Anda di halaman 1dari 22

A.

Definisi Hipertensi
Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding arteri ketika darah tersebut
dipompa dari jantung ke jaringan. Tekanan darah mirip dengan tekanan air (darah) di dalam
pipa (arteri). Makin kuat aliran yang keluar dari keran (jantung) makin besar tekanan air
terhadap dinding pipa. Jika pipa tertekuk atau mengecil diameternya (seperti pada
arterosklerosis), maka tekanan darah akan sangat meningkat. Tekanan darah dapat
berubah-ubah sepanjang hari, sesuai dengan situasi. Tekanan darah akan meningkat dalam
keadaan gembira, cemas, atau sewaktu melakukan aktivitas fisik. Setelah situasi ini berlalu,
tekanan darah akan kembali normal. Apabila tekanan darah tetap tinggi maka disebut
tekanan darah tinggi atau hipertensi (Hull, 1996).
Penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah penyakit kronik
akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan
oleh kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya
tekanan pada arterial sistemik, baik diastolik maupun sistolik, atau kedua-duanya secara
terus-menerus (Hull, 1996). Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah
seseorang adalah ≥ 140 mmHg (tekanan sistolik) dan/atau ≤ 90 mmHg (tekanan diastolic)
(Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High
Pressure VII, 2003). Tekanan sistolik menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung
dan tekanan diastolik menunjukkan fase darah kembali ke dalam jantung (Depkes, 2006).
B. Epidemiologi Hipertensi
Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang mengganggu
kesehatan masayarakat. Umumnya, terjadi pada manusia yang berusia setengah baya (> 40
tahun). Namun banyak yang tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi akibat
gejalanya tidak nyata. Pada stadium awal, belum menimbulkan gangguan yang serius.
Sekitar 1,8% - 28,6% penduduk dewasa penderita hipertensi. Prevalensi hipertensi di
seluruh dunia diperkirakan antara 15-20% (Depkes, 2006). Prevalensi hipertensi lebih besar
ditemukan pada pria, daerah perkotaan, daerah pantai dan orang gemuk. Pada usia
setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria daripada wanita. Pada
golongan umur 55-64 tahun, penderita hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. Pada
usia 65 tahun ke atas, penderita hipertensi wanita lebih banyak daripada pria (Depkes,
2006). Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa tingginya tekanan darah berhubungan
erat dengan kejadian penyakit jantung. Sehingga pengamatan pada populasi menunjukkan
bahwa penurunan tekanan darah dapat menurunkan terjadinya penyakit jantung (Depkes,
2006). Seseorang penderita hipertensi mempunyai resiko terserang penyakit jantung
koroner 5 kali lebih besar (Depkes, 2006).
C. Faktor-Faktor Resiko Hipertensi
1. Faktor Demografi
a. Umur
Pada umumnya tekanan darah naik dengan bertambahnya umur terutama setelah
umur 40 tahun (Depkes, 2006). Sejalan dengan proses pertambahan umur, resiko
seseorang terkena penyakit kardiovaskular meningkat. Hal ini dikarenakan efisiensi
sistem kardiovaskular mengalami penurunan dan masalah-masalah yang
berhubungan dengan fungsi sistem tersebut (Black, 1992; Patel, 1995). Survei
epidemiologi menunjukkan bahwa umur merupakan satu dari prediktor terkuat
terjadinya penyakit kardiovaskular termasuk hipertensi. Faktor resiko penyakit
hipertensi berkembang setelah umur mencapai 45 tahun (Black, 1992).
Tekanan sistole yang cenderung naik seiring pertambahan usia menjadi penyebab
besarnya prevalensi hipertensi pada usia di atas 40 tahun. Peningkatan tekanan
sistolik ini terjadi diawali dengan terjadinya kekakuan pembuluh darah arteri yang
belum berbahaya (Kannel, 1990). Menurut Gutewiller et al., dengan bertambahnya
umur, secara perlahan-lahan akan menghilang kemampuan jaringan tubuh untuk
memperbaiki /mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,
sehingga akan makin banyak timbul distorsi metabolik dan struktural, yang disebut
sebagai penyakit degeneratif, termasuk salah satunya hipertensi (Darmodjo, 1999).
Orang dengan tekanan darah normal pada usia 55 tahun, 90 % akan berkembang
menjadi hipertensi pada 25 tahun ke depan (US Departement Health & Human
Services, 2003).
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,resiko
tekanan hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan
usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun.
Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan
darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian
tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi.
Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh
perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih
sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat adalah
meningkatnya takanan darah sistolik (Depkes, 2006).
Prevalensi hipertensi di Indonesia pada golongan umur di bawah 40 tahun masih
berada di bawah 10%, tetapi di atas umur 50 tahun angka tersebut terus meningkat
mencapai 20% hingga 30%, sehingga ini sudah menjadi masalah serius untuk
diperhatikan (Depkes, 2000). Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti
Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut
(55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi sebesar 52,5% (Kamso, 2000).
Kelleher, (1992) mendapatkan prevalensi hipertensi pada lansia sebesar 40%. Pada
NHANES III (The third national Health and Nutrition Examination Survey), dimana
telah diadakan sebuah penelitian dengan mengambil populasi warga sipil US yang
noninstitusional sebanyak 9901 orang yang berusia 18 tahun keatas atau lebih,
menghasilkan keadaan bahwa prevalen hipertensi meningkat bersamaan dengan
meningkatnya umur dalam setiap jenis kelamin dan ras (He, Jiang and Whelton, Paul
K, 1997).
b. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak
yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar 2,29
untuk kenaikan tekanan darah sistolik dan 3,76 untuk kenaikan tekanan darah
diastolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan
tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause,
prevalensi hipertensi pada wanita tinggi. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya
hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh
faktor hormonal. Penelitian di Indonesia angka prevalensi yang lebih tinggi terdapat
pada wanita (Depkes, 2006). Laki-laki disebutkan mempunyai resiko menderita
hipertensi lebih besar dari perempuan (Fisher & Williams, 2005). Hal ini disebabkan
karena pekerjaan dan perilaku perempuan dianggap lebih tidak beresiko, dan
berperilaku sehat (Matlin, 1999). Selain itu pria diduga memiliki gaya hidup yang
cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita
(Karyadi, 2002). Selain itu angka istirahat jantung dan indeks kardiak pada pria lebih
rendah dan tekanan peripheralnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan
pramonopouse pada level tekanan arteri yang sama. Pria juga merespon suatu
latihan beban dengan kenaikan tekanan arteri lebih besar. Setelah manapouse tidak
ditemukan perbedaan hemodinamik antara perempuan sehingga prevalen
hipertensi tidak jauh berbeda (Masserli, 1997). Hal ini ditunjukkan ketika tekanan
darah diukur melalui ambulatory monitoring selama 24 jam, hasil menunjukkan
bahwa tekanan darah laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, pada kelompok
umur yang sama. Akan tetapi setelah monopouse tekanan darah perempuan akan
meningkat, bahkan jauh lebih tinggi daripada laki-laki
(http://hyper.ahajornals.org/hypertension– abstracts reckelhoff 37 (5) 1199.htm).
Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi
dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Pratiwi, 2004).
Hasil penelitian Boedhi Darmojo, dkk tahun 1989 menemukan bahwa prevalen
hipertensi pada perempuan (16,0%) lebih besar daripada laki-laki (13,6%). Begitu
pula di berbagai daerah di Indonesia ditemukan bahwa perempuan mempunyai
prevalen hipertensi lebih besar daripada laki-laki (Darmojo, 1994). Para peneliti
menghubungkan hal tersebut terhadap penurunan hormone estrogen sepanjang
monopouse yang dimulai setelah umur mencapai kira-kira 50 tahun. Estrogen
dihubungkan dengan tingkat HDL yang lebih tinggi dan LDL yang lebih rendah
(Soeharto, 2002).
c. Keturunan
Salah satu faktor hipertensi esensial adalah tingginya peranan faktor keturunan yang
mempengaruhi. Ini dapat terlihat antara lain dengan adanya penggolongan
hipertensi berdasarkan pada anggota keluarga derajat pertama (orang tua, saudara
sekandung, anak). Orang yang ada kejadian hipertensi dalam keluarganya
mempunyai resiko untuk mendapat hipertensi lebih besar daripada yang tidak
mempunyai hipertensi dalam keluarganya (Darmojo, 1994). Tentunya faktor genetik
ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan
sesorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme
pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006). Menurut Davidson bila
kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-
anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar
30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2006).
Dari hasil penelitian, diungkapakan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua yang
salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai resiko lebih
besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal
(tidak hipertensi). Kaplan, 1983 menyatakan bahwa kemungkinan untuk menderita
hipertensi pada seseorang yang orang tuanya mempunyai riwayat hipertensi sebesar
2 kali lipat dibandingkan dengan orang lain yang tidak mempunyai riwayat hipertensi
pada orang tuanya. Abdulrochim, 1982 menyatakan bahwa kembar monocygot
menunjukkan korelasi yang tinggi, baik tekanan sistolik maupun diastolik bila
dibandingkan dengan anggota keluarga lain.
Hasil penelitian pada 514 individu yang berasal dari 135 keluarga di Chuvasha, Rusia
menunjukkan bahwa variasi tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik
dipengaruhi oleh faktor genetik (http://hyper.ahajornals.org/hypertension –
abstracts Livshits and Gerber 37 (3) 928.htm). Berdasarkan penelitian dr. Daniel S
Seidman dari rumah sakit CarmelHaifa-Israel, pada 11.428 anak laki-laki dan
perempuan berusai 17 tahun, yang disampaikan pada pertemuan perkumpulan
international untuk studi hipertensi pada masa kehamilan di Seatle, AS, bulan
Agustus 2000, didapatkan hasil bahwa anak laki-laki yang ibunya menderita darah
tinggi ketika mengandung, mempunyai hampir dua kali lipat kemungkinan terkena
darah tinggi (http://www.kompas.com/9609/22/IPTEK/hipe.htm).
d. Suku / Golongan Etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan, genetika, gaya
hidup, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka kesakitan dan kematian
(Sutrisna, 1994). Pada kelompok orang dewasa di Amerika, kenaikan tekanan darah
seiring umur dijumpai lebih banyak pada orang berkulit hitam daripada orang kulit
putih (Kaplan, 1994). Besar variasi antar suku di Indonesia, Lembah Baliem Jaya (0,6
%), Sukabumi, Jawa Barat (28,6%) (Darmojo, 1994).
e. Status Sosial Ekonomi
Hipertensi dikenal juga sebagai ”heterogeneous group of disease” karena dapat
menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan sosial ekonomi (Astawan,
2005). Menurut Sutrisna (1994), yang dimaksud status sosial ekonomi yaitu tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan dan status perkawinan. Hal tersebut dapat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan, maka
tidak mengherankan jika ada perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau
kematian antara berbagai kelas sosial. Status sosial ekonomi seseorang, dapat
mempengaruhi munculnya hipertensi, seperti misalnya pekerjaan, jumlah anggota
dalam keluarga dan kepadatan penduduk (Fisher & Williams, 2005).
SementarabMatlin menambahkan dengan pendidikan, pendapatan, dan kebanggan
(prestise) keluarga. Stress sosial ekonomi merupakan prediktor yang paling baik
untuk umur harapan hidup, kesehatan, dan kesakitan (Matlin, 1999).
Faktor pelayanan kesehatan (pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi serta faktor
perilaku (sikap dan perbuatan, serta adat istiadat) mempengaruhi status kesehatan
masnusia (Blum, 1983). WHO menyebutkan selain melalui perilaku diet, aktifitas
fisik, dan konsumsi alkohol, tingkat sosial ekonomi berpengaruh terhadap hipertensi
melalui akses pada fasilitas kesehatan. Akses pada pelayanan kesehatan yang
meliputi program promosi kesehatan, program pencegahan, dan program
pengobatan berpengaruh secara sinergik terhadap hipertensi. Pemanfaatan fasilitas
pelayanan kesehatan ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, jarak dari jalan raya,
pengalaman sebelumnya, umur, dan jumlah aanggota keluarga (Kodim, 2004).
Kualitas pelayanan kesehatan lebih sering terpaku pada pembiayaan pelayanan
kesehatan. Di Indonesia biaya pelayanan kesehatan atau biaya pelayanan medis
makin lama semakin tinggi, dan kenaikan biaya itu akan menjadi baban yang berat
selama sistem pembayaran pelayanan medis dibayar oleh pribadi secara tunai
(M.Imam Basuki dalam Wiknjosastro, 1993). Penelitian yang dilakukan oleh
Moriyana, Krueger dan Stamler (1971) dalam Khairani (2003) menunjukkan bahwa
semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tinggi tekanan darah. Darmojo
(1994) menyatakan bahwa Dyer dkk (1976) dan Marmot (1979) telah melaporkan
bahwa data epidemiologi menunjukkan bahwa tekanan darah mempunyai tendesi
lebih tinggi pada golongan pendidikan sosial ekonomi rendah. Ternyata Kartari dkk
(1988) dalam Darmojo (1994) memang menemukan prevalensi yang tinggi
dikalangan penduduk yang buta huruf (18,9%) tetapi angka yang tertinggi, seperti
yang diharapkan, ditemui pada golongan pekerja administrasi dan manajer (25,0%).
Pada kaum pengangguran ditemukan prevalensi hipertensi sebesar 9,6%.
f. Geografi dan Lingkungan
Pada kebanyakan tempat di dunia dapat dibedakan tiga macam keadaan iklim. Salah
satunya iklim laut dengan sifat khasnya sering terjadi putaran udara karena kuatnya
angin sepanjang pantai yang menyebabkan efek penyejuk pada badan manusia, dan
intensitas yang besar dari sinar radiasi matahari yang terpantul. Sinar radiasi
matahari yang berlebihan dapat menyebabkan kegugupan, hilangnya nafsu makan,
mual, lelah, pusing, dan susah tidur (Slamet, 1998). Terdapat pula perubahan suhu
harian dan musim yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah pedalaman,
kelembaban yang lebih besar, dan kadar trace element yang lebih tinggi seperti
ozon, iodium dan megnesium serta kadar renik polusi udara selama angin laut yang
kuat tetap berhembus (Karhiwikarta, 1998). Iklim pegunungan (dataran tinggi)
mempunyai kekhususannya pula, yaitu terdapat perbedaan dan lebih intensifnya
spektrum radiasi matahari. Di atas 2000 m bahkan gelombang 278 mµ, yaitu sinar
ultraviolet, dapat mencapai badan kita. Radiasi ultraviolet yang kuat, dapat
menyebabkan bertambahnya sekresi asam lambung, kalsium dan fosfat serum
darah. Cekaman cuaca dingin menyebabkan kenaikan produksi 17 ketosteroid oleh
korteks kelenjar adrenal dan meningginya daya resistensi, sedangkan cuaca panas
menyebabkan kadar 17-ketosteroid rendah, dan merendahkan pula resistensi tubuh
(Karhiwikarta, 1998).
Berbagai reaksi fisiologis dan bahkan gejala patologis tubuh dapat terjadi karena
perubahan cuaca. Sehubungan dengan hal ini penting pengaruh cuaca pada daya
tahan setempat (local resistance) maupun umum terhadap penyakit infeksi. Daya
tahan setempat yang berupa resistensi pembuluh darah kapiler misalnya, menurun
(permeabilitas bertambah) setelah adanya aliran udara panas (heat sterss) dan
sebaliknya bertambah setelah adanya aliran dingin. Daya tahan umum yang berupa
perubahan kimia darah kemungkinan ada hubungannya dengan perubahan pola
makanan sesuai dengan musim (Karhiwikarta, 1998). Daya tubuh seseorang sangat
dipengaruhi oleh kecukupan gizi, aktivitas, dan istirahat. Dalam hidup modern yang
penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolahraga dan berusaha mengatasi
stresnya dengan merokok, minum alkohol, atau kopi sehingga daya tahan tubuh
menjadi menurun dan memiliki resiko terjadinya penyakit hipertensi.
Kuhnke (1956) dalam Karhiwikarta, 1998. di Jerman telah mencoba
menghubungkan gejala-gejala tadi dengan keadaan atmosfir beserta perubahan-
perubahannya di satu pihak dan situasi cuaca umumnya di pihak lain. Pada
kombinasi keadaan atmosfir dan situasi cuaca tertentu secara empiris statistis
terdapat gejala yang menonjol dari kelelahan umum dan kelelahan subjektif seperti
keluahan penyakit jantung dan peredaran darah, keadaan spasme dan kolik,
peristiwa kematian, infark jantung, peninggian peristiwa ke arah perdarahan,
perlambatan waktu reaksi dan bertambahnya angka kecelakaan Dari hasil-hasil
tersebut, terutama dipandang dari masalah kemampuan kerja, Kuhnke dan Schulze
(1962) dalam Karhiwikarta, 1998 menyimpulkan terdapat tiga jenis situasi cuaca di
Eropa Tengah yaitu salah satunya situasi yang jelas mengakibatkan penurunan
fungsi-fungsi tubuh, yaitu keadaan cuaca yang umumnya disertai dengan pengaruh
(adveksi) yang kuat dari udara tropik. Pada situasi cuaca ini didapat presentase tinggi
dari penduduk merasa lemah dan lelah disertai berkurangnya keinginan kerja dan
konsentrasi, terutama jenis kerja yang memerlukan usaha lama.
Lehman (1964) dalam Karhiwikarta, 1998 menekankan bahwa rendahnya prestasi
kerja penduduk tropis bukanlah suatu hal yang berhubungan dengan bakat pemalas
(indolen), karena dapat pula dialami oleh kaum pendatang yang tinggal lama di
daerah tropis. Sebab primernya adalah menurunnya kebugaran jasmani atau
kapasitas kerja fisik dan daya aklimatisasi (adaptasi) sebagai akibat terbatasnya
gerak atau aktivitas fisik karena pengaruh iklim panas dan lembab. Namun
diingatkan pula bahwa keadaan tersebut dalam jangka waktu lama dapat pula
mempengaruhi mental psikologis, sosial-budaya, dan ekonomis.
Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia bernapas
udara sekitarnya setiap detik. Makanan manusia diambil dari sekitarnya, demikian
pula minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Tergantung dari taraf budayanya,
manusia dapat sangat erat atau kurang erat hubunganya dengan lingkungan.
Natrium merupakan salah satu parameter kimiawi syarat air minum. Natrium
elemental (Na) sangat reaktif, karenanya bila berada di dalam air akan terdapat
sebagai suatu senyawa. Natrium sendiri bagi tubuh tidak mrupakan benda asing,
tetapi toxixitasnya tergantung pada gugus senyawanya. Seperti NaOH atau hidrixida
Na ini sangat korosif, tetapi NaCl justru dibutuhkan oleh tubuh (Slamet, 2000).
Prevalensi hipertensi pada penduduk di daerah pentai lebih tinggi daripada
penduduk di daerah pegunungan atau pedalaman. Prevalensi hipertensi pada orang-
orang yang melakukan migrasi akan sangat berbeda dengan prevalensi hipertensi di
daerah asalnya (Abdulrochim, 1982; Bustan, 2000). Terdapatnya perbedaan keadaan
geografis, dimana daerah pantai lebih berisiko terjadinya penyakit hipertensi
dibading dengan daerah pegunungan, karena daerah pantai lebih banyak terdapat
natrium bersama klorida dalam garam dapur sehingga konsumsi natrium pada
penduduk pantai lebih besar dari pada daerah pegunungan (Slamet, 2000). Garam
sangat berperan dalam patofisiologi hipertensi. Pada penduduk yang mengkonsumsi
garam minimal (< 3 gr/hr) hipertensi hampir tidak pernah ditemukan, sedangkan
pada penduduk yang mengkonsumsi garam antara 5–15 gr/hr prevalensi hipertensi
meningkat menjadi 15-20 %. Dengan demikian dapat dijelaskan kenapa masyarakat
pantai mempunyai resiko yang lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan
masyarakat pegunungan (Soeparman,et al., 1994).

2. Faktor Status Kesehatan


a. Kegemukan (Obesitas)
Rasio berat terhadap tinggi badan mengindikasikan berat badan yang terkait dengan
tinggi badan. Rasio ini berguna untuk mengukur gizi lebih dan obesitas dalam
populasi orang dewasa. Selanjutnya rasio ini terkadang mengarah pada indikator
obesitas (Gibson, 2005). Seseorang dikatakan kelebihan berat badan atau
kegemukan apabila berat badanya melebihi 10-20 % dari berat badan normal
(Soeharto, 2004). Obesitas akan menambah beban kerja jantung. Keadaan ini
meningkatkan resiko terjadinya tekanan darah tinggi, kencing manis, dan kolesterol
(Depkes, 2006). Obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan
dalam IMT yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan dalam meter
kuadrat (Kaplan & Stamler, 1991). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan
kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT
berkolerasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Kelebihan berat badan dan obesitas adalah problem kesehatan yang paling sering
pada masyarakat maju atau bisa disebut orang yang mampu, namun bukan berarti
masyarakat sosial ekonomi rendah terlepas dari masalah ini. Menurut penelitian di
Australia obesitas mengakibatkan 2/3 penyakit diabetes tipe 2 dan mengakibatkan
1/3 jumlah penderita hipertensi. Orang obesitas juga diperkirakan akan meninggal
dua kali lebih cepat dari orang dengan berat badan normal (State Goverment of
Victoria, 2004 dalam Depkes RI 2006). Dari hasil penyelidikan epidemiologi terbukti
bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi hipertensi (Soeparman et.al.,
1994). Obesitas mempunyai hubungan yang erat dengan prevalens hipertensi dan
meningkatnya insidens hpertensi ketika berat badan bertambah (Kaplan et al.,
1990). Mekanisme pasti yang menjelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi
belum ada, namun pada beberapa penelitian diperoleh bahwa curah jantung dan
sirkulasi hipertensi dengan berat badan normal. Pada obesitas, tekanan perifer
berkurang atau normal, aktivitas syaraf simpatis meninggi dan aktivitas renin plasma
rendah (Soeparman et al., 1994). Resiko relatif untuk menderita hipertensi pada
orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang berat
badannya normal. Sedangkan pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-23%
memiliki berat badan lebih (overweight). Penentuan obesitas pada orang dewasa
dapat dilakukan pengukuran berat badan ideal, pengukuran persentase lemak tubuh
dan pengukuran IMT. Pada studi-studi populasi IMT banyak digunakan untuk
mengukur resiko penyakit di antara orang dewasa (Gibson, 2005). Pengukuran
berdasarkan IMT dianjurkan oleh FAO, WHO, UNU tahun 1985. Nilai IMT dihitung
menurut rumus (Depkes, 2006):

Tabel batas ambang diatas telah dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman dan hasil
penelitian di beberapa negara berkembang (Depkes, 2006). Peningkatan IMT
berhubungan dengan peningkatan resiko hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, faktor
resiko penyakit kardiovaskular, dan kematian. Tentu saja resiko relative penyakit
kardiovaskular beserta factor resikonya menigkat seiring dengan peningkatan level
IMT pada semua populasi (Gibson, 2005). Orang-orang dengan obesitas mempunyai
kelebihan penyimpanan lemak di bawah kulit, dada, dan abdomen. Lemak
merupakan simpanan energi tubuh dan berasal dari makanan yang mengandung
lemak, karbohidrat, dan protein. Jika tubuh tidak membakar kelebihan kalori, maka
tubuh akan menyimpan kelebihan kalori sebagai lemak di dalam tubuh. Pada orang
yang kelebihan berat badan jantung akan bekerja lebih keras untuk menyuplai darah
(Patel, 2005). Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15-20%
dari berat badan total dan pada wanita sekitar 20-25 %. Jumlah lemak pada tubuh
seseorang umunya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, yang umunya
disebabkan oleh semakin melambatnya metabolisme tubuh dan berkurangnya
aktifitas fisik (Soeharto, 2004).
Kegemukan pada umumnya terjadi karena usia, ketidak seimbangan energi yang
masuk dan yang keluar, genetik, penggunaan pil/injeksi KB, dan psikologis (Salma &
Padri, 2004). Umur memberikan hubungan korelasi positif terhadap indeks masa
tubuh (IMT). Hal ini sejalan dengan penelitian Mawi (2004) dalam Mukhlisa 2007 di
Jakarta Utara dan Jakarta Timur yang menunjukkan bahwa setelah usia 50 tahun IMT
semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia, baik pada laki-laki maupun
perempuan. Kaplan (2000) menemukan bahwa hanya dengan menurunkan berat
badan, yoga, dan relaksasi otot dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan.
Kegemukan adalah faktor resiko hipertensi yang kuat dan independen pada semua
ras dan kelompok sosial ekonomi. Penambahan berat juga memiliki kontribusi pada
banyak peningkatan tekanan darah pada usia lanjut dan kegemukan menjadi salah
satu prediksi terbaik resiko dari perkembangan hipertensi. Pada suatu studi kohort
didapatkan bahwa responden dengan kelebihan berat 5 kg, 60% lebih besar
mendapatkan resiko relatif terjadinya hipertensi dibandingkan responden tidak
mempunyai kelebihan berat badan atau > 2 kg. Pada hasil studi Farmingham,
menunjukkan bahwa kenaikan berat badan 10 kg meningkatakan tekanan darah
sebesar 4,5 mmHg (Kaplan, 2002 dalam Fenida 2003).
b. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis karena tubuh tidak dapat menghasilkan
insulin atau hanya sedikit menghasilkan insulin atau menahan insulin sehingga tidak
dapat diproduksi. Akibat dari defisiensi insulin dan kadar gula dalam darah
meningkat yang selanjutnya dapat membahayakan pembuluh darah. Sebagaimana
diketahui, insulin berfungsi menangkut glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai
sumber energi dan disimpan sebagai glikogen (Patel, 1995; Andrews; Goldberg;
Jonhson, 1996). Insidens diabetes mellitus serupa antara pria dan wanita serta dapat
dijumpai pada segala umur.
c. Diagnosis DM dapat dipastikan jika terdapat salah satu hasil pemeriksaan yaitu
antara lain apabila terdapat gejala klasik DM dengan kadar glukosa darah sewaktu
e”200 mg/dl, gejala klasisk DM dengan kadar glukosa darah puasa e”126 mg/dl, dan
pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah 2 jam > 200 mg.dl sesudah pemberian beban glukosa 75 g. Gejala klasik DM
yaitu seperti sering kencing, cepat lapar, sering haus, berat badan menurun cepat
tanpa penyebab yang jelas (Depkes, 2006).
Perjalanan penyakit diabetes melitus dipengaruhi oleh berbagai faktor resiko yaitu
faktor resiko yang tidak dapat diubah (umur, jenis kelamin, keturunan, suku, dan
budaya/adat istiadat), faktor resiko perilaku yang dapat diubah (merokok, konsumsi
alkohol, kurang aktifitas fisik, kurang konsumsi serat, konsumsi lemak tinggi, dan
konsumsi kalori tinggi), faktor resiko lingkungan (kondisi ekonomi daerah,
lingkungan sosial seperti modernisasi, dan status sosial-ekonomi), dan faktor resiko
fisik dan biologi (obesitas, hipertensi, hiperglikemia, toleransi glukosa terganggu, dan
dislipidemia) (Depkes, 2006).
Dalam sebuah penelitian kohort prospektif di Dubbo, New South Wales, yang
melibatkan 1233 laki-laki dan 1572 perempuan usia lanjut, diamati dan dilakukan
analisa survivalnya. Pada akhir penelitan, peneliti menyimpulkan bahwa
berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut disebabkan karena
merokok, diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio diabetes melitus pada laki-laki
sebesar 1,61 (95%CI 1,28-2,03) dan pada perempuan sebesar 1,94 (95%CI 1,49-2,53)
(Simon, et.al., 2005). Pada mereka yang berkadar insulin tinggi karena diabetes,
menyulitkan jantung memompa darah karena darah menjadi lebih kental.
Akibatnya, tekanan harus ditingkatkan agar suplai darah tetap terjamin. Lama-lama,
jadilah tekanan darah tinggi permanen. Dallas Heart Disease Prevention Project,
yang dimulai tanggal 1 Juli 2000, telah mewawancara lebih dari 4000 partisipan di
kota Dallas. Dari sejumlah itu, sebanyak 1186 merupakan kasus hipertensi atau
tekanan darah tinggi dan dari sebanyak itu, 417 orang terdiagnosis terkena diabetes.
Dari 417 orang itu 73 orang tidak menyadari meningkatnya level glukosa darah, yang
menghasilkan penyakit diabetes (Khania, 2002).
3. Faktor perilaku
a. Stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa lajut,
rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin
dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah
meningkat. Jika stess berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang
muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan prevalensi atau
kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi
dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang
kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu
dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya
perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologi, psikologi, sosial) yang
ada pada diri seseorang (Damayanti, 2003). Peningkatan tekanan darah akan lebih
besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi
(Pinzon, 1999). Stress merupakan pengalaman emosional negatif yang dialami
seseorang, yang lebih besar dari kemampuannya untuk beraksi. Stress dapat terjadi
karena adanya bencana atau kehilangan, peristiwa penting dalam hidup atau karena
peristiwa kecil harian (Matlin, 1999). Oleh karena stress, maka tubuh akan bereaksi,
termasuk antara lain berupa ketegangan otot, meningkatnya denyut jantung, dan
menigkatnya tekanan darah. Reaksi ini dipersiapkan tubuh untuk bereaksi secara
cepat, yang apabila tidak digunakan, maka akan dapat menimbulkan penyakit,
termasuk hipertensi (Greenberg, 1999).
Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi wanita berusia
45-64 tahun, jumlah faktor psikososial seperti keadaan tegang, ketidakcocokan
perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, mobilitas pekerjaan, gejala ansietas
dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit kardiovaskuler apapun.
Studi eksperimental pada laboratorium animals telah membuktikan bahwa faktor
psikologis stress merupakan faktor lingkungan sosial yang penting dalam
menyebabkan tekanan darah tinggi, namun stress merupakan faktor resiko yang
sulit diukur secara kuantitatif, bersifat spekulatif dan ini tak mengherankan karena
pengolahan stress dalam etikologi hipertensi pada manusia sudah kontroversial
(Henry & Stephens, 1997 dalam Kamso, 2000).
b. Merokok
Merokok merupakan suatu proses pembakaran yang menimbulkan polusi udara dan
secara sadar dihirup dan diserap oleh tubuh manusia (Hoepoedio, 1988). Rokok
mengandung lebih dari 40000 komponen bahan kimia diantaranya adalah nikotin
dan karbonmonoksida. Nikotin dapat menyebabkan kerusakan lapisan dalam
pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah dan kecanduan. Sedangkan karbon
monoksida dapat mengikat Hb darah sehingga tubuh kekurangan oksigen dan dapat
menyebablan penyumbatan pembuluh darah. Rokok mengandung nikotin, yang
merupakan bahan pemberi kenikmatan pada rokok, yang dapat, meningkatkan
denyut jantung, tekanan darah sistolic dan tekanan darah diastolik. Peningkatan
denyut jantung pada perokok terjadi pada menit pertama merokok dan sesudah 10
menit peningkatan mencapai 30 %. Menurut Winniford (1990) dalam Hasudungan
(2002). lebih jauh mengatakan bahwa efek merokok akan meningkatkan kadar asam
bebas lemak dalam plasma yang dapat mengurangi jumlah kadar lemak HDL. Selain
itu merokok juga akan menghadirkan LDL, yang sebagai kolesterol jahat, yang akan
menyebabkan penyempitan arteri akibat terjadinya penumpukan kolesterol pada
dinding arteri dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi. Pada orang
merokok keadaan jantung juga tidak dapat bekerja dengan efisien. Oleh karena itu
seorang yang menderita hipertensi yang disertai dengan merokok dan
hiperkolesteromia akan memiliki resiko terkena penyakit jantung koroner 8 kali
(Kannel, 1990 dalam Hasudungan 2002). Farmingham Heart Study menemukan
bahwa merokok menurunkan kadar kolesterol baik (HDL). Penurunan HDL pada laki-
laki rata-rata 4,5 mg/dl dan pada perempuan 6,5 mg/dl. Penelitan yang dilakukan
oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang
merokok dua puluh batang atau lebih per hari, mengalami penurunan kadar HDL
sekitar 11 % pada laki-laki dan 14 % pada perempuan.
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui
rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri, dan mengakibatkan proses arterosklerosis, dan tekanan darah tinggi.
Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya
arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut
jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada
penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan resiko kerusakan pada
pembuluh darah arteri (Depkes, 2006). Pada perokok, asap rokok mengandung gas
karbon monoksida yang lebih cepat mengikat hemoglobin dibanding oksigen.
Akibatnya suplai oksigen yang seharusnya dibawa darah berkurang. Jantung harus
meningkatkan daya tekan agar suplai darah bertambah untuk mengangkut
kekurangan oksigen. Tekanan tinggi yang terus-menerus, menyebabkan dinding
pembuluh darah tidak tahan dan terjadilah kerusakan di mana-mana. Pembuluh
darah menjadi tidak beraturan, tebal, mengeras, sehingga terjadi penyumbatan dan
tekanan darah akan semakin meningkat (http://www.kompas.com/9609/22
/IPTEK/hipe.htm).
Perokok yang berhasil meninggalkan rokok menghadapi masalah yang berhubungan
dengan peningkatan berat badan. Hal ini terjadi karena peningkatan nafsu makan.
Selain itu, orang yang tidak merokok cenderung “mengemil” (Patel, 1995).
Sedangkan menurut Kaplan dan Stemler (1994) berhenti merokok sering
meningkatkan berat badan dan meningkatnya tekanan darah bukan karena nikotin,
tetapi karena bertambahnya berat badan. Merokok dapat menurunkan kesukaan
pada makanan sehingga berat badan berkurang dan dengan berhenti maka berat
badan akan meningkat. Dalam sebuah penelitian kohort prospektif di Dubbo, New
South Wales, yang melibatkan 1233 laki-laki dan 1572 perempuan usia lanjut,
diamati dan dilakukan analisa survivalnya. Pada akhir penelitan, peneliti
menyimpulkan bahwa berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut
disebabkan karena merokok, diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio merokok
(current smoker) pada laki-laki sebesar 1,84 (95%CI 1,44-2,35) dan pada perempuan
sebesar 1,63 (95%CI 1,24-2,15) (Simon, et.al., 2005).
c. Alkohol
Meskipun alkohol mempunyai efek positif yaitu berupa vasodilaor, alkohol juga
berkaitan dengan pengentalan lipoprotein. Meskipun sedikit, alkohol dapat
meningkatkan tekanan darah sedangkan penggunaan alkohol yang terus menerus
dalam jumlah yang banyak berakibat keracuanan jantung, sclerosis dan fibrosis
dalam arteri kecil yang dapat menunjukkan adanya micro infark.(Kaplan, 1990;
Soeparman et al., 1994).
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme
peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga
peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa studi
menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, dan
diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila
mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara
barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap
terjadinya hipetensi. Sekitar 10 % hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan
alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan
meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini
(Depkes, 2006).
Wasir (1998) menyatakan bahwa berlebihan mengkonsumsi alkohol (>2 gelas
bir/wine/whiskey/hari) merupakan faktor resiko hipertensi. Menurut suatu
penelitian, diluar efek usia hipertensi lebih sering ditemukan pada orang yang
berkulit hitam/peminum alkohol. Pada penelitian ini diketahui bahwa asupan
alkohol mempunyai hubungan dengan hipertensi (Saputra 1998). Dalam suatu
penelitian yang dilakukan oleh Arthur L Klatsky dkk. 1964 terhadap 83.947 penduduk
yang terdiri dari 3 ras suku bangsa, 83,5% adalah kulit putih, menunjukkan bahwa
konumsi alkohol paling sedikit 3 kali sehari merupakan faktor resiko terjadinya
hipertensi (Saputra, 1998). Resiko terkena hipertensi meninggi apabila meminum
alkohol lebih dari 3 kali perhari (Kaplan, 1990; Soeparman et.al., 1994). Menurut
Mac Mahon (1987) yang dikutip dari Kaplan (1990), 10 % hipertensi pada laki-laki
disebabkan oleh alkohol. Pengurangan konsumsi alkohol 10-20 gr/hr dapat
menurunkan tekanan darah.
d. Aktivitas Fisik
Aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan
mengeluarkan tenaga dan energi, yang biasa dilakukan atau rutunitas sehari-hari
sesuai profesi atau pekerjaan. Olahraga adalah aktifitas fisik yang terencana dan
terstruktur yang memanfaatkan gerakan tubuh yang berulang untuk mencapai
kebugaran. Aktivitas fisik dalam bentuk olahraga merupakan bentuk pemberian
rangsang berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberi rangsangan
secara teratur dengan takaran dan waktu yang tepat. Aktivitas fisik atau olahraga
yang dilakukan secara teratur berdasarkan kaidah tertensu sudah dapat
menimbulkan adaptasi setelah minimal 4-6 minggu. Bila rangsang diberikan sesuai
dan tepat maka akan terjadi adaptasi lengkap yang berdampak terhadap tingkat
kebugaran jasmani (Depkes, 2006).
Pada usia lanjut terjadi penuruanan massa otot serta kekuatannya, laju denyut nadi
maksimal, toleransi latihan, kapasitas aerobik dan terjadinya peningkatan lemak
tubuh ( Hadi et al., 1992; Whiteboard, 1995). Aktivitas fisik dalam bentuk olahraga
secara teratur memberikan banyak keuntungan bagi para lanjut usia. Keuntungan
tersebut antara lain berkurangnya berat badan, tekanan darah, kadar kolesterol
serta penyakit jantung. Olahraga secara teratur juga dapat menunda efek-efek
penuaan dan mengurangi kemungkinan depresi (Pickering,1996). Wackers (1992)
mengemukakan bahwa keuntungan dari aktivitas fisik atau olahraga adalah
meningkatkan perlindungan tubuh terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah.
Olahraga teratur juga membantu seseorang mengontrol faktor resiko lain seperti
obesitas, stress, hipertensi, dan kadar lipid dalam darah.
Olahraga dapat mengurangi tekanan darah bukan hanya disebabkan berkurangnya
berat badan, tetapi juga disebabkan bagaimana tekanan darah tersebut dihasilkan.
Tekanan darah ditentukan oleh dua hal yaitu jumlah darah yang dipompakan
jantung per detik dan hambatan yang dihadapi darah dalam melakukan tugasnya
melalui arteri. Olahraga dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah kaliper
yang baru dan jalan darah yang baru. Dengan demikian hal yang menghambat
pengaliran darah dapat dihindarkan atau dikurangi, yang berarti menurunkan
tekanan darah. Walaupun kesanggupan jantung untuk melakukan pekerjaannya
bertambah melalui olahraga, pengaruh dari berkurangnya hambatan tersebut
memberikan penururnan tekanan darah yang sangat berarti (Kuntaraf & Kuntaraf,
1992).
Aktifitas fisik dengan intensitas rendah sampai sedang (seperti melakukan pekerjaan
rumah tangga, berkebun, olahraga bowling atau golf) yang dilakukan sekurangnya
21 jam per minggu dilaporkan Grylls (2003) membantu mengontrol berat badan.
Orang dengan skor aktivitas tinggi, dimana aktivitas fisik yang diukur adalah aktivitas
di rumah atau pada waktu bekerja, aktivitas olah raga dan kebiasaan berjalan kaki,
berhubungan dengan indeks masa tubuh yang lebih rendah (Samaras et al., 1999).
Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melibatkan 8.604 responden berusia
lanjut mendapatkan bahwa orang yang mempunyai aktivitas fisik tinggi mempunyai
umur harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang beraktivitas
rendah, baik pada kelompok perokok maupun pada kelompok bukan perokok
(Ferrucci, et.al, 1999). Pada fisik yang senantisa aktif, pembuluh darah cenderung
lebih elastis, sehingga mengurangi tahanan di perifer (Warborton, et.al., 2006).
Sementara itu aliran darah yang meningkat karena aktivitas fisik dapat menjaga
endotel pembuluh darah arteri dengan dihasilkannnya NO (Nitrit Oksida), suatu
bahan yang bersifat vasodilator (Kusmana, 2001).
Penelitian lain oleh Paffenbarger dari Universitas Stanford yang meneliti 15.000
tamatan Universitas Harvard untuk 6-10 tahun. Selama penelitian berlangsung,
didapatkan bahwa 681 tamatan harvard tersebut menderita hipertensi (160/95).
Ternyata alumni yang tidak terlibat dalam olahraga dan kegiatan mempunyai resiko
untuk mendapatkan hipertensi 35% lebih besar dari mereka yang berolahraga.
(Kuntaraf & Kuntaraf, 2000). Penelitian dari John Hanson dan William Nedde dari
Universitas Vermot juga menunjukkan bagaimana olahraga mengurangi tekanan
darah. Penelitan tersebut meneliti sekumpulan penderita hipertensi. Untuk tujuh
bulan mereka dibimbing dalam olahraga, yang meliputi lari jauh, senam, dan bahkan
olahraga kompetisi. Pada akhir penelitian tersebut ternyata tekanan darah rata-rata
mereka telah turun dari 162/92 menjadi 134/75 (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992). Bukti
langsung dari keuntungan olahraga bagi mereka yang telah menderita tekakan darah
tinggi sangat penting, sebab ini menunjukkan bahwa olahraga bukan hanya
menghindarkan tekanan darah tinggi, tetapi juga menurunkan tekanan darah dari
mereka yang telah menderita penyakit tersebut (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).
Berbagai penelitian membuktikan, bahwa ternyata tekanan darah tinggi yang ringan
dapat ditanggulangi tanpa obat, hanya dengan melakukan olahraga secara teratur.
Tekanan darah tinggi teryata cukup responsif terhadap latihan-latihan olahraga.
Bahkan tidak jarang penderita tekanan darah tinggi yang akhirnya dapat ”lepas obat’
atau tidak minum obat untuk tekanan darah tinggi, karena tekanan darah tinggi
telah teratasi setelah melakukan latihan-latihan olahraga secara teratur. Misalnya,
penelitian yang dilakukan oleh Robert Cade dari Universitas Florida, bahwa hampir
seratus persen dan sejumlah orang yang menderita tekanan darah tinggi, ternyata
tekanan darahnya turun setelah tiga bulan berlatih olahraga secara teratur, dengan
takanan yang cukup. Berdasarkan penelitian ini, tekanan darah dapat menurun yang
berkisar antara 10-50 mm (Anies, 2006).

e. Diet Tinggi Garam


Sodium/natrium adalah mineral yang esensial bagi kesehatan yang mengatur
keseimbangan air dalam sistem pembuluh darah. Konsumsi natrium yang berlebihan
menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraselular meningkat. Untuk
menormalkannya, cairan intraselular ditarik keluar sehingga cairan ekstraselular
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraselular menyebabkan meningkatanya
volume darah dalam tubuh, dengan demikian jantung harus memompa lebih giat
sehingga tekanan darah menjadi naik (Hull, 1996). Konsumsi garam yang melebihi
ambang batas yang dibutuhkan dapat menyebabkan hipertensi (Kaplan, 1990).
Begitu pula seseorang yang sudah punya bakat hipertensi, potensinya akan lebih
besar jika lingkungan atau kebiasaan sehari-hari turut memicu. Seperti dikemukakan
Prof Jose, bahwa pada masyarakat tradisional (yang tidak terpapar stres atau garam
berlebih) angka hipertensi hanya 0,1 %. Sementara di daerah sibuk angkanya
mendekati 30 %. Contoh lainnya, orang yang hidup di pinggir pantai, sedari kecil
telah terbiasa makan ikan yang diasin. Padahal, kondisi garam berlebihan dalam
tubuh bisa memicu timbulnya hipertensi. Prof Jose mencontohkan bahwa penduduk
di Jepang Utara banyak yang terkena stroke akibat konsumsi garam yang tinggi,
sementara di Jepang selatan tidak demikian. Rata-rata konsumsi garam dapur
normalnya adalah 6 gram per hari.
(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak /kesehatan/diet-rendah-garam-
3.html oleh Inda). Menurut data survei yang dikumpulkan di daerah pantai (ump.
Bondo-Jepara, Karimunjawa, Bungus) terdapat prevalensi yang lebih tinggi daripada
daerah pedalaman dan pegunungan (Darmojo, 1983 dalam Wahyuni 2000). Hal ini
juga dilaporkan oleh Awalui dkk (1982) di Sulawesi Utara dalam Wahyuni 2000 yang
mengadakan studi prevalensi hipertensi di daerah pantai dan pedalaman. Kimura
(1973) dalam wahyuni 2000 juga menemukan prevalensi yang lebih tinggi pada desa
nelayan (Ushibuka) daripada desa pertanian (Taushimaru) yang terletak di
pedalaman pulau Kyushu, berturut-turut dengan prevalensi 22 % dan 15 %.
Analisis data penelitian antara tekanan darah dan konsumsi natrium yang
melibatkan 47000 orang dari 24 1okasi di dunia, menunjukkan bahwa rata-rata
tekanan darah masyarakat di negara maju lebih tinggi daripada rata-rata tekanan
darah masyarakat negara berkembang. Meskipun demikian pengaruh natrium
terlihat sama di kedua populasi tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa
pengaruh natrium lebih besar daripada yang diperkirakan dan makin bertambah
sesuai dengan bertambahnya usia dan tingkat tekanan darah semula (BMJ
1991;302 : 9115 Cermin Dunia Kedokteran No. 73, 1991 6).
Berpuluh-puluh tahun penelitan, mulai dari percobaan binatang, observasi klinik,
penelitian epidemiologi dan intervensi telah mengidentifikasi paparan yang
membentuk pola tekanan darah dipopulasi ialah konsumsi garam tinggi, kalium
rendah, ratio natrium terhadap kalium tinggi, kegemukan dan konsumsi alkohol
tinggi (Sjukrudin, 1998). Di Amerika Serikat diusulkan konsumsi garam per orang
secara nasional diusahakan hingga ½ konsumsi pada saat ini menjadi 6 gr/hari. Di
Jepang yang konsumsi garamnya pada tahun 1960-an pada penelitian INTERSALT 23
gr/orang pada tahun 1988 menjadi 11 gr/orang. Selain itu konsumsi kalium dapat
dinaikan dengan konsumsi lebih banyak buah-buahan dan sayuran segar. Tekanan
darah dapat diturunkan pula dengan menurunkan berat badan dan meningkatkan
aktivitas fisik. Dari hasil di Jepang dan beberapa penelitian intervensi ada petunjuk
bahwa intervensi nonfarmakologis dan modifikasi gaya hidup semacam diatas dapat
menurunkan tekanan darah dalam waktu panjang (Karhiwikarta 1998).

D. Patogenesis Hipertensi
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul akibat berbagai
interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya
kenaikan.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis,
yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke
ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh
darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif
terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa
terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan
vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt
memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks
adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung
mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh
darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut
usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan Perifer.
Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer.
Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor genetik, stres,
obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan
darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak mempunyai banyak
pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan
darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk
mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian
tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan
cepat misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon
iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari
sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang
bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga
intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem
yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya kestabilan tekanan darah
dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang
melibatkan berbagai organ. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer
dipengaruhi oleh beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan
membran sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan
hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta obesitas dan
faktor endotel. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan
arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak
kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan
mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke.
Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada
organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, Jantung berdebar-debar,
sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja, mudah lelah,
penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di
malam hari telingga berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar.

E. Diagnosis upaya pencegahan dan pengobatan


Diagnosis Hipertensi Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti
berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke arah hipertensi
sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid,
dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal, berkeringat atau takikardi serta
adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali mengenai
faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat
keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua kali
pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan
darah harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang tepat
(setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan penunjang dilakukan
untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium,
asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa
elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi. Pada kasus
dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan
diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid
(TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer berupa
kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen, peningkatan kadar serum Na,
penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis metabolik. Pada
feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom
cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan
CT angiografi arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi
F.

Anda mungkin juga menyukai