Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan anak usia dini telah diwarnai berbagai reformasi khususnya
pada pendekatan kurikulum, telah sangat banyak ahli yang melahirkan berbagai
jenis pendekatan kurikulum dari tahun ketahaun. Jika dikaji dari segi waktu,
munculnya pendekatan kurikulum pada pendidikan anak usia dini merupakan hal
yang wajar, karena seiring dengan perubahan yang terjadi dari tahun ketahun,
dengan harapan pendekatan kurikulum dapat memberikan solusi yang terbaik
disetiap masa.
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para ahli, untuk memberikan
gagasan, ide, pikiran dan teori baru pada pendidikan anak usia dini, khususnya
pada pendekatan kurikulum, tentunya dengan harapan untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan atau melengkapi kekurangan dari temuan-temaun
sebelumnya. Perubahan atau munculnnya pendekatan kuriklum tentu disertai
dengan tujuan yang berbeda, karna dalam setiap perubahan ada satu tujuan
tertentu yang akan dicapai, tentunya tujuan umumnya tetap sama yaitu ingin
mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilki oleh anak. Hal ini menarik untuk
dikaji bersama-sama, guna untuk memberikan pandangan, kaitan, terhadap
spekturm pendekatan kurikulum khususnya pada pendidikan anak usia dini.
Dalam makalah ini akan diberikan gambaran mengenai perkembangan
pendekatan kurikulum di dunia khususnya pada pendidikan anak usia dini, serta
apa saja yang manjadi hal yang baru dari pekembangan pendekatan kurikulum
agar kita memahami spectrum dari pendekatan kurikulum pendididkan anak usia
dini.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini agar memberikan gambaran, pengetahuan kepada
pembaca khususnya penulis tentang perkembangan pendekatan kurikulim
pendidikan anak usia dini, diawali dengan pendekatan Froebel, John Dewey, Bank
Street, Montessori, Regio Emilia, High Scope dan pendekatan kurikulum kreatif.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini


1. Pengertian Kurikulum
Kurikulum dan pembelajaran, merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, sebagai suatu rencana ataupun program, kurikulum tidak akan
bermakna ketika tidak diimplementasikan dalam bentuk pembelajaran,
kurikulum juga merupakan acuan dalam pembelajaran, tanpa kurikulum
pembelajaran tidak akan berjalan secra efektif. Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan (UU. No 20 Tentang SPN). Lebih lanjut
lagi Kurikulum seperangkat rencana mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta bahan yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. (Rusman, 2009: 3).
Sementara menurut NAEYC, pengertian kurikulum dapat dijabarkan dengan
melihat arti dalam proses pelaksanaanya terlebih dahulu, antara lain
(Gestwicki, 2007: 61)
a. Rencana kegiatan yang berisi pengembangan seluruh area
perkembangan anak: fisik, emosional, bahasa, seni dan kognitif.
b. Mencakup bahasan yang luas meliputi seluruh disiplin ilmu: sosial,
intelektual dan konsep diri anak
c. Dibangun atas pengetahuan yang sudah siap dipelajari dan dilaksanakan
anak (aktivitas pengetahuan utama) untuk menghubungkan pengetahuan
mereka dan menerima konsep serta keterampilan baru
d. Menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran
untuk membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi, membuat
hubungan yang bermakna dan memberi kesempatan untuk menggali
perkembangan konseptual.

2
e. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman, proses, dan
keterampilan untuk digunakan dan diterapkan serta untuk mempelajari
pengetahuan.
f. Berisi pengembangan intelektual, penemuan inti pembelajaran, dan alat
permainan yang berbeda sesuai dengan gaya belajar anak
g. Memberi kesempatan anak untuk mengembangkan budaya dan bahasa
keluarganya sambil mengembangkan kemampuan bersosialisasi dengan
budaya dan bahasa sekitarnya
h. Berisi tujuan yang realistik dan dapat dicapai oleh sebagian anak pada
usianya.
i. Menggunakan teknologi dan bersifat filosofis dalam proses
pembelajaran.
Jadi kurikulum merupakan seperangkat rencana, pengaturan dengan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran yang untuk dilaksanakan dalam
aktivitas pemebelajaran, yang mencakup seluruh potensi yang dimliki oleh
anak/siswa dengan menggunakan berbagai strategi, pendekatan, media yang
disesuaikan dengan kebutuhan anak dan lingkungan disekitar dan untuk
mencapai tujuan pendiddikan.

B. Pendekatan Kurikulum pada Anak Usia Dini


1. Pendekatan Kurikulum Friedrich Wilhelm Froebel
a. Filosofi Froebel
Menurut Froebel (Laksmi Perwira, 2016:3) bahwa masa anak
merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga, dan merupakan
masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia. Sedangkan
Menurut Leli Halimah (2016:44) bahwa salah satu bagian penting dari
filosofi PAUD sampai hari ini yang banyak memberikan gagasan
terhadap PAUD yaitu, gagasan Froebel yang menekankan pentingnya
hubugan lembaga pendidikan, pendidik, dan anak, dimana lembaga
pendidikan dan pendidik menyediakan berbagai kegiatan dan waktu yang
sesuai dengan kebutuhan dan minat anak-anak. Menurutnya pendidikan

3
anak usia dini merupakan tempat pembibitan, dia menganalogikan
pendidikan sebagai petani, anak ibarat tanaman, sebagaimana halnya
dengan bibit yang akan menghasilkan tanaman yang baik, maka petani
harus merawat dengan baik dan benar, begitu juga dengan anak usia dini,
untuk menghasilkan anak yang unggul dan membangun generasi yang
lebih maju maka pendidik harus mendidik anak secara benar.
Menurut Froebel (dalam artikel Laksmi Perwira, 2016:3) dalam
mendirikan taman kanak-kanak, ada 5 hal yang harus diperhatikan yaitu
sebagai berikut: a) Beranggapan bahwa taman kanak-kanak merupakan
satu pendekatan terhadap latihan kanak-kanak. Pendidikan yang
dilakukan adalah pembiasaan watak atau pribadi kanak-kanak yang
berdasarkan keperluan dan keupayaan kanak-kanak. b) Taman kanak-
kanak sangat perlu dipenuhi dengan keindahan untuk menarik perhatian
kanak- kanak, seperti melukis tembok, yang bertema anak-anak dengan
warna yang terang, mempunyai ruangan yang luas dan mudah dimasuki
cahaya, serta dilengkapi dengan kursi dan meja yang sesuai untuk anak.
Dan memiliki taman-taman. c) Suasana di taman kanak-kanak hendaklah
jauh dari pengaruh jahat yang terdapat dalam lingkungan masyarakat. d)
Keadaan ruang kelas perlu dipenuhi bunyi-bunyian dan objek-objek
untuk anak-anak, seperti bentuk balok, lingkaran, segitiga, dan lain-
lainnya. e) di taman kanak-kanak perlu dipupuk dengan perkembangan
mental, fisik, dan sosial anak-anak.
b. Teori Froebel
Menurut Froebel (dalam Masnipal, 2013:36) bahwa pendidikan
harus dirancang secara utuh dan berkesinambungan. Untuk dapat
berkembang optimal anak harus diberi kesepatan untuk aktif dan bebas
bergerak. Dengan keaktifan dan kebebasan inilah anak belajar
mengembangkan daya imajinasi dan fantasinya.
Menurut Anita Yus (2011:6) bahwa ada tiga prinsip yang
dirancang Froebel dalam pendidikan anak yaitu sebagai berikut:

4
1) Pengembangan auto aktivitas. Anak didik pada dasarnya merupakan
individu yang aktif. Bila anak belum menunjukkan aktivitas perlu
didorong untuk aktif sehingga dapat melakukan berbagai kegiatan
(pekerjaan yang produktif).
2) Kebebasan atau suasana merdeka auto aktivitas anak akan tumbuh
dan berkembang jika pada anak diberikan kesempatan dalam suasana
bebas sehingga anak mampu berkembang sesuai potensinya masing-
masing. Melalui suasana bebas atau merdeka, anak akan
memperoleh kesempatan menggunakan daya fantasia atau
khayalnya, terutama daya cipta untuk membentuk sesuatu dengan
fantasi anak.
3) Pengamatan dan peragaan, kegiatan ini dimaksudkan terutama dalam
mengembangkan seluruh indra anak.
Ketiga prinsip yang dikemukakan diatas guru harus mengetahui
pembangunan aktivitas anak dimana guru harus memberikan dorongan
kepada anak yang belum menunjukkan keaktifannya, memberikan kebebasan
dan suasana yang merdeka kepada semua anak agar potensi anak dapat
berkembang, guru juga memberikan kegiatan pengamtan dan peragaan agar
seluruh indra anak dapat berkembang.
c. Kurikulum Froebel
Menurut Leli Halimah (2013:43) Froebel adalah orang pertama yang
memperkenalkan bermain sebagai media utama untuk belajar dalam
kurikulum PAUD. Menurut Wortham (dalam Masnipal 2013 :38) bahwa
dasar kurikulum Froebel sebenarnya gift dan occupation yaitu:
1) Gift adalah objek berupa kotak-kotak kayu dengan bermacam bentuk,
warna, dan ukuran untuk anak belajar mengukur, menghitung,
membedakan, dan membandingkan dengan instruksi guru.
2) Sedangkan occupation adalah materi semacam kegiatan untuk melatih
koordinasi mata, tangan, dan pikiran, seperti meronce, menempel,
menjahit, mengancing, menali, dan sebagainya. Atas cara ini Froebel
yakin bahwa bermain merupakan cara belajar yang penting untuk anak.

5
Kurikulum Froebel menekankan pada penyusunan dan
mengembangkan pendidikan yang terencana dan sistematis, dimana dasar dari
kurikulum Froebel adalah gift dan objek yang dapat dipegang dan
dipergunakan anak sesuai dengan intruksi oleh guru. Dengan demikian anak
dapat belajar tentang bentuk, warna, ukuran serta konsep yang diperoleh dari
kegiatan menghitung, mengukur, mebedakan dan membandingkan sedangkan
ocupacition adalah materi yang dirancang oleh guru untuk mengembangkan
keterampilan, yang utama adalah psikomotorik, kerena lewat gift dan
occupation anak akan mengusakan diri mereka untuk mencapai tujuan dan
tentu saja sangat penting pengawasan oleh guru terkhusus kearah
pengekspresian diri yang bebas demi mencapai aspek perkembangan anak.
d. Metode Froebel
Froebel (Laksmi Perwira, 2016:64) dalam merancang metode, harus
menyesuaikan dengan konteks perkembangan anak dan individu. Dalam
tahapan pertama Froebel menganjurkan agar menggunakan yang
memungkinkan ekspersi spontan dalam diri individu dan pada tahapan ahir
dapat digunakan metode pengawasan dan pengarahan perkembangan
individu. Dengan demikian dalam pembelajaran usia dini meteode harus
disesuaikan dengan dunia anak. Kemudian yang paling penting dalam
konteks perkembangan guru harus mengarahkan anak, memberikan
kebebasan kepada anak menunjukkan, mengespresikan yang ada dalam
dirinya dengan bebas.
2. Pendekatan Kurikulum Bank Street
a. Konsep Pendekatan Bank Street
Dikembangkan Oleh Lucy Sprague Mitchell, pada tahun 1878–
1967 dan selanjutnya dikembangkan lagi oleh Caroline Pratt, Harriet
Johnson di Amerika. Berawal dari “Nursery School”, bagia dari Biro
Eksperimen Pendidikan. Pendekatan Bank Street ini dipengaruhi oleh
kajian John Dewey yang meyakini bahwa kekuatan pendidikan untuk
mempengaruhi dan meningkatkan masyarakat. Pendekatan pembelajaran
pada model Bank Street adalah anak-anak merupakan pebelajar, pencoba,

6
penjelajah, dan artis yang aktif. Anak - anak belajar dalam interaksinya
dengan lingkungan. Model ini kadang - kadang disebut dengan
pendekatan interaksi-perkembangan. Filosopi model ini adalah
perkembangan kognitif dan afektif tidak terjadi secara terpisah tetapi
saling berhubungan. Tujuan pembelajaran model Bank Street adalah
mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak mencakup (fisik,
emosi, sosial, dan kognitif); berbagi tanggung jawab dengan anak dan
masyarakat; mengembangkan kompetensi dan motivasi untuk
menggunakan kemampuan anak; mengembangkan kemandirian dan
pribadi anak; mengembangkan hubungan sosial dengan kepedulian
terhadap orang lain dan lingkungan; mengembangkan kreativitas, dan
mempromosikan integritas dan hubungan.
Park dan Lit (2015: 67) konsep pengajaran dan pembelajaran yang
dipakai dan dibina di Bank Street telah dikenal sebagai "pendekatan
perkembangan-interaksi," atau lebih populer, sebagai "pendekatan Bank
Street." Pendekatan perkembangan-interaksi "mengakui bahwa anak-
anak belajar terbaik ketika mereka secara aktif terlibat baik secara
intelektual dan emosional dengan materi, ide dan orang-orang ”(Bank
Street College of Education, 2014a). Pendidik yang menggunakan
pendekatan interaksi-perkembangan untuk mengajar mengakui bahwa
perkembangan siswa berkembang dengan berbagai langkah dan melalui
interaksi dengan dunia. Ruang kelas dianggap sebagai ruang yang akan
memperkuat kompetensi anak untuk menangani lingkungan secara
efektif; mendorong pengembangan otonomi dan konstruksi rasa diri;
mempromosikan integrasi fungsi - yaitu, pikiran dan perasaan, perasaan
dan tindakan - dan menstimulasi individualitas dan respons kreatif yang
kuat (Shapiro & Nager, 1972: 61).
b. Prinsip-Prinsip Dasar Pendekatan Bank Street
Pendidikan dari pendekatan Bank Street mendorong
perkembangan anak secara keseluruhan untuk bertanggungjawab dengan
dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat; mengembangkan kompetensi

7
dan motivasi untuk mengembangkan kemampuan, mengembangkan rasa
berkomunikasi sosial dan kepedulian dengan lingkungan, mendorong
kreativitas. (Jaipaul, 2011: 288-290)
1) Perkembangan berawal dari simple ke kompleks.
2) Sifat individual terjadi secara kontinum.
3) Peningkatan perkembangan memerlukan waktu yang lama dan hal-
hal baru yang dipelajari.
4) Anak mempunyai motivasi dalam dirinya untuk secara aktif terlibat
dengan lingkungan.
5) Percaya diri anak terbentuk dari pengalaman dengan orang lain dan
objek dalam berinteraksi.
6) Pertumbuhan dan perkembangan melibatkan konflik antara individu
dan orang lain.
c. Kurikulum dan Kegiatan Pendekatan Bank Street
Secara eksplisit atau implisit, teori atau filosofi pendidikan
apapun pasti mengandung pandangan pembelajar, pertimbangan
hubungan antara pembelajaran dan pengajaran, dan pernyataan tentang
pengetahuan apa yang dianggap paling pantas untuk diketahui (Jaipul,
2011; 290). Untuk belajar dari pengalaman, anak-anak harus terlibat
secara langsung dan aktif dengan lingkungan sosial dan fisik dan ditawari
beragam kesempatan untuk melihat, menyimak, menyentuh, mencium
dan merasakan dunia mereka. Diantaranya:
1) Terfokus pada tema yang paling menarik bagi anak
2) Masyarakat merupakan lingkungan pendidikan
3) Seni dan ilmu sentra pengalaman dan aktivitas yang membantu anak
menemukan makna di dunia sekitar
4) Bermain dengan material yang bersifat buka-tutup
5) Balok, air, kayu, kertas, materi-materi seni dan tanah liat
6) Bebas memilih permainan yang diinginkan
7) Didorong untuk belajar dengan cara mereka sendiri

8
8) Bermain merupakan jantung dari pendekatan interaksi
perkembangan
Essa (2011: 145) mengatakan kurikulum pendekatan bank street
memandang bahwa perkembangan anak dipandang terintegrasi dengan
kurikulum. Untuk mengenalkan pembelajaran pada anak kurikulum harus
berdasarkan pada tema yang berfungsi untuk membantu anak focus pada
konsep terntu. Pengalaman awal anak-anak di kelas bank street dirancang
untuk membantu mereka memahami dan menguasai lingkungan sekolah
mereka dengan berpartisipasi dalam kegiatan dan tugas-tugas
pembelajaran yang dikembangkan dan diperluas diluar kelas sampai
kemasyarakat, agar dapat memperluas pemahaman anak-anak tentang
lingkungan sekitar agar dapat menjadi bekal pengetahuan dimasa yang
akan datang.
Kurikulum didasarkan pada ide bahwa anak dapat belajar tentang
dunia manusia, mereka dapat membuat definisi dari apa yang mereka
temui. Bank Street berfokus pada tema-tema besar yang menarik pada
anak – penjelajahan tentang bagaimana, apa, dan mengapa hal-hal yang
berkaitan dengan fisik dan sosial serta pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan asal sesuatu. Lima mata pelajaran pokok antropologi,
sejarah, ilmu politik, ekonomi, dan ilmu bumi diintegrasikan dalam
kegiatan-kegiatan di kelas. Masyarakat adalah lingkungan pendidikan.
Seni dan ilmu alam dijalin dalam pengalaman dan kegiatan-kegiatan ilmu-
ilmu sosial untuk membantu anak-anak menemukan makna dalam dunia
sekelilingnya.
Di dalam kelas anak-anak bermain dengan alat-alat permainan
yang dapat diubah-ubah bentuknya seperti: balok, air, kayu, kertas, benda-
benda seni, dan plastisin. Anak-anak bebas memilih alat-alat permainan,
bekerja sendiri atau berkelompok. Anak-anak didorong untuk belajar
dengan caranya sendiri.
Ada juga aktivitas-aktivitas kelompok yang umum seperti
memasak, rekreasi, bermain di luar ruangan, mendengarkan musik, atau

9
diskusi kelompok. Bermain adalah inti dari interaksi perkembangan.
Bermain dipandang sebagai alat utama pembelajaran bagi anak untuk
membangun dan membangun kembali, membentuk dan membentuk
kembali pengetahuan.
d. Peran Guru Dalam Pendekatan Kurikulum Bank Street
Essa (2011: 145) Ruang kelas adalah situasi belajar di mana guru
menjadi mata rantai antara dunia minat dan pengalaman pribadi anak.
Guru harus mengetahui banyak tentang isi studi sosial bukan untuk
memberi informasi pada anak-anak tetapi sebagai pedoman dalam
mengajukan pertanyaan yang bermakna, untuk merencanakan
kesempatan pengalaman anak, untuk menilai perkembangan studi
tersebut
1. Guru memahami perkembangan anak
2. Guru memiliki potensi dasar pengetahuan
3. Guru memilih dan menyusun materi-materi untuk siswa
4. Guru mengetahui anak secara individual
5. Guru sebagai fasilitator
Dalam Model Bank Street peran guru antara sangat membantu
anak dalam mencapai tujuan pembelajaran, guru diharapkan mempunyai
kompetensi Menciptakan lingkungan belajar fisik dan psikhis,
Membangun suasana saling mempercayali antara guru dan murid dan
antar murid, Memilih dan menyusun benda-benda yang membangkitkan
insiatif dan kemandirian anak, Fasilitator yang bertanggung terhadap
setiap anak, Membangun atmosper hubungan kerjasama antara guru dan
orang tua untuk lebih memahami anak.

3. Pendekatan Kurikulum Montessori


a. Pendekatan Montessori
Pendekatan Montessori adalah sebuah pendekatan bagi anak
dalam penyusunan berdasarkan pada teori perkembangan anak.
Karakteristik dari pendekatan ini adalah menekankan pada aktivitas yang

10
dimunculkan dari diri anak dan menekankan pada adaptasi lingkungan
belajar anak pada level perkembangannya, dan peran aktivitas fisik
dalam menyerap konsep pembelajaran dan kemempuan praktis (Ahmad
Rithadun, 2012: 1). Sesuatu yang lebih utama bagi gagasan Montessori
melebihi focus pada anak dan aktivitasnya adalah gagasan Montessori
yang menytakan bahwa pendidikan harus berjalan sesuai dengan
perkembangan. Pendekatan Montessori berarti menekankan pentingnya
penyesuaian diri lingkungan belajar anak dengan tingkat perkembangan
anak, begitupun dengan peran aktivitas fisik dalam menyerap konsep
akademis dan keterampilan praktis.
Montessori meyakini bahwa anak secara bawaan telah memiliki
suatu pola perkembangan psikis. Selain itu, anak juga memiliki motif
yang kuat ke arah pembentukan sendiri jiwanya (self construction).
Dengan dorongan ini anak secara spontan berupaya mengembangkan dan
membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungan (Jaipul &
James, 2011: 385). Lebih lanjut dari pendangan Montessori tentang anak
berikut adalah prinsip Montessori dalam pengajaran (Jaipaul & James,
2011: 388-393):
1. Menghargai Anak (Respect for the Child) menghargai anak adalah
pondasi dari seluruh prinsip Montessori. Guru menghormati anak saat
mereka membantu mereka melakukan sesuatu dan belajar untuk
dirinya. Saat anak memilih, mereka bisa mengembangkan
keterampilan dan kemampuan untuk kemandirian, belajar efektif, dan
menemukan konsep diri yang positif.
2. Practical life mengajarkan pada anak bagaimana mempraktikkan
kehidupan sehari-hari, anak mulai mengembangkan keterampilan dan
kecenderungan yang akan mendukung pembelajaran terfokus dalam
semua upaya lain di kelas.
3. Periode sensori motorik anak. Bagi pertumbuhan fisik, anak usia ini
masih memerlukan aktivitas yang banyak. Kebutuhan anak untuk
melakukan berbagai aktivitas sangat diperlukan, baik untuk

11
pengembangan otot-otot kecil maupun otot-otot besar. Gerakan-gerak
fisik ini tidak sekedar penting untuk mengembangkan keterampilan
fisik saja, tetapi juga dapat berpengaruh positif terhadap penumbuhan
rasa harga diri anak dan bahkan perkembangan kognisi. Keberhasilan
anak dalam menguasai keterampilan-keterampilan motorik dapat
membuat anak bangga akan dirinya.
4. Mempersiapkan Lingkungan (Prepared Environment), dalam
pandangan montesori anak adalah penanya konstan yang “menyerap
lingkungannya, mengambil semua hal dari lingkungan itu, dan
mewujudkannya dalam dirinya. Oleh karena itu, lingkungan
pembelajaran Montessori yang sudah disiapkan bersifat fisik dan
psikologis. Lingkungan fisik dibuat agar berurutan dan sesuai dengan
ukuran anak-anak, menarik dari estetika, dan selaras dalam hal visual.
5. Belajar sendiri (Inner directed learning), anak mengajari dirinya
sendiri melalui kegiatan dan bahan yang dininginkan oleh anak.
Dengan begitu sekolah menyiapkan bahan atau alat-alat untuk
pembelajaran anak.
6. Pengalaman pada anak, anak dapat merasakan atau mengalami sendiri
hal-hal yang dipelajarinya, karena dengan keterlibatan langsung anak-
anak dapat memperdalam konsentrasi dan langsung bertindak pada
situasi lain juga
b. Karakteristik Pendekatan Kurikulum Montessori
Montessori menyatakan bahwa kurikulum harus didasarkan pada
sebuah ilmu pengetahuan pendidikan yang sejati, yang melibatkan
informasi dari ilmu-ilmu kedokteran antropologi dan pengamatan klinis
terhadap anak-anak. Montessori merancang kurikulum dasarnya agar
dapat digunakan secara tepat dan efektif, kurikulum tersebut pada sebuah
lingkungan yang terstruktur anak-anak di dalam lingkungan ini bebas
melakukan eksplorasi dan memilih bahan-bahan yang akan digunakan
dalam kegiatan mereka. Dalam lingkungan yang disiapkan tersebut,
bahan-bahan dan kegiatan-kegiatan dari kurikulum tersebut adalah yang

12
terkait dengan ketrampilan hidup sehari-hari; pelatihan indra, bahasa dan
matematika; perkembangan fisik, sosial dan budaya secara umum.
1. Keterampilan praktik sehari-hari
Tujuan penting dari filosofi Montessori adalah agar anak-anak
memperoleh kebebasan yang mereka butuhkan bagi perkembangan
diri mereka sendiri. Bagi anak-anak kebebasan ini berarti bahwa
mereka akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan hidup yang
didasarkan pada kesiapan dan tahap perkembangan mereka untuk
melatih ketrampilan praktis sehari-hari. Keterampilan praktis ini
mencakup kegiatan-kegiatan diantaranya membasuh wajah, menyikat
gigi, mengancingkan baju dan lain sebagainya.
2. Keterampilan Indra
Bahan-bahan dan kegiatan di rancang untuk membangun ketajaman
dan kemampuan indra. Dengan menggunakan alat-alat bahan-bahan
yang dirancang secara khusus, anak-anak belajar menata,
mengelompokkan, dan membandingkan kesan-kesan yang didapat
dari indra dengan menyentuh, melihat, membau, merasa, mendengar,
dan meraba sifat-sifat fisik dari benda-benda di lingkungan
3. Keterampilan Bahasa
Montessori meyakini bahasa, sebagai instrumen pemikiran kolektif
manusia adalah kekuatan manusia yang menstranformasi lingkungan
mentah menjadi peradaban. Pengembangan bahasa, yang oleh
Montessori tidak memandang bahasa tertentu yang digunakan dalam
kebudayaan anak, perkembangan bahasa mengikuti pola-pola yang
sama untuk semua anak.
4. Keterampilan Fisik, Sosial dan Budaya
Keterampilan fisik, sosial, dan kebudayaan yang sifatnya lebih umum
diperoleh melalui kegiatan-kegiatan fisik secara individu, melalui
kegiatan bersama memelihara hewan dan merawat tanaman melalui
pengembangan sikap menghargai karya sendiri dan karya orang lain.
5. Pembentukan Nilai dan Pendidikan Karakter

13
Menurut Montessori jauh dalam watak alami manusia terdapat daya,
yaitu sebuah kecenderungan yang menggerakkan manusia untuk
mencari nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Daya ini, melekat dalam
watak manusia, mendorong manusia untuk mengusahakan
peningkatan spiritual. Pendidikan moral yang murni mengikuti
rangkaian yang alami dengan mengikuti tahap-tahap perkembangan
dari anak. (Maria Montessori, 2013: 83)
Dengan demikian Montessori bertujuan, oleh karena itu secara
umum mendidik anak agar dapat memacu perkembangan fisik, sosial,
emosional dan intelektual secara anak dengan maksimal, sehingga anak
dapat mengembangkan potensi yang ada pada dalam dirinya dan
membantu anak menjadi manusia yang mandiri. Montessori menekankan
pada kegitan yang mampu utnkuk meransang anak agar lebih mandiri
sejak dini, dengan berbagai tahapan tentunya dimulai dengan
mengembangkan rasa disiplin anak, dan penuh rasa percaya diri dalam
suasana yang aman. Oleh dari itu Montessori menerapkan program-
program yang lebih mendekati pada kegiatan sehari-hari anak.
Pijakan Montessori memiliki pijakan yang cukup kuat karena
mrupakan turunan dari teori klasik yang sudah teruji keabsahannya.
Filosofi Montessori sendiri bukan sesuatu yang baru di dunia psikologi
pendidikan, maupun pendidikan secara khusus, Montessori mengakui
keutamaan para tokoh pendidikan Pestalozzi dan Froebel. Pendekatan
Montessori memliki perbedaan dengan tokoh tersebut, dalam Montessori
menyiapkan lingkungan yang terstruktur dan pendekatan Montessori juga
manganut multidisipliner dalam pendidikan, tentunya berbeda dengan
Froebel yang bersandar pada idealisme filosofis dan tidak didasarkan
pada ilmu pengetahuan dan psikologi modern.

5. Pendekatan Kurikulum Regio Emelia


a. Konsep Pendekatan Reggio Emilia

14
Dikembangkan Oleh Loris Malaguzzi pada akhir perang dunia ke-
2 sampai sekarang. Reggio Emilia sebenarnya adalah nama kota kecil di
Italia Selatan (Essa, 2003: 134). Reggio emilia berkomitmen
“menciptakan kondisi pembelajaran yang akan mendorong dan
memfasilitasi anak untuk membangun kekuatan berpikirnya sendiri
melalui penggabungan seluruh bahasa ekspresif, komunikatif dan
kognitifnya” (Edward & Forman, 1993).
Pendidikan menurut Malaguzzi harus dipokuskan pada ketiga
komponen penting yaitu anak-anak, guru dan keluarga (Essa, 2011: 150).
Pendekatan pembelajaran ini menekankan hubungan antara anak-anak,
orang tua dan pendidik dalam proses pembelajaran sebagai kunci.
Dengan kerjasama dari tiga aspek perkembangan anak akan
memaksimalkan masa keemasan. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip
anak usia dini belajar dengan Pendekatan Reggio Emilia diusulkan oleh
Konstelnik (1999: 34), dengan konsep “three education” antara anak,
guru dan orang tua. Anak memiliki hak untuk ikut aktif berpartisipasi
dalam membangun identitas dan cara belajarnya, memiliki otonomi untuk
mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Orangtua sendiri memiliki
hak ikut aktif dan bebas merancang untuk melibatkan orang tua,
kebutuhan anak dalam pengembangan masa depan dan pertumbuhan
akan terpenuhi. Demikian juga pendidik, memiliki kontribusi dalam
menyusun konten, tujuan dan kegiatan pembelajaran disekolah.
Selama perkembangan anak usia dini, lingkungan akan menjadi
faktor yang paling berpengaruh. Keluarga sebagai lingkungan terkecil
untuk anak-anak memberikan pengaruh yang cukup besar untuk
perkembangan dan keluarga sebagai yang paling dekat dengan anak
individu akan menjadi model peran pertama untuk anak-anak. Perlakuan
dari orang tua kepada anak-anak akan membentuk kepribadian anak dan
terlihat hari ini. Ketika seorang anak memasuki lingkungan yang lebih
luas seperti sekolah, pendidik menjadi panutan berikutnya. Kerjasama
antara orang tua dan pendidik pada awal proses pembelajaran anak usia

15
akan memaksimalkan kemampuan anak dalam semua aspek
perkembangan.
b. Prinsip Pendekatan Kurikulum Reggio Emilia
1. Kurikulum Emergent
Kurikulum dibangun berdasarkan minat anak. Topik yang digunakan
dalam kegiatan belajar dapat diperoleh melalui pembicaraan dengan
anak-anak, mengapa peristiwa atau kejadian yang terdapat di masyarakat
atau peristiwa dalam keluarga. Topik yang dapat digunakan misalnya
sesuatu yang menjadi minat anak. Topik yang terplih dituangkan ke
dalam suatu perencanaan. Perencanaan kelompok merupakan suatu
komponen penting dalam kurikulum. Para guru bekerjasama untuk
merumuskan hipotesis tentang arah yang mungkin dibahas dalam suatu
proyek, material yang diperlukan, dan keterlibatan, serta dukungan dari
masyarakat dan orang tua.
2. Proyek (Pekerjaan)
Anak sebagai individu yang aktif dan memiliki jiwa petualang yang
besar. Kondisi ini menjadi proyek sebagai salah satu bentuk pembelajaran
yang kerap dilakukan. Proyek merupakan suatu studi mengenai konsep
secara menyeluruh dan lebih mendalam terhadap gagasan dan minat yang
muncul di dalam kelompok. Proyek dilakukan sebagai sebuah
petualangan. Proyek dapat dilaksanakan selama 1 minggu atau bisa
berlanjut sepanjang setahun pelajaran. Sepanjang proyek, para guru
membantu anak-anak untuk membuat keputusan mengenai arah belajar,
tata cara untuk memilih topik riset dan melaksanakan riset dalam
kelompok, representasi media yang akan dipertunjukkan/dipamerkan di
dalam lemari hasil karya. Proyek jangka panjang atau progettazione akan
meningkatkan kekekalan belajar. Konsep progettazione dapat dimaknai
sebagai suatu proses mengetahui bagaimana pengungkapan dan penyajian
kembali ide atau konsep yang dimiliki anak dengan cara mendorong anak
untuk memperoleh pemahaman dan pengalaman mereka ketingkatan
berikutnya.

16
3. Representational Development
Pembelajaran dalam Reggio Emilia melakukan pengintegrasian seni
grafis untuk mewadahi kemampuan, ilmu bahasa, dan perkembangan
sosial. Anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, bereksperimen
dengan melakukan coba dan coba lagi tanpa perlu disalahkan (trial and
error). Dalam kondisi ini anak akan memperoleh pengalaman yang dapat
membangun sejumlah pengetahuan. Kegiatan presentasi konsep dan
hipotesis melalui berbagai format penyajian seperti cetakan, seni,
konstruksi, drama, musik, pendalangan, dan boneka, dipandang sebagai
sesuatu yang penting dalam membangun pemahaman dan pengalaman
anak. Anak mempunyai 100 bahasa, berbagai bahasa simbolis.
4. Kerja Sama atau Kolaborasi
Kerja kelompok dan kolaborasi baik dalam kelompok kecil maupun
kelompok besar dipertimbangkan sebagai dua hal yang berharga dan
diperlukan untuk membantu pengembangan teori, anak didukung untuk
berdialog, kritik, perbandingan, mengadakan hipotesis, dan pemecahan
masalah. Semua ini dilakukan melalui kerja kelompok. Di dalam
pendekatan Reggio Emilia, berbagai perspektif mendukung
keseimbangan perasaan antara keanggotaan kelompok dan keunikan diri
anak sendiri secara bersama-sama. Penekanan yang tinggi terhadap kerja
sama atau kolaborasi antar komunitas sekolah dan rumah juga sangat
ditekankan untuk mendukung kegiatan belajar anak di sekolah.
5. Para Guru Sebagai Peneliti
Peran guru dalam pendekatan Reggio Emilia sangat kompleks. Selain
aktif sebagai co-teachers, peran guru yang utama yaitu untuk menjadi
pembelajar sejati bersama anak-anak. Guru juga merupakan seorang
peneliti, yang mendayagunakan semua sumber daya sebagaimana mereka
meminjamkan keahliannya untuk anak-anak. Di dalam peran yang
demikian (sebagai guru peneliti) pendidik harus berhati-hati
mendengarkan/menyimak, mengamati, dan mendokumentasikan
pekerjaan anak-anak dan pertumbuhan komunitas yang terjadi di dalam

17
kelas agar dapat menimbulkan, membantu membangun kembali (co-
construct), dan merangsang pemikiran dan kerja sama/kolaborasi anak-
anak dengan teman sebayanya. Para guru harus merasa terikat
(komitmen) untuk merefleksikan pengajaran dan pembelajaran mereka
sendiri.
6. Dokumentasi
Serupa dengan pendekatan portofolio dokumentasi mengenai proses dan
pekerjaan anak dipandang sebagai suatu alat penting dalam proses belajar
untuk anak, para guru, dan orangtua. Gambaran ketika anak-anak sedang
terlibat dalam pengalaman, kata-kata yang mereka gunakan ketika mereka
berdiskusi mengenai apa yang sedang dilakukan, perasaan, dan pemikiran
yang mereka ungkapkan, dan penafsiran pengalaman anak-anak melalui
media visual yang dipertunjukkan sebagai presentasi grafis pembelajaran
yang dinamis. Dokumentasi digunakan sebagai penilaian atau assesment
dan pertimbangan untuk melakukan sesuatu.
7. Lingkungan
Sekolah Reggio Emilia memberi perhatian besar pada penampilan dan
“perasaan” di dalam kelas. Lingkungan dipertimbangkan sebagai “guru
yang ketiga”. Para guru secara hati-hati menata ruang untuk karya anak-
anak dalam kelompok kecil dan besar, sekaligus ruang bagi masing-
masing anak secara individual.

6. Pendekatan Kurikulum High Scope


a. Sejarah Konsep Pendidikan High Scope
Pendekatan high scope (plan do review) pada awalnya
dikembangkan untuk anak anak luar biasa dari lingkungan miskin di
Ypsilanti, Michingan. Pada tahun 1962, David P. Weikart, direktur
pelayaan khusus dari Ypsilanti Public School, yang menamakan Perry
Preschool Project (yang kemudian dikenal sebagai High/Scope Preschool
Project). Weikart mendesain proyek ini untuk merespon kegagalan yang
senantiasa terjadi pada murid SMA dari lingkungan miskin Ypisilanti.

18
Sepanjang tahun tersebut, anak-anak secara konsisten dinilai dalam
tingkat bawah dalam tes kecerdasaan dan tes prestasi akademik. Ditandai
oleh tren atau situasi ini, Weikart mencari penyebab dan
penyelesaiannya. Weikart menyimpulkan bahwa rendahnya skor IQ
direfleksikan oleh terbatasnya kesempatan bagi sekolah untuk melakukan
persiapan daripada karena kecerdasaan bawaan anak. Weikart juga
menyimpulkan bahwa pencapaian siswa yang rendah di sekolah
menengah berkorelasi dengan keadaannya di sekolah dasar. (Nurhaedah,
2010: 1)
Weikart kemudian mencoba untuk memberikan intervensi bagi
anak usia 3–4 tahun, dengan tujuan untuk menyiapkan anak anak pra
sekolah dari lingkungan miskin ini agar bisa sukses di sekolah. Untuk
mendukung gagasan ini, Weikart meminta ijin untuk menyelenggarakan
program pendidikan pra sekolah yang berlokasi disebuah pusat
komunitas kemudian pindah ke Perry Elementary School. Pada tahun
1970, Weikart meninggalkan sekolah umum tersebut dan mendirikan
High/scope Educational Research Foundation. Program pendidikan
High/Scope merupakan salah satu model pembelajaran yang merujuk
pada teori Piaget. Pendekatan ini menekankan identifikasi terhadap
keadaan anak berdasarkan pada tingkatan perkembangan dengan menguji
pada pemenuhan kekuatannya.
Model pendidikan anak usia dini high scope memberikan
kerangka terbuka mengenai gagasan-gagsan dan praktik pendidikan bagi
guru berbasis perkembangan anak, budaya anak dan minat anak. (High
scope merupakan model kurikulum yang berpusat pada anak dan
mengharuskan anak aktif dalam perencanaan, proses dan pelaporan
kembali terkait kegiatan pembelajaran Jaipaul, 2011:240). Konsep plan-
do-review merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada anak.
Selain plan-do-review, pendekatan high scope menekankan pengalaman
kunci di mana anak-anak memiliki banyak waktu untuk eksplorasi aktif

19
di kelas dan catatan observasi anak high scope yang dikumpulkan dari
pengamatan harian guru.
b. Lingkungan pendidikan dengan pendekatan Kurikulum High/Scope
Program Pendidikan High Scope ini dikembangkan oleh David
Weikart pada tahun 1960an tetapi baru mulai digunakan pada tahun
1962. Menurut (Jaipaul, 2011: 221) komponen utama dalam kurikulum
High/Scope adalah:
1. Anak sebagai pembelajar aktif
Anak menggunakan sebagian besar waktunya di dalam learning
center yang beragam dengan menggunakan berbagai materi
pembelajaran, seperti materi eksplorasi dan materi manipulasi. Anak
menentukan sendiri materi yang akan dipilihnya untuk digunakan
dalam pembelajaran. Materi-materi tersebut ditujukan terutama bagi
pengembangan bahasa anak dengan bimbingan dari orang dewasa.
2. Merencanakan-melakukan-mengulang (plan-do-review)
Berupa kegiatan dimana guru membantu anak untuk memilih apa
yang akan mereka lakukan setiap hari, melaksanakan rencana
mereka, mengulang kembali yang telah mereka pelajari.
3. Pengalaman kunci (key experience)
Pengalaman kunci merupakan fokus utama dalam pembelajaran
High/Scope dengan mendasarkan pada karakteristik anak yang
mengacu pada perkembangan kognitif Piaget. Anak belajar dalam
kelompok kecil menggunakan materi-materi konkret.
(Banet & Weikart, 1962: ) High scope percaya bahwa anak-anak
belajar paling baik melalui pengalaman aktif dengan orang, materi,
acara, dan ide. Dipengaruhi oleh teori-teori kognisi dan interaksi
sosial Jean Piaget dan Lev Vygotsky, model berorientasi kognitif ini
membantu anak-anak dalam membangun pengetahuan mereka
sendiri dari pengalaman yang bermakna. Materi disusun di setiap
area aktivitas sehingga anak-anak dapat mengeluarkannya dengan
mudah dan menyimpannya secara mandiri. Dalam lingkungan

20
semacam ini, anak-anak secara alami terlibat dalam pengalaman
kunci yang mendorong keterampilan dan kemampuan penting
perkembangan.
4. Penggunaan catatan anekdot untuk mencatat kemajuan yang
diperoleh anak.
Guru selalu menyediakan kertas, perhatian, dan waktu untuk dapat
mengamati perkembangan anak sekecil apapun. Catatan anekdot ini
akan digunakan sebagai dasar penyusunan laporan perkembangan
anak nantinya.
7. Pendekatan Kurikulum Kreatif
a. Pengertian Pendekatan Kurikulum Kreatif
Kurikulum kreatif adalah kurikulum yang memberikan pegangan,
dorongan, dan kebebasan kepada guru untuk menjadi kreatif dan memberi
respon pada anak dalam proses pembelajaran. Dasar kurikulum kreatif
adalah penciptaan lingkungan yang bervariasi, lingkungan yang ditata
secara hati-hati. Inti penggunaan lingkungan adalah mengerti akan potensi
yang dimiliki berbagai alat permainan untuk meningkatkan belajar dan
pembelajaran, dan pengetahuan tentang bagaimana alat permainan tersebut
dapat memenuhi kebutuhan perkembangan anak (Dodge dan Colker,
2001:2) Kurikulum kreatif memiliki landasan pendidikan berdasarkan
berbagai teori dan hasil penelitian. Pada awalnya, teori yang dipakai
adalah dari Erikson, Piaget, teori prinsip perkembangan fisik, dan teori
pengaruh budaya dalam pendidikan (Dodge dan Colker, 2001:5).
Erikson mengungkapkan teori tentang tahap perkembangan sosial
emosi. Berdasarkan teori Erikson, anak usia dini berada pada tahap
percaya, otonomi, dan inisiatif (Santrock, 2008: 86 - 87). Piaget
mengungkapkan teori tentang perkembangan berfikir.  Menurut Piaget
anak usia dini berada pada tahap sensori motor, tahap pra operasional dan
tahap operasional konkret. Tahap sensori motor terjadi pada usia 0 sampai
2 tahun, tahap pra operasional dialami anak pada usia 2 sampai 7 tahun,

21
sedangkan masa operasional konkret dialami anak mulai usia 7 tahun
sampai 11 tahun (Slavin, 2008: 46). 
Berdasarkan pada pandangan tersebut, kurikulum kreatif berusaha
mengkondisikan agar anak dapat belajar dari lingkungan. Dengan belajar
langsung sesuai dengan kondisi lingkungan, anak akan lebih mudah
mengerti berbagai hal, termasuk bahasa. Oleh karena itu dalam
mengembangkan kemampuan berbahasa anak, kurikulum kreatif
memberikan penglaman langsung sesuai dengan kehidupan sehari-hari
anak. Anak juga memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan
pengelompokan dan pengklasifikasian dalam kurikulum kreatif untuk anak
usia dini. Kedua tersebut merupaka dasar pengembangan kemampuan
berfikir abstrak dan dalam pemecahan berbagai masalah dengan berbagai
cara dalam kehidupan sehari-hari (Dodge dan Colker, 2001:7-8). Dasar
filosofinya adalah guru harus mampu menggunakan bermacam-macam
strategi untuk memenuhi kebutuhan anak dalam aspek perkembangan
sosial, emosional, fisik, kognisi dan bahasa. Kerangka kerja kurikulum
kreatif seperti terlihat dalam gambar berikut:

Bagaimana
Anak
Berkembang
dan Belajar

Balok
Drama
Peran Lingkungan
Keluarga Permainan Pembelajar
seni
Perpustakaan
Pasir dan Air
Musik dan Gerak
Komputer
Outdor
Apa yang
Peran guru dipelajari
Anak

TEORI DAN PNELITIAN

22
Gambar. 2.1 Kerangka Kurikulum Kreatif Untuk Prasekolah Diadaptasi
dari Gestwicky, 2008: 447

b. Prinsip Pendekatan Kurikulum Kreatif


1. Kurikulum kreatif mendasarkan prinsipnya pada teori dan riset
tentang otak yang dilakukan oleh Maslow, Erikson, Piaget,
Vygotsky, Smilansky dan Gardner.
2. Pemahaman cara belajar anak sebagai proses yang kontinum.
Proses belajar anak tidak pernah berhenti dan harus berlangsung
terus menerus agar terjadi penambahan pengetahuan sehingga anak
dapat menghubungkan pengelaman lalu dengan yang akan
diterimanya.
3. Menekankan pada seting lingkungan pembelajaran dalam sentra,
mengatur jadwal kegiatan sehari-hari, mengorganisasi pilihan
waktu belajar, dan menciptakan komunitas kelas. Guru harus
merancang lingkungan dan alat pembelajaran yang menarik bagi
anak, membuat rencana kegiatan secara rutin, mengorganisasikan
waktu (masing- masing untuk kegiatan klasikal dan kelompok),
mengkreasi aktivitas belajar untuk menggali ide anak dalam
interaksinya dengan anak lain dan orang dewasa.
4. Guru berperan menjadi pengamat dan menggunakan bermacam
strategi untuk memandu pembelajaran.
5. Bermitra dengan orangtua untuk mendukung pembelajaran. Mitra
ini tidak sebatas pada bermitra dalam hal pembiayaan sekolah,
tetapi mitra yang sesungguhnya, yaitu tanggung jawab dalam
proses pendidikan (Maryatun dan Hayati, 2010: 48-49)

Begitupun dengan prinsip perkembangan fisik, kurikulum kreatif


untuk anak usia dini memberikan perhatian pada kesehatan, kecukupan
gizi, dan keselamatan anak. Perkembangan fisik yang baik tentunya
berdampak pada perkembangan otot-otot yang menjadi lebih matang.

23
Kondisi perkembangan yang baik memungkinkan anak untuk melakukan
berbagai kegiatan motorik kasar dan halus dengan cara yang lebih
kompleks. Hal ini dapat menunjang keberhasilan perkembangan motorik
kasar dan motorik halus anak yang juga merupakan bagian yang harus
terdapat dalam kurikulum kreatif.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sumantri, bahwa kecepatan
perkembangan jasmani dipengaruhi oleh gizi, kesehatan, dan ketersediaan
lingkungan fisik. (Sumantri, 2005;18). Dengan demikian, selain dengan
pemberian sarana dan latihan, sangat baik untuk memperhatikan kesehatan
dan gizi anak untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar dan
halusnya.
Hal lain yang menjadi perhatian dalam kurikulum kreatif adalah
pengaruh budaya. Kebudayaan adalah serangkaian kepercayaan, sikap,
asumsi, aturan perilaku dan harapan masyarakat, yang kesemuanya
berpengaruh terhadap bagaimana seseorang menginterpretasikan
pengalaman dan berhubungan dengan orang lain. Menyadari pentingnya
budaya terhadap perkembangan sosial emosi anak, maka kurikulum kreatif
menciptakan situasi pembelajaran yang sesuai dengan kebudayaan anak
yang berbeda-beda. Guru perlu mengetahui latar belakang kehidupan
keluarga dan lingkungan sosial anak, sehingga guru lebih mengenal anak
dan dapat menghadirkan kegiatan yang sesuai dengan budaya anak.
Pembelajaran dimulai dari lingkungan yang telah dikenal anak (baik dalam
hal kehidupan keluarga, bahasa dan lingkungan bertetangga), dan secara
bertahap diperluas dari apa yang telah diketahui oleh anak. (Dodge
dan Colker, 2001:10).
Selanjutnya, seiring dengan perkembangan teori dan penelitian
dalam dunia pendidikan, kurikulum kreatif mengadopsi beberapa
pandangan lain sebagai dasar pembelajaran, yaitu dari: Maslow, teori
perkembangan otak, Vigotsky, Gardner, dan Smilansky (Dodge
dan Colker, 2001: 2 - 13).

24
Berdasarkan paparan tersebut, dapat diketahui bahwa kurikulum
kreatif merupakan kurikulum yang sangat menghargai dan memperhatikan
kondisi anak. Kurikulum kreatif menyesuaikan kegiatan pembelajaran
dengan karakteristik anak, baik dalam aspek kognitif, sosial emosi,
maupun aspek fisik motorik. Dalam mengembangkan berbagai aspek
tersebut pada diri anak, sekolah yang menggunakan kurikulum kreatif
berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang tua. Dengan demikian
kegiatan pembelajaran benar-benar sesuai dengan latar belakang dan
kondisi masing-masing anak, terlebih lagi dengan memperhatikan aspek
kebudayaan dalam kegiatan, maka kurikulum kreatif dapat mengarahkan
guru untuk merencanakan dan melaksanakan pembelajaran secara lebih
efektif dan mengena. Hal ini mendukung tercapainya tujuan pembelajaran
secara lebih efektif.

C. Inovasi dari Setiap Pendekatan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini


1. Pendekatan Kurikulum Froebel
Prinsip Utama dari Pandangan oleh Froebel yang paling dasar adalah
pengembangan aktivitas anak. Anak harus didorong untuk aktif dalam
berbagai kegiatan yang produktif. Kemudian anak harus merdeka, bebas,
Froebel berpendapat dengan kebebasan yang diberikan anak dapat
berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Lebih lanjut lagi
Froebel berpendapat ketika anak bebas, merdeka dan diberikan kesempatan
anak dapat mengembangkan daya fantasi atau daya khayal anak. Kemudian
yang ketiga anak diberikan kebebasan dalam pengamatan dan peragaan,
tujuannya agar anak dapat mengembangakan seluruh indra yang dimiliki oleh
anak.
Dasar pada kurikulum Froebel dalah gift dan objek yang dipegang, diamatai,
dirabah oleh anak sesuai dengan intruksi dari guru, diharapkan anak dapat
belajar dari objek yang diberikan, sedangkan occupation kegitan yang melatih

25
anak dengan kordinasi mata, tangan, dan pikiran, materi ini dirancang oleh
guru untuk mengembangkan keterampilan yang dimliki oleh anak yang
diutamakan adalah psikomotorik.
2. Pendekatan Kurikulum Bank Street
Pendekatan Bank Street mengangap murid sebagai pembelajar yang
aktif dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada pada lingkungan sekitar
anak sebagai alat pembelajaran yang baik, namun pembelajarannya
difokuskan pada bidang sosial science yang meliputi sejarah, goegrafi dan
anthropologi, tepapi pendekatan ini juga meliputi artisik dan sains.
Pendekatan Bank Street menekankan sosial bagian dari inti kurikulum, sosial
yang dimaksud adalah hubungan antara dan diantara banyak orang lain dan
lingkungan mereka, lingkungan dimana anak tinggal.
Konsep pada pendekatan ini adalah Perkembangan-Interaksi dimana
cakupan kajiannya bagaimana anak belajar dari pengalaman, membuat
hubungan kebelakang dan kedepan dengan hal-hal apa yang dinikmati dari
hal yang berurutan. Tentunya ini berbeda dengan konsep dari Froebel yang
mengatakan bahwa pengalaman adalah pijakan anak untuk mengetahui suatu
pengetahuan yang baru, dan kurikulum harus berisi pengalaman yang dapat
dibentuk berdasarkan minat dan kebutuhan anak. Sehigga anak dapat berpikir,
memahami, merasakan, dan anak-anak dapat berhubungan dan menemukan
hubungan, untuk membuat apa yang dipelajari dan menemukan sendiri, untuk
belajar dari pengalaman anak-anak harus terlibat langsung dan anktif dengan
lingkungan sosial dan fisik yang ditawari berbagai kesempatan untuk melihat,
menyimak, menyentuh, mencium, merasakan dunia mereka. Melalui
pengalaman langsung, anak-anak dan orang dewasa terlibat secara
aktif dengan lingkungan, memperluas dasar pengetahuan mereka, dan
memperkuat rasa kemampuan dan penguasaan.
Guru yang dididik di Bank Street diharapkan memiliki
pemahaman yang luas mengenai pemelajaran dan kebutuhan perkembangan
anak dan kemampuan untuk menciptakan kelas yang peduli, menantang se-
cara cerdas, dan demokratis, guru diharuskan memilki pengetahuan yang

26
mendalam tentang bidang subjek dan terlibat secara aktif dalam
pembelajaran, guru harus tumbuh sebagai pribadi yang profesional.
Pandangan pada pendekatan bank street pengajaran yang baik adalah ketika
menanamkan persiapan guru, sehingga pada pendekatan bank street mainan-
mainan anak yang ada didalam kelas hanya membantu anak untuk
mengembangkan imajinasinya.
3. Pendekatan Kurikulum Montessori
Pandangan montessori terhadap anak adalah pertama menghargai
anak, montessori berpendapat bahwa setiap anak unik, oleh karena itu anak
memiliki kemampuan yang berbeda dengan satu dan lainnya dan pendidik
harus menghargai anak sebagai individu yang memiliki kemampuan luar
biasa. Kedua, pemikiran anak sangat cepat menyerap, informasi yang masuk
melalui indra anak dengan cepat terserap dengan otak anak, diharapkan anak
tidak meberikan konsep yang keliru pada anak (siswa). Ketiga, masa peka
yang dapat digambarkan sebagai subuah pembawaan atau potensi yang dapat
berkembang sangat pesat pada waktu tertentu. Potensi ini akan mati dan tidak
akan muncul lagi apabila kurang diberikan kesempatan untuk berkembang
tepat pada waktunya. Keempat, lingkungan harus disiapkan untuk anak agar
dapat memunculkan keinginan anak untk belajar banyak hal, lingkungan yang
dibutuhkan harus dirancang sebagai fasilitas kebutuhan dan minat anak,
sehingga pendidik harus menyediakan sarana dan prasarana yang sesuai
dengan kebutuhan minat anak, ini berbeda dengan pandangan Froebel yang
hanya memberikan kebebasan kepada anak untuk mengamati secara
langsung, baik berupa lingkungan fisik, sosial.
Montessori lebih mengedepankan lingkungan yang ditata dengan
berbagai setting sehingga anak tidak bergantung pada orang dewasa,
lingkungan yang disetting bertujuan agar anak bebas bergerak untuk bekerja,
bermain untuk bekerja. Pendidikan yang berbasis pada Montessori adalah
mengikuti ketertarikan anak saat itu dan guru pada sekolah Montessori lebih
sebagai fasilitator serta pembimbing dan biasa disebut directot/directress.
Anak- anak di sekolah Montessori belajar melalui pengalaman hands on

27
langsung dengan berbagai materi yang ada. Kemandirian sangat diutamakan
dalam filosofi montesori yang artinya anak diharapkan dapat mengurus
dirinya sendiri.
4. Pendekatan Kurikulum Regio Emelia
Hampir mirip dengan pendekatan Montessori, hanya saja pada
pendekatan ini anak-anak memimpin dan kurikulum serta kegiatan
disesuaikan dengan ketertarikan anak. Pendekatan Reggio Emelia dengan
konsep Three Education, antara anak, guru, dan orang tua, dimana anak
memiliki hak untuk aktif berpartisifasi dalam membangun identitas cara
belajar anak, begitupun dengan guru memiliki hak yang sama yaitu aktif dan
bebas merancang dan bebas melibatkan orang tua, kebutuhan anak, dalam
pengembangan masa depan dan pertumbuhan yang terpenuhi, tentunya
kegitan ini tidak kita temaukan dalam pendekatan Montessori. Pendekatan
Reggio Emelia menganggap bahwa lingkungan menjadi faktor utama dan
berpengaruh selama perkembangan anak. Perlakuan orang tua kepada anak
anak membentuk keperibadian anak, oleh karena itu kerjasama antara
pendidik dan orang tua pada proses pembelajaran anak akan memaksimalkan
kemampuan anak dalam semua aspek perkembangan.
Guru akan mengamati ketertarikan anak lalu membuatkan serta
menyiapkan kegiatan yang berkaitan dengan ketertarikan anak saat itu.
Kemudian juga anak-anak pada pendekatan Reggio-Emilia diharapkan belajar
dari kesalahan sendiri dari pengalaman, dibandingkan dari koreksi dari guru.
Reggio-Emilia menekankan pada aspek kreatifitas dan presentasi materi yang
menarik dan artisik untuk menarik minat anak.
5. Pendekatan Kurikulum High Scope
Pendekatan High Scope berpandagan bahwa anak sebagai pembelajar
aktif yang menggunakan sebagaian besar waktunya di dalam kegiatan
Learning Center, hal ini diharapkan guru membantu anak membantu anak
untuk memilih kegiatan apa yang akan mereka lakukan, melaksanakan
rencana dan mengulang kembali apa yang telah dipelajari oleh anak. Dengan
demikian pendekatan High Scope dikenal dengan Plan Do Review,

28
(merencanakan-melakukan-mengulang), merancang dan memutuskan apa
yang akan dikerjakan, mengajarkan dan meriview pekerjaan. Pendekatan
High Scope, memberikan kerangka terbuka mengenai gagasan dan praktik
pendidikan yang berbasis pada perkembangan anak. High Scope merupakan
kurikulum yang berpusat pada anak, dan mengharuskan anak aktif dalam
proses perencanaan, proses dan pelaporan kembali, tentunya ini berbeda
dengan konsep pendekatan Regio Emilia dengan konsep three education
yaitu, guru, anak, orang tua mempunyai peran penting dalam perkembangan
anak.
Pendekatan High Ccope pada dasarnya membekali anak untuk dapat
mengembangkan kemampuan berpikir analitis, memiliki jiwa kepemimpinan,
dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi, dengan lingkungan belajar
di High Scope dapat mendorong anak untuk mengembangkan kemampuan
dalam konteks sosial dan kultural. High Scope juga menekankan pada bidang
sosial dan pengembangan emosi daripada bidang akademis. Anak-anak di
perbolehkan untuk membuat keputusan sendiri saat melakukan kegiatan yang
mereka inginkan. High scope menjunjung cara belajar seperti belajar sesuai
urutan, bernyanyi, bercerita dan kadang menggunakan komputer untuk
mempelajari materi tertentu. Oleh karena itu pendekatan High Scope
menjadikan proses pendidikan sebagai hal yang penuh warna dan
menyenangkan bagi anak dan bukan sebagai beban yang harus dipikul oleh
anak.
6. Pendekatan Kurikulum Kreatif
Pendekatan kurikulum kreatif berusaha mengkoordinasikan anak
belajar langsung dari lingkungan, belajar langsung dari kondisi lingkungan
dapat memudahkan anak mengerti berbagai hal yang dipelajari. Dengan
memberikan pengalaman langsung sesuai dengan kehidupan sehari-hari,
dapat memenuhi kebutuhan anak dalam berbagai aspek diantaranya aspek
perkembangan sosial, emosional, fisik, kognisi, bahasa, matematika, seni dan
musik. Tentunta aspek perkembangan ini yang muncul hanya sosial dan
emosional pada pendekatan High Scope.

29
Kurikulum kreatif juga memandang bahwa bagaimana anak belajar
dan berkembang, lingkungan belajar, apa yang dipelajari oleh anak, peran
guru, peran keluarga, dan cakupan materi yang akan diajarkan merupakan
kesatuan yang utuh dan harus saling berkaitan, tujuannya agar anak dapat
berkembang maksimal sesuai dengan potensi yang dimilki. Oleh karena itu
prinsip kurikulum kreatif memandang cara belajar anak sebagai proses yang
berkelanjutan/ kontinum, proses belajar anak tidak pernah berhenti dan harus
terus berlangsung terus menerus, menekankan pada setting lingkungan
pembelajaran dalam sentra, dan bermitra dengan orang tua dalam mendukung
pembelajaran yaitu tanggung jawab dalam proses pendidikan.
Kurikulum kreatif sangat menghargai dan mempertimbangkan kondisi
anak, menyesuaikan pembelajaran dengan karakteristik anak, dalam semua
aspek perkembangan anak, baik dalam aspek kognitif, sosial, emosi, bahasa,
dan fisik motorik anak. Dengan demikian aktivitas pembelajaran benar
menjadi kebutuhan dan latar belakang kondisi anak. Oleh karena itu
kurikulum kreatif dapat mengarahkan guru untuk merancang dan
melaksanakan pembelajaran yang efektif.

30
31
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, kurikulum mempunyai


peran central dalam tercapainya tujuan pendidikan, kurikulum adalah jantung
pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
isi dan bahan pelajaran serta digunakan sebagai acuan, pedoman penyelenggaraan
kegitan belajar. Dalam pengembangan pendekatan kurikulum setidaknya
memberikan perhatian yang khusus pada prinsip-prinsip diantaranya:
mempertimbangkan keunikan anak/peserta didik, kegiatan sesuai dengan minat
dan karateristik perkembangan anak, dan unsur-unsur budaya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Dodge, Diane Trister dan Laura J. Colker. (2001). The Creative Curruculum For
Early Childhood, edisi ketiga. Washington: Teaching Strategies Inc.

Dodge, Diane Trister, Laura J. Colker, dan Cate Heroman. (2009). Creative


Curriculum For Preschool, ed.4. USA: Teaching Strategies.

Essa, Eva L. (2003). Introduction to Early Chidhood Education. Canada:


Thompson Delmar Learning.

Getstwicki, Carol. (2007). Developmentally Appropriate Practice. Curriculum


and Development In Early Education. Canada: Thomson Delmar
Learning.

Halimah Leli. (2016). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini.


Bandung: Rafika Aditama.

Hohmann, M., Banet., & Weikart, D.P. (2002). Young Children in Action: A
Manual for Preschool Educators 2nd edition (Ypsilanti, MI: High Scope
Press).

Masnipal. (2013). Siap Menjadi Guru Dan Pengelola Paud Profesional. Jakarta:
Gramedia.

Maria Montessori, (2013). Metode Montessori Panduan Wajib Untuk Guru Dan
Orang Tua Didik PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Trjmh Ahmad
Lintang Lazuardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maryatum Ika Budi, Hayati Nur, (2010). “Modul Pengembangan Program


Pendidikan Anak Usia Dini” Kementerian Pendidikan Nasioanal:
Universitas Negeri Yogyakarta.

Nurhaedah., Amal, Azizah. (2010). Model Pembelajaran High/Scope dalam


Menumbuh Kembangkan Kemampuan Anak Usia Dini. Jurnal Universitas
Negeri Makassar, Volume 3 No. 2.

Perwira, Laksmi. (2016). Artikel “Tokoh Pendidikan Froebel”

Peniel Maiweng, (2011). “Analisis Konsep Pemeikiran John Dewey”. Makalah


dalam bentuk Pdf.

33
Rithaudin, Ahmad. (2012). Journal. “Adaptasi Metode Montessori sebagai
Metode Pembelajaran Pendidikan jasmani pada Taman Kanak-kanak dan
Sekolah Dasar”. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Roopnarine, Jaipaul L., & Johnson, James E. (2011). Pendidikan Anak Usia Dini;
Dalam Berbagai Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Roopnarine, J.L. & Johnson, J.E. (2005). Approaches to Early Chilhood


Education. 4th edition. Ohio: Prentice Hall.

Risti, A.V. (2015). Keterlibatan Orangtua Dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Dan Sd Kelas Awal Ditinjau Dari Pendekatan Reggio Emillia. Jurnal
Teknodika Vol. 13 Nomor. 12. Yogyakarta.

Sumantri, Syarif. (2005). Model Pengembangan Keterampilan Motorik Untuk


Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas.

Yus, Anita. (2011). Model Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

34

Anda mungkin juga menyukai