Anda di halaman 1dari 14

Bahan 1: Carlin and Howard (1965) dalam Aubert (ed) (1977).

Sociology of
Law. Penguin Books.

Legal Representation and Class Justice

Dijelaskan dalam buku ini bahwa, peradilan hanya dapat dioperasikan melalui
pengacara, yang kemudian pengacara juga harus dibayar untuk layanannya tersebut. Hal
ini kemudian menjadi sebuah masalah karenak jasa pengacara terlatih cenderung
memiliki harga layanan yang berada di luar kemampuan sebagian besar individu,
Selain itu, lembaga-lembaga hukum di Amerika Serikat cenderung tidak memiliki
reorganisasi atau penyederhanaan, kecuali ada perubahan total dari keseluruhan
struktur dapat sepenuhnya menghilangkan kebutuhan akan pengacara. Reginald Heber
Smith kemudian mengusulkan sebuah solusi dengan menyatakan bahwa harus ada
perluasan organisasi dalam proses bantuan hukum. Smith melihat bahwa terdapat
perbedaan ketersediaan dan kualitas perwakilan hukum antar kelas sosial.

Class Differences in Legal Representation

a. Use of private lawyers

Di Amerika Serikat, penggunaan pengacara dinilai kurang lazim di


kalangan kelas bawah jika dibandingkan dengan kelas atas. Survei terhadap orang
awam di beberapa negara bagian selama beberapa tahun terakhir menunjukkan
bahwa sekitar dua pertiga dari keluarga kelas bawah tidak pernah menggunakan
jasa pengacara. b. Quality of representation
Pengacara yang mewakili orang-orang kelas bawah cenderung
merupakan pengacara dengan keterampilan yang jauh dibawah pengacara lain.
Pengacara yang tersedia untuk klien dari kelas bawah biasanya kurang
kompeten dibandingkan pengacara untuk kelas atas. Kemudian terdapat
perbedaan kualitas layanan yang diberikan kepada kelas bawah dalam beberapa
firma hukum. Kualitas layanan yang diberikan kepada klien yang lebih miskin
dipengaruhi oleh jenis dari masalah yang biasanya mereka bawa ke pengacara
(seperti perceraian, pidana, cedera pribadi), hal ini kemudian dikombinasikan
dengan bayaran yang kecil sehingga mendorong terjadinya pemrosesan kasus
secara massal.
c. Integrity of representation

Pengacara yang tersedia untuk klien kelas bawah memiliki kemungkinan


besar untuk memanfaatkan klien mereka. Data dari studi pengacara di kota New
York
menunjukkan bahwa pengacara dengan status rendah, biasanya cenderung untuk
mengeksploitasi klien.

Denial of Justice to the Poor

Sehubungan dengan adanya perbedaan kelas dalam penggunaan dan kualitas


perwakilan hukum pribadi dari para pengacara, seseorang dapat mengatakan bahwa
ketidaksetaraan tidak sama dengan ketidakadilan. Orang kelas bawah cenderung tidak
menggunakan pengacara karena mereka cenderung tidak membutuhkan pengacara,
dengan anggapan bahwa mereka memiliki lebih sedikit masalah yang berkaitan dengan
perwakilan hukum. Meskipun penasehat pribadi mungkin tidak dapat diakses oleh
orang kelas bawah, pengganti yang memadai untuk perwakilan tersebut disediakan
dalam bentuk bantuan hukum, penasehat pengadilan, pembela umum dan pengadilan
khusus. Kedua argumen di atas dibenarkan oleh pernyataan di bawah ini, yaitu:
1. The poor have fewer legal problems

Karena orang miskin cenderung tidak memiliki jenis properti atau kepentingan
bisnis yang memerlukan layanan hukum, mereka secara alami kurang membutuhkan
perwakilan hukum. Dasar dari argumen ini tidak masuk akal. Pertama, perbedaan tarif
pembuatan surat wasiat, surat kontrak, dan lain-lain tidak selalu mewakili kebutuhan
yang berbeda dalam
layanan hukum. Beberapa pihak yang menganggap bahwa orang kelas bawah jarang
terlibat dalam permasalahan hukum biasanya mendefinisikan konsep “properti” secara
sempit. Masyarakat kelas bawah jarang terlibat dalam transaksi properti seperti
masyarakat kelas atas yaitu ‘traditional properties’ misalnya sebuah perumahan
mewah. Traditional properties, bagaimanapun, tidak memenuhi kepentingan ekonomi
utama orang miskin. Hak kerja, jaminan kesehatan, dan dana pensiun cenderung
menjadi ciri khas kepentingan ekonomi yang harus dipenuhi oleh masyarakat miskin.
Seringkali properti yang menjadi kepentingan orang miskin tidak diberikan
perlindungan. Tidak diberikannya pengakuan dan perlindungan properti disebabkan
karena tidak terpenuhinya hak hukum orang miskin. Charles Reich berpendapat bahwa
untuk menjamin martabat individu, seluruh jenis properti (mencakup kepentingan orang
miskin) harus diakui sebagai hak milik dan dilindungi.
Terdapat persepsi bahwa orang miskin tidak mampu memahami permasalahan yang
sedang ia alami karena adanya pendapat bahwa masalah yang sering mereka alami
hanya berfokus pada isu sosial atau psikologi. Masyarakat khususnya orang kalangan
bawah dengan demikian dilihat sebagai objek yang harus ditransformasi melalui proses
manipulasi oleh para ahli sosial atau psikiatri. Kelompok ahli seperti pekerja sosial dan
psikiatri dianggap sebagai
pihak yang dianggap memahami permasalahan yang dihadapi permasalahan
masyarakat/orang miskin. Para ahli seringkali menetukan apa yang menurutnya baik
bagi klien (orang kalangan bawah) sehingga mereka berperan sebagai otoritas
administrator yang memiliki power dalam mengendalikan pemberian layanan bantuan.
Keadaan sulit yang dialami orang miskin menunjukan minimnya akses untuk
berpartisipasi dalam proses hukum dan penentuan kebijakan pemerintah. Fungsi
pengacara disini pada dasarnya adalah menyampaikan keluhan dari kliennya sehingga
ia mendapatkan pemulihan dengan mengkomunikasikan secara efektif dan benar
kepada pihak yang memiliki kuasa untuk melakukan perbaikan. Dalam melayani
masyarakat kalangan bawah, pengacara tidak boleh memberikan penilain terhadap
permasalahan yang dialami kliennya. Hal ini diharapkan agar keluhan dari masyarakat
dapat disampaikan secara efektif dan benar pada saat proses pengadilan.
2. There are Adequate Substitute for Private Legal Representation

Perbedaan kelas yang ada dalam perwakilan hukum juga telah ditetapkan
dengan alasan bahwa orang miskin diberikan pengganti yang memadai untuk
pengacara swasta dalam bentuk bantuan hukum, penasehat hukum, pembela umum,
dan pengadilan khusus yang telah sengaja dirancang untuk meniadakan kebutuhan dari
nasihat. Di satu sisi, pemberian bantuan hukum tersebut perlu diberikan pujian. Namun
di sisi lain meskipun ada bukti nyata dari kerja mereka, namun bantuan hukum sangat
terhambat baik dalam memenuhi potensi kebutuhan yang besar akan perwakilan hukum
maupun dalam menangani kasus-kasus yang sebenarnya ditangani.

Causes inequality in legal representation


a. Factor Involved in the Unequal Use of Lawyers

Kurangnya sumber ekonomi untuk menyewa jasa pengacara menjadikan


orang miskin tidak memiliki keterwakilan di dalam proses peradilan. Meskipun
begitu, faktor ekonomi hanya menampilkan satu dari kompleksitas proses yang
mengarahkan seseorang untuk mencari dan memperoleh perwakilan hukum.
Terdapat setidaknya empat tahap yang terlibat, yaitu (1) kesadaran bahwa suatu
masalah merupakan masalah hukum, (2) keinginan untuk menggunakan aksi
legal dalam menyelesaikan atau mencari solusi bagi masalah, (3) mencari
pengacara, dan (4) mempekerjakan pengacara.
1) Awareness of problem as legal problem, yaitu tindakan dan situasi saat
ini menimbulkan masalah hukum tapi beberapa individu mungkin tidak
menyadarinya. Hal ini disebabkan karena beberapa orang mungkin tidak
mengetahui hak-hak mereka sebagai warga negara dan kurang
mempercayai
efektivitas dari hukum. Hal ini seringkali dialami oleh masyarakat
berpenghasilan rendah.
2) Willingness to take legal action, yaitu munculnya kesadaran terhadap
masalah hukum bukan berarti dapat meningkatkan permintaan untuk
mencari bantuan kepada pengacara. Ketika seseorang memutuskan
untuk meminta bantuan ke pengacara, berarti ia telah mempercayai
kelayakan, efisiensi, dan keadilan serta solusi dalam hukum. Terdapat
dua faktor yang membuat individu kelas bawah enggan untuk
mengambil tindakan hukum yaitu: (a) Pengalaman buruk ketika
mencoba pelayanan hukum yang justru membuat ia mengalami
keterasingan dari proses hukum, dan (b) Kondisi tidak aman dan takut
akibat munculnya pembalasan dari pihak oposisi jika upaya hukum
harus ditempuh. Sebagian besar individu kelas bawah meminta bantuan
hukum ke polisi, pengadilan yang lebih rendah, dan sejenisnya. Mereka
juga dapat diperlakukan dengan tidak baik atau bahkan direndahkan,
serta yang paling buruk adalah dieksploitasi. Hal tersebut kemudian
membuat banyak orang miskin memberikan citra negatif tentang hukum
dan pengacara, kemudian ragu untuk meminta bantuan mereka.
3) Getting to lawyer, individu kelas bawah memiliki akses yang lebih
sedikit ke pengacara. Penelitian yang dilakukan oleh Caplovitz
menunjukan bahwa sekitar kurang dari 30% masyarakat miskin yang
memiliki kenalan seorang pengacara. Hal ini, membuat sebagian dari
mereka tidak mengetahui kemana mereka melaporkan dan menuntut
kasusnya kejahatan yang dialaminya. Orang-orang miskin tidak hanya
kehilangan kontak dengan pengacara swasta tetapi mereka juga tidak
memiliki pengetahuan tentang ketersediaan biaya hukum yang gratis
atau rendah. Faktor kurangnya akses geografis ke kantor hukum juga
mempersulit orang miskin yang tinggal di daerah terpencil untuk
mendapatkan bantuan hukum. Para pengacara baik yang privat maupun
publik biasanya bekerja atau menjalankan bisnis jasanya di pusat kota.
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap orang miskin di California
menunjukan lebih dari 40% orang miskin akan berkonsultasi dengan
pengacara di dekat rumah mereka.
4) Hiring a lawyer, Terdapat indikasi bahwa orang kelas bawah lebih
mungkin untuk tidak dilayani oleh pengacara. Penelitian yang dilakukan
di Chicago menunjukan banyak pengacara menolak menyelesaikan
beberapa kasus karena latar belakang kondisi ekonomi calon klien.
Selain itu, alasan lain yang diberikan untuk menolak klien adalah
adanya rasa tidak suka pada klien yang
mungkin menutupi pertimbangan ekonomi atau kelas. Rasa tidak suka
pada klien muncul karena adanya asumsi “menjengkelkan”, “tidak
seimbang secara mental” atau “kurangnya karakter moral” dapat
mencerminkan jarak budaya antara klien kelas bawah dan klien kelas
menengah. Biasanya kasus-kasus dari klien kelas bawah sering ditolak
mentah-mentah. Kasus-kasus tersebut ditolak karena sering melibatkan
pengacara dalam praktik yang tidak etis atau hanya karena dibawa oleh
klien berstatus lebih rendah. Kurangnya dasar hukum menjadi alasan
yang sah untuk menolak suatu kasus. Namun, pengacara yang menolak
klien atas dasar ini mungkin tidak mau melayani mereka mengingat
biaya kecil yang diberikan untuk meluangkan waktu dan upaya untuk
menemukan solusi hukum.
b. Factors affecting class differences in quality and integrity of legal representation
Perbedaan golongan dalam kualitas layanan hukum yang diperoleh dan
integritas advokat terkait dengan sistem stratifikasi dalam profesi hukum.
Praktisi individu dan pengacara di firma-firma yang lebih kecil kurang
kompeten dan bertanggung jawab. Pertanyaan yang muncul adalah: “mengapa
orang-orang kelas bawah hampir secara eksklusif diwakili oleh pengacara
berstatus lebih rendah?.” Kemudian jawabannya adalah karena orang-orang
kelas bawah tidak mampu membayar pengacara berstatus lebih tinggi dan hanya
memiliki akses ke jaringan rujukan informal yang terikat dengan pengacara
berstatus lebih rendah. Akhirnya, biaya kecil dan karakteristik pelanggan
dengan perputaran tinggi dari pengacara berstatus lebih rendah tidak hanya
menyebabkan tingkat keterampilan teknis yang rendah, tetapi juga melemahnya
kapasitas pengacara untuk menolak peluang untuk mengeksploitasi klien.

Bahan 2: Moriondo, 310-320; Blumberg, 321-331; Dahrendorf, 294-309, dalam


Aubert, 1977
A. Moriondo

The Value-System and Professional Organization of Italian Judge

Hampir semua hakim Italia merupakan anggota dari asosiasi profesional, yaitu
Associazione nazionale magistrati sampai dengan tahun 1961. Dalam lembaga tereebut,
perselisihan yang muncul dapat memunculkan adanya Unione del magistrati. Namun,
sistem Italia dihadapkan pada perubahan cepat yang meningkatnya kelompok hakim
muda membawa sikap baru terhadap nilai-nilai profesional. Di sini, perubahan sosial
dapat mengakibatkan
konflik ideologi yang mana hal ini merupakan permasalahan dalam sebuah organisasi.
Perubahan sosial dan hadirnya pada pengacara muda dengan pemikiran yang berbeda
mengancam nilai-nilai profesional dalam lembaga hukum. Unione del magistrate
cenderung memiliki pemikiran yang konservatif menolak inovasi dan menganggap
dirinya pembela ortodoks.

The Value-System of Italian Judges after the Collapse of Facism


Associazione Magistrati memiliki tujuan akhir yaitu kebebasan dan demokrasi
sebagai kebalikan dari tekanan fasis pada kediktatoran dan imperialisme.Sstruktur
sistem nilai dari Associazione magistrati berorientasi pada sistem kebebasan dan
demokrasi. Konsepsi hakim tentang kebebasan dan demokrasi meningkatkan
pentingnya peran peradilan dalam menjaga peradilan itu sendiri dengan menuntut
kemerdekaan penuh dari kekuatan politik. Independensi peradilan sebelumnya
dilindungi oleh prinsip masa jabatan seumur hidup (inamovibilita) hakim, tapi
Associazione menyatakan hal ini gagal menjamin kemerdekaan penuh. Untuk
menghindari hakim yang menukar independensi dengan jabatan, Associazione
mengklaim bahwa masa jabatan dengan otonomi merupakan sarana untuk mewujudkan
independensi kolektif peradilan. Setelah tahun 1945, Associazione tidak mengkritik
struktur internal organisasi pengadilan, kecuali terkait dengan penggantian pengadilan
distrik, batas kompensasi ekonomi, pelatihan profesional, dan hakim.

The Application of the Value-System of Italian Judges

Setelah tahun 1948, para hakim menerapkan sistem nilai mereka dalam dua
cara, yaitu, digunakan sebagai kerangka untuk mengevaluasi peristiwa-peristiwa
eksternal dengan cara penilaian yang konstan, dan, para hakim mencoba mewujudkan
sistem nilai mereka ke tindakan kolektif dalam upaya mengubah keadaan peradilan dan
mewujudkan attuazione costitus onale.

The Ideological Change of the Judiciary

Sebagian anggota Associazione menentang metode promosi yang didasarkan


pada kandidat hakim yang ‘terpelajar’ untuk membuktikan kelayakan mereka pada
tahun 1950. Peristiwa tahun 1956 mulai mempolarisasi tren ideologis kehakiman di
sekitar dua posisi yang berlawanan, terutama karena frustrasi yang terjadi di kalangan
hakim muda mendorong mereka untuk mengubah sistem nilai tradisional profesi. Fakta
bahwa banyak hakim meminta reformasi kasasi yang mendalam dan penghapusan
supremasinya, menunjukkan bahwa proses perubahan ideologis. Ketika proses
penerapan ideologi memperkenalkan otonomi penuh,
ideologi bergeser ke masalah lain, yaitu hubungan internal antara hakim itu sendiri dan
perlunya kemerdekaan 'internal'.
B. Blumberg

The Practice of Law as Confidence Game

Kasus Gideon, Escobello, dan Mirana menunjukkan pertanyaan menarik yang


mana dalam ketiga putusan pengadilan tinggi membacakan konsepsi hukum tradisional
berdasarkan pengacara pembela pada persepsi ideologis kasus kriminal atas sebuah
adversary. Pertanyaan dasar yang perlu dijawab yaitu, apakah konsep pengadilan tinggi
terhadap peran penasihat dalam sebuah kasus pidana sejalan dengan realitas sosial?
Tugas dari tulisan ini untuk melengkapi beberapa bukti awal dalam iluminasi
pertanyaan tersebut. Terdapat pemahaman empiris kecil terhadap fungsi penasihat
pembela; bahwa hanya beberapa generalisasi dan komitmen yang berorientasikan
ideologis. Tulisan ini didasarkan pada observasi yang dibuat oleh penulis selama
beberapa tahun berkiprah di pengadilan kriminal metropolitan besar.

Court Structure Defines Role of Defense Lawyer

Pengacara merupakan satu-satunya individu yang diakui memiliki status khusus


dan kewajiban di pengadilan. Status hukum pengacara ialah memegang standar kinerja
dan kewajiban etis kepada kliennya serta kepada pengadilan. Namun, para pengacara
memiliki hubungan dekat dan berkelanjutan dengan kantor kejaksaan dan pengadilan.
Hal ini menimbulkan hubungan rahasia dengan para hakim. Probabilitas hubungan dan
interaksi masa depan yang berkelanjutan harus dipertahankan dengan segala cara,
terutama untuk pengacara tetap. Karena, mereka cenderung mewakili sebagian besar
beban kerja kasus pengadilan pidana dari klien yang tidak miskin (non-indigent) dan
para pengacara yang tidak tetap yang muncul atas nama klien sesekali. Mereka juga
tidak menyembunyikan perlunya menjaga hubungan intim dengan semua tingkat
personel di lingkungan pengadilan sebagai sarana untuk memperoleh,
mempertahankan, dan membangun praktik mereka. Hubungan tersebut merupakan
syarat mutlak (sine qua non) dalam mempertahankan praktik hukum dan juga dalam
negosiasi atas pembelaan dan putusan. Dalam hal ini, pers cenderung tidak
mengabarkan laporan buruk selama proses pengadilan dengan alasan timbal balik
berupa privilese bagi mereka. Sistem peradilan juga membentuk ketidakpercayaan
terhadap ‘outsiders’ sehingga menciptakan protes keras. Hal ini terdiri dari pengaturan
kerja di mana pelanggaran berpola, terselubung, informal, dan penghindaran dari ‘due
process’ yang dilembagakan.

Defense Lawyer As Double Agent


Banyak tuduhan kepada para pengacara mengenai adanya gugatan yang tidak
perlu, terutama di bidang kelalaian. Pengacara disebutkan menyertakan minat pribadi
dalam penyebab tindakan atau klaim kliennya. Insentif dan biaya yang mereka terima
dianggap sebagai motivasi bagi para pengacara untuk mempromosikan litigasi yang
justru tidak akan pernah berkembang. Dengan cara ini, kasus sangat menguntungkan
menurut mereka. Mereka juga menyertakan bantuan dari saudaranya sendiri tidak
hanya untuk memastikan biaya pengeluarannya, tetapi juga untuk membantu
menjalankan peranannya sebagai perantara guna meyakinkan si terdakwa agar
mengaku bersalah. Pada titik ini, terdakwa mungkin saja menganggap semua yang
terjadi sebagai pengkhianatan. Para pengacara di sini juga sering mengklaim memiliki
pengetahuan tentang informasi yang dimiliki oleh polisi dan pejabat. Mereka juga
sering melebih-lebihkan sifat hubungan relasi dengan para petinggi agar terdapat kesan
efektif yang diinginkan klien. Pengacara di pengadilan pidana berfungsi sebagai agen
ganda, melayani tujuan organisasi yang lebih tinggi daripada tujuan profesional, ia
dapat dianggap terlibat dalam praktik birokrasi daripada praktik pribadi.

C. Dahrendorf

Law Faculties and the German Upper Class

Masyarakat Jerman secara keseluruhan tidak pernah memiliki kelas atas yang
dapat diidentifikasi dan cukup homogen. Sejarah Jerman sejak berdirinya Kekaisaran
pada tahun 1971 sebenarnya dapat digambarkan sebagai proses dekomposisi dan
pemindahan aristokrasi Prusia dlama dari pelayan jahat, tentara, Junker, dan diplomat.
Pemindahan kaum elite ini pada dekade-dekade setelah tahun 1871 tidak secepat dan
tidak selengkap proses serupa di Inggris setengah abad sebelumnya. Kondisi historis
dapat ditentukan dimana kelas atas suatu masyarakat cenderung ke arah tipe mapan
atau abstrak. Sebagian masyarakat besar telah dilatih di fakultas hukum di universitas-
universitas Jerman. Ada beberapa bukti untuk mendukung pernyataan ini yaitu:
A. Anggota Kabinet: belajar tentang Eksekutif Jerman 1890-1933

Knight melaporkan 40-7 persen dari semua anggota Kabinet kekaisaran antara
tahun 1890 dan 1913 berasal dari ‘penduduk non politik’ yang dapat digolongkan
sebagai B. Pegawai Negeri Sipil Tertinggi
Tidak diperlukan analisis statistik yang terperinci dari kelompok ini, karena
gelar sarjana hukum adalah syarat untuk masuk ke sebagian besar posisi di
pegawai negeri yang lebih tinggi di Jerman.
C. Anggota Parlemen
Ada sedikit perbedaan antara proporsi anggota parlemen yang terlatih secara
hukum di Jerman dan sejumlah negara lain. Proporsinya dalam 7 persen di
Jerman, 13 persen di Prancis, 19 persen di Inggris, 26 persen di Italia tetapi 56
persen di Dewan Perwakilan Amerika Serikat, dan sebanyak 68 persen di Senat
tersebut. Dari 114 pengacara di
Bundestag Jerman Barat keempat, tujuh hakim atau jaksa penuntut umum,
empat puluh empat pengacara, dua puluh satu pegawai negeri yang lebih tinggi,
dan sisanya dalam berbagai pekerjaan politik dan bisnis. Proporsi anggota
pengacara tertinggi di FDP (Partai Demokrasi Bebas), dua puluh satu dari enam
puluh tujuh anggota diantaranya adalah pengacara, dan terendah di partai
parlemen sosial demokrat dengan hanya 14
persen (dua puluh delapan dari 203) anggota.

D. Pengusaha dan manajer

Pada tahun 1954, H. Hartmann telah melakukan studi mengenai pendidikan dan
menyatakan 2.018 pengusaha dan manajer tingkat atas di Jerman yang memiliki
gelar universitas, dimana 36 persen diantaranya telah merekayasa gelar tersebut
dari universitas. Dengan data tersebut, Hartmann menyimpulkan bahwa
analisisnya memperlihatkan bahwa lulusan dari fakultas hukum memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk dinaikkan pangkatnya ke posisi manajer
teratas pada usia yang lebih relatif muda dibandingkan lulus di bidang lainnya.
E. Kedudukan elit lainnya

Lembaga-lembaga hukum ditanggung secara eksklusif oleh pengacara terlatih.


Menurut tradisi liberal, sejumlah kegiatan di Jerman diatur secara langsung oleh
negara. Pelatihan hukum cukup menguntungkan dalam beberapa kasus,
diantaranya adalah adanya kesempatan untuk memasuki kehidupan yang positif
dalam lingkungan kompetitif bagi masyarakat Jerman.

Jika diinterpretasikan temuan-temuan tersebut dalam kaitannya dengan


pengalaman bahwa Inggris, dalam masyarakat Jerman, fakultas hukum adalah setara
fungsional dari sekolah umum di masyarakat Inggris. Karena elit Inggris dididik di
sekolah umum, pendidikan elit Jerman berlangsung di fakultas hukum universitas. Jelas
bahwa mereka yang membuat pilihan mata pelajaran studi mereka memiliki beberapa
gagasan mengenai apa yang diharapkan mereka di berbagai bidang. Dari semua
fakultas yang mungkin ada di fakultas hukum. Di Jerman ‘citra’ yang paling tidak
spesifik.
Berdasarkan pernyataan tersebut, terdapat perbedaan antara fakultas hukum
Jerman dengan sekolah di Inggris. Salah satunya adalah orang Jerman kelas atas yang
belajar hukum
terdapat lebih banyak dibandingkan di Inggris. Kemudian di Jerman belajar hukum 8-10
tahun lebih telat dibandingkan dari sekolah Inggris. Jerman juga tidak terdapat
pengawasan terhadap murid karena sistem yang tidak biasa. Walaupun dengan
perbedaan sebanyak itu, Jerman masih unggul dalam elit hukum daripada Inggris.
Namun dalam hal ini, analisis mengenai kondisi struktur sosial di Jerman akan
memunculkan kesimpulan bahwa fungsi dari fakultas hukum di Jerman setara dengan
sekolah umum di Inggris dan institusi formal elit lainnya yang berada di berbagai
negara.

Bahan 3: Rueschemeyer, 265-277 dalam Aubert, 1977

A. Rueschemeyer

Lawyer and Doctors: A Comparison of The Two Professions

Sebagian teori saat ini merupakan teori fungsionalis yang menekankan posisi
dan fungsi dalam masyarakat, yaitu profesi dan nilai sentral masyarakat. Profesi sendiri
dipahami sebagai pekerjaan pelayanan yang menerapkan tubuh sistematis pengetahuan
untuk masalah yang sangat relevan dengan nilai-nilai sentral masyarakat. Tingkat
kompetensi yang mereka pelajari justru menciptakan masalah khusus dalam kontrol
sosial, dimana orang awam tidak dapat menilai secara profesional. Dalam banyak kasus
mereka bahkan tidak dapat menetapkan tujuan konkret untuk pekerjaan secara
profesional. Hal ini berarti bahwa dua bentuk paling umum dari kontrol sosial yang
bekerja dalam masyarakat industri, pengawasan birokrasi berdasarkan posisi formal
dan penilaian oleh pelanggan hanya dapat diterapkan secara terbatas. Proses dirancang
untuk membangun kompetensi teknis yang diperlukan dan untuk menetapkan
komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai dan norma-norma berpusat pada tugas-tugas
profesional. Nilai dan norma tersebut selanjutnya dilembagakan dalam struktur dan
budaya profesi. Kontrol diri individu juga sangat dibutuhkan, oleh karena itu dapat
diperkuat oleh kontrol formal dan informal dari komunitas.
Pada dasarnya sebelumnya telah sepakat pada definisi substantif kesehatan dan
tentang pentingnya kesehatan dibandingkan dengan yang lain. Situasinya jauh lebih
kompleks untuk profesi hukum dimana hakim seperti kesehatan menempati peringkat
tinggi dalam hierarki nilai sosial. Namun, dalam definisi substantif tentang keadilan,
ada ambiguitas yang cukup besar dan perbedaan yang luas serta bidang-bidang yang
dipahami dengan jelas dan sebagian besar disepakati. Konsep keadilan yang berbeda
ini tidak identik dengan kepentingan yang berbeda. Kepentingan yang berdiri di antara
konsep keadilan tertentu mungkin atau mungkin tidak mengklaim konsep keadilan
yang berbeda, dan ambiguitas yang lazim memungkinkan adanya
perbedaan bayangan di antara keduanya. Kepentingan yang berbeda membuat
perbedaan kedua antara profesi hukum dan medis yang relevan di sini. Meskipun
kepentingan klien pengacara mungkin bertentangan dengan apa yang dianggap adil
oleh pengacara, sangat jarang kepentingan pasien bertentangan dengan pencapaian
kesehatan.
Hubungan pengacara dengan klien berbeda berdasarkan kelas atau etnis,
berdasarkan beberapa hal, yaitu hubungan posisi kelas dengan jenis persoalan hukum
yang dihadapi, tidak semua pengacara dipercaya oleh klien sebab pertimbangan,
orientasi nilai, dan kompetensi praktis, kompetensi non-legal/ kelas. Hubungan dengan
kelas atau etnis tertentu memberikan dampak besar pada pengacara. Kelas atau
kelompok tertentu memiliki kekuatan untuk menekan pengacara. Klien daripada
pengacara cenderung merupakan individu yang memiliki kekuasaan.
Faktor diatas menyebabkan muncul stratifikasi internal dalam profesi pengacara
dan meningkatkan risiko untuk menyimpang dari cara tradisional dan etika profesional.
Hal tersebut kemudian berpengaruh pada kurangnya kohesi dan identifikasi kolektif
pengacara menyebabkan minimnya kontrol sosial sebagai penegak hukum. Perlu
diingat juga bahwa setiap masyarakat memiliki intensitas konflik, kepentingan, dan
diferensiasi subkultur masing
masing, konsensus terhadap substansi sistem legal dipengaruhi oleh perubahan sosial
dan dampak dari konsepsi keadilan dan konflik kepentingan, tradisi politis dan kultural
dalam menghadapi konflik dan disensus sosial berbeda-beda tiap masyarakat, dan
kompetensi antar masyarakat umum dan praktisi hukum bergantung pada kompetensi
relatif dari praktisi hukum dan keterampilan non-legal mereka.
Ciri khas dari profesi hukum yang disajikan di sini tidak terbatas pada Amerika
Serikat dan sistem hukum, ekonomi, dan politiknya. Insiden dan implikasinya sangat
bervariasi, menurut Vaiterént kondisi sosial :
1) Masyarakat berbeda dalam insiden dan intensitas minat yang saling bertentangan
dan dalam diferensiasi subkultural.
2) Perubahan sosial yang radikal membutuhkan inovasi yang kompleks dalam
sistem liberal. Area konsensus substantif berkurang dan sistem norma hukum
mungkin lebih tunduk pada dampak konflik kepentingan dan kepentingan yang
saling bertentangan daripada penawaran hukum yang sudah mapan yang
memenuhi lebih atau kurang masalah hukum standar. Profesi atau bagian
penting darinya lebih tunduk pada tekanan yang berbeda, sementara titik
referensi budaya pada saat yang sama paling ambigu
3) Tradisi budaya dan politik berbeda dalam menangani konflik sosial dan
perbedaan nilai. Jika misalnya kita membandingkan secara skema definisi
budaya yang dominan di
Prusia abad ke-19 dan konsepsi keadilan dan kesejahteraan umum abad ke-19
sebagaimana ditentukan oleh solusi apriori yang akan ditemukan dan
dirumuskan oleh para ahli dan tingkat toleransi yang agak rendah terhadap
konflik dan perbedaan pendapat dan di sisi lain sebuah konsepsi keadilan dan
kebaikan bersama sebagaimana yang telah ditentukan oleh perselisihan dan
kompromi yang teratur dan tingkat toleransi yang agak tinggi terhadap konflik
dan perbedaan pendapat.
4) Gap kompetensi antara orang awam dan pengacara bergantung pada kompetensi
hukum relatif dari pengacara dan berbagai mitra peran mereka serta pada
pentingnya

Keterampilan non-hukum dalam kinerja peran pengacara dan keterampilan telah


dikatakan relatif dalam konteks pengacara dan dokter. Semua faktor seperti
kompleksitas sistem norma hukum, jenis klien yang paling umum, kompetensi hukum
dan non-hukum dan perluasan kinerja pengacara ke dalam bidang non-hukum, tunduk
kepada kondisi yang sangat bervariasi dari kepedulian terhadap masyarakat seperti
variasi penting terjadi bahkan di antara masyarakat industri yang menunjukkan banyak
kesamaan dalam struktur ekonomi dan pekerjaan mereka.
Terdapat kekurangan dalam analisis mengenai peran hakim banding. Sementara
mereka perlu memiliki kebijaksanaan dalam memutuskan banding, tidak pernah secara
jelas diartikulasikan apakah dalam melaksanakan kebijakan itu mereka harus berusaha
untuk mematuhi dengan setia logika internal dari common law, atau apakah mereka
harus membiarkan diri mereka mempertimbangan faktor ‘non-hukum’ dalam mencapai
suatu keputusan yang dalam prakteknya mengubah hukum. Dorongan para akademisi
hukum di perguruan tinggi, terutama yang telah menemukan keberadaan ilmu-ilmu
sosial, untuk mengembangkan pendekatan hukum adat yang akan melibatkan analisis
kebijakan yang terkandung dalam undang-undang dan cara hukum beroperasi dalam
praktik (selain fungsi tradisional pengajaran analisis dan teknik doktrinal) bertemu
dengan sedikit dorongan dari profesi.

Anda mungkin juga menyukai