Dalam praktek perbankan ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit yang sudah umum
dipergunakan, yaitu ;
1) Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta dibawah tangan artinya
perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada
Debitur untuk disepakati.
2) Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang dinamakan akta otentik
atau akta notariil. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta
otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka
waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit
sindikasi.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada ketentuan tentang bagaimana
seharusnya bentuk suatu perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya
menentukan pedoman umum bahwa perjanjian harus dibuat dengan kata sepakat kedua
belah pihak. Dalam praktik bank, bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di
bawah tangan dan akta autentik (akta notaris) yang mana perjanjian tersebut juga telah
menjadi dasar hukum tersendiri bagi perjanjian kredit bank.Selain itu dasar hukum
perjanjian kredit juga dapat dijumpai dalam:
Perjanjian baku (standar contract) adalah perjanjian yang ketentuan dan syarat-syarat
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pemakainya dan
mengikat pihak lain. Perjanjian kredit bank merupakan merupakan perjanjian baku
(standard contract), dimana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit bank tersebut telah
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak terikat kepada
suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Kelemahan pokok dari perjanjian baku ini karena
kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-
klausul dalam perjanjian
1) Judul, udul di sini berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat
tersebut, setidaknya kita akan mengetahui bahwa akta atau surat itu
merupakan perjanjian kredit bank.
2) Komparisi, menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan
kedudukan subjek hukum perjanjian kredit bank.
3) Substantif, Sebuah perjanjian kredit bank berisikan sejumlah klausula yang
merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus
memuat hal-hal yang berkaitan dengan batas maksimum kredit, bunga dan
denda, jangka waktu kredit, cara pembayaran kembali kredit, agunan kredit,
opeinsbaar clause, dan pilihan hukum serta penyelesaian sengketa
Asas kebebasan berkontrak da- pat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer,
yang berbunyi: “Se- mua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2)
mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menen- tukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya, serta (4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas konsensualisme
Dalam dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak.
3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas pacta sunt servanda dapat disim- pulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas
pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghor-
mati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebu- ah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak.
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa
para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan keperca- yaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para
pihak.
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan per- seorangan saja.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer.