Anda di halaman 1dari 86

Bab 2

Model Inti Klasik

2.1 Perlunya Model Inti

Sejauh ini terdapat banyak data eksperimen terkait inti atom, seperti
(i) sifat jenuh energi ikat per nukleon, (ii) sifat kestabilan inti yang
sangat khas, serta (iii) keberadaan bilangan ajaib (magic number ).
Sayangnya pengetahuan kita sejauh ini hanyalah sebatas bahwa: “in-
ti tersusun atas proton dan netron”, tanpa ada penjelasan bagaimana
nukleon tersebut tersusun dalam inti dan saling berhubungan satu
sama lain. Berbeda dengan kasus atom, yang fenomenanya dapat di-
jelaskan secara sempurna oleh teori kuantum, sejauh ini belum ada
satu teoripun yang dapat menjelaskan fenomena di level inti atom.
Jadilah kita mencoba merangkai suatu model untuk inti. Berbeda
dengan teori yang berlaku secara umum, suatu model barangkali ha-
nya bisa menjelaskan fenomena tertentu saja, secara parsial. Dengan
kata lain, daerah kerja suatu model sangat terbatas. Meski demikian,
dengan memiliki suatu model inti, diharapkan kita dapat menjelask-
an berbagai fenomena pengamatan untuk inti serta mampu menduga
perilaku inti yang belum diketahui melalui eksperimen. Pada akhir-
nya, diharapkan kita mampu memanfaatkan fenomena di level inti
untuk kepentingan yang bermanfaat.
Model yang akan kita buat untuk inti bertumpu pada bagaima-
na memodelkan dinamika nukleon di dalamnya. Terkait dengan hal

21
22 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.1: Berbagai model inti dan inspirasi penggunaannya

ini, ada dua cara pandang. Cara pandang pertama adalah pandang-
an kolektif yang memandang nukleon sebagai satu kesatuan. Dalam
pandangan kolektif, nukleon tidak terisolasi satu sama lain melainkan
saling berinteraksi sangat kuat, di mana dinamika kolektifnya mun-
cul sebagai sifat inti. Dengan kata lain, mean free-path (lintasan be-
bas rata-rata) nukleon sangat pendek. Cara pandang kedua adalah
pandangan independen, yang memandang nukleon bukan sebagai ke-
lompok. Dalam pandangan ini, nukleon dipandang sebagai partikel
individual yang tidak saling berinteraksi satu sama lain atau berinte-
raksi sangat lemah yang diwujudkan dalam bentuk potensial. Dalam
pandangan ini, mean free-path nukleon sangat panjang. Sebagai kon-
sekuensinya, setiap nukleon memiliki sifat fisis yang berbeda, yang
pada gilirannnya dapat mempengaruhi sifat inti.
Secara umum, suatu model akan diterima bila (i) bisa menjelaskan
fenomena eksperimen, (ii) menghasilkan dugaan teoritis yang benar,
serta (ii) memiliki bentuk yang sederhana, mudah diingat, dan efi-
2.2. MODEL TETES CAIRAN 23

sien secara matematis. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa baik


pendekatan kolektif maupun individual berhasil menerangkan perila-
ku inti, meskipun untuk kasus yang berbeda. Ini berarti keduanya
konsisten. Tetapi kenapa keduanya muncul dalam model yang berbe-
da? Penjelasannya ada pada prinsip larangan Pauli. Setiap interaksi
menghasilkan suatu keadaan (state). Akibat larangan Pauli, tidak se-
mua keadaan boleh ada. Ini berarti nukleon tidak selalu berinteraksi.
Akibatnya, mean free-path nukleon pada model independen sangat
panjang.
Kebanyakan model inti diadopsi dari model non-inti yang sudah
ada. Jika suatu fenomena dalam inti memiliki kesamaan dengan de-
ngan fenomena lain di luar inti, maka model yang bisa menjelaskan
fenomena tersebut dipakai sebagai model inti, seperti ditunjukkan pa-
da Gambar 2.1.

2.2 Model Tetes Cairan

Model tetes cairan (liquid drop model ) adalah model kolektif yang
paling banyak dipakai. Model ini mula-mula diusulkan oleh Geor-
ge Gamow dan kemudian dikembangkan oleh Niels Bohr dan John
Archibald Wheeler. Model ini diilhami oleh kesamaan sifat inti de-
ngan sifat tetes cairan. Di antara sifat tetes cairan adalah (i) ke-
rapatannya homogen, (ii) ukuran tetes cairan berbanding lurus de-
ngan jumlah partikel / molekul penyusunnya, dan (iii) kalor uap-
nya berbanding lurus dengan jumlah partikel pembentuknya, Cuap =
konstanta × jumlah partikel. Misalkan kita mengukur kalor uap per
jumlah partikelnya, maka mengacu pada sifat no (iii), tentunya kita
akan mendapat nilai yang konstan, tanpa bergantung pada jumlah
partikel penyusunnya.1
Sekarang kita akan melihat bahwa sifat tetes cairan tersebut juga
dijumpai pada inti, sebagai berikut.

1
Energi vaporisasi per molekul untuk air adalah 0,42 eV, tidak bergantung pada
jumlah molekulnya.
24 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.2: Plot fraksi energi ikat inti (energi ikat per nukleon) da-
ri hasil eksperimen. (sumber:http://media-3.web.britannica.com/eb-
media/46/6046-004-A03990FC.gif )

• Dari Gambar 1.1, terlihat bahwa kerapatan massa inti konstan,


kecuali pada daerah kulit inti.

• Dari Persamaan (1.4), terlihat bahwa R ∝ A1/3 , yang berarti


V ∝A

• Suatu besaran pada inti yang setara dengan kalor uap per jum-
lah partikel adalah energi ikat inti per nukleon

B
f= . (2.1)
A

Hasil pengamatan, yang ditunjukkan pada Gambar 2.2, menun-


jukkan bahwa nilai f relatif konstan pada nilai sekitar 8,5 MeV
untuk 30 ≤ A ≤ 200.

Kesamaan ini memotivasi fisikawan untuk mengadopsi model tetes


2.2. MODEL TETES CAIRAN 25

cairan sebagai model inti.


Model tetes cairan mengandaikan inti sebagai tetes cairan fluida
tak mampat, yang tersusun oleh nukleon, yakni gabungan proton dan
netron yang terikat oleh gaya nuklir kuat. Model tetes cairan tidak
memerinci sifat individual nukleon, tetapi menerangkan sifat kolektif
nukleon yang sekaligus merepresentasikan sifat inti. Dengan meng-
analogikan inti sebagai tetes cairan nukleon, inti diasumsikan punya
sifat berikut

• Inti tersusun atas nukleon tak termampatkan sehingga R ∝ A1/3


(Perilaku ini setara dengan sifat tetes cairan, di mana ukurannya
berbanding lurus dengan jumlah molekul penyusunnya.)

• Gaya inti antar nukleon mengalami saturasi dengan cepat, da-


lam arti hanya memiliki jangkauan yang sangat terbatas, atau
hanya efektif untuk nukleon tetangganya langsung. Dengan de-
mikian, energi ikat inti sebanding dengan jumlah nukleonnya.
(Ini sama dengan sifat tetes cairan, di mana kalor uapnya ber-
banding lurus dengan jumlah partikel pembentuknya)

• Jika gaya tolak elektrostatik diabaikan, maka gaya inti bernilai


sama besar di antara proton dan netron.

Berdasarkan asumsi di atas, kita dapat merumuskan energi ikat inti


sebagai

B ∝ A
= av A,

di mana av adalah suatu konstanta.2 Berdasarkan rumusan di atas,


kita dapat menghitung bahwa energi ikat inti per nukleon adalah f =
B
A = av bernilai konstan. Hal ini tidak sesuai dengan data eksperimen
2
Karena volume inti sebanding dengan nomor massanya A, maka ketergan-
tungan B pada A juga dapat diartikan sebagai ketergantungannya pada volume.
Dengan demikian, sangat logis untuk menuliskan energi tersebut sebagai energi
volume dan menuliskannya sebagai aV A, di mana indeks v untuk volum.
26 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

pada Gambar 2.2. Ini berarti harus ada suku koreksi pada ungkapan
energi ikat.
Untuk memahami kehadiran suku koreksi, kita lihat asumsi ke-2
dari model tetes cairan. Gaya inti antar nukleon hanya efektif untuk
nukleon tetangganya langsung. Dengan demikian, energi ikat inti per
nukleon sebanding dengan jumlah nukleon tetangganya, katakan n.
Asumsi inilah yang kita pakai dalam menentukan nilai av . Sekalipun
demikian, perlu diingat bahwa tidak semua inti mempunyai n nukleon
tetangga. Inti yang ada di sepanjang permukaan bola, tentunya akan
memiliki jumlah tetangga lebih sedikit. Ini artinya nilai B = av A
terlalu besar dan harus dikurangi oleh inti yang ada di permukaan
bola. Jika volume bola sebanding dengan A, maka luas permukaan
bola sebanding dengan A2/3 , sehingga faktor koreksi akibat permuka-
an adalah −as A2/3 , di mana indeks s untuk surface.3 Sekarang kita
dapat menuliskan energi ikat inti sebagai

B = av A − as A2/3 .

as
Persamaan terakhir memberikan kita f = av − A1/3
. Terlihat bahwa
ungkapan tersebut belum benar karena memberikan nilai fraksi energi
ikat f yang akan naik sejalan dengan kenaikan nomor massa A, tanpa
pernah mencapai puncak untuk kemudian turun.
Faktor koreksi berikutnya muncul dari kecenderungan proton un-
tuk saling menjauh, yang tetunya mengurangi nilai energi ikatnya.
Jika jumlah proton adalah Z dan maka energi ikat elektrosatisnya ada-
(Ze)2
lah Bc ∝ R , dengan R adalah jari-jari inti. Karena proton tidak
(Ze)2 Ze2
mungkin berinteraksi dengan dirinya sendiri, maka Bc ∝ R − R =
Z(Z−1)e2
R . Selanjutnya, karena volume inti sebanding dengan jumlah
nukleon A, maka R ∝ A1/3 , sehingga faktor koreksi energi akibat gaya
elektrostatis atau gaya Coloumb adalah −ac Z(Z−1)
A1/3
, di mana indeks
c untuk Coulumb. Dengan demikian, menurut model tetes cairan,

3
Dalam pembahasan energi ikat, energi ikat kita beri nilai positif. Dengan
demikian, faktor koreksi energi yang menguatkan ikatan kita beri nilai positif,
sedang faktor koreksi energi yang melemahkan ikatan kita beri nilai negatif.
2.2. MODEL TETES CAIRAN 27

energi ikat inti (nuclear binding energy, B ) terdiri atas

B = Bv − Bs − Bc
Z (Z − 1)
= av A − as A2/3 − ac . (2.2)
A1/3

Persamaan terakhir memberikan fraksi energi f = av − Aa1/3


s
−ac Z(Z−1)
A4/3
,
yang menjamin bahwa sejalan dengan kenaikan A, fraksi energi f ak-
an naik, mencapai nilai maksimum, dan kemudian turun. Sayangnya
nilai tersebut belum benar-benar sama dengan data eksperimen. Ini
berarti masih dibutuhkan suku koreksi yang lain.
Koreksi berikutnya muncul dari model kulit.4 Koreksi pertama
(dari model kulit) terkait dengan perbandingan jumlah proton dan
netron. Menurut larangan Pauli, dua buah proton (atau dua buah
netron) tidak bisa menempati suatu keadaan yang sama. Dengan
demikian, satu tingkat energi, hanya bisa ditempati maksimal 4 nu-
kleon, yaitu sebuah netron spin up, sebuah netron spin down, sebuah
proton spin up, dan sebuah proton spin down. Untuk inti simetris
(N = Z), semua tingkat energi (selain tingkat tertinggi) akan terisi
4 nukleon. Sebaliknya untuk inti asimetris (N 6= Z), tidak semua
tingkat energi terisi 4 nukleon. Dengan demikian, energi minimum
untuk membentuk inti asimetris lebih besar dari energi minimum inti
simetris. Dengan kata lain, pada inti asimetri, sebagian dari energi
ikat inti dipakai untuk membentuk pasangan asimetris ini. Koreksi
2
energi ikat terkait sifat asimetris diberikan oleh aa (N −Z)
A , di mana
indeks a untuk asymmetric. Koreksi kedua (dari model kulit) terka-
it dengan kecenderungan sesama proton untuk membentuk pasangan
yang yang terdiri atas sebuah proton spin up dan sebuah proton spin
down, sehingga energinya minimum. Hal yang sama berlaku untuk
netron. Akibatnya sebuah inti dengan Z genap dan N genap (inti
genap-genap), akan memiliki energi minimum yang berbeda bila di-
bandingkan dengan inti genap-ganjil, ganjil-genap, dan ganjil-ganjil.
Mengingat hal ini, ditambahkan koreksi pasangan yang besarnya kita
4
Kita membahasnya di sini, sekalipun belum membahas model kulit, untuk
mendapatkan gambaran yang utuh tentang SEMF.
28 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

nyatakan sebagai δ. Koreksi ketiga (dari model kulit) terkait dengan


konfigurasi nukleon dalam inti, di mana inti dengan jumlah proton
dan atau netron sama dengan bilangan ajaib (magic number ) akan
memiliki energi ikat lebih besar. Dengan memperhatikan semua ko-
reksi yang bersumber pada model tetes cairan dan model kulit, maka
rumusan energi ikat inti adalah:

B = Bv − Bs − Bc − Ba + Bp + Bm
Z (Z − 1) (N − Z)2
= av A − as A2/3 − ac − aa + δ + η.(2.3)
A1/3 A

Arti setiap suku pada pada persamaan di atas adalah

• B adalah energi ikat inti (binding energy)

• av A adalah energi ikat yang dijabarkan dengan pendekatan vo-


lume

• as A2/3 adalah koreksi energi ikat akibat efek permukaan

• ac Z(Z−1)
A1/2
adalah koreksi energi ikat akibat gaya tolak Coulumb
antar proton
2
• aa (N −Z)
A adalah koreksi energi ikat akibat ketidaksamaan jum-
lah proton dan netron (asssymmetry, a)

• δ adalah koreksi energi ikat akibat sifat berpasangan (pairing,


p) dari netron dan proton, di mana δ = 0 jika A ganjil, dan
δ 6= 0 untuk A genap. Lebih detail, δ berharga positif jika N
dan Z genap, dan berharga negatif jika N dan Z ganjil. Ada dua
ap ap
ekspresi untuk δ, yaitu A3/4
dan A1/2
, dengan indeks p untuk
pairing.. Keduanya diturunkan dari fitting data eksperimen,
tanpa ada penurunan secara teoritis.

• η adalah koreksi energi inti akibat konfigurasi kulitnya, di mana


η berharga positif jika N dan Z adalah bilangan ajaib.

Persamaan (2.3) dikenal sebagai rumusan empiris untuk energi ikat


inti atau massa ikat inti (the semi-empirical mass formula, SEMF).
2.2. MODEL TETES CAIRAN 29

Gambar 2.3: Plot fraksi energi ikat teoritis, dihitung sampai faktor
koreksi yang berbeda, diplot sebagai fungsi A, dengan menggunak-
an koefisien a dari Ferbel pada Tabel 2.1. Perhatikan kemiripannya
dengan hasil eksperimen pada Gambar 2.2.

Rumusan di atas juga dikenal sebagai formula Weizsäcker5 (atau lebih


lengkapnya formula Bethe-Weizsäcker). Plot f teoritis sebagai fungsi
A, dengan berbagai tingkat koreksi yang berbeda, ditunjukkan pada
Gambar 2.3.

Tabel 2.1: Berbagai set nilai konstanta untuk Persamaan (2.3).


Nilai (MeV)
av 14 16 15.56 14 14.1 15.75
as 13 18 17.68 13.1 13 17.8
ac 0.60 0.72 0.72 0.146 0.595 0.711
aa 19 23.5 23.3 19.4 19 23.7
34 11 34 12 33.5 11.18
δ A3/4 A1/2 A3/4 A3/4 A3/4 A1/2
Ref. Beiser Meyerhof Ferbel Kaplan Wapstra Rohif

Sebagai persamaan semi-empiris, terdapat berbagai set nilai koe-


fisien a (av , as , ac , aa , dan ap ), baik yang diperoleh dari ‘fitting’ data
5
Mengacu pada Carl Friedrich von Weizsäcker yang mengajukan rumusan ter-
sebut pada tahun 1935.
30 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.4: Plot fraksi energi ikat, dihitung sampai dengan suku
asimetri, dengan menggunakan berbagai koefisien yang berbeda. Per-
hatikan kemiripannya satu sama lain.

eksperimen maupun dari perhitungan teoritis, seperti ditunjukkan pa-


da Tabel. 2.1. Plot fraksi energi yang dihitung dengan menggunakan
berbagai set koefisien yang berbeda disajikan pada Gambar 2.4. Terli-
hat bahwa tiap set koefisien menghasilkan kurva dengan posisi puncak
yang berbeda, dengan puncak kurva Ferbel paling dekat dekat dengan
data experimen (A = 56), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Contoh : Menghitung av secara kualitatif


Misalkan interaksi antar nukleon dimodelkan dengan cara sebuah ne-
tron melepaskan partikel dengan energi tertentu pada proton, sehing-
ga proton berubah jadi netron dan netron berubah jadi proton. De-
ngan menggunakan model tersebut, hitunglah nilai av pada rumus
energi ikat empiris (Pers. (2.3)).

Penyelesaian
1
Misalkan dipakai asumsi Z = N = 2 A, maka ada beberapa hal
yang perlu digarisbawahi dalam model ini adalah

• Karena setiap interaksi melibatkan 2 nukleon, maka jumlah pa-


2.2. MODEL TETES CAIRAN 31

sangan yang terbentuk adalah 12 A.

• Karena reaksi hanya berlangsung satu arah, dalam arti yang


satu melepaskan dan yang lain menerima, maka peluang sebu-
ah nukleon (yang kelebihan energi) untuk menemukan nukleon
lain (yang bisa menerima energi, untuk menjadi pasangannya)
adalah 12 .

• Jika suatu interaksi mempertukarkan energi sebesar , maka


energi bersih yang dipertukarkan oleh setiap nukleon adalah 21 .

Dengan demikian, total energi dalam suatu inti adalah

1 1 1 
Ev = A × ×  = A.
2 2 2 8

Membandingkan hasil di atas dengan Pers. (2.3), didapatkan bahwa


av = 8 . Menurut Model Yukawa, energi dari partikel yang dipertu-
karkan adalah 140 MeV, sehingga av = 17, 5 MeV. Nilai ini sangat
dekat dengan nilai hasil fitting.

Contoh : Menghitung as secara kualitatif


Berilah gambaran kualitatif nilai as pada rumus energi ikat empiris
(Pers. (2.3)).

Penyelesaian
Jika jari-jari inti adalah R = R0 A1(3 , maka volume inti adalah
4 3
3 πRo A. karena inti mengandung A nukleon, berarti volume suatu
4 3
nukleon adalah 3 πRo . Ini berarti jari-jari nukleon adalah R0 . Ji-
ka nukleon memiliki kerapatan konstan, maka jumlah nukleon yang
berada pada permukaan inti Ns , sebagai berikut
  !
luas permukaan inti kerapatan relatif nukleon
Ns = ×
luas penampang nuleon pada permukaan inti
4πR02 A2/3
= × ρR = 4ρR A2/3 .
πR02

Hal berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah berapakah pro-


32 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

sentasi luasan dari nukleon permukaan yang tidak berinteraksi dengan


nukleon lain. Misalkan nilainya adalah SR , maka energi ikat permu-
kaan adalah BS = aV 4ρR SR A2/3 . Ini berarti bahwa

as = 4ρR SR aV .

1
Jika dipakai ρR = 2 dan SR = 12 , maka didapatkan as = aV . Kondisi
1
yang lebih tepat adalah ρR < 2 dan SR > 21 , sehingga didapatkan nilai
as bisa lebih besar atau lebih kecil, tetapi cukup dekat dengan nilai av .

Contoh : Menghitung ac secara kualitatif


Hitunglah nilai ac pada rumus energi ikat empiris (Pers. (2.3)).

r
3 3
q1=(Ze/R )r

3 2
q2=3(Ze/R )r dr
dr

Gambar 2.5: Muatan elektrostatis pada inti

Penyelesaian
Misalkan kita anggap bahwa proton tersebar secara homogen pada
inti. Untuk inti yang terdiri atas Z proton dan memiliki jari-jari R,
maka rapat muatannya adalah

Ze
ρ= 4 3
.
3 πR

Sekarang kita akan menghitung energi elektrostatik antara muatan


dalam bola dengan jari r dan muatan pada selubung luar dengan
ketebalan dr, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.5. Muatan pada
Ze4 3 Ze 3
bola dengan jari-jari r adalah 4 3 πr = R3 r . Sementara itu,
πR3
3
Ze Ze 2
muatan pada selubung adalah 4
πR3
4πr2 dr = 3 R 3 r dr. Selanjutnya
3
2.2. MODEL TETES CAIRAN 33

kita hitung energi potensial antara keduanya

R
3 (Ze)2 R
1 3 (Ze)2
Z Z
1 Ze 3 Ze 2 1
Bc = r 3 r dr = r4 dr = .
4πε0 0 R3 R3 r 4πε0 R6 0 4πε0 5R

Dengan memanfaatkan hubungan R = R0 A1/3 , didapatkan

1 e2 3 Z2
 
Bc = .
4πε0 R0 5 A1/3

Selanjutnya, karena Z proton tidak mungkin berinteraksi dengan di-


rinya sendiri, maka

1 e2 3 Z 2 1 e2 3 Z
   
Bc = −
4πε0 R0 5 A1/3 4πε0 R0 5 A1/3
3 1 e2 Z (Z − 1)
 
= .
5 4πε0 R0 A1/3

Membandingkan hasil terakhir dengan Pers. (2.3), didapatkan bahwa

3 e2 1
ac = joule
5 4πε0 R0
3 1
= 1, 44 MeV fm = 0, 72 MeV.
5 1, 2 fm

Nilai ini sangat dekat dengan nilai hasil fitting.

Contoh : Menghitung aa secara kualitatif


Hitunglah nilai aa pada rumus energi ikat empiris (pers. (2.3)).

Penyelesaian
Kita tinjau 2 inti isobar dengan nomor massa A. Misalkan inti
pertama memiliki Z = N = 12 A, sedangkan inti kedua memiliki N >
Z, di mana selisih netron dan proton adalah N − Z. Ini berarti bahwa
1
inti kedua dapat diperoleh dengan cara merubah 2 (N − Z) proton
1
menjadi netron dan memindahkan posisinya 2 (N − Z) lebih tinggi.
Untuk merubah sebuah proton menjadi sebuah netron dibutuhkan
1 1 N −Z 6
energi sebesar 2 × 2 × A Ep→n , di mana untuk memindahkannya
6
Faktor setengah yang pertama terkait dengan peluang untuk menemukan
34 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.6: Susunan simetri (kiri) dan susunan asimetri (kanan).


Perhatikan bahwa susunan asimetri dapat diperoleh dengan merubah
1 1
2 (N − Z) proton menjadi 2 (N − Z) netron, dan memindahkannya
1
sejauh 2 (N − Z) tingkat lebih tinggi. Untuk itu diperlukan energi.

1 1
ke posisi 2 (N − Z) lebih tinggi diperlukan energi sebesar 2 (N − Z) ,
dengan  adalah beda energi antar tingkat. Jika jarak antar tingkat
energi adalah sama, tiap tingkat energi diisi 2 netron dan 2 proton,
EF EF
dan energi tertinggi adalah EF , maka  = 2(N +Z) = 2A . Dengan
demikian

Ba = (jumlah proton yg diubah menjadi netron)


× [(energi untuk merubah proton menjadi netron)+
(energi untuk memindahkan proton ke tingkat lebih tinggi)]
   
1 1 (N − Z) 1 EF
= (N − Z) × Ep→n + (N − Z) ×
2 4 A 2 2A
2  
(N − Z) 1
= (Ep→n + EF ) .
A 8

Dengan membandingkan persamaan di atas dengan Persamaan (2.3),


1
didapatkan aa = 8 (Ep→n + EF ). Menurut model Yukawa Ep→n =
140 MeV, sedangkan menurut model Fermi EF ≈ 33 MeV, sehingga

netron di sekitar proton. Faktor setengah berikutnya terkait dengan pola reaksi
−Z
yang bersifat satu arah. Faktor NA terkait dengan peluang menemukan netron
secara tak berapasangan dalam inti.
2.2. MODEL TETES CAIRAN 35

aa ≈ 22, 125 MeV. Nilai ini sangat dekat nilai hasil fitting.

Contoh : Memahami suku koreksi akibat sifat berpasangan


Jelaskan alasan munculnya tanda plus, minus, dan nol untuk suku
koreksi akibat sifat berpasangan dari nukleon, δ, pada pers. (2.3).

Penyelesaian
Setiap nukleon hanya punya dua kemungkinan nilai spin, yaitu
spin up dan spin down. Dengan demikian, masing-masing netron
dan proton akan membentuk pasangan spin dan mempunyai energi
minimal jika jumlahnya genap. Untuk A ganjil, maka ada dua ke-
mungkinan kombinasi nilai N dan Z, yaitu genap - ganjil dan ganjil -
genap. Kedua kombinasi tersebut menyisakan satu proton atau satu
netron tak berpasangan. Kondisi tersebut adalah kondisi yang harus
terjadi dan tidak ada kondisi lain yang mungkin. Dengan demikian
tidak ada faktor koreksi terkait dengan sifat berpasangan ini, δ = 0.

Tabel 2.2: Jumlah isotop stabil dan berumur anjang untuk berbagai
kombinasi jumlah proton dan jumlah netron.
A genap ganjil
Z genap ganjil genap ganjil
N genap ganjil ganjil genap
Stabil 148 5 53 48 254
Bermur panjang 22 4 4 3 35
Total 170 9 57 51 289

Untuk A genap, maka ada dua kemungkinan kombinasi nilai N


dan Z, yaitu genap - genap dan ganjil - ganjil. Kombinasi genap-
genap tidak menyisakan nukleon tak berpasangan. Ini adalah kondisi
di mana energi ikatnya maksimum, sehingga suku koreksinya bersifat
menambah energi ikat dan berharga positif. Kombinasi ganjil - ganjil
menyisakan satu netron dan satu proton tak berpasangan. Ini adalah
kondisi di mana energi ikatnya minimum, sehingga suku koreksinya
bersifat mengurangi energi ikat dan berharga negatif.
Dengan mengkuti logika di atas, berarti inti cenderung stabil ji-
ka memiliki kombinasi proton-netron dalam bentuk genap-genap dan
36 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

cenderung tidak stabil jika memiliki kombinasi proton-netron dalam


bentuk ganjil-ganjil. Jumlah isotop stabil untuk berbagai kombinasi
Z dan N disajkan pada Tabel 2.2.

Contoh : Menuliskan suku koreksi akibat sifat berpasangan


Tuliskan ungkapan matematis untuk suku koreksi akibat sifat berpa-
sangan.

Penyelesaian

Karena suku koreksi akibat sifat berpasangan bernilai nol untuk


proton-netron ganjil genap dan genap ganjil, bernilai positif untuk
kombinasi genap-genap, serta bernilai negatif untuk kombinasi ganjil-
ganjil, maka nilainya dapat dinyatakn sebagai

1  a
p
Bp = (−1)Z + (−1)N .
2 A3/4

Contoh : Menghitung B
Hitunglah nilai energi ikat dan fraksi energi ikat untuk inti 16 O.

Penyelesaian

Dengan memanfaatkan rumusan SEMF dan koefisien Meyerhof,


didapatkan
Bv = av A = 16 × 16 = 256 MeV

Bs = as A2/3 = 18 × 162/3 = 114, 29 MeV


Z (Z − 1) 8 (8 − 1)
Bc = ac 1/3
= 0, 72 × = 16 MeV.
A 161/3
(A − 2Z)2 (16 − 2 × 8)2
Ba = aa = 23, 5 × = 0.
A 16
Dengan demikian, energi ikat O2 menurut SEMF adalah = 125, 71 MeV.
Sebagai perbandingan, kita dapat menghitung nilai energi ikat (yang
2.2. MODEL TETES CAIRAN 37

sebenarnya) dengan memanfaatkan Persamaan (2.4),

B (O − 16) = [8MH + (16 − 8) mn − Matom (O − 16)] c2


= [8 × 1, 007825032 + 8 × 1, 008776 − 15, 994914619]
×931, 5 MeV
= 128, 45 MeV.

Ternyata nilai pendekatan SEMF cukup dekat dengan nilai sebenar-


nya, dengan tingkat kesalahan 2,13%, sehingga cukup valid untuk
digunakan menghitung B.
Model tetes cairan dengan SEMF-nya terbukti berhasil mene-
rangkan berbagai fenomena eksperimen berikut.

• Fraksi energi ikat, yaitu energi ikat per nukleon atau energi ikat
B
inti dibagi jumlah nukleon penyusunnya, f = A. Fungsi f sam-
pai suku asimetri, adalah
 2
−1/3 −4/3 2Z
f = av − as A − ac Z (Z − 1) A − aa 1− . (2.4)
A

Selanjutnya, jika dipakai hasil (2.6) akan didapatkan f sebagai


fungsi A sebagai berikut

f = av − as A−1/3
2
1 1/2
− 12 A−1/2 − γ2 A1/6 + aa 1 + γA2/3 − A

ac 4A
− 2 (2.5)
A3/4 + γA1/2

ac ∂f
di mana γ = 4aa . Dengan memilih ∂A = 0, model ini juga
bisa meramalkan nilai A0 yang menghasilkan inti paling stabil.
∂f
Kurva ∂A sebagai fungsi A ditunjukkan pada Gambar 2.7.

• Pita kestabilan inti, di mana sebuah inti dengan nilai A tertentu


akan stabil untuk nilai Z tertentu. Untuk A ganjil maka δ = 0,
sehingga untuk suatu nilai A, hanya terdapat satu macam nilai
38 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

df
Gambar 2.7: Plot dA sebagai fungsi A. Inti dengan f maksimum
df
ditunjukkan oleh dA = 0.

Z yang menghasilkan inti stabil, yaitu

A/2
Z= . (2.6)
ac 2/3
1+ 4aa A

Untuk A genap, maka terdapat lebih dari satu nilai Z yang


menghasilkan inti stabil. Selanjutnya, model ini juga berhasil
mereproduksi kurva kestabilan initi, jumlah netron N sebagai
fungsi jumlah proton Z.

Contoh : Fraksi energi ikat


Dengan mengunakan rumus energi ikat semi-empiris (Pers. (2.3))
dan hubungan A dan Z untuk inti stabil (Persamaan (2.6)), turunkan
ungkapan untuk f sebagai fungsi A,

Penyelesaian
Nilai f sampai dengan suku asimetri adalah

2Z 2
 
−1/3 Z (Z − 1)
f ≈ av − as A − ac + aa 1 − .
A3/2 A
2.2. MODEL TETES CAIRAN 39
A/2 ac
Selanjutnya, karena Z = dengan γ = 4aa , maka
(1+γA2/3 )
 
A/2 A/2
−1 !2
−1/3
(1+γA2/3 ) (1+γA2/3 ) A
f = av − as A − ac − aa 1 − 
A3/2 1 + γA2/3
A A 2/3
 −3/2   2
−1/3 2 2 − 1 + γA A 1 + γA2/3 − A
= av − as A − ac 2 − aa 2
1 + γA2/3 1 + γA2/3
ac 2 ac γac 5/3
 −3/2   2
−1/3 4 A − 2 A− 2 A A 1 + γA2/3 − A
= av − as A − 2 − aa 2
1 + γA2/3 1 + γA2/3
2
1 1/2
− 12 A−1/2 − γ2 A1/6

−1/3 4A 1 + γA2/3 − A
= av − as A − ac 2 − aa 2
1 + γA2/3 1 + γA2/3
2
ac 14 A1/2 − 12 A−1/2 − γ2 A1/6 + aa 1 + γA2/3 − A

−1/3
= av − as A − 2 .
A3/4 + γA1/2

Contoh : Kestabilan inti


Dengan mengunakan rumus energi ikat semi-empiris (Pers. (2.3)),
turunkan hubungan antara nomor atom Z dan nomor massa A supaya
inti menjadi stabil, jika A ganjil.

Penyelesaian

Kondisi setimbang didapatkan pada saat B maksimum. Secara


dB
matematis, hal tersebut bersesuaian dengan dz = 0. Kita nyatakan
Persamaan (2.3)

Z2 (A − 2Z)2
B ≈ av A − as A2/3 − ac − aa ± δ + η.
A1/3 A

Untuk A ganjil, maka δ = 0, sehingga


 
dB 2ac Z 2aa (A − 2Z) (−2) 2ac 8aa
= − 1/3 − = −Z 1/3
+ + 4aa = 0,
dZ A A A A

atau

4aa A/2 A/2


Z= = = . (2.7)
2ac 48a ac 2/3 ac 2/3
A1/3
+ A 4aa A +1 1+ 4aa A
40 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.8: Panel kiri: kurva kestabilan inti (yang dikenal sebagai
kurva Segre), dihitung menurut pers. (2.6) (garis biru) dibandingkan
Z = A2 (garis merah). Panel kanan: data eksperimen untuk kestabilan
inti (sumber: wikipedia)

Dari Persamaan (2.7), terlihat bahwa

A
• Untuk A kecil, keadaan stabil tercapai bila Z ≈ 2 atau N = Z.

• Untuk A besar, keadaan stabil tercapai N > Z. Penyimpangan


tersebut terjadi karena efek gaya tolak elektrostatis. Andaik-
A
an tidak ada gaya elektrostatis (ac = 0), maka Z = 2 untuk
sebarang nilai A. Garis kestabilan inti (N = A − Z sebagai
fungsi Z) ditunjukkan pada Gambar 2.8. Inti yang berada di
luar kurva kestabilan akan cenderung mendekati kurva dengan
memancarkan partikel tertentu.

Contoh : Mencari inti stabil


Carilah inti stabil yang nomor massanya adalah 43.

Penyelesaian
A/2
Dengan menggunakan rumusan Z = “
ac
”, maka untuk
1+ 4a A2/3
a
A = 43, didapatkan Z = 19, 7 ≈ 20, yang berarti intinya adalah
43 Ca. Faktanya, dari 24 isotop Ca (mulai dari Ca-34 sampai dengan
20
Ca-57), terdapat 4 isotop stabil, dan Ca-43 adalah salah satunya..
2.2. MODEL TETES CAIRAN 41

Contoh : Inti paling stabil jika Z = 12 A


Dengan memanfaatkan rumusan energi ikat f , dan menganggap Z =
1
2 A, carilah nilai A yang menghasilkan inti paling stabil.

Penyelesaian
Jika dianggap Z = 12 A, maka rumusan untuk energi ikat inti ada-
lah
Z2
B ≈ av A − as A2/3 − ac ,
A1/3
dan fraksi energi ikatnya adalah

B Z2 ac
f= ≈ av − as A−1/3 − ac 4/3 = av − as A−1/3 − A2/3 .
A A 4
df
Inti paling stabil akan memiliki nomor massa A yang memenuhi dA =
0. Dengan memanfaatkan rumusan f di atas, didapatkan

df 1 1
= as A−4/3 − ac A−1/3 = 0,
dA 3 6

sehingga didapatkan A = 2as /ac . Dengan memanfaatkan nilai as =


17.68 MeV dan ac = 0.72 MeV, didapatkan A0 = 49.11. Jika dipakai
A/2
Z= ac
1+ 4a A2/3
, maka diperoleh nilai A0 yang berbeda, tergantung pa-
a
da nilai koefisiennya, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7. Sejauh
ini, eksperimen menunjukkan bahwa A0 = 56. Inti dengan A < A0
akan cenderung melakukan reaksi fusi, sedang inti dengan A > A0
akan cenderung melakukan reaksi fisi.

Contoh : Menentukan R0
Tentukan nilai R0 dari data eksperimen pada gambar 2.9.

Penyelesaian
Gambar 2.9 menunjukkan nilai energi Coulumb Bc dari nukleon,
diplot sebagai fungsi nomor massa A2/3 . Dengan memanfaatkan nilai
42 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.9: Energi Coulumb inti sebagai fungsi nomor massa A2/3
(sumber: Krane, 1988).

3 Z (Z − 1) e2 3 e2 1 Z (Z − 1)
Bc = = ,
5 4πε0 R 5 4πε0 R0 A1/3
didapatkan

∆Bc = Bc (Z + 1) − Bc (Z)
3 e2 1
= [(Z + 1) Z − Z (Z − 1)]
5 4πε0 R0 A1/3
3 e2 1
 
2Z
= .
5 4πε0 R0 A1/3

Dengan menganggap A ≈ 2Z, didapatkan

3 e2 1 2/3
∆Bc = A .
5 4πε0 R0

Dari plot Bc sebagai fungsi A2/3 pada Gambar 2.9, didapatkan slope
dBc 3 e2 1
d(A2/3 )
= 0, 71 MeV. Ini berarti 5 4πε0 R0 = 0, 71 MeV. Jika dipakai
e2 3 1,43998
4πε0 = 1, 43998 MeV fm, didapatkan R0 = 5 0,71 ≈ 1, 2169 fm, cu-
2.2. MODEL TETES CAIRAN 43

kup dekat dengan harga dugaan teoretis R0 = 1, 2 fm.

Contoh : Mencari ekspresi jari-jari inti (Beiser 11.19)


Dari contoh sebelumnya, didapatkan bahwa energi Coulomb dari Z
3 Z(Z−1)e2
proton yang terdistribusi ke seluruh inti adalah BC = 5 4π0 R . Se-
karang kita pakai formula tersebut untuk meninjau sepasang inti cer-
min, dengan A sama tetapi Z berselisih 1.

• Jika perbedaan massa antara dua inti cermin ∆M (beda massa


kedua inti) ditimbulkan oleh ∆m (beda massa antara 11 H dan
netron) dan energi Coulumb (Bc )-nya, carilah formula untuk
jari-jari inti R.

• Gunakan formula R untuk mencari jari-jari sepasang inti cermin


15 O, jika perbedaan massa antara 15 O dan 15 N adalah ∆M =
8 8 7
0, 00296u.

Penyelesaian

Ditinjau dari aspek massa, perbedaan energi antara sepasang inti


cermin adalah ∆B = (∆M + ∆m) c2 . Karena sepasang inti cermin
memiliki nilai A dan |N − Z| yang sama, maka menurut SEMF se-
mua komponen energinya sama, kecuali komponen energi Coulumb.
Dengan demikian, beda energi ikat pada sepasang inti cermin adalah

∆BC = BC (Z + 1) − BC (Z)
3 (Z + 1) Ze2 3 Z (Z − 1) e2 3 e2 2Z 2ZR0
= − = = ac .
5 4π0 R 5 4π0 R 5 4π0 R R

Dengan memanfaatkan ∆B = (∆M + ∆m) c2 , didapatkan nilai jari-


jari inti
2ZR0
R = ac .
(∆M + ∆m) c2
Untuk pasangan inti cermin 15 N dan 15 O maka Z = 7, sehingga
7 8
2×7x1,2 fm
R = 0, 72 MeV × (0,00296+0,.0014)×931,5 MeV = 2, 9782 fm.
44 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Contoh : Kestabilan bintang netron


Dengan menggunakan SEMF, dugalah perangai bintang netron supa-
ya stabil. Bayangkan bintang netron sebagai inti raksasa yang tersu-
sun atas netron saja.

Penyelesaian

Dengan mengikutsertakan energi gravitasi, SEMF dapat ditulis


sebagai

2/3 Z (Z − 1) (A − 2Z)2 A (A − 1)
B ≈ av A−as A −ac 1/3
−aa ±δ +η +ag .
A A A1/3
Suku terakhir adalah suku yang berasal dari energi tarik gravitasi.
Nilai ag dapat dihitung dengan cara yang sama dengan ac , sehingga
2
didapatkan ag = 53 G m
R0 joule.
n

Jika sebuah bintang hanya terdiri atas netron, berarti Z = 0 dan


Bc = 0. Karena ukuran bintang sangat besar, maka suku permukaan
bisa diabaikan. Dengan demikian, persamaan energi sehingga ukuran
bintang mencapai batas atau energi ikatnya nol, adalah

B ≈ av A − aa A + ag A5/3 = 0,

atau
av − aa + ag A2/3 = 0,
2
Dengan menggunakan nilai av dan aa , didapatkan ag A2/3 = 53 G m
R0 A
n 2/3 =

7.5 MeV. Selanjutnya, dengan mengunakan G = 6, 7 × 10−11 Jmkg−2


dan mn = 1, 67 × 10−27 kg, didapatkan kondisi batas untuk bintang
netron A ≈ 5 × 1055 , R ≈ 4, 3 km, dan M = 0, 045 MO , dengan MO
adalah massa matahari. Perhitungan yang lebih teliti menghasilkan
M = 0.1 MO .
2.2. MODEL TETES CAIRAN 45

Contoh : Inti sferis


Sejauh ini kita selalu menganggap bahwa inti berbentuk bulat. Mi-
salkan inti terdeformasi dan berbentuk sferis dengan jari-jari ma-
yor a = R (1 + ) dan jari-jari minor b = R (1 + )−1/2 , dengan 
adalah parameter deformasi. Akibatnya, luas permukaannya men-
jadi Asf eris = Abulat 1 + 52 2 dan jari-jari rata-ratanya menjadi


Rsf eris = Rbulat 1 − 15 2 . Carilah perubahan energinya.




Penyelesaian

Akibat perubahan luas permukaan dan jari-jari, maka komponen


energi yang mengalami perubahan adalah energi permukaan Bs dan
energi Coulumbnya Bc berubah. Dengan demikian

∆B = ∆Bs + ∆Bc
     
2 2 1 2
= Bs 1 +  − 1 + Bc 1 −  − 1
5 5
2
= (2Bs − Bc ) .
5

Selama ∆B > 0, maka inti bersifat stabil, dalam arti deformasinya


tidak merusak inti. Karena Bs = as A2/3 dan Bc = ac Z(Z−1)
A1/3
, maka
Z(Z−1) 2as
inti akan akan stabil selama A < ac .

Contoh : Plot massa inti sebagai fungsi Z


Turunkan ungkapan massa inti sebagai fungsi Z.

Penyelesaian

Rumus energi dalam inti dapat ditulis sebagai

Matom (A, Z) c2 = ZMp c2 + (A − Z) Mn c2 − B + Zme c2 .

Dengan menggunakan nilai B dari Persamaan (2.3) dan menatanya


sebagai

ac 2 ac 4aa 2
−B = −av A + as A2/3 + 1/3
Z − 1/3 Z + aa A + Z − 4aa Z,
A A A
46 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.10: Plot energi sebagai fungsi Z, untuk A = 135. Ku-


rva hampiran didapatkan dengan menggunakan Persamaan (2.8), se-
dang nilai eksperimen didapatkan dengan menggunakan persamaan
E (A, Z) = [M (A, Z) − Zme ] c2 , di mana M (A, Z) adalah berat mo-
lekul. Terlihat bahwa A = 135 akan stabil jika Z = 56.

maka didapatkan

Matom (A, Z) c2 = αZ 2 + βZ + γ, (2.8)

di mana

ac 4aa
α = 1/3
+
A A
β = − (Mn − Mp − me ) c2 − 4aa
 as 
γ = Mn c2 − av + aa + 1/3 A.
A
Terlihat bahwa, Matom adalah fungsi kuadratik dari Z dengan nilai
minimum pada
2.3. MODEL GAS FERMI 47

b (Mp − Mn + me ) c2 − Aa1/3
c
− 4aa A/2
Zmin =− =−   ≈ ac .
2a 2 a c
+ a4a 1 + 4a a
A2/3
A1/3 A

Nilai Matom c2 minimum menunjukkan Bmaksimum . Ini berarti bahwa


 

nilai Matom c2 minimum terkait dengan inti paling stabil untuk suatu
 

A tertentu. Contoh plot Matom c2 sebagai fungsi Z untuk A yang


konstan ditunjukkan pada Gambar 2.10.

2.3 Model Gas Fermi


Seperti kita diskusikan di awal bab, bahwa suatu model inti biasa-
nya hanya bisa menjelaskan suatu fenomena, tetapi seringkali belum
bisa menjelaskan fenomena yang lain. Sebagai contoh, model tetes
cairan bisa menjelaskan kestabilan inti, tetapi tidak bisa menjelask-
an munculnya suku koreksi asimetri pada SEMF. Sekarang kita akan
diskusikan Model Gas Fermi (MGF) yang merupakan pendekatan in-
dependen yang paling sederhana.
Dalam model gas Fermi, suatu nukleon diperlakukan sebagai su-
atu partikel atau fermion dalam gas fermion yang menempati ruang
sebesar volume inti. Suatu fermion dianggap tidak berinteraksi satu
sama lain, atau berinteraksi dengan gaya yang sangat lemah. Posi-
si suatu fermion diberikan oleh 6 koordinat, yaitu 3 koordinat ruang
(x, y, dan z) dan 3 koordinat momentum (px , py , dan pz ). Dengan
demikian elemen volumenya adalah

dΓ = dx dy dz dpx dpy dpz .

Kekhasan nilai energi suatu nukleon dipengaruhi oleh koordinat mo-


mentumnya dan tidak dipengaruhi koordinat ruangnya. Dengan de-
mikian, kita dapat mengintegrasikan elemen volume spasial dan me-
nuliskan volume 6 dimensi sebagai dΓ = V dpx dpy dpz , dengan V
adalah volume spasial. Biasanya akan lebih mudah menyatakan koo-
rdinat momentum dalam koordinat bola, sehingga elemen volumnya
48 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Gambar 2.11: Gambaran gas fermion untuk netron dan proton (sum-
ber: Loveland, 2006).

adalah dΓ = V 4πp2 dp (di mana p2 = p2x + p2y + p2z ), dan volume ‘bola
4 3
inti’ dalam koordinat 6 dimensi adalah Γ = 3 πp V . Mengacu pa-
da ketidakpastian Heisenberg, suatu fermion akan menempati ruang
sebesar [(∆x) (∆px )]3 ≈ (2π~)3 . Dengan demikian, jumlah keadaan
energi yang tersedia dalam inti adalah
4
volume bola πp3 V 4πp3 V
N= = 3 = .
ruang per partikel (2π~)3 3 (2π~)3

Model gas Fermi mempunyai dua cara pandang terhadap nukleon,


yaitu

• memandang proton dan netron sebagai partikel yang sama (isos-


pin) dengan dengan jumlah A

• memandang proton dan netron sebagai partikel berbeda, masing-


masing dengan jumlah Z dan A − Z

Dalam cara pandang isospin, tiap keadaan energi dapat terisi 4 nukle-
on, yaitu proton spin up (s = + 12 ), proton spin down (s = − 12 ), netron
spin up, dan netron spin down. Dengan demikian, jumlah keadaan
energinya adalah
16πp3 V
N= . (2.9)
3 (2π~)3
2.3. MODEL GAS FERMI 49

Jika seluruh A nukleon ditempatkan pada keadaan energi yang ada,


maka energi tertingginya dikenal sebagai energi Fermi (EF ) dengan
nilai momentum tertingginya adalah momentum Fermi (pF ). Se-
lanjutnya dengan memanfaatkan fakta bahwa volume spasial adalah
V = 34 πR03 A dan N = A, maka didapatkan nilai momentum Fermi

~
pF = (9π)1/3 .
2R0

p2
Dengan memanfaatkan hubungan E = 2m , didapatkan

~2
EF = 2 (9π)2/3 .
8mR0

Mengacu Persamaan (2.9), jumlah nukleon dengan energi antara E →


E + dE adalah
3
16πp2 V 16πp2 43 πR03 A

8 R0
dN = 3 dp = 3 dp = Ap2 dp
(2π~) (2π~) 3π ~
 3
4 R0
= (2m)3/2 AE 1/2 dE.
3π ~

Dengan menggunakan persamaan terakhir, energi rata-rata nukleon


dapat dihitung sebagai

2 5/2
R EF R EF
0 EdN E 3/2 dE 5 EF 3
Ē = R E = R0EF =
2 3/2
= EF , (2.10)
F
dN E 1/2 dE 5
0 0 3 EF

sehingga energi total nukleonnya adalah

3
E = ĒA = EF A.
5

Contoh : Menghitung panjang gelombang de Broglie


Hitunglah panjang gelombang de Broglie dari nukleon yang bergerak
dengan energi rata-rata dalam inti Pb-208? Anggap R0 = 1, 2 fm.

Penyelesaian
50 BAB 2. MODEL INTI KLASIK

Energi Fermi dari nukleon pada inti Pb-202 adalah

~2 2/3 (~c)2
EF = (9π) = (9π)2/3
8mR02 8mc2 R02
(197, 3 MeV fm)2
= (9π)2/3 = 27 MeV.
8 × (201, 9721 × 931, 5 MeV) × (1, 2 fm)2

Mengacu pada Gambar 2.11, didapatkan potensial intinya adalah


Vinti = 27 + 8 = 35 MeV. Mengacu pada Persamaan (2.10), energi
rata-rata nukleon adalah Ē = 53 27 = 16 MeV. Selanjutnya, panjang
gelombang de Broglienya adalah

h 2π~ 2π~c
λ = =√ =p
p 2mEF 2mc2 EF
2π × (197, 3 MeV fm)
= p = 5, 487 fm.
2 × (201, 9721 × 931, 5 MeV) × 16 MeV

Contoh : Menghitung tekanan pada inti


A 3/2
Jika suatu inti dengan volume V dan N = Z = 2 dan A = KV EF ,
di mana K konstanta, hitunglah tekanannya.

Penyelesaian

∂E
Tekanan suatu gas diberikan oleh p = − ∂V = − 53 A ∂E
∂V . Untuk
F

∂EF 3/2
menghitung ∂V , kita manfaatkan batasan nilai A = KV EF . Kare-
∂A 3/2 3 1/2 ∂EF
na A konstan, maka ∂V = 0 atau KEF +KV 2 EF ∂V = 0. Dengan
demikian, − ∂E
∂V =
F 2 EF 3 2 EF 2A 2
3 V , sehingga p = − 5 A 3 V = 5 V EF = 5 ρN EF .

Contoh : Menghitung EFp dan EFn


Tinjau proton dan netron sebagai dua jenis fermion yang berbeda.
Hitunglah energi Fermi untuk proton (EFp ) dan energi Fermi untuk
netron (EFn )

Penyelesaian

Jika proton dianggap sebagai partikel berbeda, maka jumlah pro-


2.3. MODEL GAS FERMI 51

ton dengan energi antara E → E + dE adalah


 3
2 R0
dNp = (2m)3/2 AE 1/2 dE.
3π ~

Karena jumlah proton adalah Z, maka


p 3
Z EF 
2 R0 2 3/2
dNp = (2m)3/2 A EFp =Z
0 3π ~ 3

~2 9πZ 2/3 2Z 2/3


atau EFp =
 
2mR02 4A = EF A . Dengan cara yang sa-
ma dan dengan mengingat jumlah netron adalah A − Z, didapatkan
 2/3  2/3
~2 9π(A−Z) 2(A−Z)
EFn = 2mR 2 4A = E F A .
0

Contoh : Menghitung suku asimetri


Hitunglah energi asimetri Ba dengan menggunakan model gas Fermi.

Penyelesaian

Energi asimetri adalah selisih energi jika N 6= Z terhadap energi


jika N = Z. Untuk itu kita hitung energi kinetik total untuk kondisi
N 6= Z dan kondisi N = Z, dengan menggunakan model gas Fermi,
di mana kita perlakukan proton dan netron sebagai 2 gas fermi yang
berbeda. Dengan memanfaatkan hasil yang sudah ada, didapatkan

Z6=N Z=N
∆E = Etot − Etot
 
3 p 3 n 3
= EF Z + EF (A − Z) − EF A
5 5 5
"  #
2/3
2 (A − Z) 2/3
 
3 2Z
= EF Z+ (A − Z) − A
5 A A
"  #
2Z 5/3 2 (A − Z) 5/3
 
3 A
= EF + −2
5 2 A A
"  #
2Z 5/3 2Z 5/3
 
3
= EF A + 2− −2
10 A A
52 BAB 2. MODEL INTI KLASIK
2Z
Jika dimisalkan δ = 1 − A  1, maka

3 h i
∆E = EF A (1 − δ)5/3 + (1 + δ)5/3 − 2
10     
3 5 521 2 5 521 2
≈ EF A 1 − δ + δ + 1+ δ+ δ −2
10 3 332 3 332
2Z 2 (N − Z)2
 
1 3 10 2 1
= EF A 1 − = EF A δ ∆E = EF
3 A 10 9 3 A

Dalam penurunan di atas dipakai deret Taylor

1
(1 ± δ)n = 1 ± nδ ± +n (n − 1) δ 2 ± ...
2

Hasil di atas, menunjukkan bahwa keadaan tak simetris (N 6= Z) me-


miliki energi kinetik lebih besar dibanding keadaan simetris (N = Z).
Ini berarti keadaan simetris memiliki energi ikat lebih besar dan ka-
renanya, jika suatu inti tak simetris, maka ada reduksi energi ikat
yang muncul sebagai faktor koreksi asimetris (lihat Persamaan (2.3)),
yang besarnya persis sama dengan ungkapan di atas, yaitu Ba =
(N −Z)2 2
1
3 EF A = aa (A−2Z)
A dan aa = 31 EF .

Contoh : Menghitung energi koreksi akibat asimetri


Hitunglah energi koreksi akibat asimetri pada inti Pb-208?

Penyelesaian
Dari contoh sebelumnya, didapatkan bahwa EF = 27 MeV. De-
ngan demikian, energi koreksi akibat asimetri pada inti Pb-208 adalah

1 (A − 2Z)2 1 (208 − 2 × 82)2


Ba = EF = 27 ≈ 83, 77 MeV.
3 A 3 208

Contoh : Menganalisis bintang katai putih


Hitunglah jari-jari kesetimbangan bintang katai putih (yaitu jari-jari
yang dibutuhkan supaya bintang tidak runtuh).

Penyelesaian
Energi gravitasi dari sebuah bintang dengan massa M adalah
2.3. MODEL GAS FERMI 53

EG = − 53 G M e 3
r , sedang energi Ferminya adalah EF = ne EF = ne 5 EF −e ,
dengan ne adalah jumlah elektron. Dengan demikian, energi total bin-
tang adalah
3 3 M
E (r) = ne EF −e − G .
5 5 r
n
Jika terdapat n nukleon maka jumlah intinya adalah A dan jumlah
n Z
elektronnya adalah ne = AZ = nA = nx, sehingga

3 3 M
E (r) = nxEF −e − G ,
5 5 r
 2/3
h2 3n 2/3 h2 3n h2 9n 2/3 1
 
di mana EF −e = 8me πV = 8me π 43 πr3
=8me 4π 2 r2
,
dan M = nmp . Kondisi setimbang didapatkan ketika dEdr = 0 atau
h2 9n 2/3 1 n2 m2
− (−1) 53 G r2 p = 0, yang memberikan kita r0 =

(−2) 8m e 4π 2 r03 0
xh2 9
2/3 1
4me 4π 2 xn Gnm2
. Bintang katai putih tidak mungkin memiliki
p
jari-jari yang lebih kecil dari r0 . Hasil yang sama dapat dipakai untuk
bintang netron, dengan memanfaatkan fakta bahwa x = 1 dan meng-
ganti me dengan mp . Dengan cara yang sama, kita bisa mendapatkan
m0 atau massa minimum yang dikenal sebagai batas Chadrasekkar.
Keberhasilan model gas fermi dalam menerangkan kehadiran dan
cara menghitung nilai suku asimetri serta nilai potensial inti menem-
patkannya sebagai batu loncatan yang penting dalam memahami per-
ilaku inti atom.
54 BAB 2. MODEL INTI KLASIK
Bab 3

Model Inti Kuantum

3.1 Model Kulit


3.1.1 Motivasi model kulit
Sekalipun model tetes cairan dan model gas Fermi cukup berhasil
menerangkan berbagai fenomena inti, khususnya terkait dengan ener-
gi dan kestabilan inti, masih ada hasil eksperimen yang belum bisa
dijelaskan. Salah satu fakta eksperimen yang cukup mencolok ada-
lah keberadaan bilangan ajaib (magic number ), yaitu 2, 8, 20, 28,
50, 82, dan 126. Kemunculan bilangan ajaib bisa terwujud dalam
bentuk

• bilangan ajaib tunggal, di mana suatu inti memiliki Z bilangan


ajaib, dengan nilai N sembarang

• bilangan ajaib tunggal, di mana suatu inti memiliki N bilangan


ajaib, dengan nilai Z sembarang

• bilangan ajaib ganda, di mana suatu inti memiliki N dan Z


bilangan ajaib.

Contoh : Inti dengan bilangan ajaib ganda


Berikan contoh inti dengan bilangan ajaib ganda dan jelaskan keisti-
mewaan masing-masing.

55
56 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Penyelesaian
Contoh inti dengan bilangan ajaib ganda antara lain adalah He-4,
O-16, Ca-40, Ca-48, Ni-48, dan Pb-208. Keistimewan masing-masing
inti tersebut adalah sebagai berikut. He-4 adalah isotop paling stabil.
Ca-40 adalah isotop dengan N = Z, yang terberat. Ca-48 adalah iso-
top ringan dengan dengan N/Z terbesar, Ni-48 adalah isotop ringan
dengan dengan N/Z terkecil setelah He-3. Pb-208 adalah isotop stabil
terberat.

Lalu, bagaimanakah sifat inti yang memiliki bilangan ajaib? Dari


data eksperimen, diketahui bahwa isotop dengan bilangan ajaib ber-
sifat stabil. Kestabilannya terukur dari fakta eksperimen berikut.

• Jumlah inti stabil dengan bilangan ajaib lebih banyak dibanding


inti stabil yang lain (lihat Gambar 3.1 dan contoh soal).

• Inti stabil dengan bilangan ajaib memiliki kelimpahan isotop


lebih besar dibanding inti stabil yang lain (lihat Gambar 3.2).

• Energi separasi netron dengan N = bilangan ajaib + 1 sangat


kecil, yang berarti inti dengan bilangan ajaib “mudah” diha-
silkan dari separasi netron dari inti lain dengan nomor massa
satu angka lebih besar (lihat Gambar 3.3). Sebaliknya, energi
separasi netron untuk inti dengan dengan N = bilangan ajaib
adalah sangat tinggi, yang berarti sangat sulit untuk mengubah
inti dengan magic number menjadi inti lain (lihat Gambar 3.4).

• Inti stabil dengan bilangan ajaib memiliki energi eksitasi yang


besar (lihat Gambar 3.5).

• Inti stabil dengan bilangan ajaib memiliki tampang reaksi ne-


tron yang rendah (lihat Gambar 3.6).

• Inti stabil dengan bilangan ajaib memiliki momen quadrupol


hampir nol (lihat Gambar 3.7).

• Inti stabil dengan bilangan ajaib merupakan akhir dari deret


radioaktif (lihat contoh soal).
3.1. MODEL KULIT 57

Gambar 3.1: Jumlah isotop stabil sebagai fungsi jumlah netron


N . (sumber: http://ocw.mit.edu/courses/nuclear-engineering/22-
101-applied-nuclear-physics-fall-2006/lecture-notes/)

Contoh : Menghitung isotop stabil dengan N = 20


Menurut Gambar 3.1, terdapat 5 isotop stabil dengan N = 20. Tu-
lislah kelima isotop tersebut

Penyelesaian
36 37 38
Kelima isotop stabil dengan N = 20 adalah 16 S , 17 Cl , 18 Ar ,
39
19 K , dan 20 Ca40 . Sebagai perbandingan, jumlah isotop stabil untuk
N = 19 dan N = 21 adalah 3.

Contoh : Menghitung isotop stabil dengan N = 50


Menurut Gambar 3.1, terdapat 6 isotop stabil dengan N = 50. Tu-
lislah keenam isotop tersebut

Penyelesaian
86 87
Keenam isotop stabil dengan N = 50 adalah 36 Kr , 37 Rb ,
88 89 90 92
38 Sr , 39 Y , 40 Zr , dan 42 Zr . Sebagai perbandingan, jumlah iso-
top stabil untuk N = 49 dan N = 51 adalah 4.
58 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Gambar 3.2: Kelimpahan isotop. Perhatikan bahwa isotop de-


ngan kelimpahan tinggi selalu terkait dengan bilangan ajaib. Per-
kecualian hanya terjadi pada Fe-56 yang memiliki kelimpahan ting-
gi karena memiliki f tertinggi. (Sumber: http://hyperphysics.phy-
astr.gsu.edu/hbase/nuclear/shell2.html#c1)

Gambar 3.3: Energi separasi netron sehingga menghasilkan iso-


top X (A, Z). (Sumber: http://ocw.mit.edu/courses/nuclear-
engineering/22-101-applied-nuclear-physics-fall-2006/lecture-notes/)
3.1. MODEL KULIT 59

Contoh : Menghitung energi separasi netron


Dengan memanfaatkan SEMF, hitunglah energi separasi netron untuk
40 Ca dan 41 Ca.

Penyelesaian

Kita gunakan SEMF (Persamaan (2.3)) untuk menghitung energi


ikat inti

Z (Z − 1) (N − Z)2 12
B = av A − as A2/3 − ac 1/3
− aa +  1/2 ,
A A A
di mana  = 0 jika A ganjil, berharga positif jika N dan Z genap,
dan berharga negatif jika N dan Z ganjil. Dapat dihitung bahwa
B 39 Ca = 329.65 MeV, B 40 Ca = 345.00 MeV, dan B 41 Ca =
  

355.38 MeV. Selanjutnya, kita pakai Persamaan (1.13) untuk meng-


hitung energi separasi netron,

41 41 40
  
Sn Ca = B Ca − B Ca = 10, 38 MeV

40 40 39
  
Sn Ca = B Ca − B Ca = 15, 35 MeV

Terlihat bahwa Sn (Ca − 40) lebih besar dari Sn (Ca − 41).

Gambar 3.4: Energi ikat netron terakhir. (Sumber: Fruenfelder and


Hanley (1991))
60 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Gambar 3.5: Energi eksitasi inti. (Sumber: Phys. Rev. Lett. 50, 432
(1950))

Gambar 3.6: Tampang reaksi inti (Sumber:


http://ocw.mit.edu/courses/nuclear-engineering/22-101-applied-
nuclear-physics-fall-2006/lecture-notes/)
3.1. MODEL KULIT 61

Gambar 3.7: Momen quadrupol inti (Sumber: M. A. Preston, Physics


of the Nucleus, Addison-Wesley Publishing Company, 1962, seperti
dikutip dalam Loveland, 2006).

Contoh : Mengamati akhir deret alfa


Carilah bilangan ajaib pada inti akhir dari 4 jenis deret alfa yang
terkenal.

Penyelesaian

Keempat deret alfa berakhir sebagai berikut.

Deret Reaksi pertama Produk akhir Bil. ajaib


Thorium 232 Th → 228 Ra +α Pb-208 N dan Z
Neptunium 237 Np → 233 Pa + α Bi-209 N
Uranium 238 U → 234 Th +α Pb-206 Z
Actinium 235 Ac → 231 Th +α Pb-207 Z
62 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Contoh : Bilangan ajaib menurut model tetes cairan


Mungkinkah kehadiran bilangan ajaib pada inti diterangkan dengan
model tetes cairan?

Penyelesaian
Untuk menerangkan bilangan ajaib dengan model tetes cairan,
kita tulis kembali SEMF

Z (Z − 1) (N − Z)2
B = av A − as A2/3 − ac − aa + δ + η.
A1/3 A

Suatu inti akan stabil jika B-nya besar. Menurut SEMF, B akan besar
jika salah satu kondisi berikut terpenuhi, yaitu

• N = Z, sehingga suku koreksi Coulumb sama dengan nol

• N dan Z genap sehingga suku δ sama dengan nol

Terlihat bahwa SEMF meramalkan inti akan stabil jika N = Z =


genap. Tetapi itu tidak menerangkan keberadaan bilangan ajaib, ka-
rena tidak semua bilangan genap merupakan bilangan ajaib.
Lalu bagaimanakah cara menerangkan keberadaan bilangan ajaib
pada inti? Sebelumnya, juga dikenal bilangan ajaib untuk atom, ya-
itu 2, 10, 18, 36, 54, dan 86. Pada kasus atom, setiap atom yang
jumlah elektronnya adalah bilangan ajaib bersifat stabil. Untuk atom
netral, hal tersebut terjadi pada atom yang nomor atomnya adalah bi-
langan ajaib. Kestabilan tersebut, terkait dengan fakta bahwa atom
yang jumlah elektronnya merupakan bilangan ajaib akan memiliki
kulit terluar yang terisi penuh oleh elektron. Pengertian kulit terluar
di sini bisa berupa kulit atau sebuah sub kulit yang terpisah cukup
jauh dari energi berikutnya. Fakta bahwa kulit sudah terisi penuh
dan energi pemisah dengan kulit berikutnya sangat jauh, membuat
atom cenderung untuk tidak menangkap atau melepaskan elektron
lagi, dan karenanya bersifat sangat stabil. Keberhasilan model kulit
atom untuk menerangkan kehadiran bilangan ajaib atom, menginspi-
rasi ilmuwan untuk mencoba memakai model kulit inti (nuclear shell
model ) untuk menerangkan kehadiran bilangan ajaib inti.
3.1. MODEL KULIT 63

Untuk mendapatkan tingkat energi pada kulit inti, kita harus me-
mecahkan persamaan Schrödinger untuk inti

~2 2
 
∇ + V (r) Ψ = EΨ, (3.1)
2m

~2 2
di mana 2m ∇ adalah energi kinetik nukleon, V (r) adalah energi po-
tensial efektif inti, serta E adalah energi nukleon. Dengan memberik-
an V (r) yang benar, maka akan didapatkan nilai energi yang benar,
menurut kulit dan sub kulitnya, yang menentukan konfigurasi nukleon
dalam inti. Pada kasus atom, energi potensial atom bisa dirumusk-
an dengan mudah karena gaya elektrostatis yang mengatur interaksi
elektron dengan inti diketahui dengan pasti. Masalahnya, gaya nuklir
kuat yang mengatur interaksi antar nukleon belum banyak dipahami.
Sebagai konsekuensinya, potensial inti juga belum bisa dirumuskan
dengan baik. Dengan demikian, kita akan mencoba berbagai model
potensial inti sampai didapatkan bilangan ajaib inti yang benar.

3.1.2 Model potensial sentral

Yang dimaksud dengan potensial sentral adalah potensial yang nilai-


nya bergantung pada jarak titik pengamatan terhadap titik pusat inti.
Ada tiga kandidat potensial sentral yang perlu dicoba, yaitu potensial
kotak tak hingga, potensial osilator harmonis, serta potensial Woods-
Saxon. Model ketiga potensial tersebut disajikan pada Gambar 3.8.
Potensial sentral pertama yang akan kita coba adalah “sumur po-
tensial tak hingga”. Di sini kita bayangkan nukleon terkungkung da-
lam inti dengan jari-jari R dengan energi ikat −V0 sehingga V (r ≤ R) =
−V0 . Untuk meyakinkan bahwa nukleon tidak meninggalkan inti, ma-
ka dibayangkan ada potensial yang sangat besar di luar inti, atau
V (r > R) = ∞. Dengan demikian, potensialnya kita tulis sebagai
(
−V0 r≤R
V (r) = . (3.2)
∞ r>R

Solusi pesamaan Schrödinger dengan V pada Persamaan (3.2) meng-


64 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

arah pada deret Bessel jnl , di mana solusi tingkat energi dari kulit n
sub kulit atau orbital l adalah

Gambar 3.8: 3 Model potensial sentral

~2
 
2
Enl = Xnl , (3.3)
2mR2
dengan Xnl didapatkan pada saat jnl = 0. Setiap orbiltal nl memili-
ki energi Enl dan dapat ditempati sampai Nnl = 2 (2l + 1) nukleon.
Orbital tersebut kita susun dari energi terkecil sampai energi terbe-
sar. Jika jarak antara satu Enl dengan Enl berikutnya kecil, maka
kedua orbital tersebut kita perlakukan sebagai satu ‘tingkat’ yang sa-
ma. Sebaliknya, jika jarak antara satu Enl dengan Enl berikutnya
besar, maka kedua orbital tersebut kita perlakukan sebagai ‘tingkat’
yang berbeda. Bilangan ajaib diperoleh sebagai akumulasi jumlah ke-
adaan untuk nukleon pada setiap akhir ‘tingkat’ energi, Σnl Nnl . Nilai
energi yang didapatkan dengan model sumur potensial disajikan pada
Tabel 3.1. Terlihat bahwa potensial kotak menghasilkan konfigurasi
tertutup dengan bilangan 2, 8, 18, 20, 34, 40, 58, 68, 92, 132, 138,
dengan hanya 2 bilangan, yaitu 2 dan 8, yang sesuai dengan bilang-
an ajaib hasil eksperimen. Secara keseluruhan hasil yang diperoleh
tidak sesuai dengan hasil eksperimen.
Potensial sentral berikutnya adalah potensial osilator harmonis.
Potensial ini dirumuskan atas anggapan bahwa nukleon hanya ber-
3.1. MODEL KULIT 65

Tabel 3.1: Nilai energi dan populasi nukleonnya untuk model poten-
sial kotak.  2 
~
orbital Xnl Enl 2mR 2 Nnl gnl Bilangan ajaib
1s 3.142 9.872 2 2 2
1p 4.493 20.187 6 8 8
1d 5.763 33.212 10 18 18
2s 6.283 39.476 2 20 20
1f 6.988 48.832 14 34 34
2p 7.725 59.676 6 40 40
1g 8.183 66.961 18 58 58
2d 9.095 82.719 10 68 68
1h 9.356 87.535 22 90
3s 9.425 88.831 2 92 92
2f 10.417 108.514 14 106
1i 10.513 110.523 26 132 132
3p 10.904 118.897 6 138 138
2g 11.705 137.007 18 156
.. .. .. .. .. ..

interaksi dengan tetangganya dengan gaya efektif yang dimodelkan


dengan osilator harmonis sederhana 3 dimensi. Dengan demikian,
potensial inti dapat ditulis sebagai
(
−V0 + 12 mω 2 r2 r≤R
V (r) = . (3.4)
∞ r>R

Potensial pada persamaan di atas dapat dipandang (secara kartesi-


an) sebagai gabungan dari 3 potensial osilator harmonis 1 dimensi,
sehingga solusinya mengarah ke polinomial hermite, dengan energi
     
1 1 1
EN = nx + + ny + + nz + ~ω
2 2 2
 
3
= N+ ~ω, (3.5)
2

di mana N = nx +ny +nz , adalah bilangan kuantum utama. Untuk se-


1
tiap nilai N , jumlah keadaan energi terkait adalah 2 (N + 1) (N + 2).
66 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Tabel 3.2: Tingkat energi, jumlah keadaan energi, serta bilangan ajaib
yang dihasilkan, untuk model 3 osilator harmonis 1 dimensi
Bil.
N EN 12 ~ω

(nx , ny , nz ) gN
ajaib
0 3 (0,0,0) 2 2
1 5 (1,0,0), (0,1,0), (0,0,1) 6 8
(2,0,0), (0,2,0), (0,0,2), (1,1,0),
2 7 12 20
(1,0,1), (0,1,1)
(3,0,0), (0,3,0), (0,0,3), (2,1,0),
3 9 (1,2,1), (2,0,1), (1,0,2), (0,1,2), 20 40
(0,2,1), (1,1,1)
(4,0,0), (0,4,0), (0,0,4), (2,2,0),
(2,0,2), (0,2,2), (3,1,0), (1,3,0),
4 11 30 70
(3,0,1), (1,0,3), (0,3,1), (0,1,3),
(2,1,1), (1,2,1), (1,1,2)
.. .. .. .. ..

Jika kita memperhatikan dua jenis spin nukleon yang mungkin, yai-
tu spin up dan down, maka jumlah keadaan energinya adalah gN =
(N + 1) (N + 2). Tingkat energi dan bilangan ajaib yang dihasilkan
melalui pendekatan 3 osilator 1 dimensi disajikan pada Tabel 3.2.

Contoh : Mencari jumlah keadaan energi


Turunkan ungkapan jumlah keadaan energi pada model 3 OHS 1 di-
mensi.

Penyelesaian
Karena N = nx + ny + nz , maka jika kita pilih nX , maka nilai ny
dan nz tidak lagi bebas, tetapi mengikuti pola ny + nz = N − nx . Ini
berarti ada untuk setiap nilai nx , ada N − nx + 1 kombinasi untuk
nilai (ny , nz ). Karena nx dapat diplih dari 0 sampai dengan N , maka
jumlah keadaan energi yang mungkin (tanpa memperhatikan spinnya)
adalah ΣN
nx =0 (N − nx + 1) = (N + 1) × N × (N − 1) ... × 2 × 1 =
1
2 (N + 1) (N + 2). Jika faktor spin diperhitungkan, maka didapatkan
gN = (N + 1) (N + 2).
Alternatif lain, potensial pada Persamaan (3.4) juga dapat dipan-
3.1. MODEL KULIT 67

Tabel 3.3: Tingkat energi, jumlah keadaan energi, serta bilangan ajaib
yang dihasilkan, untuk
 model 1 osilator harmonis 3 dimensi
N EN 12 ~ω (n, l) gN Bil. ajaib
0 3 1s 2 2
1 5 1p 6 8
2 7 1d, 2s 10+2 20
3 9 1f, 2p 14+6 40
4 11 1g, 2d, 3s 18+10+2 70
5 13 1h, 2f, 3p 22+14+6 112
6 15 1i, 2g, 3d, 4s 26+18+10+2 168
.. .. .. .. ..

dang sebagai 1 osilator harmonis 3 dimensi, sehingga solusinya berupa


l+1/2
polinomial laguarre Ln−1 , dengan nilai energi dari kulit n sub kulit
l adalah
 
3
EN = 2 (n − 1) + l + ~ω. (3.6)
2
Dengan membandingkan Pers. (3.5) dan Pers. (3.6), didapatkan bi-
langan kuantum utama

N = 2 (n − 1) + l. (3.7)

1
Mengacu pada Persamaan (3.7), maka didapatkan n = 2 (N − l) +
1.1 Karena N = 0, 1, 2, 3... dan l = 0, 1, 2, ..., maka n = 1, 2, 3....
Nama yang dipilih untuk orbital l adalah s (l=0), p (l=1), d (l=2),
f (l=3), g (l=4), h (l=5), i (l=6), .... Setiap keadaan l menghasilkan
proyeksi l pada sumbu z sebesar −l, − (l − 1) , ...0, .... (l − 1) , l atau
total (2l + 1) keadaan. Mengingat dua jenis spin untuk nukleon, maka
populasi nukleon pada orbital l adalah 2 (2l + 1). Tingkat energi dan
bilangan ajaib yang dihasilkan melalui pendekatan 1 osilator 3 dimensi
disajikan pada Tabel 3.3. Ternyata kedua model osilator harmonis
1
Perhatikan bahwa Persamaan (3.7) memungkinkan kita memiliki keadaan de-
ngan l ≥ n. Hal ini terjadi karena solusinya adalah persamaan Laguerre. Hal
ini berbeda dengan kasus atom hidrogenik, di mana solusinya adalah persamaan
Legendre, sehingga l = 0, 1, ... (n − 1).
68 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Gambar 3.9: Tingkat energi menurut model sumur potensial (ki-


ri) dan osilator harmonis (kanan). Potensial Woods-Saxon meng-
hasilkan tingkat energi yang sama dengan potensial osilator harmo-
nis. (sumber: http://ocw.mit.edu/courses/nuclear-engineering/22-
101-applied-nuclear-physics-fall-2006/lecture-notes/)

menghasilkan konfigurasi tertutup pada bilangan 2, 8, 20, 40, 70, 112,


168 dengan 3 yang pertama, yaitu 2, 8, dan 20 sesuai dengan hasil
eksperimen. Secara keseluruhan hasil yang diperoleh melalui potensial
osilator harmonis tidak sesuai dengan hasil eksperimen, sehingga kita
perlu mencoba bentuk potensial lain. Hasil yang didapatkan dengan
menggunakan potensial sumur dan osilator harmonis disajikan pada
Gambar 3.9.
Potensial sentral ketiga yang akan kita coba adalah potensial Woods-
Saxon. Model potensial ini berdasarkan distribusi muatan inti (Pers.
(1.3)), di mana didefinisikan potensial serupa dengan kedalaman −V0
dengan lengkungan di ujungnya, sehingga

−V0
V (r) = (3.8)
1 + exp [(r − R) /a]
3.1. MODEL KULIT 69

di mana

• V0 = 50 MeV adalah potensial inti

• R = R0 A1/3 fm adalah jari-jari inti

• a = 0,254 fm adalah ketebalan kulit inti.

Potensial Woods-Saxon mempunyai perilaku yang diharapkan untuk


potensial inti, yaitu

• nilainya secara naik secara monotonik ketika jaraknya dari inti


naik, yang menunjukkan gayanya adalah gaya tarik

• Untuk A yang besar, bentuknya hampir konstan di tengah inti

• Nukleon di permukaan inti (yakni nukleon dengan r − R < a )


mengalami gaya tarik ke inti yang besar

• Nilainya mendekati nol pada jarak r − R  a, yang menujukkan


sifat berjangkauan pendek dari gaya inti.

Ternyata model potensial Woods-Saxon menghasilkan konfigurasi ter-


tutup yang sama dengan osilator harmonis, yaitu pada bilangan 2, 8,
20, 40, 70, 112, 168 dengan 3 yang pertama, yaitu 2, 8, dan 20 sesu-
ai dengan hasil eksperimen. Secara keseluruhan hasil yang diperoleh
melalui potensial Woods-Saxon tidak sesuai dengan hasil eksperimen,
sehingga kita perlu mencoba bentuk potensial yang tidak hanya ber-
upa potensial sentral.

3.1.3 Model potensial sentral plus kopling spin


Dari pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa model potensial sentral
belum menghasilkan bilangan ajaib yang sesuai dengan hasil ekspe-
rimen, sebagaimana terlihat pada Gambar 3.9. Kegagalan tersebut
terjadi karena ketidakberhasilan potensial sentral memisahkan bebe-
rapa orbital, sehingga suatu tingkat energi terisi atas beberapa orbital
yang saling tumpang tindih. Dengan demikian, ide berikutnya adalah
70 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

bagaimana mendesain suatu potensial yang bisa memisahkan setiap


orbital yang ada. Hal tersebut dapat dilakukan jika kita mengako-
modir kopling interaksi antara spin inti dan momentum orbitalnya
(atau yang biasa dikenal sebagai kopling spin inti), dalam rumusan
potensial inti. Untuk itu, potensial inti dapat dituliskan sebagai

Vinti = Vsentral + Vkopling , (3.9)

di mana Vsentral dapat berupa salah satu dari potensial kotak, osilator
harmonis, atau Woods-Saxon.

Pada tahun 1949, Mayer dan Jansen atas saran Fermi, mengusulk-
an bentuk potensial untuk inti dengan memilih potensial inti sama
dengan potensial kotak ditambah potensial kopling spin inti 2

(
2
−V0 − ~2
αl.s r≤R
V (r) = . (3.10)
∞ r>R

Pada persamaan di atas, l adalah momentum sudut nukleon sedang


s adalah momentum spinnya. Penjumlahan keduanya menghasilkan
momentum sudut total dari nukleon

j = l + s. (3.11)

Karena nilai eigen spin adalah s = ± 12 , maka untuk setiap nilai l


berlaku j = l ± 12 . Dengan kata lain, kehadiran spin membuat satu
1
keadaan l terpecah jadi dua, yaitu j = l + 2 dan j = l − 21 .

2
Maria Goeppert Mayer mempublikasikan idenya dalam 2 paper, yaitu Phys.
Rev. 78 (1), 16-21 (1950) dengan judul “Nuclear Configurations in the Spin-
Orbit Coupling Model. I. Empirical Evidence” dan Phys. Rev. 78 (1), 22-23
(1950) dengan judul “Nuclear Configurations in the Spin-Orbit Coupling Model.
II. Theoretical Considerations”. Sementara itu, J. Hans D Jensen mempublikasikan
hasil kerjanya bersama dengan Otto Haxel dan Hans E. Suess di Phys. Rev. 75
(11) 1766-1766 (1949) dengan judul “On the Magic Numbers in Nuclear Structure”.
Pada tahun 1963, Mayer dan Jensen, bersama dengan E. Wigner, mendapat nobel
Fisika.
3.1. MODEL KULIT 71

Contoh : Mencari nilai l.s


Turunkan nilai l.s pada Persamaan (3.10)

Penyelesaian

Jika Persamaan (3.11) kita kuadratkan, maka didapatkan j 2 =


l2 + s2 + 2l.s, sehingga

~2  2
j − l2 − s2 .

l.s =
2

Dengan demikian maka

~2
nilai eigen j 2 − l2 − s2
 
nilai eigen (l.s) =
2
~2
= [j (j + 1) − l (l + 1) − s (s + 1)]
2 
~2

3
= j (j + 1) − l (l + 1) − .
2 4

Karena ada 2 nilai j, maka


(
1
~2 l untuk j = l + 2
nilai eigen (l.s) = 2 1
. (3.12)
− (l + 1) untuk j = l − 2

Dengan memanfaatkan hasil (3.12), potensial inti untuk r ≤ R dapat


ditulis sebagai
( ) (
1
−l l+ 2
V (r) = −V0 + α , j= 1
. (3.13)
l+1 l− 2

Persamaan terakhir menunjukkan bahwa keadaan dengan spin paralel


(j = l + 21 ) lebih terikat pada potensial inti dibanding keadaan dengan
spin anti paralel (j = l − 21 ). Akibatnya, spin paralel memiliki energi
lebih rendah. Nilai energi yang didapatkan dengan model potensial
pada Persamaan (3.13) adalah
( ) (
1
~2 −l
 
2 l+ 2
Enlj = Xnl +α , j= , (3.14)
2mR2 l+1 l− 1
2
72 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM
 2 
~
Bagian pertama dari Persamaan (3.14), 2mR 2 , berasal da-
Xnl
2

ri pemecahan sumur potensial dan memberikan tingkat yang sama


dengan model(sumur potensial,
) seperti disajikan pada Tabel 3.1. Ba-
−l
gian kedua, α , muncul akibat kopling spin. Ternyata model
l+1
kopling spin menyebabkan suatu orbital terpecah menjadi 2 sub orbi-
tal, yaitu tingkat energi dengan spin anti paralel dan tingkat energi
dengan spin parallel. Energi yang memisahkan kedua sub orbital ter-
sebut adalah

∆Ej = Enlanti paralel − Enlparalel


 2    2  
~ 2 ~ 2
= Xnl + α (l + 1) − Xnl + α (−l)
2mR2 2mR2
= (2l + 1) α. (3.15)

Terlihat bahwa jarak tingkat energi antar sub orbital bergantung pada
l. Untuk l yang besar, nilai ∆Ej juga cukup besar sehingga mungkin
lebih besar dari jarak tingkat energi antar orbital. Sebagai akibat-
nya, sangat mungkin sub orbital paralel dari orbital yang lebih tinggi
memiliki energi yang lebih rendah dibanding sub orbital anti para-
lel dari orbital yang lebih rendah. Sebagai contoh, sub orbital 1d5/2
memiliki energi lebih rendah dari sub orbital 1s1/2 . Atau, sub orbi-
tal 1f7/2 memiliki energi lebih rendah dari sub orbital 2p3/2 . Hasil
yang didapatkan dengan menggunakan pendekatan kopling spin disa-
jikan pada Gambar 3.10, dan memberikan bilangan ajaib yang sesuai
dengan hasil pengamatan, Ini berarti pendekatan kopling spin dapat
dipakai untuk memahami sebab munculnya bilangan ajaib pada inti.

Dengan memanfaatkan model kulit, setiap keadaan energi nukleon


dicirikan oleh
(nlj )x (3.16)

di mana

• n adalah nomor kulit inti


3.1. MODEL KULIT 73

Gambar 3.10: Tingkat energi nukleon menurut model kopling spin


Mayer Jansen. (Sumber: M. G. Mayer dan J. H. D. Jenson, Elemen-
tery Theory of Nuclear Shell Structure, Wiley, New York, 1955).
74 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

• l adalah momentum sudut nukleon.

• j adalah momentum sudut total nukleon. Nilai j adalah j = l±s


dengan s adalah spin intrinsik nukleon, s = 12 .

• x adalah populasi nukleon pada keadaan tersebut. Untuk suatu


nilai j, nilai proyeksinya adalah mj = −j, − (j − 1) , ...., (j − 1) , j
atau total jumlah mj -nya adalah 2j + 1, Nilai 2j + 1 juga me-
nunjukkan populasi maksimum nukleon pada keadaan tersebut.

Dalam model kulit, proton dan netron dipandang sebagai partikel


yang berbeda, sehingga keduanya memiliki konfigurasi yang terpisah.
Mengacu pada Gambar 3.10, konfigurasi proton dan netron, mengi-
kuti urutan orbital sebagai berikut:
2 4 2 6 2 4
1s1/2 , 1p3/2 , 1p1/2 , 1d5/2 , 2s1/2 , 1d3/2 , ....

Baik proton maupun netron mengisi orbital lebih rendah lebih da-
hulu sampai penuh, baru kemudian orbit yang lebih tinggi, begitu
seterusnya sampai nukleon terakhir. Pada setiap sub orbital, nukleon
akan membentuk pola berpasangan terlebih dahulu, sebelum mengisi
keadaan energi berikutnya. Dengan demikian, orbital terakhir tidak
selalu terisi penuh. Pada gilirannya, perilaku inti ditentukan oleh ada
tidaknya proton dan/atau netron tak berpasangan pada orbital tera-
khir. Mengacu pada jumlah proton dan netron dalam inti, kita dapat
mengelompokkan inti dalam 4 jenis, dengan nilai spin pada keadaan
dasar, yang juga khas, seperti ditunjukkan pada pada Tabel 3.4. Un-
tuk inti dengan nilai Z dan/atau N = A − Z yang besar, maka kita
bisa menuliskan konfigurasinya dari bilangan ajaib terbesar sebelum
nilai Z atau N . Untuk memahami keandalan model kulit, kita akan
menggunakannya untuk menghitung spin inti.

Contoh : Mencari momentum spin inti


Carilah momentum spin dari inti O-15, O-16, dan O-17.

Penyelesaian
3.1. MODEL KULIT 75

Tabel 3.4: Prediksi spin pada berbagai jenis inti


jumlah jumlah jp jn I
proton netron
genap genap 0 0 0
genap ganjil 0 bil. bulat + 12 bil. bulat + 12
ganjil genap bil. bulat + 21 bil. bulat + 12 bil. bulat + 12
ganjil ganjil bil. bulat + 21 bil. bulat + 12 bil. bulat

2 4 2
Konfigurasi proton untuk 15 O adalah 1s1/2 , 1p3/2 , 1p1/2
yang berarti tidak ada proton tak berpasangan, atau jp = 0. Pada sisi
2 4 1
lain, konfigurasi netronnya adalah 1s1/2 , 1p3/2 , 1p1/2 . Ini
berarti dalam 15 O ada satu netron tak berpasangan dengan jn = 21 .
Dengan demikian momentum sudut total nukleon atau spin inti O−15
1
adalah I = Σjp + Σjn = 0 + 2 = 21 .
2 4
Konfigurasi proton dan netron untuk 16 O adalah 1s1/2 , 1p3/2 ,
2
1p1/2 , yang berarti dalam 16 O tidak ada proton ataupun netron
yang tak berpasangan. Dengan demikian momentum sudut total nu-
kleon, atau momentum spin intimya, adalah I = 0 + 0 = 0.
2 4 2
Konfigurasi proton untuk 17 O adalah 1s1/2 , 1p3/2 , 1p1/2 ,
2 4 2 1
sedang untuk netron adalah 1s1/2 , 1p3/2 , 1p1/2 , 1d5/2 .
Ini berarti dalam 17 O ada satu netron tak berpasangan dengan j = 25 .
5
Dengan demikian spin inti O − 17, adalah I = 2. Nilai spin hasil
perhitungan untuk ketiga isotop tersebut sesuai dengan data hasil
eksperimen.

Contoh : Mencari momentum spin inti


Tuliskan konfigurasi proton dan netron untuk Zn-63

Penyelesaian
Karena Z untuk Zn adalah 30, berarti ada 30 proton dan 33 ne-
tron. Karena kedua bilangan tersebut cukup besar, maka konfigurasi
keduanya dimulai dari bilangan ajaib terbesar, yang masih lebih kecil
dari 30. Konfigurasinya adalah

2
• proton: [28] , 2d3/2
76 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM
4 1
• netron: [28] , 2d3/2 , 1f5/2

Dengan demikian, perilaku inti Zn-63 ditentukan oleh netron tak ber-
pasangan di 1f5/2 , sehingga spin dari Zn-63 adalah 52 .

Contoh : Mencari rasio Igenap : Iganjil pada molekul.


Carilah rasio Igenap : Iganjil pada molekul N2 .

Penyelesaian
Karena inti N-14 mengandung 7 proton dan 7 netron, maka konfi-
2 4 1
gurasi proton dan netronnya adalah 1s1/2 , 1p3/2 , 1p1/2 . De-
1
ngan demikian ada sebuah netron bebas dengan j = 2 dan sebuah
1
proton bebas dengan j = 2. Dengan demikian, spin inti N adalah
I = 1. Ketika dua buah atom N membentuk molekul N2 , maka ke-
mungkinan nilai spin inti dari molekulnya adalah 0 (ketika keduanya
anti paralel), 1 (ketika keduanya tegak lurus), dan 2 (ketika keduanya
paralel). Karena tiap keadaan I mempunyai multisiplitas 2I +1, maka
keadaan dengan I = 0 mempunyai 1 keadaan, keadaan dengan I = 1
mempunyai 3 keadaan, sedang keadaan dengan I = 2 mempunyai 5
keadaan, sehingga rasio Igenap : Iganjil = (1 + 5) : 3 = 6 : 3 = 2 : 1.
Pada eksperimen dengan pembangkitan sinar harmonik tinggi (hi-
gh harmonic generation, HHG), seperti ditunjukkan pada Gambar
3.11 (panel atas), sinar muncul pada puncak dengan mengikuti pola
(4I + 6) Bc. Untuk I ganjil, pola (4I + 6) Bc akan menghasilkan pun-
cak pada (10, 18, 26, 34, ...) Bc. Untuk I genap, puncak akan muncul
di (6, 14, 22, 30, ...)Bc. Dari gambar, terlihat bahwa puncak dengan
I genap atau deret (10, 18, 26, 34, ...) Bc dua kali lebih tinggi dari
puncak dengan I ganjil atau deret (6, 14, 22, 30, ...) Bc, yang menun-
jukkan bahwa Igenap : Iganjil = 2 : 1 pada molekul N2 . Hasil yang
sama juga didapatkan jika menghitung sinar HHG secara teoritis, se-
perti ditunjukkan pada Gambar 3.11 (panel bawah).

Contoh : Mencari spin inti


Carilah momentum spin dari inti Mo-95 dan Pb-207

Penyelesaian
3.1. MODEL KULIT 77

Gambar 3.11: Sinar HHG molekul N2 hasil eksperimen di Institut of


Advanced Energy Kyoto (panel a) dan hasil perhitungan teori (panel
b). (Sumber: Gambar eksperimen: K. Miyazaki, M. Kaku, G. Miyaji,
A. Abdurrouf, and F. H. M. Faisal, Phys. Rev. Lett. 95, 243903
(2005); Gambar teori: F. H. M. Faisal, A. Abdurrouf, K. Miyazaki,
and G. Miyaji, Phys. Rev. Lett. 98, 143001 (2007))
78 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Mo-95 memiliki 42 proton yang berarti semua protonnya berpa-


sangan, jp = 0. Jumlah netronnya adalah 53, sehingga konfigurasinya
3
adalah [50] 1g7/2 , yang berart jn = 72 . Ini berarti spin Mo-95 ada-
lah 7
2 dan paritasnya adalah (−1)4 , sehingga paritasnya genap atau
postif,
Pb-207 memiliki 82 proton yang berarti semua protonnya berpa-
sangan, jp = 0. Jumlah netronnya adalah 125, sehingga konfigurasi-
10 8 6 4 2 13
nya adalah [82] 1h9/2 , 2f7/2 , 2f5/2 , 3p3/2 , 3p1/2 , 1i13/2 ,
13 13
yang berarti jn = 2 . Ini berarti spin Pb-207 adalah 2 dan paritasnya
6
adalah (−1) , sehingga paritasnya genap atau postif,
Sayangnya hasil pengukuran menunjukkan kalau spin Mo-95 ada-
5
lah 2 dan Pb-207 adalah 12 . Perbedaan hasil ini memaksa fisikawan
untuk mencari bentuk potensial sentral yang lain.

3.1.4 Modifikasi potensial sentral inti

Dari pembahasan sebelumnya terlihat bahwa potensial Mayer-Jensen


berhasil untuk menerangkan spin inti ringan dan sedang dengan jum-
lah proton dan netron masing-masing tidak lebih dari 50. Untuk jum-
lah netron atau proton yang lebih besar dari 50, terlihat kalau model
Mayer-Jensen kurang berhasil. Karena konsep kopling spin terbukti
berhasil mereproduksi bilangan ajaib, maka kemungkinan kesalahan
bersumber dari anggapan potensial sentral berbentuk kotak tak hing-
ga yang dipakai Mayer-Jensen. Sekarang kita akan coba hal yang
berbeda, yaitu

Gambar 3.12: Potensial netron (kiri) dan proton (kanan).


3.1. MODEL KULIT 79

Gambar 3.13: Tingkat energi proton (kiri) dan netron dari potensial
sentral yang ditunjukkan pada Gambar 3.12. (sumber: Povh, 1995)
80 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

• mencoba mendefinisikan potensial inti sebagai jumlahan poten-


sial sentral non kotak ditambah potensial kopling inti

• mencoba memasukkan efek Coloumb, sehingga potensial untuk


proton mungkin berbeda dari potensial untuk netron.

Salah satu contoh potensial yang diusulkan disajikan pada Gambar


3.12, sedang tingkat energi yang dihasilkan disajikan pada Gambar
3.13.
Dengan membandingkan kedua tingkat energi yang ada (Gambar
3.10 dan 3.13) dapat dilihat bahwa

• semua model menghasilkan konfigurasi bilangan ajaib yang sa-


ma

• semua model memiliki urutan orbital yang sama sampai dengan


bilangan ajaib 50, dengan beberapa perbedaan urutan orbital
untuk orbital di atasnya. Hal ini terkait dengan fakta bahwa
gaya Coulumb mulai efektif pada jumlah proton yang besar.

Selain model potensial sentral yang sudah kita diskusikan, masih ada
beberapa model yang lain, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.5.

Contoh : Mencari momentum spin inti


Carilah momentum spin dari inti Mo-95 dan Pb-207 dengan menggu-
nakan tingkat energi pada Gambar 3.13.

Penyelesaian
Mo-95 memiliki 42 proton yang berarti semua protonnya berpa-
sangan, jp = 0. Jumlah netronnya adalah 53, sehingga konfigurasinya
3
adalah [50] 2d5/2 , yang berart jn = 52 . Ini berarti spin Mo-95 ada-
lah 5
2 dan paritasnya adalah (−1)2 , sehingga paritasnya genap atau
postif,
Pb-207 memiliki 82 proton yang berarti semua protonnya berpa-
sangan, jp = 0. Jumlah netronnya adalah 125, sehingga konfigurasi-
8 10 6 4 14 1
nya adalah [82] 2f7/2 , 1h9/2 , 2f5/2 , 3p3/2 , 1i13/2 , 3p1/2 ,
3.1. MODEL KULIT 81

Tabel 3.5: Berbagai model potensial inti.


82 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

yang berart jn = 12 . Ini berarti spin Pb-207 adalah 1


2 dan paritasnya
1
adalah (−1) , sehingga paritasnya ganjil atau negatif,
Sekarang hasil perhitungan sesuai dengan hasil pengukuran.

3.2 Sifat-sifat inti


Dengan menggunakan model kulit, kita dapat mengetahui konfigurasi
netron dan proton dalam inti, sehingga kita bisa

• memahami sebab munculnya bilangan ajaib untuk inti, di mana


bilangan ajaib muncul sebagai jumlah total netron atau pro-
ton pada suatu orbital tertentu yang terpisah cukup jauh dari
orbital berikutnya.

• menduga nilai spin inti I, di mana spin inti adalah jumlahan dari
semua momentum sudut total semua nukleon penyusun inti

I = Σjp + Σjn . (3.17)

• mencari keadaan dasar dan keadaan tereksitasi dari suatu inti,


serta spin terkait.

• dengan menggunakan nilai spin inti I dan momentum sudut l,


kita dapat menduga

– menduga paritas inti π = (−1)l , di mana paritas inti dapat


bernilai ganjil (negatif) atau genap (positif).3
– menduga momen magnetik inti µ
– menduga momen quadrapol elektrik inti Q

Sekarang kita sudah siap membahas sifat inti yang bergantung pada
spin inti. Sifat-sifat inti tersebut adalah sifat mekanik (yang meliputi
spin, dan paritas inti), sifat magnetik (momen dipol magnetik), dan
sifat elektrik (momen quadrupol elektrik).
3
Istilah ganjil atau genap mengacu pada nilai momentum sudut l, sedang istilah
positif atau negatif mengacu pada nilai (−1)l .
3.2. SIFAT-SIFAT INTI 83

3.2.1 Sifat mekanik inti

Inti terdiri dari nukleon. Tiap nukleon memiliki momentum angular


intrinsik, yang dikenal sebagai spin s. Karena nukleon tidak diam
melainkan selalu bergerak di dalam inti, maka nukleon juga memiliki
momentum angular orbital l. Spin inti didefinisikan sebagai jumlah
momentum angular atau momentum angular total (terdiri dari spin
dan momentum angular orbital) seluruh nukleon penyusunnya:


→ →
− A −→ → −
− →
I = ΣA
i=1 l i + Σi=1 s i = l + s . (3.18)

Perhatikan bahwa penjumlahan pada persamaan di atas adalah pen-


jumlahan vektor. Kadang-kadang, spin inti juga dinyatakan sebagai
jumlahan spin total proton dan spin total netron.

Contoh : Mencari rumusan spin inti


Turunkan ungkapan spin inti (Persamaan (3.17)) dari Persamaan
(3.18).

Penyelesaian
Kita tuliskan lagi Persamaan (3.18) dan memodifikasi suku-sukunya.


→ →
− A−Z Z −
→ A−Z −

I = ΣZi=1 l i + Σi=1 li + Σi=1 s i + Σi=1 s i
 →
− Z −→
 
A−Z −


= ΣZi=1 l i + Σi=1 s i + ΣA−Zi=1 li + Σi=1 s i
proton netron

→ →

= I p + I n.

1
Secara umum, I adalah bilangan bulat plus 2 untuk A ganjil dan
bilangan bulat jika A genap. Dari pengamatan, didapatkan bahwa
inti dengan A genap memiliki spin 0, kecuali inti dengan A genap
tetapi Z dan N ganjil, yaitu 21 H, 63 Li, 10 B,
5 dan 14 N.
7
Spin inti pada keadaan dasar (ground state) dapat berbeda dari
spin inti pada keadaan tereksitasi (excited state). Sebutan spin inti
tanpa keterangan lebih lanjut berarti spin inti pada keadaan dasar.
Suatu inti dengan spin I akan terdegenerasi ke dalam (2I + 1) kea-
daan. Masing-masing dicirikan oleh bilangan kuantum magnetik spin
84 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

mI (yaitu proyeksi spin I pada sumbu quantisasi, misalnya sumbu z),


di mana mI = −I, −I + 1, ....., I − 1, I .

Kuantitas lain yang juga diperlukan adalah paritas (parity), yang


merepresentasikan sifat simetri fungsi gelombang suatu partikel. Jika
fungsi gelombang suatu partikel dinyatakan dengan Ψ (r, θ) dengan
r menyatakan koordinat posisi (x, y, z) dan θ menyatakan orientasi
ruangnya, maka partikelnya dikatakan memiliki paritas positif jika

Ψ (r, θ) = +Ψ (−r, −θ) ,

dan dikatakan memiliki paritas negatif jika

Ψ (r, θ) = −Ψ (−r, −θ) .

Menurut model kulit, kedudukan suatu nukleon di dalam inti dicirikan


oleh nilai kulit utamanya, orbitalnya, serta spinnya. Sifat paritas
suatu suatu nukleon, π, ditentukan oleh

π = (−1)l , (3.19)

di mana l adalah bilangan orbital. Suatu inti dikatakan memiliki


paritas positif atau paritas genap jika l bernilai genap, seperti 0 (untuk
orbital s), 2 (orbital d), 4 (orbital g), 6 (orbital i), dan seterusnya.
Sebaliknya, suatu inti dikatakan memiliki paritas negatif atau paritas
ganjil jika l bernilai ganjil, seperti 1 (untuk orbital p), 3 (orbital f ),
5 (orbital h), dan seterusnya. Seringkali nilai suatu paritas ditulis
bersama dengan spinnya sebagai berikut
l
j π = I (−1) , (3.20)

dengan I adalah spin inti. Dengan demikian suatu inti dengan paritas
7−
negatif dan I = 72 , dikatakan memiliki j = 2 .

Contoh : Mencari paritas


Carilah paritas dari inti O-15, O-16, dan O-17.
3.2. SIFAT-SIFAT INTI 85

Penyelesaian
15 O
1
Pada terdapat 1 netron tak berpasangan di 1p1/2 , yang
berarti l = 1, Dengan demikian, paritasnya adalah (−1)1 , yang berati
−1
paritasnya ganjil atau negatif. Kita tulis I = 21 . Pada 165 O tidak
terdapat netron atau proton, sehingga I = 0 I = 0+0 = 0. Pada 157 O
1
terdapat 1 netron tak berpasangan di 1d5/2 , yang berarti l = 3,
Dengan demikian, paritasnya adalah (−1)3 .

Contoh : Mencari momentum spin dan paritas inti


Tuliskan konfigurasi proton dan netron untuk Zn-63

Penyelesaian
Karena inti Zn-63 memiliki netron tak berpasangan di 1f5/2 , maka
paritasnya adalah (−1)3 , yang berarti paritasnya ganjil atau negatif.
5−
Ini berarti I = 2 .

Contoh : Spin dan paritas inti


Hasil eksperimen untuk nilai spin dan paritas dari beberapa inti ada-
7− 9+ 3+
lah sebagai berikut: Ca-43: 2 , Nb-93: 2 , dan Ba-137: 2 . Jelaskan
maksud hasil tersebut.

Penyelesaian
7−
Karena spin Ca-43 adalah 2 , maka l = 3 atau l = 4. Tetapi
karena paritasnya negatif, berarti l = 3 atau orbital f . Dengan demi-
kian, spin pada inti 43 Ca berasal dari netron tak berpasangan di sub
20
orbital f7/2 , atau lengkapnya adalah 1f7/2 .
93 Nb 9+
Nilai spin dan paritas 41 adalah 2 , artinya l = 4 atau l = 5.
Karena paritasnya positif, maka l = 4 atau sub orbitalnya 1f9/2 .
137 Ba 3+
Nilai spin dan paritas 56 adalah 2 , artinya l = 1 atau l = 2.
Karena paritasnya positif, maka l = 2 atau sub orbitalnya d3/2 .

3.2.2 Sifat magnetik inti

Di dalam inti, proton memiliki gerakan orbital. Karena proton ada-


lah partikel bermuatan, maka gerakannya menimbulkan ‘arus listrik’.
Berikutnya, ‘arus listrik’ tersebut akan menjadi sumber kemagnetan
86 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

inti. Menurut model kulit, momen magnetik dari inti dengan A gan-
jil bersumber dari nukleon tak berpasangan. Jika nukleon tak ber-
pasangan tersebut adalah proton, maka (menurut mekanika klasik)
gerakan orbitalnya akan menghasilkan momen dipol magnetik
    
el e~ l l
µl = = = µN ,
2mp 2mp ~ ~

e~
di mana µN = 2mp dikenal sebagai magneton nuklir.4 Sebuah netron,
karena tidak bermuatan, tidak memiliki momen magnetik orbital. Se-
cara umum, momen magnetik orbital nukleon adalah
 
l
µl = gl µN , (3.21)
~

di mana gl = 1 untuk proton dan gl = 0 untuk netron.

Sumber kemagnetan inti yang lain adalah sifat magnetik intrinsik


nukleon akibat spin nukleon yang tak berpasangan. Momen magnetik
intrinsik akibat spin adalah
s
µs = gs µN , (3.22)
~

di mana gs = 5, 59 untuk proton dan gs = −3.83 untuk netron. De-


ngan menggabungkan Pers. (3.21) dan (3.22), didapatkan momen
magnetik total untuk inti tunggal tak berpasangan adalah

µ = µl + µs = µN (gl l + gs s) /~. (3.23)

Persamaan terakhir dapat ditulis sebagai


 
1 1
µ = µN (gl + gs ) (l + s) + (gl − gs ) (l − s) /~.
2 2

Sekarang kita dapat menghitung perkalian titik antara µ dan J (di

4
Momen magnet didefinisikan sebagai µ = arus × luas = e
2πr/v
πr2 = evr
2
=
e~ l
2m ~
= magneton × ~l .
3.2. SIFAT-SIFAT INTI 87

mana J = l + s), sebagai berikut


 
1 2 1 2 2

µ.J = µN (gl + gs ) J + (gl − gs ) l − s /~.
2 2
µ
Mengingat hµi = j~ hJi, maka proyeksi momentum dipole magnetik
µ
µ terhadap J adalah hµ.Ji = j~ j (j + 1) ~2 , sehingga
 
1 1
µ (j + 1) = µN (gl + gs ) j (j + 1) + (gl − gs ) (l (l + 1) − s (s + 1)) ,
2 2

atau
 
1 1 (l − s) (l + s + 1)
µ = µN (gl + gs ) j + (gl − gs ) . (3.24)
2 2 (j + 1)

1
Selanjutnya, karena s = 2 dan j = l ± 21 , maka
(
µhN jgl − 21 (gl − gs ) i untuk j = l + 1
 
2
µ= j 1 .
µN jgl + 2(j+1) (gl − gs ) untuk j = l − 2

Persamaan terakhir juga dapat ditulis sebagai


(
j − 12 gl + 12 gs µN 1
  
untuk j = l + 2
µ= j  , (3.25)
j + 32 gl − 21 gs µN 1
 
j+1 untuk j = l − 2

yang dikenal sebagai nilai Schmidt. Nilai magneton nukleon adalah


µN = 3, 1525 × 10−8 eV/T.5 Seringkali nilai µ dinyatakan dalam nu-
clear magneton, µN , dan disingkat sebagai nm.

Contoh : Momen magnetik inti dalam l


Nyatakan Persamaan (3.25) dalam variabel l.

Penyelesaian

5
Bandingkan dengan magneton Bohr (untuk elektron) yang nilainya µB =
~
2me
= 5, 7884 × 10−5 eV/T. Jika ada elektron bebas dalam inti, tentunya mo-
men magnetik yang teramati adalah dalam orde µB , bukan µN .
88 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Untuk j = l + 12 , kita dapatkan


  
1 1
µ = j− gl + gs µN
2 2
    
1 1 1 1
= l+ − gl + gs µN = gl l + gs µN
2 2 2 2

Untuk j = l − 12 ,kita dapatkan


  
j 3 1
µ = j+ gl − gs µN
j+1 2 2
1
l− 2
  
1 3 1
= l− + gl − gs µN
l − 21 + 1 2 2 2
l − 21
 
1
= 1 gl (l + 1) − 2 gs µN
l+ 2

Contoh : Momen magnetik inti


7−
Hitunglah nilai momen magnetik dari inti Ca-43 (I = 2 ), Nb-93
9+ 3+
(I = 2 ), dan Ba-137 (I = 2 ).

Penyelesaian

Karena momentum total 43 Ca disebabkan oleh netron tak berpa-


20
sangan dengan j = l + s = 3 + 12 = 27 , maka
  
7 1 1
µ= − × 0 + × (−3.83) µN = −1, 915 nm.
2 2 2

Momentum total 93 Nb disebabkan oleh proton tak berpasangan de-


41
ngan j = l + s = 4 + 12 = 29 , sehingga
  
9 1 1
µ= − × 1 + × (5, 59) µN = 6, 8 nm.
2 2 2

Momentum total 137 Ba disebabkan oleh netron tak berpasangan de-


58
ngan j = l − s = 2 − 21 = 23 , sehingga

3   
2 3 3 1
µ= 3 + × 0 − × (−3.83) µN = 1, 15 nm.
2 +1 2 2 2
3.2. SIFAT-SIFAT INTI 89

Ternyata momen magnetik hasil eksperimen untuk ketiga inti tersebut


adalah -1,312 nm (untuk Ba-43), 6,167 nm (untuk Nb-93), dan 0,9357
(untuk Ba-137).

Dari hasil di atas, ternyata ada ketidaksesuaian antara hasil me-


lalui rumusan Schmidt dan hasil eksperimen Hal ini terjadi karena
rumusan Schmidt dibangun atas anggapan nukleon yang bebas, pa-
dahal sebenarnya tidak. Untuk itu dilakukan modifikasi pada nilai gs
dan gl menjadi nilai efektifnya, di mana

gsef ektif = (0, 6 − 0, 7) gs


glef ektif = (0, 9 − 1, 0) gl .

Nilai yang dipakai biasanya adalah gsef ektif = 0, 7gs dan glef ektif = gl .

Contoh : Momen magnetik inti


Hitunglah momen magnetik inti dari Ca-43, Nb-93, dan Ba-137 de-
ngan mengunakan nilai g efektif.

Penyelesaian

Nilai momen magnetik untuk Ca-43, Nb-93, dan Ba-137, berturut-


turut adalah
  
7 1 1
µ= − × 0 + × (0, 7 × −3.83) µN = −1, 3405 nm
2 2 2
  
9 1 1
µ= − × 1 + × (0.7 × 5, 59) µN = 5, 9565 nm
2 2 2
3   
2 3 3 1
µ=µ= 3 + × 0 − × (0, 7 × −3.83) µN = 0, 805 nm
2 +1
2 2 2
Sekarang momen magnetik teoritis lebih dekat dengan hasil eksperi-
men, yaitu -1,312 nm (untuk Ba-43), 6,167 nm (untuk Nb-93), dan
0,9357 (untuk Ba-137).
90 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Tabel 3.6: Nilai momen magnetik beberapa inti

Eksperimen Teori Teori


(nm) (Pers. (3.25)) (Pers. (3.25), g ef ektif )
(nm) (nm)

Ca-43 -1,312 -1,92 -1,341


Nb-93 6,167 6,8 5,957
Ba-137 0,934 1,15 0,805

Contoh : Frekuensi resonansi


Hitunglah frekuensi NMR dari (a) Nb-93 dan (b) Ca-43, dalam medan
magnetik 1 tesla.

Penyelesaian
Dari contoh sebelumnya, didapatkan bahwa momen magnetik un-
tuk Nb-93 adalah µ = 5, 9565 µN , sedang untuk Ca-43 adalah µ =
−1, 3405 µN , di mana µN = 3, 15 × 10−14 MeV/T. Selanjutnya, fre-
kuensi resonansi dapat dihitung dengan

ω ~ω µB/j
ν= = = ,
2π 2π~ h

di mana nilainya adalah 37,67 MHz untuk Nb-93 dan 2.03 MHz untuk
Ca-43.

3.2.3 Sifat elektrik inti

Momen elektrik inti orde terendah yang bisa berharga tidak nol adalah
momen quadrupol elektrik. Secara klasik, momen quadrupol elektrik
diberikan oleh Q = e 3z 2 − r2 . Jika fungsi gelombang inti dinya-


takan dengan ψ, maka nilai momen quadrupol elektrik pada arah z


dapat dinyatakan sebagai
Z
ρψ ∗ 3z 2 − r2 ψdτ,
 
hQi = (3.26)

Secara umum, terdapat 3 jenis bentuk inti, yaitu


3.2. SIFAT-SIFAT INTI 91

• Inti berbentuk bola, sehingga r2 = x2 + y 2 + z 2 = 3z 2 dan


hQi = 0.

• Inti berbentuk oblate, x = y > z sehingga r2 = x2 +y 2 +z 2 > 3z 2


dan hQi bernilai negatif.

• Inti berbentuk prolate, x = y < z sehingga r2 = x2 + y 2 + z 2 <


3z 2 dan hQi bernilai positif.

Fakta bahwa Q sebanding dengan e r2 , mengakibatkan momen qu-



adrupol elektrik memiliki satuan e × (satuan luas), di mana satuan


luas yang sering dibakai adalah b dengan 1 b = 10−28 m2 . Dengan
demikian, satuan Q adalah ebarn dan disingkat eb.6
Mengacu pada nilai momen dipol magnetik µ yang dapat dimya-
takan sebagai fungsi j (Pers. (3.25)), maka momen quadrupol elektrik
inti dapat didekati sebagai

j (2j − 1)
Q= QB . (3.27)
(j + 1) (2j + 1)

Pers. (3.27) mengindikasikan bahwa Q = 0 jika j = 0, j = 12 , atau


QB = 0. QB adalah momen quadrapol dalam ‘body frame’. Nilai QB
diberikan oleh
2
QB = Ze a2 − b2 ,

(3.28)
5
di mana a = R (1 + ε) adalah jari-jari sepanjang sumbu rotasi (atau
sumbu z) dan b = R (1 + ε)−1/2 adalah jari-jari sepanjang sumbu
tegak lurus rotasi atau sumbu xy), dengan ε adalah parameter de-
formasi. Kaitan antara β, bentu inti, dan nilai Q ditunjukkan pada
Gambar 3.14

Contoh : Menyatakan QB sebagai fungsi ε


Nyatakan QB dalam parameter deformasi ε sebagai

Penyelesaian
6
Pada beberapa buku, dipakai sistem satuan atom dengan e = 1, sehingga
satuan Q adalah barn.
92 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Gambar 3.14: Berbagai bentuk inti dan kaitannya dengan parameter


deformasi β dan momen quadrupol Q. Panel kiri; oblate (ε < 0,
Q < 0), tengah: bola (ε = 0, Q = 0), dan kanan: prolate (ε > 0,
Q > 0). (sumber: Loveland, 2006)

Kita gunakan Persamaan (3.28) untuk QB sehingga didapatkan


ketergantungannnya pada parameter deformasi ε sebagai berikut

R2
 
2 2 2
QB = Ze R (1 + ε) −
5 1+ε
!
3
2 2 (1 + ε) − 1
= ZeR
5 1+ε
2 3
 
2 2 3ε + 3ε + ε
= ZeR
5 1+ε
 
2 3ε (1 + ε)
≈ ZeR2
5 1+ε
6
= ZeR2 ε.
5

Contoh : Momen quadrupol elektrik inti


Hitunglah momen quadrupol dari inti 207 Pb
82

Penyelesaian
Pb-207 memiliki 82 proton dan 125 netron. Itu berarti hanya ada
1 netron tak berpasangan di 3p1/2 . Dengan demikian j = 12 , dan ka-
rena itu maka Q = 0.
3.3. MODEL INTI YANG LAIN 93

Contoh : Menduga bentuk inti dari momen quadrupolnya


7 −
Kedaan dasar dari 165

67 Ho stabil dengan I = 2 memiliki QB =
3, 58 eb. Gunakan data ini untuk mencari nilai a dan b serta men-
duga bentuk inti.

Penyelesaian
QB
= 25 Z a2 − b2 =

Dengan menggunakan Persamaan (3.28), didapatkan e
3, 58 b. Karena Z = 67, maka didapatkan a2 − b2 = 0, 13 b = 13 fm2 .
Selanjutnya dengan memanfaatkan ekspresi kerapatan nukleon da-
A 4 3 4 2 7
lam inti ρ = 4
πR3
, maka didapatkan A = 3 πR ρ = 3 πab ρ, atau
3
ab2 = 3A −3 dan A = 165, didapatkan ab2 =
4πρ . Karena ρ = 0, 17 fm
231, 7 fm3 . Selanjutnya dengan memecahkan kedua persamaan, dida-
patkan a = 6, 85 fm dan b = 5.82 fm. Karena a > b, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa inti Ho-165 berbentuk prolate.

3.3 Model Inti yang lain


Selain berbagai keberhasilannya, model kulit juga memiliki kekurang-
an karena gagal menjelaskan beberapa sifat / fenomena inti lain, yang
menunjukkan gerakan nukleon secara kolektif. Contoh fenomena ter-
sebut antara lain

• Kurva fraksi energi inti f sebagai fungsi A tidak bersifat ‘smo-


oth’, tetapi menunjukkan adanya puncak pada inti dengan A
kelipatan 4.

• Inti yang turun ke keadaan dasar memancarkan foton. Da-


ri spektrum foton yang dipancarkan dapat dipelajari struktur
tingkat keadaan eksitasi inti. Pada tingkat eksitasi tertentu di-
dapatkan spektrum yang sederhana, yang menunjukkan adanya
modus gerak inti yang lain, bukan seperti yang digambarkan
oleh model kulit, yang justru memprediksi spektrum eksitasi
yang lebih rumit.
7
Ingat bahwa a = R (1 + ε) dan b = R (1 + ε)−1/2 .
94 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

• Momen quadrupol Lu-177 didapatkan 25 kali lebih besar dari


yang nilai diberikan oleh model kulit. Momen quadrupol yang
besar menunjukkan bahwa wujud inti bukan berupa bola yang
simetris ke segala arah. Dengan kata lain, inti mengalami peru-
bahan bentuk (deformasi). Ini menandakan adanya gerak kolek-
tif nukleon dalam tubuh inti, yang justru tidak dipertimbangkan
oleh model kulit.

• Pada hamburan inelastik, inti mengambil energi dari proyektil


untuk eksitasi. Seringkali perhitungan berdasarkan model kulit
memberikan penampang lintang yang lebih kecil dari data eks-
perimen. Ini menandakan suatu proses eksitasi kolektif nukleon,
sesuai suatu modus gerak kolektif tertentu.

Keseluruhan fenomena di atas, mendorong ilmuwan untuk merumusk-


an model inti alternatif yang bisa menjelasakan fenomena tersebut.
Kita akan mendiskusikan beberapa model alternatif tersebut.

3.3.1 Model alfa

Sejauh inti kita memandang inti sebagai kumpulan proton dan netron,
di mana keduanya dipandang sebagai partikel yang secara ‘langsung’
membentuk inti. Bagaimana kalau misalnya netron dan proton mem-
bentuk ‘cluster’ lebih dahulu, dan kemudian cluster tersebut yang
membetuk inti. Cara pandang ini menjadi relevan jika kita melihat
fraksi energi ikat inti, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.15. Dari
gambar tersebut, terlihat bahwa setiap inti dengan A kelipatan 4 dan
Z kelipatan 2 selalu memiliki fraksi energi ikat yang lebih besar dari
inti tetangganya. Fakta inti memunculkan ide bahwa inti terdiri atas
partikel alfa, atau dikenal sebagai model alfa. Model alfa adalah salah
satu model cluster dengan n = 4.
Dalam model alfa, inti dipandang sebagai kumpulan partikel alfa,
di mana antar partikel alfa dihubungkan dengan ikatan alfa (αbond ),
yang jumlahnya tergantung pada jumlah partikel alfanya. Inti 42 He
terdiri atas 1 partikel alfa, sehingga jumlah αbond -nya adalah 0. Inti
3.3. MODEL INTI YANG LAIN 95

Gambar 3.15: Fraksi energi ikat inti (Sumber Cook, 2005).

8 Be terdiri atas 2 partikel alfa, sehingga jumlah αbond -nya adalah 1.


4
Inti 12 C terdiri atas 3 partikel alfa, sehingga jumlah αbond -nya adalah
6
3. Jumlah αbond menentukan ‘struktur’ intinya, seperi ditunjukkan
pada gambar 3.16.
Misalkan asumsi kita tentang struktur inti menurut model alfa
benar. Jika demikian, maka energi ikat inti B akan dipakai untuk
membentuk n partikel alfa (masing-masing dengan energi ikat Bα =
28, 3MeV) dan sisanya dipakai untuk m membentuk αbond , dengan
energi ikat per bound adalah Bbound . Dengan demikian8

B = n × Bα + m × Bbound .

Tabel 3.7 menunjukkan suatu hasil yang menarik, bahwa nilai energi
Bbond adalah bernilai konstan, sekitar 2,42 MeV. Hal ini merupakan
8
Nilai m pada persamaan ini mengacu pada tabel 3.7, yang dihitung berdasark-
an bentuk yang dipilih dan tidak mengharuskan hubungan antar setiap partikel α.
m−1
Jika setiap partikel alfa dihubungkan, maka m = Σi=1 i.
96 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Gambar 3.16: Struktur inti menurut model alfa (Sumber Cook, 2005).

dukungan bagi model alfa.

Contoh : Rumusan untuk Bbound


Carilah rumusan untuk Bbound . Carilah nilai Bbound per ikatan untuk
inti 16 O.
8

Penyelesaian

Menurut model alfa, energi ikat inti B dipakai untuk membentuk


partikel alfa di mana Bα = 28, 3 MeV, sedang sisanya dipakai untuk
membentuk ikatan alfa dengan energi Bbound . Jika inti terdiri atas n
partikel alfa dan memiliki m ikatan alfa, maka

B − (n × Bα )
Bbound = .
m
16 O, 16
Untuk 8 diketahui bahwa A = 16, B = 127, 62 MeV, n = 4 = 4,
dan m = 6. Dengan demikian

127, 62 − 4 × 28.3
Bbound = = 2, 40 MeV.
6

Nilai ini sama dengan harga pada tabel 3.7.


3.3. MODEL INTI YANG LAIN 97

Tabel 3.7: Energi ikat per αbond pada berbagai inti. (n = jumlah
partikel alfa, m = jumlah ikatan alfa, Bbound = energi ikat antar alfa
per ikatan)
Inti n m Bbound (MeV)
4 He 1 0 0
2
8 Be 2 1 -0.1
4
12 C 3 3 2.42
6
16 O 4 6 2.4
8
20 Ne 5 8 2.39
10
24 Mg 6 12 2.37
12
28 Si 7 15 2.56
14
32 S 8 18 2.52
16
36 Ar 9 20 2.60
18
40 Ca 10 24 2.46
20

3.3.2 Model vibrasi


Menurut model vibrasi, nukleon tidak diam dalam inti melainkan ber-
gerak di mana gerakan kolektifnya menyebabkan permukaan inti ikut
bergetar, seperti sebuah selaput yang bergetar. Getaran ini membuat
bentuk inti tidak tetap melainkan berubah-ubah secara periodik di
sekitar bentuk bola. Secara umum, perubahan tersebut akan muncul
sebagai perubahan jari-jari inti, yang dinyatakan sebagai

R (t, θ, φ) = Rave + Σλ Σλm=−λ aλm (t) Ylm (θ, φ) , (3.29)

1
di mana Rave = 2 (Rmayor + Rminor ). Mengacu pada persamaan di
atas, dikenal berbagai modus vibrasi, yaitu
q
1
• Monopol (λ = 0 atau R (t) = Rave + 4π a00 (t)). Terlihat
bahwa jari-jari inti hanya membesar dan mengecil secara sera-
gam. Hal ini berarti inti mengalami pemuaian dan penyusutan
tanpa mengalami perubahan bentuk dari bentuk lingkarannya.
Monopol teramati sebagai eksitasi dengan energi ratusan MeV.

• Dipol (λ = 1) muncul sebagai pergeseran pusat massa inti tan-


pa merubah bentuknya, dan dapat dipandang sebagai gerakan
98 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Gambar 3.17: Panel atas: Berbagai model deformasi inti akibat vi-
brasi, dari kiri ke kanan: monopol, dipol, quadrupol, oktupol, dan
heksadekapol (sumber: Lylle, 2001). Panel bawah: mekanisme ter-
jadinya dipole (kiri) dan quadrupol (kanan), proton dilambangkan
dengan bulatan hitam sedang netron bulatan putih. (sumber: Cook,
2006)

translasi. Dipol teramati sebagai eksitasi dengan 0 - 20 MeV.


Dipol dianggap timbul sebagai akibat gerakan kolektif proton
dan gerkan kolektif netron ke arah yang berlawanan.

• Quadrupol (λ = 2), muncul sebagai perubahan bentuk inti men-


jadi lonjong akibat gerakan netron dan proton. Kuadrupol ter-
amati sebagai eksitasi dengan di atas 10 MeV. Berbeda dengan
monopol dan dipol yang tidak merubah bentuk inti, maka qu-
drupol menyebabkan perubahan bentuk inti. Dengan demikian,
quadrupol dapat dianggap sebagai vibrasi orde terendah. Ku-
antisasi energi untuk vibrasi disebut fonon, dan untuk kasus qu-
adrupol disebut fonon quadrupol. Fonon quadrupol membawa
momentum dua unit (l = 2) dan paritas genap ((−1)l ). Sa-
lah satu fakta yang bisa dijelaskan dengan teori vibrasi adalah
‘ giant dipole resonance’ pada reaksi (γ,n) pada 208 Pb. Giant
dipole resonance ditunjukkan sebagai sebuah peak besar pada
distribusi penampang lintang total proses tersebut pada energi
3.3. MODEL INTI YANG LAIN 99

γ yang datang.

• Oktupol (λ = 3), muncul sebagai perubahan bentuk inti dalam


3 arah yang berbeda. Contoh oktupol antara lain adalah eksitasi
208 Pb pada energi 2,61 MeV di atas energi dasarnya.

Contoh : Menjelasan ‘giant dipole resonance’.


Jelaskan terjadinya giant dipole resonance. menurut model vibrasi.

Penyelesaian
Menurut model vibrasi, proton bergetar terhadap netron pada sua-
tu frekuensi tertentu. Foton γ yang datang ke inti berinteraksi secara
elektromagnetik dengan proton, tapi tidak dengan netron. Apabila
frekuensi foton γ sesuai dengan frekuensi getar proton terhadap ne-
tron, maka terjadi resonansi sehingga getaran proton semakin kuat.
Kejadian ini ditandai oleh puncak pada penampang lintang total.

3.3.3 Model rotasi

Gerakan vibrasi inti dapat menyebabkan deformasi bentuk inti dari


bentuk lingkarannya. Perubahan ini bersifat lunak dalam arti dapat
hilang sehingga inti kembali ke bentuk dasarnya, yaitu lingkaran. Ka-
rena inti bersifat tak terbedakan, maka sebuah rotasi dapat diamati
hanya jika intinya tidak berbentuk lingkaran. Di alam terdapat be-
berapa inti yang secara permanen bentuknya bukan lingkaran, yaitu
dengan inti jarang (150 < A < 190) atau aktinida (A > 220). Inti ter-
sebut dikenal sebagai inti terdeformasi (deformed nuclei ). Salah satu
efek rotasi yang teramati adalah, inti dengan jarang atau aktanida
dengan A ganjil diketahui mempunyai momen magnetik yang sangat
besar, dibandingkan dugaan teori dengan model kulit.
Secara umum, bentuk inti yang mengalami deformasi akan men-
jadi ellips atau lonjong di mana jari-jarinya diberikan oleh

Rθ = R [1 + βY20 (θ, φ)] . (3.30)

Pada persamaan di atas, Rθ adalah jari-jari inti pada sudut θ se-


100 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

dang R adalah jari-jati


q inti jika inti dianggap berbentuk bola. Kare-
1 5
na Y20 (θ, φ) = 4 π 3 cos2 θ − 1 , maka Rθ hanya bergantung pada


θ dan tidak bergantung pada φ.

Contoh : Mencari ungkapan untuk β


Carilah ungkapan beta dalam R, a = R (θ = 0), dan b = R (θ = π/2),

Penyelesaian
Kita hitung lebih dahulu
" r # " r #
1 5 2 5
3 cos2 0 − 1 = R 1 + β

a = Rθ=0 =R 1+β
4 π 4 π
" r  # " r #
1 5 π  1 5
b = Rθ=π/2 =R 1+β 3 cos2 − 1 = R 1 − β
4 π 2 4 π
r
3 5
a − b = Rβ
4 π
Dengan demikian, maka parameter deformasi β diberikan oleh
r
4 πa−b a−b
β= ≈ 1, 06 , (3.31)
3 5 R R

Contoh : Hubungan antar parameter deformasi


Carilah hubungan antara β dan ε.

Penyelesaian
Kita evaluasi nilai keduanya pada saat θ = 0, di mana
" r #
2 5
a=R 1+β
4 π

a = R [1 + ε] .
q
2 5
Dari kedua hubungan di atas, didapatkan ε = 4 πβ = 1, 98β atau
ε
β = 1, 98.
J2
Energi dari benda yang berotasi adalah E = 2I dengan J adalah
momentum sudut dan I adalah momen inersia. Secara kuantum, J 2
3.3. MODEL INTI YANG LAIN 101

c2 = J (J + 1) ~2 sehingga
harus diganti dengan J

~2
EJ = J (J + 1) . (3.32)
2I
2 2
Dengan demikian, akan didapatkan E1 = 0, E1 = 2 ~2I , E2 = 6 ~2I ,
2
E3 = 12 ~2I dan seterusnya.

Contoh : Menghitung energi rotasi.


Energi eksitasi pertama dari Er-164 adalah 91,4 keV di atas energi
dasarnya (0+ ). Carilah nilai energi rotasinya untuk sembarang J.

Penyelesaian
Karena keadaan dasarnya adalah 0+ , maka keadaan eksitasi perta-
manya adalah 2+ . Eksitasi berikutnya adalah 4+ , 6+ , dan seterusnya.
~2 ~2
Dengan menggunakan 2I = 15, 2 keV, didapatkan E2 = 2I 2 (2 + 1) =
91, 4 keV, E4 = 20 × 15, 2 = 305 keV, E6 = 42 × 15, 2 = 640 keV,
dan E8 = 72 × 15, 2 = 1097 keV. Sebagai perbandingan, nilai hasil
pengukuran adalah E2 = 91, 4 keV, E4 = 300 keV, E6 = 614 keV, dan
E8 = 1025 keV.
Pada kenyataanya, nilai momen inersia bervariasi, tergantung pa-
da bentuk intinya. Untuk inti rigid berbentuk ellips dipakai Irigid =
2 2 ~
5 M R0 (1 + 0, 31β) atau 2Irigid = 6 keV. Untuk inti ‘cair’ berbentuk
9 2 ~
ellip dipakai Icair = 8π M R0 β atau 2Icair = 90 keV.
Sekarang kita bahas efek dari bentuk inti terhadap momen kua-
drupol. Perubahan bentuk inti mempengaruhi nilai QB (yaitu momen
quadrupol dalam ‘body-frame’), mengikuti persamaan

3
QB = √ R02 Zβ (1 + 0, 16β) .

3.3.4 Model Nilsson

Sejauh ini kita telah mendiskusikan berbagai model inti dengan segala
keberhasilannya. Pendekatan independen (yang diwakili oleh model
gas fermi yang merupakan pendekatan klasik dan model kulit yang
merupakan pendekatan kuantum) dan pendekatan kolektif (yang di-
102 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

representasikan oleh model tetes cairan, model vibrasi, model rotasi,


dan model cluster/alfa) berhasil menerangkan berbagai perilaku inti,
dengan caranya yang berbeda-beda. Selanjutnya ilmuwan, di antara-
nya adalah A. Bohr dan B. Mottelson, tertarik untuk menggabungkan
kedua pendekatan tersebut, dalam suatu model yang konsisten. Di
antara pertanyaan yang coba dijawab adalah: ‘bagaimanakah bentuk
tingkat energi inti dan nilai bilangan ajaib jika faktor deformasi inti
diperhitungkan?’.
Ilmuwan yang pertama kali melakukan perhitungan berdasarkan
ide tersebut adalah Nilsson. Ia menggunakan model kulit, tetapi me-
masukkan faktor deformasi inti ke dalam rumusan potensialnya, se-
bagai berikut

1
V (r) = mω 2 r2 (1 − 2βY20 (θ, φ)) + CL.S + DL2 . (3.33)
2

Perhatikan bahwa suku β merepresentasikan deformasi inti (lihat Per-


samaan (3.31)). Sebagai konsekuensi dari kehadiran faktor β dalam
ekpresi potensial inti, maka bentuk tingkatan energi pada inti bergan-
tung pada faktor β, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.18.

Contoh : Menghitung spin inti terdeformasi.


Hitunglah spin Na-23, jika β = 0.12.

Penyelesaian
Na-23 mengandung 11 proton dan 12 netron, sehingga terdapat se-
buah proton tak berpasangan yang merupakan sumber spin inti Na-23.
Dengan menggunakan model kulit (atau menganggap inti berbentuk
bulat, β = 0), proton tak berpasangan tersebut berada pada sub kulit
1d5/2 , sehingga spinnya seharusnya 52 . Ternyata nilai ini berbeda de-
ngan hasil eksperimen, Hal ini wajar, karena Na-23 tidak berbentuk
lingkaran melainkan prolate dengan β = 0.12 (nilai β bisa didapatkan
dari data momen kuadrupol Q dan jari-jari inti rata-rata R). Meng-
acu pada gambar 3.18. Terlihat bahwa untuk β = 0.12, sub orbital
1d5/2 terpecah menjadi 3 keadaan sehingga proton bebas berada pada
3
j = 2. Ternyata, hasil ini sesuai dengan eksperimen, di mana spin
3.3. MODEL INTI YANG LAIN 103

Gambar 3.18: Tingkatan energi menurut model Nilsson (Cook, 2006).


104 BAB 3. MODEL INTI KUANTUM

Na-23 adalah 32 .
Salah satu ramalan model Nielsson adalah nilai bilangan ajaib un-
tuk proton. Menurut model kulit, nilai bilangan ajaib setelah 82 ada-
lah 126. Untuk netron, keberadaan 126 sebagai bilangan ajaib sudah
dibuktikan dalam eksperimen. Untuk proton, keberadaan bilangan
126 sebagai bilangan ajaib belum dapat dibuktikan karena belum di-
temukan inti dengan Z = 126. Model Nilsson sebaliknya meramalkan
114 sebagai bilangan ajaib untuk proton setelah 82.

3.3.5 Gambaran skematis model inti


Di luar model yang sudah kita diskusikan, sebenarnya masih banyak
model lain yang dikembangkan ilmuwan untuk mendapatkan gambar-
an yang lebih baik tentang inti atom. Secara umum, pengelompokan
model inti disajikan pada Gambar 3.19, sedang kronologis perumu-
sannya disajikan pada Gambar 3.20.
3.3. MODEL INTI YANG LAIN 105

Gambar 3.19: Berbagai model inti dan pengelompokannya (Sumber


Cook, 2005)
BAB 3. MODEL INTI KUANTUM
106
Gambar 3.20: Berbagai model inti dan kronologi perumusannya (Sumber Cook, 2005)

Anda mungkin juga menyukai