Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA

Mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAI

Disusun oleh kelompok XI


Anggotanya:
1. Yayan Ruyani 20211015
2. M. Sefian 20211105
3. Elfa Fatihaturohmah 20211084
4. Silvia Nabilah 20211046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) LATANSA
MASHIRO

RANGKASBITUNG

2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arah dan perkembangan kurikulum di Indonesia dalam makalah ini diartikan sebagai
perkembangan kurikulum di Indonesia sejak adanya negara kebangsaan Indonesia yang
diproklamasikan pada tahun 1945 dan tidak masa sebelumnya. Memang disadari bahwa arah dan
perkembangan kurikulum pada masa kemerdekaan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
perkembangan kurikulum pada masa sebelumnya dan bahkan harus diakui bahwa pengaruh
tersebut masih berlangsung sampai saat sekarang. Meski pun demikian, kompleksitas
permasalahan sangat tinggi antara kedua masa tersebut, terutama disebabkan oleh adanya
perbedaan suasana politik dan kehidupan kenegaraan. Perbedaan  antara masa sebelum
kemerdekaan dengan masa kemerdekaan sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan
kepada penulis untuk dapat memisahkan kedua periode itu dengan jelas dan memfokuskan
pembahasan pada periode yang dimulai sejak kemerdekaan.

Istilah kurikulum belum digunakan ketika bangsa ini menyatakan dirinya berdaulat atas
wilayah yang dulunya dinamakan Hindia Belanda. Istilah yang digunakan adalah rencana
pelajaran dan mata pelajaran sebagai terjemahan dari istilah dari bahasa Belanda leerplan dan
leervak.  Hal itu sejalan dengan penggunaan istilah kurikulum yang baru masuk dalam literatur
pendidikan pada abad 19 dan mulai mendapatkan tempat yang luas pada awal abad ke
20[2] (Tanner dan Tanner, 1980:4).

Istilah kurikulum mulai masuk kedalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur
kependidikan Amerika Serikat. Tokoh pendidikan Amerika seperti John Dewey (1916) dan
Ralph Tyler (1942) dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah kurikulum dalam dunia
pendidikan di Amerika Serikat.  Ketika tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan
Indonesia belajar di Amerika Serikat dan membaca buku-buku dari belahan dunia yang
berbahasa Inggeris maka istilah kurikulum masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia
pendidikan Indonesia. Secara resmi, istilah kurikulum di Indonesia belum digunakan sampai
ketika tahun 1968 ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968 antara untuk
mengganti kurikulum yang berlaku sebelumnya.

Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan berlaku
berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar  masyarakat, berdampak kepada pembiayaan
(cost) yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada  kehidupan bangsa di
masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani
kurikulum. Oleh karena itu kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan apabila
tidak mendapat dukungan politik (politically viable).  Aspek kurikulum yang paling banyak
berkenaan dengan unsur politik adalah aspek ide kurikulum. Aspek ini menyatakan secara
filosofis kualitas generasi muda bangsa yang akan dikembangkan melalui pengembangan potensi
setiap individu yang mengalami proses pendidikan. Artinya, jika pendidikan untuk seluruh
bangsa Indonesia adalah pendidikan dasar 9 tahun maka kualitas minimal yang harus dimiliki
seluruh bangsa Indonesia harus mampu dikembangkan melalui kurikulum pendidikan dasar 9
tahun (kurikulum SD/M.I dan SMP/M.Ts). Kualitas manusia Indonesia (baru) yang
dikembangkan oleh kurikulum pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak menjadi
kualitas minimal yang dipersyaratkan bagi bangsa Indonesia. Kualitas manusia Indonesia yang
dikembangkan melalui kurikulum pendidikan menengah dan tinggi hanya diperuntukkan bagi
sekelompok manusia Indonesia terpilih.

Kurikulum sebagai kebijakan publik itu dituangkan dalam bentuk dokumen,


direalisasikan dalam bentuk proses pendidikan, dan dihasilkan dalam bentuk hasil belajar peserta
didik. Dimensi dokumen dikembangkan sebagai landasan bagi pengembangan kurikulum dalam
dimensi proses sedangkan dimensi hasil adalah bentuk kemampuan yang diharapkan dimiliki
peserta didik dan menjadi kualitas dirinya. Oleh karena itu dalam tulisan ini kurikulum adalah
suatu “educational ideas, a written plan where the ideas are documented, the experience the
students have as teachers realize the document into reality, and the product or outcomes the
students have as the direct result from the experience ( Hasan, 2008)

B.  Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah ;

1.    Apa pengertian Arah pengembangan kurikulum di indonesia?

2.    Apa saja Arah pengembangan kurikulum di indonesia ?

C.  Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai adalah ;

1.    Agar mengetahui Arah pengembangan kurikulum di indonesia.

2.    Agar mengetahui macam-macam Arah pengembangan kurikulum di indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

PERUBAHAN KURIKULUM 1950 – 2004[3]

Seperti telah dikemukakan di bagian atas, kurikulum di Indonesia mengalami perubahan


mendasar pada tahun 1966 karena adanya perubahan kekuatan politik. Kurikulum sebelumnya
yaitu kurikulum 1965 Kurikulum tersebut bersifat sementara dan pada dasanya hanya
menghapuskan bagian-bagian yang berkenaan dengan ajaran komunisme. Adanya pengaruh
politik terhadap kurikulum sangat jelas dan tak mungkin dipungkiri (Appel, 1979: 13; Waring,
1981: 20). Kurikulum adalah isi dan jantungnya pendidikan (Klein, 2000:54) dan oleh karena itu
kekuatan yang mampu mempengaruhi kurikulum berarti mampu menguasai proses pendidikan
dan hasil pendidikan. Kepedulian kekuatan politik dapat berupa kekuatan resmi yang dipegang
oleh pemerintah (pusat, daerah) tetapi juga dapat berupa kekuatan politik yang riil di masyarakat
dan secara langsung berpengaruh terhadap kurikulum sebagai suatu proses pendidikan.

Kekuatan politik dikembangkan menjadi kemauan politik. Kemauan politik tersebut


dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki wewenang sebagai pengambil kebijakan di
bidang kurikulum (presiden, menteri, BSNP, kepala sekolah/komite sekolah). Kemauan politik
itu  dapat pula dimiliki oleh sejumlah orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan
dalam menentukan kurikulum. Sekelompok orang yang berhasil mempengaruhi pengambil
kebijakan itu mungkin para politisi, pressure groups, akademisi, orang tua, atau komunitas di
masyarakat umum

Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang dikeluarkan pada


tahun 1946 oleh Menteri Mr Soewandi dapat dikatakan sebagai keputusan awal yang berkenaan
dengan kurikulum. Tentu saja keputusan itu merupakan aspek ide kurikulum dan dinyatakan
dalam istilah pedoman dasar-dasar pengajaran. Keputusan Menteri tersebut dimuat dalam
Pewarta PPK nomor 2 tahun 1951 menetapkan pedoman dasar-dasar pengajaran haruslah
mengandung hal-hal sebagai berikut:

1. Perasaan bakti kepada Tuhan


2. Perasaan tjinta kepada Alam
3. Perasaan tjinta kepada Negara
4. Perasaan tjinta dan hormat kepada Ibu dan Bapak
5. Perasaan tjinta kepada Bangsa dan Kebudajaan
6. Perasaan berhak dan wadjib ikut memadjukan Negaranja menurut pembawaan dan kekuatannja
7. Kejakinan bahwa orang mendjadi sebagian jang tak terpisah dari keluarga dan masjarakat
8. Kejakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib
9. Kejakinan bahwa pada dasarnja manusia itu sama harganja, sebab itu berhubungan sesama
anggauta masjarakat harus bersifat hormat-menghormati, berdasar atas rasa keadilan, dengan
berpegang teguh atas harga diri sendiri
10. Kejakinan bahwa Negara memerlukan warga negara jang radjin bekerdja, tahu pada wadjibnja,
djudjur dalam pikiran dan tindakannja.

Pedoman ini memuat berbagai landasan pendidikan yang bahkan masih tetap aktual
untuk masa sekarang walau pun dalam kenyataan kurikulum pada masa-masa akhir abad ke- 20
dan awal abad ke-21 banyak dasar-dasar pendidikan tersebut dilupakan. Perubahan yang semakin
lama semakin memperkuat kedudukan filosofi pendidikan disiplin ilmu (esensialisme dan
perenialisme) sebagai inti dari kurikulum, menyebabkan kurikulum makin meninggalkan dasar-
dasar pendidikan yang tercantum dalam pedoman tahun 1946 tersebut. Hal ini memang sangat
disayangkan karena pendidikan seharusnya berkenaan dengan memanusiakan manusia,
membudayakan manusia, menjadikan manusia sebagai mahluk religious, sosial, ekonomi,
politik, ilmu, seni, dan teknologi yang tercakup dalam dasar-dasar tersebut. Posisi ilmu dan
teknologi yang pada benak pengambil keputusan sebagai satu-satunya penyelesaian untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia adalah keliru. Sayangnya, kekeliruan itu terus
berlanjut sampai saat kini tanpa mempedulikan jenjang pendidikan, menyebabkan kurikulum
semakin lama semakin bergeser kepada kepentingan ilmu dan meninggalkan kepentingan
utamanya yaitu manusia.

Pada tahun 1950 Republik Indonesia menghasilkan undang-undang pertama tentang


pendidikan yang kemudian digunakan oleh RIS dan setelah itu digunakan kembali oleh Republik
Indonesia dengan nama UU nomor 12 tahun 1954. [4]Dalam Undang-Undang nomor 4 tahun
1950 dan dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 terdapat berbagai ketetapan mengenai
kurikulum walau pun harus dikemukakan bahwa berbagai pikiran baik mengenai kurikulum yang
dikemukakan anggota BP-KNIP tidak terumuskan secara eksplisit. Prinsip-prinsip pendidikan
yang tercantum dalam pasal 5, 7 dan khusus mengenai pendidikan jasmani tercantum dalam
pasal 9 sedangkan pasal 20 mengenai pendidikan agama dapat dianggap sebagai ide kurikulum.
Pasal 5 menyebutkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan dalam interaksi
belajar mengajar. Untuk Taman Kanak-Kanak dan SR kelas 1, 2, dan 3 boleh menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.

Ketetapan dalam pasal 7 merupakan ketetapan mengenai tujuan lembaga pendidikan.


Pasal 7 tersebut menyebutkan:

1. Pendidikan dan pengadjaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnja rochani dan
djasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah
2. Pendidikan dan pengadjaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnja rochani dan djasmani
kanak-kanak memberikan kesempatan kepadanja guna mengembangkan bakat dan kesukaannja
masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannja, ketjakapannja, dan
ketangkasannja, baik lahir maupun bathin
3. Pendidikan dan pengadjaran menengah (umum dan vak) bermaksud melandjutkan dan
meluaskan pendidikan dan pengadjaran yang diberikan disekolah rendah untuk mengembangkan
tjita-tjita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masjarakat, mendidik
tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan chusus sesuai dengan bakat masing-masing dan
kebutuhan masjarakat dan/atau mempersiapkannja bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi.
4. Pendidikan dan pengadjaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada peladjar untuk
mendjadi orang jang dapat memberi pimpinan didalam masjarakat dan jang memelihara
kemadjuan ilmu dan kemadjuan hidup kemasyarakatan.
5. Pendidikan dan pengadjaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengadjaran kepada
orang-orang jang dalam keadaan kekurangan baik djasmani maupun rochaninja supaja mereka
dapat memiliki kehidupan lahir bathin jang lajak.
Sedangkan pasal 9 secara tegas mencantumkan mengenai pendidikan jasmani. Tertulis
pada pasal ini ”pendidikan djasmani jang menudju kepada keselarasan antara tumbuhnja badan
dan perkembangan djiwa dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia mendjadi
bangsa jang sehat dan kuat lahir bathin, diberikan pada segala djenis sekolah”.  Selain
pendidikan jasmani yang secara tegas menjadi mata pelajaran dalam kurikulum di setiap sekolah
mata pelajaran lain yang dinyatakan secara tegas adalah pendidikan agama. Pasal 20 menyatakan
”dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan peladjaran agama; orang tua murid menetapkan apakah
anaknja akan mengikuti peladjaran tersebut”.

Dalam pembahasan mengenai undang-undang ini selain terjadi perdebatan mengenai


status pendidikan agama  beberapa anggota BP-KNIP menyebutkan pula mata pelajaran lain
yang dianggap penting seperti Bahasa Indonesia, sejarah, dan pendidikan jasmani. Pemerintah
yang diwakili oleh Menteri PPK S. Mangunsarkoro mengemukakan pentingnya mata pelajaran
agama, sejarah dan pendidikan jasmani pada pertemuan tanggal 17 Oktober 1949. Pendapat
Menteri PPK ini mendapat dukungan dari Prawoto Mangkusasmito, Mr. Mohd Dalijono, Mr.
Kasman Singodimedjo, Lobo, Sugondo, Manai Sophiaan, Asrarudin, Zainal Abidin Achmad, dan
Mr Sartono. Sementara itu Mr. Kasman Singodimedjo dan Sugondo secara khusus menyebutkan
pentingnya mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah. Selain
sejarah,  Mr. Kasman Singodimedjo  menyebutkan mata pelajaran kesenian sebagai sesuatu yang
penting.

Dalam pidatonya Mr. Kasman Singodimedjo mengatakan ”saya pun setudju dengan
pemerintah jang telah mentjantumkan didalam rentjanja”:

1. pengadjaran sedjarah jang menurut peristiwa-peristiwa dapat dibanggakan dan jang


menundjukkan kedjajaan bangsa kita dan menimbulkan rasa kepertjajaan atas diri sendiri
pemuda-pemuda kita;
2. pengadjaran kesenian, baik seni suara maupun seni lainnja;
3. pengadjaran bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar untuk menebalkan rasa persatuan
nasional kita.

Rencana Pelajaran yang diberlakukan pada waktu itu adalah rencana pelajaran tahun
1947 dan dengan berlakunya Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 maka diberlakukan Rencana
Pelajaran 1947 itu tidak banyak berubah. Rencana Pelajaran SD memuat daftar mata pelajaran
yang terdiri dari 16 mata pelajaran (Sumber: Balitbang). Suasana kebangsaan yang baru saja
merdeka dan kesadaran akan pentingnya membangun rasa kebangsaan baru tampaknya menjadi
faktor yang menyebabkan posisi mata pelajaran sejarah dianggap sangat penting. Selain ada mata
pelajaran sejarah (Indonesia) di SD, di SMP dikenal ada mata pelajaran sejarah Indonesia dan
mata pelajaran sejarah dunia. Di SMA pelajaran sejarah bertambah dengan mata pelajaran
sejarah kebudayaan untuk mereka yang mengambil jurusan sastra dan budaya.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, dengan berlakunya Manipol Usdek maka
kurikulum harus diubah untuk memasukkan pikiran-pikiran yang ada pada Manipol Usdek. Hal
tersebut secara tegas dinyatakan dalam Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan
nomor 2 tahun 1961. Dengan instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan pada tahun
1961 tersebut maka dunia pendidikan Indonesia mengenal mata pelajaran baru yang dinamakan
Civics untuk membentuk manusia Indonesia baru, manusia Indonesia yang sesuai dengan ajaran
Manipol Usdek. Mata pelajaran ini kemudian menjadi mata pelajaran wajib di setiap jenjang
pendidikan di Indonesia[5] Kebijakan ini kembali memperlihatkan bahwa kurikulum tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh politik.

Perubahan politik yang mendasar terjadi lagi di Indonesia yaitu pada tahun 1965. Ajaran
Manipol serta ajaran komunis dilarang dan kurikulum sekolah harus bebas dari ajaran-ajaran
tersebut. Untuk itu maka pemerintah menetapkan bahwa Pendidikan Pancasila merupakan
pendidikan yang diarahkan untuk menangkal ajaran komunisme. Termasuk dalam Pendidikan
Pancasila ini adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam TAP MPR Nomor
IV/MPR/1978 Pendidikan Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan jiwa, semangat dan nilai-
nilai 1945. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila sebagai “penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga
kenegaraan dan kemasyarakatan, baik di Pusat mau pun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat
dan utuh.”  Pedoman yang secara singkat disebut dengan P-4 dan dinamakan pula Ekaprasetia
Pancakarsa kemudian ditetapkan sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila melalui TAP MPR
Nomor II/MPR/1983 bersama-sama dengan Pendidikan Moral Pancasila.

Pada tahun 1983, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr Nugroho Notosusanto,
mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0461/U/1983 menetapkan
mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran wajib dalam
kurikulum. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini kemudian mendapat penguatan
dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1983 sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila. Dengan
demikian maka Pendidikan Pancasila memiliki komponen Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum memiliki tugas berat karena pada kenyataannya materi
kurikulum untuk P-4 dan PMP sukar dipisahkan sedangkan materi untuk PSPB memang banyak
berkenaan dengan peristiwa sejarah dalam fungsi pendidikan kewarganegaraan. Tradisi
pengajaran sejarah yang sudah berakar berfokus pada pendidikan sejarah untuk pengetahuan dan
pemahaman sejarah menyebabkan guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan proses
pembelajaran PSPB. Tidak jarang guru mengajarkan PSPB dalam fungsi dan tujuan mata
pelajaran sejarah yang sudah mereka kenal. Apalagi ada ketetapan bahwa PSPB tidak harus
diajarkan oleh guru sejarah tetapi oleh guru mana pun sedangkan penguasaan materi sejarah
mereka ini sangat lemah maka PSPB menghadapi masalah besar. Masalah besar tersebut adalah
guru yang menguasai materi sejarah tidak memahami dan tidak memiliki kemampuan untuk
mengembangkan materi itu ke tujuan kewarganegaraan sedangkan guru lain tidak menguasai
materi dan tidak pula menguasai kemampuan menggunakan materi untuk mencapai tujuan PSPB.

Dalam bentuk mata pelajaran, PSPB baru diterapkan secara resmi di sekolah pada
kurikulum 1984. Sebelumnya dalam kurikulum 1975 yang merupakan kurikulum modern
pertama di dalam dunia pendidikan Indonesia karena dikembangkan menurut teori dan prinsip
pengembangan kurikulum, PSPB belum menjadi mata pelajaran. Kurikulum 1975 dikembangkan
berdasarkan suatu pendekatan baru yaitu pendekatan integratif. Oleh karena berbagai mata
pelajaran yang semulanya berdiri sendiri diorganisasikan sedemikian rupa menjadi mata
pelajaran dengan label baru. Biologi, Fisika, dan Kimia dikembangkan dalam suatu organisasi
baru dengan label Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Mata pelajaran Sejarah, Geografi, Ekonomi,
Sosiologi, dan Politik yang semulanya berdiri sendiri diorganisasikan sebagai mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Kelompok-kelompok mata pelajaran yang dulunya dikenal
dengan nama Ilmu Ukur Bidang, Ilmu Ukur Ruang, Aljabar diorganisasikan dalam mata
pelajaran Matematika.

Pendekatan baru yang digunakan dalam pengembangan Kurikulum 1975  berkenaan


dengan orgnisasi konten kurikulum dan dengan pendekatan dalam proses pembelajaran tersebut
merupakan penerapan model ”instructional technology”. Selain itu, Kurikulum 1975 
memperkenalkan cara baru dalam menilai hasil belajar peserta didik yaitu melalui soal-soal yang
menggunakan butir soal objektif. Pendekatan baru yang diperkenalkan dalam proses
pembelajaran menempatkan peserta didik sebagai agen yang aktif dalam belajar. Dengan nama
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) maka peserta didik harus aktif mencari, menemukan, dan
mengkomunikasikan hasil belajarnya dan bukan hanya menerima semua informasi dari guru.

Pendekatan CBSA ini adalah suatu inovasi kurikulum yang sangat menguntungkan.
Pendekatan ini tidak saja menggunakan teori belajar konstruktivisme tetapi memberikan
kesempatan kepada peserta didik mengembangkan ketrampilan yang dapat digunakan untuk
belajar seumur hidup. Dengan kemampuan mencari sumber informasi, menemukan informasi
didalamnya, mengolahnya, dan mengkomunikasikan hasilnya peserta didik dapat
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari setelah yang bersangkutan keluar dari sistem
persekolahan. Sayangnya, pendekatan ini dapat dikatakan gagal dalam implementasinya.
Sebagian kegagalan tersebut disebabkan kegagalan dalam menerapkan CBSA dalam desain
konten kurikulum. Kemampuan yang harus dimiliki peserta didik untuk mampu menempatkan
dirinya sebagai seorang yang aktif mencari, menemukan, dan mengkomunikasikan hasil
belajarnya tidak dikemas dalam organisasi konten kurikulum yang sesuai. Organisasi konten
kurikulum memperdulikan hanya konten substantif sehingga konten proses yang terdapat pada
CBSA tidak diorganisasikan menurut kaedah konten proses.

Kelemahan Kurikulum 1975 yang kedua adalah kelemahan yang sangat umum terjadi
dalam proses pengembangan kurikulum di Indonesia dan masih berlaku hingga hari ini yaitu
lemahnya sosialisasi kurikulum. Setelah kurikulum selesai dikembangkan menjadi suatu
dokumen, dicetak, dan didistribusikan ke sekolah[6] proses pengembangan kurikulum meloncat
ke fase implementasi tanpa diikuti dengan proses sosialisasi yang seharusnya. Guru dianggap
serba tahu dan serba mampu melaksanakan kurikulum yang penuh dengan inovasi tersebut.
Kondisi implementasi seperti ini juga terlihat ketika kurikulum lainnya (1984, 1994)
diperkenalkan.

Kelemahan ketiga adalah ketiadaan dana untuk implementasi. Pelaksanaan kurikulum


baru dengan inovasi yang dibawanya memerlukan dana operasional yang terkadang tidak kecil.
Pengamatan terhadap pelaksanaan kurikulum menunjukkan bahwa dana yang diperlukan sekolah
tidak tersedia. Sekolah harus mencari sendiri dana yang diperlukan tersebut. Sebagai contoh,
ketika peserta didik belajar IPA dan harus melakukan praktek di laboratorium, bahan praktek
tidak tersedia atau tidak cukup, dana untuk praktikum tidak pula tersedia.
Sepuluh tahun kemudian Pemerintah menggantikan kurikulum 1975 dengan kurikulum
1984. Setelah ini kebijakan penggantian kurikulum setiap sepuluh tahun menjadi suatu tradisi.
Perkembangan dalam kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, keagamaan, seni, ilmu dan
teknologi tidak lagi berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Kurikulum menjadi imun dan
terus berjalan walau pun aspek-aspek yang menjadi dasar dari kurikulum tadi sudah jauh berbeda
dari ketika kurikulum dikembangkan. Pemerintah memperlakukan kurikulum sebagai suatu
seremoni politik untuk setiap sepuluh tahun sekali. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh
”mapannya” politik pada masa itu. Faktor lain yang telah dikemukakan selain politik tidak
mampu menyentuh perubahan kurikulum. Tujuan pembangunan Indonesia yang diarahkan
kepada pembangunan masyarakat industri dari masyarakat agraris tidak berpengaruh terhadap
kurikulum.

Kurikulum 1984 pada dasarnya tidak banyak mengubah posisi belajar peserta didik.
Peserta didik harus memegang peran aktif dalam belajar terus dipertahankan dengan
menggunakan pendekatan ketrampilan proses. Peserta didik harus melaksanakan pembelajaran
melalui ketrampilan proses sehingga mereka memiliki kemampuan dalam mengembangkan
masalah berdasarkan apa yang telah dibaca, diamati, dan dibahas. Kemudian mengembangkan
proses belajar  aktif dalam memecahkan masalah yang telah dirumuskan tersebut. Sayangnya,
kesalahan sama seperti yang dilakukan dengan model CBSA dan kurikulum 1975 diulangi lagi.
Ketrampilan proses tidak dikembangkan dalam desain konten kurikulum sehingga konten
kurikulum hanya mencantumkan hal-hal yang bersifat substantif seperti konsep, teori, peristiwa,
dan sebagainya. Ketrampilan yang terdapat dalam Ketrampilan Proses dan CBSA tidak pernah
dijadikan konten kurikulum dan dirajut bersama dengan materi substantif dalam suatu desain.
Akibatnya, sama seperti nasib CBSA maka ketrampilan proses menjadi slogan dan tidak pernah
menjadi ketrampilan nyata sebagai hasil belajar yang dimiliki peserta didik. Peserta didik tahu
dan paham mengenai ketrampilan proses tetapi tidak mampu menggunakan ketrampilan proses
dalam pembelajaran.

Kurikulum 1984 menggunakan organisasi konten yang sama dengan Kurikulum 1975
untuk kurikulum SD dan SMP tetapi memiliki perbedaan mendasar dari Kurikulum 1975 dalam
organisasi konten kurikulum untuk SMA.  Kurikulum untuk SMA menggunakan pendekatan
pengembangan kurikulum yang sangat esensialis[7] sehingga label mata pelajaran sama dengan
label disiplin ilmu. Mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, politik, sosiologi, kimia, fisika,
biologi dicantumkan dalam kurikulum sebagaimana adanya. Pengajaran untuk setiap mata
pelajaran ini pun bersifat “discrete” dan ditujukan untuk penguasaan disiplin ilmu. Pendekatan
seperti ini dianggap sebagai pendekatan terbaik bagi peserta didik SMA karena mereka
dipersiapkan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi.

Pada tahun 1994, sesuai dengan tradisi sepuluh tahunan, Pemerintah meresmikan
kurikulum baru. Kurikulum 1994 ini merupakan revisi terhadap kurikulum 1984 tetapi pada
dasarnya keduanya tidak mmemiliki perbedaan yang prinsipiil. Orientasi pendidikan pada
pengajaran disiplin ilmu menempatkan kurikulum sebagai instrumen untuk “transfer of
knowledge”. Penyempurnaan terjadi pada materi pendidikan sejarah karena materi pendidikan
sejarah yang tercantum dalam kurikulum SMU (nama baru SMA berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989) dianggap tidak lengkap. Kurikulum 1994 menyempurnakannya dengan
berbagai tambahan terutama dalam pokok bahasan.
Perubahan lain yang terjadi adalah penghapusan mata pelajaran Pendidikan Sejarah
Perjuangan  Bangsa dalam kurikulum.  Konten kurikulum yang berkenaan dengan masalah sosial
dan sejarah semakin berkurang sementara itu kurikulum konten yang berkenaan dengan IPA dan
matematika semakin bertambah. Mata pelajaran sosiologi dan antropologi mendapat tempat yang
disesuikan dengan filosofi esensialisme yaitu masing-masing berdiri sendiri sebagai mata
pelajaran yang terpisah. Walau puna da mata pelajaran sosiologi di semua juurusan
(IPS,IPA,Bahasa) kurikulum tidak mampu mempersiapkan generasi muda bangsa yang peka
terhadap masalah sosial dan bangsa. Hádala suatu kenyataan bahwa kurikulum 1994, sesuai
dengan pandangan esensialisme dan perenialisme, dan sebagaimana kurikulum sebelumnya
(1975, 1984), Kurikulum 1994 memisahkan peserta didik dari masyarakatnya karena materi
pelajaran yang diajarkan ádalah materi formal yang dikenal dalam disiplin ilmu dan sudah
tersedia dalam buku-buku teks yang disetujui pemerintah.

Selain dari itu, permasalahan kurikulum 1994 baik dalam desain konten kurikulum mau
pun dalam impelementasi masih sama dengan kurikulum sebelumnya. Kesalahan yang sama
tersebut menyebabkan bangsa ini terjerumus pada permasalahan yang sama pula dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan. Desain konten kurikulum yang berdasarkan desain “transfer of
knowledge” menghasilkan manusia penghafal definisi, humus, prosedur, kaedah, nilai, dan fakta.
Nilai-nilai yang diajarkan dalam PPKN dihafalkan, ketrampilan yang dikembangkan dalam mata
pelajaran lain dihafalkan sehingga kurikulum banyak memberikan makanan intelectual tingkat
rendah. Kemampuan intelectual yang dikembangkan dalam taksonomi tujuan pendidikan oleh
Bloom dkk. Digunakan sebatas pada menghafal sehingga kemampuan untuk memahami,
menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi tidak menjadi milik peserta didik.
Kepribadian yang ingin dibentuk oleh PPKN tidak berhasil dikembangkan sebagaimana halnya
pendidikan agama yang gagal dalam membentuk manusia beragama.

Kurikulum 1994 adalah kurikulum nasional terakhir yang dikembangkan oleh Pemerintah
Pusat dan dinyatakan berlaku secara nasional. Memang dimulai pada tahun 2000 Pemerintah
Pusat sudah mengembangkan kurikulum baru untuk dinyatakan berlaku sebagai kurikulum 2004,
sesuai dengan tradisi sepuluhtahunan. Kurikulum baru ini dikembangkan berdasarkan
pendekatan kompetensi. Walau pun demikian, kurikulum 2004 menjadi permasalahan nasional
yang krusial karena sebelum kurikulum ini diimplementasikan secara nasional perkembangan
baru terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia.

Ketika Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bentuk ketatanegaran baru melalui


amandemen UUD 1945 dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tentang Pemerintahan
Daerah maka pendidikan tidak lagi menjadi wewenang mutlak Pemerintah (Pusat). Melalui
konsep desentralisasi dan ootonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah (provinsi,
kabupaten dan kota) maka pendidikan menjadi urusan yang diserahkan kepada pemerintah
daerah. Perkembangan baru ini diperkuat dengan diresmikannya Undang-Undang Nomor 20
tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan bahwa pengembangan kurikulum adalah
wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah. Pemerintah (pusat) berkewajiban
mengembangkan standar isi yang menjadi pedoman bagi pengembangan kurikulum di daerah.

Pada tahun 2003 ketika UU tersebut dinyatakan berlaku maka pengembangan kurikulum
sudah seharusnya dilakukan berdasarkan ketentuaan-ketentuan yang ditetapkan dalam UU nomor
20 tahun 2003 tersebut. Artinya, tidak ada lagi kurikulum nasional sebagaimana sebelumnya.
Sejak tahun 2003 dunia pendidikan Indonesia telah membuka halaman baru dan kurikulum yang
dilaksanakan di sekolah adalah kurikulum yang secara khusus dikembangkan untuk sekolah di
wilayah kabupaten atau kota dimana sekolah itu berada. Perubahan kekuasaan politik, terutama
dalam sistem kekuasaan pemerintahan telah menempatkan pengembangan kurikulum dalam dua
tingkat yang saling terkait yaitu tingkat nasional berupakan stándar dan tingkat sekolah berupa
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Memang terjadi loncatan wewenang yang tidak
garis lupus dengan kekuasaan pemerintahan karena Pemerintah (pusat) langsung ke lapisan
“grass-root” yaitu sekolah tetapi hal ini tidak dapat dipungkiri merupakan perubahan mendasar
yang disebabkan oleh kekuasaan politik.

PENGEMBANGAN KURIKULUM 2004

Pada saat kini proses pengembangan kurikulum di Indonesia mengikuti kebijakan yang
diundangkan dalam UU nomor 20 tahun 2003, PP nomor 19 tahun 2005 dan Permen nomor 22,
23, dan 24 tahun 2006.  Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, berdasarkan ketetapan
tersebut maka pada saat sekarang proses pengembangan kurikulum di Indonesia mengikuti dua
langkah besar yaitu proses pengembangan yang dilakukan di Pemerintah Pusat dan
pengembangan yang dilakukan di setiap satuan pendidikan. Arah baru ini diharapkan dapat
menjawab kepentingan bangsa masa kini dan masa yang akan datang. Kurikulum diharapkan
dapat mengakomodasi dua kepentingan  dengan baik, sinkron, dan tanpa konflik yaitu
kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Kepentingan nasional diwakili oleh ketetapan mengenai kompetensi lulusan (SKL) dan
standar Isi (SI) sedangkan kepentingan daerah diwakili oleh keterkaitan sekolah dengan
lingkungan sekitarnya yaitu muatan lokal.[8]. Kedua kebijakan ini dinyatakan secara legal dalam
dua peraturan menteri yaitu Permen Diknas nomor 22 tahun 2006 tentang SI dan Permen Diknas
nomor 23 tahun 2006 tentang SKL. Secara konseptual keduanya masih merupakan materi yang
dikembangkan dalam rancangan Kurikulum 2004 (KBK) dan mengandung berbagai masalah
berkenaan dengan teori kompetensi. Selain itu, materi yang tercantum dalam SKL, Stándar
Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD) masih mencerminkan kepentingan ilmu dan
belum mencerminkan kepentingan bangsa dalam berbagai dimensi kehidupan kebangsaan dan
masyarakat. Kebijakan mengenai muatan lokal  sangat mendasar untuk KTSP dibandingkan
untuk kurikulum sebelumnya. Sayangnya, sebagaimana SI dan SKL, berbagai persoalan
konseptual dan prosedural masih harus dibenahi antara lain pengertian materi muatan lokal,
organisasi materi muatan lokal, dan prosedur pengembangan materi muatan lokal.

Pengembangan yang paling menjadi fokus perhatian adalah pengembangan tingkat


sekolah. Pada tingkat ini sekolah tetap harus memperhatikan kebutuhan dan tantangan
masyarakat yang dilayaninya, menterjemahkan tantangan tersebut dalam kemampuan yang harus
dimiliki peserta didik. Pengembangan pada tingkat satuan ini menghasilkan apa yang disebut
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Sesuai dengan ketetapan pada Permen nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, KTSP
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut ini:

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk
mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.

2. Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi


daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat
istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan
wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam
keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,  teknologi, dan seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta
didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan   melibatkan pemangku kepentingan


(stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di
dalamnya kehidupan  kemasyarakatan, dunia usaha dan  dunia kerja. Oleh karena itu,
pengembangan keterampilan pribadi,  keterampilan  berpikir, keterampilan sosial, keterampilan
akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

5. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan
mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang
pendidikan.

6. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta


didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-
unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan
lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah


untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional
dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka
Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari tujuh prinsip pengembangan KTSP tersebut maka prinsip pertama (a),  kedua (b),
keempat (d), keenam (f), dan ketujuh (g) memberikan kesempatan kepada KTSP untuk membuka
pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Melalui keempat prinsip itu
kurikulum tidak lagi hanya peduli dengan perkembangan ilmu dan teknologi tetapi juga sudah
peduli dengan aspek kehidupan lain dari manusia. Oleh karena itu apabila prinsip-prinsip ini
dapat diterapkan dengan baik dalam KTSP kelemahan yang terdapat pada SKL, SK, dan KD
dapat diperbaiki.

Dalam konteks ini maka arah kebijakan kurikulum di masa mendatang haruslah
memperhatikan penerapan prinsip-prinsip ini dengan benar dan evaluasi kurikulum tingkat KTSP
harus memperhatikan fokus ini baik dalam pengembangan dimensi dokumen mau pun dalam
pengembangan dimensi proses. Dokumen KTSP harus jelas mencantumkan ketrampilan yang
diperlukan sehingga seorang peserta didik mampu mengembangkan dirinya di sekolah dan
sesudah selesai dari pendidikan sekolah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain itu materi yang dapat
mengembangkan rasa ingin tahun, mengenal dan mengembangkan budaya dan adat istiadat
setempat, kemampuan mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni merupakan kompetensi yang secara tegas dan jelas tercantum
dalam dokumen kurikulum, dan diorganisasikan menurut prinsip kurikulum berbasis kompetensi.

Organisasi konten kurikulum yang mengikuti prinsip kompetensi akan memberikan


kesempatan kepada peserta didik untuk melatih berbagai ketrampilan tersebut melalui berbagai
materi pelajaran substantif. Waktu yang digunakan akan lama dan tidak mungkin hanya dalam
satu pertemuan, mungkin satu semester, satu tahun atau selama yang bersangkutan mengikuti
pelajaran di satuan pendidikan tersebut. Keberulangan dalam proses pemantapan kemampuan
diperlukan karena kemampuan, values, sikap yang terdapat dalam kompetensi bersifat
”developmental” .

DAFTAR BACAAN
Apple, M.W. (1979). Ideology and Curriculum. London: Routledge and Kegan Paul.

Depdiknas (1983). Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


1983. Jakarta: Depdiknas

Gunawan, A.H. (1986). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara

Hasan, S.H. (2006). Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah, naskah untuk buku
Indonesia dalam Arus Sejarah (dalam proses percetakan)

Hasan, S.H. (2007), Landasan dan Pengembangan Kurikulum. makalah disajikan di Pusat
Kurikulum

Hasan, S.H. (2007). Evaluasi Kurikulum. Dalam proses percetakan

Hasan, S.H. (2008). Pedagogy, Curriculum, And  Ethnicity: Multicultural Curriculum in


Indonesia. Makalah disajikan di UKM, Malaysia

Klein, M.F. (1992). Curriculum reform in the elementary school. Creating your own agenda.
New York and London: Teacher College Columbia University

Simandjuntak, I.P. (1972). Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Bandung: Angkasa

Sjamsuddin, H., Kosoh Sastradinata, Said Hamid Hasan (1993). Sejarah Pendidikan di
Indonesia: Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: Manggala Bhakti

Soemanto, W. (1983). Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional

Tanner, D. dan L.N. Tanner (1980). Curriculum development. Theory into practice. New York:
Macmillan Publishing House.

Tyler, R.W. (1949), Basic principles of curriculum and instruction. Chicago: University of
Chicago Press.

Yamin, Muhd (1954). Dasar Pendidikan dan Pengadjaran.

Yunus, M. (1992). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Waring, M. (1981). Social pressure and curriculum development. A study of Nuffield


Foundation Science Teaching Project. London: Methuen

DOKUMEN

1. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di


Sekolah
2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran
Disekolah untuk Seluruh Indonesia
3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
4. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
5. Kurikulum 1975
6. Kurikulum 1984
7. Kurikulum 1994
8. Kurikulum 2004
9. Permen Diknas nomor 22 tahun 2006
10. Permen Diknas nomor 23 tahun 2006
11. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005
12. TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966
13. TAP MPR Nomor IV/MPR/1973
14. TAP MPR Nomor II/MPR/1978
15. TAP MPR Nomor IV/MPR/1978
16. TAP MPR Nomor II/MPR/1983
17. TAP MPR Nomor II/MPR/1988

[1] Disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, Balai Pertemuan UPI, 3 April 2008

[2] Sebelum istilah kurikulum digunakan istilah paedagogy atau pedagogiek adalah istilah umum
yang digunakan  bersamaan dengan istilah didaktik.

[3] Bagian ini adalah editing dari tulisan yang disiapkan untuk buku Indonesia dalam Arus
Sejarah (dalam proses penerbitan)

[4] UU ini dihasilkan oleh BP-KNIP dibawah pimpinan Mr Dasaat dan disyahkan oleh Presiden
RI Mr Dasaat untuk diberlakukan di negara RI sebagai negara bagian RIS. Setelah itu presiden
RIS, Ir Soekarno memberlakukan UU tersebut keseluruh wilayah RIS. Setelah RIS bubar dan
kembali menjadi negara kesatuan RI maka UU itu dicatat di Lembar Negara sebagai UU nomor
12 tahun 1954.

[5] Mata pelajaran ini kemudian mengalami beberapa perubahan nama yaitu Kewarganegaraan,
Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. TAP MPR kemudian
memperkuat posisi mata pelajaran ini dalam kurikulum persekolahan. Tentu saja dengan adanya
TAP ini maka peraturan-peraturan di bawahnya harus sesuai dengan TAP MPR.
[6] Proses distribusi dokumen kurikulum itu sangat jelek. Adalah sesuatu yang tidak dapat
dibantah bahwa guru tidak memiliki dokumen kurikulum kecuali hanya Garis-garis Besar
Pedoman Pengajaran (GBPP) yang berkenaan dengan mata pelajaran yang menjadi
tanggungjawabnya. Ide kurikulum yang tercantum dalam dokumen kurikulum lainnya (dokumen
I) dan tak pernah tuntas disosialisasikan tak pernah diketahui apalagi difahami guru.
Kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang dinamakan PPSI tidak
pernah mencapai tingkat mastery yang seharusnya.

[7] Pandangan esensialis mensyaratkan agar setiap disiplin ilmu diajarkan dan diantumkan dalam
kurikulum sebagaimana aslinya. Menggabungkan berbagai disiplin ilmu dalam suatu organisasi
seperti IPA atau IPS adalah bertentangan dengan prinsip dasar pandangan esensialis.

[8] Kurikulum muatan lokal sudah diperkenalkan sejak Kurikulum 1984 dan dilanjutkan sampai
kini. Kebijakan ini menjadi semakin penting dengan kebijakan mengenai KTSP karena
kurikulum sekolah harus memasukkan unsur-unsur muatan lokal sebagai materi setiap mata
pelajaran.

Anda mungkin juga menyukai