien, termasuk potensial
komplikasi, efek samping, dan risiko. Dokter harus mendapatkan persetujuan pasien,
yang harus kompeten, dipahami, dan tanpa paksaan.
8. Hak pengobatan.
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan dalam tiga area, yaitu (1)
lingkungan fisik dan psikologis manusia, (2) staf yang berkualitas dan jumlah anggota
yang mencukupi untuk memberikan pengobatan, serta (3) rencana pengobatan yang
bersifat individual.
9. Hak untuk menolak pengobatan.
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara legal telah ditetapkan sebagai
tidak berkemampuan. “Ketidakmampuan” menunjukkan bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat menyebabkan ketidakmampuannya untuk
memutuskan dan gangguan ini membuat ia tidak mampu untuk mengatasi sendiri
masalahnya. Ketidakmampuan hanya dapat dipulihkan melalui sidang pengadilan
lain.

HUBUNGAN ANSIETAS-HIPERTENSI
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2018 adalah sejumlah 265.015.313 jiwa
(KEMENKES, 2018). Berdasarkan hasil RISKESDAS 2018 menyatakan bahwa
prevalensi rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia/ psikosis dengan jumlah
18.551.071,9 jiwa (7,0% dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018).
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur diatas 15 tahun
sejumlah 23.851.378,2 jiwa (9,8% dari jumlah penduduk Indonesia tahun 2018).
Jumlah penduduk Jawa Timur tahun 2018 sejumlah 39.500.851 jiwa. Berdasarkan
hasil RISKESDAS daerah Jawa Timur tahun 2018, prevalensi depresi pada penduduk
umur diatas 15 tahun sejumlah 1.789.388,55 jiwa (4,53% dari penduduk Jawa Timur
pada tahun 2018). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk umur diatas
15 tahun sejumlah 2.693.958,04 jiwa (6,82% dari penduduk Jawa Timur pada tahun
2018). Berdasarka data tersebut, dapat disimpulkan prevalensi orang dengan masalah
kejiwaan lebih tinggi dari pada prevalensi gangguan jiwa di Indonesia.
Ansietas merupakan respons tubuh terhadap peristiwa yang terjadi, dimana
respons tubuh tersebut lebih bersifat negatif sehingga menimbulkan ketidaknyamanan
bagi klien. Respons individu terhadap ansietas mempunyai rentang adaptif dan
maladaptif. Respons adaptif identik dengan reaksi yang bersifat konstruktif,
sedangkan respons maladaptif identik dengan reaksi yang bersifat destruktif. Reaksi
yang bersifat konstruktif menunjukkan sikap optimis dan berusaha memahami
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik perubahan fisik maupun afektif.
Reaksi yang bersifat destruktif menunjukkan sikap pesimis dan seringnya diikuti
perilaku maladaptif (Stuart, 2009: Zaini, 2019). Hampir semua masalah kesehatan
fisik menjadi faktor risiko dari masalah kesehatan jiwa seseorang. Contohnya semua
penyakit kronis atau menahun (diabetes melitus, penyakit jantung koroner, TBC,
gagal ginjal kronis, asam urat dalam darah yang tinggi, kolesterol dalam darah yang
tinggi, hipertensi, stroke dan sebagainya), kanker, penggunaan narkoba, kecacatan
tubuh, malnutrisi serta ibu hamil, melahirkan, dan menyusui (Wuryaningsih, dkk,
2020). Klien dengan masalah kesehatan fisik, sebagian besarnya (60%) mengalami
ansietas. Gangguan kesehatan fisik mengalami kecenderungan penurunan kemampuan
dalam mengendalikan emosi seperti menjadi tidak sabar, mudah marah, khawatir,
merasa tidak aman serta sering menyalahkan orang lain serta munculnya masalah
ansietas (Mohr, 2016: Zaini, 2019).
Hipertensi merupakan penyakit yang sering muncul di negara berkembang, salah
satunya adalah di Indonesia (Renjaan & Yani, 2019). Berbagai faktor diduga turut
berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres
pikologis, dan hereditas (keturunan). Orang yang berumur 40 tahun biasanya rentan
terhadap meningkatnya tekanan darah yang lambat laun menjadi hipertensi seiring
dengan 4 bertambahnya umur mereka. Pada usia lebih dari 50 tahun, wanita lebih
rentan mengalami hipertensi dari pada pria, karena di usia tersebut seorang wanita
sudah mengalami menopouse dan tingkat stres lebih tinggi (Manuntung, 2018).
Menurut RISKESDAS 2018, prevalensi hipertensi berdasarkan penduduk usia lebih
dari 18 tahun adalah 34,1% dari penduduk Indonesia. Prevalensi tersebut termasuk
prevalensi yang tinggi diantara beberapa penyakit tidak menular lainnya, seperti
kanker, asma, stroke, jantung, dan diabetes. Menurut hasil RISKESDAS Jawa Timur
tahun 2018, prevalensi hipertensi berdasarkan penduduk berusia lebih dari 18 tahun
adalah 36,31% dari penduduk Jawa Timur. Prevalensi tersebut tertinggi setelah
penyakit tidak menular asma dan diabetes. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan, tidak hanya berdasarkan data di Indonesia, data Jawa Timur juga
menyebutkan hipertensi merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi. Dalam
upaya meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat dan mengurangi angka gangguan
kesehatan jiwa di masyarakat, diperlukan upayaupaya yang terpadu, komprehensif
dan berkesimnambungan (Azizah, Zainuri, Akbar, 2016). Pelayanan keperawatan
yang komprehensif lebih difokuskan kepada uapaya pencegahan primer pada anggota
masyarakat yang sehat jiwa, pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang
mengalami masalah kesehatan jiwa (risiko gangguan jiwa) dan pencegahan tersier
pada klien yang mengalami gangguan jiwa dengan proses pemulihan (Zaini, 2019).

KASUS
Ny. S berusia 67 tahun berjenis kelamin perempuan. Tekanan darah klien saat
dilakukan pengkajian adalah 180/90 mmHg. Berdasarkan riwayat pengobatan klien
pernah terdiagnosis stroke, dengan gejala tangan dan kaki kiri tidak dapat digerakkan.
Klien hipertensi sejak usia 49 tahun dan telah mengkonsumsi obat sejak usia tersebut.
Pada pengkajian kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial, didapatkan data
dengan hasil dalam batas nornal. Klien terlihat gelisah ketika saat ditanya terkait
penyakitnya. Pengkajian riwayat sosial, membuktikan adanya perubahan sosial pada
klien.
Sebelum sakit, klien jarang mengikuti kegiatan di pelayanan kesehatan, tetapi
semenjak sakit, klien rutin mengikuti kegiatan PROLANIS yang diadakan di
kelurahan daerah tempat tinggalnya. Klien juga sering mengikuti kegiatan Posyandu
Lansia. Alasannya, karena klien tidak ingin pengalaman masuk rumah sakit
sebelumnya terjadi lagi. Klien mengeluh sering merasa cemas jika nantinya penyakit
hipertensi yang dimiliki klien bertambah buruk. Klien juga cemas akan pengalaman
masuk rumah sakit dengan diagnosis stroke sebelumnya terulang kembali dan
menyebabkan kematian. Pada pengkajian riwayat pengobatan, ditemukan data, bahwa
klien sebelumnya memiliki penyakit hipertensi sejak umur 49 tahun, rutin
mengkonsumsi obat oral dan kontrol ke pelayanan kesehatan.
Satu tahun yang lalu, klien terlambat kontrol dan beberapa hari tidak
mengkonsumsi obat untuk hipertensinya, sehingga ketika klien bangun tidur di siang
hari, kaki dan tangan kiri klien tidak dapat digerakkan. Kemudian klien dibawa ke
rumah sakit. Pada skoring ansietas, didapatkan skor ansietas klien adalah 18.
Skortersebut membuktikan bahwa Ny.S mengalami ansietas ringan yang ditandai
dengan perubuhan kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial ini masih dalam
batas normal. Klien kooperatif, tidak ada gangguan dalam komunikasi dan kognitif.
Masalah keperawatan fisiologi berdasarkan keadaan klien, yaitu hambatan mobilitas
fisik dan gangguan citra tubuh. Masalah kesehatan psikis, yaitu ansietas yang
berhubungan dengan masalah kesehatan fisik.
ANALISA KASUS

Menurut kelompok kami dari kasus tersebut tentang aspek etik legal, penerapan aspek
etik dalam keperawatan jiwa sangat terkait dengan pemberian diagnosis, perlakuan
atau cara merawat, hak pasien, stigma masyarakat, serta peraturan atau hukum yang
berlaku. Dilihat dari kasus tersebut bahwa pasien mengalami ansietas yang
berhubungan dengan masalah kesehatan fisik. Dimana pasien merasakan cemas dan
gelisah saat ditanya mengenai penyakitnya. Hal ini menyebabkan pasien memiliki
perubahan sosial seperti sebelum sakit, klien jarang mengikuti kegiatan di pelayanan
kesehatan, tetapi semenjak sakit, klien rutin mengikuti kegiatan PROLANIS. Setiap
pengalaman yang diperoleh akan mempengaruhi perilakunya. Demikian halnya
dengan klien dimana perilaku ansietas merupakan hasil dari pengalamannya dalam
mempelajari perilaku cemas dari peristiwa yang dijalani sebelumnya. Dengan adanya
rasa gelisah dan cemas ini mungkin akan memperburuk keadaan pasien yang sudah
menderita hipertensi, maka dari itu tindakan keperawatan yang diberikan berupa
latihan teknik relaksasi nafas dalam kemudian mengajak klien berkomunikasi secara
nyaman. Tindakan dilakukan pada klien ansietas dengan tujuan untuk melatih klien
mengidentifikasi dan melaksanakan perasaan, menjelaskan situasi yang menyebabkan
ansietas, mengenal penyebab ansietas dan melatih klien mengontrol ansietas melalui
latihan nafas dalam, latihan distraksi, bimbingan imajinasi, latihan hipnotis lima jari
dan kegiatan spiritual.

Anda mungkin juga menyukai